sungai bohorok Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sungai-bohorok/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 13 Feb 2025 09:06:10 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sungai bohorok Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sungai-bohorok/ 32 32 135956295 Patroli di Jalan Sunyi https://telusuri.id/patroli-di-jalan-sunyi/ https://telusuri.id/patroli-di-jalan-sunyi/#respond Wed, 13 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40427 Jejak ratusan kilometer menjaga rimba Leuser adalah kebanggaan tersendiri bagi seorang polisi hutan. Nyawa taruhannya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Namanya singkat. Misno. Tanpa nama tengah apalagi marga. Usianya 46 tahun....

The post Patroli di Jalan Sunyi appeared first on TelusuRI.

]]>
Jejak ratusan kilometer menjaga rimba Leuser adalah kebanggaan tersendiri bagi seorang polisi hutan. Nyawa taruhannya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Patroli di Jalan Sunyi
Ekspresi Misno saat sesi wawancara dengan TelusuRI di pinggiran Sungai Bohorok, Bukit Lawang/Mauren Fitri

Namanya singkat. Misno. Tanpa nama tengah apalagi marga. Usianya 46 tahun. Lahir dan besar di Sumatra Utara, tetapi ada sedikit nasab Banyumas di darahnya. Pekerjaannya polisi hutan. Tampilan fisiknya memang menunjukkan sebagaimana mestinya seorang penegak hukum. Rambut cepak, tubuh tegap, suara berat.  

Jika sempat iseng mengetik arti nama “Misno” di internet, maka akan muncul tafsir yang hampir seragam. Berani, cerdas, dan pekerja keras. Loyal, bisa diandalkan, dan siap memberikan segalanya. Ini bukan pernyataan bak pujian pada politisi atau pejabat negara. Memang kenyataan yang terpampang demikian. Sesuai karakter aslinya. 

Di atas kertas, sepintas tugas Misno sederhana. Melindungi hutan dari ancaman pembalakan liar, perburuan satwa, dan perambahan hutan. Serta menjaga hubungan baik dengan masyarakat di kawasan penyangga taman nasional. 

Namun, realitas di lapangan tidak semudah itu. Dihajar badai, kehabisan bekal di hutan, hampir mati terseret arus sungai, ditodong senjata, sampai dijebak oknum aparat adalah bukti sahih; Misno tidak bekerja untuk formalitas semata.

Area kerjanya, Resor Bahorok (STPN Wilayah V), mencakup 31.619,40 hektare. Lebih dari separuhnya memiliki tingkat kelerengan curam. Luasan tersebut hampir 4 persen dari total keseluruhan kawasan TNGL. Kekuatan personel resor yang ia pimpin hanya empat orang. Dua PNS dan dua tenaga harian (honorer). Satu pegawai berarti mengawasi area seluas 7.905 hektare. Secara kasatmata tidak masuk akal. 

“Ya, namanya tugas,” ujar Misno singkat. Jawaban diplomatis yang sejatinya merangkum manis getir pengabdiannya menjaga hutan. Bahkan terkadang di luar tugas pokok dan fungsi dasarnya. 

Patroli di Jalan Sunyi
Rapatnya tutupan hutan khas tropis yang menyelimuti perbukitan di sekitar Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatra Utara/Deta Widyananda

Mantan penebang hutan yang hijrah menyelamatkan hutan

Misno yang dulu bukanlah Misno yang sekarang. Bahkan ia awalnya bukan polisi hutan murni. Sebelum mencurahkan pengabdian kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pujakesuma—putra Jawa kelahiran Sumatra—itu pernah menggeluti dunia kerja yang yang bertolak belakang. 

“Awalnya dulu saya pernah [punya] pengalaman kerja di Pekanbaru [Riau],” tutur Misno membuka cerita.

Di tahun 1990-an, ia bekerja sebagai operator alat berat untuk PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Anak perusahaan APRIL Group, korporasi global yang bergerak di produksi serat dan bubur kertas (pulp). Wilayah kerjanya saat itu adalah area hutan di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau. 

Misno tergabung dalam satu kelompok karyawan berisi 32 orang, yang berarti tersedia 32 ekskavator. Dan tidak hanya satu kelompok saja yang bekerja di waktu yang sama. Tugas mereka adalah mengeruk hutan. Menebang pohon-pohon. Menghasilkan balok kayu, yang akan dieskpor atau diolah sebagai bahan baku kertas.

“Dalam satu menit kita bisa menghilangkan hutan itu mencapai sekitar enam hektare,” katanya. Ia dan kelompoknya bekerja setiap pagi. Bisa dibayangkan banyaknya pohon tumbang serentak hanya dalam sekali potong.

Selama bekerja acapkali ia melihat satwa liar, seperti harimau sumatra, tapir, dan gibbon (owa). Sampai suatu saat ketika jam kerja selesai, Misno masih menyisakan satu pohon yang belum ditebang. Ada beberapa satwa yang berkumpul di bawah pohon yang sama. “Besoknya kita tumbangkan, dan satwa tadi sudah berserak entah ke mana.”

Misno hanya bertahan enam bulan di perusahaan ekstraktif tersebut. Ia kerap terlibat cekcok karena adanya ketidakcocokan budaya kerja. Pun gelisah melihat hutan luas lenyap dalam sekejap. Ia mengundurkan diri dan pulang ke Bukit Lawang. Itulah titik balik Misno berhijrah ke dunia konservasi dan kehutanan.

Roda hidup terus berputar. Sempat dua tahun menjadi petugas cleaning service kantor World Wildlife Fund (WWF), pada 1997—1998 ia dimasukkan oleh TNGL sebagai pegawai honorer di stasiun rehabilitasi orang utan di Bukit Lawang. Saat itu TNGL memang sedang bermitra dengan sejumlah organisasi nirlaba untuk konservasi orang utan.

Satu dekade kemudian Misno makin menapaki jenjang menjanjikan. Ia diangkat sebagai PNS pada 2008 dan bertugas sebagai anggota Resor Bukit Lawang. 

Seiring waktu berjalan, Misno akhirnya mengemban amanah besar di posisi tertinggi dalam kariernya. Sejak 2015, ia dipercaya menjadi kepala Resor Marike selama empat tahun. Tantangannya berat, karena wilayah Marike termasuk paling rawan pembalakan liar, perburuan ilegal, dan perambahan hutan. Di tahun yang sama, Misno juga ditugaskan menjadi ketua tim SMART Patrol untuk wilayah Bohorok. Sampai sekarang. 

Tingkat risiko dan bahaya yang dihadapi Misno sangat tinggi. Tak jarang istri dan tiga anaknya berat melepasnya pergi ketika akan patroli berhari-hari ke hutan. Namun, seiring waktu keluarganya memahami. Bahkan anaknya sering mendoakan sang ayah supaya dapat pemburu.

“Doanya seperti itu,” kepala tertawa kecil, “cuma kita khawatir [karena] si pemburu yang kita hadapi ini kadang bawa senjata api, parang.”

Patroli di Jalan Sunyi
Ketika sedang beristirahat di kantor resor Bohorok, Misno menunjukkan kepada tim TelusuRI foto satwa yang tertangkap kamera jebak di dalam hutan/Mauren Fitri

Kisah dari 2.000 mdpl

Misno punya satu pengalaman tak terlupakan soal bersinggungan dengan pemburu liar. Beberapa waktu lalu kegiatan patroli rutin di pedalaman hutan dekat Bukit Lawang, kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, berjalan seperti biasa. Biasanya, lokasi pintu masuk dan keluar rimba berbeda. Satu tim berkekuatan empat orang, dipimpin oleh Misno—kini sudah menjabat kepala Resor Bohorok—siap menempuh perjalanan 14 hari. Masing-masing bertanggung jawab membawa ransel berisi logistik dengan beban setidaknya seperempat kuintal. 

Di suatu pagi, tepatnya pukul 10.00, dari kejauhan mereka menemukan satu kamp kosong di dalam kawasan. Berdasarkan hasil observasi, diyakini kamp itu dibuat dan ditempati dua orang. Sebagai langkah awal tim memilih menunggu dan mengintai terlebih dahulu. Memantau di titik aman untuk bersembunyi.

Sampai hari gelap, belum ada tanda-tanda pergerakan di kamp. Sekitar pukul 19.00 Misno memutuskan untuk membagi tim. Ia menginstruksikan anggotanya menyebar.

“Di situ kebetulan ada tiga jalur [bercabang]. Kita bagi di sana dua [orang], di sini dua. Yang penting kita ini sama-sama kelihatan,” kata Misno, mengisyaratkan bakal fokus di dua jalur berdekatan. Tangannya mencoba menggambarkan situasi dan posisi tim di dalam hutan saat itu. Hanya sorot lampu kepala yang menjadi pelita di tengah hutan belantara.

Setengah jam kemudian, tiba-tiba terdengar pergerakan lain mendekat dari kegelapan. Dua pria tak dikenal muncul dan masing-masing spontan mengeluarkan senjata api. Momennya begitu cepat.

Misno, satu-satunya dalam tim yang membawa senjata api, refleks menodongkan pistolnya ke kepala seorang di antara keduanya. “Jatuhkan senjatamu!”

Perintah Misno tidak mendapat respons positif. Ketegangan meruak ke sela-sela urat nadi. Nyaris tanpa sekat satu mili pun. Dalam situasi segenting itu, satu gerakan fatal bisa menyebabkan peluru meletus. Adegan adu pistol koboi Arizona saja kalah mencekam.

Di tengah hening, Misno segera menggertak. Ia mengokang pistolnya dan memberi ultimatum dalam tiga detik. Pada hitungan kedua mereka akhirnya menjatuhkan senjatanya. Dua senjata angin rakitan dengan peluru kaliber 8 milimeter tergeletak di tanah.

Rupanya dua terduga pemburu liar itu tidak mau menyerah begitu saja. Dalam waktu sekelebat mata keduanya langsung menghunus parang. Misno kembali melepas perintah, “Jatuhkan parangmu!”

Lagi-lagi perintah Misno tidak dituruti. Misno sudah waswas. Meskipun demikian, tak kehilangan akal. Ia memberi kode khusus ke dua anggotanya agar menangkap satu orang dari belakang. Begitu pun yang dilakukan Misno dan satu anggota di sampingnya.

“Langsung kita borgol dan kita satukan borgolnya,” terang Misno. Kedua orang itu akhirnya bisa dijatuhkan. Parang ikut terlepas. 

Namun, urusan belum selesai. Tantangan selanjutnya mengadang. Menurut peraturan perundang-undangan, kedua tersangka harus segera dibawa ke penegak hukum dalam waktu kurang dari 24 jam. Misno dan tim menghadapi dilema. Mereka sedang berada di puncak bukit dengan ketinggian hampir 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tidak memungkinkan untuk berjalan selarut itu. 

“Kita jauh dari desa. Mau balik jauh, maju ke depan pun jauh,” batin Misno waktu itu. Akhirnya ia berinisiatif mengontak pimpinan lewat telepon satelit. Mengabarkan kondisi terkini dan meminta dispensasi waktu. Mereka beristirahat di lokasi penangkapan. Duduk berdekatan. Siaga menunggu sampai hari terang. 

Keesokan paginya, kira-kira pukul 06.00, tim patroli dikagetkan kejadian tak terduga. Dalam kondisi diborgol, kedua tersangka nekat melompat ke jurang tak jauh dari situ. Misno dan tim segera mengejar. Namun, karena banyak percabangan jalur, pencarian dalam sehari penuh tidak membuahkan hasil.

Satu-satunya petunjuk adalah perkiraan arah tujuan yang dilihat lewat peta. Ada jalur keluar hutan menuju sebuah desa. Melalui sambungan telepon satelit, Misno meminta bantuan tambahan personel dari kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah V Bohorok. 

Ketika tim gabungan tiba di desa yang dituju, ternyata dua orang itu tidak ditemukan. Mereka hanya menemukan sepasang borgol yang terlepas. Masyarakat setempat melindungi kedua tersangka.

“Saat ini [diketahui] mereka sudah lari ke daerah Jambi karena ketakutan,” jelas Misno.

Penyergapan tim patroli di tengah hutan tersebut memang tidak membawa bukti apa-apa. Hanya membawa logistik pemburu dari kamp yang masih utuh. Tidak terlihat barang bukti buruan, yang biasanya berupa burung-burung dilindungi, seperti rangkong dan murai daun. 

Memergoki pemburu satwa liar di tengah hutan adalah satu dari banyaknya pengalaman “seru” Misno selama menjadi polhut. Lebatnya hutan belantara Leuser tidak sesunyi yang dikira. Entah pemburu, satwa liar, cuaca buruk, atau apa pun. Tersimpan potensi malapetaka yang siap menerkam Misno dan tim patroli saja. Di luar kawasan, mara bahaya yang mengintai tidak kalah sangarnya. 

Bisa kita bayangkan, betapa banyaknya “musuh” Misno dari beragam kalangan.

  • Patroli di Jalan Sunyi
  • Patroli di Jalan Sunyi

SMART Patrol

Usai melihat barang bukti jerat satwa di Visitor Centre Bukit Lawang, kami dikejutkan dengan enam ransel hitam berkapasitas 80—90 liter di teras gedung. Bobot per ransel setidaknya 25—30 kilogram. Kondisinya benar-benar kuyup. Tetesan air tampak masih merembes dari dalam tas.

Misno memanggil enam orang pemilik ransel yang sedang bersantai di warung. Mereka adalah anggota Tim Satu SMART Patrol yang baru pulang patroil. Anak buah Misno, yang terdiri dari Jansen Christopher Ginting (pegawai pemerintah non pegawai negeri/PPNPN TNGL), Bram Umbari (PPNPN TNGL), Ferdinando Batubara (relawan masyarakat mitra polisi hutan/MMP), Ramlan (MMP), Alisyahbana (MMP), dan Cipta Limbong (MMP).

Begitu berkumpul satu meja dan berbincang, barulah ketahuan penyebab basahnya ransel beserta pemiliknya. “Mereka tadi mengombak,” kata Misno. 

Mengombak adalah istilah untuk menghanyutkan diri di sungai. Ransel dijadikan pelampung, mengikuti arus yang deras. Sore itu Tim Satu tiba dua hari lebih awal dari rencana 14 hari. Mereka memutuskan pulang mengombak karena ada personel yang cedera kaki. Sementara jika ditembak lurus, jarak kembali ke kantor resor Bukit Lawang masih sekitar 9—10 kilometer. 

Untuk jarak sejauh itu, walaupun risikonya besar—entah terbentur batu, batang pohon, atau terjebak pusaran—ngombak selama dua jam lebih logis dan menghemat tenaga daripada berjalan kaki dua hari. Itu pun dengan syarat air sungai sedang surut. Jika terlalu besar, mereka harus menunggu keesokan harinya.

Tidak ada trik khusus untuk bisa mengombak selain tetap fokus dan pasrah. “Minimal sudah pasti kakinya kena batu. Tidak bisa dielakkan lagi,” kata Misno.

Selama patroli, Tim Satu SMART Patrol mendapatkan sejumlah data penting. Di antaranya jejak kaki dan pakan satwa, kondisi pal batas kawasan hutan, hingga bekas gubuk milik masyarakat yang mencari ikan di dalam kawasan. Tim tidak menemukan tanda-tanda keberadaan perambah hutan atau pembalak liar. 

“Data ini kita kumpulkan dan kita bawa ke Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah III TNGL untuk dievaluasi,” jelas Misno. Jika kemudian ditemukan kendala lain, misal kasus pembalakan atau perburuan dengan banyak orang, Tim Satu meminta bantuan tambahan personel ke Tim Dua. 

Sesuai namanya, SMART atau Spatial Monitoring And Reporting Tools, merupakan sebuah modul teknis untuk penerapan patroli pintar di kawasan hutan. Dirancang oleh WCS (Wildlife Conservation Society), organisasi nirlaba mitra TNGL.

Jadi, SMART Patrol adalah patroli hutan berbasis data. Terdapat perangkat yang memudahkan tim patroli menghimpun dan menganalisis banyak data di hutan. Termasuk data patroli itu sendiri, lalu keanekaragaman hayati, potensi ancaman, dan rencana aksi darurat di lapangan. Tujuannya untuk efisiensi dan efektivitas. Sehingga Misno dan anggota tim tidak boros energi dan pikiran saat di hutan.

Salah satu rute patroli terjauh yang pernah ditempuh tim SMART Patrol pimpinan Misno adalah dari Bukit Lawang ke Aceh Tenggara. Patroli lintas provinsi. Jarak riilnya bisa mencapai 60 kilometer. Tim bisa melahap jalur sepanjang itu selama 14 hari, atau bahkan 18 hari karena kendala di lapangan yang tak terprediksi. Di tingkat nasional, Misno mengaku tim SMART Patrol TNGL, khususnya wilayah Bohorok—Bukit Lawang, telah mencatat angka 160 kilometer dalam setahun. Tertinggi dibandingkan tim SMART Patrol taman nasional lainnya.

Cuaca ekstrem juga bisa memengaruhi pergerakan tim SMART Patrol. Menurut Misno, beberapa area memiliki medan magnet tinggi. Terutama daerah punggungan yang ditumbuhi banyak pohon damar. Dalam kondisi hujan, tim patroli rawan tersambar petir. 

Bram menyebut dampak lainnya dari cuaca yang tidak bisa diprediksi. “Kalau cuaca agak tinggi [hujan deras] sungai [bisa] banjir, jadi agak payah untuk menyeberang,” ujarnya, “kadang kalau musim kemarau pun, bila kami lagi di punggungan agak sulit dapatkan [sumber] air.”

Adapun gangguan atau kesulitan lainnya, seperti tenda kebanjiran, kemasukan ular atau lipan, mendengar suara harimau dari kejauhan, sudah biasa untuk Misno dan kawan-kawan.

Eksistensi tim SMART Patrol bisa menjadi bentuk kedekatan taman nasional dengan masyarakat di desa penyangga. Misno pun berharap bisa terus bekerja sama dengan masyarakat, agar saling memahami fungsi kawasan hutan konservasi. Bahkan tim SMART Patrol pun tidak sekadar menjalankan tugas pengamanan, tetapi juga berhasil “menginsafkan” mantan pemburu untuk ikut menjadi mitra polisi hutan.

Dari enam anggota Tim Satu, ada dua orang yang direkrut karena mau “bertobat”. Alisyahbana, tukang setrum ikan di Sungai Bohorok; dan Ramlan, mantan pemburu. Nama yang disebut terakhir berhenti total jadi pemburu, setelah Misno melakukan komunikasi dan pendekatan persuasif terus-menerus. 

“Capeklah, Bang. Kan kalau berburu kucing-kucingan terus [dengan petugas],” kata Ramlan. “Alhamdulillah, Bang. Lebih enak kayak begini.”

Mantan pemburu atau perambah yang menjadi tidak hanya aktif terlibat patroli. Misno kadang mengajak mereka ikut kegiatan lain. Misalnya, menjadi fasilitator untuk program-program organisasi nirlaba yang bekerja sama dengan TNGL. Dan tidak menutup kemungkinan mencari mitra-mitra baru lainnya.

Patroli di Jalan Sunyi
Misno bersama anggota Tim Satu SMART Patrol yang baru pulang setelah 12 hari patroli/Mauren Fitri

Bekerja menyentuh kesadaran

Misno sejatinya kasihan dengan para perambah hutan atau pemburu satwa yang ia tangkap. Terutama kelompok berskala kecil. Beberapa di antara mereka adalah saudara atau tetangganya sendiri. Sebagian besar terpaksa melakukannya demi mencukupi kebutuhan perut.

Sebagaimana terjadi di banyak kawasan konservasi yang rawan konflik, faktor ekonomi masih jadi alasan terbesar. “Mereka belum sejahtera,” kata Misno.

Ia memberi satu contoh. Di luar pariwisata, sebagian masyarakat di kawasan penyangga dulunya menanam karet. Sampai kemudian harga karet anjlok. Hasil panen tidak sepadan dengan biaya produksi. Sementara mereka perlu pemasukan tambahan. Butuh biaya untuk hidup, membayar uang sekolah, dan lain sebagainya.

Sebagai jalan keluar, salah satu pilihan termudah saat itu adalah menanam kelapa sawit. Bukan kelapa sawitnya yang menjadi persoalan, melainkan pembukaan lahan yang merambah bagian dalam kawasan. 

Untuk beberapa kasus ringan, terutama pembukaan lahan perorangan yang melebihi beberapa meter dari batas kawasan, Misno menganggap mereka hanya belum tahu saja. Dengan segera dia langsung berkoordinasi ke pemilik lahan. Melakukan sosialisasi dan memberi pemahaman batas kawasan secara tegas.

Adapun penanganan kasus perburuan satwa memang lebih menantang. Terutama yang memiliki nilai ekonomi tinggi di pasar gelap, seperti rangkong, orang utan, gajah, atau harimau. Bagi Misno, lebih menakutkan bertemu dengan manusia (pemburu) daripada satwa-satwa tersebut.

Selama empat tahun, fokus utamanya adalah beradaptasi dan berbaur dengan masyarakat setempat. Berupaya melakukan pendekatan persuasif. Walau memang untuk kasus berat ia bisa sangat tegas dan represif dalam penegakan hukum.

Salah satu rutinitas Misno ketika pulang dan tiba di sebuah dusun pertama di luar kawasan, biasanya ia akan singgah ke beberapa rumah warga. Bersilaturahmi dan sosialisasi kepada satu per satu warga. Dari pintu ke pintu. Kadang-kadang menumpang tidur. Sebagian orang cepat memahami dan menyadari, tetapi tidak sedikit yang prosesnya memerlukan waktu lebih lama. Cara seperti ini ia terapkan sejak menjadi seorang rimbawan biasa sampai sekarang menjabat kepala Resor Bohorok.

Langkah tersebut ampuh untuk menyiasati keterbatasan sumber daya manusia. Misno tak ingin minimnya personel jadi alasan penghambat. Ia seperti bekerja untuk dua tujuan besar, yaitu menjaga hutan sekaligus menyentuh kesadaran masyarakat.

Menjadi pembicara seputar patroli hutan konservasi dalam kegiatan kelompok mahasiswa pencinta alam di ekowisata Batukatak/Deta Widyananda

Perjuangan tanpa akhir

Selepas wawancara di Bukit Lawang, malam harinya (23/09/2023) Misno mengajak TelusuRI ke Batukatak, Lau Damak, Bohorok. Ia hendak mengisi acara organisasi mahasiswa pencinta alam di salah satu tempat camp di daerah wisata tersebut. 

Perjalanan dari kantor Resor Bohorok—tempat kami menginap—menyusuri jalanan yang gelap di antara perkampungan dan perkebunan kelapa sawit. Dari kejauhan tampak pegunungan memanjang yang masuk kawasan TNGL. Di antara gugusan itu, ada satu puncak yang sepintas terlihat lebih menjulang daripada puncak bukit lainnya.

“Puncak itu sudah kami jelajahi. Namanya Tusam Seraga, ketinggian sekitar 1.500-an mdpl.  Ada pilar bikinan Belanda di sana. Banyak [ditemukan] kubangan-kubangan bekas mandi atau minum satwa”, jelas Misno, “jalur ke sana tembus 14 hari [jalan kaki].”

Durasi perjalanan yang disebut Misno menunjukkan tugas patroli hutan tidak bisa dianggap enteng. Belum lagi “pekerjaan rumah” lainnya. Misalnya penanganan kasus jual beli satwa dan kayu ilegal, atau kasus-kasus lain yang semestinya menjadi ranah kerja BKSDA setempat. Misno seperti harus meraga sukma agar mampu menjangkau seluruh kawasan. Apalagi di wilayah kerja yang bahkan lebih luas dari Kota Medan.

Akan tetapi, lagi-lagi, ia merasa terpanggil untuk segera bergerak cepat. Selama atasannya mengizinkan (Kepala BPTN Wilayah III), ia terus tancap gas seperti tidak mengenal kata akhir. Tidak terlihat raut lelah atau keluh kesah. Misno seolah menganggap pekerjaannya sebagai hobi. 

Pengabdian Misno untuk TNGL telah merengkuh seperempat abad hidupnya. Namun, pancaran semangatnya mengisyaratkan ia tak akan berhenti bergerak melindungi hutan Leuser. Alam liar dan kesunyian hutannya justru menjadi sumber energi Misno dan tim andalannya.

Selain patroli rutin, Misno juga gencar bersosialisasi dengan masyarakat. Tanpa menggurui, ia selalu menyelipkan edukasi tentang konservasi. Untuk beberapa kelompok warga yang terkendala kekurangan untuk lebih berdaya, ia upayakan lebih agar mereka memiliki akses ekonomi alternatif. 

“Ya, salah satu contoh [cara] untuk masyarakat sejahtera, kita harus bantu mereka,” tegasnya. Beberapa program sudah berjalan. Antara lain meluncurkan bantuan mikro berkala dari Balai Besar TNGL, membentuk kelompok tani dan ternak, sampai mendorong usaha madu trigona.Sepanjang waktu berhubungan dengan masyarakat, baik untuk kegiatan sosialisasi atau patroli, ia selalu menyelipkan pesan. Singkat saja, “Jagalah hutan.” (*)


Foto sampul:
Misno, polisi hutan senior dan ketua tim SMART Patrol wilayah Bohorok, Taman Nasional Gunung Leuser/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Patroli di Jalan Sunyi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/patroli-di-jalan-sunyi/feed/ 0 40427
Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang https://telusuri.id/belajar-ramah-lingkungan-dari-ecolodge-bukit-lawang/ https://telusuri.id/belajar-ramah-lingkungan-dari-ecolodge-bukit-lawang/#respond Tue, 12 Dec 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40411 Jargon “kembali ke alam” jadi nilai lebih yang ditawarkan Ecolodge Bukit Lawang kepada para tamu yang menginap. Butuh komitmen berkelanjutan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Bukit Lawang sudah lama dikenal sebagai...

The post Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang appeared first on TelusuRI.

]]>
Jargon “kembali ke alam” jadi nilai lebih yang ditawarkan Ecolodge Bukit Lawang kepada para tamu yang menginap. Butuh komitmen berkelanjutan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
Keasrian hutan Bukit Lawang di sekitar ecolodge/Mauren Fitri

Bukit Lawang sudah lama dikenal sebagai objek wisata alam di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Jauh lebih dulu dibanding Tangkahan. Pembukaan stasiun rehabilitasi orang utan oleh Regina Frey dan Monica Borner pada 1973—dengan sponsor dana WWF dan perkumpulan ilmu hewan Frankfurt—jadi awal pengembangan potensi ekowisata di Bukit Lawang.

Beragam daya tarik wisata tersaji di sepanjang aliran Sungai Bohorok. Di antaranya susur sungai dengan tubing, menyusuri hutan (jungle trekking), melihat lebih dekat bunga padma raksasa (Rafflesia arnoldii), mengunjungi pusat konservasi orang utan, tur desa, dan lain sebagainya. Sungai dan hutan menjadi ikon utama, meskipun beberapa operator wisata setempat belum seluruhnya menerapkan prinsip ekowisata secara ideal. Di sisi lain kunjungan wisatawan memang terlalu banyak, bisa mencapai puluhan ribu orang saat akhir pekan. Situasi ini menyebabkan ancaman pada daya dukung lingkungan Bukit Lawang.

Sebagai penunjang aktivitas wisata, keberadaan penginapan menjadi faktor penting bagi turis—domestik maupun mancanegara—yang berkunjung lebih dari satu hari di Bukit Lawang. Kelasnya beragam. Salah satu yang menarik adalah penginapan berkonsep ramah lingkungan (ecolodge). Namun, tidak semuanya konsisten dengan komitmen ramah lingkungan seperti digaungkan.

Di antara sedikit itu, Ecolodge Bukit Lawang jadi yang terdepan memelopori kampanye lingkungan berkelanjutan dari hulu ke hilir. Bobi Chandra (47), manajer hotel, untuk bercerita sekilas latar belakang bisnis, keunggulan, dan tantangan implementasi ramah lingkungan di Ecolodge Bukit Lawang.

Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
Tampilan luar kamar tipe Butterfly yang dikelilingi taman dan pohon-pohon/Ecolodge Bukit Lawang

Garis waktu

Awalnya Ecolodge Bukit Lawang berjalan sendirian, seperti bisnis hotel biasanya. Dibangun dengan nama awal Bukit Lawang Cottage, segmentasinya adalah wisatawan atau tamu-tamu yang memiliki kepedulian lingkungan. 

Pada era 1995—2000, Regina Frey dan Michel Gilbert—turis asal Swiss—bekerja sama dan membuat proposal program bernama Bohorok Sustainable Development Program (BSDP). Program ini mencakup tiga kegiatan, yaitu manajemen lingkungan, pendidikan lingkungan dan riset, serta pariwisata ramah lingkungan. BSDP berjalan di bawah payung Yayasan PanEco, organisasi nirlaba yang didirikan Regina Frey dan berkedudukan di Swiss.

Regina Frey pula yang menginisiasi pendirian Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bohorok. Pembangunan PPLH Bohorok memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran pelestarian biodiversitas alam dan pengelolaan ekowisata secara tepat. Sekarang PPLH Bohorok merupakan sebuah unit yang berada di bawah naungan Yayasan Ekosistem Leuser (YEL). Yayasan ini kemudian mengambil alih atau mengakuisisi Bukit Lawang Cottage—kemudian berubah nama menjadi Ecolodge Bukit Lawang. 

Keberadaan Ecolodge Bukit Lawang sebagai unit bisnis sekaligus sentra pendidikan, berfungsi untuk memfasilitasi segala program konservasi dan lingkungan hidup. Terutama ketika YEL kemudian makin besar dan membawahkan 13 proyek konservasi di Sumatra, dari Aceh sampai Jambi.

“Jadi, diakuisisinya tempat ini [ecolodge] bertujuan menunjukkan ke masyarakat bahwa bisnis hotel dan konservasi bisa jalan seiring,” jelas Bobi. Harapannya menjadi model pariwisata berkelanjutan, terutama di Sumatra Utara.

Saat ini tersedia puluhan kamar berbagai tipe, yaitu Butterfly, Thomas Leaf Monkey, Orangutan, Siamang, dan Hornbill. Setiap kamar dilengkapi perabot serba bambu dan memiliki keunikannya sendiri, disesuaikan dengan karakter tamu yang akan menginap. Beberapa di antaranya menyediakan kamar mandi semi terbuka. Ventilasi pun didesain mampu mengalirkan udara segar masuk dari depan dan belakang kamar.

Semua kamar tidak dibekali pendingin udara berupa air conditioner (AC), tetapi menggunakan kipas angin. Pertimbangannya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Meskipun lokasi terhitung dataran rendah, udara tetap sejuk karena berada di pinggiran hutan hujan tropis Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Pihak manajemen juga memasang kelambu atau mosquito net di setiap kasur, sebagai pelindung tamu dari nyamuk. 

Eksistensi Ecolodge Bukit Lawang sebenarnya diusahakan sebagai contoh penginapan ekologis, begitu Bobi menyebut. Makanya manajemen membatasi penggunaan listrik setiap kamar, termasuk meniadakan televisi dan AC. Keterbatasan yang “dibuat” itu bukan tanpa alasan. Tamu bisa jadi lebih segan—meminjam perkataan Bobi—tidak ujug-ujug masuk kamar membawa speaker besar atau peralatan elektronik lain yang boros listrik.

“Maksudnya kita ngundang masyarakat supaya mereka datang dan menikmati iklim khas tropis seperti itu,” jelas Bobi.

Sejauh ini rata-rata tamu—terutama mancanegara—cukup senang dan memahami konsep yang diusung Ecolodge Bukit Lawang. Walaupun memang, kadang-kadang, ada sejumlah tamu domestik yang tidak bisa lepas dari televisi maupun AC. Keunikan latar belakang tamu memang menjadi tantangan tersendiri bagi Bobi. 

Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
Bagian dalam kamar tipe Orangutan yang cukup luas/Ecolodge Bukit Lawang

Pengelolaan sampah terpadu

Bobi mengklaim Ecolodge Bukit Lawang sudah mengelola waste management dengan baik. “Sampah anorganik kita kumpulkan, lalu diturunkan ke bawah [untuk] diangkut oleh rekan kita ke bank sampah partner [PPLH Bohorok],” jelasnya.

Kemudian untuk sampah organik dipilah menjadi dua kebutuhan. Sampah dari restoran dikirim ke eco-farming untuk asupan makan maggot. Maggot dibudidayakan untuk pakan ayam. Ayam yang diternak selanjutnya akan menghasilkan daging dan telur organik.

Adapun sisa sampah organik lainnya, seperti bonggol nanas, daun pisang, diolah menjadi kompos di alat komposter di bagian belakang ecolodge. “Jadi, boleh dibilang minim sekali sampah yang dihasilkan dari sini,” klaim Bobi.

Begitu pun limbah air yang dihasilkan baik dari kamar tamu maupun restoran. Ecolodge tidak membuang air dari kamar langsung ke sungai. Ada serangkaian proses yang membuat air kotor tersebut benar-benar tersaring, sebelum “melebur” bersama aliran Sungai Bohorok.

“Air dari kamar itu [mengalir] ke septic tank, lalu dari septic tank ke [alat] biofiltrasi, baru [dibuang] ke sungai,” jelas Bobi menjelaskan alur pengelolaan limbah air dari kamar. Biofiltrasi merupakan teknologi yang memanfaatkan mikroorganisme untuk memperbaiki kualitas air. Sehingga limbah air yang terbuang tidak berbau maupun berminyak.

Sementara limbah air yang dihasilkan dari restoran diproses sedikit lebih panjang. Sebelum ke tangki septik dan biofiltrasi, limbah air terlebih dahulu dialirkan melalui grease trap. Grease trap merupakan sejenis unit pipanisasi yang merupakan wadah untuk menangkap minyak dan lemak dari limbah air dapur. Tujuannya agar tidak menyumbat saluran pembuangan dan tidak langsung mencemari sungai.

  • Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
  • Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang

Kapal Bambu Resto

Selain kamar dan sistem pengolahan sampahnya, daya tarik terbesar dari Ecolodge Bukit Lawang adalah Kapal Bambu Resto. Sebuah restoran semi terbuka yang hampir sepenuhnya dibangun dari bambu.

Penggunaan bahan alami tidak hanya menunjukkan indikasi komitmen ecolodge yang ramah lingkungan. Ada juga pesan muatan lokal di dalamnya. 

“Ini seperti kampanye,” terang Bobi, “Sumatra Utara ini kaya bambu. Jadi, kita mengajak kawan-kawan untuk pakai furnitur dari bambu.”

Bambu dipilih karena sifat elastis dan ketahanannya terhadap angin maupun gempa. Sepintas tampak polos, tetapi strukturnya sangat kuat.

Riset Putra dkk. (2020) dalam Analisa Kekuatan Struktur Bambu Pada Pembangunan Entry Building Green School Ubud membuktikan itu. Bambu memiliki kekuatan tarik yang setara  dengan besi baja kualitas sedang, sehingga bisa menggantikan baja beton bertulang. Tidak hanya untuk bangunan sederhana, tetapi juga struktur bangunan yang lebih kompleks. Sifat bambu yang elastis, struktur bambu mempunyai ketahanan yang tinggi baik terhadap angin maupun gempa.

“Restoran kita ini sering digunakan untuk acara sampai [memuat] 80-an orang di lantai atas,” jelas Bobi.

Nilai lebih bambu dibandingkan balok kayu sebagai struktur bangunan adalah ketersediaan bahan baku. Bambu banyak ditemukan tumbuh bebas. Dalam kurun waktu 6—7 tahun sudah bisa dipanen dalam keadaan baik. Sementara jika harus menebang pohon, masih harus menunggu 15-20 tahun untuk tumbuh kembali. 

Dari sisi dapur, sebisa mungkin manajemen menyediakan bahan baku pangan organik. Untuk mendukung itu, Ecolodge Bukit Lawang membuka lahan eco-farming sekitar lima kilometer dari penginapan. Mereka menanam sayur-sayuran, seperti sawi, bayam, kangkung, cabai, dan tomat. Juga buah-buahan, seperti markisa dan ceri. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi makanan, minuman, dan kudapan tanpa penyedap maupun pengawet.

Salah satu tantangan dalam menyajikan kuliner di restoran adalah menghindari penggunaan produk-produk turunan minyak kelapa sawit. “[Kami] bukan anti sawit, ya. Cuma supaya tidak bertabrakan dengan [perjuangan] kawan-kawan yang lain di area hijau yang dikuasai oleh pengusaha sawit, makanya kita dukung dengan tidak menggunakan minyak sawit,” tegasnya.

Meskipun memang penerapannya tidak mudah. Terkadang minyak kelapa tidak selalu ada di pasaran. Kalaupun tersedia harganya bisa mencapai tiga kali lipat dari minyak kelapa sawit. Kerumitan yang dirasakan oleh sebuah penginapan ramah lingkungan memang berbeda dengan hotel biasa, bahkan yang berbintang sekalipun.

Demi kenyamanan bersama, Kapal Bambu Resto tidak membuka ruang sedikit pun untuk tamu yang ingin merokok. Restoran juga tidak menyediakan sedotan minum karena berpotensi menjadi sampah. Pun tidak menggunakan taplak meja. Alasannya setiap tamu selesai makan, maka taplak harus selalu dicuci dan limbahnya bisa mengotori aliran air ke sungai. 

Sumber energi listrik dan timbal baliknya

“Kita masih [sempat] pakai panel surya sampai tujuh tahun lalu. [Tidak dipakai lagi] karena salah analisis dan salah penempatan [instalasi],” ujar Bobi.

Pemasangan panel surya dilakukan sebelum Bobi masuk sebagai manajer. Ia mengatakan letak instalasi berada di ujung penginapan. Dekat dengan hutan. Kondisi tersebut membuat panel surya tidak bisa bekerja maksimal karena tidak cukup cahaya. Setiap pukul dua siang sinar matahari tertutup oleh perbukitan. Ia menilai mestinya panel surya dipasang di atas restoran, yang kemudian malah ditentang arsitek karena alasan estetika.

Alternatifnya, dia sempat mengundang Suroso, pegawai PPLH Seloliman ke ecolodge. Pada masa itu PPLH Seloliman telah berhasil menjual energi listrik mikrohidro ke PLN. Namun, situasi di Bukit Lawang berbeda. Sungai Bohorok sebagai satu-satunya sumber air terbesar, dinyatakan tidak layak secara ekonomis. Walaupun arusnya deras, debit air tidak stabil saat musim kemarau. Mengingat tantangannya berat, maka pembangkit listrik mikrohidro tidak bisa dijadikan pilihan. 

Kondisi tersebut menyebabkan Ecolodge Bukit Lawang tetap menggunakan listrik biasa—berbahan baku batubara. Karena komitmen ramah lingkungan dan berkelanjutan, Bobi menyebut ada biaya yang diambil untuk “dikembalikan” ke alam.

“Jadi, ya, boleh dibilang costing, gaji, dan semua [biaya] itu, lebih dari 40 persen pendapatan kotor [yang diterima], sisanya balik ke kantor untuk program konservasi,” jelas Bobi. Beberapa program itu di antaranya rehabilitasi habitat orang utan, penelitian biodiversitas, hingga pemberdayaan masyarakat lokal. 

“Memang ecolodge ini diusahakan untuk berjalan baik. Membuat bisnis agar bisa menghasilkan revenue untuk mendukung kegiatan konservasi,” tambahnya.

Pemasukan yang tetap dan stabil dari ecolodge, setidaknya mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah, menjadi penyokong utama program-program konservasi yang dijalankan Yayasan Ekosistem Leuser dan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP). 

Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
Pernyataan dukungan konservasi orang utan sumatra di buku menu Kapal Bambu Resto/Deta Widyananda

Komitmen pelibatan masyarakat lokal

Sebagai barometer penginapan ramah ekologis, ecolodge berkomitmen pada kesejahteraan komunitas yang tinggal di kawasan wisata. Baik itu menyerap tenaga kerja di dalam manajemen maupun kerja sama lain. Misalnya, penyediaan bahan baku makanan untuk restoran hingga bidang jasa untuk aktivitas wisata.

Dalam pandangan Bobi, ecolodge tidak hanya memikirkan keberlanjutan lingkungan, tetapi juga di sektor bisnis. Salah satu upayanya adalah melibatkan masyarakat setempat.

“Makanya saya punya kewajiban di sini [untuk] memberdayakan masyarakat lokal,” katanya. Beberapa posisi penting yang menjadi jatah orang lokal antara lain koki, asisten koki, kasir dan pelayan restoran, petugas kebersihan, dan banyak lagi.

Khusus di bagian dapur, Bobi menegaskan banyak mengambil bahan baku pangan di masyarakat. Meskipun jika ingin lebih bersifat sustainable, ia bisa saja membeli ayam atau ikan beku yang bisa dipakai setiap saat. “Cuma enggak boleh, saya harus beli dari orang lokal. Biar orang lokal ada penghasilan dari kita,” ujarnya. 

Kolaborasi dengan masyarakat juga berlaku di sektor jasa. Terutama transportasi dan pemandu wisata. Ecolodge tidak menyediakan mobil operasional khusus untuk melayani tamu. 

“Kita kerja sama dengan kawan-kawan [lokal] yang punya armada. Guide juga begitu,” terang Bobi. 

Pernah suatu ketika ia mengundang 170-an pemandu wisata lokal untuk sosialisasi standar pelayanan ecolodge. Akan tetapi, dari jumlah itu hanya sekitar 20 orang yang memenuhi syarat dan mau mengikuti ketentuan. Seperti dalam paket wisata trekking, mereka harus menggunakan sepatu khusus di hutan, serta membawa perlengkapan dasar obat-obatan.

Di awal kerja sama memang gampang-gampang susah. Karakter orang beragam. Banyak yang datang dengan gaya keras, meminta jasanya harus digunakan. Ada pula yang lembut. Namun, akhirnya manajemen tetap menyeleksi calon partner yang mau mengikuti standar ecolodge. 

Bobi berulang kali memberi arahan tegas, “Jangan merokok di mobil. Jangan terlambat. Jangan ugal-ugalan. Mobil harus bersih, sampai bau badan pun kita ingatkan.” Dan standar-standar dasar pelayanan lainnya. 

Dalam perjalanannya memang Bobi sempat mengalami kendala. Contoh lainnya, ketika mencoba untuk menyajikan kudapan lokal di restoran, seperti keripik pisang atau keripik ubi, tidak berjalan maksimal. Persoalannya terletak pada kurang bagusnya kemasan sehingga makanan tidak tahan lama. (*)

ECOLODGE BUKIT LAWANG
Jl. Bukit Lawang, Sampe Raya, Kec. Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara 20774
Narahubung: +62 812 607 99 83
Email: info@ecolodgebukitlawang.com
Website: https://bukitlawang.ecolodges.id/id/


Foto sampul:
Suasana di dalam Kapal Resto Bambu yang dikelola Ecolodge Bukit Lawang/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/belajar-ramah-lingkungan-dari-ecolodge-bukit-lawang/feed/ 0 40411