sunan kalijaga Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sunan-kalijaga/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 20 Mar 2024 05:04:16 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sunan kalijaga Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sunan-kalijaga/ 32 32 135956295 Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/ https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/#respond Tue, 19 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41418 Api abadi Mrapen adalah sebuah objek wisata yang berada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong. Lokasinya sangat strategis karena berada di pinggir Jalan Raya Purwodadi—Semarang, hanya masuk sekitar 100 meter....

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Api abadi Mrapen adalah sebuah objek wisata yang berada di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Manggarmas, Kecamatan Godong. Lokasinya sangat strategis karena berada di pinggir Jalan Raya Purwodadi—Semarang, hanya masuk sekitar 100 meter.

Objek wisata ini pernah menjadi primadona—setidaknya destinasi wisata kebanggaan masyarakat Grobogan—selain Bledug Kuwu. Tahun 1980-an atau 1990-an, api abadi Mrapen masih banyak dikunjungi wisatawan.

Bahkan hingga tahun 2000-an, objek wisata tersebut masih banyak dikunjungi. Namun, seiring waktu pamor api abadi Mrapen semakin lama semakin meredup. Pada 2012 Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah mengambil alih pengelolaannya. Pemprov membeli lahannya dari kepemilikan pribadi, kemudian dibangun menjadi lebih “wah” dan dilengkapi Gelanggang Olahraga (GOR).

Kendati demikian, hal itu ternyata tidak serta-merta bisa mendongkrak pamornya. Apalagi sejak pagebluk COVID-19 melanda dunia. Pamor dan tingkat kunjungan pun kian menurun.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
Pengunjung mendokumentasikan lokasi api abadi Mrapen/Badiatul Muchlisin Asti

Fenomena Geologi

Api abadi Mrapen sendiri adalah sebuah objek wisata yang berbasis fenomena geologi. Di dalamnya terdapat tiga daya tarik, yaitu api abadi Mrapen (objek utama), Sendang Dudo, dan Batu Bobot. 

Api abadi Mrapen merupakan api alam yang menyala di atas tanah dan timbul karena adanya gas yang keluar dari dalam tanah. Pusat semburan gas memiliki diameter sekitar 1,5 meter. Meski diberi nama api abadi, tetapi api ini sebenarnya bisa padam. Misalnya, bila terjadi hujan lebat yang disertai angin kencang. Namun, jika api mati, api bisa dihidupkan kembali dengan cara menyulutnya menggunakan korek api. Sebuah data menunjukkan, dulu, pijaran api abadi Mrapen tergolong besar. Pada 1992 intensitas debit gasnya pernah mengecil, tetapi tidak sampai membuat padam. 

Pada September 2020, untuk pertama kalinya dalam sejarah, api abadi Mrapen sempat padam total akibat eksploitasi gas di sekitarnya oleh warga. Namun, akhirnya api abadi berhasil dihidupkan kembali pada April 2021.

Kemudian Sendang Dudo, sebuah telaga, airnya keruh dan berwarna kekuning-kuningan serta bergelembung. Seperti kondisi air yang sedang mendidih, tetapi airnya tidak panas. Gelembung-gelembung udara itu berasal dari gas yang keluar dari tanah. Letupan gas itu akan menyala bila terkena pijaran api, sehingga dimungkinkan gas tersebut adalah gas yang ada pada api abadi Mrapen.

Dalam buku Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen yang diterbitkan oleh Tourist Information Center (TIC) Provinsi Jawa Tengah, dari hasil penelitian di laboratorium ditemukan bahwa air Sendang Dudo banyak mengandung mineral, mulai dari kalsium, besi, hingga magnesium. Oleh karena itu air Sendang Dudo kerap digunakan untuk mengobati penyakit kulit, seperti gatal-gatal dan eksim. 

Adapun Batu Bobot, menurut cerita dulunya adalah umpak atau landasan tiang bangunan Kerajaan Majapahit yang hendak dibawa ke Kesultanan Demak. Namun, Sunan Kalijaga dan rombongan meninggalkannya karena berat dan menghambat perjalanan. Batu ini kemudian digunakan Empu Supo sebagai paron atau landasan untuk membuat keris. Berat batu bobot kurang lebih 20 kilogram.

  • Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
  • Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)

Legenda Terjadinya Api Abadi Mrapen

Cerita asal-usul terjadinya api abadi Mrapen yang berkembang di masyarakat selama ini lebih bersifat legenda. Dalam perkembangannya, kisah genealogis yang seharusnya bersifat faktual (fakta historis) itu bercampur dengan pelbagai mitos. Keberadaan api abadi Mrapen sendiri dikaitkan dengan perjalanan pulang rombongan Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga setelah dari Kerajaan Majapahit.

Menurut cerita, hikayat asal mula api abadi Mrapen terjadi pada masa akhir Kerajaan Majapahit. Sebagai kerajaan penakluk—banyak sejarawan yang menolak narasi yang menyebutkan bahwa Kesultanan Demak pernah melakukan serangan dalam rangka menaklukkan Kerajaan Majapahit—Kesultanan Demak di bawah Sultan Fattah, raja pertamanya, bermaksud memindahkan benda-benda berharga milik Kerajaan Majapahit. Pemindahan itu dilakukan oleh rombongan yang dipimpin oleh Sunan Kalijaga.

Ketika rombongan hendak sampai Demak, mereka singgah sejenak untuk beristirahat di sebuah tempat. Saat mereka hendak memasak untuk kepentingan konsumsi rombongan yang sudah mulai lapar, mereka tidak mendapati air dan api. Sebab tempat mereka singgah memang jauh dari permukiman warga.  

Menyadari hal itu, Sunan Kalijaga lalu berdoa dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika dicabut, keluarlah api yang menyala terus-menerus. Sunan Kalijaga kemudian berjalan agak ke timur dan kembali menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika tongkat dicabut, menyemburlah air yang sangat jernih.

Para pengikut Sunan Kalijaga pun sangat senang melihat hal itu. Mereka dapat memanfaatkan api dan air itu untuk memasak dan mencukupi kebutuhan minum mereka. Titik menyemburnya api itulah yang kelak dikenal sebagai api abadi Mrapen, sedangkan tempat keluarnya air kelak dikenal dengan nama Sendang Dudo.

Setelah dirasa cukup beristirahat melepas penat, makan, minum, dan salat, mereka meneruskan perjalanan menuju Demak. Baru akan berangkat, salah seorang anggota rombongan yang bertugas membawa batu umpak atau landasan tiang bangunan Kerajaan Majapahit mengeluh karena benda itu terlalu berat. Bahkan banyak di antara mereka yang tidak kuat membawanya.

Mendengar keluhan itu, Sunan Kalijaga memerintahkan untuk meninggalkan saja benda tersebut. Benda itulah yang kelak dikenal dengan nama Batu Bobot. Setelah meninggalkan batu itu, rombongan kemudian meninggalkan tempat tersebut dan segera bertolak ke Demak. 

Beberapa waktu kemudian, Sunan Kalijaga meminta Empu Supo—ahli pembuat keris pusaka pada masa itu—untuk membuatkan sebilah keris di sebuah tempat yang sudah tersedia api untuk membakar, batu umpak sebagai landasan menempa, dan air yang digunakan menyepuh keris. Berdasarkan petunjuk tersebut, berangkatlah Empu Supo sembari membawa logam sebagai bahan membuat keris ke tempat yang dimaksud oleh Sunan Kalijaga.

Di tempat itulah, Empu Supo kemudian membuat keris yang diberi nama keris Kyai Sengkelat. Keris ini unik, karena menurut cerita, dalam proses pembuatannya Empu Supo tidak menggunakan palu sebagai alat untuk menempa logam, tetapi dengan tekanan jari-jarinya untuk membentuk keluk keris tersebut.

Keris yang dibuat kemudian disepuh atau dicelupkan ke dalam sendang. Air sendang yang semula sangat jernih seketika berubah menjadi keruh kekuning-kuningan. Airnya juga bergolak atau menimbulkan gelembung menyerupai air yang sedang mendidih. 

Dalam perkembangannya, Empu Supo lalu diberi tugas khusus oleh Sultan Demak untuk membuat senjata-senjata yang digunakan untuk kepentingan militer Kesultanan Demak. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama “Mrapen” dan menjadi pusat pembuatan senjata kerajaan. Mrapen sendiri berasal dari kata “prapen” yang berarti perapian.

Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1)
Warung-warung yang sepi pengunjung di kompleks objek wisata api abadi Mrapen/Badiatul Muchlisin Asti

Api Abadi Mrapen di Masa Sultan Trenggono

Menurut sejarah, ditemukan atau munculnya api abadi Mrapen oleh Sunan Kalijaga terjadi saat Kesultanan Demak berada di bawah kepemimpinan Sultan Fattah atau Raden Patah. Setelah Raden Patah wafat pada 1518 M, takhta Kesultanan Demak beralih ke putranya yang bernama Pati Yunus. 

Pati Yunus menjabat sebagai Sultan Demak tidak lama, hanya sekitar tiga tahun. Sejak 1518 hingga 1521 M. Pati Yunus wafat dalam pertempuran melawan Portugis di Malaka pada 1521. Setelah Pati Yunus wafat, takhta Kesultanan Demak beralih ke Sultan Trenggono, putra Raden Fattah dan adik Pati Yunus. 

Pada masa kekuasaan Sultan Trenggono itulah api abadi Mrapen mendapatkan perhatian khusus. Utamanya karena tempat itu telah ditetapkan sebagai pusat pembuatan senjata pusaka kerajaan. Maka Sultan Trenggono menugaskan Ki Demang Singodiro, seorang demang—semacam jabatan lurah yang saat itu memimpin sekitar tiga desa—untuk mengelola dan menjaga situs peninggalan Sunan Kalijaga tersebut.

Selain diberi tugas menjaga dan merawat situs peninggalan Sunan Kalijaga, kesultanan juga memberikan kawasan Mrapen sebagai tanah perdikan kepada Ki Demang Singodirono. Setelah Ki Demang Singodirono wafat, tongkat estafet juru pelihara dilanjutkan oleh keturunannya.

Berdasarkan buku Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen, silsilah juru kunci atau juru pelihara yang bertugas mengelola Mrapen adalah sebagai berikut:

  1. Ki Demang Singodirono
  2. Ki Demang Singosemito
  3. Ki Demang Kerto Semito
  4. Ki Demang Kerto Leksono
  5. Ki Lurah Kromoharjo (wafat 1942).
  6. Nyi Parminah (1946—2000)
  7. Mulai tahun 2000—2012 sebagai juru kunci dijalankan oleh tujuh anak Nyi Parminah secara bergiliran
  8. Selanjutnya sejak 2012 pengelolaannya diambil alih oleh Pemprov Jawa Tengah melalui dinas pemuda dan olahraga dengan cara membeli lahan situs api abadi Mrapen

Annas Rofiqi (31), petugas objek wisata api abadi Mrapen saat ini, menambahkan informasi bahwa sejak Nyi Parminah meninggal dunia, pengelolaan api abadi Mrapen sempat dipegang oleh suaminya yang bernama Mbah Supradi. Setelah Mbah Supradi wafat pada 2006, pengelolaan kawasan api abadi Mrapen dilanjutkan oleh anak-anaknya.

Annas Rofiqi sendiri yang saat ini menjadi petugas resmi Dinpora Jawa Tengah merupakan cucu Nyi Parminah. Putra dari anak bungsu mendiang yang bernama Rubiyatno.

(Bersambung)


Referensi

Buku TIC Provinsi Jawa Tengah. Menyingkap Peninggalan Sunan Kalijaga di Mrapen. Semarang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Serpihan Cerita Api Abadi Mrapen dari Masa ke Masa (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/serpihan-cerita-api-abadi-mrapen-dari-masa-ke-masa-1/feed/ 0 41418
Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (2) https://telusuri.id/masjid-agung-demak/ https://telusuri.id/masjid-agung-demak/#respond Fri, 21 Oct 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35185 Setelah berziarah ke makam Sunan Kalijaga, maka Masjid Agung Demak adalah destinasi lawatan selanjutnya yang tak boleh dilewatkan. Jaraknya tak jauh dari makam Sunan Kalijaga di Kadilangu. Hanya sekitar tiga kilometer saja. Masjid Agung Demak...

The post Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah berziarah ke makam Sunan Kalijaga, maka Masjid Agung Demak adalah destinasi lawatan selanjutnya yang tak boleh dilewatkan. Jaraknya tak jauh dari makam Sunan Kalijaga di Kadilangu. Hanya sekitar tiga kilometer saja.

Masjid Agung Demak merupakan masjid bersejarah yang didirikan oleh Walisongo sebagai pusat penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Kini menjadi wisata religi ikonik di Demak yang banyak menyedot peziarah dari berbagai penjuru daerah. 

Masjid Agung Demak terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak. Letaknya persis di barat Alun-alun Kota Kabupaten Demak. Masjid Agung Demak termasuk masjid tertua di Indonesia yang didirikan oleh Walisongo.

  • Masjid Agung Demak
  • Masjid Agung Demak
  • Masjid Agung Demak

Kapan Masjid Agung Demak didirikan? Solichin Salam dalam buku Sekitar Walisanga (1986) menyebutkan, setengah riwayat mengatakan bahwa masjid wali yang bersejarah itu didirikan pada hari Kamis Kliwon malam Jumat Legi bertepatan dengan tanggal 1 Dzulqaidah tahun Jawa 1428.

Akan tetapi di samping itu ada pula yang berpendapat lain mengenai tahun berdirinya Masjid Agung Demak, di antaranya pendapat yang menyatakan bahwa Masjid Agung Demak didirikan pada tahun Saka 1401, berdasarkan gambar bulus (kura-kura) yang terdapat di dalam pengimaman masjid. Gambar bulus diartikan: kepala bulus berarti angka satu (1); kaki 4 berarti angka empat (4); badan bulus berarti angka nol (0); dan ekor bulus berarti angka satu (1).

Biarlah soal kapan persisnya Masjid Agung Demak didirikan oleh Walisongo menjadi domain dan perdebatan para sejarawan. Yang jelas, Masjid Agung Demak didirikan pada sekitar abad ke-15 di masa Raden Patah—raja pertama dari Kesultanan Demak. 

Masjid ini memiliki keunikan yang dilekatkan dengan eksistensi  Walisongo. Dalam buku 100 Masjid Terindah Indonesia yang diterbitkan oleh PT Andalan Media (2011), Masjid Agung Demak masuk di dalamnya.

Disebutkan dalam buku tersebut, bangunan Masjid Agung Demak kemungkinan merupakan tonggak arsitektur yang menjadi ciri khas bangunan masjid Nusantara, yakni atap limas bersusun tiga layaknya atap rumah joglo dan bentuk ruangan yang mirip pendopo jika dilihat dari luar.

Disebutkan pula, sesuai dengan waktu pembangunannya, material kayu mendominasi bangunan masjid. Dengan dihiasi oleh ukiran-ukiran indah, kayu-kayu tersebut menjadi daya tarik tersendiri untuk dinikmati secara visual. Selain bangunan masjid yang indah, berikut ini beberapa fakta historis jejak Walisongo yang dapat kita lihat dan telusuri saat melawat ke Masjid Agung Demak:

Arsitektur Bangunan yang Tidak Berubah Sejak Didirikan

Salah satu keunikan dari Masjid Agung Demak adalah corak arsitektur bangunannya yang tidak mengalami perubahan signifikan sejak didirikan hingga sekarang. Bangunan masjid ini, sebagaimana masjid lainnya, terbagi dalam dua bagian yakni bagian bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Adapun bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Sedang atap masjidnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut saka majapahit. Atap limas masjid terdiri dari tiga bagian yang konon menggambarkan: iman, Islam, dan ihsan.

  • Masjid Agung Demak
  • Masjid Agung Demak

Perhatikan foto-foto yang dikutip dari situs Collectie Nederland dan Wikipedia di atas. Dari waktu ke waktu hingga sekarang, corak arsitektur Masjid Agung Demak tidak mengalami perubahan signifikan. Hanya pada tahun  1932, tepatnya pada hari Selasa Pon, 2 Agustus, Masjid Agung Demak dilengkapi dengan menara masjid.

Letak menara berada di halaman depan sisi selatan Masjid Agung Demak. Konstruksinya terbuat dari baja siku, kaki menara berukuran 4 x 4 meter serta tinggi 22 meter. Atap menara berbentuk kubah dengan hiasan bulan sabit serta lengkungan-lengkungan yang ada pada dindingnya.

Dalam buku berjudul Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak & Grebeg Besar yang ditulis Sugeng Haryadi (2003) menyebutkan, di bagian atas menara terdapat sebuah ruangan berbentuk segi delapan berdinding kayu atau papan dan atap bordes  terbuat dari sirap tipis.

Saka Guru Peninggalan Para Wali

Di bagian bangunan induk Masjid Agung Demak kita akan mendapati empat tiang utama yang disebut saka guru. Keempat saka guru tersebut merupakan peninggalan empat wali dari anggota Walisongo, yakni Sunan Bonang (Tuban), Sunan Gunung Jati (Cirebon), Sunan Ampel (Surabaya), dan Sunan Kalijaga (Kadilangu, Demak).

Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal,  yang merupakan peninggalan dari Sunan Kalijaga. Saka guru yang saat ini ada di Masjid Agung Demak tidak asli alias hanya replika. Bekasnya yang asli dapat kita lihat di Museum Masjid Agung Demak yang berada satu kompleks dengan Masjid Agung Demak.

Saka Majapahit

Disebut saka majapahit karena delapan buah saka guru itu merupakan hadiah dari Kerajaan Majapahit yang diboyong oleh Raden Patah setelah dinobatkan menjadi Sultan Demak Bintara.

Di samping itu terdapat surya majapahit, yakni gambar hiasan segi delapan yang sangat populer pada era Kerajaan Majapahit, yang dibuat sekitar tahun 1479. Sebuah artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang disebut maksurah tampak mendominasi keindahan ruang dalam masjid. 

  • Masjid Agung Demak
  • Masjid Agung Demak

Situs Kolam Wudu Bersejarah

Di kompleks Masjid Agung Demak juga kita dapati sebuah situs kolam wudu bersejarah yang berada di sebelah utara serambi Masjid Agung Demak. Kolam wudu itu bersejarah karena dulu di zaman para wali, kolam itu digunakan masyarakat untuk mencuci kaki dan berwudhu sebelum masuk ke masjid untuk melaksanakan shalat dan kegiatan lainnya.

Makam Raden Patah

Di dalam kompleks Masjid Agung Demak juga kita akan mendapati beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak, termasuk di antaranya adalah Raden Patah yang merupakan raja pertama Kesultanan Demak. Makamnya berbentuk kijing sederhana dari bahan pualam kuning di bagian luar tungkub makam Sultan Trenggono.

Batu pualam kuning yang dijadikan kijing makam Raden Patah adalah untuk menggantikan batu andesit yang lama, yang sesungguhnya justru menghilangkan kesan kekunoan makam pendiri Kesultanan Demak tersebut.

Di sebelah makam Raden Patah, terletak makam istrinya, makam Adipati Unus, makam Pangeran Sekar Sedo Lepen, Pangeran Mekah, Pangeran Ketib, dan makam adik kandungnya, Raden Kusen Adipati Terung.

Masjid Agung Demak
Kompleks makam Raden Patah/Badiatul Muchlisjn Asti

Siapakah Raden Patah? Raden Patah adalah putra Prabu Brawijaya—Raja Majapahit terakhir. Raden Patah dikenal sebagai pendiri Kesultanan Demak yang saat berkuasa bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama. 

Selain sebagai seorang sultan, Raden Patah juga populer sebagai seorang negarawan, ahli hukum, ahli ilmu kemasyarakatan, seniman, dan juga ulama. Menurut Agus Sunyoto (2017), Raden Patah berperan penting dalam mengembangkan kesenian wayang agar sesuai dengan ajaran Islam. 

Dalam ilmu keislaman dan ilmu-ilmu lainnya, Raden Patah berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya dan kemudian dinikahkan dengan putrinya bernama Dewi Murtasimah. Dalam struktur majelis dakwah Walisongo, sebuah sumber menyebutkan, Raden Patah termasuk anggota Walisongo angkatan kelima. 

Sehingga Raden Patah tidak hanya seorang raja, namun juga seorang ulama dan wali. Hanya saja penting dicatat, selama ini banyak yang mengira bahwa Kesultanan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena di zaman kesultanan inilah Islam tersebar secara elegan dan masif di seluruh penjuru Nusantara. 

Namun nyatanya Kesultanan Demak bukanlah kerajaan Islam pertama di Jawa. Bertolak dari sisa-sisa artefak dan ideofak yang dapat dilacak, sebagaimana yang disampaikan oleh sejarawan NU Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo (2017), ditemukan fakta bahwa kerajaan Islam yang awal di Jawa bukanlah Demak, melainkan Lumajang yang disusul Surabaya, Tuban, Giri, dan baru Demak. Keislaman Lumajang paling sedikit menunjuk kurun waktu sekitar abad 12 Masehi, yaitu saat Kerajaan Singasari di bawah kekuasaan Sri Kertanegara.

Masjid Agung Demak
Bedug di Masjid Agung Demak/Badiatul Muchlisin Asti

Bila kita berkunjung ke Masjid Agung Demak, setidaknya fakta-fakta jejak historis Walisongo itu yang hingga sekarang masih dapat kita saksikan. Masih banyak lagi benda-benda bersejarah lainnya, antara lain pintu bledheg, mimbar khutbah, dan sebagainya—yang sebagian besar dapat kita saksikan di Museum Masjid Agung Demak yang didirikan dalam rangka untuk melestarikan benda-benda bersejarah terkait Masjid Agung Demak dan Walisongo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masjid-agung-demak/feed/ 0 35185
Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (1) https://telusuri.id/melawat-ke-demak-menyusuri-jejak-walisongo/ https://telusuri.id/melawat-ke-demak-menyusuri-jejak-walisongo/#respond Thu, 20 Oct 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35314 Menyebut Demak, maka yang terlintas adalah wisata religinya. Sulit menyebut wisata lainnya di Kota Wali itu selain wisata religi yang berupa makam Sunan Kalijaga dan Masjid Agung Demak. Kedua destinasi wisata itulah yang paling masyhur...

The post Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Menyebut Demak, maka yang terlintas adalah wisata religinya. Sulit menyebut wisata lainnya di Kota Wali itu selain wisata religi yang berupa makam Sunan Kalijaga dan Masjid Agung Demak. Kedua destinasi wisata itulah yang paling masyhur di Demak. Wisatawan—atau lazim disebut peziarah, datang dari berbagai daerah di seantero Indonesia, terutama dari Jawa dan Madura.  

Di Demak sendiri, Makam Sunan Kalijaga dan Masjid Agung Demak menjadi semacam “paket wisata” yang tak terpisahkan. Bila ke Demak, para peziarah hampir bisa dipastikan melawat ke keduanya. Apalagi dari sisi jarak tidak terlalu jauh alias sangat dekat, dan dari sisi historis saling berkelindan erat.

Makam Sunan Kalijaga terletak di Kelurahan Kadilangu, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak.  Hampir setiap hari dikunjungi oleh para peziarah yang datang dari berbagai daerah. Apalagi di bulan-bulan tertentu seperti Rajab, Syakban, dan Muharram, makam Sunan Kalijaga hampir selalu disesaki oleh para peziarah. 

Ramainya peziarah tak bisa dipisahkan dari sosok Sunan Kalijaga sebagai salah satu anggota majelis dakwah walisongo yang fenomenal. Sosok Sunan Kalijaga menjadi daya pikat paling magnetis bagi para peziarah untuk mengunjungi makamnya. 

  • Makam Sunan Kalijaga
  • Masjid Sunan Kalijaga

Mengenal Sosok Sunan Kalijaga

Siapakah Sunan Kalijaga? Dibanding dengan wali yang lain di majelis dakwah Walisongo, nama Sunan Kalijaga boleh dibilang paling fenomenal. Nama aslinya adalah Raden Mas Syahid—putra dari Ki Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban. 

Solichin Salam dalam buku Sekitar Walisanga (1986) menulis, di antara wali sembilan, beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar. Seorang pemimpin, pejuang, muballigh, pujangga, dan filsuf. Daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena beliau adalah terhitung seorang reizende muballigh (mubalig keliling). Jikalau beliau bertablig, senantiasa diikuti oleh para kaum ningrat dan sarjana.

Sementara Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo (2017) menulis, Sunan Kalijaga dikenal sebagai tokoh Walisongo yang mengembangkan dakwah Islam melalui seni dan budaya. Sunan Kalijaga termasyhur sebagai juru dakwah yang tidak saja piawai mendalang, melainkan dikenal pula sebagai pencipta bentuk-bentuk wayang dan lakon-lakon carangan yang dimasuki ajaran Islam. Melalui pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga mengajarkan tasawuf kepada masyarakat. Sunan Kalijaga dikenal sebagai tokoh keramat oleh masyarakat dan dianggap sebagai wali pelindung Jawa.

Dari cerita legenda yang masyhur, nama Kalijaga yang disematkan kepadanya konon bermula dari perintah gurunya—Sunan Bonang, untuk bertapa di pinggir sebuah sungai. Lamanya bertapa hingga semak belukar tumbuh dan merambati badannya. Dari situlah, kemudian beliau disebut Kalijaga yang artinya “menjaga kali atau sungai”.

Namun ada pula yang berpendapat beda—dan relatif lebih logis. Menurut pendapat ini, nama Kalijaga hanyalah simbolisme dan bukan makna yang sebenarnya. Nama Kalijaga berasal dari kata kali yang berarti sungai atau air yang mengalir, dan kata jaga yang berarti menjaga. Jadi, Kalijaga berarti “penjaga sungai atau aliran air” yang dimaknai sebagai “penjaga aliran kepercayaan—yang hidup di masyarakat”. 

Masjid Sunan Kalijaga
Masjid Sunan Kalijaga di kadilangu Demak, diperkirakan tahun 1910 via universiteitleiden.nl

Realitanya, seperti dinyatakan oleh Umar Hasyim dalam buku Sunan Kalijaga (1982), sebagai seorang mubalig, Sunan Kalijaga tidak menunjukkan sikap antipati terhadap semua aliran atau kepercayaan yang tidak sesuai dengan agama Islam. Tetapi dengan kebijaksanaan, aliran-aliran kepercayaan yang hidup dalam masyarakat itu, dihadapi atau digauli dengan sikap penuh rasa toleransi yang tinggi.

Dalam cerita disebutkan, Sunan Kalijaga-lah satu-satunya wali yang paham dan mendalami segala pergerakan dan aliran kepercayaan yang hidup di kalangan rakyat. Sehingga pelbagai strategi dakwahnya dikenal paling “membumi”, antara lain melalui sarana seni dan budaya.

Meski begitu fenomenal, namun tahun kelahiran dan wafatnya tidak diketahui secara pasti, kecuali diyakini jasadnya dikebumikan di Kelurahan Kadilangu, Kabupaten Demak—kira-kira berjarak tiga kilometer dari Masjid Agung Demak. 

Sejumlah sumber menyebutkan, Sunan Kalijaga termasuk berusia lanjut. Sunan Kalijaga diperkirakan lahir tahun 1440-an. Dalam masa hidupnya, beliau mengalami empat kali masa pemerintahan, yakni zaman akhir Kerajaan Majapahit tahun 1478, zaman Kesultanan Demak 1478-1546, Kesultanan Pajang 1560-1580, dan awal Mataram Islam.

Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan, Sunan Kalijaga pernah datang di Mataram saat Panembahan Senopati telah mengangkat dirinya menjadi sultan. Kalau informasi ini benar, berarti usia Sunan Kalijaga mencapai sekitar 140 tahun.  

  • Masjid Sunan Kalijaga
  • Masjid Sunan Kalijaga

Berziarah ke Makam Sunan Kalijaga

Sebenarnya, terdapat dua versi makam Sunan Kalijaga. Makam pertama terletak di Kelurahan Kadilangu, Demak—sebagaimana yang sudah masyhur; dan yang kedua adalah di Dusun Soko, Desa Medalem, Kecamatan Senori, Tuban. Klaim makam Sunan Kalijaga di Tuban merupakan pendapat dari KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur—presiden ke-4 RI—berdasarkan firasat yang diperolehnya.

Terlepas dari mana yang lebih valid dari kedua versi itu, yang pasti, versi makam Sunan Kalijaga di Kadilangu lebih masyhur dan paling banyak dikunjungi para peziarah hingga kini. Selain itu, laman resmi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah juga menyebut lokasi yang diyakini sebagai makam Sunan Kalijaga ada di Kadilangu Demak.

Di Kadilangu, apabila kita masuk lewat gerbang utama menuju kompleks Makam Sunan Kalijaga, maka kita akan memasuki lorong beratap rapi sepanjang sekira 160 meter yang di kanan kirinya dipenuhi kios pedagang. Gerbang utama itu sendiri terletak di sisi selatan masjid atau dekat kolam Segaran peninggalan Sunan Kalijaga.

Di kios-kios yang terdapat di lorong menuju makam, dijual aneka oleh-oleh dan buat tangan seperti kaos bertuliskan Sunan Kalijaga, aneka tasbih, peci, baju koko, blangkon, mainan anak, serta berbagai kuliner sebagai oleh-oleh, baik yang khas Demak atau pun khas daerah sekitarnya.

Begitu memasuki kompleks makam, kita akan mendapati berbagai pusara tokoh-tokoh yang terkenal dalam cerita seputar Walisongo seperti makam Pangeran Haryo Penangsang, Empu Supo, dan lain sebagainya. 

Masjid Sunan Kalijaga
Selo atau batu tempat duduk Sunan Kalijaga saat memberi wejangan kepada para muridnya/Badiatul Muchlisin Asti

Sebelum sampai ke lokasi makam Sunan Kalijaga, kita juga akan menjumpai sebuah batu yang dikelilingi tembok pendek. Keterangan yang ada menyebutkan bahwa batu itu merupakan Selo Palenggahanipun Kanjeng Sunan Kalijaga. Artinya selo atau batu yang dulu digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai tempat duduk, yaitu saat memberi taushiyah atau wejangan kepada para muridnya.

Adapun makam Sunan Kalijaga, sebagaimana makam Walisongo pada umumnya, berada dalam bangunan tungkup berdinding tembok dengan hiasan dinding terbuat dari kayu berukir. Di sekeliling makam itulah para peziarah melantunkan serangkaian dzikir dan doa.

Di sisi utara makam yang sekaligus jalur keluar yang dilewati, terdapat gentong peninggalan Sunan Kalijaga. Menurut informasi, terdapat dua gentong peninggalan Sunan Kalijaga, yakni padasan (tempat air wudlu) dan pedaringan (tempat menyimpan beras). Di dua gentong itu diisi air yang kemudian dituangkan dalam gelas-gelas sebagai minum para peziarah.

Airnya diambil dari sungai yang berjarak sekitar 300 meter dari lokasi makam, kemudian diendapkan di bak penampungan, lalu disalurkan ke dalam gentong lewat mesin filter untuk disterilisasi agar layak minum.

Masjid Peninggalan Sunan Kalijaga

Bila kita berziarah ke makam Sunan Kalijaga, kita juga akan mendapati masjid peninggalannya. Letak masjid berada di sisi timur kompleks Makam Sunan Kalijaga. Menurut cerita, dulunya masjid ini dibangun oleh Sunan Kalijaga dalam bentuk langgar (musala). Sayangnya, tak diketahui pasti kapan Sunan Kalijaga mendirikannya. Yang jelas, Sunan Kalijaga membangun langgar sebelum Masjid Agung Demak berdiri. Bahkan menurut cerita, corak bangunan Masjid Agung Demak diilhami oleh bangunan langgar yang didirikan oleh Sunan Kalijaga.

Secara arsitektur, bangunan awal Langgar Sunan Kalijaga memiliki kesamaan dengan Masjid Agung Demak. Bangunan berbentuk joglo dengan atap limasan bersusun tiga yang melambangkan iman, Islam, dan ihsan. Gentingnya terbuat dari kepingan kayu jati (sirap) dan memiliki empat saka guru (tiang penyangga utama bangunan) yang terbuat dari kayu jati pilihan.

Langgar Sunan Kalijaga mengalami perluasan dan pengembangan menjadi masjid karena tuntutan jumlah jemaah yang semakin banyak. Pengembangan dilakukan di masa Pangeran Wijil—putra Sunan Kalijaga. Entah Pangeran Wijil yang mana, tak ada data yang bisa dirujuk. Hanya saja, dari prasasti yang tersimpan di masjid, diketahui bahwa Masjid Sunan Kalijaga direnovasi pertama kali pada tahun 1564 M oleh Pangeran Wijil.

Sumur Jolotundo
Sumur Jolotundo, sumur keramat peninggalan Sunan Kalijaga/Badiatul Muchlisin Asti

Lalu pada tahun 1970, dilakukan renovasi besar-besaran. Bangunan induk yang aslinya berukuran 10 x 16 m mengalami perluasan dengan tetap mempertahankan saka guru atau tiang penyangga utama masjid. Dan pada tahun 1990, kembali dilakukan pembangunan fisik meliputi pembangunan tempat salat dan tempat wudhu perempuan yang dibuat terpisah dengan pria.

Selain masjid, jejak historis lainnya yang dapat kita jumpai saat berziarah ke makam Sunan Kalijaga adalah sebuah situs peninggalan Sunan Kalijaga berupa sumur keramat yang disebut dengan nama Sumur Jolotundo. Terletak sekira 200 meter di timur kompleks Makam Sunan Kalijaga atau timur Masjid Sunan Kalijaga. Hingga sekarang, air di sumur itu dipakai oleh warga dan peziarah untuk berbagai keperluan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melawat ke Demak, Menyusuri Jejak Historis Walisongo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melawat-ke-demak-menyusuri-jejak-walisongo/feed/ 0 35314