sungai subayang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sungai-subayang/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 17 Sep 2024 16:18:59 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 sungai subayang Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/sungai-subayang/ 32 32 135956295 Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara https://telusuri.id/sepasang-mata-piyau-dari-urusan-rumah-tangga-sampai-asmara/ https://telusuri.id/sepasang-mata-piyau-dari-urusan-rumah-tangga-sampai-asmara/#respond Tue, 19 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40605 Hubungan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling dengan piyau sedekat urat nadi yang mengalirkan oksigen dan nutrisi ke tubuh mereka. Hidup mati bergantung pada lembaran-lembaran kayu dan mesin tempelnya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan...

The post Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara appeared first on TelusuRI.

]]>
Hubungan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling dengan piyau sedekat urat nadi yang mengalirkan oksigen dan nutrisi ke tubuh mereka. Hidup mati bergantung pada lembaran-lembaran kayu dan mesin tempelnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Subayang, baik di dalam maupun luar kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling sangat bergantung pada piyau untuk mobilitas setiap harinya/Mauren Fitri

Dalam satu hari, nyaris tidak terhitung piyau hilir mudik melintasi Sungai Subayang. Sungai ini menjadi ruh utama akses masyarakat keluar masuk kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling. Dari Gema, ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu, menuju Pangkalan Serai, desa paling hulu. Begitu pun sebaliknya.

Sebagai satu-satunya alat transportasi, piyau telah “makan asam garam” di Sungai Subayang. Piyau menjadi tumpuan warga mencari ikan, berbelanja kebutuhan rumah tangga, pelesir atau berobat ke pusat kecamatan, hingga mengangkut bahan-bahan bangunan untuk membuat rumah di kampung.

Risiko terbesar yang mereka hadapi adalah kondisi perairan Sungai Subayang bisa berubah-ubah tergantung cuaca. Tidak bisa diprediksi. Jika air terlalu pasang, piyau rawan terhantam batu atau batang pohon yang tidak terlihat karena warna air sedang keruh kecokelatan. Biasanya terjadi saat puncak musim hujan Desember—Januari. Sebaliknya, jika terlalu surut atau dangkal, piyau yang membawa beban terlalu berat akan kandas.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Piyau melintas di Sungai Subayang. Tampak jelas gradasi warna yang menunjukkan perbedaan kedalaman sungai. Seorang motoris harus mampu mengendalikan piyau ketika melewati jalur sungai yang dangkal dan berarus/Deta Widyananda

Tidak hanya saat keperluan belanja, sekolah, atau aktivitas lainnya, tetapi kondisi tersebut juga berisiko tinggi pada masyarakat yang berada dalam darurat kesehatan dan membutuhkan penanganan medis segera. Seorang ibu yang sedang hamil tua akan mengalami kegawatan jika sungai sedang banjir dan arus terlalu deras, sehingga tidak bisa dibawa ke ibu kota kecamatan.

Di sisi lain, jauhnya jarak antardesa dengan pusat kecamatan menyebabkan tingginya ongkos perjalanan piyau. Seumur hidup Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), ninik mamak Desa Tanjung Beringin pun tak luput dari pengalaman dengan piyau. Utamanya ketika hendak membangun tempat tinggal di kampung. Masyarakat di dalam kawasan harus pergi ke Gema, ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu, jika ingin berbelanja bahan bangunan.

“Untuk membuat satu rumah sederhana di Tanjung Beringin,” katanya, “tak terhitung [berapa kali] bolak-balik Gema.”

Meskipun proses pembangunannya tidak sampai satu tahun, biayanya amat tinggi. Menurut Datuk Pucuk, “Yang [bikin] mahal [karena] ongkos transportasinya, [biaya satu rumah] bisa dua kali lipat dari [bangun rumah] di Gema. Kalau di Gema cuma butuh 20 juta, di Tanjung Beringin bisa 40 juta.”

Sebagai gambaran, jarak dari Gema ke Tanjung Beringin sekitar 17—18 kilometer. Waktu tempuhnya dua jam. Makin ke arah hulu, ongkos minyak dan jasa motoris makin mahal. Jika nekat, satu piyau mampu mengangkut delapan sak semen dengan total bobot 400 kilogram.

Lika-liku masyarakat menjalani keseharian di Bukit Rimbang Bukit Baling juga dialami Teguh Ahmad Riyadi (22). Dia adalah motoris piyau yang membawa TelusuRI selama liputan di kawasan tersebut. 

Tidak semua orang bercita-cita jadi motoris

Pertemuan dengan Teguh, sapaannya, bisa dibilang sebagai takdir. Ketika hendak berangkat dan masuk kawasan, tidak banyak motoris yang bisa mengantar karena sudah memiliki agenda lain. 

Sampai akhirnya Indra Rius (30), dubalang muda Tanjung Belit, menemukan satu kenalannya yang tinggal di Desa Gema. Orang itu adalah Teguh, pemuda asal desa hulu, Pangkalan Serai. 

Meskipun masih muda, Teguh cukup berpengalaman. Ia sudah belajar menjadi motoris sejak kelas 2 SMP. Sebagai orang dari daerah hulu yang jalurnya terkenal sangat sulit, penuh jeram deras, dan banyak batu, bisa dibilang ia cukup mumpuni membawa piyau bermesin Kohler 15 PK milik Indecon yang kami pinjam. Seorang fasilitator Indecon, Astin, turut menyertai selama peliputan di Tanjung Belit, Batu Songgan, Tanjung Beringin, dan Terusan.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Teguh, motoris muda asal Pangkalan Serai, dengan gaya santai dan tenang mengantar tim TelusuRI selama liputan di desa-desa dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling/Mauren Fitri

Sepanjang perjalanan menyusuri Sungai Subayang, memang beberapa kali sempat terjadi insiden menegangkan. Misalnya, sempat kandas di perairan Batu Songgan, nyaris terbalik di Aur Kuning, atau menyerempet tebing di dekat Gajah Bertalut. Penyebab utamanya karena arus kencang. Namun, Teguh mampu mengendalikannya dengan baik.

Putra dari Zamris dan Areni itu punya pengalaman romantis dengan piyau. Kisahnya terjadi sudah cukup lama, kira-kira sebelum kepindahan keluarganya dari Pangkalan Serai ke Gema beberapa tahun lalu. Cerita ini ia sampaikan ketika TelusuRI sedang menginap di Tanjung Beringin.

“Dulu mantanku orang Tanjung Beringin,” katanya.

Namanya anak muda zaman sekarang, Teguh dan sang mantan pun pernah mengalami enaknya pacaran. Namun, berbeda dengan anak-anak di kota, Teguh tidak mungkin berjumpa dengan pacarnya untuk nge-date dengan sepeda motor. Satu-satunya jalan penghubung antardesa di Bukit Rimbang Bukit Baling adalah Sungai Subayang. Satu-satunya alat transportasi yang dipakai adalah piyau.

Dari dua kesempatan nge-date dengan piyau, ada satu yang paling berkesan buat Teguh. Ia pernah secara sengaja menyempatkan diri mampir ke Tanjung Beringin. Idenya mengajak sang pacar jalan-jalan naik piyau ke salah satu pulau di sekitar Sungai Subayang.

Mereka pun pergi ke pulau tersebut. Berdua saja. Konsepnya memang serupa piknik. Selepas perahu ditambatkan ke batang pohon, Teguh mencari ikan sungai lalu membakarnya untuk disantap bersama-sama. Bayangkan suasana syahdu seperti ini. Menikmati waktu dengan orang terkasih, ditemani kecipak air sungai yang jernih, di tengah hutan belantara pula. 

Sayang, keindahan hubungan keduanya tidak bertahan lama. Namanya juga anak muda. Kami sempat berasumsi, jangan-jangan pengalaman itu pula yang membuat Teguh akhirnya enggan mencari uang dengan menjadi motoris piyau sepenuhnya.

Namun, ternyata ia punya jawaban lain, “[Saya] mulai meninggalkan dunia motoris, karena risikonya besar.”

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Raut lega Teguh ketika sudah keluar kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Di hari itu, sempat terjadi insiden menegangkan. Di perairan Sungai Subayang yang berarus deras dan dangkal dekat Batu Songgan, ia menceburkan diri dan menahan laju piyau agar tidak menabrak tebing dan piyau lain dari arah berlawanan/Rifqy Faiza Rahman

Teguh cukup kenyang dengan pengalaman tenggelam, tabrakan, mengalami luka, dan kehabisan minyak [bahan bakar] di tengah perjalanan dengan piyau. Ia merasa keahliannya sudah cukup dan hanya akan menjadi motoris untuk keluarganya saja. Alasan lain adalah karena seluruh keluarganya sudah pindah rumah di Desa Gema. Paling hanya satu atau dua kali dalam setahun mereka akan pulang kampung ke hulu. 

“Untuk ke depannya sih, pengin bikin rumah sendiri di Gema. Terus buka usaha sendiri, seperti kedai grosir [sehingga] yang dari atas [Bukit Rimbang Bukit Baling] bisa belanja ke rumah,” angan Teguh.

Mengenal sekilas Bogok, seniman piyau legendaris

Kisah-kisah unik yang berkaitan dengan piyau, tentu tidak lepas dari peran piyau itu sendiri dan sosok pembuatnya. Dari cerita Teguh, diketahui sebenarnya ada tiga desa pengrajin piyau di dalam kawasan Bukit Rimbang Bukit Baling. Namun, ia mengakui jika pengrajin yang terbaik dari yang terbaik ada di Desa Terusan. Di desa ini pelopor pembuatan kerajinan piyau adalah Nasaruddin atau Bogok (63). Ia merupakan salah satu dari tiga pengrajin di Terusan, yang tidak lain masih terhitung kerabatnya juga.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Bogok sedang mengerjakan pesanan piyau di tempat kerjanya, Desa Terusan, kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Ia memotong balok kayu dengan senso untuk dijadikan bilah-bilah papan, sebelum direkatkan menjadi lambung atau badan piyau/Deta Widyananda

“Saya [mulai] membikin piyau tahun 1978,” kata Bogok, “yang mengajarkan kakek saya. Namanya Nenan.” Kini ia masih produktif bekerja membuat piyau, dibantu oleh putra menantunya, Atur dan cucunya, Reinaldi. 

Bogok memproduksi piyau berdasarkan pesanan. Ukurannya juga tergantung jenis mesin tempel yang akan dipakai sebagai sumber tenaga kemudi oleh pemesan. Di kalangan masyarakat Bukit Rimbang Bukit Baling, ada dua jenis piyau yang populer dan dikategorikan berdasarkan merek mesin tempelnya, yakni Robin dan Johnson. Meski sekarang kedua merek tersebut tidak lagi “monopoli” kancah permesinan kapal karena sudah ada alternatif lain, masyarakat masih sering menyebut namanya.

Piyau jenis Robin dengan kapasitas tenaga mesin di bawah 20 PK, atau mengacu ukuran standar Bogok berukuran panjang 8,5 meter, bisa mengangkut 3—5 penumpang. Di luar barang bawaan. Beban maksimalnya 300 kilogram. Bogok menjualnya di kisaran 5—6 juta rupiah. Meskipun daya tampungnya kecil dan lambat, piyau Robin lebih lincah saat melewati arus atau jeram di antara bebatuan. 

Sedangkan piyau Johnson berukuran lebih panjang dan lebar. Bisa mengangkut lebih banyak orang. Harganya berkisar 8—12 juta rupiah. Meski kapasitas mesinnya besar—mencapai 25 PK—dan lebih cepat, piyau Johnson tidak selincah Robin saat melewati jalur sempit dan dangkal. Biaya pembuatan kedua jenis piyau tersebut belum termasuk pemasangan aksesoris tambahan, seperti atap atau kursi.

Menurut Bogok ada sejumlah jenis kayu yang bisa dijadikan bahan baku piyau, antara lain medang, kempas, punjung, dan meranti. “Yang paling bagus medang,” katanya. Biasanya Bogok mengambil bahan kayu dari dalam hutan di sekitar Desa Terusan. Ia membutuhkan setidaknya enam sampai delapan batang kayu untuk satu piyau Robin. Namun, jika kesulitan bahan, ia mencari dan membeli kayu dari luar kawasan seharga Rp2,5 juta untuk membuat satu piyau. Dalam sebulan Bogok bersama menantu dan cucunya mampu membuat 2—4 piyau. Artinya, setiap piyau bisa selesai dalam waktu satu minggu.

Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara
Bentuk dasar lambung piyau yang hampir jadi. Sehari-hari Bogok bekerja dibantu menantunya (paling kiri) dan cucunya (tengah). Piyau buatan Bogok terkenal berkualitas karena pilihan kayu, kerapian pahatan, dan daya tahannya terhadap air maupun benturan/Deta Widyananda

Usia pemakaian piyau tergantung perawatan. Rata-rata satu piyau bisa awet setidaknya 3—4 tahun, karena bagusnya kualitas kayu yang tahan air dan benturan. Walau terkadang belum sampai dua tahun mereka akan ganti piyau baru. 

Salah satu ciri khas piyau buatan Bogok adalah motif garis tegas di bagian lambungnya. Seperti ada goresan dalam dan diberi pewarna cat. Selain itu yang paling menarik adalah ornamen di bagian kepala atau disebut pompang. Seolah menjadi sepasang mata piyau ketika berjalan memecah arus sungai. Ukirannya menunjukkan karakteristik budaya Kenagarian Terusan. Desa pengrajin piyau lainnya juga memiliki ornamennya sendiri.

Menanggapi produksi piyau yang menggunakan bahan baku kayu dari hutan, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (BBKSDA) Riau, Genman Suhefti Hasibuan, S.Hut, M.M. (50) mengatakan, “Sepanjang piyau diproduksi secara tradisional untuk alat transportasi masyarakat yang ada di sana, maka hal tersebut dimungkinkan.”

Pihaknya terus berusaha melakukan pendekatan sosialisasi dan edukasi ke masyarakat pengrajin piyau. Sembari terus meminta dan mengawasi agar tidak sampai terjadi komersialisasi skala besar dan mengirim bahan baku ke luar kawasan.

Saat ini BBKSDA Riau sedang bekerja sama dengan lembaga masyarakat sipil, untuk mengatur kembali tata kelola blok khusus 17.348,50 hektare yang bisa digunakan masyarakat kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling. Termasuk memuat ketentuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. (*)


Foto sampul:
Piyau-piyau milik warga bersandar di pulau berbatu di pinggiran Sungai Subayang, Desa Tanjung Belit, Kampar, Riau/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sepasang Mata Piyau: Dari Urusan Rumah Tangga sampai Asmara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sepasang-mata-piyau-dari-urusan-rumah-tangga-sampai-asmara/feed/ 0 40605
Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin https://telusuri.id/hidup-dikandung-adat-di-tanjung-beringin/ https://telusuri.id/hidup-dikandung-adat-di-tanjung-beringin/#respond Mon, 18 Dec 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40581 Selama ratusan tahun, norma adat menjadi acuan hidup turun-temurun masyarakat Tanjung Beringin. Pelestarian tradisi di masa depan jadi tantangan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Sebagai salah satu desa di kawasan Suaka...

The post Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin appeared first on TelusuRI.

]]>
Selama ratusan tahun, norma adat menjadi acuan hidup turun-temurun masyarakat Tanjung Beringin. Pelestarian tradisi di masa depan jadi tantangan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


  • Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin
  • Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin

Sebagai salah satu desa di kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling, topografi kampung Tanjung Beringin cukup unik. Posisinya berada di sudut siku belokan ke arah hulu aliran Sungai Subayang. Di muka gapura desa, terhampar pulau penuh batu yang saat surut terlihat jelas. Menjadikan jalur piyau menyempit hampir sepertiganya. 

Perkampungan Tanjung Beringin terbagi menjadi dua lokasi. Kawasan paling padat terletak di sisi barat sungai. Masjid besar dan gedung sekolah dasar ada di sini. Sementara kantor kepala desa, lapangan sepak bola, dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berada di timur sungai. Saat ini sudah tersambung dengan jembatan gantung sepanjang 100 meter, bantuan dari Pemerintah Kabupaten Kampar.

Rata-rata penduduk Tanjung Beringin berprofesi sebagai petani sayur, karet, dan tanaman nonkayu lainnya, seperti petai. Sisanya menjadi wiraswasta, nelayan, pegawai pemerintah, tenaga pendidik, dan pedagang. Sebagian di antara mereka tidak bekerja di desanya sendiri, tetapi di pusat kecamatan maupun Bangkinang, ibu kota Kabupaten Kampar.

Tanjung Beringin merupakan bagian dari Kerajaan Gunung Sahilan, yang diperkirakan berdiri sekitar abad ke-17. Berdirinya Kerajaan Gunung Sahilan pun tidak dapat dipisahkan dari Kerajaan Pagaruyung, yang dahulu eksis di bagian tengah Sumatra. Sekarang wilayahnya menjadi Sumatra Barat, sebagian Riau, dan sisanya pesisir barat Sumatra Utara.

Salah satu jejak tersisa Kerajaan Gunung Sahilan saat ini adalah bangunan Istana Darussalam dengan arsitektur serba kayu dan semi panggung yang terletak di Dusun Koto Dalam, Desa Sahilan Darussalam, Kecamatan Kampar Kiri. Kini bekas tempat tinggal raja dan keluarganya itu berfungsi sebagai tempat musyawarah adat atau pesta rakyat. 

Di tengah keterbatasan, masyarakat Tanjung Beringin terbilang masih kuat memegang adat. Beberapa ritual atau tradisi pokoknya masih dilakukan sampai sekarang, bahkan menjadi salah satu daya tarik wisata.

Kenagarian Malako Kociak

Desa atau wilayah kenagarian Tanjung Beringin dipimpin oleh dua ninik mamak (pemimpin atau pemangku adat), yaitu Datuk Pucuk yang berkuasa dan mengurus wilayah darat dan Datuk Sinaro yang berkuasa dan mengurus wilayah sungai atau perairan. Di bawah Datuk Pucuk dan Datuk Sinaro, masih ada lima ninik mamak dari lima suku, yang terhitung masih keponakan dengan keduanya. Selain mengawal adat, Datuk Pucuk dan Datuk Sinaro akan membantu penyelesaian masalah masyarakat atau lingkungan, jika tidak ditemukan solusi dari kelima ninik mamak tadi.

Meski memiliki nama asli Kenagarian Malako Kociak, dahulu Tanjung Beringin sempat sempat lama menyandang nama Kenagarian Miring. Menurut ingatan Ajis Manto atau Datuk Pucuk (55), ninik mamak Datuk Pucuk Tanjung Beringin, yang diserap dari cerita warisan leluhurnya, makna miring berarti tidak sempurna dan tidak sehat lagi. 

Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin
Ajis Manto atau Datuk Pucuk, ketua adat Desa Tanjung Beringin. Keberadaannya berperan penting untuk menjaga norma bermasyarakat, keasrian sungai dan hutan dengan tradisi dan aturan-aturan adat/Mauren Fitri

Sebabnya dahulu masyarakat pernah menolak dan tidak menghormati kedatangan Raja Gunung Sahilan. Sang raja pun murka dan bersumpah, yang berakibat pada musibah berupa wabah penyakit dan menewaskan banyak warga. Kemudian di kunjungan berikutnya, raja melihat masyarakat tidak mampu lagi menyelamatkan diri sehingga ia memaafkan perlakuan rakyatnya di masa lampau. Meskipun begitu, nama Kenagarian Miring tetap bertahan selama beberapa dekade. 

Pada tahun 2017, Tengku Muhammad Nizar, dinobatkan oleh Raja Adat Gunung Sahilan sebagai raja ke-12 pewaris Kerajaan Gunung Sahilan di Istana Darussalam. Dia adalah putra langsung dari Tengku H. Ghazali, raja ke-11 yang sudah meninggal sejak 1975. Sudah 42 tahun takhta mengalami kevakuman. Tengku Muhammad Nizar selanjutnya menyetujui usulan para ninik mamak Tanjung Beringin. Ia mencabut nama Miring dan mengubahnya ke nama asalnya, yakni Kenagarian Malako Kociak.

Tidak hanya Tanjung Beringin, tetapi juga desa-desa di dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling berada di bawah administrasi adat Kekhalifahan Batu Songgan. Desa Batu Songgan dan Tanjung Beringin bertetangga, dipisah oleh jalur sungai sejauh 4,8 kilometer atau hampir satu jam naik piyau (sejenis sampan). Di luar Batu Songgan, terdapat empat kekhalifahan lainnya adalah Kuntu, Ludai, Ujung Bukit, dan Kampar Kiri.

Meskipun sudah melebur ke dalam administrasi pemerintahan dan hukum sipil, para ninik mamak (pemimpin adat) masing-masing desa tetap melakukan pertemuan adat secara berkala selama satu kali dalam enam bulan. Khusus di kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, segala persoalan tentang hutan, sungai, maupun keluhan masyarakat dibahas dalam pertemuan bersama yang dipimpin oleh ninik mamak di Batu Songgan. 

Lubuk larangan, sema rantau, dan hutan larangan

Menurut Datuk Pucuk—gelar sapaan Ajis Manto—pemberlakuan adat di setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat semata agar merawat harmonisasi dengan alam yang menjadi sumber penghidupan. “Kita pesan kepada masyarakat supaya menjaga hutan dan kemudian menjaga sungai,” ujarnya.

Sebagai upaya melestarikan tradisi dan alam, para ninik mamak dan penduduk setempat menetapkan sejumlah aturan adat. Salah satunya lubuk larangan.

Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin
Seorang pria melempar jala dari atas piyau ke dalam Sungai Subayang saat proses pembukaan lubuk larangan. Tradisi ini berlaku serentak untuk setiap desa di luar maupun dalam kawasan SM Bukit Rimbang Bukit Baling, termasuk Tanjung Beringin/Vita Cecilia Chai

Ditilik dari etimologinya, lubuk berarti bagian air dalam atau palung sedalam 3—5 meter di sungai, yang umum jadi tempat ikan bertelur dan berkembang biak. Kawasan lubuk tersebut hanya dibatasi dengan tali melingkar dan warga dilarang keras mengambil ikan selama masa lubuk larangan atau sebelum waktu panen yang ditentukan. Seperti menguji kejujuran warganya sendiri. Mereka tidak berani mencuri kesempatan karena takut terkena karma. 

Pembukaan lubuk larangan dilakukan selama satu kali dalam satu tahun. Tergantung kondisi cuaca. Lazimnya digelar pada musim kemarau tatkala air sungai sedang surut. “Tapi kalau seandainya cuaca kurang mengizinkan, kita tunggu sampai airnya dangkal,” katanya, dan harus berdasarkan kesepakatan ninik mamak dengan masyarakat.

Lubuk larangan adalah panen raya ikan dan pesta rakyat terbesar masyarakat di kawasan Bukit Rimbang Bukit Baling. Acara lubuk larangan biasanya diselenggarakan bergilir setiap desa dan dihadiri oleh pemerintah setempat. Para wisatawan juga dipersilakan bergabung untuk menangkap ikan atau disebut mancokau.

Alat yang diizinkan untuk menangkap ikan adalah peralatan tradisional, seperti jala, pancing, atau bahkan dengan tangan kosong. Ikan yang boleh ditangkap hanya yang berukuran besar, jika dapat yang kecil harus dikembalikan ke sungai. Beberapa jenis ikan lokal yang sering didapat dari lubuk larangan merupakan menu konsumsi utama, antara lain baung, selimang, salai, kapiek, dan ikan sungai air tawar lainnya. Ikan-ikan inilah yang kemudian dilelang dan dibeli oleh seluruh lapisan masyarakat. Terutama yang berasal dari luar kawasan, seperti turis, perangkat pemerintahan, pengusaha, dan lain sebagainya.

Datuk Pucuk mengakui, konsep festival wisata untuk prosesi pembukaan lubuk larangan menunjukkan kepada orang-orang bahwa tradisi tersebut masih ada, sekaligus sangat membantu menambah pendapatan desanya. “Boleh jadi tujuan dan maksud lubuk larangan itu terutama sekali kita manfaatkan hasilnya untuk pembangunan prasarana ibadah dan kegiatan pemuda di bidang olahraga,” jelasnya.

Lubuk larangan sekaligus menjadi momen berkumpulnya keluarga. Khususnya yang tinggal di luar desa atau perantauan di luar pulau. Mereka pulang ke kampung halaman, bersilaturahmi dan makan hasil tangkapan ikan bersama-sama.

Datuk Pucuk menambahkan, lubuk larangan dilaksanakan bersamaan dengan momen Sema Rantau Sema Nagari. Sema Rantau Sema Nagari merupakan tradisi warisan nenek moyang yang mengakar kuat dan tidak pernah ditinggalkan oleh masyarakat Tanjung Beringin. 

“Jadi, setiap tahunnya kita adakan pemotongan kerbau dan ziarah kubur,” ungkap Datuk Pucuk, “kita antarkan kepala kerbau itu kita antarkan dan kita masukkan ke dalam sungai [sambil didoakan], sampai di perbatasan Tanjung Beringin dengan kenagarian tetangga kita, yaitu Gajah Bertalut.” Jaraknya sekitar tujuh kilometer ke arah hulu dengan waktu tempuh satu jam naik piyau.

  • Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin
  • Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin

Tujuan ritual Sema Rantau Sema Nagari, mengutip pernyataan Datuk Pucuk, tak lain untuk menolak bala dan mencegah musibah. Memohon kepada Allah Swt. agar kampung aman dari gangguan. Pun ketakutan-ketakutan masyarakat tatkala masuk ke sungai dan hutan, yang jadi sumber penghidupan masyarakat. Di dalamnya memuat pula pesan supaya masyarakat tidak melanggar pantangan-pantangan adat yang ada, sekalipun dilakukan sembunyi-sembunyi. 

Adapun ziarah kubur yang dituju adalah makam Datuk Pagar dan Datuk Darah Putih. Sepanjang pengetahuan Datuk Pucuk, Datuk Darah Putih-lah yang diyakini tokoh pembuka kampung Tanjung Beringin. Sementara Datuk Pagar hidup di era setelahnya, yang tugasnya mengawal dubalang (penjaga hutan) alam, yaitu Datuk Belang. Kuburannya berada di utara kampung, terletak di lereng bukit menuju puncak Bukit Sakti.

Satu lagi aturan adat dan potensi Tanjung Beringin yang sedang digagas adalah hutan larangan. Meskipun sedang terkendala vakumnya aktivitas kelompok sadar wisata (pokdarwis), Datuk Pucuk menegaskan pasti akan ada penetapan hutan larangan dan sudah menentukan lokasinya.

“Kalau rencana kami, [lokasi] itu berdampingan dengan Bukit Sakti. [Tujuannya] untuk penjagaannya [hutan] lebih dekat, supaya masyarakat kita tidak berani lagi mengolah kayu di sana,” jelas Datuk Pucuk.

Menurutnya, jika ada kegiatan menebang dan mengolah kayu dengan senso akan terdengar oleh warga di kampung sehingga mudah ditangani. Sedangkan Bukit Sakit adalah lokasi potensial untuk rencana pengembangan ekowisata terbatas, baik itu trekking maupun camping, sehingga diharapkan bisa mengangkat perekonomian masyarakat.

Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin
Keasrian hutan Bukit Sakti berpotensi menjadi daya tarik wisata ramah lingkungan yang dikelola oleh kelompok sadar wisata (pokdarwis) Desa Tanjung Beringin, sebagai salah satu sumber ekonomi alternatif masyarakat/Rifqy Faiza Rahman

Memperluas jangkauan budaya Tanjung Beringin

Sampai saat ini, belum pernah terdengar konflik satwa harimau sumatra dengan manusia di Tanjung Beringin maupun desa-desa lain. Ini diperkuat oleh pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau. 

Kepala Bidang Teknis BBKSDA Riau, Ujang Holisudin (46), menyatakan nihilnya kasus serangan harimau sumatra ke manusia bisa diartikan masih terjaganya tutupan hutan dan sumber makanan primernya. Masyarakat juga sudah bisa hidup berdampingan dengan satwa liar yang menghuni hutan maupun sungai.

Dalam pandangan Datuk Pucuk, “Kalau masalah hubungan manusia dengan hewan dan hutan, karena sebetulnya binatang-binatang itu juga adil sama manusia. Kalau seandainya masyarakat kita tidak ada yang melanggar hukum adat, pasti binatang [harimau] itu datang pun tidak akan merencanakan untuk membinasakan manusia.”

Terlepas dari perbuatan ilegal sekelompok orang di dalam kawasan, yang sebenarnya memiliki konsekuensi hukum adatnya sendiri, Datuk Pucuk menilai peraturan adat bisa menjadi rambu-rambu keseharian masyarakat. Baik saat bekerja maupun beribadah. 

Adat adalah warisan nenek moyang yang harus terus dijaga dan dilestarikan. “Kalau seandainya hutan kita rusak, sungai kita ganggu, dampaknya nanti kepada cucu dan keponakan kita turun-temurun,” ujarnya.

Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin
Ibu-ibu menjadi pemain gamelan tradisional khas Batu Songgan saat acara pembukaan lubuk larangan. Pada zaman Kerajaan Gunung Sahilan, Batu Songgan merupakan kekhalifahan bagi desa-desa atau kenagarian di bawahnya, termasuk Malako Kociak atau Tanjung Beringin. Hiearki adat ini masih berlaku dan harus dilestarikan sampai sekarang/Vita Cecilia Chai

Di sisi lain, meskipun adat masih melekat kuat, Datuk Pucuk mengaku menghadapi tantangan yang tidak mudah untuk melestarikan tradisi khas Tanjung Beringin di masa depan. Ia merasa perlu untuk melebarkan jangkauan informasi potensi seni dan budaya Tanjung Beringin.

Terutama penyelenggaraan Sema Rantau Sema Nagari. Ia memandang pentingnya pembentukan panitia atau lembaga khusus yang mengurus tradisi dan kekhasan Tanjung Beringin.

“Kita kan ingin, istilahnya, menunjukkan [kepada masyarakat luas] bahwa kita itu punya budaya, punya seni,” ujar Datuk Pucuk. Ia ingin saat Sema Rantau Sema Nagari ada rangkaian acara kebudayaan dan kesenian, misal pertunjukan batimang atau permainan calempong, sehingga masyarakat tidak hanya datang saja untuk melihat ritual wajib semata—mencakup potong kerbau dan ziarah kubur.

Tak hanya itu saja. Khazanah obat-obatan tradisional Tanjung Beringin juga perlu mendapat sorotan lebih, karena bagian tak terpisahkan dari adat. Ada ninik mamak yang memiliki keahlian sebagai dukun obat, sehingga masyarakat bisa memanfaatkannya sebagai pencegahan dan pengobatan.

Desa ini memiliki sebaran tanaman herbal liar yang bisa digunakan mengobati penyakit-penyakit tertentu. Daun kunyit hutan untuk panas dalam. Daun karuk (dalam bahasa Melayu kaduk) untuk keseleo, asma, sakit perut. Daun sambung nyawa untuk asam lambung—beberapa literatur menyebut bisa meredakan kanker, diabetes, dan hipertensi. Lalu ada juga peredam demam, flu, dan batuk dari daun capo, sidingin, atau kumpai; khusus untuk bayi bisa menggunakan daun bunga sepatu.

Secara implisit, keinginan Datuk Pucuk tersebut menunjukkan potensi ekonomi alternatif yang bisa menyadarkan sejumlah oknum masyarakat pembalak atau perambah. Ada jalan yang lebih baik tanpa harus melanggar peraturan adat maupun kawasan konservasi.


Foto sampul:
Foto udara permukiman Desa Tanjung Beringin di pinggiran Sungai Subayang. Desa ini termasuk dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling dan masih memiliki tradisi maupun aturan-aturan adat yang cukup kental/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hidup Dikandung Adat di Tanjung Beringin appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hidup-dikandung-adat-di-tanjung-beringin/feed/ 0 40581