surabaya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/surabaya/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:08:56 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 surabaya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/surabaya/ 32 32 135956295 Road to ARTJOG 2025: Hadir Dahulu di Surabaya bersama Jompet Kuswidananto dan Ayos Purwoaji https://telusuri.id/road-to-artjog-2025-hadir-dahulu-di-surabaya-bersama-jompet-kuswidananto-dan-ayos-purwoaji/ https://telusuri.id/road-to-artjog-2025-hadir-dahulu-di-surabaya-bersama-jompet-kuswidananto-dan-ayos-purwoaji/#respond Tue, 22 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46738 Jelang pelaksanaan pameran rutin tahunan pada Juni mendatang di Jogja National Museum, Yogyakarta, ARTJOG terlebih dahulu singgah di Surabaya melalui program Road to ARTJOG 2025, setelah tahun lalu hadir di Jakarta. Program ini menggandeng Jompet...

The post Road to ARTJOG 2025: Hadir Dahulu di Surabaya bersama Jompet Kuswidananto dan Ayos Purwoaji appeared first on TelusuRI.

]]>
Road to ARTJOG 2025: Hadir Dahulu di Surabaya bersama Jompet Kuswidananto dan Ayos Purwoaji
Poster utama ARAK-ARAK: Midnight Haze and The Drifting Flocks/ARTJOG

Jelang pelaksanaan pameran rutin tahunan pada Juni mendatang di Jogja National Museum, Yogyakarta, ARTJOG terlebih dahulu singgah di Surabaya melalui program Road to ARTJOG 2025, setelah tahun lalu hadir di Jakarta. Program ini menggandeng Jompet Kuswidananto, seniman asal Yogyakarta, dan Ayos Purwoaji, penulis dan kurator asal Surabaya. Pameran bertajuk ARAK-ARAK: Midnight Haze and The Drifting Flocks akan berlangsung mulai 19 April hingga 3 Mei 2025 di Pasar Tunjungan, Surabaya.

“Kota Surabaya kami pilih sebagai bagian dari perjalanan Road to ARTJOG bukan hanya karena sejarah panjang yang dimiliki kota ini, tetapi juga sebagai bentuk penghargaan kepada publik Surabaya yang selama ini telah menjadi bagian dari perjalanan dan pertumbuhan ARTJOG,“ ungkap Heri Pemad, pendiri sekaligus Direktur Utama ARTJOG.

Pameran Arak-Arak: Midnight Haze and The Drifting Flocks merupakan kali pertama Jompet Kuswidananto berpameran di Kota Pahlawan. Ia menempatkan 21 karya pada lantai tiga Pasar Tunjugan yang telah lama terbengkalai, dengan luas lebih dari 1.700 m2. Momen ini sekaligus menjadi sarana perjalanan lintas waktu melalui karya-karya yang lahir dalam rentang 2001-2025. Jompet juga menciptakan sejumlah karya baru yang terinspirasi langsung dari dinamika sejarah perjuangan dan kehidupan masyarakat di Surabaya.

Tentang ARTJOG

ARTJOG adalah salah satu agenda seni rupa kontemporer berskala besar di Indonesia. Sebelumnya terlahir dengan nama Jogja Art Fair (JAF) pada 2008, kemudian pada 2010 berganti sebagaimana dikenal saat ini. Perhelatan ini bersifat terbuka dan konsisten berinovasi dan berevolusi, baik dari segi gagasan maupun bentuk. Inklusivitas ini membuat kehadiran ARTJOG selalu dinanti-nanti setiap tahunnya oleh berbagai kalangan. Tidak hanya pegiat seni, tetapi juga publik dalam lingkup global.

Keberadaan ARTJOG berperan penting bagi ekosistem seni rupa. Sebab, setiap pelaksanaannya menjadi pemantik bagi ruang-ruang independen, galeri, dan komunitas di Yogyakarta dan kota di sekitarnya dalam membuat pameran dan kegiatan seni.

Mengemas perhelatan seni rupa kontemporer menjadi tontonan yang populer sekaligus menjadi sarana pendidikan, ARTJOG  juga berhasil menjadi katalisator dalam mengembangkan aspek pariwisata berbasis seni. Dalam praktiknya, ARTJOG juga selalu memberikan warna baru pada setiap tahunnya. Melakukan kolaborasi dan membuka pandangan baru bersama para pegiat seni untuk menciptakan ruang-ruang yang lebih luas dan berdampak bagi khalayak dalam berbagai aspek. 

ARTJOG 2025 – Motif: Amalan

ARTJOG berkolaborasi dengan Hendro Wiyanto, seorang kurator dan penulis yang berbasis di Jakarta. Ia menjadi anggota tim kurator dari 2023 hingga 2025 dan menggagas tema ‘Motif’. Setelah ‘Motif: Lamaran’ di tahun 2023 dan ‘Motif: Ramalan’ pada tahun 2024, tahun ini ARTJOG sampai pada bagian akhir dari trilogi ‘Motif’, yaitu ‘Motif: Amalan’.

Tema tersebut mengeksplorasi pertanyaan apakah seni dan praktik seni dapat dipahami sebagai tindakan baik atau amalan. ‘Motif: Amalan’ menata ulang pandangan konvensional nilai seni, yang sering kali mengedepankan nilai estetika. ARTJOG 2025 mendorong eksplorasi peran seni di luar batasan ‘Dunia Seni’, serta mempertimbangkan nilai praktik seni sebagai bentuk kebaikan kepada masyarakat yang lebih luas. 

ARTJOG Motif: Amalan akan diselenggarakan pada 20 Juni–31 Agustus 2025 di Jogja National Museum, Yogyakarta dengan melibatkan 48 seniman dewasa dalam program pameran serta 44 anak dan remaja dalam program ARTJOG Kids. ARTJOG tahun ini juga akan menghadirkan dua karya seniman komisi, yaitu Anusapati (Yogyakarta) dan REcycle EXPerience (Bandung). Selain itu, hadir pula tiga special project, yaitu Murakabi Movement (Yogyakarta), Ruang Rupa (Jakarta), dan Devfto Printmaking Institute (Bali). Tak hanya pameran seni rupa, ARTJOG juga menawarkan berbagai pengalaman menikmati dan merayakan seni melalui program pendukung, seperti Love🤟ARTJOG, performa•ARTJOG, Curatorial Tour, Meet The Artist, dan Jogja Art Weeks. 

Informasi untuk Pengunjung

Road to ARTJOG 2025 – ARAK-ARAK: Midnight Haze and The Drifting Flocks
Seniman: Jompet Kuswidananto 
Penulis: Ayos Purwoaji
Tanggal pelaksanaan: 19 April–3 Mei 2025
Lokasi: Pasar Tunjungan, Lantai 3,  Jl. Tunjungan No. 30, Genteng, Surabaya

Jam Operasional:
Sabtu, 19 April 2025, pukul 19.00–2.00 WIB
Minggu, 20 April–Sabtu, 3 Mei 2025, pukul 10.00–22.00 WIB (kunjungan terakhir pukul 21.00 WIB)

Tiket Masuk:
Rp45.000,00/orang (Tiket single Road to ARTJOG Surabaya)
Rp90.000,00/orang (Tiket bundle Road to + ARTJOG 2025–Motif: Amalan di Jogja National Museum, Yogyakarta)
Tiket dapat dibeli langsung di lokasi (nontunai) atau melalui www.artjog.id 

Narahubung:
Athia Alamanda (Surabaya) | +62 812 3511 3644 | artchemist.info@gmail.com 
Amelberga Astri P. (Yogyakarta) | +62 818 0274 0296 | publikasi.artjog@gmail.com 
Informasi lebih lanjut bisa dicek berkala di Instagram @artjog.id dan X @artjog


(Foto sampul oleh ARTJOG)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Road to ARTJOG 2025: Hadir Dahulu di Surabaya bersama Jompet Kuswidananto dan Ayos Purwoaji appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/road-to-artjog-2025-hadir-dahulu-di-surabaya-bersama-jompet-kuswidananto-dan-ayos-purwoaji/feed/ 0 46738
Rizki Lazuardi dan Proyek “Magnetic Syrinx” di Bebunyian Sound Art Festival 2023 https://telusuri.id/rizki-lazuardi-dan-proyek-magnetic-syrinx-di-bebunyian-sound-art-festival-2023/ https://telusuri.id/rizki-lazuardi-dan-proyek-magnetic-syrinx-di-bebunyian-sound-art-festival-2023/#respond Fri, 16 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41171 Rizki Lazuardi (41) dikenal sebagai seniman dan kurator Indonesia yang banyak berkarya di bidang gambar bergerak, seperti film dan instalasi expanded cinema. Selain praktik pribadinya, ia bersama sejumlah kawan-kawan di kota Bandung juga menjalankan inisiatif...

The post Rizki Lazuardi dan Proyek “Magnetic Syrinx” di Bebunyian Sound Art Festival 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
Rizki Lazuardi (41) dikenal sebagai seniman dan kurator Indonesia yang banyak berkarya di bidang gambar bergerak, seperti film dan instalasi expanded cinema. Selain praktik pribadinya, ia bersama sejumlah kawan-kawan di kota Bandung juga menjalankan inisiatif seni dan riset bernama Indeks.

Pada Bebunyian Sound Art Festival 2023, peraih gelar Master of Fine Arts (MFA) dari The Hochschule für bildende Künste (HFBK) University of Fine Arts Hamburg, Jerman itu turut mengisi deretan lini artis penampil selain Jin Sangtae, Muhammad Zeian, Utami Atasia Ishii, dan WAFT Lab. Acara ini memamerkan aneka pertunjukan unik, proyek-proyek instalasi seni, dan pengalaman aural untuk pengunjung.

Dalam festival yang berlangsung di Space K, Surabaya (26/11) tersebut, Rizki Lazuardi menampilkan video esai berjudul “Magnetic Syrinx”. Melalui wawancara tertulis, ia menjelaskan proyek yang erat dengan kaset rekaman kicau burung itu kepada TelusuRI.

Rizki Lazuardi dan Proyek “Magnetic Syrinx” di Bebunyian Sound Art Festival 2023
Rekaman lapangan burung-burung di alam direkam pada vinil untuk sesi turntablist battle di Bebunyian Sound Art Festival 2023/Agid Antaris

Kami tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang proyek video esai Anda, “Magnetic Syrinx”. Bisakah Anda memberi tahu kami tentang asal usul proyek ini? Kapan Anda pertama kali menemukan rekaman kicau burung dan menyadari dampaknya terhadap pasar dan industri rekaman Indonesia?

Proyek “Magnetic Syrinx” bermula dari rasa penasaran saya sejak sekolah dasar. Saya dulu sering menghabiskan waktu di toko kaset. Di antara sejumlah kaset dari para musisi yang menarik perhatian saya, justru kaset kicau burung yang membuat saya penasaran. Kaset itu selalu memenuhi salah satu rak. Selalu saja ada rilisan baru. Saya penasaran siapa pembelinya? Bagaimana pembeli ini tertarik isi rekamannya? Bagaimana kaset ini direkam? Setelah saya dewasa, saya baru tahu kalau pendengar kaset ini bukan manusia. Pola produksi dan konsumsinya berbeda dari normalnya kaset musik.

Kami tahu bahwa Anda sangat tertarik dengan proses katalogisasi industri rekaman dan perbedaan kaset kicau burung dengan cara katalogisasi rekaman musik biasa. Bisakah Anda ceritakan sedikit tentang hal itu dan apa yang menurut Anda paling menarik dari metode tersebut?

Ketertarikan saya atas praktik katalog ini berakar dari kekaryaan saya sebelumnya yang biasa bekerja dengan arsip. Arsip lebih dari sekadar artefak. Yang menjadikannya arsip adalah metadata, yang dalam skala lebih luas tersusun dalam sistem katalog.

Dalam industri rekaman, sistem katalog yang hadir dalam sistem pemasaran kaset umumnya didasarkan pada genre musik. Dan sistem ini memasukkan semua spesies dan ordo burung dalam kategori yang sama. Menariknya, burung sebagai makhluk hidup, sudah memiliki sistem katalog berdasar taksonomi. Saya tertarik untuk melihat secara kritis bagaimana sistem klasifikasi ini bergeser seiring dengan tereduksinya agensi natural kicauan burung menjadi token estetik sesuai standar manusia.

Kita memahami bahwa produk-produk kaset sudah tidak populer lagi saat ini. Menurut Anda apa yang menyebabkan menurunnya popularitas kaset?

Pastinya pola konsumsi di era digital memberikan pendengar opsi lebih banyak daripada membeli dan menyimpan produk rekaman fisik. Tapi ‘kan kini kaset tidak benar-benar mati. Menurun drastis sih, iya. Skala produksinya dirasionalisasi menjadi lebih terbatas dan kini kaset dilihat sebagai objek collectible. Yang lebih menarik disoroti adalah pola konsumsi kaset burung. Burung tidak memiliki kultural kapital yang sama layaknya musisi untuk hasil rekamannya menarik dikoleksi. 

Rizki Lazuardi dan Proyek “Magnetic Syrinx” di Bebunyian Sound Art Festival 2023
Rekaman lapangan burung-burung di alam yang direkam pada vinil untuk sesi turntablist battle, kaset-kaset burung kicau Indonesia, dan bendera yang digunakan untuk kompetisi kicau burung, juga dikenal sebagai “Gacor”/Agid Antaris

Meskipun industri rekaman sudah tak lagi populer, pelatihan burung dan kompetisi kicau burung masih sangat populer. Apa pandangan Anda mengenai hal ini?

Ini tidak aneh. Industri rekaman kaset burung ‘kan hanya menumpang popularitas pasar burung berkicau dan kompetisinya. Kultur memelihara burung sudah ada sejak periode prakolonial di Indonesia. Perdagangan dan kompetisinya saja yang marak di era modern. Tanpa industri rekaman dan peredaran kaset, akses ke suara burung jauh lebih mudah saat ini. Ini sama saja seperti penjualan CD [compact disc] yang menurun, tapi minat bermain musik dan musisi baru tetap saja ada.

Pertunjukan yang Anda buat untuk Bebunyian merupakan perpanjangan dari video esai Anda. Apa yang ingin Anda capai dari pertunjukan ini? Bisakah Anda ceritakan sedikit tentang ide Anda dan bagaimana ide tersebut dikembangkan oleh para pemainnya? Apakah ada hasil yang tidak diharapkan dari pertunjukan ini?

Saya melihat adanya kemiripan antara kompetisi suara burung dan hip hop turntablism—selanjutnya di sini kita sebut sebagai DJ (disc jockey) battle. Manusia melihat kemungkinan estetika aural dari keduanya. Baik suara burung dan scratch turntablist mengalami manipulasi sonik. Burung dilatih untuk memiliki vocabulary yang kaya dan berlanjut lebih panjang dari karakter alaminya. Bedanya, pada DJ battle, manusia sendiri yang berlatih dan secara langsung melakukan manipulasi suara.

Vinyl [vinil] yang digunakan pada eksperimen DJ battle ini adalah soundbank atau field recording suara burung yang direkam di alam terbuka. Artinya, kicauan burung ini merupakan suara asli burung di habitat alaminya tanpa intervensi manusia. Vinil semacam ini cukup mudah dan murah didapat di marketplace Eropa atau Amerika. Target awalnya adalah para bird enthusiast, watcher, atau editor film dan radio sebagai sampel atau media pembelajaran. Menurut saya, scratching pada field recording suara burung ini sama seperti memanipulasi suara burung tanpa mengintervensi langsung organismenya. Dan jika manusia yang menentukan standar estetika pada suara burung, kenapa tidak manusianya saja yang berkompetisi? Ini adalah proposal bagi “skena” kompetisi burung berkicau yang tidak terlalu antroposentris. 

Apakah ada rencana eksplorasi lebih lanjut yang ingin Anda jelajahi dalam subjek dan konteks yang sama? Dan jika iya, bisakah Anda memberi tahu kami lebih banyak tentang ini?

Saya ingin bekerja bersama sejumlah DJ dan merilis album turntablism burung berkicau. Baik album burung berkicau dan hip hop turntablism adalah hal yang umum di industri rekaman. Kenapa tidak dengan keduanya?

Apakah Anda punya kesan akhir mengenai hubungan kita (manusia) dengan burung, atau tentang minat budaya kita terhadap hewan dan persaingan dengan hewan?

Riset untuk proyek ini membawa saya pada pengetahuan baru seputar hubungan interspesies. Saya baru tahu kalau burung cenderung bereaksi pada suara kicauan sesama spesiesnya saja.

Ketika berkunjung ke laboratorium ornitologi di Widyasatwaloka Cibinong, saya baru tahu etika untuk tidak sembarangan memutar rekaman suara burung di alam terbuka. Dan ini baru pengetahuan seputar burung, ya. Pada industri rekaman, saya menjumpai cukup banyak juga trivia menarik seputar perekaman burung yang berbeda dengan workflow perekaman musik.

Rizki Lazuardi dan Proyek “Magnetic Syrinx” di Bebunyian Sound Art Festival 2023
Dari kiri ke kanan: Turntablist DJ Dellen, Rizki Lazuardi, kurator Bebunyian Sound Art Festival Ayos Purwoaji, juri kompetisi kicau burung Yohanes Canary, dan Turntablist DJ Shortkutz/Agid Antaris

Bagaimana Anda mengukur dampak dari proyek yang Anda kerjakan untuk penonton?

Sampai saat ini saya lebih sering menghadirkan karya ini di ekosistem seni rupa. Saya ingin lebih banyak melibatkan penggemar burung berkicau. Buat saya akan lebih penting untuk mendapatkan respon mereka atas capaian manipulasi suara yang dihadirkan oleh DJ.

Seberapa yakin Anda mengerjakan proyek-proyek serupa di masa depan? Bagaimana prospeknya?

Saya belum memikirkan proyek serupa lagi. Buat saya proyek ini bahkan belum selesai dikembangkan. Saya ingin menyelesaikan versi final film esainya, tampil lebih banyak dengan para turntablist DJ dan merilis rekaman bersama mereka. Pastinya mendapat tanggapan dari para pegiat burung berkicau.


Foto sampul:
Rizki Lazuardi (tengah) memandu DJ battle di Bebunyian Sound Art Festival 2023 bersama DJ Dellen dan DJ Shortkutz/Agid Antaris


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Rizki Lazuardi dan Proyek “Magnetic Syrinx” di Bebunyian Sound Art Festival 2023 appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rizki-lazuardi-dan-proyek-magnetic-syrinx-di-bebunyian-sound-art-festival-2023/feed/ 0 41171
The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk https://telusuri.id/the-art-of-listening-unveiling-surabayas-pasar-keputran-through-the-sound-walk/ https://telusuri.id/the-art-of-listening-unveiling-surabayas-pasar-keputran-through-the-sound-walk/#respond Sat, 27 Jan 2024 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41035 What happens when we start to pay attention to the overlooked sounds in our everyday environment? Story by Zarani RisjadPhotographs by Benny Widyo In today’s fast-paced, visually-driven world, the concept of a sound walk offers...

The post The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk appeared first on TelusuRI.

]]>
What happens when we start to pay attention to the overlooked sounds in our everyday environment?

Story by Zarani Risjad
Photographs by Benny Widyo


In today’s fast-paced, visually-driven world, the concept of a sound walk offers a unique and immersive experience, redirecting attention to the often-overlooked sounds in our everyday environment. This practice, popularized in recent years, involves individuals or groups embarking on guided or self-guided walks with a primary focus on actively listening to the surrounding auditory landscape.

The roots of sound walks can be traced back to the work of Canadian composer R. Murray Schafer, who organized “Soundscapes for the Third Ear” in 1974, featuring guided walks that encouraged participants to engage with their auditory environment. Since then, the idea has evolved into a diverse range of experiences, from artist-led walks to community-based projects, all aimed at exploring and appreciating the sonic environment.

I had the opportunity to participate in a sound walk during the Bebunyian Sound Art Festival fringe event in Surabaya in November 2023. Led by cultural activist and walking advocate Anitha Silva, this particular sound walk provided a unique twist by incorporating a mobile phone recording workshop, in which participants create a collective sound art composition, led by Korean artist Jin Sangtae.

The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk
Sound artist Jin Sangtae (dotolim) introduces the mobile phone workshop to participants at C2O Library/Benny Widyo

Exploring Pasar Keputran

At our meeting point, C2O Library & Collabtive, participants were invited to join a pre-walk exercise to practise recording various man-made sounds on their mobile phones, emphasizing the devices’ ability to capture subtle, ambient sounds. After the 15-minute practice, we set out for the walk with Anitha.

Anitha takes us to Pasar Keputran via a route that I assume is only known to locals. We walk through pedestrian-only lanes, historic wrought iron gates, and locally made signage through terraces of private homes and mosques, passing children playing and women doing household chores like dinner prep and laundry, all while chatting with neighbours on their terraces.

Anitha explains that we are now in Pasar Keputran, formerly a traditional market but has since been supplanted by a modern building complex. Walking through a bustling throng of buyers and sellers, we enter the top floor of the market building to get a birds-eye view of the market as well as the urban landscape surrounding it. Participants are encouraged to spend a further 20 minutes individually conducting field recordings of the sounds produced by the market’s inhabitants.

  • The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk
  • The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk

Collaboration in symphony

We return to the C2O Library to share the recordings. Sangtae explains that we will create a sound composition together by simultaneously playing our individual field recordings. Sound artist Eri Rukmana is our conductor, and he explains the three hand signals he will use silently to indicate when we should turn our phone volume up, down, pause, or muffle its sound. Following a brief rehearsal, the 13 participants are led through 15 minutes of a composition that could be titled The Symphony of Keputran at 4 p.m., which captured the vibrant chaos of the market. The symphony takes us straight to the core of Keputran, including the sounds of humans and children, the sharpening of a knife, the whirring of an exhaust fan, and the voice of a seller hocking his wares.

The result is as interesting as the process of the sound walk. Immediately, participants understand that in exploring the landscape through sound, it is impossible to ignore the sound generated by the omnipresent human and his or her activities, which is frequently overlooked in our daily lives. It was interesting to note the differences between participants sound recordings. Some participants recorded more drones or hums, and some chose to record louder sounds like radio sounds or sirens.

We are in a complex sonic exchange with our environments, making, muting, altering, and auditing sound. The workshop’s participants shared their individual findings, including what they found intriguing, what they learned, and what they liked or disliked. The conversation then broadened to discuss cultural norms, ideas on personal sonic space, audio pollution, and comparing the urban sonic landscape of Indonesia in comparison to other countries.

The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk
Sound artist Eri Rukmana (WAFT Lab) conducting participants into a collective composition, with their mobile/Benny Widyo

Ends in a positive outcome

Reflecting on this experience, I realise that sound walks have the potential to be an embodied creative practice. The combination of listening and walking resulted in a dynamic, embodied experience that connected the body to the surrounding space and influenced how sounds were perceived throughout the multisensory journey. The walk promotes increased sensory awareness, emphasizing both what is heard and how it is felt in the body. Sensory stimuli influence our walking speed and direction, resulting in a very different walking experience that is more in tune with the nuances of sound and atmosphere, as well as more embodied.

Listening is one of the main perceptual relationships we have with the world around us, with information about space, people, and objects flooding in from all directions. Far from being a passive experience, there are many levels of attention with which we attune our ears. We can hone in on sounds that are important or blend [filter?] others out. Intentional listening deepens our relationship with the environment, fostering a keen ‘sense of place.’

The experience was transformative. I learned about Pasar Keputran not only from Anitha’s extensive knowledge, but also from my own keen senses. Paying attention to the subtle nuances in my auditory world allowed me to be fully present in the present moment, promoting a reflective state despite the noisy market environments. I felt connected not only to my surroundings, but also to the other participants as we shared our sonic experiences, combining the various elements we encountered to create a unique symphony, and then sharing our observations and discoveries.

In conclusion, a sound walk transcends a mere stroll; it is a creative practice that engages both mind and spirit. By tuning into the rich tapestry of everyday sounds, we foster a deeper connection to our surroundings, reaping the numerous benefits of this immersive experience. Sound walks provide a simple yet profound way to reconnect with oneself and the world, offering a reflective and transformative journey through intentional listening.

Cover photo:
Participants making field recording inside Pasar Keputran, Surabaya/Benny Widyo


Get to know your Indonesia better through our Instagram and Facebook Fanpage.
Interested in sharing your story? Come on, submit your writing.

The post The Art of Listening: Unveiling Surabaya’s Pasar Keputran through the Sound Walk appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/the-art-of-listening-unveiling-surabayas-pasar-keputran-through-the-sound-walk/feed/ 0 41035
22 Jam Berlayar Menuju Lembar https://telusuri.id/22-jam-berlayar-menuju-lembar/ https://telusuri.id/22-jam-berlayar-menuju-lembar/#comments Mon, 28 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39674 Kami menghabiskan banyak waktu menunggu kedatangan kapal di Tanjung Perak, Surabaya. Sejak tiba pukul tujuh malam, pihak pelabuhan mengabari bahwa perkiraan kapal akan sandar pukul 22.00. Namun, hingga tepat tengah malam kami masih belum beranjak...

The post 22 Jam Berlayar Menuju Lembar appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami menghabiskan banyak waktu menunggu kedatangan kapal di Tanjung Perak, Surabaya. Sejak tiba pukul tujuh malam, pihak pelabuhan mengabari bahwa perkiraan kapal akan sandar pukul 22.00. Namun, hingga tepat tengah malam kami masih belum beranjak dari ruang tunggu.

Sampai akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba. “Yuk, teman-teman, kapalnya sudah datang,” seru Kak Izul seraya mengumpulkan kami menuju lokasi pengecekan tiket dan barang bawaan. 

Untuk pelayaran sekali jalan dari Tanjung Perak menuju Lembar kala itu aku mengeluarkan biaya 160 ribu rupiah. Rinciannya yaitu tiket Kapal DLN Batu Layar seharga Rp130.000 dengan fasilitas tempat tidur (bunk bed), toilet, musala, dan listrik gratis selama di kapal. Sisanya membayar dua kupon makan seharga Rp15.000 per kupon. Meski pembelian kupon juga dilayani setelah kapal berlayar, tetapi penumpang akan dikenai harga lebih mahal, yaitu Rp20.000/kupon. Sebelum hari keberangkatan, Kak Izul telah membantu kami mengurus pemesanan tiket dan kupon makan secara daring melalui website. Informasi jadwal dan pemesanan tiket kapal DLN Batu Layar juga tersedia di kanal resmi Instagram @damai_lautan_nusantara

Pukul dua dini hari, tepat tanggal 6 Oktober 2022 kami akhirnya meninggalkan Surabaya. Aku tidak sendiri, melainkan ditemani keluarga baruku: Lampak Mengabdi. Setelah beberapa kali bercakap via Google Meet, akhirnya kami memulai perjalanan panjang menuju Gumantar, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Banyak hal yang menjadi serba pertama bagiku dalam perjalanan ini.

Setelah bergelut dengan rasa kantuk dan gatal akibat serangga di kursi ruang tunggu pelabuhan, rombongan kami menemukan kasur untuk istirahat selama 22 jam ke depan. Aku segera menelan obat alergi dan berganti kostum yang lebih santai untuk tidur. Tidak banyak yang aku lihat kala itu. Hanya takjub, ternyata toilet di kapal yang kami tumpangi lebih bersih daripada toilet di ruang tunggu tadi malam. 

Beradaptasi dengan Ombak dan Angin

Baru sempat memejamkan mata, aku kembali bangun untuk salat Subuh. Karena tidak tahu letak musala, aku pilih kembali ke kasur dan beribadah sambil duduk. Paginya setelah berjalan keluar dan mengeksplorasi beberapa bagian DLN Batu Layar, akhirnya aku menemukan musala di bagian paling atas kapal. Aku jadi membayangkan jika tadi salat di sana, maka aku harus melintasi tangga kecil dengan angin laut yang berhembus kencang kala matahari masih terlelap. Cukup seram juga untuk badanku yang kerempeng ini.

Pukul sembilan pagi kulihat aplikasi peta di gawai. Kami masih berada di sisi utara pulau Madura. Kapal terus melaju ke arah timur membelah air laut yang tenang. Ombak yang berdebur di sekelilingnya tidak terlalu besar dan angin bertiup hangat. Pagi itu aku masih berkabar dengan keluarga tentang situasi kapal. Bahkan aku sempat membalas pesan dari dosen pembimbing untuk mengurus jadwal seminar proposal. Namun, selang beberapa jam ketika armada telah memasuki Laut Bali, sinyal ponsel sudah tidak lagi muncul. Pun ombak yang tadinya tenang berubah menjadi besar dan angin berembus cukup kencang.

Setelah selesai briefing untuk kegiatan kami di lokasi pengabdian esok hari, seluruh rombongan kembali beristirahat. Saat keluar dari ruang tengah tempat rombonganku berkumpul, aku cukup kaget karena ombak laut menggoyangkan tubuhku begitu hebat. Badanku menjadi tidak stabil dan harus menggenggam dinding kapal untuk tetap berjalan pindah ke ruang istirahat. Tak sengaja ketika itu aku menoleh ke arah lautan lepas dengan ombak naik turun sangat tinggi. Seketika perutku terasa mual dan aku pun menyadari, oh, jadi begini rasanya mabuk laut. Langkahku menjadi cepat, aku kembali ke kasur dan segera meneguk air teh untuk meredam mualku. 

Sore harinya sebelum matahari terbenam aku ingat belum melaksanakan salat. Karena situasi di luar sudah cukup terkendali, aku menuju ke atas kapal untuk sholat di musala. Sekaligus berniat menghabiskan waktu di kantin bersama kawan-kawan yang lain. Sayangnya ketika tiba di musala dan hendak salat, kapal terasa berguncang kembali hingga tubuhku tidak bisa berdiri tegak. Posisi duduk pun bisa menggeser tubuhku dengan sendirinya. Dengan terpaksa akhirnya aku kembali ke bawah dan memutuskan salat di kasur lagi. Walau harus menanggung risiko naik turun tangga, tetapi rasanya lebih khusyuk jika salat di atas kasur. Daripada berguncang di musala dengan lantai dari karpet yang licin.

Selesai salat kawanku mengajak kembali ke kantin yang letaknya satu lantai dengan musala. Ya, memang harus naik lagi. Untung saja anginnya sudah tidak sekencang tadi siang. Memang ombaknya saja yang belum bersahabat.

Di sana kami berbincang cukup intens dengan kawan-kawan volunteer lainnya sambil menyantap mi instan dan bakso. Topik ringan hingga berat menjadi obrolan panjang kami sore itu. Kawan yang sudah berkali-kali melakukan perjalanan panjang mengabdi di luar pulau membagikan pengalaman dan pengetahuannya kepada kami yang masih anak baru.

Memaknai Perjalanan Panjang

“Lampak sendiri berasal dari bahasa Sasak yang artinya jalan, dan sederhananya Lampak Mengabdi punya makna jalan mengabdi,” kata Kak Toni, sang pendiri Lampak Mengabdi. Kegiatan Lampak Mengabdi batch keempat atau disingkat LMB4 adalah program yang berada di bawah naungan Yayasan Aksi Sahabat Nusantara. Fokus utamanya ingin mengembangkan potensi sumber daya alam dan UMKM lokal di lokasi pengabdian berlangsung.

LMB kali ini akan dilaksanakan di Desa Gumantar, Kabupaten Lombok Utara selama kurang lebih 10 hari. Menurut Kak Toni, daya tarik program LMB adalah kegiatan pengabdiannya selalu tersaji bersamaan dengan kegiatan adat desa setempat, seperti meriahnya rangkaian maulid adat yang bertepatan dengan LMB 1, 2, dan 4. Serta event spesial seperti MotoGP di Mandalika yang bertepatan dengan pelaksanaan LMB 3.

22 Jam Berlayar Menuju Lembar
Kantin di dek atas kapal/Anggardha Paramita

Berbagai dorongan dan motivasi datang untuk melakukan perjalanan ini. Kalau kata Kak Dhimas, si anak sastra yang memimpin divisi ekonomi kreatif, perjalanan ini bermakna ibadah baginya. Seluruh ilmu dan pengalaman hidupnya ingin ia implementasikan dalam pembangunan pariwisata di daerah pengabdian yang dituju. Seingatku perjalanan ini adalah kali ketiganya ambil peran di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).

Beda lagi dengan Sherita, anak bisnis yang nyangkut ke divisi kesehatan. Pengabdian ini jadi tugas besar baginya karena pihak kampus tempat ia menuntut ilmu mewajibkan mahasiswanya ambil peran dalam pengabdian masyarakat. Meski demikian aku ingat betul ia menjalankan program divisi dengan maksimal, mengimbangi kami yang punya latar belakang pendidikan kesehatan.

Lalu bagaimana denganku? Aku jadi menanyakan makna perjalanan ini kepada diri sendiri. Sejak pertama pengumuman lolos volunteer ini kuterima, tujuanku masih sebatas ingin berbagi ilmu dan traveling ke daerah yang jauh atau mustahil untuk kudatangi sendiri tanpa pendampingan orang dewasa.

Namun, setelah beberapa waktu kegiatan berjalan perspektif baru mulai muncul. Ternyata dibanding memberi, di sana aku justru lebih banyak menerima. Bagiku perjalanan ini memang tempatku melihat makna hidup yang lain. Jawaban atas pertanyaan yang muncul di malam hari sewaktu mau tidur atau ketika adu nasib dengan teman di tongkrongan.

22 Jam Berlayar Menuju Lembar
Pemandangan sore di tengah lautan/Anggardha Paramita

Lembar, Pemungkas Perjalanan

Pemandangan sewaktu Magrib dari atas kapal membuat mulutku menganga seraya berucap, wow! Di sisi selatan kami bisa melihat Pulau Bali dan Gunung Agung yang indah. Langit mulai membiru dan matahari perlahan berganti posisi dengan bulan. Saat itu ombak mulai tenang seperti awal kapal mulai berlayar dari Surabaya.

Lagi-lagi ini adalah pengalamanku pertama kali. Menyaksikan matahari terbenam di laut lepas dengan suasana sunyi dan tenteram jauh dari keramaian kota.

Selepas salat seluruh rombongan berpisah. Kami para wanita turun ke ruang istirahat. Menghabiskan waktu dengan bermain Uno, ngemil, dan diselingi pembahasan program kerja untuk keesokan harinya. Adapun para pria juga menyibukkan diri, mulai dari sibuk menyeduh kopi hingga ngobrol entah berapa lama di dek atas.

Kapal DLN Batu Layar yang kami tumpangi tiba di Lembar sekitar pukul 01.30 WITA. Perjalanan laut kami pun berakhir hari itu. Sepasang kaki sibuk menuruni tangga berjalan keluar kapal. Tangan dan pundak kembali menopang tas carrier dan membawa muatan untuk serangkaian program kerja esok hari.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 22 Jam Berlayar Menuju Lembar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/22-jam-berlayar-menuju-lembar/feed/ 4 39674
Hutan Mangrove Morokrembangan dan Kawasan Industrinya https://telusuri.id/hutan-mangrove-morokrembangan-dan-kawasan-industrinya/ https://telusuri.id/hutan-mangrove-morokrembangan-dan-kawasan-industrinya/#respond Tue, 25 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39404 Perjalanan ini sebetulnya saya lakukan demi memenuhi tugas yang diberikan untuk dipaparkan dalam “International Conference on Environmental Quality Concern, Control and Conservation”, yang diselenggarakan di Taiwan, Mei 2023. Berhubung tema penugasan tentang lingkungan, maka saya...

The post Hutan Mangrove Morokrembangan dan Kawasan Industrinya appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan ini sebetulnya saya lakukan demi memenuhi tugas yang diberikan untuk dipaparkan dalam “International Conference on Environmental Quality Concern, Control and Conservation”, yang diselenggarakan di Taiwan, Mei 2023. Berhubung tema penugasan tentang lingkungan, maka saya mencari tempat wisata dekat rumah yang nantinya akan saya telaah dengan sudut pandang hukum kepariwisataan. 

Ada dua profesi yang harus saya lakoni, yaitu mengajar dan update foto di Instagram. Apalagi kalau mendadak pasti peluang selesainya cepat—salah satu prinsip yang saya terapkan.

Hari itu, tepat di waktu libur Nyepi, setelah berkomunikasi dengan “penguasa” sekitar, saya memutuskan pergi ke hutan mangrove Morokrembangan. Tidak jauh dari jalur maut Kalianak yang kerap dilewati truk trailer, menjadikan pinggiran jalan ini selalu panas. Asap dari pembakaran mesin menjadi musuh bagi pengemudi sepeda motor.

Hutan Mangrove Morokrembangan dan Kawasan Industrinya
Jembatan dekat dermaga keberangkatan perahu, tampak lalu lintas padat Jalan Kalianak/Tomy Michael

Perjalanan Meneliti sekaligus Berwisata

Saya berangkat dari kafe milik teman yang dahulu bernama R N’ R Corner, akronim dari “Rock And Roll Café”, sesuai dengan pemiliknya yang selalu awet muda. Lagipula dia juga berpengalaman di laut sebagai penyalur komoditas perdagangan.

Nyegat kene ae, Tom, ketemuan koncoku nang jembatan kono. Cidek, kok. (Kita cari kendaraan dari sini saja, Tom, ketemu temanku di jembatan sana. Dekat, kok),” kata Frega, pemilik kafe yang awet muda itu. Cuaca amat terik, cocok kalau ingin menguruskan badan. Sementara teman yang lain sibuk mematikan rokoknya karena jemputan sudah terlihat.

Sesampainya di jembatan yang melewati sungai kecil, kami bertemu sang nakhoda, Erno Saputro. Ia mengenakan sarung motif cokelat muda sambil membawa botol mineral berisi solar. Ritual basa-basi kami lakukan karena bagaimanapun juga Erno adalah pimpinan regu. Kemudian Johan mampir di gerbang Morokrembangan untuk membeli sekotak udang segar, karena ada banyak ikan di sana.

Setelah semuanya beres, kami semua naik ke perahu. Bersiap meneliti sekaligus berwisata. Yang kami teliti adalah keberadaan wisata berkaitan dengan Undang-Undang Kepariwisataan, khususnya bagaimana menyiapkan pariwisata sesuai keadaan saat ini di tengah gempuran media sosial. Pariwisata tidak boleh berhenti setelah viral, sehingga harus mempertahankan keberlanjutannya walaupun spot foto tetap dicari siapa pun.

Potensi Wisata Mangrove Morokrembangan

Nakhoda mengarahkan perahu ke bagian kanan jalur berlayar selepas dermaga. Tujuannya untuk melihat potensi kawasan hutan mangrove Morokrembangan sebagai objek wisata. 

Terdapat deretan pepohonan rimbun yang sebetulnya bisa menjadi tempat wisata berkelanjutan, seperti edukasi mangrove atau sesi foto prewedding yang cinta lingkungan. Namun, para pengunjung harus tetap berada di atas perahu. Andai memaksa untuk turun maka harus siap-siap masuk ke area tanpa batas. Cukup berisiko jika tidak terbiasa.

Usai pendokumentasian secara detail, kami melanjutkan perjalanan ke sisi lainnya. Menyusuri selama 15 menit, akhirnya perahu menemui bagian laut yang sebenarnya. Dari kejauhan terlihat megahnya International Container Terminal (ICT). Betapa kokoh konstruksinya. Saya rasa jika dibangun hotel di atasnya akan menjadi inovasi yang paling siap menerima teknologi terbaru. Tidak terkontaminasi dengan suara mesin perahu dan deburan air.

Sebetulnya ini kali pertama mendekat ke ICT walaupun jika lewat jalan darat cukup dekat dari rumah saya. Namun, tentu saja hanya para pekerja setempat yang bisa masuk dan ada kartu khususnya. Sementara kami hanya melihat dari lautan dan ini adalah legal selama tidak melewati bagian bawah jembatan ICT.

Melihat Sisi Lain Kota

Bagi saya, suasana jembatan yang sepi menjadikan wisata berkedok penelitian makin menyenangkan. Saya tidak pernah menduganya. Sekalipun beberapa mil dari perahu ini tampak kejenuhan kota tetap tidak bisa hilang. Samar-samar terlihat Pulau Karapan Sapi, yang seolah-olah ingin mengatakan, “Kami masih Jawa Timur.”

Mas, arep nyampe iki. Tak siapno sek, yo. Sampean njupuk udange. Ojo lali foto sek ben komplet. (Mas, sudah mau sampai ini. Saya siapkan dulu, ya. Ambil udangnya. Jangan lupa foto dahulu biar lengkap dokumentasinya),” ujar Erno.

Hutan Mangrove Morokrembangan dan Kawasan Industrinya
Batas akhir eksplorasi wisata atau memancing oleh masyarakat sipil di sekitar jembatan kawasan ICT Surabaya/Tomy Michael

Udang yang terlihat kuat itu akhirnya pasrah untuk dihidangkan sebagai makanan ikan yang kerap kali melompat-lompat rendah. Kami berlomba melemparnya sesuai arahan Erno.

Namun, sepertinya ikan-ikan itu pun lelah menghadapi kehidupan. Udang segar hanya mereka cicip sedikit. Hampir empat puluh menit, kail hanya dipermainkan. Sayangnya kami tidak bawa kopi dan camilan, yang bisa membuat kami menikmati suasana laut sampai sore. Padahal kalau dapat ikan akan membuat laporan akhir penelitian menjadi sempurna. 

Udang di boks tinggal sedikit, dan dengan terpaksa kami lepaskan semuanya ke laut. Kami harus rela membakar uang untuk beli udang tadi sebesar Rp20.000. Kami perlahan meninggalkan jembatan dan kawasan ICT.

Perjalanan balik kami tempuh tidak sampai tiga puluh menit. Setibanya di dermaga, nakhoda menautkan perahu seperti posisi awal. Saya menyelesaikan pembiayaan sewa perahu dan menyempatkan foto bersama. Bisa saya katakan perjalanan kali ini sebagai wisata Hutan Mangrove Morokrembangan sekaligus memancing dan kegiatan lainnya. Tak lupa selembar kaos dengan identitas kampus saya berikan kepada nakhoda.

Catatan:
Penelitian telah selesai dipaparkan pada Mei 2023


Tulisan ini diikutsertakan dalam kampanye “TelusuRI Sungai dan Mangrove Indonesia” untuk memperingati Hari Mangrove Internasional 26 Juli dan Hari Sungai Nasional 27 Juli


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hutan Mangrove Morokrembangan dan Kawasan Industrinya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hutan-mangrove-morokrembangan-dan-kawasan-industrinya/feed/ 0 39404
Cerita dari Atas KM Dobonsolo https://telusuri.id/cerita-dari-atas-km-dobonsolo/ https://telusuri.id/cerita-dari-atas-km-dobonsolo/#respond Sat, 28 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36963 Kereta api yang membawa saya dari Yogyakarta menuju Surabaya tiba di Stasiun Gubeng pukul sebelas lewat sedikit waktu setempat, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam. Usai melaksanakan salat dan beristirahat beberapa saat, saya kemudian...

The post Cerita dari Atas KM Dobonsolo appeared first on TelusuRI.

]]>
Kereta api yang membawa saya dari Yogyakarta menuju Surabaya tiba di Stasiun Gubeng pukul sebelas lewat sedikit waktu setempat, setelah menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam.

Usai melaksanakan salat dan beristirahat beberapa saat, saya kemudian beranjak dari stasiun Gubeng menuju Pelabuhan Tanjung Perak. Keluar dari stasiun saya memilih menumpang mobil karena barang bawaan yang cukup banyak. Kendaraan roda empat ini lalu melaju di jalan Surabaya yang terik. Surabaya sore itu yang tampak teramat sibuk, serupa rumah yang sedang menggelar hajatan. 

Sesampainya di Pelabuhan Tanjung Perak, saya kemudian masuk menuju ruang tunggu yang telah dipenuhi penumpang lain, mereka menghampar berkelompok di lantai, di atas koran dan karpet-karpet sederhana yang cukup untuk menghangatkan tubuh.

Stasiun Surabaya Gubeng
Stasiun Surabaya Gubeng/Fatimah Majid

Melakoni perjalanan laut di Indonesia, khususnya di Indonesia bagian tengah dan timur, memang cukup sulit. Jadwal kedatangan dan keberangkatan kapal tidak menentu. Maka jika tidak ingin ketinggalan, harus sering-sering mengecek jadwal keberangkatan di website Pelni. Jika jadwal sudah “pasti” juga harus tiba di pelabuhan selambat-lambatnya sehari sebelum jadwal keberangkatan. 

Sembari Menunggu Kapal

Begitu mendapatkan kursi, saya mendudukkan tas yang saya panggul; satu tas carrier, tas ransel dan koper. Lalu menarik napas lega karena sudah bisa meluruskan kaki. Ini merupakan pengalaman pertama saya berlayar seorang diri. Dulu sekali, waktu masih duduk di bangku sekolah menengah atas, terakhir kali saya naik kapal dari Kalimantan ke Sulawesi bersama bapak dan adik laki-laki saya. 

Petang itu, dari balik kaca transparan, saya menyaksikan Kapal Dharma Kencana yang tengah bersandar memuntahkan barang-barang dan penumpang. Kapal Dharma Kencana itu sangat besar nan megah berwarna putih yang memenuhi dermaga. Dari informasi yang saya dapatkan di YouTube, itu adalah kapal bekas pakai dari Jepang.

Di tempat lain, Kapal Kelimutu tujuan Jakarta yang tengah sandar tengah memuat barang. Sembari memasukkan barang-barang ke lambung kapal. Truk-truk berukuran sangat besar yang entah memuat apa ikut memenuhi dermaga, serta mobil-mobil yang mengantre panjang, untuk masuk ke dalam kapal. 

Menjelang Magrib, siluet-siluet kapal mulai tampak jelas, di belakangnya matahari masih memancarkan sinar. Semburat senja tampak sangat anggun. Sayangnya, saya hanya bisa menyaksikannya dari balik kaca. 

Mustahil berada di tempat ramai di Indonesia tanpa mengobrol.  Selama menunggu di ruang tunggu pelabuhan, beberapa penumpang lain tampaknya penasaran terhadap saya. Mungkin karena melihat saya melakoni perjalalanan seorang diri dengan barang bawaan yang cukup banyak. Mereka bolak-balik ke kursi tempat saya duduk, mengajak berkenalan, bertukar cerita, menawari bantuan menjagakan barang bawaan, bahkan menyodorkan makanan. Tidak berapa lama kemudian, beberapa dari mereka duduk membelakangi kursi yang saya tempati, membawa gitar dan menendangkan beberapa buah lagu.

Tak berenti di situ, sampai di atas kapal, mereka terus membantu, membawakan barang, mencarikan tempat di atas kapal. Terkadang saya merasa seperti penumpang istimewa karena terus mendapat bantuan dari mereka, dan kadang-kadang merasa bingung harus dengan cara apa membalas kebaikan mereka semua.

Dobonsolo Bersandar

Mendadak terdengar suara klakson dari cakrawala memecah keheningan. KM Dobonsolo telah tiba. Suaranya lebih dulu terdengar. Perlahan KM Dobonsolo muncul. Kecil, lalu perlahan membesar, sampai akhirnya bersandar di dermaga. Massa beraksi. Orang-orang mulai membereskan tikar masing-masing, bersiap menyongsong perjalanan panjang melintasi lautan.

Setelah semalaman berada dalam posisi duduk tegak di kursi, sungguh nyaman rasanya bisa meluruskan kaki di tempat datar. Saya berbaring dengan posisi yang cukup nyaman. 

Di atas kapal, setiap ranjang sudah dilengkapi dengan lubang pengisi daya, tempat menyimpan barang bawaan, pendingin ruangan sentral—meskipun tidak begitu terasa, tetapi cukup untuk mendinginkan dek kapal, juga tong sampah yang ada hampir di setiap sudut kapal. Kamar mandinya pun selalu dibersihkan.

Pagi hari datang dalam sekejap. Pengumuman melalui pengeras suara memberitahukan waktu azan Subuh telah tiba. KM Dobonsolo perlahan meninggalkan Pelabuhan Tanjung Perak.

Pada bulan Ramadan, kapal menyediakan makanan untuk sahur. Penumpang yang akan menunaikan ibadah puasa, dapat mengambil makanan dengan membawa tiket masing-masing yang sudah diberi tanda oleh kru kapal. Setelah mendengar pengumuman dari balik pengeras suara, saya bergegas mengambil makan, kemudian sahur, lalu menunaikan salat Subuh di musala kapal. Kemudian menghabiskan waktu menyambut matahari pagi yang perlahan memakan habis gelap langit malam.

Tak berapa lama berselang sejak kapal mulai berlayar, kelucuan-kelucuan mulai bermunculan yang membuat saya tidak mampu menahan tawa. Selama di atas kapal, saya dan penumpang lain banyak bertukar cerita, saling melempar beberapa pertanyaan. Saat mulai merasa bosan, mereka akan mulai mengeluarkan gitar dan menendangkan beberapa buah lagu, memecah kehingan di atas kapal.

Lembayung matahari tenggelam seiring kumandang azan Magrib dari balik pengeras suara sebagai pertanda sudah saatnya berbuka puasa. Saya naik di atas dek kapal untuk menyaksikan siluet senja nan indah dan meneguk air putih untuk berbuka puasa. Setelah itu turun dan bergegas menuju musala.

Pelabuhan Anging Mamiri Makassar
Pelabuhan Anging Mamiri Makassar/Fatimah Majid

Kapal bersandar mendekati pukul 11.00 WITA di pelabuhan Makassar. Kami turun dengan perasaan lega. Sebelum berpisah di Pelabuhan Makassar, saya mengambil beberapa foto mereka berlatar masjid berwarna biru di pelabuhan, sayangnya tidak ada foto bersama. Surabaya–Makassar merupakan pelayaran pertama saya seorang diri. Bertemu dengan orang-orang baru yang menyenangkan, makanan dingin dengan sayuran layu, percakapan ngalor-ngidul, dan segala senang dan haru di atas kapal yang tak akan terlupa.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Cerita dari Atas KM Dobonsolo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/cerita-dari-atas-km-dobonsolo/feed/ 0 36963
Singgah ke Museum H.O.S Tjokroaminoto https://telusuri.id/singgah-ke-museum-h-o-s-tjokroaminoto/ https://telusuri.id/singgah-ke-museum-h-o-s-tjokroaminoto/#respond Mon, 26 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36734 Di Kota Surabaya terdapat sebuah museum yang terbilang unik. Museum tersebut merupakan sebuah rumah huni yang dulunya merupakan sebuah rumah indekos. Dari sekedar rumah yang berfungsi sebagai kos tersebut, banyak melahirkan buah pemikiran yang tidak...

The post Singgah ke Museum H.O.S Tjokroaminoto appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Kota Surabaya terdapat sebuah museum yang terbilang unik. Museum tersebut merupakan sebuah rumah huni yang dulunya merupakan sebuah rumah indekos. Dari sekedar rumah yang berfungsi sebagai kos tersebut, banyak melahirkan buah pemikiran yang tidak disangka-sangka akan menjadi landasan pemikiran oleh founding father negara Indonesia di masa depan. Mari menelusurinya, Museum H.O.S. Tjokroaminoto.

Museum H.O.S. Tjokroaminoto berada di kawasan Peneleh, Kota Surabaya. Kota yang dijuluki sebagai Kota Pahlawan ini memang terkenal memiliki beragam objek bersejarah dan berbagai museum yang tersebar di penjuru kota. Dahulu Presiden Republik Indonesia pertama yakni Ir. Soekarno pada masa mudanya pernah menetap di sini.

Rumah H.O.S. Tjokroaminoto dan Para Tokoh Nasional Bangsa

Museum ini dulunya merupakan rumah dari salah satu tokoh pergerakan nasional yakni Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Beliau merupakan salah satu tokoh pergerakan yang cukup identik dengan kelompok organisasi Sarekat Islam pada masa tersebut. Rumah yang terbilang cukup sederhana ini, menjadi saksi bisu lahirnya buah-buah pemikiran dan ideologi para pendiri bangsa saat masih muda. Rumah yang berdesain klasik dengan sentuhan khas Jawa dari era abad ke-19 hingga awal abad ke-20 inilah menjadi tempat bernaung sekaligus berdiskusi para penghuninya.

Rumah HOS Cokroaminoto
Rumah HOS Cokroaminoto/Zahir

Mulai dari Ir. Soekarno, Musso, Semaoen, hingga pentolan DI/TII semacam Kartosoewirjo pernah indekos di rumah tersebut. Para penghuni rumah yang kebanyakan memang masih usia belia seringkali menimba ilmu sekaligus berdiskusi tentang berbagai hal. Dunia politik, pandangan agama serta ideologi, bisa dibilang menjadi menu rutin anak-anak kos di rumah tersebut. H.O.S. Tjokroaminoto tentunya berperan sebagai ayah asuh sekaligus mentor dalam ilmu kebangsaan dan perpolitikan bagi mereka, sehingga membentuk pola pemikirannya masing-masing.

Ruangan-ruangan di Museum H.O.S. Tjokoroaminoto

Lazimnya rumah pada umumnya, tentu kondisi ruangan dalam museum ini juga menyesuaikan bentuk asli rumah tersebut. Bagian depan rumah masih mempertahankan desain rumah khas Jawa yang dihiasi pagar kayu yang dicat berwarna hijau. Area ruangan depan atau ruang tamu banyak dihiasi koleksi asli dari empunya, mulai dari beragam pernak Pernik hiasan dinding, beberapa buah kursi lengkap dengan mejanya, dan beberapa plakat penghargaan juga terpasang di ruangan ini.

Bagian lantai rumah ini juga masih menggunakan ubin klasik yang tentunya menambah kesan vintage. Berlanjut di ruangan berikutnya yakni di sisi kiri ketika memasuki sebuah lorong akan disuguhi beragam koleksi milik H.O.S. Tjokroaminoto sewaktu aktif berorganisasi di Sarekat Islam. Mulai dari beragam buku-buku lama, arsip-arsip kuno hingga beragam surat kabar yang memuat pemberitaan mengenai Sarekat Islam kala itu terpajang di dinding-dinding lorong yang berukuran tidak terlalu luas ini. Ada pula ragam koleksi benda-benda asli milik H.O.S. Tjokroaminoto yang tersimpan rapi menjadi koleksi di ruangan tersebut. Selain itu, ada beberapa infografis yang menceritakan perjalanan hidup H.O.S. Tjokroaminoto sewaktu aktif berorganisasi. 

Menuju ke ruangan berikutnya, beberapa foto-foto penghuni dari rumah ini mulai dari Ir. Soekarno, Musso, dan beberapa tokoh lainnya menjadi suguhan. Kamar mereka berada di lantai dua di sisi kanan ruangan belakang tersebut. Di sanalah, kerap kali terjadi diskusi antara para penghuninya.

Salah satu koleksi yang bisa dibilang menjadi ikon dari rumah H.O.S. Tjokroaminoto ini adalah setelan baju yang dulunya dipergunakan oleh Soekarno sewaktu muda. Baju ini tersimpan rapi di lorong belakang dalam sebuah lemari kaca yang bersebelahan dengan lemari kuno. Selain baju milik Soekarno, juga terdapat setelan baju milik H.O.S. Tjokroaminoto.

  • Area Ruang Tengah Museum Cokroaminoto
  • Area Ruang Tamu Museum
  • Replika Baju Soekarno
  • koleksi koran kuno
  • Logo PSII

Ada pula sebuah kamar pribadi yang dulunya merupakan tempat tidur H.O.S. Tjokroaminoto bersama dengan sang istri yakni Soeharsikin. Kamar yang berukuran tidak terlalu luas ini terdapat berbagai macam perabotan asli mulai dari meja rias, lemari, bahkan ranjang asli juga berada di tempat ini. Para pengunjung diperbolehkan untuk mengambil foto namun tidak diperbolehkan untuk menyentuh apalagi duduk di ranjang tersebut. 

Rumah yang telah menjadi museum ini tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu saksi bisu dalam perkembangan pemikiran para tokoh nasional bangsa Indonesia kala itu masih muda. Meskipun dalam perjalanannya, mereka seringkali berseberangan pendapat dan ideologi, tidak dapat dipungkiri melalui proses diskusi dan bimbingan dari H.O.S. Tjokroaminoto juga turut memberi tuntunan terhadap pola pemikiran mereka.

Museum tersebut buka setiap hari Selasa–Minggu mulai pukul 08.00 WIB hingga pukul 15.00 WIB. Lokasi museum ini berada di Jl. Peneleh Gang VII No. 29-31, Kel. Peneleh, Kec. Genteng. Jika ingin mengunjungi rumah sekaligus museum H.O.S. Tjokroaminoto, kamu harus melakukan pendaftaran secara daring melalui tiketwisata.surabaya.go.id. Setelah melakukan pendaftaran, kamu cukup menunjukan barcode yang tercetak dalam tiket tersebut saat berkunjung.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Singgah ke Museum H.O.S Tjokroaminoto appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/singgah-ke-museum-h-o-s-tjokroaminoto/feed/ 0 36734
Menyusuri Jejak Sepak Bola Surabaya https://telusuri.id/menyusuri-heroisme-sepak-bola-dengan-bersepeda-bersama-subcyclist/ https://telusuri.id/menyusuri-heroisme-sepak-bola-dengan-bersepeda-bersama-subcyclist/#respond Wed, 14 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35779 Juni adalah bulan saat klub kebanggaan arek-arek Suroboyo, Persebaya berdiri. Untuk itu, sebuah komunitas sepeda di Surabaya bernama SubCyclist berinisiatif membangkitkan memori kolektif  klub Persebaya melalui kegiatan lawatan sejarah dengan bersepeda. Supaya kegiatan semakin semarak,...

The post Menyusuri Jejak Sepak Bola Surabaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Juni adalah bulan saat klub kebanggaan arek-arek Suroboyo, Persebaya berdiri. Untuk itu, sebuah komunitas sepeda di Surabaya bernama SubCyclist berinisiatif membangkitkan memori kolektif  klub Persebaya melalui kegiatan lawatan sejarah dengan bersepeda. Supaya kegiatan semakin semarak, pengurus SubCyclist merekomendasikan peserta untuk memakai jersey bertemakan Persebaya atau kaos berwarna hijau sebagai alternatif. 

Pukul 06.30 pagi, peserta mulai berdatangan dan berkumpul di area sekitar Pasar Atum, sebuah pusat perbelanjaan yang telah berdiri sejak tahun 1972. Merasa peserta sudah cukup, pengurus SubCyclist memberikan sedikit gambaran kepada mengenai kegiatan meliputi pengarahan rute, lokasi persinggahan, hingga narasumber. Rute lawatannya sendiri yakni Jalan Bunguran–Jalan Dukuh–Jalan KH Mas Mansyur–Jalan Sultan Iskandar Muda–Jalan Sidorame–Jalan Sidotopo Lor–Jalan. Kapasari–Jalan Ngaglik–Jalan Tambaksari–Gelora 10 November.

Peserta
Peserta berhenti lampu lalu lintas Jl. Bunguran/Syahrul Anwar

Tangan telah memegang kemudi, dan siap mengayuh pedal, menandakan bahwa kegiatan telahkami mulai. Kami menyusuri ruas-ruas jalan sesuai dengan rute yang telah disepakati, di antaranya kawasan Pecinan hingga kawasan Ampel yang merupakan kawasan cagar budaya. Kedua kawasan tersebut menyimpan ilmu pengetahuan dan cerita sejarah sehingga pada 2014 lalu mendapatkan ketetapan sebagai kawasan cagar budaya. Pasca melewati kawasan Ampel, rombongan menuju Jalan Sidorame, menyusuri perkampungan dan kemudian singgah di Makam Karang Tembok. 

Persis di pintu masuk, tepatnya di sisi kanan, terdapat makam salah seorang pendiri Soerabaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) Mas Pamoedji yang berdampingan dengan makam RA. Soedjirah Pamoedji. Terdapat sebuah prasasti di area makam Mas Pamoedji yang berpayungatap semi permanen dari asbes dan berpenyangga besi dengan warna hijau. Pemilihan cat warna hijau ini berkaitan erat dengan warna yang menjadi identitas SIVB—berganti menjadi Persebaya. Di sekitaran area makam Mas Pamoedji, narasumber seorang sejarawan yang juga menjadi dosen sejarah UNESA, Rojil Nugroho Bayu Aji membagikan pengetahuannya kepada peserta mengenai sejarah pendirian SIVB. Ia juga menceritakanbiografi dari sosok Mas Pamoedji.

Mas Pamoedji lahir pada 28 Februari 1905 di Blitar, Jawa Timur. Ia seorang aktivis pergerakan nasional yang juga menjadi anggota Indonesische Studieclub (ISC), perkumpulan bentukan dari Dr. Soetomo. Pada 18 Juni 1927, Mas Pamoedji menjadi salah satu seorang yang mendirikan SIVB. 

Makam Mas Pamoedji
Makam Mas Pamoedji (Pendiri SIVB)/Syahrul Anwar

SIVB berdiri sebagai wadah perkumpulan bagi bumiputera khususnya di Surabaya untuk bermain sepak bola, saat itu sepak bola berkaitan eratdengan diskriminasi yang dilakukan oleh Belanda kepada bumiputera. Sementara itu, Soeratin Sosrosoegondo seorang lulusan Sekolah Teknik Tinggi di Mecklenburg Jerman yang kembali ke tanah air pada 1928 menilai bahwa sepak bola mampu mendorong semangat nasionalisme. Oleh karenanya, ia kemudian rajin melakukan pertemuan dengan perwakilan klub-klub bumiputera untuk menginisiasi terbentuknya sebuah organisasi induk sepak bola yang mampu mengakomodir sekaligus mengorganisir kepentingan klub-klub bumiputera. Hasilnya pada 19 April 1930, perwakilan dari Soerabaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB), Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB), Persatuan Sepakbola Mataram (PSM), Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB), Madioensche Voetbal Bond (MVB), Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM) mengadakan pertemuan di Yogyakarta dan menyepakati terbentuknya Persatuan Sepak Raga Seloeroeh Indonesia (PSSI) yang kini bernama Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.

Dari pemakaman Karang Tembok, rombongan kembali melanjutkan perjalanan dengan menyusuri Jalan Sidotopo Lor, melewati Jalan Kapasari, menerobos viaduct di Jalan Ngaglik, melalui Jalan Tambaksari dan berakhir dengan singgah di area Stadion Gelora 10 November, tepatnya di halaman luar dari pagar Mess Karanggayam. 

makam Mas Pamoedji
Peserta menengok ke makam Mas Pamoedji/Syahrul Anwar

Gelora 10 November menjadi pemberhentian terakhir sekaligus menjadi pelengkap kisah dari sejarah Persebaya yang menjadi kebanggaan arek-arek Suroboyo. Selain menjadi saksi dari laga-laga yang diselenggarakan di dalam stadion, Gelora 10 November juga menyimpan memori tersendiri dari pemain hingga para penggemar sepak bola.

Pada mulanya, Stadion Gelora 10 November hanya sebuah lapangan terbuka. Dulu bernama Lapangan Tambaksari. Lapangan ini menjadi markas bagi klub Soerabaiasche Voetbal Bond (SVB), sebuah perkumpulan sepak bola yang sebagian besar beranggotakan orang-orang Belanda. Di lokasi yang sama, pada 1932 terdapat peristiwa aksi boikot yang dipicu oleh diskriminasi yang dilakukan oleh Belanda kepada bumiputera, sehingga menyebabkan kerugian dari pihak penyelenggara pertandingan. 

Saat revolusi nasional berlangsung, Lapangan Tambaksari sempat menjadi tempat berkumpulnya massa untuk melakukan rapat raksasa. Selang beberapa tahun setelahnya, Lapangan Tambaksari menjadi markas klub Persebaya dan mengalami beberapa renovasi dengan ditambahkannya tribun sehingga merubah nama dari Lapangan Tambaksari menjadi Stadion Tambaksari. Menjelang pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) 1969, Stadion Tambaksari kembali mengalami renovasi dan berganti nama lagi menjadi Stadion Gelora 10 November. Penggantian nama ini bertujuan untuk mengingat peristiwa heroik yang terjadi di Surabaya. 

Tercatat, di stadion ini pernah menjadi tempat diselenggarakannya laga persahabatan dengan klub-klub Eropa seperti Arsenal, AC Milan, hingga PSV. Menimbang dari pentingnya nilai sejarah yang ada, saat ini Stadion Gelora 10 November berstatus sebagai bangunan cagar budaya yang tertuang melalui SK Walikota tahun 1996.

Ada kisah yang menarik dari setiap tempat, ada cerita yang unik dari setiap pengalaman yang telah dilalui tiap orang, sehingga menurut seorang filsuf romawi, Cicero berkata bahwa sejarah adalah guru kehidupan. Dengan demikian selalu ada pelajaran yang dapat dipetik dari setiap perjalanan kehidupan manusia. Perjalanan itu berakhir di Mess Karanggayam dan kemudian penyelenggara kegiatan mempersilahkan peserta untuk membubarkan diri.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Jejak Sepak Bola Surabaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-heroisme-sepak-bola-dengan-bersepeda-bersama-subcyclist/feed/ 0 35779
Walking Tour 10.000 Steps for Coral, Menapaki Sudut Kota Eropa di Surabaya https://telusuri.id/walking-tour-kota-eropa-surabaya/ https://telusuri.id/walking-tour-kota-eropa-surabaya/#respond Mon, 24 Oct 2022 14:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35777 Teriknya matahari sore di Kota Pahlawan tidak menghalangi keinginan para peserta untuk turut serta dalam kegiatan Walking Tour “10.000 Steps for Coral” yang diadakan pada Hari Sabtu, 17 September 2022 oleh TelusuRI dan Bersukaria Surabaya....

The post Walking Tour 10.000 Steps for Coral, Menapaki Sudut Kota Eropa di Surabaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Teriknya matahari sore di Kota Pahlawan tidak menghalangi keinginan para peserta untuk turut serta dalam kegiatan Walking Tour “10.000 Steps for Coral” yang diadakan pada Hari Sabtu, 17 September 2022 oleh TelusuRI dan Bersukaria Surabaya. Kapan lagi rasanya bisa menikmati momen berjalan dan bercerita, sekaligus secara tidak langsung berkontribusi untuk bumi melalui donasi penanaman terumbu karang. Iya, secara keseluruhan kegiatan ini buy one get one, dapat pengalaman beserta mendengar sepintas kisah masa lalu dari area yang dikunjungi, juga upaya meminimalisir jejak karbon dari kebiasaan berjalan kaki.

Peserta walking tour mulai bertemu di Taman Sejarah Surabaya, yang juga menjadi titik pertama kami memulai perjalanan bertajuk “Kota Eropa”. Kak Laily, sebagai pemandu di kegiatan itu menjelaskan perkembangan taman yang berubah-ubah namun masih dikelilingi bangunan-bangunan lama bergaya Belanda yang sudah ada sejak jaman penjajahan. 

Dulu, taman tersebut dikenal dengan Willemsplein hingga kemudian berubah nama menjadi Taman Jayengrono, nama Bupati Pertama Karesidenan Surabaya. Keberadaannya tentu tidak lagi sama, Willemsplein memiliki area yang cukup luas namun kini tampak sangat terbatas. 

“Nah, kenapa bisa jadi sempit seperti ini. Sebenarnya dulu itu daerah sini merupakan bekas gedung Pemerintah Belanda. Setelah itu karena ada beberapa masalah terutama peperangan, daerah ini jadi berubah nama dan fungsi menjadi Taman Willemsplein,” jelas Kak Laily sembari menunjukkan gambar usang sebuah gedung dengan bangunan yang cukup besar dan megah.

  • Kota Tua Surabaya
  • Kota Tua Surabaya

Tampak bangunan tinggi nan besar, yang terlihat dari Taman Sejarah, bertuliskan “Jembatan Merah Plaza”. Tempat tersebut merupakan salah satu pusat pembelian tekstil yang digemari masyarakat dan sudah ada sejak tahun 1997. Apa yang bisa diakses saat ini tentu berbeda dengan fungsinya pada zaman dahulu. 

Sebelum menjadi salah satu pusat perbelanjaan, Jembatan Merah Plaza justru menjadi tempat pembayaran pajak perkapalan. Tentu saja hal ini tidak lepas dari peranan Sungai Kalimas yang ada di sisi kanannya. Sungai ini menjadikan area tersebut pada masanya sangat ramai dan berperan sebagai pelabuhan. Jadi para nelayan ikan maupun hasil laut lainnya akan membayar pajak kapal dan hasil tangkapan di gedung ini. Setelahnya, karena terkait masalah sengketa, gedung pajak tersebut dihancurkan dan dibangunlah Jembatan Merah Plaza.

Perjalanan berlanjut untuk menengok lebih dekat Jembatan Merah. Secara harfiah, orang dapat memahami penamaan tersebut karena sisi pinggiran jembatannya memang berwarna merah. Namun, siapa yang sangka di balik itu juga tersimpan cerita sejarah yang bermakna. Jembatan itu pernah membara dalam perang yang melibatkan banyak orang, menebas banyak nyawa hingga menyisakan darah. Uniknya, pondasi awal Jembatan Merah masih bisa dilihat dengan menggunakan mata telanjang, kayu jati lama yang masih kokoh sampai sekarang.

Meski demikian, jembatan ini memiliki peranan penting karena menghubungan dua daerah dengan kecenderungan identitas yang berbeda, yakni daerah Eropa yang banyak dihuni oleh warga Belanda karena merupakan pusat pemerintahan dan warga etnis Tionghoa. Jembatan juga menghubungkan daerah Rajawali ke Karesidenan Surabaya. Sayangnya bentuk asli karesidenan itu sudah tidak berbekas, kecuali benteng untuk memanah. Kami juga menandai sejarah petualangan kami hari ini, dengan mengambil foto bersama-sama.

  • Kota Tua Surabaya
  • Kota Tua Surabaya
  • Kota Tua Surabaya

Tak jauh di dekat lokasi tersebut, terdapat bangunan yang memiliki wujud berbeda di antara bangunan lainnya. Masyarakat menyebutnya dengan “gedung cerutu”, karena atapnya dianggap seperti berbentuk cerutu. Beberapa juga ikut menyebutnya sebagai “gedung lipstick”, karena ujungnya berbentuk seperti ujung lipstick. Dulu gedung ini cukup ramai karena berperan sebagai kantor pengurus bank-bank yang ada di sekitarnya. Mengingat di wilayah itu, kebanyakan gedungnya merupakan bekas bank, pemerintahan, dan kantor pabrik pada masa penjajahan.

Kami kembali menelusuri jalanan sampai langkah kaki kembali terhenti di hadapan sebuah gedung bernuansa merah-putih dilengkapi dengan berbagai atribut partai politik tertentu. Gedung Internatio namanya. Menurut catatan sejarah, gedung ini didesain oleh biro arsitektur AIA (Algemeen Ingineurs en Architecten, FJL Ghijsels, Hein von Essen, F. Stilitz). Di depannya, tampak sebuah plakat yang menjelaskan tentang meninggalnya Jenderal Mallaby, yang bertempat di sekitar Gedung Internatio ini. Sangat disayangkan karena gedung megah dengan arsitektur khas Eropa sekaligus saksi bisu sejarah, kini kepemilikannya masih menjadi milik negara dan justru beralih fungsi jadi salah satu basecamp partai politik yang ada di Indonesia.

“Garis trotoar ini juga diyakini sebagai bekas jalur trem,” jelas Kak Laily seraya menunjuk garis batas-batas trotoar yang ada tepat di depan Gedung Internatio.

Tak lama setelahnya, kami tiba di Gedung Telkom, tepatnya Plasa Telkom Grup dari Telkom Indonesia. Dulu, jalanan di depannya dikenal dengan Jalan Sekolah, mengingat di sekitarnya pernah terdapat sekolah pertama untuk warga Belanda. Seiring dengan pembangunan, sekolah tersebut akhirnya dirobohkan dan diganti menjadi Plasa Telkom ini.

Di sampingnya masih terdapat telepon umum yang akrab ditemui pada tahun 1990 sampai 2000-an. Peserta Walking Tour “10.000 Steps for Coral” diajak bernostalgia mengangkat gagang telepon yang cukup besar dan memencet tombol nomor secara acak. Telepon berwarna biru bisa digunakan dengan menggunakan koin, sementara yang berwarna merah harus menggunakan kartu yang menandakan anggota tertentu. Tempat ini menjadi favorit karena biayanya lebih murah dibanding tempat lainnya, karena sekali lagi berada di lokasi dekat pelabuhan; memori perjalanan ini kembali diabadikan dalam kegiatan foto bersama.

  • Kota Tua Surabaya
  • Kota Tua Surabaya

Masih banyak pula titik-titik lain yang kami kunjungi. Ada Penjara Kalisosok, yang sedari dulu diselimuti suasana mencekam mengingat tahanan dan terduga pelaku kejahatan kerap menjadi korban kekerasan. Di dalamnya berisi sel dan pintu jeruji yang sudah tidak terawat lagi dan sebagian besar justru telah ditumbuhi dengan lumut, semak belukar, serta pepohonan yang tinggi. 

Ada De Javasche Bank, atau Museum Bank Indonesia yang arsitekturnya memiliki unsur khas simetris. Ada pula bangunan bekas kantor pabrik kimia yang sudah tidak lagi digunakan dan tampak rumah hunian ala Belanda dengan dua pilar di sisi depan. Kami sempat terhenti sebentar di depan  Pabrik Limun & Sirup “Telasih”. Produksinya masih berlangsung sampai sekarang. Menariknya, proses pendinginan sirup selama produksi tidak menggunakan kulkas, melainkan dimasukkan dan disimpan dalam kendi besar berbahan tanah liat.

Pada puncak sekaligus penutup perjalanan, peserta walking tour disuguhkan bangunan bekas Netherlands Spaarbank (Bank Tabungan Manfaat Umum) yang kini tetap digunakan sebagai gedung MayBank. Lokasinya tepat berada di ujung jalan, dilengkapi dengan tower yang menjulang dengan jam di tengahnya. Cat yang putih tampak sangat kontras bila disandingkan dengan warna biru langit yang cerah. Hal ini juga sontak mengundang decak kagum dari para peserta. Berkali-kali terdengar gumaman, “Wah!”, “Wow”, dan “Ahh” dari kerumunan kecil ini. Walking Tour “10.000 Steps for Coral” berakhir menyenangkan dan meninggalkan beragam kesan. Tidak ada kalimat yang perlu disampaikan selain, kapan perjalanan selanjutnya akan diadakan?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Walking Tour 10.000 Steps for Coral, Menapaki Sudut Kota Eropa di Surabaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/walking-tour-kota-eropa-surabaya/feed/ 0 35777
Gedung Tua di Bekas Pelabuhan Kalimas Surabaya https://telusuri.id/gedung-tua-di-bekas-pelabuhan-kalimas-surabaya/ https://telusuri.id/gedung-tua-di-bekas-pelabuhan-kalimas-surabaya/#respond Mon, 19 Sep 2022 02:26:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35261 Kota tua seakan memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka yang menggemari menjelajah kawasan yang mungkin dianggap sangat membosankan oleh sebagian orang. Namun kota tua dengan segala hiruk-pikuknya, sejak dulu hingga kini seakan-akan menolak untuk tergerus...

The post Gedung Tua di Bekas Pelabuhan Kalimas Surabaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Kota tua seakan memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka yang menggemari menjelajah kawasan yang mungkin dianggap sangat membosankan oleh sebagian orang. Namun kota tua dengan segala hiruk-pikuknya, sejak dulu hingga kini seakan-akan menolak untuk tergerus dengan roda zaman. Kemegahan bangunan-bangunan masa lampau yang menyimpan cerita dan rahasia di setiap bangunannya tentu menjadi daya pikat bagi sebagian orang yang sangat menggemari dunia sejarah, khususnya wisata sejarah yang mulai dilirik oleh sebagian kalangan.

Jika berbicara mengenai kota tua yang ada di kota-kota di Indonesia, Kota Surabaya merupakan salah satu kota dengan status metropolitan yang masih mempertahankan eksistensi kota tuanya untuk kepentingan wisata dan perekonomian.

Kawasan kota tua di kota yang dijuluki sebagai Kota Pahlawan ini terletak di sekitar pesisir seperti lazimnya beberapa kota lain di Pulau Jawa yang masih mempertahankan keberadaan kawasan tempo doeloe. Lebih tepatnya yakni di sekitar bekas Pelabuhan Kalimas di sepanjang muara Sungai Kalimas yang menjadi roda penggerak perekonomian Kota Surabaya di masa lampau.

Ramai Aktivitas Perekonomian Sejak Abad ke-14

Kawasan bekas Pelabuhan Kalimas di sepanjang muara Sungai Kalimas yang menuju ke Selat Madura diyakini sudah ramai dengan segala macam aktivitas perekonomian serta hiruk-pikuk penduduk sejak abad ke-14. Akan tetapi menurut beberapa sumber sejarah lainnya seperti dari Prasasti Canggu (1395) dan Prasasti Kamalagyan menyebutkan sebuah daerah yang menjadi pusat perekonomian yang lokasinya diperkirakan berada dekat dengan Mojokerto. Hal ini diyakini sudah ada sejak abad ke-11 yang saat itu memang ramai sebagai jalur pelayaran kuno.

Di masa kolonial Belanda, Pelabuhan Kalimas tumbuh menjadi sebuah kawasan yang cukup padat dengan aktivitas bongkar muat barang yang berasal dari Pelabuhan Oedjoeng (Tanjung Perak) maupun yang berasal dari kawasan hinterland (pedalaman) Surabaya. Bahkan di masa ini diperkirakan Pelabuhan Kalimas memasuki masa kejayaannya karena berperan cukup besar dalam perekonomian serta perkembangan Kota Surabaya.

Bangunan Pasar Pabean (Zahir)
Bangunan Pasar Pabean/Zahir

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya bangunan-bangunan megah yang dibangun di sekitar aliran sungai Kalimas baik di sisi timur maupun barat. Umumnya kegiatan perekonomian terpusat di sisi timur yang menjadi area bongkar muat barang. Bukti kegiatan perekonomian tersebut tercermin dari sebuah kawasan yang bernama Pasar Pabean. Pasar tua ini berdiri di sebuah gedung kolonial dan sudah ada sejak tahun 1849. Kawasan ini dulunya merupakan perbatasan antara kawasan pecinan yang terpusat di Jalan Kembangan Jepun dan juga daerah Kampementstraat (kini Jalan KH. Mas Mansyur) yang merupakan kawasan permukiman etnis arab.

Pasar ini menjual beragam rempah-rempah kualitas tinggi pada masa lampau, bahkan hingga kini pasar yang sudah berusia kurang lebih sekitar 150 tahun tersebut masih menjual beragam rempah-rempah seperti bawang merah, bawang putih, cengkeh, ketumbar, dan beragam rempah serta bumbu dapur lainnya. Selain itu pasar ini juga menjual beragam jenis ikan mulai dari ikan air tawar maupun ikan hasil tangkapan nelayan di laut.

Komplek Gedung Megah di Sisi Barat

Jika di kawasan sisi timur Sungai Kalimas didominasi oleh daerah perekonomian yang dikelola oleh etnis Arab maupun Tionghoa dan Bumiputera, lain hal dengan sisi barat Kalimas yang menjadi kawasan elit yang didominasi oleh etnis Eropa khususnya Belanda. Hal ini tidak terlepas dari politik ras di masa lalu yang diterapkan di Kota Surabaya yang dimana pembagian kawasan administrasi dan pemukiman berdasarkan etnis atau ras. Di sisi barat ini kamu dapat melihat banyak bangunan besar dengan gaya khas kolonial yang cukup kental.

Banyak bangunan di kawasan tersebut difungsikan sebagai perkantoran, gedung bank serta bangunan-bangunan lainnya yang dikelola oleh orang-orang Eropa. Kawasan tersebut tersebar di sekitar Jalan Kalisosok, Jalan Rajawali hingga menuju ke Jalan Veteran. Mungkin salah satu ikon di kawasan barat ini adalah keberadaan Gedung Singa yang cukup ikonik. 

Gedung Singa (zahir)
Gedung Singa/Zahir

Gedung yang terkenal dengan patung dua ekor macan bersayap tepat di pintunya ini dulunya merupakan sebuah gedung asuransi yang sudah ada sejak awal abad ke-20. Dahulu gedung ini dikenal dengan nama De Algemeene karena dimiliki oleh Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, yakni perusahaan asuransi asal Belanda.

Selain itu di kawasan ini juga banyak gedung-gedung besar lainnya seperti pabrik Siropen Telasih yang berada tepat di samping Gedung Singa, kemudian sedikit berjalan ke arah utara maka akan menemukan bekas Gedung AA Energy yang juga merupakan salah satu bangunan cagar budaya.

Kawasan di sepanjang sisi barat ini memiliki keindahan khas nuansa Eropa yang cukup kental, tidak heran lokasi ini banyak ditemukan beragam wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang sedang melakukan jelajah sejarah atau blusukan sembari mengabadikan momen dengan kamera. 

Jembatan Merah (zahir)
Jembatan Merah/Zahir

Kawasan ini juga dihubungkan dengan kawasan sisi timur melalui sebuah jembatan yang cukup ikonik di kawasan kota tua yakni Jembatan Merah atau Roode Brug.

Terdapat Teknologi Canggih di Sekitar Pelabuhan Kalimas

Untuk menunjang kegiatan bongkar muat barang dan juga arus lalu lintas pelayaran di kawasan Pelabuhan Kalimas, tentunya diperlukan sistem teknologi untuk mempermudah proses tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya situs bekas jembatan mekanik yang dapat dinaik turunkan diantara aliran sungai Kalimas.

Situs Bekas Jembatan Petekan (Zahir)
Situs Jembatan Petekan/Zahir

Jembatan tersebut dikenal dengan nama Jembatan Petekan karena pada masanya dulu dioperasikan dengan cara menekan tombol mekanisme atau “dipetek” yang merupakan bahasa lokal dari kata ditekan. Jembatan ini dibangun pada awal abad ke-20 dan diyakini merupakan jembatan mekanik paling canggih pada masanya di Hindia-Belanda.

Lanjut jika kita menyusuri sisi timur Pelabuhan Kalimas akan menemukan sebuah alat besar yang berbentuk seperti crane di era modern. Alat tersebut memanglah sebuah alat angkat atau crane kuno yang dulu dioperasikan di kawasan Pelabuhan Kalimas untuk memindahkan barang dari kapal-kapal ke area dermaga maupun sebaliknya. Crane ini diyakini dibangun pada abad ke-20 untuk mempermudah kegiatan bongkar muat barang pada kala itu.

Kawasan bekas Pelabuhan Kalimas sejatinya hingga kini masih difungsikan sebagai kawasan niaga meski kegiatan bandar pelabuhan sudah tidak beroperasi. Meskipun terkenal sebagai kawasan yang sedikit kumuh namun area ini tidak pernah kehilangan daya tarik nuansa kolonialnya yang seakan-akan terus hidup melewati zaman.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gedung Tua di Bekas Pelabuhan Kalimas Surabaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gedung-tua-di-bekas-pelabuhan-kalimas-surabaya/feed/ 0 35261