surakarta Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/surakarta/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 14 Mar 2025 04:37:19 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 surakarta Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/surakarta/ 32 32 135956295 Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta https://telusuri.id/kampung-lawas-ngesusan-karya-mas-aboekassan-surakarta/ https://telusuri.id/kampung-lawas-ngesusan-karya-mas-aboekassan-surakarta/#respond Thu, 13 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46062 Menjelajahi kampung lawas di suatu kota, ibarat menambang emas, tetapi yang didapatkan uranium. Kehidupan sederhana, yang jika dijelajahi lebih dalam, bakal menemukan sesuatu yang jarang atau mungkin tidak pernah terpikirkan oleh masyarakat awam. Kali ini...

The post Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Menjelajahi kampung lawas di suatu kota, ibarat menambang emas, tetapi yang didapatkan uranium. Kehidupan sederhana, yang jika dijelajahi lebih dalam, bakal menemukan sesuatu yang jarang atau mungkin tidak pernah terpikirkan oleh masyarakat awam.

Kali ini saya menelusuri kampung lawas Ngesusan di Timuran, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Tidak ada Ngesusan di peta digital saat ini. Hanya segelintir warga Surakarta yang tahu letak kampung lawas tersebut. 

Perempatan Jalan Gajah Mada dan Jalan Yosodipuro merupakan titik tengah lokasi kampung lawas Ngesusan. Latar belakang penamaannya yang unik dan tidak tampak sebagai kampung lawas, menjadi alasan saya menjelajahi Ngesusan.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Taman Ngesusan Punggawan/Ibnu Rustamadji

Selayang Pandang Kampung Lawas Ngesusan

Penamaan Ngesusan atau Ngesus, didasarkan atas keberadaan gedung Monumen Pers Nasional yang bergaya arsitektur Hindu, tepat di perempatan Jalan Gajah Mada dan Jalan Yosodipuro atau Taman Ngesus. Merujuk surat kabar De Vorstenlanden tahun 1920, gedung ini awalnya Societeit Sasana Soeka, tempat sosialita warga Belanda dan bangsawan Pura Mangkunegaran. 

Societeit artinya perkumpulan, sedangkan Sasana Soeka berarti tempat bergembira. Societeit Sasana Soeka artinya tempat perkumpulan dan bergembira. Mereka menempati Sasana Soeka selain untuk bergembira dan pesta, juga berdiskusi berbagi pengalaman guna mencapai kesepahaman dan menggelar acara kenegaraan.

Mereka yang tergabung dalam perkumpulan mayoritas warga Belanda, saudagar, elit bumiputra, dan bangsawan Mangkunegaran yang tinggal di wilayah Pura Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan. Tempat pesta dan acara kenegaraan menempati ruang tengah societeit, sedangkan ruang diskusi di perpustakaan di salah satu ruang kamar.

Mereka yang diperkenankan hadir ditentukan, tetapi jika acara bersifat umum, warga diperkenankan hadir di halaman. Surakarta memiliki tiga societeit, yakni Societeit Harmonie di Loji Wetan, Societeit Habipraya di Coyudan, dan Societeit Sasana Soeka.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Kedua gedung soos, Societeit Militer Praja Mangkunegaran di sisi kiri (kini rumah dinas wakil wali Kota Surakarta) dan Societeit Sasana Soeka di sisi kanan (kini Monumen Pers Nasional) saling menghadap perempatan Taman Ngesusan dengan jalan tengah menuju Kampung Tumenggungan/Ibnu Rustamadji

Societeit Sasana Soeka: Awal Mula Nama Ngesusan

Merujuk surat kabar De Locomotief tahun 1918 (Norbruis, 2022), gedung Societeit Sasana Soeka dirancang oleh seorang arsitek bumiputra bernama Mas Aboekassan Atmodirono. Ia lahir 18 Maret 1860 di Wonosobo, putra dari Kepala Kejaksaan Wonosobo Atmodirono. Lazim kala itu nama anak menggunakan nama belakang sang ayah.

Meski berasal dari keluarga priyayi kejaksaan, tampaknya Aboekassan Atmodirono memilih jalan hidup sebagai arsitek terlepas dari kedua orang tuanya. Melihat keinginan tersebut, ia disekolahkan di pendidikan mentereng kala itu, yakni Europeesche Lagere School (ELS) di Yogyakarta, Technische Wilhelminaschool di Batavia dan terakhir di Technische Hogeschool Delft di Belanda. 

Ketika belajar di Delft inilah, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang dipercayakan orang tuanya, untuk belajar dan bekerja sama dengan arsitek senior kelahiran Belanda. Ia lantas bertemu rekan kerjanya, insinyur Henri Maclaine Pont.

Mereka lantas berkolaborasi menciptakan master plan sesuai gaya masing-masing, demi menyelesaikan studi sebagai arsitek muda. Usai lulus tahun 1878, Aboekassan lantas melamar pekerjaan di Burgelijk Openbare Werken (BOW), semacam dinas pekerjaan umum di Hindia Belanda (Indonesia kala itu), sebagai pengawas kelas dua.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Ilustrasi Mas Aboekassan Atmodirono/Fuad via Tirto.id

Ia bekerja berpindah-pindah, di antaranya Pasuruan, Purworejo, Kebumen, Banjarnegara, dan Kota Semarang. Setelah menetap di Semarang, tahun 1898 ia mencoba mengikuti ujian arsitek di Semarang.

Pada 1 Mei 1901, Aboekassan dinyatakan lulus dan mendapat kenaikan jabatan di BOW sebagai arsitek pengawas kelas satu. Tidak lama kemudian, ia mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Kotapraja Semarang dan membantu pendidikan bumiputra.

Merujuk Bataviasche Nieuwsblaad tahun 1913 (Norbruis, 2022), Aboekassan selama di Semarang turut mendirikan Kartini Vereeniging atau Sekolah Kartini di Bukit Candi. Sekolah perempuan ini didanai Conrad Theodore van Deventer dan Jacques Henry Abendanon, dipimpin Nyonya Wallbrink.

Dalam mendirikan sekolah Kartini, sejatinya Aboekassan sudah merencanakan sejak tahun 1912, dibantu rekan arsitek Henry Maclaine Pont. Selain menghormati perjuangan Raden Ajeng Kartini, tujuan mendirikan sekolah juga memajukan pendidikan, khususnya untuk perempuan. 

Upacara pembukaan Kartini Vereeniging Semarang digelar Senin pagi, 15 September 1913. Mas Aboekassan turut hadir dan berpidato. Dalam sambutannya, yang diberitakan Bataviaasch Nieuwsblad, upacara pembukaan merupakan hari bahagia baginya karena menjadi tonggak kemajuan pendidikan bumiputra.

Aboekassan juga mengucapkan terima kasih kepada Conrad Th. Van Deventer dan Jacques. H. Abendanon atas terwujudnya pendidikan bumiputra khusus perempuan di Semarang. Kabar gelaran upacara pembukaan itu akhirnya sampai di kerajaan Belanda.

Melalui A.M. Valkenburg, selaku kepala insinyur BOW Semarang sekaligus perwakilan kerajaan Belanda di Hindia Belanda, Aboekassan dianugerahi penghargaan Orde van Oranje Nassau tahun 1912. Penghargaan bergengsi untuk individu atas jasanya terhadap pemerintah. 

Aboekassan lantas diganjar pekerjaan baru mengurus sistem saluran air Kota Semarang. Lalu diterima menjadi anggota perhimpunan teknik bangunan di Vereeniging van Bouwkundigen Nederlandsch Indië van Semarang dan turut serta meramaikan Koloniale Tentoonstelling di Semarang tahun 1918.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Potrait Gusti Mangkuenagara VII sebagai inisiator pendirian Societetit Sasana Soeka di belakang gramofon koleksi Monumen Pers Nasional untuk memutar piringan hitam/Ibnu Rustamadji

Gelaran Koloniale Tentoonstelling turut serta dihadiri Gusti Mangkunegara VII, yang takjub dengan desain arsitektur paviliun milik Aboekassan. Keduanya saling bertemu, hingga akhirnya bersepakat merancang gedung societeit yang digagas Gusti Mangkunegara VII. 

Aboekassan lantas pergi ke Kota Surakarta, setelah mendapat izin BOW Semarang. Sesampainya di sana, ia bertemu kembali dengan Gusti Mangkunegara VII di Pura Mangkunegaran untuk berdiskusi mengenai master plan gedung tersebut.

Merujuk catatan A. Yasawidagda, anggota Societeit Sasana Soeka sudah terbentuk sederhana tahun 1917, dipimpin Hardjasoepoetra. Mereka biasa mengadakan pertemuan pukul tujuh malam, di rumah kontrakan di barat Kampung Tumenggungan, Surakarta. 

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Gang kampung lawas Tumenggungan di barat daya Societeit Sasana Soeka/Ibnu Rustamadji

Atas dasar ini, Gusti Mangkunegara VII berinisiatif mendirikan rumah societeit (soos) baru—awal penamaan Ngesusan atau Ngesus—yang kelak menjadi Societeit Sasana Soeka. Proses perancangan dan pembangunannya ditaksir berlangsung setahun. Merujuk pemberitaan Djawi Hisworo bertajuk perpindahan rumah itu, Societeit Sasana Soeka diresmikan Minggu, 31 Juni 1918. Acara dimulai pukul tujuh malam, diawali sambutan presiden perserikatan.

Diberitakan lebih lanjut, presiden mengatakan pemindahan rumah soos berkat sifat ringan tangan Gusti Mangkunegara VII dalam memberi bantuan pendirian rumah dan menelan biaya tidak sedikit. Menurutnya sudah sepantasnya anggota societeit wajib mempersembahkan ribuan ucapan terima kasih kepada Beschermer.

Sambutan diakhiri sorak-sorai tamu yang hadir, diiringi alunan musik sebagai wujud kegembiraan. Kegiatan dilanjutkan bersuka ria sembari menikmati hidangan dan minuman yang disajikan, ditemani alunan musik gamelan. Gusti Mangkunegara VII turut menyambut dengan mengucapkan terima kasih dan menyematkan nama Sasana Soeka.

Diberitahukan lebih lanjut, rumah soos baru berada di ujung jalan perempatan belakang Tumenggungan (kini areal Kepatihan Mangkunegaran). Upacara pembukaan dihadiri 200 tamu anggota soos, priyayi bumiputra, putra-putri kerajaan, dan tamu perwakilan Tionghoa.

Turut hadir kelompok murid perempuan sekolah Tionghoa memakai baju noni. Suasana malam hari riuh dengan hiburan musik diiringi gamelan, hingga puncaknya pukul 21.00 datang satu perkumpulan Strijk Orkest dari Keraton Kasunanan, diiringi tiga perempuan muda menyanyikan lagu Barat diiringi tabuhan gamelan Jawa. Upacara pembukaan selesai tengah malam dengan selamat, para tamu bersorak, “Hiduplah Societeit Sasana Soeka!”.

Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
Bekas kantor Kepatihan Mangkunegaran di kampung lawas Punggawan/Ibnu Rustamadji

Perpaduan Gaya Arsitektur Eropa dan Jawa

Selaku arsitek di balik kemegahan Societeit Sasana Soeka, Aboekassan sengaja memadukan gaya arsitektur art deco Eropa, fasad simetris dengan pilar-pilar, dan gaya timur lewat struktur candi Hindu Jawa. Hal ini tidak lepas dari wujud kepeduliannya terhadap kebudayaan Jawa, meski ia disetarakan arsitek Belanda. Ia mengimplementasikan struktur candi Hindu Jawa untuk eksterior gedung sehingga memperlihatkan kekokohan, berpadu apik dengan sepasang patung naga di bagian kiri kanan tangga masuk sebagai wujud keberanian. 

Soerjowinoto, arsitek bumiputra setelah Aboekassan mengenyam pendidikan di Antwerp, mencatatkan keindahan Societeit Sasana Soeka dalam jurnal perjalanannya berjudul Naar Indonesie:

“Gedung Societeit Sasana Soeka adalah bangunan yang sangat indah, perpaduan harmonis antara gaya Hindu Jawa kuno dan gaya barat cukup kuat. Meski sederhana namun sangat anggun. Ini adalah bukti bagi seniman sekaligus arsitek lulusan sekolah tekhnik Wilhelmina Batavia, tetap rendah hati sebagai orang Jawa yang mampu memadukan keindahan seni nasionalnya dengan gaya seni megah khas barat.”

  • Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
  • Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta
  • Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta

Begitu juga dengan insinyur Charles Prosper Wolff Schoemaker, ketika beranjangsana di Surakarta dan mengunjungi Societeit Sasana Soeka. Dilansir dari De Vorstenlanden tahun 1925 (Monumen Pers Nasional), ia begitu takjub dan menaruh hormat atas mahakarya Aboekassan sebagai wujud nyata kecintaan seorang bumiputra terhadap budaya Jawa. Ia menambahkan, gaya Aboekassan sangat ekspresif menggabungkan kreativitas arsitektur Eropa yang fungsional-rasional dengan kekhasan arsitektur Hindu Jawa yang penuh simbol dan makna. 

Beberapa pengelana dari Eropa yang singgah di Surakarta pun kagum dibuatnya. Banyak yang mencatatkan keindahan dan kekagumannya, seperti gedung Societeit Sasana Soeka tak ubahnya candi Hindu yang muncul di abad ke-19.

Merujuk berita Preanger tahun 1926 (Monumen Pers Nasional), Mas Aboekassan diketahui memiliki karya lain, yakni gedung Panti Soeko sebagai sarana hiburan pekerja kelas atas Pabrik Gula Colomadu, yang notabene milik Pura Mangkunegaran. Ia juga tercatat berkecimpung di pergerakan nasional sebagai anggota Boedi Oetomo dan anggota Mangoenhardjo.

Roda kehidupan terus berputar, tetapi tidak untuk Aboekassan. Setelah undur diri sebagai insinyur di BOW Semarang, ia memutuskan rehat di kediamannya, Jalan Dr. Cipto yang dahulu bernama Karrenweg Semarang, hingga wafat hari Jumat tanggal 30 Juli 1920. 

Upacara pemakaman digelar khidmat di makam Bergota Semarang, dihadiri rekan arsitek, pejabat Kota Semarang, kepala pelabuhan Valkenburg, bupati Semarang, perwakilan BOW Jawa Tengah, anggota Boedi Oetomo, anggota Mangoenhardjo, perwakilan dari Kota Surakarta, dan tamu Eropa.

Meski raga Aboekassan sudah tiada, karya monumentalnya di Surakarta tetap berdiri menjulang, mengharumkan nama sang arsitek yang teguh mempertahankan budaya yang diwariskan. Bagi saya, inilah tempat awal dan akhir penamaan kampung lawas Ngesusan di Surakarta: Societeit Sasana Soeka.


Referensi:

Koleksi surat kabar fisik dan informasi sejarah Monumen Pers Nasional, Surakarta.
Norbruis, Obbe H. (2022). Arsitektur di Nusantara: Para Arsitek dan Karya Mereka di Hindia-Belanda dan Indonesia pada Paruh Pertama Abad ke-20. Stichting Hulswit Fermont Cuypers, Belanda.
Priyatmoko, Heri. (2018). Menelisik Sejarah Societeit Mangkunegaran. Pojok Kedaulatan Rakyat, edisi 13 Februari 2018. Terjemahan referensi fisik catatan A. Yasawidagda dan surat kabar Djawi Hiswara dari bahasa Jawa. https://repository.usd.ac.id/21783/.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Kampung Lawas Ngesusan, Melihat Karya Arsitektur Mas Aboekassan di Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-lawas-ngesusan-karya-mas-aboekassan-surakarta/feed/ 0 46062
Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta https://telusuri.id/menyusuri-bunker-setono-lorong-opium-di-kampung-laweyan-surakarta/ https://telusuri.id/menyusuri-bunker-setono-lorong-opium-di-kampung-laweyan-surakarta/#respond Fri, 22 Nov 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=43520 Mendengar kata bunker, mungkin bagi sebagian warga merupakan tempat persembunyian darurat prajurit untuk merencanakan strategi peperangan. Namun, berbeda dengan yang saya kunjungi di Laweyan, kampung lawas di Kota Surakarta atau Solo. Akrab disebut Kampung Batik...

The post Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendengar kata bunker, mungkin bagi sebagian warga merupakan tempat persembunyian darurat prajurit untuk merencanakan strategi peperangan. Namun, berbeda dengan yang saya kunjungi di Laweyan, kampung lawas di Kota Surakarta atau Solo. Akrab disebut Kampung Batik Laweyan..

Hilir mudik warga Kampung Laweyan tidaklah sesering warga Kampung Banaran Sukoharjo, yang melalui Laweyan untuk bekerja di Solo. Keramaian Kampung Laweyan dimulai menjelang senja. Mereka lebih memilih beraktivitas di sore hari. Sekadar melepas lelah setelah bekerja mbatik (membuat batik) dengan bercengkerama di pinggir jalan kampung.

Berbeda dengan mbok mase—sebutan untuk saudagar batik Kampung Laweyan—lebih memilih bersantai di kediamannya yang bergaya indis, di balik tembok tebal setinggi empat meter. Hal ini lazim karena pabrik batik tulis Laweyan ada di belakang kediaman mbok mase. Para saudagar tidak perlu setiap hari keluar rumah untuk mengontrol produksi batik.

Masing-masing saudagar Laweyan memiliki ciri khas batik tulis dengan kerumitan pola yang berbeda. Ada satu saudagar Laweyan yang cukup mentereng di abad ke-18 hingga namanya berkibar di Eropa, yakni Tiga Negeri. Di kawasan Tiga Negeri Laweyan inilah tempat bunker Setono berada dan akan saya jelajahi.

Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
Bocah-bocah bersepeda di gang sempit Kampung Laweyan/Ibnu Rustamadji

Mencari Bunker Setono

Deretan tembok tebal dan tinggi Laweyan senantiasa menemani sepanjang perjalanan. Hanya tampak satu pintu regol kayu jati sebagai akses masuk utama. Namun, jika mendapat izin menengok ke dalam, kita bakal menjumpai kediaman bergaya indis lengkap dengan kemewahannya. 

Tidak semua saudagar Laweyan membuka pintu untuk berkunjung secara bebas. Harus izin dahulu meski sekadar ingin melihat. Tidak boleh asal menyelonong masuk dan wajib menghormati tuan rumah. Mereka juga butuh kenyamanan dan privasi untuk keluarga, sehingga harus saling memahami. Hal inilah yang menjadikan Kampung lawas Laweyan menarik untuk dijelajahi.

Setibanya di Jalan Tiga Negeri Laweyan, saya dikejutkan delapan anak berkumpul memenuhi “gang senggol” kampung. Awalnya saya kira ada kegiatan warga, ternyata tidak. Mereka tengah sibuk berboncengan sepeda ontel. Saya mengobrol sambil memotret kekocakan mereka dalam lensa kamera.

Tidak banyak warga, hanya sepeda motor yang terparkir mepet di dalam gang yang saya jumpai. Gang di dalam Kampung Laweyan sejatinya dibangun hanya sebagai penghubung antarkediaman saudagar. Tak ayal jalanan hanya bisa dilalui dua orang berjalan kaki.

Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
Gapura regol kayu berwarna kuning di ujung gang Jalan Tiga Negeri/Ibnu Rustamadji

“Oh, ikut gang ini terus mentok ada regol kayu kuning. Sebelahnya ada gang ke selatan, ikuti terus nanti rumahnya di barat jalan,” begitu kiranya arahan warga menuju rumah bunker Setono. 

Di ruas jalan yang sama, tepatnya RT 02 RW 11, rumah bunker Setono yang tersisa di kampung lawas ini ada di hadapan mata. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengetuk pintu untuk izin berkunjung.

Tampak pria paruh baya dengan ramah membukakan pintu sembari mempersilakan masuk. Beliau adalah Harun Mulyadi, pewaris rumah bunker Setono. Sembari menunjukan lokasi ndalem ageng dan bunker, ia banyak bercerita mengenai masa lalunya selama mendiami rumah keluarganya ini. 

Ia bercerita, jika rumahnya merupakan warisan Bei Kertoyudo, seorang priyayi Kerajaan Pajang di Kartasura. Namun, ia tidak tahu persis kebenaran maupun kapan rumah tersebut dibangun. Ia menambahkan, kedua orang tuanya pun tidak tahu-menahu sosok Bei Kertoyudo. Ia menduga, Bei Kertoyudo adalah kakek buyutnya.

Sejarah Bunker Setono sebagai Jalur Perdagangan Opium di Solo

Sembari asyik mengobrol, sampailah kami di pintu bunker Setono. Tepat di depan krobongan ndalem ageng. Tampak meja bundar dengan alas kayu persegi panjang, sebagai kamuflase pintu masuk bunker. Perlahan kami pindahkan meja dan papan guna melihat bunker lebih dekat.

Tampak dari atas, pijakan tangga batu merah siap menyambut di tengah kegelapan total. Saya lantas turun ke bawah bunker dan mencari jalur penghubung menuju kediaman lain di sekitarnya. Ada satu bukaan mengarah ke timur, diduga jalur penghubung yang kini telah ditutup tembok. 

Dugaan saya selama ini rupanya benar. Bunker Setono sejatinya dibangun untuk penyelundupan opium dari Bandar Kabanaran di selatan rumah bunker. Saat ini situs Bandar Kabanaran yang terletak di daerah aliran Sungai Bengawan Solo dekat Laweyan tampak memprihatinkan.

  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta

Opium kala itu dibawa pedagang menuju Laweyan dengan kapal jung (sejenis kapal layar) yang berlabuh di Bandar Kabanaran. Rumah bunker Setono adalah pusat transit opium dari dermaga sebelum dikirim kepada para saudagar Laweyan. Penggunanya buruh pekerja batik, sebagai tamba lara atau penyehat setelah lelah bekerja seharian.

Rumah bunker Setono di Laweyan tak ubahnya Rumah Merah Lasem. Sama-sama sebagai pusat perdagangan opium di abad ke-18. Opium dikirim dengan kapal jung supaya terbebas dari pajak pemerintah. Di beberapa sudut Kota Solo, terdapat opiumverkooplast atau tempat penjualan opium. Kampung Laweyan merupakan salah satu pusat perdagangan opium yang menjadi komoditas tersohor di Solo saat itu. 

Sekadar informasi, opium atau candu merupakan bagian dari narkotika dan obat berbahaya. Tidak disarankan untuk mencari atau mengonsumsi bunga opium. Narkotika, obat berbahaya dan sejenisnya menjadi legal ketika digunakan untuk keperluan medis dan kimiawi. Menjadi ilegal, ketika diedarkan dan disalahgunakan. 

  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
  • Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta

Puas mengabadikan detail bunker, saya putuskan kembali ke atas. Sebab, jika terlalu lama semakin pengap. Setibanya di atas bunker, Harun menambahkan sejatinya bunker ini saling terhubung ke beberapa rumah saudagar di sisi utara. Fakta yang saya temukan dengan cerita Harun Mulyadi memiliki kecocokan. Hanya saja, sudah banyak bunker di rumah lain yang ditutup. Selama ini Harun Mulyadi mewarisi dan merawat semampunya.

Kurangnya literasi dan data pendukung membuatnya kesulitan untuk bercerita lebih banyak. Ia hanya bisa berbagi pengalaman dan cerita kehidupannya bersama rumah bunker Setono. Menurut cerita tutur keluarga, bunker Setono sudah ada sejak tahun 1625 atau mungkin lebih tua. Saya menduga, dari sisi desain, bunker ini dibangun pada awal 1810 sebagai pendukung perdagangan di Bandar Kabanaran.

Menurut Harun, bunker dibangun untuk menyimpan harta, seperti emas dan kain batik tulis supaya tidak dicuri, terutama oleh saudagar batik lain. Dikhawatirkan adanya penjiplakan motif batik tulis.

Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta
Tampak jalur penghubung di dalam bunker Setono yang kini ditutup/Ibnu Rustamadji

Bagi saya, informasi tersebut kurang masuk akal. Alasan pertama, kain batik tulis tidak mungkin disimpan di bunker dengan kelembapan tinggi. Kain tersebut pastinya rusak dan mengurangi nilai jual ke Eropa kala itu. Alasan kedua, setiap saudagar batik tulis memiliki ciri khas dan kerumitan berbeda. Sedikit kemungkinan mereka akan mencuri. Tembok setinggi empat meter menjadi pertanda jelas jika mereka semaksimal mungkin melindungi karyanya tanpa harus menyimpannya di dalam bunker.

Berbeda cerita, jika para saudagar berkolaborasi menciptakan kain jarik Tiga Negeri. Jarik Tiga Negeri merupakan hasil karya saudagar Lasem sebagai pewarna merah darah ayam, Pekalongan sebagai penyedia kain mori dan pewarna biru,  dan Laweyan sebagai pusat pewarna cokelat sogan.

Bunker Setono kemudian beralih fungsi sebagai jalur pelarian pejuang ketika agresi militer Belanda di Solo. Pascakemerdekaan, banyak bunker mulai ditutup lantaran marak terjadi perampokan melalui bawah rumah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-bunker-setono-lorong-opium-di-kampung-laweyan-surakarta/feed/ 0 43520
Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta https://telusuri.id/menjelajah-kampung-lawas-kemlayan-di-jantung-kota-surakarta/ https://telusuri.id/menjelajah-kampung-lawas-kemlayan-di-jantung-kota-surakarta/#respond Mon, 07 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42802 Ingin menikmati senja di Kota Surakarta, cocoknya dengan menyigi kehidupan warga Kampung Kemlayan, Kecamatan Serengan. Tepatnya di seberang selatan Pura Mangkunegaran. Kampung Kemlayan layaknya kampung-kampung di sekitarnya. Hilir mudik warga silih berganti, berdampingan dengan pejalan...

The post Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Ingin menikmati senja di Kota Surakarta, cocoknya dengan menyigi kehidupan warga Kampung Kemlayan, Kecamatan Serengan. Tepatnya di seberang selatan Pura Mangkunegaran. Kampung Kemlayan layaknya kampung-kampung di sekitarnya. Hilir mudik warga silih berganti, berdampingan dengan pejalan kaki.

Keramaian di Kampung Kemlayan setia menemani perjalanan saya tempo hari. Akan tetapi, jika menelusuri gang-gang sempit di balik padatnya pertokoan Kemlayan, bakal menemukan harta karun yang menarik untuk ditelusuri.

Gang sempit tepat di depan Matahari Singosaren menjadi titik awal perjalanan saya. Gang dengan tembok setinggi dua meter itu menjadi pemandangan lumrah untuk warga Kampung Kemlayan. Bagi mereka, kediaman di balik tembok tersebut milik priyayi keraton dan tidak mudah disambangi.

Latar belakang para pemilik rumah di Kampung Kemlayan, selain priyayi keraton ada juga arsitek keraton, seniman musik, saudagar batik, pedagang Arab dan Tionghoa. Mereka hidup berbaur. Saat ini, mayoritas warga yang tinggal Kemlayan bekerja sebagai seniman tari dan musik gamelan khas Keraton Kasunanan Surakarta.

Tak heran Kampung Kemlayan mendapat julukan “Kampung Seniman”. Ada empat maestro kondang yang dilahirkan dari Kampung Kemlayan, yakni Sardono W. Kusumo, Mlaya Widada, S. Ngaliman, dan pencipta langgam keroncong Bengawan Solo, Gesang. 

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Mural di kawasan Kampung Kemlayan/Ibnu Rustamadji

Kampung Lawas di Jantung Kota

Kampung Kemlayan identik dengan gang sempit. Di tengah asik mengabadikan mural di ujung gang kampung, tampak pria paruh baya dari kejauhan bersantai di dalam lorong estetis ini. Saya segera mengabadikan setiap momen dengan kamera.

Tepat di pertigaan gang, mata saya tertuju pada pintu regol kayu berwarna hijau terang. Saya mengetuk seraya membatin, “Kulonuwun saja, siapa tahu [ini] rumah lawas dan boleh dikunjungi.”

Dugaan saya benar. Ada sebuah rumah lawas bergaya Joglo tepat di belakang pertokoan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saya diperkenankan masuk seraya memotret detail pendapa hingga ndalem ageng. Ndalem Prodjoloekitan atau Ndalem Kemlayan, begitu sebutannya.

Mengacu pada penuturan keluarga, Ndalem Prodjoloekitan didirikan sekitar tahun 1840 oleh Raden Ngabehi (R.Ng) Prodjoloekito. Beliau merupakan pensiunan pejabat panewu (wedana) Bupati Anom sekaligus arsitek Keraton Kasunanan Surakarta.

  • Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
  • Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta

Tak heran jika di beberapa sudut Ndalem Prodjoloekitan, meski bergaya Joglo Jawa, terdapat aksen budaya Eropa, seperti patung prajurit yang dipajang di pendapa. Pada bagian ventilasi pintu tengah berhias inskripsi sengkalan angka 1911, merujuk waktu renovasi Ndalem Prodjoloekitan.

Inskripsi sengkalan lain berbunyi Sesanti Karaharjanipun para Tamu ingkang Rawuh. Artinya, “Kehormatan kepada para Tamu yang Datang”. Inskripsi lain berbunyi Jalma Sutji Ngesti Ratu. Selain itu juga terdapat relief dua ekor bangau mengapit vas bunga, yang bermakna kesuburan memberikan kemakmuran.

Relief lainnya adalah penggambaran tokoh wayang menunggangi gajah, yang artinya menandakan kewibawaan dan kekuatan. Kemudian relief terakhir menggambarkan mahkota raja dan ratu dengan sengkalan angka 1638. Ndalem ageng layaknya keraton kecil, dengan krobongan tepat di bagian tengah dan diapit dua kamar tidur.

Sungguh luar biasa Ndalem Prodjoloekitan. Meski tertutup dari dunia luar, aura kemewahan begitu terpancar bagi siapa pun yang berkunjung. Puas menyambangi dan mendokumentasikan Ndalem Kemlayan, langkah kaki terjerumus ke sanggar tari milik maestro tari Indonesia kelahiran Surakarta, Sardono W. Kusumo.

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Gang kecil menuju sanggar tari milik Sardono W. Kusumo di Kampung Kemlayan/Ibnu Rustamadji

Sanggar milik Sardono ini sejatinya merupakan kediaman salah satu selir Gusti Mangkunegara VII. Namun, saat ini bangunan tidak utuh lagi, karena semua kayu jati telah diboyong menuju kediaman sang maestro di Jakarta. Hanya waktu-waktu tertentu saja digunakan latihan menari oleh Sanggar Suryo Sumirat Mangkunegaran.

Saat saya bertandang, tidak ada aktivitas latihan menari di sanggar. Hanya tampak beberapa sesepuh berkunjung. 

Rumah Indis Saudagar Batik

Saya melanjutkan perjalanan ke arah timur menuju Kampung Coyudan. Di gang dekat sisi belakang sanggar, tiba-tiba muncul seorang ibu. Ia memberitahukan adanya bangunan kuno megah yang menjadi incaran saya. Beliau lantas menunjukan jalan yang harus saya lalui, untuk menuju tempat tujuan saya berikutnya.

“Lurus ikuti jalan ini saja, tapi jangan sampai keluar gang. Rumahnya di utara jalan, tembok tinggi, pintu gerbang besi warna biru. Kalau lurus terus masuk Coyudan,” jelasnya mengarahkan. 

Berbekal nekat dan penasaran, saya berkesempatan melihat lebih dekat lagi rumah kuno yang lain di Kampung Kemlayan. Hanya saja, rumah yang ini bergaya Indische Empire, lengkap dengan pilar besi dan tegel motif yang berbeda dari rumah bergaya joglo sebelumnya.

Gaya Indische Empires sejatinya merupakan perpaduan gaya arsitektur Jawa dan Belanda. Mayoritas pemilik rumah seperti ini adalah saudagar dan pejabat pemerintah. Rumah indis tersebut diketahui dibangun sekitar tahun 1830 oleh keluarga Abdul Fattah, seorang saudagar batik di Kemlayan. 

“Rumah ini ketika masih ditempati keluarga, pabrik batiknya dibangun di Laweyan. Saat ini keluarga ada di Jakarta semua, rumah ini hanya dijadikan tempat transit jika bertandang ke Surakarta,” ujar bapak penjaga.

Rumah indis itu satu-satunya rumah elite di Kemlayan yang terawat baik. Pintu berukuran besar dengan besi ukiran di ventilasi masih terjaga keasliannya. Begitu juga dengan orisinalitas tegel antik motif garis biru-merah dan tegel warna kuning-hijau di bagian tengahnya. 

Kondisi rumah indis tetap dipertahankan seperti sediakala. Sesekali hanya dilakukan sedikit perbaikan karena umurnya yang sudah tua. Sudah sepatutnya untuk merawat bangunan kuno—termasuk cagar budaya—semampunya. Puas mengabadikan kediaman Abdul Fattah, saya lanjutkan menyigi rumah kuno lain di sebelah barat daya Matahari Singosaren.

Ndalem Pangeran Singosari, begitu penyebutannya. Pangeran Singosari, sang pemilik rumah, diketahui merupakan menantu Sunan Pakubuwana IX. Raja Keraton Kasunanan yang notabene juga masih keturunan kerabat Praja Mangkunegaran.

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Kondisi bagian dalam Ndalem Singosari, terlihat foto potret Pangeran Singosari di dalam pigura/Ibnu Rustamadji

Saat ini aura kemewahan Ndalem Pangeran Singosari mulai sirna, seiring berputarnya waktu. Pagar tembok keliling yang dahulunya megah, kini berubah menjadi bangunan permanen warga lain. Menyisakan satu rumah saja milik keluarga Pangeran Singosari dari Praja Mangkunegaran, yakni Raden Mas Tumenggung (R.M.T.) Haroeng Binang.

Secara konstruksi, bangunan Ndalem Pangeran Singosari bergaya joglo. Namun, karena kondisi yang kurang terawat, tidak tampak layaknya rumah. Hanya waktu yang bisa menjawab, sampai kapan kediaman ini dapat bertahan.

Kunjungan Pamungkas di Rumah Maestro Keroncong

Perjalanan berlanjut menuju kediaman maestro langgam keroncong, Gesang Martohartono, di Jalan Bedoyo 5 Kemlayan. Jejeran piagam penghargaan, dan foto diri Gesang terpajang rapi di setiap sudut ruangan. Ada satu pajangan yang menarik bagi saya, yakni tulisan mandarin berbahasa Jepang.

Ternyata, tulisan tersebut adalah gubahan lirik lagu langgam keroncong berjudul Bengawan Solo dalam bahasa Jepang. Selain bahasa Jepang, lagu tersebut sudah dialihbahasakan dalam 13 bahasa. Semuanya laku di pasaran dunia, berkat kepiawaian dan keuletan sang maestro.

Pasca Gesang wafat 2010 lalu, banyak seniman musik dan mahasiswa seni berkunjung untuk berlatih keroncong bersama dengan salah satu keponakan Gesang. Keluarga tidak keberatan akan hal tersebut. Mereka justru berharap semangat menggelorakan kembali lagu keroncong di Indonesia dan mancanegara semakin kuat.

Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta
Piagam Gesang/Ibnu Rustamadji

Langgam keroncong bukanlah lagu yang ketinggalan zaman, melainkan lagu lawas yang masih tetap relevan dengan keadaan saat ini. Menikmati langgam keroncong sama dengan mempelajari akar rumput, tempat di mana musik itu diciptakan. Salah satunya di Kampung Lawas Kemlayan, Surakarta.

Bagi saya, yang setiap hari berkutat dengan kampung lawas, Kemlayan sudah selayaknya dibangkitkan kembali ruh keseniannya. Meski para maestro sudah tidak kuasa untuk menggelar pertunjukan, setidaknya kampung kelahiran merekalah yang menjadi penggantinya.

Berkesenian memang tidaklah mudah. Salah satu cara sederhana yang mungkin bisa dilakukan adalah menyambangi tempat seni tersebut dilahirkan. Berjalan menelusuri kampung lawas, tidak selamanya berkonotasi kurang pergaulan layaknya hidup di kota. 

Ada kota, tetapi tidak ada kampungnya, tentu akan mati. Sebaliknya, ada kampung, tetapi tidak ada kota, akan tetap hidup. Jantung ekonomi suatu kota berawal dari kampung lawas yang menjamur di sekitarnya. Jika tidak ada kampung, maka kota akan kesulitan menghadapi gempuran zaman. Selain menyajikan kepolosan warganya, kampung lawas juga menyimpan harta terpendam—yang sama sekali tidak dimiliki kota—yang menunggu untuk dijelajahi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajah Kampung Lawas Kemlayan di Jantung Kota Surakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajah-kampung-lawas-kemlayan-di-jantung-kota-surakarta/feed/ 0 42802
Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-2/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-2/#respond Wed, 28 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42570 Perjalanan kami berlanjut di Kota Surakarta. Tepat pukul 07.55 WIB, kami menelusuri delapan titik di jantung kota, tepatnya di ruas Jalan Slamet Riyadi. Semua lokasi yang kami datangi memiliki hubungan dengan Johannes Agustinus (J. A.)...

The post Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan kami berlanjut di Kota Surakarta. Tepat pukul 07.55 WIB, kami menelusuri delapan titik di jantung kota, tepatnya di ruas Jalan Slamet Riyadi. Semua lokasi yang kami datangi memiliki hubungan dengan Johannes Agustinus (J. A.) Dezentje, sang tuan tanah asal Ampel, Boyolali.

Meski tidak secara langsung, J. A. Dezentje banyak berkontribusi dalam perkembangan Surakarta. Namun, sayang tidak semua warga dan pemerintah kota mengetahui. Hal ini dapat dimaklumi, tetapi bisa berakibat fatal jika tidak paham dan sok-sokan bercerita. Lebih lagi jika anak serta keturunannya masih hidup dan mendengar cerita yang jauh berbeda dari faktanya. 

Selama perjalanan dari hotel menuju tujuan pertama, Floris bercerita sesuatu yang tidak kami duga sebelumnya. Ia mengaku jika tujuannya menelusuri jejak keluarga Dezentje, D’Abo, dan Dirjkhuis adalah untuk melanjutkan silsilah keluarga yang terputus. Harapannya, setelah ia wafat nanti anak-anaknya mau melanjutkan penelusuran dan merekam semua yang ditemukan. Bersama sang paman, Floris mengawali niat baik menelusuri jejak ketiga leluhurnya di Jawa Tengah. Ia juga menambahkan, akan secara periodik menyambangi Jawa Tengah dan melacak jejak bersama kami.

  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)

Eksistensi Masa Lalu Keluarga Dezentje di Surakarta

Lalu lintas Jalan Slamet Riyadi cukup ramai di pagi itu. Pelan-pelan kami menyeberang jalan untuk menyambangi salah satu kediaman Dezentje. Kini menjadi rumah dinas wali kota Surakarta atau Loji Gandrung. Setelah mendapat izin pihak rumah tangga wali kota, kami manfaatkan waktu mengabadikan kediaman hingga bagian dalam.

Floris tak henti takjub dan tertegun melihat keindahan detail ornamen yang ada. Merujuk catatan keluarga yang ia miliki, Loji Gandrung awalnya didirikan sebagai hunian perempuan Belanda bernama Dorothea Boode, istri pertama Dezentje.

Tidak tercatat pasti sejak kapan rumah tersebut dibangun. Ada dugaan pembangunannya awal tahun 1800, lalu direnovasi seperti ini oleh Ir. Charles Prosper Wolf Schoemaker tahun 1910. Dezentje dan Dorothea memiliki sedikitnya tujuh anak. Tak ayal, mereka menempati kediaman ini untuk keluarga besar.

Sebagai anak laki-laki dari August Jan Caspar, seorang perwira militer pengawal pribadi keluarga raja, Dezentje cukup dekat hubungannya dengan putri keraton Kasunanan Surakarta. Tidak lama kemudian ia menjalin kasih dan menikahi putri Sunan Pakubuwana VIII, Raden Ayu (R.Ay.) Tjondrokusumo.

Pernikahan keduanya digelar mewah di keraton. Tamu dari Eropa dan kerajaan lain datang silih berganti. Sebagai hadiah pernikahan, sunan memberikan tanah kerajaan di Ampel untuk tempat tinggal sang putri dan Dezentje.

Dezentje dan R.Ay. Tjondrokusumo tidak menyia-nyiakan kesempatan dan memutuskan tinggal bersama di Ampel, serta menempatkan Dorothea di Loji Gandrung. Mereka tidak bercerai, justru menjalin hubungan yang harmonis. Jika Dorothea ingin anjangsana ke Ampel diterima hangat oleh Dezentje dan sang istri. Begitu juga sebaliknya.

Bahkan menjelang akhir hayat Dorothea, mereka setia menemani di Loji Gandrung. Dorothea wafat di rumah ini dan dimakamkan di Europeesche Graafplaats atau kompleks makam Eropa (Belanda) di Sangkrah.  

Iring-iringan pelayat dan karangan bunga memenuhi kediamannya. Simbol bahwa ia sangat dihormati dan disegani. Pascapemakaman, tercatat Loji Gandrung dihuni anak-anak hingga tahun 1942. Setelahnya mereka hidup berbeda negara, beberapa di antaranya kembali ke Belanda. 

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
Tampak depan Ndalem Doyoatmojo di timur Loji Gandrung/Ibnu Rustamadji

Menuju Ndalem Doyoatmojo dan Museum Radya Pustaka

Kami melanjutkan penelusuran di lokasi kedua, yakni Ndalem Doyoatmojo di timur Loji Gandrung. “Oh, Tuhan. Ini indah dan mewah sekali. Di Belanda dan Singapura tidak ada seperti ini,” seru Floris sambil bercanda.

Menurut cerita pemilik saat ini, Ndalem Doyoatmojo didirikan sekitar tahun 1880. Penamaan Doyoatmojo diambil dari nama keluarga besar Doyoatmojo yang notabene pengusaha jarik batik tulis Tiga Negeri.

Hanya saja, Ndalem Doyoatmojo di abad ke-19 sempat berpindah tangan ke keluarga pengusaha Tionghoa, Kwik Djin Gwan. Sebagai kediaman Tionghoa, lazim ada altar leluhur. Kediaman ini pun masih menyimpan altar leluhur Kwik hingga saat ini, meski hanya altar gaya oriental tanpa papan arwah atau foto keluarga.

Ndalem Doyoatmojo digunakan Kwik Djin Gwan cukup lama. Setelah Kwik wafat, barulah terbengkalai hingga kemudian menjadi kantor Kodim Kota Surakarta. Sempat beralih kepemilikan ke Setiawan Djody, sekarang kembali menjadi milik keluarga besar di bawah nama Nur Doyoatmojo.

“Saya tidak bisa menggambarkan dengan kata-kata betapa mewah dan penuh cerita rumah ini,” ujar Floris.

Puas mengabadikan keindahan Ndalem Doyoatmojo, kami berjalan kaki menuju museum tertua di Indonesia, Radya Pustaka. Menyadur informasi dari perpustakaan Radya Pustaka, diketahui jika bangunan ini pertama kali didirikan pada 28 Oktober 1890 di kompleks Kepatihan Surakarta (kini hilang) oleh Patih Sosrodiningrat IV dan Sunan Pakubuwana IX.

Gedung museum saat ini sejatinya merupakan tempat tinggal Kapten Infanteri KNIL Johannes Busselaar dan sang istri, Maria Louise don Griot. Patih Sosrodiningrat IV awalnya membeli rumah tersebut atas perintah Sunan Pakubuwana IX, bertepatan dengan pindah tugasnya Johannes Busselaar ke Jember. 

Tahun 1909 menjadi titik balik berdirinya Radya Pustaka di Sriwedari saat ini. Radya Pustaka pun berkembang sebagai pusat pengumpulan naskah kuno, arca Hindu-Buddha, hingga peninggalan Kasunanan Surakarta.

“Kemarin kita membicarakan Francois Deux di Ampel yang memiliki hubungan dengan Napoleon Bonaparte. Lihatlah porselen cendera mata dari Napoleon Bonaparte untuk Sunan Pakubuwana IX ini,” ungkap saya.

Jelas bahwa keluarga Dezentje dan R.Ay. Tjondrokusumo memiliki kekerabatan erat dengan penguasa Prancis tersebut. Beranjak semakin ke dalam, bertemulah dengan satu patung setengah badan dari Johannes Albertus (J. A.) Wilkens, penerjemah kepercayaan Raden Ngabehi Ronggowarsito di Surakarta.

Makam J. A. Wilkens ada di Jebres. Namun, sayang pada 1960 hingga 1970 seluruh kompleks makam dibongkar. Salah satu yang terselamatkan makam J. A. Wilkens. Patung setengah badan dan epitaf nisan sejatinya replika dari monumen makam. Tidak diketahui bagaimana nasib makam lainnya. 

Dari Keraton Kasunanan Surakarta ke Kampung Eropa

Puas di Radya Pustaka, perjalanan kami berlanjut ke keraton Kasunanan Surakarta. Kali ini kami dipandu abdi dalem untuk dapat menikmati halaman bagian dalam. Setelah berkeliling dan mendapat banyak cerita masa lalu keraton, tiba-tiba saya terpikirkan untuk kembali menyambangi pendhapa (pendapa) bersama Floris.

Kami segera beranjak menuju halaman dalam untuk menikmati keindahan pendapa dan panggung sanggabuwana. Tidak lama kemudian, kami keluar untuk memotret kondisi keraton saat ini dan melanjutkan perjalanan menuju bekas Verzorgingsgesticht atau sekolah dasar untuk anak pekerja perkebunan di Surakarta. Mereka tinggal di sini dengan fasilitas cukup lengkap. Dana didapat melalui lelang dan sumbangan sukarelawan pemilik perkebunan.

“Oh, ya. Verzorgingsgesticht didirikan J. A. Dezentje, namun atas nama sang istri, Dororthea Boode,” jelas Floris.

Puas memotret sembari menikmati es krim gelato, langkah kaki kami beranjak menuju ke Gereja Sangkrah, bekas Europeesche Graafplaats Sangkrah. Salah satu keluarga Belanda yang dimakamkan di sini adalah Dorothea dan kedua orang tuanya. Kini, keberadaan makam Belanda di Sangkrah hilang, tanpa menyisakan satu pun di areal halaman gereja. 

Menjelang siang, kami berjalan menuju Kampung Eropa di utara Gereja Sangkrah. Floris tak berhenti kagum melihat sisa eksistensi Kampung Eropa tertua di Surakarta tersebut. Berbekal foto lama kampung ini, ia mencoba mengabadikan kondisi sesuai tempat fotografer kala itu berada. Kami juga memotret tiga gang dan rumah indis yang tersisa.

  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)

Menutup Perjalanan di Pura Mangkunegaran

Jelang senja, selepas istirahat makan siang di RM Nini Thowong dan mengunjungi kerkop Jebres—kini pasar di depan Stasiun Jebres—kami melanjutkan penelusuran di Pura Mangkunegaran. 

Sampai di lokasi, kami dipandu oleh siswa magang dari sekolah pariwisata. Kami tidak keberatan, karena setiap tempat yang kami datangi memiliki aturan yang harus ditaati.

Penelusuran di dalam Pura Mangkunegaran dimulai dari halaman depan menuju pendhapa ageng dan ndalem ageng. Lalu berlanjut menuju halaman belakang, termasuk paviliun Gusti Nurul, ruang makan tamu kenegaraan, dan kembali lagi ke halaman depan. Selama penelusuran, kami mendapat banyak cerita dan ragam detail yang tidak banyak diketahui orang awam. 

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2)
Floris tengah mengabadikan detail patung singa penjaga pendapa Pura Mangkunegaran/Ibnu Rustamadji

Floris ternyata baru kali ini menginjakan kaki di Pura Mangkunegaran. Ia mengetahui bahwa leluhurnya, R.Ay. Tjondrokusumo, memiliki kekerabatan dengan Gusti Mangkunegara IV. Ia sempat meminta saya untuk membantunya melacak hubungan silsilah antara dua keluarga tersebut, dan berjanji akan kembali untuk penelusuran bersama.

Tentu butuh waktu untuk menyelesaikan misi tersebut. Rencananya bulan September 2024 ia akan kembali bersama dengan pamannya dari Belanda. Perjalanan merangkai simpul ingatan dari keluarga Johannes Agustinus Dezentje, di Kabupaten Boyolali dan Surakarta resmi kami akhiri di Pura Mangkunegaran.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-2/feed/ 0 42570
Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-1/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-1/#respond Mon, 26 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42557 Perjalanan saya kali ini menelusuri jejak Johannes Agustinus (J. A.) Dezentje, tuan tanah sekaligus pengusaha kopi berpengaruh di Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali. Saya melakukan penelusuran bersama Floris Kleemans dari Belanda dan dua orang rekan...

The post Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya kali ini menelusuri jejak Johannes Agustinus (J. A.) Dezentje, tuan tanah sekaligus pengusaha kopi berpengaruh di Kota Surakarta dan Kabupaten Boyolali. Saya melakukan penelusuran bersama Floris Kleemans dari Belanda dan dua orang rekan dari Yogyakarta.

Pertemuan pertama kami didasarkan atas rasa penasaran Floris mengenai informasi di peta digital, yang menyebutkan nama J. A. Dezentje sebagai pemilik awal rumah dinas wali kota Surakarta, Loji Gandrung. Ia lantas menghubungi saya melalui pesan singkat untuk mencari jawaban.

Floris merupakan buyut dari Dezentje. Ia ingin mengunjungi Indonesia dan meminta bantuan kami melacak jejak leluhurnya, berdasarkan data keluarga yang ia miliki. Kami pun bersedia melakukan penelusuran bersama. 

Senin (10/6/2024) di kediaman saya, di Boyolali, menjadi awal pertemuan kami. Sebelum penelusuran, Floris ingin bertemu orang tua saya untuk bercengkerama. Ia lantas memperkenalkan diri dan menyampaikan, rela menempuh perjalanan jauh dari Belanda menuju Singapura dan Indonesia demi mencari jejak leluhurnya tersebut.

Ibu saya tertegun mendengarnya, karena berpikir tidak ada peninggalan Belanda di Boyolali. Setelah 50 menit mengobrol dan foto bersama, kami memulai perjalanan.

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
Bersama Floris Kleemans (kanan) dan ibu/Ibnu Rustamadji

Sisa Jejak Perkebunan Kopi Keluarga Dezentje di Boyolali

Tujuan pertama kami berada di Desa Cluntang, Kecamatan Musuk. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari kota, tibalah kami di SDN 1 Sruni. Tempat ini dulunya pabrik kopi dan teh “Baros Tampir”. Ladang perkebunan warga dahulu merupakan perkebunan kopi dan teh.  Jejak yang tersisa berupa bak penampungan air, tepat di belakang SDN 1 Sruni.

Merujuk catatan keluarga Floris, pemilik pabrik kopi dan teh “Baros Tampir” adalah Dezentje. Jika dilihat dari jalan desa, reruntuhan pabrik tidak tampak. Kami harus berjalan melalui perkebunan warga untuk dapat menyaksikan secara utuh. 

Sesampainya di lokasi, Floris dan rekan kami sangat heboh melihat reruntuhan yang saya maksud. “Wow, amazing melihatnya. Akan saya abadikan, untuk keluarga saya di Belanda,” kata Floris menggunakan bahasa Inggris. 

Ada 12 bak air, masing-masing memiliki kedalaman sekitar tujuh meter. Fungsi awalnya diduga sebagai sistem pengairan perkebunan dan menyuplai kebutuhan air pabrik. Merujuk catatan Floris, pabrik kopi dan teh “Baros Tampir” di Cluntang diperkirakan sudah eksis sejak 1830.

Pabrik tersebut didirikan guna memproduksi teh dan kopi di lereng timur Gunung Merapi. Hanya saja sisa pohon kopi tidak banyak. Pohon tehnya malah hilang tak tersisa.

Gedung pabrik berorientasi ke timur, guna mempermudah proses pembersihan biji kopi arabika terbaik yang akan diekspor ke Belanda. Biji kopi pascapanen harus dibersihkan dengan air mengalir sebelum dimasukan ke dalam karung goni. Selanjutnya dilayarkan dengan kapal dagang menuju Belanda dan negara Eropa lainnya.

Perkebunan kopi Dezentje terbentang sangat luas, mulai dari lereng timur Gunung Merbabu di Salatiga hingga lereng timur Gunung Merapi di Boyolali. Rumah keluarganya ada di Kecamatan Ampel, Boyolali. Puas mengabadikan reruntuhan tersebut selama satu setengah jam, penelusuran kami lanjutkan ke Desa Tampir. 

  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
  • Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)

Makam Belanda, Pabrik Pewarna Kain Indigo, dan Pabrik Serat

Kami membutuhkan 10 menit berkendara dari Cluntang ke Tampir. Selain reruntuhan struktur pondasi pabrik kopi “Baros Tampir”, kami juga menemukan satu Europeesche Graafplaats atau makam Belanda tanpa nama di Tampir.

Sesampainya di lokasi, rekan-rekan semakin takjub dengan temuan makam Belanda tersebut. Bagi mereka menarik karena makam itu berbentuk obelisk dengan hiasan broken column atau kolom patah bagian puncak.

Kolom patah bermakna terputusnya kehidupan seseorang. Tidak semua orang Belanda yang wafat di Indonesia—Hindia Belanda kala itu—memiliki makam seperti ini. Ada dugaan di dalamnya mendiang pengawas perkebunan atau pengawas pabrik kopi “Baros Tampir”. 

Sayangnya, tidak ada catatan pasti yang bisa kami identifikasi. Sembari mengobrol, kami membersihkan sedikit rumput liar yang menyelimuti fisik makam guna mencari relung yang tempo hari lalu saya temukan. 

“Nah, akhirnya ketemu [relung itu]! Tertutup runtuhan pilar patah. Ini ada relung dengan ekspos batu merah berbentuk setengah lingkaran,” ungkap saya.  

Kami menduga relung tersebut seharusnya tempat nisan makam. Nisan menghadap barat, dengan hiasan broken column pada bagian puncak. Sayang posisinya kini tertimbun tanah. 

“Saya penasaran dengan keberadaan D’Abo di Boyolali. Apakah ini makam dari D’Abo di ‘Baros Tampir’?” tanya Floris. Tidak kami duga sebelumnya, ternyata Floris mencari jejak keluarga Dezentje, D’Abo, dan Dirjkhuis.

Saya menyahut, “Kami tidak bisa menjawab, karena minim data di stamboom keluarga dan tidak ada nisan di sini.”

Kami pun beranjak turun menuju reruntuhan pabrik kopi “Baros Tampir” di Desa Tampir. Sekitar 150 meter dari lokasi makam. Tepatnya di perusahaan air minum Tirta Ampera. Setelah mendapat izin, kami lantas mengeksplorasi halaman belakang tepat di mana struktur pondasi berada.

“Oh, ini, ya, lokasi pabrik ‘Baros Tampir’ milik kakek buyut saya,” ujar Floris penuh semangat.

Merujuk catatan yang ia bawa, ada sekitar lima pabrik kopi milik Dezentje di Boyolali. Dua di antaranya “Madoesita” dan “Baros Tampir. Pabrik kopi “Baros Tampir” di Desa Tampir dibangun lebih muda, sekitar tahun 1890. Namun, sekarang tinggal reruntuhan pondasi, bak penampungan air, dan lantai pabrik. 

Kami lalu memutuskan melihat reruntuhan lain di seberang jalan. Satu jam berlalu tanpa kami sadari, kami sampai beranjak ke peninggalan ketiga yang tidak kalah epik di Dukuh Madu, Desa Sukorame, Musuk. Terdapat reruntuhan pabrik pewarna kain indigo, satu-satunya milik Dezentje selain kopi dan teh. 

“Luar biasa, kamu bisa menemukan reruntuhan seperti ini. Paman saya pasti senang bertemu kamu. Tolong ajak kami keliling kembali,” pintanya. 

Pabrik indigo ini dibangun sekitar awal 1903 sebagai pusat produksi warna kain sogan biru, untuk pewarna alami kain batik di Surakarta. Keberadaan bak air tentu sangat membantu perkembangan industri. Sumber air dari bendungan di Desa Wonorejo, Musuk, dialirkan melalui pipa air besi menuju pabrik.

Air yang dialirkan sangat terkontrol dari hulu hingga hilir. Bukaan kecil di setiap sudut bak mengindikasikan hal tersebut. Apabila air meluap, akan mengalir menuju selokan kecil di sekeliling bak hingga keluar di bak penampungan terbesar.

“Sekitar satu bulan lalu, ada warga yang menunjukan di barat desa ini ada bekas jembatan lori. Saya cek masih ada dua batang rel kereta menjadi bagian dari jembatan baru. Tetapi kalau makam Belanda tidak ditemukan,” jelas saya.

Kami melanjutkan penelusuran menuju Desa Tambak, Mojosongo. Ada cerobong asap pabrik serat milik Dezentje di sana.

“Kebetulan, saya ada foto lama pabrik serat tersebut dari Leiden. Nanti bisa kita bandingkan,” ungkap saya. 

Sampai di tujuan, kami lantas menyandingkan foto lama tahun 1930 dengan kondisi saat ini. Hasilnya, fisik pabrik sudah tidak berbekas. Hanya menyisakan satu cerobong asap. 

Kami menduga pabrik serat “Tambak” berdiri pada awal 1910, sebagai akibat dari perkembangan pabrik kopi dan pewarna yang ada di Musuk. Posisi strategis menjadikan pabrik ini berkembang cukup pesat. Namun, takdir berkata lain. Pascakemerdekaan tidak ada satu pun jejak kejayaan pabrik tersisa.

Tidak ada reruntuhan, tetapi pagar halaman warga di sekitarnya mengisyaratkan kenyataan lain. Struktur pabrik hilang menjadi pemukiman, sekolah, dan ladang. Kami lalu mendekati area cerobong asap. Berimajinasi seperti apa rupa pabrik serat kala itu dan mendiskusikan peninggalan lain Dezentje di Boyolali. 

Mengunjungi Makam dan Kediaman J. A. Dezentje

Kala terik matahari semakin berkilau, kami putuskan istirahat dan makan siang iga bakar Pak Wid. Lelah setelah seharian menapaki jejak perkebunan dan pabrik kopi Dezentje akhirnya terbayar. Satu jam kemudian, kami lanjutkan penelusuran menuju pemakaman dan kediaman J. A. Dezentje.

“Oh, iya. Ada sesuatu yang harus Anda lihat. Anda tahu siapa Francois Deux? Ini satu-satunya makam keluarga dengan epitaf nama Francois Deux,” tanya saya sambil menunjuk sebuah nisan di makam keluarga Dezentje. Setelah dibaca sedikit guratan epitaf yang ada, Floris segera menghubungi pamannya di Belanda untuk mencari tahu sosok Francois Deux.

Menurut informasi sang paman, keluarga Francois Deux memiliki ikatan kekerabatan dengan Napoleon Bonaparte dari Prancis. Dezentje, yang berdarah Prancis, menikah dengan orang Belanda bernama Dorothea Boode. Francois Deux merupakan keponakan Dezentje, yang menikahi salah satu anak Napoleon Bonaparte. Hanya itu informasi yang didapat, karena Francois Deux wafat sekitar tahun 1790.

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
Diskusi di dalam mausoleum keluarga Dezentje di Ampel/Ibnu Rustamadji

Puas mendapat sedikit jawaban, kami lantas memikirkan akses masuk ke makam keluarga ini di abad ke-18 lalu. Ada dugaan pintu masuk asli berada di barat daya makam, karena areal tersebut memiliki bukaan jalan cukup luas ketimbang sudut lain. 

Selama kami di sana banyak obrolan, tetapi tidak dapat banyak informasi, Mayoritas nisan makam sudah hilang dijarah pada 1970. Meski begitu kami bersyukur kondisi makam cukup utuh dengan beragam hiasan yang menyertai.

Setelah berziarah, kami menuju bekas kediaman keluarga Dezentje di Desa Candi, Ampel. Bermodal foto lama keluaran Leiden tahun 1925, kami langsung memosisikan diri di tempat fotografer kala itu berada. 

“Kita di gerbang masuk halaman. Timur kita adalah kediaman utama, sedangkan di barat kita (belakang kami) adalah alun-alun,” jelas saya.

Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1)
Posisi kami berada tepat di tempat yang diduga dulunya pintu gerbang kediaman Dezentje di Ampel/Ibnu Rustamadji

Merujuk catatan pendeta Buddhig di laporan kematian Dezentje tahun 1850, kediaman Dezentje di Ampel layaknya keraton kecil, dengan tembok benteng dan empat menara bastion di setiap penjuru. Kini, kediaman dan alun-alun sudah tidak berbekas sama sekali. Meski begitu, Floris tetap merasa bahagia karena akhirnya bisa berada di kediaman leluhurnya.

Langit oranye mulai bergelayut. Kami kembali ke rumah saya untuk berpamitan dengan ibu saya dan merencanakan aktivitas di hari kedua. Satu rekan kembali ke Yogyakarta, sementara kami berdua pergi ke Surakarta untuk bermalam di Royal Heritage Hotel bersama Floris Kleemans. Penelusuran hari pertama kami tutup dengan makan malam ala sultan di Canting Londo Kitchen, Kampung Batik Laweyan.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Johannes Agustinus Dezentje di Boyolali dan Surakarta (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-johannes-agustinus-dezentje-di-boyolali-dan-surakarta-1/feed/ 0 42557
Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo https://telusuri.id/menelusuri-ponten-mangkunegaran-di-kampung-lawas-kestalan-solo/ https://telusuri.id/menelusuri-ponten-mangkunegaran-di-kampung-lawas-kestalan-solo/#respond Tue, 04 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42088 Saya kembali mengawali perjalanan menelusuri perkampungan lawas di Solo, kota Bengawan. Tujuan kali ini berada di tengah Kampung Kestalan, Kecamatan Banjarsari, tepat di seberang Stasiun Solo Balapan. Ponten Mangkunegaran, begitu kira-kira warga menyebutnya.  Setelah sekitar...

The post Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya kembali mengawali perjalanan menelusuri perkampungan lawas di Solo, kota Bengawan. Tujuan kali ini berada di tengah Kampung Kestalan, Kecamatan Banjarsari, tepat di seberang Stasiun Solo Balapan. Ponten Mangkunegaran, begitu kira-kira warga menyebutnya. 

Setelah sekitar 30 menit menelusuri jalan kampung melalui belakang stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Solo, tibalah saya di Ponten Mangkunegaran. Karena tidak ada warga yang beraktivitas di sana, segera saya putuskan untuk menghubungi rekan Heri Priyatmoko untuk menapak tilas bersama.

Tak lupa juga, saya meninjau sesaat kondisi ponten yang akan saya abadikan. Beberapa saat kemudian, Heri datang tepat setelah saya selesai observasi. Kesimpulan sementara, Ponten Mangkunegaran sejatinya merupakan kamar mandi komunal untuk warga Kestalan dan Kampung Ngebrusan.

Mungkin sedikit aneh, tetapi faktanya demikian. Heri pun menyatakan hal yang sama. Namun, di balik fungsinya, Ponten Mangkunegaran menyimpan cerita yang luar biasa bagi saya. Terutama mengenai hubungan Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegara VII dengan Ir. Herman Thomas Karsten.

Tanpa pikir panjang, kami lantas duduk lesehan di bawah pohon trembesi berumur puluhan tahun yang juga menaungi Ponten Mangkunegaran. Kami lantas saling mengobrol mengenai masa lalu Ponten Ngebrusan.

  • Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo
  • Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo

Tentang Kampung Kestalan

Ponten Mangkunegaran memiliki nama lain dalam Bahasa Belanda, yakni Badplaats Mangkunegaran, artinya kamar mandi milik Praja Mangkunegaran. Ponten adalah kata serapan dari Bahasa Belanda, fountain, yang artinya air mancur. 

Kampung Kestalan, tempat ponten tersebut berada, dulunya merupakan kampung para joki kuda dan kandang kuda pacuan milik Pura Mangkunegaran. Lokasi latihan pacuan kuda itu kini menjadi Stasiun Solo Balapan.

“Antara Kampung Kestalan, ini [ponten] dan Stasiun Balapan saat ini memiliki akar rumput. Tidak asal bangun kolah [Ponten Mangkunegaran] saja, Bro,” ungkap Heri.

Kampung Kestalan lebih dahulu eksis sebagai stal (kandang kuda) daripada Ponten Mangkunegaran. Sejak tahun 1810-an awal, Kestalan sudah disebut sebagai sarang kuda pacuan terbaik di Surakarta (penyebutan lain Kota Solo). Akan tetapi, kondisi masyarakat dan kampungnya jauh dari standar kesehatan kala itu.

“Ada sungai di selatan kita, tetapi rumah-rumah sekitar ini (ponten) saling berdempetan tanpa jarak dan saluran airnya mampet,” jelasnya. Heri menambahkan ketika virus pes merebak di Solo, Kampung Kestalan turut terdampak parah. Salah satunya dipicu gaya hidup warga yang cukup jorok. 

Sebagai upaya penanganan wabah pes di wilayah Kampung Kestalan, dilakukan perbaikan kampung atau kampoong verbatering dan penataan sanitasi air. Tidak berhenti begitu saja, kebersihan dan kesehatan warganya pun turut diperhatikan. Salah satunya dengan pendirian kamar mandi komunal yang kelak disebut Ponten Mangkunegaran.

Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo
Jalan kampung Kestalan di antara Sungai Pepe dan Poten Mangkunegaran/Ibnu Rustamadji

Proses Pembangunan Ponten Mangkunegaran

Ponten Mangkunegaran dibangun tahun 1936 atas inisiatif Gusti Mangkunegara VII, sebagai bagian dari perbaikan kampung wilayah Praja Mangkunegaran.  Ia tidak mendesain sendiri, melainkan diserahkan kepada arsitek sekaligus perencana kota lulusan Delft kelahiran Amsterdam, yakni Thomas Karsten. 

Latar belakang pembangunan Ponten Mangkunegaran berawal dari keprihatinan Gusti Mangkunegara VII terhadap kehidupan warga Kestalan yang menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Alasan lain adalah tidak adanya sanitasi air yang baik, dan kebiasaan hidup kotor menyebabkan virus mudah menjangkiti warga sekitar dan Kota Solo.

Rasa prihatin dan ide pembangunan ponten dikemukakan Gusti Mangkunegara VII selepas lawatan kenegaraan ke Belanda. Tata ruang kompleks permukiman yang indah dan jalur sungai yang bersih, membuat beliau ingin merepresentasikan itu di wilayah Praja Mangkunegaran, terutama Kampung Kestalan.

Setibanya di Pura Mangkunegaran, ia memutuskan segera mengubah gaya hidup warga Ngebrusan Kestalan dengan memperbaiki sanitasi air dan mendirikan Badplaats atau Ponten Mangkunegaran. Thomas Karsten ditunjuk sebagai desainer dan pemimpin proyek pembangunan.

Thomas Karsten merancang Ponten Mangkunegaran dengan mengadopsi gaya Hindu-Buddha Jawa Tengah. Terinspirasi dari seniornya, yaitu Ir. Henri Maclaine Pont. Dana pembangunan ponten berasal dari uang pribadi Gusti Mangkunegara VII dan sumbangan pengusaha perkebunan di Kota Solo kala itu. Ponten Ngebrusan selesai satu tahun kemudian.

Meski berupa kamar mandi komunal, upacara peresmian digelar cukup meriah.  Pejabat pemerintah setara residen pengusaha perkebunan di Solo turut hadir. Menurut data yang Heri miliki, tersebut nama Johannes Agustinus Dezentje, pionir perkebunan kopi di wilayah Ampel, Boyolali. Meski ia memperistri salah satu putri Sunan Pakubuwana X, ia memiliki kekerabatan juga dengan Pura Mangkunegaran. 

“Kamu tahu betul sepak terjang beliau (J. Agustinus Dezentje), kan? Panjang ceritanya,” ungkapnya sambil tertawa.

Upacara peresmian Ponten Ngebrusan ditutup dengan suguhan minuman khas Pura Mangkunegaran dan pidato penutup oleh Gusti Mangkunegara VII. Dalam cuplikan pidatonya, Gusti Mangkunegara VII berpesan agar warga menggunakan ponten dan tidak menggunakan air sungai, guna mengurangi resiko penyakit menular. 

Detail Menarik dari Arsitektur Ponten Mangkunegaran

Rasa haus tiba-tiba menerjang. Kami pun lantas mencari warung angkringan sebagai pelepas dahaga. Setelahnya kami lanjut mengelilingi ponten dan Kampung Kestalan. Sebelum keluar halaman ponten, tiba-tiba terlintas pertanyaan karena saya penasaran sejak awal datang di sini.

“Mas Heri, ini [ponten], sisi timur terbuka mungkin areal cuci muka atau baju. Tapi utara, selatan, dan barat, kan, kolah (toilet). Serius desain awal memang tanpa atap dan pintu?” tanya saya. 

Dan betul, faktanya demikian. Namun, pada tahun 1931 menggunakan kamar mandi komunal jamak terjadi dan tidak ada rasa malu. Jika perempuan tetap menggunakan baju kemben dan jarik, kalau pria tanpa baju—hanya celana. Itu lumrah terjadi dan bukan pornografi.

Lokasinya yang berada di tepi Sungai Pepe dan di tengah kampung, jelas menjadi aset yang penting untuk meminimalkan sebaran penyakit di wilayah sekitar. Thomas Karsten mengemasnya dengan apik, sehingga tidak tampak seperti kamar mandi komunal. Sangat detail dan simetris satu sama lain. 

Ponten Ngebrusan bergaya ala candi bercorak Hindu Jawa Tengah, dengan ciri khas hiasan kemuncak di sudut tembok. Seakan mempertegas bahwa sang perancang sangat menghormati budaya negara yang ia datangi. Letaknya yang lebih tinggi dari halaman juga semakin menambah kesan mewah. 

Sumber air berada di selatan ponten dan dialirkan ke bak penampungan di tengah. Kemudian dialirkan kembali melalui pipa besi ke toilet di setiap sisi. Khusus sisi timur, digunakan untuk mencuci dan mungkin juga untuk mandi. 

Menariknya, setiap toilet didesain membelakangi pintu dan menghadap bak kecil. Jelas tujuannya tidak lain supaya orang lain yang akan menggunakan tidak saling bertatap muka. Air kotor pun dialirkan dengan baik melalui saluran kecil, lalu dibuang ke parit luar ponten.

Melalui foto lama keluaran Belanda yang dimiliki Heri, kondisi Ponten Ngebrusan tidak berubah sejak tahun 1931. Hanya perbaikan dan pengecatan ulang beberapa sisi, karena statusnya sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Solo. Maka tidak boleh direnovasi sembarangan.

Saat melangkah keluar halaman ponten, kami langsung dihadapkan perkampungan Ngebrusan dan Kestalan. Layaknya perkampungan, hilir mudik warga silih berganti tanpa henti. “Ya, seperti ini juga kondisi kampungnya. Hanya saja kala itu dikenal kumuh,” imbuh Heri. 

Warga yang menempati kedua kampung tersebut kini sudah beragam. Banyak pendatang yang sudah membaur dengan warga asli. Penduduk asli banyak yang tinggal di area Ponten Mangkunegaran dan tepi Sungai Pepe Kampung Kestalan. Sementara warga pendatang tinggal di tepi jalan, tepatnya di barat kampung.

Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo
Aliran Sungai Pepe di selatan Ponten Mangkunegaran/Ibnu Rustamadji

Berharap Tak Lekang Termakan Zaman

Ponten Mangkunegaran tentu tidak dapat dipisahkan dari akar rumputnya dengan warga Kampung Kestalan dan Kampung Ngebrusan. Meski zaman terus berubah, memori warga sebelum, sesaat, dan setelah adanya Ponten Mangkunegaran tentu tidak akan lekang oleh waktu.

Tata ruang kampung yang lebih baik adalah bukti nyata sinergi antara Gusti Mangkunegara VII dan Thomas Karsten dalam mewujudkan kampung yang lebih sehat. Seperti pepatah, kota tidak bisa hidup tanpa adanya kampung; tetapi sebaliknya, kampung bisa hidup tanpa adanya kota.

Kampung lawas bekas kandang kuda pacuan di tengah Kota Solo itu kian berkembang, tetapi masih menyimpan harta terpendam sebagai bukti berkembangnya kota. Patut dihargai, terutama kepada warganya yang turut serta menjaga ingatan sekaligus warisan berharga bagi wong Solo.

Juga bagi mereka sebagai penikmat, seperti saya dan Heri, dapat menyaksikan Ponten Ngebrusan dengan layak. Meskipun tidak mewah, tetapi tentu ada perasaan tersendiri ketika dapat mengabadikan setiap detailnya Begitulah yang saya alami ketika menelusuri Ponten Ngebrusan dengan rekan tempo hari lalu. “Tidak ada masalah jika disebut wong kampungan. Mungkin mereka belum tahu di balik kampung itu ada apa saja,” ucapnya sambil tertawa. 

Semakin dalam menyusuri Kampung Kestalan dan Kampung Ngebrusan, langit senja berubah menjadi gelap tanda malam datang. Kami segera kembali ke areal ponten untuk mengambil kendaraan dan memutuskan untuk jajan di warung angkringan legendaris pilihan Heri.

Ponten Mangkunegaran saat ini masih eksis, meskipun sudah tidak berfungsi sebagaimana dahulu. Bangunan tersebut menjadi monumen hidup, mahakarya, sekaligus sumbangsih Gusti Mangkunegara VII dan Thomas Karsten yang paling unik di Solo. 

Setiap sore, halaman ponten digunakan anak-anak kampung setempat berlatih pencak silat. Tidak jarang juga dimanfaatkan warga untuk menggelar kegiatan seni dan budaya. Dengan adanya kegiatan semacam ini, citra kampung lawas Kestalan perlahan naik menjadi kawasan cagar budaya. Semoga saja, kampung lawas lain di Solo maupun kota-kota lainnya dapat bersinergi dengan cagar budaya yang ada di sekitarnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-ponten-mangkunegaran-di-kampung-lawas-kestalan-solo/feed/ 0 42088
Menyelisik Jejak Johannes Albertus Wilkens di Museum Radya Pustaka https://telusuri.id/menyelisik-jejak-johannes-albertus-wilkens-di-museum-radya-pustaka/ https://telusuri.id/menyelisik-jejak-johannes-albertus-wilkens-di-museum-radya-pustaka/#respond Wed, 07 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41107 Perjalanan saya di pengujung tahun 2023 lalu berbeda dari sebelumnya. Kali ini saya memilih menelusuri Museum Radya Pustaka. Museum tertua di Indonesia yang berada tepat di jantung Kota Solo. Tepat di timur Taman Hiburan Rakyat...

The post Menyelisik Jejak Johannes Albertus Wilkens di Museum Radya Pustaka appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya di pengujung tahun 2023 lalu berbeda dari sebelumnya. Kali ini saya memilih menelusuri Museum Radya Pustaka. Museum tertua di Indonesia yang berada tepat di jantung Kota Solo. Tepat di timur Taman Hiburan Rakyat dan lapangan sepak bola Sriwedari.

Sebelum menginjakkan kaki ke halaman museum, tampak sebuah patung berdiri tepat di depannya. Terlihat dari Jalan Slamet Riyadi. Saya bergumam, “Oh, iya [patung] ini kan Raden Ngabehi Ronggowarsito? Betul dugaanku, prasasti makam Johannes Albertus Wilkens pasti ada di sini.”

Patung di depan Museum Radya Pustaka memang merupakan penggambaran sosok Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito, sang pujangga terakhir dari Jawa yang jasadnya dikebumikan di Palar, Klaten. Lantas apa hubungannya dengan Museum Radya Pustaka? Secara singkat, beliau adalah salah satu pionir berdirinya Radya Pustaka.

Tersebut juga nama Johannes Albertus Wilkens. Siapakah dia dan bagaimana hubungannya dengan R. Ng. Ronggowarsito? Inilah yang akan saya telusuri. 

  • Menyelisik Jejak Johannes Albertus Wilkens di Museum Radya Pustaka
  • Menyelisik Jejak Johannes Albertus Wilkens di Museum Radya Pustaka

Pertama menginjakkan kaki di beranda depan, saya langsung disambut dua arca Hindu berdiri berdampingan. Tidak lama kemudian, muncul dua perempuan muda dari balik meja tamu di sisi kiri beranda. Mereka merupakan pegawai museum yang sedang bertugas mendata pengunjung yang datang. Untuk memasuki Museum Radya Pustaka tidak dikenakan biaya alias gratis. Pengunjung hanya diminta menuliskan identitas dan nomor telepon.

Selesai menulis, saya segera menelusuri areal dalam museum. Tanpa bantuan guide, mata tiba-tiba terfokus pada bagian ruang tengah dengan hiasan dua patung manusia setengah badan.

“Akhirnya ketemu prasasti Johannes Albertus Wilkens, penerjemah kepercayaan R. Ng. Ronggowarsito yang selama ini terlupakan,” pikir saya. 

Segeralah saya abadikan detail dan mengirimkannya kepada Hans Boer untuk mengetahui latar belakang tokoh tersebut. Tidak sampai satu hari, kabar gembira datang dari Hans Boer.

Berawal dari Kerkop Carel Frederik Winter di Palar

Sudah cukup lama sebenarnya saya menelusuri kerkop Carel Frederik (C . F.) Winter yang berada tepat di samping pusara sang pujangga di Desa Palar, Kabupaten Klaten. Hanya saja ketika membuka artikel mengenai kedua tokoh tersebut, muncullah nama Johannes Albertus (J. A.) Wilkens yang juga memiliki hubungan dengan keduanya di Kota Solo.

Tiba-tiba rasa penasaran datang bercampur dengan keinginan menemukan jejak J. A. Wilkens. Hingga akhirnya saya putuskan pada suatu Selasa pagi beranjak ke Solo dan mengunjungi Museum Radya Pustaka untuk memecahkan teka-teki tersebut dengan bantuan Hans Boer.

“Akhirnya ketemu di mana makam Albertus Wilkens, Mas?” tanyanya melalui pesan singkat.

“Makam sebenarnya di kerkop Jebres berdampingan dengan C.arel Winter dan orang elit Belanda yang tinggal di Kota Solo kala itu. Medio 1960-an dilakukan penggusuran besar-besaran dan nisan-nisan indahnya turut serta rata dengan tanah. Ada dugaan beberapa di antaranya masih ada, terkubur di bawah rumah warga,” jawab saya.

Nisan prasasti J. A. Wilkens di Museum Radya Pustaka sejatinya reproduksi dari prasasti yang sudah hilang. Tak ayal hanya berisikan inskripsi sederhana. Berikut isi inskripsi nisan yang tersisa:

“Gewijd aan de Nagedachtenis van Johannes Albertus Wilkens, in Leven Ambtenaar Belaast Geweest met de Samenstelling van een Jav. Nederd Woordenboek. Geboren te Gresiq (Res. Soerabaja) den 29 Juli 1813, Overleden te Soerakartaden 19 December 1888.”

Menyelisik Jejak Johannes Albertus Wilkens di Museum Radya Pustaka
Inskripsi nisan mendiang J. A. Wilkens di Museum Radya Pustaka/Ibnu Rustamadji

Nisan tersebut didedikasikan kepada J. A. Wilkens. Ia adalah seorang pegawai negeri sipil dan penanggung jawab penerjemahan kamus berbahasa Belanda-Jawa. Kelahiran Gresik (Surabaya) pada 29 Juli 1813 dan wafat di Surakarta, 19 Desember 1888.

Hans menambahkan, berdasarkan hasil penelusurannya, J. A. Wilkens merupakan putra dari kepala pengawas gudang garam di Gresik bernama Johannes Wilkens dan sang ibu Helena Diederika Elizabeth Hartog. Lazim kala itu nama ayah disematkan untuk nama putranya. 

“Johannes Albertus Wilkens memiliki setidaknya tujuh saudara dan saudari. Mereka tinggal di beberapa negara, termasuk Belanda dan Inggris. Albertus Wilkens dan sang istrinya memilih tinggal di Hindia Belanda,” tambahnya.

J. A. Wilkens memiliki istri bernama Francina Elisabeth Wilkens (lahir: Rosemeier), kelahiran Surabaya, 16 Agustus 1816 dan wafat di Surakarta, 28 Maret 1845. Pernikahan mereka dikaruniai tujuh orang anak.

Sang istri, Francina Elisabeth Rosemeier, anak kandung Coenraad Rosemeier dan Helena Charlotta Crusius. Ia sulung dari 10 bersaudara. Keluarga Rosemeier tinggal di Jalan Embong Wungu, Surabaya. Pernikahan antara Francina Elisabeth dan J. A. Wilkens digelar di kediamannya tersebut.

Sayangnya, umur pernikahan mereka sangat singkat. Pasca Francina Elisabeth Rosemeier wafat, setahun kemudian J. A. Wilkens menikah kembali dengan adik kandung sang istri. Pernikahan juga digelar di kediaman keluarga Rosemeier.

“Sepeninggal sang istri, ia (J. A. Wilkens) menikahi saudari kandung sang istri yang bernama Johanna Rosemeier pada 1846 dan memiliki 2 orang anak,” ungkap Hans.

Menyelisik Jejak Johannes Albertus Wilkens di Museum Radya Pustaka
Penggambaran sosok J. A. Wilkens di Museum Radya Pustaka/Ibnu Rustamadji

Karya dan Kiprah J. A. Wilkens

Setelah menikah, J. A. Wilkens dan istrinya tinggal bersama di Kota Surakarta (nama lain Solo), hingga akhir hayat. Hal ini disebabkan J. A. Wilkens bekerja sebagai pegawai negeri di pemerintah Belanda di Surakarta kala itu. Selain sebagai pegawai negeri, beliau juga bekerja sebagai guru bahasa Jawa di Institut Bahasa Jawa Surakarta.

Ketika mengajar di sinilah, beliau bertemu C. F. Winter, sang penerjemah Eropa kepercayaan R. Ng. Ronggowarsito. Karya pertama J. A. Wilkens dan C. F. Winter adalah penyusunan Kamus Etimologi Jawa-Belanda pada 1835. 

Di tahun yang sama, J. A. Wilkens diangkat sebagai inspektur kelasi 2 bidang kebudayaan Jawa di Institut Bahasa Jawa hingga 1843. Selain bekerja sama dengan C. F. Winter, beliau juga membantu R. Ng. Ronggowarsito menerjemahkan serat prosa dan babad berbahasa Sansekerta ke bahasa Jawa.

Karya R. Ng. Ronggowarsito dan J. A. Wilkens cukup banyak. Beberapa di antaranya masih relevan hingga saat ini. Salah satunya terjemahan Kitab Bharatayudha, yang hingga kini masih dipentaskan dalam bentuk wayang kulit. Hasil gubahan keduanya. Karya lain berupa prosa, puisi dan serat babad berbahasa Jawa.

Tidak hanya itu, beliau juga terlibat dalam proses penerjemahan perundang-undangan berbahasa Belanda ke dalam bahasa Jawa. Supaya lebih mudah dipahami oleh seluruh masyarakat Jawa kala itu. Pekerjaan tersebut atas perintah residen Surakarta kala itu, Tuan J. F. W. van Nes. 

Setahun kemudian, J. A. Wilkens dan C. F. Winter menerjemahkan kamus bahasa Jawa ke bahasa Jerman-Belanda hingga selesai pada 1848. Tidak lama setelahnya J. A. Wilkens mendapat tawaran bekerja sama dengan Profesor Roorda di Delft.

Beliau menerima tawaran penerjemahan naskah Jawa ke bahasa Belanda tersebut. Pekerjaan itu ia selesaikan selama tiga tahun di Delft. Tidak lama kemudian J. A. Wilkens kembali ke Hindia Belanda (Indonesia kala itu), dan bekerja kembali bersama C. F. Winter hingga Winter wafat pada tahun 1859.

Pasca wafatnya sahabat sekaligus guru dari J. A. Wilkens tersebut, pekerjaan menerjemahkan naskah Jawa di Surakarta ia lanjutkan hingga pensiun pada 1883. Selama lima tahun ia menghabiskan masa pensiun di kota yang dialiri Sungai Bengawan Solo itu.

Menyelisik Jejak Johannes Albertus Wilkens di Museum Radya Pustaka
Koleksi di ruang tengah dari halaman belakang Museum Radya Pustaka/Ibnu Rustamadji

“Tanggal 13 Desember 1888, Johannes Albertus Wilkens tutup usia di umur 75 tahun di Kota Surakarta,” ungkap Hans. 

Pemakaman dilakukan di kerkop Jebres, dihadiri pejabat pemerintah Belanda, perwakilan Keraton Kasunanan, Pura Mangkunegaran, dan rekan sejawat dari Institut Bahasa Jawa Surakarta. Prosesi pemakaman diawali sambutan perwakilan keluarga, lalu dilanjutkan pidato perwakilan rekan sejawat.

Salah satu rekan yang memberikan penghormatan dan sambutan terakhir adalah Prof. A. C. van Vrede. Dalam sambutannya, melalui data milik Hans, menyatakan sebagai berikut:

“Sosok Johannes Albertus Wilkens, merupakan priyayi Jawa berdarah Belanda yang menjunjung tinggi kebudayaan Jawa selama hidupnya.”

Tak ayal beliau mendapat tempat istirahat berdampingan dengan C. F. Winter, yang notabene penerjemah kepercayaan R. Ng. Ronggowarsito. Meskipun semasa hidup antara J. A. Wilkens, C. F. Winter, dan R. Ng. Ronggowarsito memiliki masa lalu yang pelik.

Ketika R. Ng. Ronggowarsito wafat, C. F. Winter dan J. A. Wilkens datang melayat dalam pemakaman. Begitu juga ketika C. F. wafat, J. A. Wilkens hadir. Meski sudah didahului tiga sahabat sebelumnya, pemakaman J. A. Winter tetap digelar cukup mewah.

Makam ketiganya tentu terbilang mewah untuk ukuran zaman itu, dibandingkan dengan kondisi saat ini. Minimal pada masanya berbentuk monumen berhias marmer dan simbol-simbol kehidupan. Lantas apa hubungan ketiga orang tersebut dengan Radya Pustaka?

Museum Radya Pustaka, selain menyimpan benda-benda peninggalan VOC dan Mataram Kuno, juga memelihara naskah-naskah berbahasa Jawa, Sansekerta, dan berbahasa Palawa. Peninggalan VOC dan Mataram Kuno merupakan hibah dari keluarga Keraton Kasunanan Surakarta yang dahulu menerimanya dari negara sahabat.

Adapun naskah-naskah kuno tersebut merupakan hasil karya J. A. Wilkens, C. F. Winter, dan R. Ng. Ronggowarsito. Untuk dapat mengakses, pengunjung harus datang langsung ke perpustakaan di dalam museum. Tepat di ruang kamar sebelah kiri dari pintu utama, yang dulunya kamar tidur keluarga Johannes Busselar, pemilik awal gedung sebelum menjadi museum.

“Johannes Busselar, [adalah] kapten infanteri militer KNIL Kota Surakarta, tetapi pertengahan 1909 ia dipindahtugaskan ke Jember hingga wafat 1913,” tambah Hans.

Menyelisik Jejak Johannes Albertus Wilkens di Museum Radya Pustaka
R. T. Sosrodiningrat IV. pendiri Radya Pustaka, berada tepat di depan patung J. A. Wilkens/Ibnu Rustamadji

Setelah Johannes Busselar dan istri pindah, kediamannya dibeli oleh Patih Raden Tumenggung (R. T.) Sosrodiningrat IV atas perintah Sunan Pakubuwana IX. Kemudian berfungsi sebagai gedung Radya Pustaka yang baru, menggantikan gedung di Kepatihan Surakarta yang telah rusak parah.

Radya Pustaka berdiri sejak 28 Oktober 1890 atas prakarsa R. T. Sosrodiningrat IV dan Sunan Pakubuwana IX. Meledaknya geger Kepatihan Surakarta pada 1909 memaksa sang patih dan Radya Pustaka hengkang. Hingga akhirnya menempati gedung saat ini dan sang patih tinggal di Ndalem Wuryoningratan yang terletak di sebelah timur Radya Pustaka.

Patung R. Ng. Ronggowarsito di halaman depan diresmikan pada 1951 oleh Ir. Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia, sebagai wujud penghormatan terhadap pujangga terakhir Jawa dari Surakarta. Patung C. F. Winter dan J. A. Wilkens pun berdiri sejajar di dalam Museum Radya Pustaka. Semoga karya mereka abadi, serta banyak generasi muda yang mampu dan mau meneruskan perjuangan mereka menjaga warisan budaya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyelisik Jejak Johannes Albertus Wilkens di Museum Radya Pustaka appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyelisik-jejak-johannes-albertus-wilkens-di-museum-radya-pustaka/feed/ 0 41107
Hotel Trio, Mansion Peranakan Tionghoa yang Tersisa di Solo https://telusuri.id/hotel-trio-mansion-peranakan-tionghoa-yang-tersisa-di-solo/ https://telusuri.id/hotel-trio-mansion-peranakan-tionghoa-yang-tersisa-di-solo/#comments Mon, 11 Sep 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39808 Warga asli Kota Solo yang sudah lintas generasi tinggal di sekitar tujuan saya, yaitu Kepatihan Wetan, Kecamatan Jebres, menyebut wilayah ini dengan sebutan Warung Pelem. Dahulu area ini banyak perkebunan pohon pelem (mangga), yang sekarang...

The post Hotel Trio, Mansion Peranakan Tionghoa yang Tersisa di Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Warga asli Kota Solo yang sudah lintas generasi tinggal di sekitar tujuan saya, yaitu Kepatihan Wetan, Kecamatan Jebres, menyebut wilayah ini dengan sebutan Warung Pelem. Dahulu area ini banyak perkebunan pohon pelem (mangga), yang sekarang berganti menjadi kompleks pertokoan. Tepat di ujung persimpangan jalan antara Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Ir. Sutami, berdiri sebuah warung makan di bawah pohon mangga. Ada dugaan karena keberadaan warung inilah warga lebih mengenalnya seperti itu.

Tujuan saya, mansion peranakan Tionghoa Kota Solo, kini sudah beralih fungsi menjadi penginapan bernama Hotel Trio. Penamaan “trio” bukan berarti pemiliknya tiga orang meskipun pengelolaan turun-temurun.

Ketika saya berkunjung tampak seorang pria paruh baya keluar dari salah satu ruang kerja. Dia adalah Gunawan, pengelola hotel tersebut. Kedatangan saya sangat diterima dengan baik dan mengizinkan saya mengabadikan detail-detail hotel meskipun tidak menginap. Ia juga tidak segan berbagi cerita dengan saya mengenai masa lalu Hotel Trio dan Warung Pelem Solo.

Hotel Trio, Mansion Peranakan Tionghoa yang Tersisa di Solo
Tampak depan Hotel Trio, mansion peranakan Tionghoa yang tersisa di Kota Solo/Ibnu Rustamadji

Benang Merah Hotel Trio dan Warung Pelem

Gunawan, panggilan akrabnya, masih ingat betul. Sejatinya areal Warung Pelem cukup luas. Bahkan menurutnya tempat Hotel Trio berdiri dulunya perkebunan mangga, yang terhampar dari halaman belakang hotel hingga keluar kampung.

“Anak muda sekarang tidak banyak tahu Warung Pelem Solo, tetapi kalau kamu tanya orang tuamu yang asli Solo pasti tahu. Beberapa orang tua sekitar hotel masih ada yang menyebut Warung Pelem daripada Kepatihan Wetan (timur kepatihan),” tandasnya.

Gunawan benar. Ketika saya menghubungi orang tua melalui pesan singkat, mereka mengetahui adanya Warung Pelem yang ada di sisi utara Pasar Gede Solo. Namun, lupa seluas apa wilayahnya. Penarik becak pun, ketika saya sambangi sembari memulai memotret Hotel Trio, beberapa di antaranya menyebut Warung Pelem adalah wilayah yang tengah saya kunjungi saat itu.

Penyebutan Warung Pelem saat ini sudah jarang dan berganti Kepatihan Wetan atau Mbalong yang notabene kampung pecinan Kota Solo. Puas mengetahui asal usul Warung Pelem, saya kembali memasuki Hotel Trio. 

Hotel Trio, Mansion Peranakan Tionghoa yang Tersisa di Solo
Ruang depan atau lobi utama Hotel TrioIbnu Rustamadji

Berawal dari Rumah Pribadi

Di tengah mencari sudut yang tepat, terlihat Gunawan masih duduk di kursi tamu seperti sebelumnya. Tanpa pikir panjang saya langsung menghampiri dan muncul hal yang tidak saya duga sebelumnya. Seketika ia bercerita menjelaskan masa lalu Hotel Trio. 

Sebagai generasi penerus pemilik Hotel Trio, tentu banyak pengalaman menarik yang bisa saya ungkap. Terlebih saya senang berbagi cerita dengan mereka yang lebih tua, sehingga Gunawan pun lebih senang untuk berbagi pengalaman hidupya.

Hotel Trio berdiri sekitar tahun 1932, saat Solo berkembang menjadi kota modern seperti saat ini. Hotel Trio sejatinya memiliki kembaran bangunan tepat di seberangnya, tetapi sayang kini berubah total menjadi Mall Atria.

Secara kasatmata, Hotel Trio masih utuh. Pengelola hanya melakukan perbaikan kecil dan menambahkan kamar di halaman belakang, menempati bekas kebun mangga. Bahkan gaya arsitekturalnya pun tidak berubah. Hotel Trio memadukan tiga unsur gaya bangunan, yakni tradisional Jawa,  Eropa, dan Cina. Masing-masing memiliki karakter sendiri. Gaya tradisional Jawa lebih menekankan penggunaan tiga pintu simetris. Gaya Eropa terlihat pada ornamen lis tembok, fasad depan, penggunaan kolom besi ukir gaya Korintia, serta penggunaan halaman depan dan belakang. Adapun gaya tradisional Cina menekankan feng shui atau tata ruang rumah.

Dari luar hingga belakang masih utuh, termasuk tegel motif flora tiga macam. Tegel batu marmer dan lantai kayu di lantai dua pun masih dipertahankan. Sebuah mansion mewah perpaduan tiga gaya yang tidak banyak ditemukan di kota lain.

Gunawan menambahkan, Hotel Trio dulunya rumah pribadi milik keluarga Tjokro Soemarto, seorang saudagar batik terkemuka awal abad ke-19 di Laweyan. Di bawah kepemilikannya, Hotel Trio kemudian disewa oleh Tjoa Boen King. Hal ini ia lakukan karena keluarga Tjoa mencari rumah untuk dikelola menjadi penginapan. 

Karena disewakan dengan harga standar, Hotel Trio akhirnya menjadi pilihan mereka. Pertama kali dibuka hanya bernama Trio saja hingga tahun 1970. Cukup lama memang. Setelah penginapan berjalan sukses, salah satu putra Tjoa Boen King bernama Djoenadi Tjokrohandojo, membeli dari Tjokro Soemarto dan mengubah nama menjadi Hotel Trio seperti saat ini. Pengelolaan berlangsung secara turun-temurun, dua di antaranya adalah Gunawan dan Indriati Tjokrohandojo, salah satu putri Djoenadi Tjokrohandojo sebagai penanggung jawab Hotel Trio.

Mengulik Interior Hotel Trio

Melalui artikel yang ditulis Dhian Lestari Hastuti mengenai fungsi desain interior rumah peranakan Tionghoa di Kota Surakata awal abad ke-20, Hotel Trio sejatinya terdiri dari dua bangunan, yaitu bagian depan sebagai penginapan dan belakang untuk hunian. Antara keduanya terpisahkan halaman belakang. Namun, selama saya menelusuri setiap kamar utama hingga lantai dua tidak menemukan jawaban atas informasi tersebut.

Yang saya dapatkan, Hotel Trio merupakan banguan berdiri sendiri berlantai dua serta terapit oleh halaman depan dan belakang. Ruang keluarga ada di beranda belakang hingga halaman belakang, sedangkan ruang tidur ada di keempat kamar.

Menariknya, setiap kamar utama dilengkapi meja kayu dengan permukaan marmer untuk merias diri. Jendela krepyak besar terpasang menghadap halaman samping. Setiap kamar memiliki dua daun pintu. Sepasang pintu kayu bukaan keluar dan sepasang pintu kaca grafir bukaan ke dalam.

Untuk menuju kamar dari depan, saya melewati kolom bergaya tuscan dengan lengkungan motif kelopak bunga di sisi tengahnya. Lantai bagian ruang depan berupa tegel marmer. Melangkah lebih jauh, tampak tegel tiga motif hingga beranda belakang.

Beranda belakang lantai satu saat ini menjadi ruang makan tamu hotel yang menginap. Makanan yang tersaji pun khas masakan rumahan, seperti sayur asem dan lodeh.  Begitu juga dengan pramusaji, yang berasal dari warga kampung sekitar Hotel Trio.

“Makanya kami lebih memberikan pelayanan dan kenyaman tamu yang ingin beristirahat di sini. Tidak perlu mewah. Selama mereka betah di bangunan kuno seperti ini, kita akan bertahan dan mempertahankan warisan ini,” jelasnya.

Menikmati panorama Jalan Urip Sumoharjo dari balkon lantai dua, saya serasa kembali ke abad sembilan belas ketika Hotel Trio menjadi rumah pribadi. Dari sisi atas balkon halaman depan, saya menjumpai hiasan berupa patung burung berkepala singa. Hiasan itu juga terdapat di sudut atas kolom balkon.

Berjalan turun dari lantai dua, saya menapaki dua tangga kayu di sisi kiri dan kanan beranda belakang. Tangga asli Hotel Trio sejatinya terbuat dari kayu, yang terletak di sisi kanan beranda belakang.  

Hotel Trio, Mansion Peranakan Tionghoa yang Tersisa di Solo
Tangga menuju lantai dua di sisi kanan beranda belakang/Ibnu Rustamadji

Detail Lain yang Terlupakan

Sesampainya di lantai satu kembali, Gunawan menjelaskan satu detail yang saya lupakan sejak pertama kali berkunjung. Penggunaan warna pada pintu dan beberapa sisi tembok segera menarik perhatian saya. Sebagai pengelola ia turut menjelaskan makna warna tersebut.

Aksen kedua warna yang membalut Hotel Trio, menurutnya mendapat pengaruh estetika Pura Mangkunegaran. Masing-masing memiliki arti tersendiri meskipun tidak serta-merta pihak Pura Mangkunegaran yang memilihkan warna.

Dalam budaya Tionghoa, warna hijau melambangkan pohon. Artinya, perlambangan panjang umur dan pertumbuhan laksana sebuah pohon yang dirawat hingga memasuki usia tua. Sedangkan warna kuning melambangkan unsur tanah, yang bermakna perlambangan kekuatan dan kekuasan. 

Ada pohon tentu ada tanah untuk tumbuh, begitu juga harapannya pada Hotel Trio. Harus kuat meskipun mengalami perkembangan zaman yang keras. Terbukti dengan menjamurnya hotel mewah di Kota Solo, keberadaan Hotel Trio tetap eksis dan menjadi rujukan beberapa tamu dari luar kota.

Selain memiliki nuansa mansion peranakan Tionghoa, mereka yang menginap di sini juga bisa merasakan hangatnya kekeluargaan ketika disajikan olahan masakan rumahan khas Hotel Trio. Jika tidak percaya, silakan menginap dan menikmati suasana yang ada.

Hotel Trio pun menyewakan keempat kamar utamanya, terutama bagi mereka yang berkeluarga atau beramai-ramai. Karena kamarnya cukup besar dan mampu menampung 4—6 orang sekaligus. Berbeda dengan kamar tambahan di belakang, ukurannya lebih kecil. Apabila beruntung, kalian dapat menjumpai Om Gunawan—saya memanggilnya begitu—untuk mendapat cerita pengalamannya di Hotel Trio. Puas menikmati detail Hotel Trio dan waktu yang makin sore, saya putuskan untuk menyudahi penelusuran dan berpamitan dengan Om Gunawan.

Hotel Trio, Mansion Peranakan Tionghoa yang Tersisa di Solo
Beranda belakang lantai satu. Tampak para tamu menikmati sarapan/Ibnu Rustamadji

Harapan untuk Hotel Trio

Bagi kalian yang ingin berkunjung ke Hotel Trio, keberadaannya tidak sulit dicari karena bisa menggunakan Google Maps. Namun, apabila sudah mendekati hotel perlu jalan perlahan-lahan karena letaknya berdampingan dengan ruko-ruko sepanjang jalan. Jika belum yakin, silakan tanya ke tukang becak atau juru parkir sekitar. Pasti mereka tahu lokasi Hotel Trio, yang beralamat di Jalan Urip Sumoharjo No. 25, Kepatihan Wetan, Jebres, Solo.

Harapan saya—sebagai penikmat peninggalan kolonialisme—saat melihat Hotel Trio sangat sederhana. Semoga eksistensinya sebagai mansion peranakan Tionghoa yang tersisa di Kota Solo tidak lekang oleh perkembangan zaman yang serba modern. 

Seperti kata pepatah. Ada desa, tetapi tidak ada kota warganya tetap bisa hidup; dan apabila ada kota, tetapi tidak ada desa warganya akan mati. Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi. Kita memperoleh warisan yang tidak ada duanya, sehingga tentu harus memperlakukannya dengan bijak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hotel Trio, Mansion Peranakan Tionghoa yang Tersisa di Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hotel-trio-mansion-peranakan-tionghoa-yang-tersisa-di-solo/feed/ 1 39808
Masa Lalu Bengawan Solo: dari Jejak Pelabuhan Dagang hingga Persoalan Lingkungan https://telusuri.id/masa-lalu-bengawan-solo-dari-jejak-pelabuhan-dagang-hingga-persoalan-lingkungan/ https://telusuri.id/masa-lalu-bengawan-solo-dari-jejak-pelabuhan-dagang-hingga-persoalan-lingkungan/#respond Sun, 13 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39595 Lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang mengantar saya melakukan perjalanan meniti aliran sungai Bengawan Solo. Tepatnya di Bandar Beton, Kampung Sewu, Jebres, Solo (Surakarta). Kampung Sewu Solo berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Aliran sungai Bengawan Solo melintas...

The post Masa Lalu Bengawan Solo: dari Jejak Pelabuhan Dagang hingga Persoalan Lingkungan appeared first on TelusuRI.

]]>
Lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang mengantar saya melakukan perjalanan meniti aliran sungai Bengawan Solo. Tepatnya di Bandar Beton, Kampung Sewu, Jebres, Solo (Surakarta). Kampung Sewu Solo berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo. Aliran sungai Bengawan Solo melintas tepat di perbatasan kedua wilayah tersebut. Rekan sejawat, Heri Priyatmoko, menemani perjalanan saya kali ini. Ia berkisah banyak mengenai masa lalu Bengawan Solo.

Mungkin berkunjung ke tempat ini tidak menarik bagi sebagian orang, karena hanya menyaksikan arus sungai berwarna kecoklatan. Namun, jika melihat dari sudut pandang berbeda, kita akan menemukan sesuatu yang tidak mungkin kita temukan di aliran sungai lain. Terlebih Bandar Beton di Kampung Sewu adalah saksi bisu perjalanan perkembangan Kota Solo, serta menjadi pusat jalur perdagangan sejak era Mataram Islam.

Walau sudah tidak lagi menjadi jalur perdagangan, sisa-sisa kejayaan sungai terpanjang di Pulau Jawa itu masih cukup terasa. Tak ayal, Gesang menciptakan lagu Bengawan Solo karena menyimpan memori yang luar biasa bagi Kota Solo. Sekalipun kondisi sungai Bengawan Solo saat ini jauh dari kata sempurna, seperti lagunya.

Masa Lalu Bengawan Solo: dari Jejak Pelabuhan Dagang hingga Persoalan Lingkungan
Aliran Bengawan Solo dari arah hulu/Ibnu Rustamadji

Jejak Perdagangan di Era Mataram Islam

Bandar Beton merupakan pelabuhan dagang Mataram Islam yang ada di wilayah Beton, Kampung Sewu. Pada masa itu, supaya bisa memasuki wilayah Kota Solo, para pedagang harus melalui Bandar Beton terlebih dahulu. Lalu menggunakan perahu sejenis jung berukuran lebih kecil menuju tujuan.

“Sebenarnya Bengawan Solo kala itu mampu dilewati kapal dagang karena cukup lebar. Namun, semakin ke hulu sungai luasannya menyempit. Tentu dibutuhkan kapal jung untuk mempermudah akses barang dan orang,” jelas Heri. 

Heri menambahkan, ketika Kerajaan Mataram Islam pindah dari Kartasura ke Solo, keberadaan Bandar Beton menjadi makin vital. Selain perdagangan, juga berfungsi untuk transportasi utama keluarga dan prajurit militer kerajaan.

“Lebar Bengawan Solo saat ini tentu sudah berubah. Artinya, dulu ketika penuh kapal dagang, luar biasa ramai dan lebar sungainya,” batin saya ketika pertama kali melihat dari tepian sungai. Faktanya demikian. Selain sedimentasi, juga disebabkan pengembangan ruang daerah aliran sungai Bengawan Solo.

Sebagai pusat nadi perdagangan di wilayah Solo dan Yogyakarta, barang-barang kualitas ekspor macam gula, kopi, dan kain sutra melintasi Bengawan Solo. Semua dagangan dibawa oleh pedagang Cina dan Arab dari negeri seberang dan menjualnya ketika singgah di Surakarta.

“Warga Bandar Beton juga menjalin perjanjian dengan para pedagang asing. Tak ayal menjamur gudang pedagang asing berisi komoditas, dengan mengambil pekerja dari warga Bandar Beton sendiri. Lazim kala itu,” terang Heri.

Salah satu wujud perjanjian dagang yang pernah terjadi adalah jual beli opium atau candu. Angkutan sungai Bengawan Solo di abad ke-18 sampai dengan abad ke-19 turut memperlancar perdagangan opium.

Heri mengungkapkan, mereka mendatangkan opium dari Batavia menuju Solo. Mulanya menumpang perahu dagang untuk masuk ke Bandar Beton, kemudian pakai jung hingga hulu Bengawan Solo di Laweyan. Tempat para saudagar batik tinggal.

“Opium atau candu dibeli oleh pekerja pembatik, istilahnya dulu ‘wong madat’ atau pemakai opium. Jejak bandar opium masih ada di Laweyan,” tambahnya.

Masa Lalu Bengawan Solo: dari Jejak Pelabuhan Dagang hingga Persoalan Lingkungan
Salah satu temuan di area Bandar Beton, berupa dudukan wadah hio/Ibnu Rustamadji

Perubahan Drastis Bandar Beton di Masa Cultuurstelsel

Hanya saja, eksistensi Bandar Beton di aliran Bengawan Solo berubah sejak tahun 1830 akibat kebijakan cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) oleh Van Den Bosch. Dampaknya terhadap Bandar Beton cukup masif dan mengubah ekosistem Bengawan Solo.

Pembukaan lahan perkebunan di sekitar aliran Bengawan Solo, membuat Bandar Beton tidak layak lagi menjadi pelabuhan kota. Selain pendangkalan, juga sering terjadi banjir. Para pedagang yang sudah telanjur menetap sementara di kota, mereka memutuskan pindah ke kampung sekitar Bandar Beton. Tidak sedikit dari mereka yang tinggal di kawasan Laweyan, sehingga lahirlah pengusaha kelas atas di kedua kampung tersebut.

Tak pelak hanya sekitar 50% pedagang asing yang masih menggunakan Bandar Beton. Mereka tidak tahu jalur perdagangan alternatif lainnya di Kota Solo. Bagi mereka yang sudah menetap beralih ke moda transportasi yang lebih modern, yakni kereta api. 

“Kereta api kala itu sangat vital. Meski mahal dan tidak semua orang bisa naik, tetapi menyambung seantero Pulau Jawa,” kata Heri.

Kebijakan kolonial tersebut bukan hanya merugikan pedagang, melainkan juga Pura Mangkunegaran dan Keraton Kesunanan Surakarta Hadiningrat. Upaya keduanya dalam melakukan normalisasi Bengawan Solo hanya sekitar 70%. 

Puncak kejayaan Bandar Beton pun akhirnya runtuh. Menyerah dengan keadaan. Terutama sejak Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels atau De Groote Postweg terbangun memasuki kawasan kerajaan di Surakarta (Solo) hingga Yogyakarta.

Menurut Heri, perkembangan kota yang cukup pesat membuat Bengawan Solo dan Bandar Beton hanya tinggal kenangan. Persis seperti tergambar dalam penggalan lirik lagu ciptaan Gesang: 

Bengawan Solo
Riwayatmu ini
Sedari dulu jadi…
Perhatian insani

Musim kemarau
Tak seberapa airmu
Di musim hujan air…
Meluap sampai jauh

Mata airmu dari Solo
Terkurung gunung seribu
Air meluap sampai jauh
Dan akhirnya ke laut

Itu perahu
Riwayatnya dulu
Kaum pedagang selalu…
Naik itu perahu

Masa Lalu Bengawan Solo: dari Jejak Pelabuhan Dagang hingga Persoalan Lingkungan
Tambatan perahu penyeberangan tradisional di Bandar Beton, Jebres, Solo/Ibnu Rustamadji

Kisah Bapak Pendayung Perahu di Bengawan Solo

Seiring berkembangnya zaman, kerusakan ekologis dan ekosistem di Bengawan Solo turut berdampak besar pada hilangnya sisa kejayaan peradaban Bandar Beton. Bingung, kaget, dan heran adalah hal pertama yang saya rasakan campur aduk ketika menyaksikan langsung bekas pelabuhan Bandar Beton.

Apakah Bandar Beton sama sekali tidak ada sisanya? Tentu ada, tetapi mungkin sudah tertimbun endapan lumpur Bengawan Solo. Tidak mudah melakukan penggalian untuk mencari bukti-bukti arkeologis. Butuh waktu dan tenaga yang tidak sedikit jika ingin menemukan kembali jejak Bandar Beton. 

Bahkan mungkin tidak hanya reruntuhan Bandar Beton saja, tetapi juga kapal-kapal dagang yang karam di sepanjang aliran Bengawan Solo. Saya pun berharap suatu saat reruntuhan Bandar Beton bisa ditemukan. Sebagai pengingat eksistensi Bandar Beton di Kampung Sewu.

Walau begitu, saya cukup senang masih menemukan perahu penyeberangan tradisional di Bengawan Solo. Hal yang cukup langka, khususnya bagi kalian yang tidak pernah menyaksikan. Bagi saya, perahu penyeberangan tradisional ini adalah gambaran kesibukan pelabuhan Bandar Beton kala itu. Sayangnya saya lupa nama si bapak pendayung perahu itu karena terlalu asyik mengobrol selama penyeberangan. Bermula dari keisengan saya mengajak Heri untuk menyeberang ke wilayah Kabupaten Sukoharjo.

Bapak itu sudah bekerja selama 35 tahun di jalur penyeberangan Bengawan Solo. Penyeberangan tradisional yang menghubungkan antara wilayah Bandar Beton dengan Sukoharjo. Bertambahnya usia tidak menyurutkan niat si bapak untuk membantu warga menyeberang sungai Bengawan Solo. Padahal kondisi perahu miliknya jauh dari kata layak dan berbahaya.

“Sebenarnya perahu ini untuk memancing atau menjaring ikan, tetapi juga saya gunakan untuk menyeberangkan orang dan motornya. Pokoknya pelan-pelan asalkan semua selamat sampai seberang.” jelasnya.

Perjuangan yang patut diapresiasi. Namun, beliau tidak mau menuntut lebih. Si bapak sudah bersyukur, jika para pengendara yang membutuhkan bantuan memberinya sedikit upah atas jasanya. Itu pun lebih dari cukup, ungkapnya.

“Mau dikasih seribu rupiah atau tidak, juga tidak ada masalah apa-apa. Seringnya saya dikasih Rp2.000 sekali berangkat. Kalau lagi rame bisa Rp25.000-an pergi-pulang menyeberang. Saya tidak maksud untuk dikasihani, cuma karena bisanya saya seperti ini, ya, dimaklumi,” terang si bapak.

Selama lebih dari tiga dasawarsa bekerja di Bengawan Solo, tentu banyak pengalaman manis dan pahit yang beliau rasakan. Termasuk saat banjir bandang tahun 1966. Seluruh Kota Solo, yang terletak di cekungan, tenggelam karena jebolnya tanggul di tepian Bengawan Solo. Si bapak pun pontang-panting bersama ratusan warga lain untuk mengungsi ke dataran yang lebih tinggi.

“Kata orang tua saya dulu, banjir 1966 termasuk yang terparah kedua setelah zaman Belanda. Satu kota tenggelam, warga semua bingung, tiba-tiba air ini [Bengawan Solo] sudah masuk permukiman. Rumah langsung tenggelam bersama seluruh perabot. Pokoknya itu zaman sengsara, seperti zaman Belanda,” kenangnya.

Masa Lalu Bengawan Solo: dari Jejak Pelabuhan Dagang hingga Persoalan Lingkungan
Pesepeda menyeberangi Bengawan Solo. Selain ancaman keselamatan, sungai ini juga menyimpan bahaya banjir di masa mendatang jika ekosistem sekitar tidak dijaga/Ibnu Rustamadji

Ironi di Balik Keindahan Bengawan Solo

Pernyataan bapak tersebut diperkuat temuan Heri mengenai musibah banjir bandang pada 1966 dan banjir zaman Belanda. Menurutnya, banjir 1966 memiliki keterkaitan dengan banjir di zaman kolonial. Ambrolnya tanggul di tepi sungai Begawan Solo karena debit air yang cukup besar dari daerah hulu.

Seluruh kota tergenang. Posisi jebolnya tanggul berada di sekitar Semanggi, Pasar Kliwon, tetapi dampaknya luar biasa. Bayangkan saja debit air sungai seperti sekarang, tanggul tepi ambrol. Hancur sudah, ungkapnya seraya menunjuk aliran hulu sungai.

Tidak hanya warga pribumi, orang Belanda yang tinggal di Solo pun ikut panik. Jelas panik bukan kepalang, ketika tiba-tiba air bah memasuki kampung dan rumah mereka.

“Banjir tiba-tiba, tentu wabah penyakit merebak. Anak-anak keturunan Belanda dan pribumi kena imbasnya. Adapun mereka yang mampu bertahan hidup, akhirnya kembali ke Belanda. Banyak juga dari mereka yang akhirnya wafat akibat ‘virus’ banjir,” tandasnya.

Mengingat dahsyatnya banjir tersebut, pemerintah Belanda di Kota Solo membangun kantor pengairan bernama “Opak” Irrigatiewerken di Loji Wetan, timur Benteng Vastenburg. Sekarang gedungnya rusak parah. Tujuan dan fungsi kantor tersebut, salah satunya adalah mengurus aliran sungai Bengawan Solo.

“Seperti pepatah, air tenang menghanyutkan. Benar adanya dan terbukti oleh Bengawan Solo,” kataku.

Menarik memang aliran sungai Bengawan Solo ini. Selain nilai sejarah, juga menyimpan memori kelam mengenai tragedi dua kali bencana banjir bandang. Meski saat ini hanya tinggal aliran sungai seperti lazimnya, jika ekosistem alam dan lingkungan Bengawan Solo tidak kita jaga, tentu bencana banjir bandang sewaktu-waktu bisa terjadi kembali.

Ironis memang, di balik keindahannya ternyata menyimpan bahaya yang terus mengintai warga yang tinggal di sekitarnya. Masyarakat harus tetap menjaga keseimbangan alam, terutama dengan Bengawan Solo. Jangan malah merusak, jika kita tidak mau dirusak oleh banjir.

Semoga semua makhluk hidup, dapat saling hidup berdampingan.


Tulisan ini diikutsertakan dalam kampanye “TelusuRI Sungai dan Mangrove Indonesia” untuk memperingati Hari Mangrove Internasional 26 Juli dan Hari Sungai Nasional 27 Juli


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Masa Lalu Bengawan Solo: dari Jejak Pelabuhan Dagang hingga Persoalan Lingkungan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masa-lalu-bengawan-solo-dari-jejak-pelabuhan-dagang-hingga-persoalan-lingkungan/feed/ 0 39595
Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik https://telusuri.id/jejak-lokananta-yang-menyimpan-hampir-40-000-piringan-hitam-musik/ https://telusuri.id/jejak-lokananta-yang-menyimpan-hampir-40-000-piringan-hitam-musik/#respond Sat, 24 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39061 Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akhirnya merevitalisasi dan mengembangkan aset Lokananta, yang berada  di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Lokananta, yang sempat terkenal sebagai perusahaan piringan hitam dan salah satu perusahaan rekaman terdepan di Indonesia...

The post Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik appeared first on TelusuRI.

]]>
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akhirnya merevitalisasi dan mengembangkan aset Lokananta, yang berada  di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Lokananta, yang sempat terkenal sebagai perusahaan piringan hitam dan salah satu perusahaan rekaman terdepan di Indonesia ini kini menjadi ruang kreativitas bagi para musisi, seniman, hingga UMKM. Dengan revitalisasi, Lokananta kini memiliki lima pilar bisnis utama, yakni museum, studio rekaman, arena pertunjukan, area kuliner, dan galeri UMKM. 

Revitalisasi menjadi langkah tepat. Bagaimanapun, Lokananta merupakan salah satu aset berharga. Tempat ini menyimpan puluhan ribu piringan hitam musik nasional dari berbagai genre. Termasuk ribuan master rekaman yang memang perlu perawatan dan pelestarian.

Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik
Mesin pembuat master rekaman yang tersimpan di museum mini Lokananta/Djoko Subinarto

Melihat Lokananta

Bagi saya pribadi, Lokananta bukan nama yang asing. Sejak kecil,  saya sudah akrab dengan perusahaan rekaman ini dari koleksi album-album keroncong dan karawitan Jawa milik ayah saya. Meski demikian, baru pada Juli tahun  2010 lampau, saya memiliki kesempatan melihat langsung Lokananta. Saya terdorong rasa penasaran ingin mengetahui hal ihwal perusahaan rekaman ini.

Tatkala memasuki halaman depan kompleks gedung Lokananta yang berada di Jalan Jenderal Achmad Yani 379, Surakarta, Jawa Tengah, 13 tahun yang silam, saya seolah memasuki sebuah kompleks gedung mati yang tidak berpenghuni. Suasana tampak lengang, hampir tidak terlihat aktivitas apa pun. 

“Ya, beginilah keadaan Lokananta saat ini. Ibaratnya hidup segan, mati tak mampu,” guyon Titik Sugiyanti, staf humas Lokananta yang menyambut kedatangan saya, di salah satu sudut di ruang belakang Gedung Lokananta, kala itu.

Titik kemudian menceritakan sekilas sejarah Lokananta. Inti ceritanya yaitu R Maladi, beserta beberapa rekan seperjuangannya, berinisiatif dengan swadaya mendirikan pabrik piringan hitam pada tahun 1950-an dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan siaran radio, khususnya Radio Republik Indonesia (RRI).

Menurut Titik, fungsi utama Lokananta di masa itu adalah memproduksi dan menggandakan piringan hitam untuk keperluan bahan-bahan siaran bagi 27 stasiun RRI di seluruh Indonesia.

Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik
Sebagian koleksi piringan hitam Lokananta/Djoko Subinarto

Seperangkat Gamelan

Nama Lokananta sendiri berasal dari cerita dalam khazanah pewayangan yang merujuk kepada nama seperangkat gamelan dari Suralaya, yaitu istana dewa-dewa di khayangan. Menurut legenda, konon, perangkat gamelan ini dapat berbunyi sendiri tanpa ditabuh.

Saat peresmian oleh Menteri Penerangan RI, Soedibjo, tanggal 29 Oktober 1956, Lokananta berstatus sebagai jawatan. Empat tahun kemudian, status Lokananta berubah menjadi perusahaan negara berdasarkan PP No 215 Tahun 1960. Tujuan perubahan agar cakupan kerja Lokananta tidak hanya melayani kebutuhan bahan siaran RRI, tetapi juga mengemban misi menggali, membina, melestarikan, serta menyebarluaskan kesenian dan kebudayaan nasional.

Karenanya, Lokananta kemudian memperluas fungsinya dengan menjadi studio rekaman. Rekaman pertama hasil produksi Lokananta adalah album gendhing Jawa dan keroncong.

“Sebagian besar album rekaman Lokananta di masa-masa awal adalah gendhing Jawa dan keroncong,” papar Titik.

Pada perkembangan selanjutnya, genre musik di luar gendhing dan keroncong mulai ikut direkam di Lokananta, termasuk lagu-lagu daerah dari seluruh Indonesia dan musik jazz. Musisi jazz Bubi Chen pernah merekam albumnya di sini.

“Empat album pertama Bubi Chen direkam di Lokananta,” jelas Titik.

Lahirnya era kaset di awal tahun 1970-an dan mulai menjamurnya perusahaan-perusahaan rekaman komersial di Indonesia rupanya mempengaruhi putaran roda bisnis Lokananta. Akibatnya, tahun 1972, Lokananta memutuskan untuk berhenti memproduksi piringan hitam.

Agar mampu bersaing dengan industri rekaman komersial, status Lokananta lantas berubah menjadi BUMN Departemen Penerangan berdasarkan Keputusan Presiden No 13 Tahun 1983. Dengan status tersebut, Lokananta mendapat kepercayaan sebagai pusat penggandaan video bersama dengan TVRI dan PPFN.

Pembubaran Departemen Penerangan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuat nasib Lokananta semakin tidak menentu. Dalam masa transisi dan di ambang kolaps, atas perjuangan mantan Dirjen PPG Deppen, Subrata, pada tahun 2004, status Lokananta berganti. Lokananta menjadi cabang dari Perum Percetakan Negara RI (PNRI) dan berada di bawah Kementerian BUMN. Cakupan tugasnya sebagai salah satu pusat multimedia, rekaman (kaset dan CD), remastering, dan pengembangan percetakan serta jasa grafika. 

Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik
CD musik produksi Lokananta/Djoko Subinarto

Jejak Musik

Sebagai studio rekaman pertama di Indonesia sudah barang tentu Lokananta mempunyai aneka master rekaman penting terkait dengan jejak perkembangan musik di Indonesia. Lokananta, misalnya, masih menyimpan master asli lagu “Indonesia Raya” versi tiga stanza. Kemudian “Terang Bulan”—yang mirip dengan lagu kebangsaan Malaysia “Negaraku”—serta “Rasa Sayange”—yang pernah digunakan untuk promosi pariwisata Malaysia dan memicu kontroversi.

Terkait lagu “Terang Bulan”, lagu ini diproduksi tahun 1956 oleh RRI Jakarta dan kemudian diperbanyak oleh Lokananta pada tahun 1965. Sedangkan lagu “Rasa Sayange” diproduksi tahun 1962 untuk keperluan suvenir Asian Games IV di Jakarta.

Di samping menyimpan master rekaman musik berbagai genre, wayang, ketoprak dan dagelan, Lokananta juga menyimpan master rekaman pidato-pidato penting Bung Karno, seperti pidato Bung Karno pada saat pembukaan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.  

Saat berkunjung ke Lokananta pada tahun 2010 itu, saya berkesempatan pula bersua dengan Bemby Ananto. Saat itu, ia menjabat sebagai penanggungjawab bagian remastering Lokananta. Di meja kerjanya, saya melihat beberapa piringan hitam lawas yang isinya sedang melalui proses alih digital. Bemby menyampaikan bahwa Lokananta menyimpan sedikitnya 5.000 master rekaman dalam bentuk tape reel. Di samping berbagai master rekaman, tambah Bemby, Lokananta mengoleksi pula hampir 40.000 piringan hitam musik.

Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik
Bemby Ananto menunjukkan sejumlah master rekaman yang tersimpan di Lokananta/Djoko Subinarto

Museum rekaman

Di luar koleksi master rekaman dan piringan hitam, Lokananta juga mengoleksi aneka peralatan rekaman dari berbagai masa dari mulai master recorder, mikrofon, alat pengganda kaset, gramofon hingga bahan pembuat piringan hitam. 

Baik Titik maupun Bemby waktu itu sepakat, bahwa Lokananta berpotensi besar menjadi sebuah museum rekaman dan perpustakaan musik nasional. Lokananta telah berkontribusi penting dalam kancah industri rekaman di Indonesia. Termasuk di dalamnya berbagai koleksi master rekaman, piringan hitam serta berbagai peralatan rekaman dari masa ke masa yang dimiliki.

Kini, potensi besar tersebut tampaknya telah mulai terwujud. Revitalisasi meneguhkan peran Lokananta sebagai sentra kreativitas bagi para musisi, seniman, hingga UMKM, dengan lima pilar bisnis utamanya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Lokananta yang Menyimpan Hampir 40.000 Piringan Hitam Musik appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-lokananta-yang-menyimpan-hampir-40-000-piringan-hitam-musik/feed/ 0 39061