taman nasional gunung leuser Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/taman-nasional-gunung-leuser/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 07 Mar 2025 16:44:10 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 taman nasional gunung leuser Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/taman-nasional-gunung-leuser/ 32 32 135956295 Benteng Terakhir Leuser https://telusuri.id/benteng-terakhir-leuser/ https://telusuri.id/benteng-terakhir-leuser/#respond Fri, 15 Dec 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40465 Taman Nasional Gunung Leuser adalah satu-satunya di dunia yang menjadi rumah empat spesies mamalia besar hidup berdampingan, yaitu harimau, gajah, orang utan, dan badak. Tertekan perambahan hutan, perburuan satwa ilegal, dan pembalakan liar. Teks: Rifqy...

The post Benteng Terakhir Leuser appeared first on TelusuRI.

]]>
Taman Nasional Gunung Leuser adalah satu-satunya di dunia yang menjadi rumah empat spesies mamalia besar hidup berdampingan, yaitu harimau, gajah, orang utan, dan badak. Tertekan perambahan hutan, perburuan satwa ilegal, dan pembalakan liar.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Sekitar 4,3 kilometer dari jalan raya Desa Lau Damak, Bahorok, berdiri sebuah kandang lembu di tengah perkebunan kelapa sawit. Ukurannya 14 m x 15 m. Untaian kawat berduri saling mengikat antartonggak beton. Saat itu (24/09/2023) ada belasan lembu di kandang. Lehernya terikat di tiang-tiang kayu, yang menopang atap seng agar lembu terhindar dari panas dan hujan. Sebagian tampak asyik mengunyah pakan rumput yang tersedia, sementara sisanya memandang sekitar. Mungkin bertanya-tanya siapa kami beramai-ramai datang ke tempat tinggalnya.

Sepintas tak ada yang aneh dengan pemandangan itu. Namun, seketika bulu tengkuk kami turut meremang. Mata terus awas menyiratkan waspada. Deretan sawit tampak homogen dan membiaskan arah mata angin. Bukan apa-apa. Cerita Hendri Sembiring (33) pagi itu memaksa kami harus menyiapkan ancang-ancang ambil langkah seribu jika sang “Datuk” tiba-tiba datang.

“Kejadian dulu di bulan Mei tahun 2019. Pagi hari. Seperti biasa saya mau menggembalakan lembu. Karena kebetulan di sini memang biasanya pagi-pagi itu dipindah. Pas saya ke lokasi, tiba-tiba satu ekor enggak nampak. Pas dicari-cari rupanya ternak ini dimakan oleh harimau sumatra,” kenang Hendri dengan dialek Batak kental. Masih tersisa keterkejutan di raut wajahnya, karena satu dari total tujuh ekor lembu miliknya meregang nyawa.

Hendri menunjuk lokasi harimau memakan lembu. Hanya sepelemparan batu dari pintu kandang. Di antara tegakan sawit. Bekas serangan yang berlangsung malam hari tampak jelas. Tubuh bagian belakang lembu tersebut terkoyak. Bau prengus dan anyir beradu. Jejak darah yang tertinggal masih segar. 

Tempat kejadian perkara berada di radius 2—3 kilometer dari batas terluar Taman Nasional Gunung Leuser. Harimau sumatra seakan paham ada calon mangsa empuk, walau harus mengambil risiko di luar “zona nyaman”. Ini bukan berarti ketersediaan pakan di dalam hutan habis. Bisa jadi karena habitat atau ruang geraknya sedikit terusik dengan gangguan lainnya, seperti perburuan liar atau perambahan hutan.

Benteng Terakhir Leuser
Hendri Sembiring, pemilik ternak lembu/Mauren Fitri

Seperti membaca kekhawatiran kami, Hendri buru-buru memberi jaminan. Harimau sumatra umumnya aktif saat malam. Tanpa bermaksud menyepelekan, Hendri mengonfirmasikan jarang terjadi konflik satwa saat hari terang. Lembu-lembu yang sudah digembalakan pun akan dimasukkan kembali ke kandang saat sore. Keberadaan kawat duri yang menjadi tameng jelas lebih manjur dan menambah rasa aman ketimbang pagar kayu biasa.

Kalau memang terpaksa harus berhadapan dengan harimau, pilihan kami ada dua saat itu. Lari ke mobil yang parkir agak jauh dari lokasi wawancara atau masuk ke kandang. Rasanya pilihan kedua lebih masuk akal sambil mencari bala bantuan lewat telepon.

Beruntung kejadian tersebut adalah yang pertama dan terakhir dialami Hendri. Meski kadang masih terlihat jejak harimau berkeliling kandang, tetapi harimau tidak bisa masuk. Sekalipun lembu panik hingga tali di lehernya terlepas, lembu tidak akan bisa keluar kandang. Kini sekretaris Desa Lau Damak itu memiliki 22 ekor lembu yang bisa dijual utuh maupun diambil dagingnya. Kotoran yang dihasilkan juga berguna sebagai pupuk kandang alami yang menyuburkan kebun sawit milik keluarganya.

Kandang lembu milik Hendri merupakan salah satu program percontohan penerapan kandang Tiger Proof Enclosure (TPE). Tujuannya meminimalisasi konflik harimau sumatra dengan ternak warga. Hendri bukan satu-satunya. Ada beberapa peternak yang mendapatkan bantuan kandang TPE tersebut. Hasil kemitraan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dengan BKSDA Sumatra Utara, dan lembaga nonprofit Wildlife Conservation Society (WCS). Meskipun bisa menyampaikan usulan bantuan, beberapa warga pemilik ternak di kawasan penyangga juga didorong untuk membuat kandang serupa secara mandiri.

Benteng Terakhir Leuser
Hendri mengoleskan pelumas ke kawat-kawat duri untuk perawatan kandang TPE berkala/Mauren Fitri

Pembangunan kandang TPE merupakan jalan tengah yang terbilang konkret dan realistis. Masyarakat sudah menyadari akan menjalani hidup berdampingan dengan predator puncak tersebut. Pun lahan yang ditinggali atau dijadikan ladang perkebunan dan peternakan dahulu juga merupakan area hutan. Habitat satwa endemik. Kesadaran ini penting dan akan meringankan beban taman nasional.

Setidaknya “Datuk” tak lagi dianggap hama. Begitu halnya dengan tiga mamalia besar lain, yakni gajah, orang utan, dan badak. Karena sesungguhnya ada satu hama lagi yang jauh lebih berbahaya.

Tantangan di balik semboyan

Konflik satwa bukanlah satu-satunya ancaman yang mengintai ternak, manusia, maupun kawasan itu sendiri. Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Dr. U. Mamat Rahmat, S.Hut., M.P. (51), menjelaskan ada dua aktivitas ilegal besar lainnya yang bisa menekan eksistensi kawasan konservasi, yaitu perambahan hutan dan pembalakan liar. “Mereka memberikan alasan yang selalu klasik. Alasan kelaparan. Masalah perut, masalah perut, dan masalah perut.”

Di antara taman-taman nasional yang ada di Indonesia, posisi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) memang terbilang sangat strategis dan seksi. Selain sebagai taman nasional, TNGL juga menyandang status cagar biosfer sejak 1981 dan ASEAN Heritage Park sejak 1984. Dengan luas kawasan 830.268,95 hektare—sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 6589/Menhut-VII/KUH/2014 dan SK. 4039/Menhut-VII/KUH/201—empat mamalia ikonis hidup berdampingan, yakni harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatra (Elephas maximus), orang utan sumatra (Pongo pygmaeus abelii), dan badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis).

Belum lagi bicara soal keanekaragaman hayati dan nilai-nilai penting lainnya—ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, ilmu pengetahuan. TNGL juga menyediakan sumber air dan oksigen yang menghidupi sedikitnya 340 desa penyangga di Provinsi Aceh maupun Sumatra Utara.

Tidak heran bila banyak motivasi atau kepentingan tertentu masuk kawasan. Lembaga-lembaga nonprofit, mulai dari skala lokal, nasional, hingga internasional; bermitra dengan taman nasional untuk melaksanakan sejumlah program. Umumnya bergerak di bidang konservasi dan pemberdayaan masyarakat. 

Namun, tak sedikit yang punya agenda terselubung. Nilai tinggi taman nasional mengundang bahaya yang bisa berdampak buruk. Jumlah kayu yang diambil memenuhi bak-bak truk besar. Membuka lahan hutan berhektar-hektar untuk perkebunan. Menjual tanah dan menanam kelapa sawit di lahan konservasi. Harimau, gajah, orang utan, dan badak diburu serta dijerat. Skala pengrusakan seperti itu tidak mungkin kalau hanya karena dalih mencari makan.

Benteng Terakhir Leuser
Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, U. Mamat Rahmat, ketika ditemui di ruang kerjanya/Mauren Fitri

“Sebenarnya ada juga orang yang ingin memperkaya diri bahkan [melakukannya karena] hobi. Dan ini yang bahaya,” ujar mantan kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon itu.

Upaya-upaya represif sempat dilakukan. Pelaku-pelaku aktivitas ilegal tersebut ditangkap dan dipenjarakan. Namun, ternyata tidak memberikan efek jera. Aktivitas ilegal tetap berlangsung. Kucing-kucingan dengan petugas kerap terjadi. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) tidak hanya jadi habitat flora dan fauna, tetapi juga taman bermain buat perusak hutan itu. 

Maka strategi pun berubah. Jika sebelumnya berorientasi menjaga hutan baru memikirkan masyarakat, kini berusaha sebaliknya. Mengedepankan hajat hidup masyarakat terlebih dahulu, sehingga otomatis kelestarian hutan akan terjaga dengan sendirinya. Pendekatan ini bernaung dalam moto yang Mamat Rahmat sebut “Masyarakat Sejahtera, Hutan Terjaga”.

Semboyan itu pernah ia sampaikan kepada TelusuRI dalam wawancara virtual melalui Zoom (28/03/2023). Salah satu contoh yang bisa dilakukan adalah pengembangan daerah penyangga melalui ekowisata, seperti yang kini terlihat di Bukit Lawang dan Tangkahan. Ekowisata menjadi sumber ekonomi alternatif yang bisa mencegah masyarakat merusak hutan.

Benteng Terakhir Leuser
Seorang elephant keeper sedang memandikan dua ekor gajah sumatra penghuni Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan, yaitu Sari (atas) dan anaknya, Boni, saat sore hari di Sei Batang Serangan. Sungai ini menjadi batas antara kampung Tangkahan (sisi kiri) dan kawasan hutan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser/Deta Widyananda

“Kami berharap, wisatawan masuk ke kawasan TNGL itu hanya untuk melihat [objeknya] saja. Aktivitas buang duitnya ada di masyarakat, [di] luar kawasan. Sehingga peningkatan kesejahteraan, peningkatan lapangan kerja naik. Daya beli masyarakat bisa tercapai. Jangan bikin hotel di TNGL, saya nggak setuju. Banyak hotel di sekitar kawasan TNGL, saya setuju,” tegasnya.

Pendekatan seperti itu sesuai dengan pernyataan Ir. Wiratno, M.Sc, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK 2017—2022, dalam bukunya Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi di Indonesia: Membangun “Organisasi Pembelajar”. Masyarakat merupakan subjek utama yang terlibat dalam berbagai pengelolaan kawasan konservasi. Selain ekowisata, memfasilitasi dan melakukan pendampingan dalam pembuatan kandang TPE juga merupakan satu contoh dari sekian implementasi program Balai Besar TNGL yang berbasis masyarakat. 

Tantangan yang dihadapi tentu besar. Belum lagi gejolak yang mungkin timbul di daerah-daerah penyangga. Tak terkecuali keterlibatan oknum aparat dari satuan tertentu, yang juga ikut bermain dalam aktivitas-aktivitas ilegal tadi. Seluruh pasang mata rimbawan TNGL tak akan sanggup mengawasi kawasan konservasi seluas hampir satu juta hektare itu. 

SPY SERASI

Mamat Rahmat butuh lebih dari sepasang tangan dan kaki untuk mewujudkan mimpi besar “Masyarakat Sejahtera, Hutan Terjaga.” Ia dan jajarannya bergerak cepat. Di hari yang sama saat kami melakukan perjalanan ke Medan (20/09/2023), TNGL bersama Wildlife Conservation Society menggelar deklarasi bersama sekaligus meluncurkan program pencegahan aktivitas ilegal yang dilakukan secara terintegrasi berbasis masyarakat (SPY SERASI). Sebuah program dengan pendekatan Integrated Prevention Model (IPM) atau model pencegahan terintegrasi.

Wajah harimau menjadi simbol utama dalam logo SPY SERASI tersebut. Secara harfiah, kata “SPY” dalam bahasa Inggris berarti mata-mata. Filosofi dasarnya adalah TNGL harus menjadi mata-mata untuk memotret semua kondisi yang ada di masyarakat dan hutan. Keinginan Mamat Rahmat, “Kita harus jeli melihat permasalahan. Jangan hanya dari permukaan. Nah, kenapa harus harimau? Karena itu satwa yang memang jeli dengan penglihatannya dalam mencari mangsa. Di saat gelap pun di malam hari dia bisa melihat mangsanya. Jadi, kejelian. Itulah yang saya jadikan sebagai dasar trigger.

Alumnus S-3 IPB itu menambahkan, tujuan menjadi mata-mata dalam memotret seluruh kehidupan masyarakat dan seluruh permasalahan di hutan tak lain untuk mencari solusi. Mencari akar masalah, bukan yang terlihat di permukaan semata. Ibarat orang sakit kepala, yang sakit belum tentu kepalanya. Bisa jadi karena lambung atau jantungnya bermasalah. Begitu pun ketika berhadapan dengan penebang hutan atau pemasang jerat hewan. Penyebabnya bisa jadi karena kemiskinan struktural. “Ketika kita cepat mendeteksi akar masalahnya tadi [dan] diagnosisnya bagus, maka penanganan yang diberikan akan tepat.”

Program SPY SERASI lebih menekankan pada upaya preventif daripada kuratif. Mencegah dari sakit jauh lebih baik dibanding mengobati. Sehingga ia mengakui jika pada beberapa kasus ringan—misal mencuri satu atau dua batang pohon—akan melakukan pendekatan yang lebih lunak. Menyentuh kesadaran. Mamat Rahmat menganalogikan orang yang terkena sakit jantung. Ketika sudah telanjur parah dan harus diobati, jelas membutuhkan biaya tinggi. Padahal dengan pencegahan sebenarnya akan menjadi lebih ringan. Tinggal menjaga pola makan dan pola hidup kita. “Pola [seperti] ini yang sedang kita coba,” kata pria asli Garut itu.

Beberapa peserta deklarasi program yang diundang antara lain mewakili Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Sumatera, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sumatra Utara, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, dan Polda Sumatera Utara. Kemudian Polres Langkat, Polres Deli Serdang, Polres Tanah Karo, KODIM 0204 Deli Serdang, KODIM 0205 Tanah Karo, Kejaksaan Negeri Langkat, Kejaksaan Negeri Deli Serdang, Kejaksaan Negeri Karo, Pengadilan Negeri Langkat, Pengadilan Negeri Kabanjahe, Pengadilan Militer Tinggi I Medan, UPT KPH Wilayah XV Kabanjahe, dan UPT KPH Wilayah I Stabat.

Benteng Terakhir Leuser
Bagian depan kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah III di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara/Rifqy Faiza Rahman

Kehadiran peserta dari lintas sektor menunjukkan pentingnya kolaborasi untuk sebuah tujuan besar. Jika sebelumnya menggunakan konsep “pentahelix”—merangkul unsur pemerintahan (pusat dan daerah), pelaku usaha, akademisi, lembaga nonpemerintahan (NGO), dan masyarakat atau komunitas—Mamat Rahmat menambahkan satu stakeholder lagi, yaitu media. Enam unsur berkolaborasi yang disebut “hexahelix”.

“Media harus mulai terlibat. Karena kerja kita itu harus dipublikasikan, ya. Sampaikan ke dunia luar bahwa kita punya program ini,” jelasnya. Namun, masyarakat atau komunitas tetap menjadi pondasi dasar implementasi SPY SERASI. Masyarakat akan menjadi unsur terdepan yang terlibat ketika pengelola kawasan—dalam hal ini TNGL—hendak melaksanakan program pengelolaan, di antaranya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK), jasa lingkungan, patroli kawasan, pengendalian kebakaran, penanggulangan konflik satwa, hingga pencegahan perburuan dan perdagangan satwa.

TNGL akan menyusun rencana aksi SPY SERASI ke tiga periode, yakni jangka pendek (dua bulan), menengah (satu tahun), dan panjang (tiga tahun). Mamat Rahmat memastikan TNGL akan melakukan evaluasi menyeluruh di setiap akhir periode, termasuk mengukur signifikansi dampak program terhadap penurunan tiga besar aktivitas ilegal seperti ia sebut sebelumnya. 

Pada akhirnya, prestasi terbaik dari pelaksanaan program ini adalah terbentuknya kesadaran penuh semua pihak terhadap pentingnya peran kawasan konservasi. Makna semboyan “Masyarakat Sejahtera, Hutan Terjaga” pun akan benar-benar relevan untuk siapa pun. 

Leuser untuk anak cucu

Sebelum menjelajahi sejumlah area penyangga TNGL, kami sempat berkunjung ke kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah III di Stabat, Kabupaten Langkat. BPTN Wilayah III bertanggung jawab terhadap pengelolaan 205.355,12 hektare kawasan TNGL di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Di kantor ini kami diizinkan menggunakan ruang rapat untuk tempat menginap. Gedung kantor lumayan besar dan lapang. Selain ruang rapat, terdapat ruang kepala bidang dan ruang staf. Pekarangannya luas. Ditambah bangunan mes pegawai di halaman belakang. Banyaknya pohon dan semak membuatnya seperti berada di dalam hutan.

Benteng Terakhir Leuser
Kepala BPTN Wilayah III, Palber Turnip, ketika diwawancarai di ruang kerjanya setelah apel pagi/Mauren Fitri

Siang itu (21/09/2023) tidak banyak yang siaga di kantor. Kepala BPTN Wilayah III, Palber Turnip, S.P., M.H., dan beberapa kepala seksi lainnya sedang berada di Medan. Mengikuti rangkaian acara sosialisasi dan deklarasi SPY SERASI yang diikuti peserta lintas perangkat pemerintahan. Hanya ada satu petugas piket dan Bowo, pegawai fungsional bidang program, anggaran, dan kerja sama yang akhirnya berbincang cukup lama dengan kami. 

Pria keturunan Jawa itu banyak berbicara soal suka duka bekerja di dunia konservasi. Sebuah bidang pekerjaan yang tidak bisa dianggap enteng. Tanggung jawab dan tantangannya berat, sementara sumber daya yang tersedia terbatas. Benar-benar pengabdian yang perlu dapat imbalan sepadan. Bertaruh nyawa menghadapi keganasan alam liar hingga manusia-manusia pemburu dan perusak hutan. 

Barangkali mencari nafkah di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistem memang pekerjaan mulia. Selain gaji dan syukur-syukur dapat penghargaan sebagai bentuk apresiasi, rasanya tak mungkin hutan dan satwa itu akan gamblang berterima kasih kepada para rimbawan. Sampai-sampai Bowo mengutip surah Al Baqarah ayat 30, tentang firman Allah SWT yang menciptakan manusia untuk menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Mengatur bumi dan seisinya. Dengan sedikit berseloroh ia berujar, “Kalau tafsiran saya, ya, [manusia] yang [layak bekerja] mengurus bumi itu orang-orang kehutanan!”

Istilah Bowo, perlu kesadaran spiritualitas untuk bekerja penuh integritas di dunia konservasi. Termasuk di dalamnya petugas, masyarakat maupun lembaga mitra kehutanan. Dalam kacamata kami, jangan-jangan orang-orang seperti ini yang kelak pantas masuk surga terlebih dahulu. Tak terkecuali kiprah Joni Rahman dan para mahout setia untuk sembilan gajah di Tangkahan, Misno dan pasukan patroli hutannya di Resor Bahorok, hingga Hatuaon Pasaribu yang nyaring menggalakkan komitmen Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK).

Karena saat ini uang bisa menjadi kuasa terbesar manusia untuk melakukan apa saja. Menyebabkan gelap mata: membuka lahan-lahan konservasi untuk perkebunan ilegal, memburu satwa tanpa pandang bulu, dan merambah hutan secara ngawur. Lupa bahwa hutan telah memberikan segalanya. 

Hingga kini, TNGL memang belum sepenuhnya terbebas dari kegiatan ilegal. Empat mamalia besar nan eksotis, seberapa pun banyak dan buasnya, tak akan sanggup membendung kerakusan manusia. Padahal manusia semestinya bisa berbuat lebih dan mengerahkan segala kekuatan untuk melindungi sumber kehidupan di dalam taman nasional. Tak bisa menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme alam—sekalipun memiliki kemampuan memulihkan diri secara alami. Harus ada campur tangan manusia. Mesti ada intervensi taman nasional selaku pemangku kawasan. Tak ada jalan lain. Kitalah benteng terakhir Leuser itu sendiri.

Namun, seperti kata Mamat Rahmat, TNGL tidak akan bisa melangkah sendirian menyejahterakan masyarakat sekaligus menjaga ekosistem Leuser. Butuh kerja keras dan dukungan semua pihak agar program yang dicanangkan berhasil.

“Mohon doanya semoga program ini [SPY SERASI] dapat berjalan dengan baik. Sehingga kita bisa mewariskan alam ini kepada generasi yang akan datang. Atau, kita harus kembalikan alam ini kepada pemiliknya, yaitu anak cucu kita. Karena alam ini bukan warisan, tetapi titipan dari anak cucu kita. Harus kita kembalikan,” pungkasnya.

Leuser bahkan bukan hanya warisan dunia semata, melainkan juga warisan Tuhan untuk dijaga demi kemaslahatan bersama. Kita belum terlalu terlambat untuk bergerak, sebelum semuanya akan benar-benar terlambat. (*)


Foto sampul:
Mahout sedang mengangon seekor gajah sumatra di hutan sekitar Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan. Kawasan ini merupakan batas terluar Taman Nasional Gunung Leuser di tepi Sungai Batang Serangan, Langkat, Sumatra Utara/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Benteng Terakhir Leuser appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/benteng-terakhir-leuser/feed/ 0 40465
Andai Ada Seribu Pasaribu https://telusuri.id/andai-ada-seribu-pasaribu/ https://telusuri.id/andai-ada-seribu-pasaribu/#respond Thu, 14 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40445 Di pelosok desa yang terik dan terkepung perkebunan sawit, seorang petani hutan konservasi urun gagasan dan harapan. Suara lantang di tengah ancaman nyalang mafia tanah. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Menjelang...

The post Andai Ada Seribu Pasaribu appeared first on TelusuRI.

]]>
Di pelosok desa yang terik dan terkepung perkebunan sawit, seorang petani hutan konservasi urun gagasan dan harapan. Suara lantang di tengah ancaman nyalang mafia tanah.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Andai Ada Seribu Pasaribu
Pohon cempedak yang sedang berbuah. Salah satu komoditas unggulan bagi Kelompok Tani Hutan konservasi (KTHK) mitra Taman Nasional Gunung Leuser/Mauren Fitri

Menjelang tengah hari, tim ekspedisi Arah Singgah TelusuRI tiba di Kuta Buluh Simalem (25/09/2023). Sebuah kampung paling ujung di Desa PIR ADB, Kecamatan Besitang. Permukiman terakhir sebelum masuk lebih dalam menuju kebun Hatuaon Pasaribu (58), narasumber perwakilan Kelompok Tani Hutan Konservasi binaan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Letaknya memang seperti di antah-berantah. Enam puluh sembilan kilometer dari Stabat, ibu kota Kabupaten Langkat. Tujuh belas kilometer dari Jalan Lintas Medan—Banda Aceh. Satu setengah kilometer dari kantor Resor Sekoci TNGL. Terik. Berdebu. Jauh dari mana pun. Jika tidak memperbesar tampilan peta di layar gawai, lokasi kampung berpenghuni sekitar 50-an kepala keluarga ini tidak akan terlihat. Akses jalan hanya berupa makadam. Tanah yang akan licin dan berlumpur kala hujan. 

Ardi, sopir dari Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah III, menepikan mobil di depan sebuah warung kopi. Dekat pertigaan gerbang masuk kampung. Tidak ramai. Hanya segelintir pria sedang mengobrol dan merokok. Matanya menatap ke arah kami. Nuansa tatapan yang sama dengan penjaga pos jaga sebelum kampung. Seolah penuh tanya, mau apa lagi mobil dinas double cabin milik taman nasional datang ke tempat ini? 

Sebagai penumpang paling depan, saya berniat turun lebih dahulu. Sembari membawa kamera yang saya gantungkan di leher. Baru hendak membuka pintu, Deta, fotografer Arah Singgah 2023 menyergah, “Kameranya taruh di mobil aja, Pak! Biar nggak terkesan intimidatif.”

Seketika saya tersadar. Area Resor Sekoci masih berselimut ketegangan. Pihak taman nasional sedang mengumpulkan bukti untuk menangkap Hasan Sitepu, residivis perambahan hutan merangkap mafia tanah. Informasi tersebut kami dapat paginya saat wawancara Kepala BPTN Wilayah III, Palber Turnip di ruang kerjanya. Tak heran bila Deta, yang sudah kadung pakai kaus hitam #KawanLeuser, diminta ganti pakaian yang lebih netral. Buat jaga-jaga.

Saat berangkat, satu-satunya jaminan keamanan kunjungan waktu itu adalah Ardi karena mengenakan seragam pegawai beratribut TNGL. Kami sepakat turun hanya membawa satu action cam dan ponsel saja.

Di muka warung, Pak Pasaribu—begitu kami memanggil—menyambut dengan senyum terlebar yang ia punya. Tangan kami dijabat erat. Di balik kemeja biru dan celana bahan berwarna senada, badannya terbilang tegap dan kekar untuk orang seusianya. Bola matanya memerah tanda kurang tidur, menyiratkan manis getir menyintas masa-masa sulit di masa lalu. Siang itu Pak Pasaribu punya peran tak kalah penting selain menjadi narasumber, yaitu menghadirkan tambahan rasa aman.

Kami juga menyapa beberapa warga yang sedang ngopi. Salah satunya seorang Bapa Tua yang dipanggil Bolang. Dia adalah generasi kedua penghuni kampung yang telah dibuka sejak 1980-an. Kebanyakan penduduk beretnis Batak Karo. Keberadaan kampung ini sebenarnya belum pernah terekam resmi dalam catatan sipil mana pun.

“Ayo, duduk dulu. Mau pesan apa? Teh? Kopi?” tawar Pak Pasaribu. Ia mengajak beristirahat sebentar sebelum menengok kebun. 

Tidak lama, tiga cangkir cappuccino instan terhidang untuk saya, Deta, dan Ardi. Mauren, ketua ekspedisi, memilih minum air mineral di botol yang ia bawa. Pak Pasaribu setali tiga uang, “Saya gelas air putih saja.”

Di tengah obrolan, kopi panas itu saya lihat berulang-ulang. Mengingat situasi terkini yang belum terlalu kondusif, tiba-tiba sempat terlintas pikiran macam-macam. Dahulu Kerajaan Haru, yang didirikan oleh orang Batak etnis Karo pada abad ke-13, selalu membawa panah beracun ke hutan untuk perlindungan diri dari ancaman serangan apa pun. Namun, saya berusaha tenang dan memilih pasrah apa pun yang terjadi.

Andai Ada Seribu Pasaribu
Mengikuti Pak Pasaribu menuju sebuah puncak bukit. Dia ingin menunjukkan kepada TelusuRI kawasan yang dulunya hutan berubah menjadi lahan perkebunan. Kami harus berjalan kaki karena jalur seperti ini tidak memungkinkan dilewati dengan kendaraan roda empat/Rifqy Faiza Rahman

16.000 hektare hutan yang hilang

Sejak tahun 1980-an, telah terjadi perambahan besar-besaran di Besitang. Kawasan hutan dikonversi menjadi perkebunan monokultur. Mayoritas ditanam rambung (karet) dan kelapa sawit. Pak Pasaribu sempat menyebut satu-dua nama perusahaan besar yang eksis pada masa Orde Baru. Bersama warga lainnya, ia pun dulunya sempat diajak berladang.

Ladang milik Pak Pasaribu terletak sekitar satu kilometer ke arah barat daya dari kampung. Aksesnya cukup sulit jika hanya naik mobil berpenggerak tunggal. Selain itu sinyal seluler nyaris hampa. Jika tidak bersama orang lokal, berjalan sendirian hanya mengandalkan Google Maps adalah langkah konyol. Ardi saja tidak tahu lokasi persisnya.

Untuk itulah Pak Pasaribu memandu di depan dengan motor bebeknya. Sesekali ia nyaris terjatuh karena ban selip di antara kerikil. Agak waswas juga melihat helm yang melindungi kepalanya tidak “klik”. Namun, kami baru akan mampir ke kebunnya nanti. Kami terus melaju sekitar 100—200 meter lagi sampai berhenti di persimpangan. Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Tak ada akses lagi untuk mobil.

Seperti janjinya di awal, pria asal Padang Sidempuan itu mengajak kami ke suatu tempat sebelum sesi wawancara. Tentu peluh mengucur deras karena harus berjalan hampir satu kilometer di siang bolong. Menyusuri jalan setapak berupa tanah dengan kontur agak menanjak.

Jalur yang kami lalui sejatinya masuk zona pemanfaatan kawasan konservasi TNGL. Namun, sejauh mata memandang nyaris tak ada secuil pun jejak vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah sebagaimana mestinya. Kebanyakan sudah ditanam rambung dan kelapa sawit. Satu-satunya tanda yang menggembirakan adalah satu aliran sungai kecil berair jernih dengan debit kecil.

“Ini termasuk daerah-daerah yang sudah kritislah. Namun, tetap diupayakan bagaimana merehabilitasinya untuk penanaman kembali dengan tanaman-tanaman yang mendukung penghijauan,” terang Pak Pasaribu.

Tujuan kami adalah sebuah puncak dari punggungan bukit terbuka. Hanya semak belukar dengan tanah keras. Tanpa naungan teduh. Kalau tidak pakai topi, panasnya bikin sakit kepala. Di titik inilah Pak Pasaribu benar-benar berhenti. Tangannya menunjuk ke segala arah. Pak Pasaribu benar. Pemandangan menyedihkan itu terhampar jelas di depan mata.

“Dulu hutan ini lebat sekali. Jadi, [waktu] baru-baru kami kemari itu tumbuhnya [pohon] masih nampak. Itu besar-besar sekali. Kayunya masih banyak, tapi sekarang sudah berganti. Ada rambung, ada sawit. Ada yang belum ditanam, ada yang baru digarap, ada yang sedang ditanam,” jelasnya.

Kami bisa membayangkan perubahan itu dalam lorong waktu di pikiran. Padahal sebenarnya kawasan ini terlarang untuk penanaman kelapa sawit, karena mengganggu kelestarian hutan.

“Ini berarti dekat sama Gunung Leuser, Pak?” tanya saya.

“Oh, Gunung Leusernya ke sana lagi. Itu, yang nampak hijau-biru itu.” Nun jauh ke arah barat, memang terlihat gugusan pegunungan memanjang berpayung awan. Leuser hanyalah satu dari banyak puncak gunung di taman nasional ini. Ada Gunung Bandahara, Perkison, Loser, hingga Puncak Tanpa Nama.

“Tapi yang mengalami perusakan inilah antara lain. Kira-kira arealnya [yang rusak] ini 16.000 hektare lebih. Nah, kalau bapak-bapak tengok arah sini termasuk yang sudah gundul juga,” lanjut Pak Pasaribu mengarahkan telunjuk ke arah awal kami jalan kaki, “nah, kan? [Ada] tanaman sawit, bekas kebakaran.”

Saya agak terkejut mendengar Pak Pasaribu menyebut angka yang relatif spesifik. Sekitar 16.000 hektare hutan berarti lenyap tak berbekas. Bukan jumlah yang sedikit. Itu sudah hampir delapan persen dari total kawasan konservasi seluas 205.355,12 hektare yang diampu BPTN Wilayah III di Sumatra Utara.

Bahkan beberapa waktu lalu sempat berkembang wacana pembukaan perkebunan sawit mencapai 16.000 hektare. Menutupi lahan bekas hutan konservasi. Kata Pak Pasaribu, “Kita bayangkan kalau sampai ditanam sawit lagi ini 16.000 hektare, mau apa jadinya hutan ini?

Terdegradasinya 16.000 hektare area hutan hujan tropis dataran rendah di wilayah Besitang ternyata juga disebut Wiratno, Kepala Balai TNGL periode 2005—2007, dalam bukunya Dari Penebang Hutan Liar ke Konservasi Leuser: Tangkahan dan Pengembangan Ekowisata Leuser (2013). Wiratno menyebut eksploitasi berupa pembalakan liar dan perambahan hutan untuk perkebunan karet dan sawit sebagai biang kerok terbesar kerusakan kronis lahan konservasi Leuser. Alih fungsi ke sawit bisa dibilang juga telah mengubah drastis lanskap Sumatra.

Edi Purwanto, direktur program dan ketua tim peneliti Tropenbos International Indonesia, memberi analisis tambahan. Dalam laporan Strategi Anti-Perambahan di Tropical Rainforest Heritage of Sumatra: Menuju Paradigma Baru (2016) yang didukung UNESCO dan KLHK, perambahan kawasan Besitang menjadi makin parah setelah kedatangan pengungsi Aceh akibat konflik bersenjata antara TNI dan GAM sepanjang akhir 1990-an. Mereka membuat permukiman baru di sejumlah desa, yaitu Sekoci, Sei Minyak, Barak Induk, Damar Hitam, dan lainnya.

Para pengungsi Aceh menebang hutan dan membudidayakan lahan di kawasan Besitang. Penguasaan lahan tersebut ikut menarik para spekulan tanah dalam skala beragam. Besitang menjadi kawasan “jual beli” lahan yang dikendalikan oleh preman dan cukong dari Langkat, Binjai, dan Medan. Mafia tanah itu memanfaatkan keberadaan pengungsi Aceh sebagai “tameng” untuk memperluas lahan perambahan mereka. Belum lagi bermunculan aksi cari perhatian para politikus oportunis setempat, Mereka berupaya memperoleh dukungan suara dalam pemilihan kepala daerah maupun anggota legislatif. Akibatnya perusakan hutan terus “dipelihara” karena menjadi sumber mata pencaharian penduduk.

Di masa kepemimpinan Wiratno, TNGL telah melakukan berbagai tindakan penegakan hukum secara represif walau kurang berhasil. Justru tindakan tersebut memperkuat resistensi dan militansi perambah terhadap staf, polisi hutan atau ranger taman nasional. Upaya relokasi dari wilayah konservasi Besitang pun berlangsung alot. Ditambah ulah perusahaan perkebunan yang beraktivitas secara ilegal—selain karet dan sawit juga terdapat cokelat dan tanaman kering lainnya—oknum aparat kepolisian maupun militer, pejabat lintas pemerintahan, bahkan internal TNGL di masa lampau juga ikut bermain di lahan basah tersebut. 

Salah satu puncak konfliknya terjadi pada Juni 2011, ketika kantor Resor Sekoci TNGL dirusak dan dibakar kelompok perambah. TNGL seperti berjalan sendirian. Otoritas dan kontrol TNGL atas kawasan ditekan dari segala arah, yang selalu mengangkat isu hak asasi manusia. Untuk beberapa lama kantor resor dibiarkan kosong dan tidak ada kunjungan kawasan dari TNGL karena alasan keamanan. Jejak kantor resor lama yang hangus masih ada sampai sekarang. Namun, kantor resor baru pun saat ini sedang dalam “pendudukan” kelompok perambah dan mafia tanah. TNGL menengarai Hasan Sitepu sebagai dalang di baliknya. 

Dari konflik horizontal yang belum sepenuhnya tuntas tersebut, pihak KLHK kemudian melakukan evaluasi dan menggunakan pendekatan berbeda. Ketika Wiratno dilantik menjadi Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) tahun 2017, ia meluncurkan program Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK) sebagai jalan tengah. Tujuannya menghambat perambahan dan memulihkan hutan dengan mengajak petani berbudidaya tanaman nonkayu. Program ini selanjutnya diperkuat dengan Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya dan Ekosistem Nomor: P.6/KSDAE/SET/Kum.1/62018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. 

Skema perhutanan sosial tersebut merangkul masyarakat—di antaranya eks perambah dan pembalak liar—agar tetap dapat manfaat ekonomi sekaligus berkontribusi dalam upaya konservasi. TNGL menunjuk sebuah organisasi nirlaba, yaitu Yayasan PETAI (Pesona Alam Tropis Indonesia) untuk tugas pendampingan kemitraan, menyuplai bibit tanaman produktif, seperti rambutan, petai, jengkol, durian, dan tanaman-tanaman rakyat lainnya yang mendukung kelestarian hutan dan pemulihan ekosistem. Pada acara Kongres Petani di kantor Resor Sekoci TNGL (23/02/2018), Wiratno menyerahkan bibit pohon secara simbolis kepada Hasan Sitepu, yang waktu itu menjadi perwakilan belasan KTHK baru di kawasan Besitang.

Berdasarkan keterangan Pak Pasaribu, dari 16 KTHK di Besitang dengan total cakupan lahan mencapai 996 hektare, saat ini tinggal 11 kelompok yang aktif. Dari raut wajah dan nada bicara selama mengobrol bersama TelusuRI, tampaknya jalan menuju cita-cita mulia KTHK masih jauh panggang dari api.

Andai Ada Seribu Pasaribu
Pemandangan lahan terbuka yang dahulu merupakan hutan konservasi nan lebat. lalu terkikis karena perambahan ilegal. Tampak di kejauhan pegunungan yang juga termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Leuser sedang tertutup awan/Rifqy Faiza Rahman

Bertani untuk ekonomi dan konservasi

Pak Pasaribu tergabung dalam KTHK Sejahtera yang beranggotakan 39 orang petani (setara dengan 39 kepala keluarga). Saat ini ia didapuk sebagai ketua kelompok. Setiap anggota memiliki jatah lahan garapan maksimal dua hektare; yang berarti dua hektare tersebut menghidupi satu keluarga petani.

Setelah kurang lebih lima tahun berjalan, dengan segala kekurangan dan kelebihan, Pak Pasaribu termasuk satu dari beberapa orang yang masih memiliki komitmen dan harapan kuat sebagai petani mitra taman nasional.

Keterlibatan Pak Pasaribu sejak awal KTHK berdiri tidak didapatkan dalam waktu singkat. Sebelum benar-benar terjun menjadi petani, jejak kariernya diisi sebagai pegawai honorer di departemen pekerjaan umum hingga tenaga pengajar SMP dan SMA di Stabat.

“Tapi niat untuk bertani tetap ada, mungkin karena [saya] anak petani,” katanya. Di pekarangan rumah ia mencoba menanam pisang dan cabai rawit. Begitu mendapat hasil bagus dan pada saat bersamaan sedang jenuh jadi guru, timbul hasrat untuk mengembangkan lahan yang lebih luas.

Sampai akhirnya seorang kawan membawanya ke pedalaman hutan Besitang. Dahulu si kawan mengatakan jika lahan-lahan hutan di sana adalah tanah datuk (Kedatukan Besitang) atau tanah adat. Dalam benak awam Pak Pasaribu, lahan yang berstatus tanah adat bisa dimiliki. Ia kepincut dan membeli sepetak lahan untuk bertani.

“Berladanglah saya. Tanam ubi dulu, kemudian tanam jeruk lemon dan seterusnya,” katanya.

Pak Pasaribu lumayan lama berladang tanpa menyadari status resmi dari lahan garapannya. Tahun 2016, di tengah dinamika alih fungsi lahan yang kian marak saat itu, ditambah sosialisasi dan edukasi yang gencar dilakukan TNGL, Pak Pasaribu akhirnya menyadari sesuatu. Ladang yang ia tanam rupanya bukan tanah adat, melainkan kawasan TNGL.

“Kalau saya bilang, saya diotoi (ditipu),” kenangnya sambil tersenyum kecut. Ia berseloroh jika dahulu kena ajaran sesat. Pemikiran yang menganggap seluruh lahan adalah tanah adat memang lazim menjangkit masyarakat saat itu. Menimbulkan salah persepsi terhadap keberadaan hutan dan fungsi taman nasional.

Mengetahui kenyataan itu dia memilih tidak mundur. Ia justru tetap menjaga ladangnya dan ingin terlibat dalam pelestarian hutan. “Maka kita teruskan menanam pohon-pohon. Mulai dari jengkol, aren, petai, durian, dan semua [komoditas] yang mendukung lingkungan hidup,” tuturnya.

Pak Pasaribu mengaku keputusannya tersebut karena termotivasi dengan istrinya, Hati Situmorang (56). Sang istri adalah guru sekaligus aktivis lingkungan hidup di sebuah sekolah di Sunggal, Deli Serdang, yang juga memiliki program sekolah adiwiyata mandiri.

Ia sering diajak istrinya belanja bibit tanaman buah-buahan, yang lalu menginspirasinya menanam pohon rambutan di ladang. Melengkapi komoditas lain yang sudah ditanam, seperti jengkol dan durian. Kami sempat mencicipi rambutan binjai legit yang diambil dari kebun milik teman Pak Pasaribu, tempat wawancara pertama dekat puncak bukit.

Para petani KTHK memang tidak bisa sembarangan menentukan komoditas yang akan ditanam. Terlebih kondisi lahan yang ada sudah terbilang kritis, sehingga perlu menanam komoditas yang mendukung pemulihan ekosistem.

“Nah, sebenarnya yang sedang [kita] tanam ini menuju rehabilitasi, karena [membudidayakan] tanaman-tanaman MPTS (Multi-Purpose Tree Species). Tanaman MPTS [adalah] tanaman yang mendukung kepada [manfaat] kehutanan. Ada petai, ada jengkol, ada durian. Itu yang sedang tumbuh,” jelas Pak Pasaribu menyebut tanaman yang juga ditanam di ladangnya sendiri. 

Jengkol termasuk salah satu komoditas yang cukup menguntungkan. Harga jual per kilogram berkisar Rp12.000—15.000. Dalam satu kali panen, Pak Pasaribu bisa menghasilkan satu kuintal jengkol. Tergantung jumlah pohon yang tersedia untuk dipanen. Tanaman keluarga polong-polongan asli Asia Tenggara ini tidak memerlukan perawatan intensif. Dibiarkan saja sudah tumbuh sendiri dengan subur.

Kami juga melihat tanaman-tanaman musiman lainnya, seperti cempedak, matoa, dan kelapa. Selain memang dianjurkan, Pak Pasaribu menganggap tanaman buah mirip nangka itu bernilai ekonomi cukup bagus.

Sebagai selingan menunggu panen tanaman musiman, Pak Pasaribu dan anggotanya menanam tanaman pendek (tahunan). Mulai dari sayur-sayuran, seperti cabai dan terong; sampai dengan buah-buahan macam pisang dan buah naga.

“Memang masih satu tahun ini [sebagian tanaman] mulai berbuah. Walaupun belum banyak, tapi sudah nampaklah hasilnya. Paling tidak ratusan kilo sudah bisalah panen,” terang Pak Pasaribu.

Di balik peluang besar ekonomi dari bertani, masih terdapat sejumlah kendala berkaitan dengan sarana dan prasarana pertanian. Salah satunya persoalan pupuk.

“Pertanian di sini agak unik, khususnya tanaman jangka pendek (tanaman palawija). Asam tanahnya sangat tinggi. Jadi yang namanya pupuk, kalau bisa di sini jangan pupuk kimia memang. Organik di sini. Tetapi kadangkala di situlah keterbatasan masyarakat [mengakses pupuk organik],” jelas Pak Pasaribu.

Kendala pupuk tersebut berpengaruh signifikan pada beberapa komoditas, misalnya jeruk manis. Meskipun bernilai ekonomi tinggi, tetapi pengembangannya terhambat karena biaya produksi (harga pupuk dan pestisida) kerap tak sebanding dengan harga jual. Budidaya jeruk manis memang membutuhkan perawatan intensif, terutama pemupukan serta penanganan hama dan penyakit.

Mewakili kelompoknya, Pak Pasaribu berharap ada tambahan pendampingan berkala kepada para petani yang masih mengalami ketertinggalan. Diadakan penyuluhan mengenai teknik budidaya hingga dukungan modal kerja—berupa suplai bibit, pupuk, obat, dan sarana produksi lainnya. Diberikan edukasi tentang pentingnya lingkungan hidup. Tujuannya semata agar tidak sampai kembali mencari penghidupan menjadi petani sawit.

Andai Ada Seribu Pasaribu
Pohon aren yang dibudidayakan di kebun Pak Pasaribu. Berangan-angan untuk ditata lebih baik karena potensial dari segi ekonomi dan lingkungan/Deta Widyananda

Potensi aren dan wacana agrowisata

Di antara tanaman-tanaman nonkayu bernilai ekonomi tinggi yang ditanam KTHK Sejahtera, ada satu komoditas yang dianggap Pak Pasaribu sangat prospek untuk digarap lebih serius: aren.

Dengan berapi-api ia berujar, “Aren itu akan menjadi suatu aset yang luar biasa. Ekonominya luar biasa. Satu pohon aren itu bisa, bahkan melebihi hasil dari satu hektare sawit!”

Aren atau enau merupakan komoditas yang paling diimpikan Pak Pasaribu untuk bisa berkembang. Alasannya hampir seluruh bagian aren bisa dimanfaatkan dan tidak ada yang terbuang sia-sia. Tak hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga fungsi lingkungan. Sudah banyak riset membuktikan kehebatan tanaman palma serbaguna itu.

Salah satunya penelitian Yuldiati dkk. (2016) dalam Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pemanfaatan Pohon Enau di Desa Siberakun Kecamatan Benai Kabupaten Kuantan Singingi (2016). Fungsi penting  aren untuk ekologis terletak pada akarnya. Akar serabut aren sangat kokoh, dalam, dan kuat sehingga bisa menjadi penahan erosi tanah. Selain itu akar aren juga mampu mengikat air. Terlebih, seperti Pak Pasaribu bilang, kawasan garapan KTHK memang rawan erosi.

Manfaat yang didapat dari produksi aren lebih banyak lagi. Menurut Mody Lempang dari Balai Penelitian Kehutanan Makassar, seperti dikutip dari jurnal Info Teknis EBONI Vol. 9 No. 1 edisi Oktober 2012, aren bisa menghasilkan buah, nira, dan tepung bernilai ekonomi tinggi untuk kebutuhan tradisional maupun industri. 

Pak Pasaribu tidak mengada-ada. Menanam aren selaras dengan misi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian hutan.

Bahkan ia sudah membayangkan produk-produk turunan yang bisa dihasilkan dari aren. Contoh paling gampang membuat gula merah yang nantinya diolah menjadi gula semut. Menurutnya gula semut jauh lebih sehat sehingga bisa mengganti gula putih—penyebab diabetes. Katanya juga, orang-orang sekarang kalau ngopi juga sudah pakai gula merah.

“[Selain gula semut] sekarang aren ini juga sudah bisa diproduksi jadi biogas. Berarti bisa jadi untuk minyak (sumber energi alternatif). Nanti bisa dikembangkan [karena] sangat bagus sekali,” urai Pak Pasaribu seperti sedang presentasi di depan investor.

Tak main-main. Ia sudah melakukan kalkulasi. Misalnya, satu hektare terdapat 50 pohon aren. Satu pohon bisa menghasilkan tiga liter nira per hari. Berarti ada 150 liter yang bisa diolah menjadi 75 kilogram gula merah.

Saat ini terdapat kurang lebih 10.000 pohon aren. Tersebar di beberapa petak lahan yang digarap KTHK Sejahtera dan kelompok lainnya. Rata-rata masih pendek. Berarti ada potensi bahan baku 30.000 liter nira untuk 15 ton gula merah dalam satu hari. 

Optimisme Pak Pasaribu menanam satu juta pohon aren bukan bualan. Apabila ada investor diperbolehkan masuk mengembangkan aren—sebagai tanaman selingan saja, bukan fokus membuat perkebunan besar—tentu akan lebih banyak yang dihasilkan.

“Berapa tenaga kerja yang bisa diserap? Kemudian berapa dana yang bisa disuplai untuk pemerintah daerah? Nah, ini sampai sekarang pemerintah daerah belum memberikan pikiran ke situ.” Ia bahkan berharap “proposalnya” sampai ke meja direktur jenderal KSDAE atau bahkan menteri kehutanan, agar bisa melihat potensi aren tersebut.

Mimpi Pak Pasaribu tidak berhenti di aren. Ia membayangkan dalam lima tahun ke depan area lahan yang digarap KTHK bisa sekaligus menjadi daya tarik ekowisata, khususnya agrowisata buah. “Segala macam buah akan ada di sini. Jadi di TNGL, khususnya di hutan konservasi ini, biarlah boleh dikenal dengan kawasan buah,” pikirnya.

Secara pribadi, ia bahkan terang-terangan berharap bisa menjadikan hutan tersebut menjadi tempat favorit yang dikunjungi banyak orang. Menggusur rambung dan sawit—yang kini masih tumbuh semrawut—untuk didirikan pondok-pondok istirahat. Berwisata menyaksikan alam sambil menikmati buah. Mulai dari rambutan, cempedak, buah naga, durian, jeruk manis, alpukat, sirsak, dan banyak lagi. 

Rencana Pak Pasaribu tersebut sudah disampaikan kepada kepala bidang (kabid)—Kepala BPTN Wilayah III TNGL. Ia pun mengusulkan permohonan bibit-bibit buah yang akan ditanam. Usulnya direspons positif. Kabid membantu dengan menurunkan bibit-bibit yang diminta dan secara bertahap sudah kembali ditanam oleh masyarakat.

Angan-angan Pak Pasaribu terhadap budidaya aren dan agrowisata memang masih meniti jalan panjang. Satu suara optimistis tak akan berarti apa-apa tanpa sumbangan suara senada lainnya. Sebelum memulai, meminjam pernyataan Pak Pasaribu, semuanya memerlukan standar tata kelola dan keteraturan. Perlu sinergi satu sama lain. Ulah-ulah culas mafia bisa membuyarkan impian besar itu.

Andai Ada Seribu Pasaribu
Di tengah ladang kacang tanah, Pak Pasaribu menunjukkan hasil panen jengkol (kiri) dan rambutan. Keragaman komoditas bisa menjadi nilai tambah petani KTHK/Deta Widyananda

Melawan tekanan sawit dan mafia tanah

Semangat yang diusung dalam skema kemitraan KTHK sebenarnya baik. Skema ini jadi titik temu antara upaya peningkatan ekonomi masyarakat dan pemulihan ekosistem di kawasan konservasi. Lahan-lahan yang dulunya rusak bisa perlahan kembali hijau, sementara masyarakat juga mendapatkan hasil dari panen jengkol, kacang tanah, petai, durian, aren, dan lain sebagainya.

Konsep seperti itu tentu akan saling menguntungkan. TNGL tidak perlu repot-repot melakukan sosialisasi atau penegakan hukum berulang ketika masyarakat memiliki komitmen. Namun, tantangan program ini tidak sepele. Dalam praktiknya ternyata sulit mewujudkan tujuan ideal tersebut.

Pola pikir dan orientasi hidup setiap orang berbeda-beda. Tidak semua anggota KTHK mau “bersabar” menjalani proses yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Akibatnya, visi utama KTHK itu sendiri tidak akan bisa terwujud. Belum lagi petani-petani “liar” yang menggarap lahan secara ilegal di luar skema kemitraan. 

Pak Pasaribu menyampaikan pandangan kritisnya kepada kami, “Sebenarnya kenapa tidak bisa tercapai visi, itu tadi, karena terpengaruh dari orang yang punya kepentingan. Jadi, apa kepentingan orang di sini? Kepentingan orang tertentu, mengutak-atik lahan orang supaya bisa [dilakukan] jual beli. Contoh, lahanku diambil kemudian dijual. Bila perlu dijual lagi. Nah, itulah saya bilang yang perlu ditertibkan.”

Baginya praktik-praktik mafia tanah itu harus dihapuskan. Sebab seringkali petani di sini seperti tidak ada kepastian. Mereka punya lahan, tetapi bisa dalam sekejap diserobot orang dan diperjualbelikan.

Perbedaan persepsi dan kesenjangan kesadaran antarpetani anggota KTHK ini diakui oleh Palber Turnip. Ia menilai beberapa di antara mereka lebih memiliki keinginan untuk menguasai lahan daripada membantu program konservasi.

“Dia penginnya [lahan yang ada] dijadikan kebun sawit, karena memang sawit ini kan produk yang menggiurkan. Tidak susah untuk dirawat, bisa produksi sampai 25 tahun, per dua minggu bisa panen. Dan ini menjadi komoditas yang diminati pelaku-pelaku usaha, ya, mafia-mafia begitu,” terang pria yang mengawali karier sebagai polisi hutan itu. 

Andai Ada Seribu Pasaribu
Tampak aliran sungai membelah lahan perkebunan yang dikelola petani KTHK mitra Taman Nasional Gunung Leuser. Sampai kini masih ada oknum yang melakukan praktik jual beli lahan ilegal dan sedang ditangani TNGL/Deta Widyananda

Turnip, sapaannya, memperkirakan tidak lebih dari 25% dari keseluruhan anggota KTHK yang masih komit dalam KTHK. Termasuk Pak Pasaribu dan beberapa orang lainnya dari 11 kelompok aktif tersisa. Di sisi lain jauh lebih banyak yang tidak taat pada ketentuan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara TNGL dan KTHK di awal program.

Sebagai tindak lanjut, ia bersama jajaran TNGL akan mengevaluasi kelangsungan KTHK setelah lima tahun ini berjalan. Salah satu poin mekanismenya, anggota yang tidak menaati PKS akan dikeluarkan dari program sehingga keberadaan mereka menjadi ilegal. Penegakan hukum pun berlaku.

Salah satu anggota KTHK yang paling menonjol untuk urusan mengangkangi hukum adalah Hasan Sitepu. Penduduk setempat yang dianggap tokoh masyarakat. Saat ini ia bak penjajah, karena menduduki kantor Resor Sekoci dan menanam dua hektar pepaya di sekitarnya tanpa izin.

Ada tindakan kriminal lainnya dari Hasan yang dibeber Turnip, “Dia sekarang aktif menjual beli lahan itu dengan modus biaya imas—pekerjaan memotong semak dan pohon kecil di permukaan tanah. Ada yang dia jual 15 juta per kavling [per dua hektare], ada yang 10 juta, ada bahkan yang 40 juta untuk 50 hektare itu.”

“Kalau rekan-rekan [TelusuRI] nanti bisa bertemu Hasan, dia selalu ngomong itu [jual beli lahan] demi rakyat,” tambah pria kelahiran Pematang Siantar itu. Jejaringnya memang tak main-main. Mulai level pengusaha hingga sejumlah kementerian yang membonceng investor asal Mesir. Mereka tak sadar jika sedang ditipu Hasan.

Sampai sekarang Turnip dan jajarannya sedang mengumpulkan bukti-bukti untuk menangkap Hasan. Di antaranya keterangan sejumlah korban yang diperdaya Hasan, mengambil beberapa kuitansi transaksi hingga akta jual beli sebagai bahan untuk proses hukum.

Langkah konkret Turnip dan petugas TNGL di bidang penegakan hukum tersebut sejatinya menjadi modal penting. Jaminan keberlangsungan para petani yang taat aturan. Seperti Pak Pasaribu, John Hendri, dan anggota lainnya. Itu menunjukkan komitmen pemangku kawasan dalam melibatkan masyarakat sebagai aktor utama pendukung konservasi.

Pak Pasaribu menaruh harapan lebih kepada pihak berwenang. Ia memandang akan sulit memberantas permainan mafia jika hanya mengandalkan personel internal TNGL. Ia berharap agar ada koordinasi intensif antarinstansi, khususnya bidang Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK baik di Sumatra maupun pusat.

Baginya penegakan hukum juga memiliki fungsi untuk menyadarkan dan mengubah pola pikir masyarakat. Supaya hilang anggapan lahan tersebut tidak bertuan sampai harus ditanam komoditas yang tak semestinya.

Di sisi lain Pak Pasaribu juga berharap kawan-kawan anggota KTHK lainnya untuk tetap memegang komitmen PKS sesuai kesepakatan. Tidak sedikit kolega yang ia kenal berubah pikiran dan berhenti di tengah jalan. Dipicu kecemburuan sosial, para petani anggota memang mudah kembali tergiur dengan uang cepat, seperti mengurus sawit atau bahkan mengekor Hasan Sitepu berdagang tanah secara ilegal. 

“Pesan saya untuk kawan-kawan, mari kita kita sama-sama jaga dan lestarikan hutan Taman Nasional Gunung Leuser ini. Saya pikir ini visi utama kita,” tutur Pak Pasaribu lugas, “kenapa? Ini [taman nasional] kan kebanggaan bangsa kita. Kebanggaan nasional.” 

Ia percaya hutan—dengan menanam jengkol, petai, rambutan, dan lainnya—akan memberikan nilai ekonomi kepada mereka. “Apalagi ini masih baru. Tanaman menghasilkan buah perdana. [Kita tunggu] dua tahun, tiga tahun, lima tahun ke depan itu, apa enggak luar biasa [hasilnya]?”

Di benak Pak Pasaribu, “Hutan ini bukan hanya [berguna] pada masa kita saja, tetapi hutan ini [juga bermanfaat] untuk generasi [setelah] kita. Kita [kelak pasti akan pergi] tinggalkan dunia ini, tetapi yang jelas kita meninggalkan suatu kehidupan di dunia.”

Ia menegaskan, kuncinya terletak pada kemauan mengubah tekad dan pola pikir agar mau melestarikan hutan. Merasa hidup cukup dengan dukungan sumber daya alam yang ada. Jika sudah begitu, tak ada tempat lagi untuk kelompok perusak macam Hasan Sitepu dan anak buahnya. Orang-orang yang tak akan tunduk pada alam. Orang-orang yang mengisi hidup hanya untuk uang.

Titipan untuk Jakarta

“Saya pun sebenarnya lama menunggu [momen] seperti ini [berbicara ke media]. Kenapa? Kesempatan saya akan menceritakan [kondisi di sini],” kata Pak Pasaribu.

Bisa dibilang Pak Pasaribu hanyalah sedikit orang di KTHK, khususnya wilayah Besitang, yang masih lantang menyuarakan keadaan lingkungan, sosial, dan ekonomi terkini. Pak Pasaribu tak gentar dengan keberadaan preman atau mafia tanah. Namun, ia tetap perlu dukungan lebih dari pemerintah daerah—kabupaten maupun provinsi—dan pusat, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Di mata Pak Pasaribu, Jakarta adalah tempat pejabat-pejabat tinggi yang diharapkan merawat payung harapan rakyatnya. Rakyat yang bertekad kuat mendukung pelestarian hutan sebagai anggota KTHK. 

Sebelumnya, bapak tiga anak itu mengaku sempat berencana pergi ke ibu kota. “Kalau saya punya dana, ada donatur, saya akan berangkat sendiri ke Jakarta. Bicara sama pejabat tinggi di sana, supaya memerhatikan kami.”

Keinginan Pak Pasaribu tersebut bukan tanpa alasan. Gamblang ia menyebut petani KTHK—yang berkomitmen tinggi—belum sepenuhnya berdaya. Tidak sedikit yang menganggap mereka sebagai orang bodoh karena tidak ikut menanam sawit. “Jadi, kita ini [seperti] orang yang tidak perlu uang begitu. Padahal yang kita lihat bukan hanya uang saja, tapi kelestarian lingkungan ini.”

Pak Pasaribu berani menggaransi jika kelompoknya siap mendukung visi utama KTHK. Mereka sudah berusaha keras meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kelestarian hutan. Ia menilai suaranya sangat penting didengar karena tidak semua petani memiliki komitmen senada. Tanpa dukungan dan komitmen bersama, harapan masyarakat sejahtera dan hutan lestari bagai pungguk merindukan bulan.

“Saya pikir itu yang sangat penting. Bila perlu kepada Bapak Dirjen, menteri atau pejabat negara. Coba kita lihatlah [sama-sama] kawasan ini. Kita sangat prihatin, Pak, melihat kawasan [hutan konservasi] seperti ini,” Pak Pasaribu menitip pesan, “jadi, mari kita sama-sama berupaya. Kami petani KTHK siap mendukung.”

Di akhir wawancara, Pak Pasaribu mengambil beberapa butir kelapa hijau dari kebunnya. Pohon kelapa itu tumbuh rendah, sehingga ia mudah menebas dan memetiknya tanpa harus memanjat. Ia memberikannya cuma-cuma untuk kami. Seolah paham betapa rasa dahaga sudah mengeringkan kerongkongan.

Kami kembali ke Kuta Buluh Simalem, tempat kami pertama berjumpa. Di pengujung waktu Pak Pasaribu sempat mengajak kami berjalan beberapa puluh meter. Melihat-lihat suasana kampung. Sementara Deta mengambil beberapa potongan foto dan video tambahan dengan kamera drone.

Udara sore yang memeluk Kuta Buluh Simalem masih gerah, meski tidak seterik beberapa jam sebelumnya. Di depan warung kopi kayu itu, kami berpisah. Berbincang untuk terakhir kali, saling menitip kabar dan doa. Dari dalam mobil, kami membalas lambaian tangan dan senyumnya. Ia bagaikan seorang kakek yang melepas kepergian cucu-cucunya ke tanah rantau.

Pak Pasaribu mungkin menyadari ide-ide besarnya sebagai petani KTHK belum akan terwujud secara ideal dalam waktu dekat. Namun, setidaknya ia lega karena sudah bercerita banyak. Menyuarakan kegelisahan sekaligus keping-keping harapan.

Andai ada Pasaribu-Pasaribu lainnya di tempat ini; yang jauh lebih pantas menjadi tokoh itu sendiri daripada seorang residivis yang ditokohkan. Andai ada lebih banyak lagi sosok seperti Hatuaon Pasaribu; yang tulus mendukung konservasi dan merindukan hijaunya hutan seperti empat dekade lalu. (*)


Foto sampul:
Hatuaon Pasaribu berbicara keresahan dan harapan petani mitra konservasi Taman Nasional Gunung Leuser/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Andai Ada Seribu Pasaribu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/andai-ada-seribu-pasaribu/feed/ 0 40445
Patroli di Jalan Sunyi https://telusuri.id/patroli-di-jalan-sunyi/ https://telusuri.id/patroli-di-jalan-sunyi/#respond Wed, 13 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40427 Jejak ratusan kilometer menjaga rimba Leuser adalah kebanggaan tersendiri bagi seorang polisi hutan. Nyawa taruhannya. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Namanya singkat. Misno. Tanpa nama tengah apalagi marga. Usianya 46 tahun....

The post Patroli di Jalan Sunyi appeared first on TelusuRI.

]]>
Jejak ratusan kilometer menjaga rimba Leuser adalah kebanggaan tersendiri bagi seorang polisi hutan. Nyawa taruhannya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Patroli di Jalan Sunyi
Ekspresi Misno saat sesi wawancara dengan TelusuRI di pinggiran Sungai Bohorok, Bukit Lawang/Mauren Fitri

Namanya singkat. Misno. Tanpa nama tengah apalagi marga. Usianya 46 tahun. Lahir dan besar di Sumatra Utara, tetapi ada sedikit nasab Banyumas di darahnya. Pekerjaannya polisi hutan. Tampilan fisiknya memang menunjukkan sebagaimana mestinya seorang penegak hukum. Rambut cepak, tubuh tegap, suara berat.  

Jika sempat iseng mengetik arti nama “Misno” di internet, maka akan muncul tafsir yang hampir seragam. Berani, cerdas, dan pekerja keras. Loyal, bisa diandalkan, dan siap memberikan segalanya. Ini bukan pernyataan bak pujian pada politisi atau pejabat negara. Memang kenyataan yang terpampang demikian. Sesuai karakter aslinya. 

Di atas kertas, sepintas tugas Misno sederhana. Melindungi hutan dari ancaman pembalakan liar, perburuan satwa, dan perambahan hutan. Serta menjaga hubungan baik dengan masyarakat di kawasan penyangga taman nasional. 

Namun, realitas di lapangan tidak semudah itu. Dihajar badai, kehabisan bekal di hutan, hampir mati terseret arus sungai, ditodong senjata, sampai dijebak oknum aparat adalah bukti sahih; Misno tidak bekerja untuk formalitas semata.

Area kerjanya, Resor Bahorok (STPN Wilayah V), mencakup 31.619,40 hektare. Lebih dari separuhnya memiliki tingkat kelerengan curam. Luasan tersebut hampir 4 persen dari total keseluruhan kawasan TNGL. Kekuatan personel resor yang ia pimpin hanya empat orang. Dua PNS dan dua tenaga harian (honorer). Satu pegawai berarti mengawasi area seluas 7.905 hektare. Secara kasatmata tidak masuk akal. 

“Ya, namanya tugas,” ujar Misno singkat. Jawaban diplomatis yang sejatinya merangkum manis getir pengabdiannya menjaga hutan. Bahkan terkadang di luar tugas pokok dan fungsi dasarnya. 

Patroli di Jalan Sunyi
Rapatnya tutupan hutan khas tropis yang menyelimuti perbukitan di sekitar Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatra Utara/Deta Widyananda

Mantan penebang hutan yang hijrah menyelamatkan hutan

Misno yang dulu bukanlah Misno yang sekarang. Bahkan ia awalnya bukan polisi hutan murni. Sebelum mencurahkan pengabdian kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pujakesuma—putra Jawa kelahiran Sumatra—itu pernah menggeluti dunia kerja yang yang bertolak belakang. 

“Awalnya dulu saya pernah [punya] pengalaman kerja di Pekanbaru [Riau],” tutur Misno membuka cerita.

Di tahun 1990-an, ia bekerja sebagai operator alat berat untuk PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Anak perusahaan APRIL Group, korporasi global yang bergerak di produksi serat dan bubur kertas (pulp). Wilayah kerjanya saat itu adalah area hutan di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau. 

Misno tergabung dalam satu kelompok karyawan berisi 32 orang, yang berarti tersedia 32 ekskavator. Dan tidak hanya satu kelompok saja yang bekerja di waktu yang sama. Tugas mereka adalah mengeruk hutan. Menebang pohon-pohon. Menghasilkan balok kayu, yang akan dieskpor atau diolah sebagai bahan baku kertas.

“Dalam satu menit kita bisa menghilangkan hutan itu mencapai sekitar enam hektare,” katanya. Ia dan kelompoknya bekerja setiap pagi. Bisa dibayangkan banyaknya pohon tumbang serentak hanya dalam sekali potong.

Selama bekerja acapkali ia melihat satwa liar, seperti harimau sumatra, tapir, dan gibbon (owa). Sampai suatu saat ketika jam kerja selesai, Misno masih menyisakan satu pohon yang belum ditebang. Ada beberapa satwa yang berkumpul di bawah pohon yang sama. “Besoknya kita tumbangkan, dan satwa tadi sudah berserak entah ke mana.”

Misno hanya bertahan enam bulan di perusahaan ekstraktif tersebut. Ia kerap terlibat cekcok karena adanya ketidakcocokan budaya kerja. Pun gelisah melihat hutan luas lenyap dalam sekejap. Ia mengundurkan diri dan pulang ke Bukit Lawang. Itulah titik balik Misno berhijrah ke dunia konservasi dan kehutanan.

Roda hidup terus berputar. Sempat dua tahun menjadi petugas cleaning service kantor World Wildlife Fund (WWF), pada 1997—1998 ia dimasukkan oleh TNGL sebagai pegawai honorer di stasiun rehabilitasi orang utan di Bukit Lawang. Saat itu TNGL memang sedang bermitra dengan sejumlah organisasi nirlaba untuk konservasi orang utan.

Satu dekade kemudian Misno makin menapaki jenjang menjanjikan. Ia diangkat sebagai PNS pada 2008 dan bertugas sebagai anggota Resor Bukit Lawang. 

Seiring waktu berjalan, Misno akhirnya mengemban amanah besar di posisi tertinggi dalam kariernya. Sejak 2015, ia dipercaya menjadi kepala Resor Marike selama empat tahun. Tantangannya berat, karena wilayah Marike termasuk paling rawan pembalakan liar, perburuan ilegal, dan perambahan hutan. Di tahun yang sama, Misno juga ditugaskan menjadi ketua tim SMART Patrol untuk wilayah Bohorok. Sampai sekarang. 

Tingkat risiko dan bahaya yang dihadapi Misno sangat tinggi. Tak jarang istri dan tiga anaknya berat melepasnya pergi ketika akan patroli berhari-hari ke hutan. Namun, seiring waktu keluarganya memahami. Bahkan anaknya sering mendoakan sang ayah supaya dapat pemburu.

“Doanya seperti itu,” kepala tertawa kecil, “cuma kita khawatir [karena] si pemburu yang kita hadapi ini kadang bawa senjata api, parang.”

Patroli di Jalan Sunyi
Ketika sedang beristirahat di kantor resor Bohorok, Misno menunjukkan kepada tim TelusuRI foto satwa yang tertangkap kamera jebak di dalam hutan/Mauren Fitri

Kisah dari 2.000 mdpl

Misno punya satu pengalaman tak terlupakan soal bersinggungan dengan pemburu liar. Beberapa waktu lalu kegiatan patroli rutin di pedalaman hutan dekat Bukit Lawang, kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, berjalan seperti biasa. Biasanya, lokasi pintu masuk dan keluar rimba berbeda. Satu tim berkekuatan empat orang, dipimpin oleh Misno—kini sudah menjabat kepala Resor Bohorok—siap menempuh perjalanan 14 hari. Masing-masing bertanggung jawab membawa ransel berisi logistik dengan beban setidaknya seperempat kuintal. 

Di suatu pagi, tepatnya pukul 10.00, dari kejauhan mereka menemukan satu kamp kosong di dalam kawasan. Berdasarkan hasil observasi, diyakini kamp itu dibuat dan ditempati dua orang. Sebagai langkah awal tim memilih menunggu dan mengintai terlebih dahulu. Memantau di titik aman untuk bersembunyi.

Sampai hari gelap, belum ada tanda-tanda pergerakan di kamp. Sekitar pukul 19.00 Misno memutuskan untuk membagi tim. Ia menginstruksikan anggotanya menyebar.

“Di situ kebetulan ada tiga jalur [bercabang]. Kita bagi di sana dua [orang], di sini dua. Yang penting kita ini sama-sama kelihatan,” kata Misno, mengisyaratkan bakal fokus di dua jalur berdekatan. Tangannya mencoba menggambarkan situasi dan posisi tim di dalam hutan saat itu. Hanya sorot lampu kepala yang menjadi pelita di tengah hutan belantara.

Setengah jam kemudian, tiba-tiba terdengar pergerakan lain mendekat dari kegelapan. Dua pria tak dikenal muncul dan masing-masing spontan mengeluarkan senjata api. Momennya begitu cepat.

Misno, satu-satunya dalam tim yang membawa senjata api, refleks menodongkan pistolnya ke kepala seorang di antara keduanya. “Jatuhkan senjatamu!”

Perintah Misno tidak mendapat respons positif. Ketegangan meruak ke sela-sela urat nadi. Nyaris tanpa sekat satu mili pun. Dalam situasi segenting itu, satu gerakan fatal bisa menyebabkan peluru meletus. Adegan adu pistol koboi Arizona saja kalah mencekam.

Di tengah hening, Misno segera menggertak. Ia mengokang pistolnya dan memberi ultimatum dalam tiga detik. Pada hitungan kedua mereka akhirnya menjatuhkan senjatanya. Dua senjata angin rakitan dengan peluru kaliber 8 milimeter tergeletak di tanah.

Rupanya dua terduga pemburu liar itu tidak mau menyerah begitu saja. Dalam waktu sekelebat mata keduanya langsung menghunus parang. Misno kembali melepas perintah, “Jatuhkan parangmu!”

Lagi-lagi perintah Misno tidak dituruti. Misno sudah waswas. Meskipun demikian, tak kehilangan akal. Ia memberi kode khusus ke dua anggotanya agar menangkap satu orang dari belakang. Begitu pun yang dilakukan Misno dan satu anggota di sampingnya.

“Langsung kita borgol dan kita satukan borgolnya,” terang Misno. Kedua orang itu akhirnya bisa dijatuhkan. Parang ikut terlepas. 

Namun, urusan belum selesai. Tantangan selanjutnya mengadang. Menurut peraturan perundang-undangan, kedua tersangka harus segera dibawa ke penegak hukum dalam waktu kurang dari 24 jam. Misno dan tim menghadapi dilema. Mereka sedang berada di puncak bukit dengan ketinggian hampir 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tidak memungkinkan untuk berjalan selarut itu. 

“Kita jauh dari desa. Mau balik jauh, maju ke depan pun jauh,” batin Misno waktu itu. Akhirnya ia berinisiatif mengontak pimpinan lewat telepon satelit. Mengabarkan kondisi terkini dan meminta dispensasi waktu. Mereka beristirahat di lokasi penangkapan. Duduk berdekatan. Siaga menunggu sampai hari terang. 

Keesokan paginya, kira-kira pukul 06.00, tim patroli dikagetkan kejadian tak terduga. Dalam kondisi diborgol, kedua tersangka nekat melompat ke jurang tak jauh dari situ. Misno dan tim segera mengejar. Namun, karena banyak percabangan jalur, pencarian dalam sehari penuh tidak membuahkan hasil.

Satu-satunya petunjuk adalah perkiraan arah tujuan yang dilihat lewat peta. Ada jalur keluar hutan menuju sebuah desa. Melalui sambungan telepon satelit, Misno meminta bantuan tambahan personel dari kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah V Bohorok. 

Ketika tim gabungan tiba di desa yang dituju, ternyata dua orang itu tidak ditemukan. Mereka hanya menemukan sepasang borgol yang terlepas. Masyarakat setempat melindungi kedua tersangka.

“Saat ini [diketahui] mereka sudah lari ke daerah Jambi karena ketakutan,” jelas Misno.

Penyergapan tim patroli di tengah hutan tersebut memang tidak membawa bukti apa-apa. Hanya membawa logistik pemburu dari kamp yang masih utuh. Tidak terlihat barang bukti buruan, yang biasanya berupa burung-burung dilindungi, seperti rangkong dan murai daun. 

Memergoki pemburu satwa liar di tengah hutan adalah satu dari banyaknya pengalaman “seru” Misno selama menjadi polhut. Lebatnya hutan belantara Leuser tidak sesunyi yang dikira. Entah pemburu, satwa liar, cuaca buruk, atau apa pun. Tersimpan potensi malapetaka yang siap menerkam Misno dan tim patroli saja. Di luar kawasan, mara bahaya yang mengintai tidak kalah sangarnya. 

Bisa kita bayangkan, betapa banyaknya “musuh” Misno dari beragam kalangan.

  • Patroli di Jalan Sunyi
  • Patroli di Jalan Sunyi

SMART Patrol

Usai melihat barang bukti jerat satwa di Visitor Centre Bukit Lawang, kami dikejutkan dengan enam ransel hitam berkapasitas 80—90 liter di teras gedung. Bobot per ransel setidaknya 25—30 kilogram. Kondisinya benar-benar kuyup. Tetesan air tampak masih merembes dari dalam tas.

Misno memanggil enam orang pemilik ransel yang sedang bersantai di warung. Mereka adalah anggota Tim Satu SMART Patrol yang baru pulang patroil. Anak buah Misno, yang terdiri dari Jansen Christopher Ginting (pegawai pemerintah non pegawai negeri/PPNPN TNGL), Bram Umbari (PPNPN TNGL), Ferdinando Batubara (relawan masyarakat mitra polisi hutan/MMP), Ramlan (MMP), Alisyahbana (MMP), dan Cipta Limbong (MMP).

Begitu berkumpul satu meja dan berbincang, barulah ketahuan penyebab basahnya ransel beserta pemiliknya. “Mereka tadi mengombak,” kata Misno. 

Mengombak adalah istilah untuk menghanyutkan diri di sungai. Ransel dijadikan pelampung, mengikuti arus yang deras. Sore itu Tim Satu tiba dua hari lebih awal dari rencana 14 hari. Mereka memutuskan pulang mengombak karena ada personel yang cedera kaki. Sementara jika ditembak lurus, jarak kembali ke kantor resor Bukit Lawang masih sekitar 9—10 kilometer. 

Untuk jarak sejauh itu, walaupun risikonya besar—entah terbentur batu, batang pohon, atau terjebak pusaran—ngombak selama dua jam lebih logis dan menghemat tenaga daripada berjalan kaki dua hari. Itu pun dengan syarat air sungai sedang surut. Jika terlalu besar, mereka harus menunggu keesokan harinya.

Tidak ada trik khusus untuk bisa mengombak selain tetap fokus dan pasrah. “Minimal sudah pasti kakinya kena batu. Tidak bisa dielakkan lagi,” kata Misno.

Selama patroli, Tim Satu SMART Patrol mendapatkan sejumlah data penting. Di antaranya jejak kaki dan pakan satwa, kondisi pal batas kawasan hutan, hingga bekas gubuk milik masyarakat yang mencari ikan di dalam kawasan. Tim tidak menemukan tanda-tanda keberadaan perambah hutan atau pembalak liar. 

“Data ini kita kumpulkan dan kita bawa ke Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah III TNGL untuk dievaluasi,” jelas Misno. Jika kemudian ditemukan kendala lain, misal kasus pembalakan atau perburuan dengan banyak orang, Tim Satu meminta bantuan tambahan personel ke Tim Dua. 

Sesuai namanya, SMART atau Spatial Monitoring And Reporting Tools, merupakan sebuah modul teknis untuk penerapan patroli pintar di kawasan hutan. Dirancang oleh WCS (Wildlife Conservation Society), organisasi nirlaba mitra TNGL.

Jadi, SMART Patrol adalah patroli hutan berbasis data. Terdapat perangkat yang memudahkan tim patroli menghimpun dan menganalisis banyak data di hutan. Termasuk data patroli itu sendiri, lalu keanekaragaman hayati, potensi ancaman, dan rencana aksi darurat di lapangan. Tujuannya untuk efisiensi dan efektivitas. Sehingga Misno dan anggota tim tidak boros energi dan pikiran saat di hutan.

Salah satu rute patroli terjauh yang pernah ditempuh tim SMART Patrol pimpinan Misno adalah dari Bukit Lawang ke Aceh Tenggara. Patroli lintas provinsi. Jarak riilnya bisa mencapai 60 kilometer. Tim bisa melahap jalur sepanjang itu selama 14 hari, atau bahkan 18 hari karena kendala di lapangan yang tak terprediksi. Di tingkat nasional, Misno mengaku tim SMART Patrol TNGL, khususnya wilayah Bohorok—Bukit Lawang, telah mencatat angka 160 kilometer dalam setahun. Tertinggi dibandingkan tim SMART Patrol taman nasional lainnya.

Cuaca ekstrem juga bisa memengaruhi pergerakan tim SMART Patrol. Menurut Misno, beberapa area memiliki medan magnet tinggi. Terutama daerah punggungan yang ditumbuhi banyak pohon damar. Dalam kondisi hujan, tim patroli rawan tersambar petir. 

Bram menyebut dampak lainnya dari cuaca yang tidak bisa diprediksi. “Kalau cuaca agak tinggi [hujan deras] sungai [bisa] banjir, jadi agak payah untuk menyeberang,” ujarnya, “kadang kalau musim kemarau pun, bila kami lagi di punggungan agak sulit dapatkan [sumber] air.”

Adapun gangguan atau kesulitan lainnya, seperti tenda kebanjiran, kemasukan ular atau lipan, mendengar suara harimau dari kejauhan, sudah biasa untuk Misno dan kawan-kawan.

Eksistensi tim SMART Patrol bisa menjadi bentuk kedekatan taman nasional dengan masyarakat di desa penyangga. Misno pun berharap bisa terus bekerja sama dengan masyarakat, agar saling memahami fungsi kawasan hutan konservasi. Bahkan tim SMART Patrol pun tidak sekadar menjalankan tugas pengamanan, tetapi juga berhasil “menginsafkan” mantan pemburu untuk ikut menjadi mitra polisi hutan.

Dari enam anggota Tim Satu, ada dua orang yang direkrut karena mau “bertobat”. Alisyahbana, tukang setrum ikan di Sungai Bohorok; dan Ramlan, mantan pemburu. Nama yang disebut terakhir berhenti total jadi pemburu, setelah Misno melakukan komunikasi dan pendekatan persuasif terus-menerus. 

“Capeklah, Bang. Kan kalau berburu kucing-kucingan terus [dengan petugas],” kata Ramlan. “Alhamdulillah, Bang. Lebih enak kayak begini.”

Mantan pemburu atau perambah yang menjadi tidak hanya aktif terlibat patroli. Misno kadang mengajak mereka ikut kegiatan lain. Misalnya, menjadi fasilitator untuk program-program organisasi nirlaba yang bekerja sama dengan TNGL. Dan tidak menutup kemungkinan mencari mitra-mitra baru lainnya.

Patroli di Jalan Sunyi
Misno bersama anggota Tim Satu SMART Patrol yang baru pulang setelah 12 hari patroli/Mauren Fitri

Bekerja menyentuh kesadaran

Misno sejatinya kasihan dengan para perambah hutan atau pemburu satwa yang ia tangkap. Terutama kelompok berskala kecil. Beberapa di antara mereka adalah saudara atau tetangganya sendiri. Sebagian besar terpaksa melakukannya demi mencukupi kebutuhan perut.

Sebagaimana terjadi di banyak kawasan konservasi yang rawan konflik, faktor ekonomi masih jadi alasan terbesar. “Mereka belum sejahtera,” kata Misno.

Ia memberi satu contoh. Di luar pariwisata, sebagian masyarakat di kawasan penyangga dulunya menanam karet. Sampai kemudian harga karet anjlok. Hasil panen tidak sepadan dengan biaya produksi. Sementara mereka perlu pemasukan tambahan. Butuh biaya untuk hidup, membayar uang sekolah, dan lain sebagainya.

Sebagai jalan keluar, salah satu pilihan termudah saat itu adalah menanam kelapa sawit. Bukan kelapa sawitnya yang menjadi persoalan, melainkan pembukaan lahan yang merambah bagian dalam kawasan. 

Untuk beberapa kasus ringan, terutama pembukaan lahan perorangan yang melebihi beberapa meter dari batas kawasan, Misno menganggap mereka hanya belum tahu saja. Dengan segera dia langsung berkoordinasi ke pemilik lahan. Melakukan sosialisasi dan memberi pemahaman batas kawasan secara tegas.

Adapun penanganan kasus perburuan satwa memang lebih menantang. Terutama yang memiliki nilai ekonomi tinggi di pasar gelap, seperti rangkong, orang utan, gajah, atau harimau. Bagi Misno, lebih menakutkan bertemu dengan manusia (pemburu) daripada satwa-satwa tersebut.

Selama empat tahun, fokus utamanya adalah beradaptasi dan berbaur dengan masyarakat setempat. Berupaya melakukan pendekatan persuasif. Walau memang untuk kasus berat ia bisa sangat tegas dan represif dalam penegakan hukum.

Salah satu rutinitas Misno ketika pulang dan tiba di sebuah dusun pertama di luar kawasan, biasanya ia akan singgah ke beberapa rumah warga. Bersilaturahmi dan sosialisasi kepada satu per satu warga. Dari pintu ke pintu. Kadang-kadang menumpang tidur. Sebagian orang cepat memahami dan menyadari, tetapi tidak sedikit yang prosesnya memerlukan waktu lebih lama. Cara seperti ini ia terapkan sejak menjadi seorang rimbawan biasa sampai sekarang menjabat kepala Resor Bohorok.

Langkah tersebut ampuh untuk menyiasati keterbatasan sumber daya manusia. Misno tak ingin minimnya personel jadi alasan penghambat. Ia seperti bekerja untuk dua tujuan besar, yaitu menjaga hutan sekaligus menyentuh kesadaran masyarakat.

Menjadi pembicara seputar patroli hutan konservasi dalam kegiatan kelompok mahasiswa pencinta alam di ekowisata Batukatak/Deta Widyananda

Perjuangan tanpa akhir

Selepas wawancara di Bukit Lawang, malam harinya (23/09/2023) Misno mengajak TelusuRI ke Batukatak, Lau Damak, Bohorok. Ia hendak mengisi acara organisasi mahasiswa pencinta alam di salah satu tempat camp di daerah wisata tersebut. 

Perjalanan dari kantor Resor Bohorok—tempat kami menginap—menyusuri jalanan yang gelap di antara perkampungan dan perkebunan kelapa sawit. Dari kejauhan tampak pegunungan memanjang yang masuk kawasan TNGL. Di antara gugusan itu, ada satu puncak yang sepintas terlihat lebih menjulang daripada puncak bukit lainnya.

“Puncak itu sudah kami jelajahi. Namanya Tusam Seraga, ketinggian sekitar 1.500-an mdpl.  Ada pilar bikinan Belanda di sana. Banyak [ditemukan] kubangan-kubangan bekas mandi atau minum satwa”, jelas Misno, “jalur ke sana tembus 14 hari [jalan kaki].”

Durasi perjalanan yang disebut Misno menunjukkan tugas patroli hutan tidak bisa dianggap enteng. Belum lagi “pekerjaan rumah” lainnya. Misalnya penanganan kasus jual beli satwa dan kayu ilegal, atau kasus-kasus lain yang semestinya menjadi ranah kerja BKSDA setempat. Misno seperti harus meraga sukma agar mampu menjangkau seluruh kawasan. Apalagi di wilayah kerja yang bahkan lebih luas dari Kota Medan.

Akan tetapi, lagi-lagi, ia merasa terpanggil untuk segera bergerak cepat. Selama atasannya mengizinkan (Kepala BPTN Wilayah III), ia terus tancap gas seperti tidak mengenal kata akhir. Tidak terlihat raut lelah atau keluh kesah. Misno seolah menganggap pekerjaannya sebagai hobi. 

Pengabdian Misno untuk TNGL telah merengkuh seperempat abad hidupnya. Namun, pancaran semangatnya mengisyaratkan ia tak akan berhenti bergerak melindungi hutan Leuser. Alam liar dan kesunyian hutannya justru menjadi sumber energi Misno dan tim andalannya.

Selain patroli rutin, Misno juga gencar bersosialisasi dengan masyarakat. Tanpa menggurui, ia selalu menyelipkan edukasi tentang konservasi. Untuk beberapa kelompok warga yang terkendala kekurangan untuk lebih berdaya, ia upayakan lebih agar mereka memiliki akses ekonomi alternatif. 

“Ya, salah satu contoh [cara] untuk masyarakat sejahtera, kita harus bantu mereka,” tegasnya. Beberapa program sudah berjalan. Antara lain meluncurkan bantuan mikro berkala dari Balai Besar TNGL, membentuk kelompok tani dan ternak, sampai mendorong usaha madu trigona.Sepanjang waktu berhubungan dengan masyarakat, baik untuk kegiatan sosialisasi atau patroli, ia selalu menyelipkan pesan. Singkat saja, “Jagalah hutan.” (*)


Foto sampul:
Misno, polisi hutan senior dan ketua tim SMART Patrol wilayah Bohorok, Taman Nasional Gunung Leuser/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Patroli di Jalan Sunyi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/patroli-di-jalan-sunyi/feed/ 0 40427
Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang https://telusuri.id/belajar-ramah-lingkungan-dari-ecolodge-bukit-lawang/ https://telusuri.id/belajar-ramah-lingkungan-dari-ecolodge-bukit-lawang/#respond Tue, 12 Dec 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40411 Jargon “kembali ke alam” jadi nilai lebih yang ditawarkan Ecolodge Bukit Lawang kepada para tamu yang menginap. Butuh komitmen berkelanjutan. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Bukit Lawang sudah lama dikenal sebagai...

The post Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang appeared first on TelusuRI.

]]>
Jargon “kembali ke alam” jadi nilai lebih yang ditawarkan Ecolodge Bukit Lawang kepada para tamu yang menginap. Butuh komitmen berkelanjutan.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
Keasrian hutan Bukit Lawang di sekitar ecolodge/Mauren Fitri

Bukit Lawang sudah lama dikenal sebagai objek wisata alam di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Jauh lebih dulu dibanding Tangkahan. Pembukaan stasiun rehabilitasi orang utan oleh Regina Frey dan Monica Borner pada 1973—dengan sponsor dana WWF dan perkumpulan ilmu hewan Frankfurt—jadi awal pengembangan potensi ekowisata di Bukit Lawang.

Beragam daya tarik wisata tersaji di sepanjang aliran Sungai Bohorok. Di antaranya susur sungai dengan tubing, menyusuri hutan (jungle trekking), melihat lebih dekat bunga padma raksasa (Rafflesia arnoldii), mengunjungi pusat konservasi orang utan, tur desa, dan lain sebagainya. Sungai dan hutan menjadi ikon utama, meskipun beberapa operator wisata setempat belum seluruhnya menerapkan prinsip ekowisata secara ideal. Di sisi lain kunjungan wisatawan memang terlalu banyak, bisa mencapai puluhan ribu orang saat akhir pekan. Situasi ini menyebabkan ancaman pada daya dukung lingkungan Bukit Lawang.

Sebagai penunjang aktivitas wisata, keberadaan penginapan menjadi faktor penting bagi turis—domestik maupun mancanegara—yang berkunjung lebih dari satu hari di Bukit Lawang. Kelasnya beragam. Salah satu yang menarik adalah penginapan berkonsep ramah lingkungan (ecolodge). Namun, tidak semuanya konsisten dengan komitmen ramah lingkungan seperti digaungkan.

Di antara sedikit itu, Ecolodge Bukit Lawang jadi yang terdepan memelopori kampanye lingkungan berkelanjutan dari hulu ke hilir. Bobi Chandra (47), manajer hotel, untuk bercerita sekilas latar belakang bisnis, keunggulan, dan tantangan implementasi ramah lingkungan di Ecolodge Bukit Lawang.

Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
Tampilan luar kamar tipe Butterfly yang dikelilingi taman dan pohon-pohon/Ecolodge Bukit Lawang

Garis waktu

Awalnya Ecolodge Bukit Lawang berjalan sendirian, seperti bisnis hotel biasanya. Dibangun dengan nama awal Bukit Lawang Cottage, segmentasinya adalah wisatawan atau tamu-tamu yang memiliki kepedulian lingkungan. 

Pada era 1995—2000, Regina Frey dan Michel Gilbert—turis asal Swiss—bekerja sama dan membuat proposal program bernama Bohorok Sustainable Development Program (BSDP). Program ini mencakup tiga kegiatan, yaitu manajemen lingkungan, pendidikan lingkungan dan riset, serta pariwisata ramah lingkungan. BSDP berjalan di bawah payung Yayasan PanEco, organisasi nirlaba yang didirikan Regina Frey dan berkedudukan di Swiss.

Regina Frey pula yang menginisiasi pendirian Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bohorok. Pembangunan PPLH Bohorok memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran pelestarian biodiversitas alam dan pengelolaan ekowisata secara tepat. Sekarang PPLH Bohorok merupakan sebuah unit yang berada di bawah naungan Yayasan Ekosistem Leuser (YEL). Yayasan ini kemudian mengambil alih atau mengakuisisi Bukit Lawang Cottage—kemudian berubah nama menjadi Ecolodge Bukit Lawang. 

Keberadaan Ecolodge Bukit Lawang sebagai unit bisnis sekaligus sentra pendidikan, berfungsi untuk memfasilitasi segala program konservasi dan lingkungan hidup. Terutama ketika YEL kemudian makin besar dan membawahkan 13 proyek konservasi di Sumatra, dari Aceh sampai Jambi.

“Jadi, diakuisisinya tempat ini [ecolodge] bertujuan menunjukkan ke masyarakat bahwa bisnis hotel dan konservasi bisa jalan seiring,” jelas Bobi. Harapannya menjadi model pariwisata berkelanjutan, terutama di Sumatra Utara.

Saat ini tersedia puluhan kamar berbagai tipe, yaitu Butterfly, Thomas Leaf Monkey, Orangutan, Siamang, dan Hornbill. Setiap kamar dilengkapi perabot serba bambu dan memiliki keunikannya sendiri, disesuaikan dengan karakter tamu yang akan menginap. Beberapa di antaranya menyediakan kamar mandi semi terbuka. Ventilasi pun didesain mampu mengalirkan udara segar masuk dari depan dan belakang kamar.

Semua kamar tidak dibekali pendingin udara berupa air conditioner (AC), tetapi menggunakan kipas angin. Pertimbangannya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Meskipun lokasi terhitung dataran rendah, udara tetap sejuk karena berada di pinggiran hutan hujan tropis Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Pihak manajemen juga memasang kelambu atau mosquito net di setiap kasur, sebagai pelindung tamu dari nyamuk. 

Eksistensi Ecolodge Bukit Lawang sebenarnya diusahakan sebagai contoh penginapan ekologis, begitu Bobi menyebut. Makanya manajemen membatasi penggunaan listrik setiap kamar, termasuk meniadakan televisi dan AC. Keterbatasan yang “dibuat” itu bukan tanpa alasan. Tamu bisa jadi lebih segan—meminjam perkataan Bobi—tidak ujug-ujug masuk kamar membawa speaker besar atau peralatan elektronik lain yang boros listrik.

“Maksudnya kita ngundang masyarakat supaya mereka datang dan menikmati iklim khas tropis seperti itu,” jelas Bobi.

Sejauh ini rata-rata tamu—terutama mancanegara—cukup senang dan memahami konsep yang diusung Ecolodge Bukit Lawang. Walaupun memang, kadang-kadang, ada sejumlah tamu domestik yang tidak bisa lepas dari televisi maupun AC. Keunikan latar belakang tamu memang menjadi tantangan tersendiri bagi Bobi. 

Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
Bagian dalam kamar tipe Orangutan yang cukup luas/Ecolodge Bukit Lawang

Pengelolaan sampah terpadu

Bobi mengklaim Ecolodge Bukit Lawang sudah mengelola waste management dengan baik. “Sampah anorganik kita kumpulkan, lalu diturunkan ke bawah [untuk] diangkut oleh rekan kita ke bank sampah partner [PPLH Bohorok],” jelasnya.

Kemudian untuk sampah organik dipilah menjadi dua kebutuhan. Sampah dari restoran dikirim ke eco-farming untuk asupan makan maggot. Maggot dibudidayakan untuk pakan ayam. Ayam yang diternak selanjutnya akan menghasilkan daging dan telur organik.

Adapun sisa sampah organik lainnya, seperti bonggol nanas, daun pisang, diolah menjadi kompos di alat komposter di bagian belakang ecolodge. “Jadi, boleh dibilang minim sekali sampah yang dihasilkan dari sini,” klaim Bobi.

Begitu pun limbah air yang dihasilkan baik dari kamar tamu maupun restoran. Ecolodge tidak membuang air dari kamar langsung ke sungai. Ada serangkaian proses yang membuat air kotor tersebut benar-benar tersaring, sebelum “melebur” bersama aliran Sungai Bohorok.

“Air dari kamar itu [mengalir] ke septic tank, lalu dari septic tank ke [alat] biofiltrasi, baru [dibuang] ke sungai,” jelas Bobi menjelaskan alur pengelolaan limbah air dari kamar. Biofiltrasi merupakan teknologi yang memanfaatkan mikroorganisme untuk memperbaiki kualitas air. Sehingga limbah air yang terbuang tidak berbau maupun berminyak.

Sementara limbah air yang dihasilkan dari restoran diproses sedikit lebih panjang. Sebelum ke tangki septik dan biofiltrasi, limbah air terlebih dahulu dialirkan melalui grease trap. Grease trap merupakan sejenis unit pipanisasi yang merupakan wadah untuk menangkap minyak dan lemak dari limbah air dapur. Tujuannya agar tidak menyumbat saluran pembuangan dan tidak langsung mencemari sungai.

  • Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
  • Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang

Kapal Bambu Resto

Selain kamar dan sistem pengolahan sampahnya, daya tarik terbesar dari Ecolodge Bukit Lawang adalah Kapal Bambu Resto. Sebuah restoran semi terbuka yang hampir sepenuhnya dibangun dari bambu.

Penggunaan bahan alami tidak hanya menunjukkan indikasi komitmen ecolodge yang ramah lingkungan. Ada juga pesan muatan lokal di dalamnya. 

“Ini seperti kampanye,” terang Bobi, “Sumatra Utara ini kaya bambu. Jadi, kita mengajak kawan-kawan untuk pakai furnitur dari bambu.”

Bambu dipilih karena sifat elastis dan ketahanannya terhadap angin maupun gempa. Sepintas tampak polos, tetapi strukturnya sangat kuat.

Riset Putra dkk. (2020) dalam Analisa Kekuatan Struktur Bambu Pada Pembangunan Entry Building Green School Ubud membuktikan itu. Bambu memiliki kekuatan tarik yang setara  dengan besi baja kualitas sedang, sehingga bisa menggantikan baja beton bertulang. Tidak hanya untuk bangunan sederhana, tetapi juga struktur bangunan yang lebih kompleks. Sifat bambu yang elastis, struktur bambu mempunyai ketahanan yang tinggi baik terhadap angin maupun gempa.

“Restoran kita ini sering digunakan untuk acara sampai [memuat] 80-an orang di lantai atas,” jelas Bobi.

Nilai lebih bambu dibandingkan balok kayu sebagai struktur bangunan adalah ketersediaan bahan baku. Bambu banyak ditemukan tumbuh bebas. Dalam kurun waktu 6—7 tahun sudah bisa dipanen dalam keadaan baik. Sementara jika harus menebang pohon, masih harus menunggu 15-20 tahun untuk tumbuh kembali. 

Dari sisi dapur, sebisa mungkin manajemen menyediakan bahan baku pangan organik. Untuk mendukung itu, Ecolodge Bukit Lawang membuka lahan eco-farming sekitar lima kilometer dari penginapan. Mereka menanam sayur-sayuran, seperti sawi, bayam, kangkung, cabai, dan tomat. Juga buah-buahan, seperti markisa dan ceri. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi makanan, minuman, dan kudapan tanpa penyedap maupun pengawet.

Salah satu tantangan dalam menyajikan kuliner di restoran adalah menghindari penggunaan produk-produk turunan minyak kelapa sawit. “[Kami] bukan anti sawit, ya. Cuma supaya tidak bertabrakan dengan [perjuangan] kawan-kawan yang lain di area hijau yang dikuasai oleh pengusaha sawit, makanya kita dukung dengan tidak menggunakan minyak sawit,” tegasnya.

Meskipun memang penerapannya tidak mudah. Terkadang minyak kelapa tidak selalu ada di pasaran. Kalaupun tersedia harganya bisa mencapai tiga kali lipat dari minyak kelapa sawit. Kerumitan yang dirasakan oleh sebuah penginapan ramah lingkungan memang berbeda dengan hotel biasa, bahkan yang berbintang sekalipun.

Demi kenyamanan bersama, Kapal Bambu Resto tidak membuka ruang sedikit pun untuk tamu yang ingin merokok. Restoran juga tidak menyediakan sedotan minum karena berpotensi menjadi sampah. Pun tidak menggunakan taplak meja. Alasannya setiap tamu selesai makan, maka taplak harus selalu dicuci dan limbahnya bisa mengotori aliran air ke sungai. 

Sumber energi listrik dan timbal baliknya

“Kita masih [sempat] pakai panel surya sampai tujuh tahun lalu. [Tidak dipakai lagi] karena salah analisis dan salah penempatan [instalasi],” ujar Bobi.

Pemasangan panel surya dilakukan sebelum Bobi masuk sebagai manajer. Ia mengatakan letak instalasi berada di ujung penginapan. Dekat dengan hutan. Kondisi tersebut membuat panel surya tidak bisa bekerja maksimal karena tidak cukup cahaya. Setiap pukul dua siang sinar matahari tertutup oleh perbukitan. Ia menilai mestinya panel surya dipasang di atas restoran, yang kemudian malah ditentang arsitek karena alasan estetika.

Alternatifnya, dia sempat mengundang Suroso, pegawai PPLH Seloliman ke ecolodge. Pada masa itu PPLH Seloliman telah berhasil menjual energi listrik mikrohidro ke PLN. Namun, situasi di Bukit Lawang berbeda. Sungai Bohorok sebagai satu-satunya sumber air terbesar, dinyatakan tidak layak secara ekonomis. Walaupun arusnya deras, debit air tidak stabil saat musim kemarau. Mengingat tantangannya berat, maka pembangkit listrik mikrohidro tidak bisa dijadikan pilihan. 

Kondisi tersebut menyebabkan Ecolodge Bukit Lawang tetap menggunakan listrik biasa—berbahan baku batubara. Karena komitmen ramah lingkungan dan berkelanjutan, Bobi menyebut ada biaya yang diambil untuk “dikembalikan” ke alam.

“Jadi, ya, boleh dibilang costing, gaji, dan semua [biaya] itu, lebih dari 40 persen pendapatan kotor [yang diterima], sisanya balik ke kantor untuk program konservasi,” jelas Bobi. Beberapa program itu di antaranya rehabilitasi habitat orang utan, penelitian biodiversitas, hingga pemberdayaan masyarakat lokal. 

“Memang ecolodge ini diusahakan untuk berjalan baik. Membuat bisnis agar bisa menghasilkan revenue untuk mendukung kegiatan konservasi,” tambahnya.

Pemasukan yang tetap dan stabil dari ecolodge, setidaknya mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah, menjadi penyokong utama program-program konservasi yang dijalankan Yayasan Ekosistem Leuser dan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP). 

Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang
Pernyataan dukungan konservasi orang utan sumatra di buku menu Kapal Bambu Resto/Deta Widyananda

Komitmen pelibatan masyarakat lokal

Sebagai barometer penginapan ramah ekologis, ecolodge berkomitmen pada kesejahteraan komunitas yang tinggal di kawasan wisata. Baik itu menyerap tenaga kerja di dalam manajemen maupun kerja sama lain. Misalnya, penyediaan bahan baku makanan untuk restoran hingga bidang jasa untuk aktivitas wisata.

Dalam pandangan Bobi, ecolodge tidak hanya memikirkan keberlanjutan lingkungan, tetapi juga di sektor bisnis. Salah satu upayanya adalah melibatkan masyarakat setempat.

“Makanya saya punya kewajiban di sini [untuk] memberdayakan masyarakat lokal,” katanya. Beberapa posisi penting yang menjadi jatah orang lokal antara lain koki, asisten koki, kasir dan pelayan restoran, petugas kebersihan, dan banyak lagi.

Khusus di bagian dapur, Bobi menegaskan banyak mengambil bahan baku pangan di masyarakat. Meskipun jika ingin lebih bersifat sustainable, ia bisa saja membeli ayam atau ikan beku yang bisa dipakai setiap saat. “Cuma enggak boleh, saya harus beli dari orang lokal. Biar orang lokal ada penghasilan dari kita,” ujarnya. 

Kolaborasi dengan masyarakat juga berlaku di sektor jasa. Terutama transportasi dan pemandu wisata. Ecolodge tidak menyediakan mobil operasional khusus untuk melayani tamu. 

“Kita kerja sama dengan kawan-kawan [lokal] yang punya armada. Guide juga begitu,” terang Bobi. 

Pernah suatu ketika ia mengundang 170-an pemandu wisata lokal untuk sosialisasi standar pelayanan ecolodge. Akan tetapi, dari jumlah itu hanya sekitar 20 orang yang memenuhi syarat dan mau mengikuti ketentuan. Seperti dalam paket wisata trekking, mereka harus menggunakan sepatu khusus di hutan, serta membawa perlengkapan dasar obat-obatan.

Di awal kerja sama memang gampang-gampang susah. Karakter orang beragam. Banyak yang datang dengan gaya keras, meminta jasanya harus digunakan. Ada pula yang lembut. Namun, akhirnya manajemen tetap menyeleksi calon partner yang mau mengikuti standar ecolodge. 

Bobi berulang kali memberi arahan tegas, “Jangan merokok di mobil. Jangan terlambat. Jangan ugal-ugalan. Mobil harus bersih, sampai bau badan pun kita ingatkan.” Dan standar-standar dasar pelayanan lainnya. 

Dalam perjalanannya memang Bobi sempat mengalami kendala. Contoh lainnya, ketika mencoba untuk menyajikan kudapan lokal di restoran, seperti keripik pisang atau keripik ubi, tidak berjalan maksimal. Persoalannya terletak pada kurang bagusnya kemasan sehingga makanan tidak tahan lama. (*)

ECOLODGE BUKIT LAWANG
Jl. Bukit Lawang, Sampe Raya, Kec. Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara 20774
Narahubung: +62 812 607 99 83
Email: info@ecolodgebukitlawang.com
Website: https://bukitlawang.ecolodges.id/id/


Foto sampul:
Suasana di dalam Kapal Resto Bambu yang dikelola Ecolodge Bukit Lawang/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Belajar Ramah Lingkungan dari Ecolodge Bukit Lawang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/belajar-ramah-lingkungan-dari-ecolodge-bukit-lawang/feed/ 0 40411
Penebusan Dosa Rutkita https://telusuri.id/penebusan-dosa-rutkita/ https://telusuri.id/penebusan-dosa-rutkita/#respond Mon, 11 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40399 Sebelum gajah-gajah datang, Tangkahan adalah taman bermain bagi para penebang kayu liar. Balik kanan di napas terakhir. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Jika orang belum mengenal baik, sekilas pria berkalung perak...

The post Penebusan Dosa Rutkita appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebelum gajah-gajah datang, Tangkahan adalah taman bermain bagi para penebang kayu liar. Balik kanan di napas terakhir.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Penebusan Dosa Rutkita
Tampak jembatan gantung Nini Galang yang menghubungkan kampung dengan hutan dan PLSK Tangkahan. Siapa sangka dahulu hutan serimbun itu memerah tanpa sehelai daun pun/Mauren Fitri

Jika orang belum mengenal baik, sekilas pria berkalung perak itu cocok jadi bintang film laga. Tubuhnya tegap. Postur menjulang. Paras sangar dengan rahang siku. Intonasi bicara tegas, tidak bertele-tele.

Namun, sorot matanya tidak bisa menutupi perubahan besar yang pernah dialami. Kulit sawo matangnya adalah saksi nyata yang menguak masa lalunya. Ia menengok ke arah hutan di seberang Sungai Batang Serangan. Menunjuk deretan pepohonan ujung ke ujung.

“Dulu kering [hutan] ini. Kalau kalian kemari di tahun 2000, [hutan] ini merah! Merah! Tinggal pancang-pancang [anakan pohon] saja yang ada,” kenang Rutkita Sembiring (47). Penduduk asli Tangkahan dan mantan pembalak liar.

Merah yang ia maksud bukan karena terbakar. Merah berarti tak ada lagi jejak hijaunya hutan tersisa. Gundul. Kulit-kulit pohon besar mengelupas, seolah terluka. Suara senso meraung-raung sepanjang waktu. Serpihan kayu melayang bersama debu. Sepanjang 1995—2000, kurang lebih 300 sampai dengan 400 hektare hutan Tangkahan rusak. Mencakup kawasan di sepanjang Sungai Batang Serangan dan beberapa ratus meter ke dalam hutan. Bukti keberingasan manusia terhadap alam.

Pikiran Rutkita waktu itu, “Mengambil kayu di hutan itu gampang. Tidak menanam, tidak merawat. Hanya menebang saja jadi [uang].”

Pada 2001, sejumlah tokoh masyarakat merintis mimpi mengubah wajah Tangkahan. Dari pusat pembalakan kayu yang brutal menjadi pusat konservasi dan desa ekowisata.

Di era-era transisi, Rutkita mengalami pergulatan batin luar biasa. Kami menemuinya sore itu (25/09/2023) untuk mendengar ceritanya.

Penebusan Dosa Rutkita
Puluhan limbah kayu berusia puluhan tahun berserakan di tepi Sungai Batang Serangan. Saksi bisu rusaknya hutan Tangkahan beberapa dekade/Rifqy Faiza Rahman

Masa-masa kelam Tangkahan

Simbiosis erat antara masyarakat dan hutan Tangkahan telah berlangsung puluhan tahun. Sejak kampung dibuka pertama kali pada awal abad ke-19, mayoritas mata pencaharian masyarakat bersumber dari hasil hutan. Mulai mengambil getah kayu damar hingga menebang kayu.

Rutkita menyebut bekerja di kayu diwariskan turun-temurun, “Mulai dari kakek saya [dan] ayah saya sendiri. Saya juga sempat mengambil kayu di hutan.”

Kuatnya rantai kehidupan yang nyaris tak pernah putus itu bukan terjadi secara tiba-tiba. Hutan Tangkahan memiliki sejarah konflik yang sangat panjang. Sejak ditetapkan sebagai hutan lindung dan hutan produksi pada 1900-an, segala dinamika terjadi. Konflik yang timbul bukan berasal dari dalam hutan, melainkan faktor manusia. 

Saiful Bahri (alm.), dengan pendekatan kajian historis, memiliki catatan menarik tentang kampung lawas tersebut; yang diketahui dirintis oleh keluarga marga Sembiring Depari dari Karo Gugung yang merantau. Di bab kesepuluh dalam Tersesat di Jalan yang Benar: Seribu Hari Mengelola Leuser (2012), buku karya Wiratno, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) periode 2005—2007, tokoh muda konservasi hutan Tangkahan itu mengungkap fakta penting. 

Kegiatan illegal logging atau pembalakan liar tidak dimulai oleh masyarakat Karo itu sendiri. Masyarakat Karo justru memiliki norma dan nilai-nilai budaya konservasi, jika melihat dari hubungan spiritualnya dengan hutan. Pelopor sejarah penebangan ilegal Tangkahan dimulai pada awal 1920-an, ketika terjadi kerja sama antara penguasa kolonial Hindia Belanda dan pengusaha (pedagang besar) Tionghoa, Kon Sen Song.

Sejak saat itulah era besar pembalakan kayu bermula. Kemudian di tahun 1950 sampai 1980-an, pengusaha-pengusaha lokal (tokoh masyarakat dan pengikutnya) mulai unjuk gigi. Pemain atau pekerja kayu di Tangkahan bukan hanya berasal dari masyarakat kampung setempat saja. Dari desa luar pun masuk, kebanyakan masih satu kecamatan, seperti Namo Sialang, Sei Serdang, dan Karya Jadi. Bahkan ada pula dari Tapanuli.

Mereka yang semula hanya menonton, lambat laun belajar dan makin berani mengambil alih “konsesi” di kawasan hutan dekat tempat tinggal mereka. Sekalipun sasaran penjualannya, baik perorangan maupun kelompok, tetap melalui saudagar-saudagar kelas kakap keturunan Tionghoa—seperti A Gong, A Lai, A Lai muda, Kho An, A Beng—di Tanjung Pura. Tanjung Pura adalah sentra perdagangan ramai pada masa itu, yang termasuk ujung dari Sungai Batang Serangan—jalur balok-balok kayu selain lewat darat.

Selama nyaris seabad ekosistem hutan dan masyarakat Tangkahan seperti tak memiliki muruah. Rata-rata masyarakat tidak paham fungsi hutan yang ada di Tangkahan. Tidak mengerti kenapa harus dijaga dan dilestarikan. Yang mereka tahu, ada banyak jenis kayu mahal yang bisa diubah jadi uang.

Hal ini diperparah kebijakan rezim Orde Baru. Atas nama pembangunan, Soeharto mendukung eksploitasi dan ekstraksi hutan lewat Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Pihak swasta, militer, bahkan aparatur negara lainnya diberikan karpet merah untuk mengakses sumber daya alam dalam jangkauan nyaris tak terbatas. 

Namun, Saiful Bahri mengingatkan ini sepenuhnya bukan bicara soal etnis tertentu. Ia menilai masalah permainan kayu ilegal sejatinya adalah proses kolaborasi antara kekuasaan dan uang, yang mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari alam.

Salah satu momen puncak penebangan kayu paling brutal terjadi saat krisis moneter 1998. Ketika hampir seantero daerah di Indonesia limbung karena krisis ekonomi, masyarakat Tangkahan justru berlimpah uang. 

“Di tahun 1998, saya mendapat penghasilan [dari kayu] sampai dua juta rupiah per minggu. Jadi, satu bulan itu sekitar delapan jutaan,” ujar Rutkita mengenang masa-masa kejayaannya. 

Uang sebesar itu ia dapat sangat mudah, setidaknya hanya dari satu pohon. Jika satu pohon bisa menghasilkan balok lima ton, dengan asumsi harga per ton Rp600.000, maka dalam satu hari saja Rutkita sudah mengantongi uang tiga juta rupiah. Memang hasil penjualan masih dibagi lagi dengan rekan kerjanya yang ikut memeras keringat. Akan tetapi, di tahun-tahun segitu, sudah sangat besar bagi seorang pemain kayu. 

Gurihnya bisnis kayu membutakan mata Rutkita. Ia tak ingin hanya menjadi penonton di kampungnya; membiarkan ceruk besar itu hanya dimakan orang-orang tua. Jika hidayah Tuhan tidak pernah benar-benar datang, barangkali Tangkahan akan selamanya merah.

Penebusan Dosa Rutkita
Rutkita Sembiring, satu dari sedikit orang Tangkahan yang tidak malu menceritakan perjalanan gelap hidupnya membalak hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser/Mauren Fitri

Titik terendah

Mengetahui anaknya ingin menjadi penebang kayu, ayah Rutkita sempat melarang keras. Ia memberi nasihat, “Enggak ada [gunanya]. Enggak bisa kau beli apa pun dengan uang jual kayu dari hutan.”

Saat itu ayahnya sudah sakit-sakitan. Mendengar nasihatnya, gejolak muda Rutkita meronta. Tak percaya. Ia memberontak, baginya apa pun bisa dibeli. Rutkita remaja—berusia 19 tahun—dan teman-temannya tetap mencebur bermain kayu.

Masa-masa keemasan memang sempat dirasakan. Pundi-pundi terisi jutaan rupiah per minggu. Tak peduli peluh mengucur, mata perih terkena serpihan kayu, atau telinga pekak karena suara senso. Semua demi uang.

Seiring waktu berjalan, Rutkita kian menyadari makna ucapan sang ayah. Uangnya memang banyak, tetapi ia tak berkembang. Tidak melangkah ke mana pun. Tolok ukurnya sederhana, yaitu kepemilikan mobil atau sepeda motor.

Rutkita mencoba mengamati lebih dalam. Rupanya sejak nenek moyang mereka membuka kampung, sampai sekitar tahun 1999, tidak ada satu pun yang memiliki mobil. “Tahun 1998—1999, berapa jumlah sepeda motor di sini? Tak lebih dari lima!”

Penyebabnya tidak jauh dari nafsu menghambur-hamburkan uang. Berjudi, minum-minum. Tatkala kalah judi, terpaksa berutang. Begitu uang habis, kembali ke hutan. Kerja lagi menebang kayu berhari-hari. Dapat uang, bayar utang. Lanjut judi, minum-minum lagi. Siklus yang selalu berulang. 

“Itu namanya uang setan dimakan hantu,” seloroh Rutkita. Uang yang didapat lenyap tak berbekas. Jika dia percaya mistis, mungkin akan menuduh babi ngepet atau tuyul pelakunya.

Rutkita memberi contoh lain dari kondisi “uang setan dimakan hantu”, yakni pemain bisnis galian C. Sumber bahan bakunya ada di pantai-pantai—daratan berpasir dan berbatu di sepanjang sungai. Di Kecamatan Batang Serangan, banyak pelakunya.

“Orang jual batu itu, yang enggak ada modalnya, kaya dia. Tapi sebentar. Begitu berhenti dia dan habis pantainya, habis [juga] hartanya!” terang Rutkita.

Gelimang uang dari kayu—yang bahkan hanya dinikmati setitik dan sesaat—ternyata juga memakan tumbal. Tidak sedikit warga menjadi korban fatal akibat kerasnya hidup menjadi pembalak liar. Masyarakat kecil tertatih dan pusing tujuh keliling, sementara bos-bos besar tetap kipas-kipas uang sambil ongkang-ongkang. 

“Abangnya bapak saya [orang tua Pak Okor] meninggal di hutan, tertimpa kayu. Adiknya [bapak] juga, terputus tangannya gara-gara kayu juga,” tutur Rutkita pilu, “dan ayah saya sendiri, delapan tahun sakit-sakitan di masa tua karena kelelahan fisik luar biasa.”

Bayangan-bayangan seram itu mengisi pikiran Rutkita. Masa-masa kejatuhannya sebagai pembalak liar tampak nyata. Ia seperti tinggal menanti detik-detik embusan napas terakhir, dan selamanya dikenang sebagai penebang. Sampai akhirnya Tuhan menunjukkan padanya buku takdir yang baru.

Ketika kembali ke rumah dan hampir putus harapan, ia sampaikan mimpi besarnya kepada ayah dan ibunya, “Saya janji ke orang tua saya, bahwa hidup saya itu di Tangkahan. Jadi, apa pun yang saya lakukan sekarang ini, itulah nanti hidup saya. Kalau memang Tangkahan itu tidak jadi [berkembang], berarti habislah masa depan saya.”

Penebusan Dosa Rutkita
Rutkita menunjukkan bagian bawah batang damar yang pernah ia tebang 24 tahun lalu. Damar adalah salah satu komoditas kayu bernilai tinggi/Deta Widyananda

Dari penebang ke penjaga hutan

Di sela sesi wawancara, TelusuRI sempat diajak Rutkita masuk sedikit ke hutan. Beberapa meter saja dari kandang gajah Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan. Ia menunjukkan jejak batang damar setinggi 40-an meter yang rebah di tanah. Lingkar batangnya setara pelukan tiga orang dewasa. Pohon tersebut ia tebang sekitar tahun 1999. Begitu tumbang, menimpa pohon-pohon lain di sekitarnya dan ikut jatuh. Usianya ratusan tahun. Jika diukur dengan kurs sekarang, nilainya bisa mencapai 150 juta rupiah. 

“Kami pikir dulu kayu ini [hadiah] dari Tuhan. Karena ditanam, berarti [kayu] ini untuk kita,” kelakar bapak dua anak itu. Kami ikut tertawa. 

“Ternyata kami salah,” katanya.

Sekitar 1999—2000, sekelompok mahasiswa pencinta alam (mapala) asal Medan datang ke Tangkahan. Para mahasiswa ini prihatin dengan rusaknya hutan Tangkahan. Salah satu koordinatornya adalah mendiang Saiful Bahri. Melihat kondisi menyedihkan itu mereka bertekad untuk mengajak masyarakat melakukan perubahan. 

Waktu itu secara perlahan, anggota mapala tersebut berdialog dengan penduduk yang bermain kayu. Tidak serta-merta melarang, tetapi diajak membuka pikiran tentang untung-rugi bermain kayu, lingkungan hidup, manfaat hutan, hingga potensi ekonomi melalui pariwisata seperti yang sudah berjalan di Bukit Lawang.

“Mereka ‘menjual’ hutan juga, tetapi bukan dengan menebang, melainkan wisata. Mereka dapat uang [dari] membawa turis-turis berkeliling. Di Bukit Lawang ada hutan, di sini juga ada hutan. Di sana ada sungai, di tempat kami bahkan ada dua sungai besar,” jelas Rutkita.

Rutkita dan lima orang temannya adalah sasaran awal “cuci otak” dari anak-anak mapala tersebut. Mereka menginap dan saling berdiskusi di tempat milik Wak Yun, pengusaha ekowisata dari Bukit Lawang, yang membangun penginapan dan restoran. Sayangnya, karena berkonflik dengan para penebang kayu, restoran miliknya dibakar. Wak Yun pun “kabur” dan kembali bekerja sejenak ke Inggris, negara asal istrinya.

Lambat laun pendekatan Saiful Bahri dan anggotanya menemui titik terang. Gol pertama yang berhasil dicetak adalah terbentuknya komunitas pemuda Tangkahan Simalem Ranger pada 22 April 2001. Rutkita didapuk menjadi ketua. Tugas utamanya menghentikan illegal logging, menyetop truk-truk pengangkut kayu yang masuk kampung. Mereka meyakinkan kawan-kawan—para pembalak—untuk berhenti bermain kayu. 

Selang sebulan kemudian, berdasarkan inisiatif menggerakkan ekonomi alternatif melalui ekowisata, lahirlah Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT). Sisanya adalah sejarah, seperti yang terlihat sampai saat ini. Berkolaborasi dengan Conservation Rescue Unit (CRU) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), menyediakan paket ekowisata gajah dan aktivitas petualangan alam lainnya.

Di masa-masa inilah titik balik Rutkita terlahir menjadi pribadi yang benar-benar baru. Dengan agak tertatih, ia dan timnya berjuang melestarikan sungai dan hutan di belakang rumah mereka.

Namun, perjalanannya tentu tidak semulus itu. Konflik pribadi masih menyala, karena Rutkita berhadapan dengan saudara-saudaranya sendiri. Termasuk paman-pamannya, yang menilai gerakan Tangkahan Simalem Ranger akan memotong sumber rezeki mereka.

Selain itu Rutkita dan teman-temannya harus menjalani masa-masa prihatin. Menganggur berhari-hari bak orang bingung tanpa arah. Periuk di dapur selalu kosong. Tak punya uang untuk membeli beras. Cita-cita dan janji besar untuk memajukan kampung halaman jelas penuh liku. Tak akan didapat dalam waktu singkat. Sampai-sampai ia bilang ke ibunya yang khawatir dengan kesehatan dan nasib anak sulungnya, “Sudahlah, Mak! Kalau memang Tangkahan nggak jadi, sudah, kami mati saja di sini.”

Di masa-masa itu, Rutkita dan anggota komunitas maupun LPT sering dianggap orang gila. Dibodoh-bodohi. Sejumlah warga, bahkan keluarga sendiri, masih memandang sebelah mata. Diremehkan karena tak mungkin bisa dapat uang selain bermain kayu. Tak mungkin tamu mau datang ke Tangkahan melihat sungai dan hutan, yang saat itu masih bopeng dan belum kembali pulih sebagaimana mestinya.

“Yang menggaji saya adalah Tuhan!” cetusnya ketika dahulu sering dipertanyakan sumber penghasilannya. Seketika membungkam mulut para peragu itu.

Berangkat dari pengalaman itu, Rutkita sering keliling memotivasi kawan-kawan senasib di luar Tangkahan. Di Jambi atau di mana pun. Ia bilang ke mereka, “Potensi yang ada di daerah kalian ini, dibandingkan daerah saya, itu jauh [lebih bagus]. Tapi apakah kalian mau dan bersedia jadi orang gila? Karena memang harus gila [untuk mau berubah]!”

Bagi Rutkita, terlalu banyak berpikir tanpa aksi nyata adalah kesia-siaan belaka. Tidak bisa berpangku tangan menunggu uang jatuh dari langit. Entah setahun, dua tahun, atau lima tahun, pasti akan menghasilkan sesuatu. “Kalau ada dua atau tiga orang saja [yang mau] gila memajukan daerahnya, yakin jadi!”

Setelah cukup lama berkontribusi di LPT, belakangan Rutkita fokus bekerja sebagai humas di CRU. Ikut membantu pengelolaan gajah-gajah yang dirawat para mahout. “Saya suka kerja di NGO [organisasi nirlaba] karena itu memang tempat saya,” katanya. 

Kini suami Susanti itu sudah cukup membuktikan kepada banyak orang. Meskipun tidak sekolah dan tidak membuka lahan perkebunan untuk orang tua, Rutkita merasa tidak kalah sukses daripada kawan-kawan yang tidak satu gerbong dengan mereka.

Rutkita—dan mungkin beberapa orang di kampung—tidak pernah menyangka Tangkahan akan berkembang sejauh ini. Sejajar dengan Bukit Lawang, menjadi destinasi penyangga TNGL favorit wisatawan.

Tak terkecuali pengerasan jalan yang sedang berlangsung. Senyawa asphaltene akan mengguyur tanah dan memuluskan mobilitas masyarakat.

“Sekarang kan, siapa yang bermimpi [jalan kampung] bisa diaspal?” tanya Rutkita, “tidak pernah bermimpi saya.”

Penebusan Dosa Rutkita
Setelah tidak lagi menebang kayu, kini Rutkita banyak diundang ke berbagai acara di banyak tempat untuk berbagi pengalaman pahitnya di masa lalu/Mauren Fitri

“Saya tidak menyesal”

Kisah dan kiprah Rutkita membawanya ke pintu ajaib yang bisa mengantarnya ke mana saja. Menemukan jalan baru yang tak pernah ia sangka-sangka. Meskipun tidak pernah mengenyam bangku kuliah, ia telah kenyang pengalaman berdiri di forum-forum internasional. Berbicara di ASEAN Heritage Parks, dikirim ke Myanmar hingga Australia.

Tahun lalu Rutkita pernah dihubungi BKSDA Jambi untuk menjadi salah satu konsultan kegiatan sosialisasi dan edukasi konservasi. Ia hadir bersama sejumlah pakar sebagai narasumber forum pertemuan antar kepala dinas, camat, dan perangkat desa se-Provinsi Jambi. Di sesi presentasi, ia bercerita tentang Tangkahan dan masa lalunya. Memberi motivasi kepada orang-orang yang masih tenggelam di dunia pembalakan liar.

Beberapa waktu setelah pertemuan, ia diundang seorang kepala desa peserta forum, untuk datang ke daerahnya di dekat perbatasan Jambi—Riau. Salah satu penyangga Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Namanya Desa Pemayungan. Di peta wilayah kerja BKSDA Jambi, desa ini masuk zona merah. 

“Desa Pemayungan itu di 2022 kemarin, [kondisinya] sama seperti di Tangkahan tahun 1998,” ujar Rutkita. 

Menurut Kepala BKSDA Jambi saat itu, Rahmad Saleh (alm.), desa tersebut hutannya gundul dan rawan konflik. Ia belum pernah ke sana. Pernah anggotanya berkunjung malah mau dibakar dan nyaris tidak bisa pulang. Bahkan LSM pun tidak boleh masuk.

Rutkita nyaris berangkat sendiri, andaikata kepala seksi tidak berani menemaninya. Padahal dia tidak paham jalan ke Pemayungan. Lokasinya memang jauh sekali. Sekitar 300 kilometer dari pusat kota Jambi. Mereka pun akhirnya berangkat bersama satu orang sopir. Atas usul Rutkita, plat mobil dinas diganti hitam.

“Begitu sampai di desanya, memang sama seperti Tangkahan dulu. Samping kantor desa numpuk balok bulat-bulat itu,” kata Rutkita sambil terkekeh, “karena saya memang aslinya pemain kayu, saya tahu jenis kayu ini dan itu.”

Ia pun turun. Kepala seksi dan sopir menunggu di dalam mobil. Mesin tetap dihidupkan. Dalam pikiran Rutkita, mungkin sebagai antisipasi kalau terjadi sesuatu mereka bisa langsung tancap gas dan pergi dari desa. 

Di pekarangan ia menemui ibu-ibu, yang tampaknya perangkat desa juga. Sembari berkeliling melihat tumpukan balok-balok tersebut. Rutkita lekas meminta mereka memanggil penduduk desa.

Pada momen itu, ia berbicara dari hati ke hati. Di awal, ia meluruskan pemahaman tentang keberadaaan BKSDA setempat, yang bekerja justru untuk kebaikan masyarakat. Selanjutnya menceritakan sisi pahit dari bermain kayu, serta perubahan dirinya dari penebang pohon menjadi aktivis konservasi dan ekowisata. 

Rutkita berkata kepada masyarakat, “Tapi itu dulu. Sekarang saya enggak lagi [main kayu]. Saya enggak butuh lagi [kayu] seperti kalian. Ini bunuh diri.” 

Tidak ada cara terbaik untuk mengajak orang berubah selain karena berdasarkan pengalaman pribadi. Itulah sebabnya ia mengaku tidak malu menceritakan dosa-dosa di masa lalu, ketika menebang ratusan pohon di hutan Tangkahan. 

“Saya tidak menyesal. Kalau saya tidak pernah melakukan tadi [pembalakan liar], mungkin juga saya tidak pernah melakukan seperti ini [edukasi]. Gara gara pernah melakukan illegal logging, saya sudah keliling Indonesia,” katanya.

Seolah tak cukup, ia menambahkan satu legitimasi lagi. Memvalidasi perubahan hidup yang dijalaninya sampai saat ini.

Di wawancara atau acara mana pun, ia juga selalu berkata, “Saya adalah satu-satunya orang yang berani mengakui, [bahwa] saya pelaku illegal logging!” Dalam pandangannya, Rutkita merasa otaknya lebih konservasionis dibandingkan orang-orang taman nasional sendiri. 

Roda kehidupan memang dinamis. Jika mobil dan motor jadi ukuran kesuksesan hidup tanpa bermain kayu, Rutkita menyebut sekarang ada 4—5 motor dalam satu rumah. Warga yang memiliki mobil pun sudah 70 persen.

Begitu pun alam. Sejak tahun 2000 sampai sekarang, hutan Tangkahan mampu memulihkan diri. Dari semula merah membara menjadi hijau menyejukkan. Bukan hanya proses alami semata, melainkan juga kesadaran dan komitmen orang-orang di sekitarnya.

Rutkita berani memastikan saat ini tidak ada lagi pembalak liar di Tangkahan. Nol persen, katanya. Namun, di luar Tangkahan—entah kawasan sekitar Leuser atau daerah lainnya—mungkin masih ada dan marak. Ia tak bisa apa-apa kecuali berharap agar kawan-kawan yang masih melakukan illegal logging lekas bertobat.

“Berhentilah, karena uang setan tetap dimakan hantu! Pasti!” pesannya.

Ia tahu, orang-orang seperti itu tidak akan mudah percaya dengan omongannya. Mereka akan menyadari kebenaran pesan Rutkita ketika kelak berhenti menebang pohon. Mengalami saat-saat terendah, seperti yang Rutkita rasakan begitu lama. Ketika berapa pun banyaknya uang yang didapatkan setiap bulan tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan sepeda motor saja tidak punya. Sehari-hari bercelana pendek yang sama. 

“Tidak ada yang bisa langgeng dari hasil hutan [secara ilegal]. Saya jamin itu,” tegasnya.Barangkali, satu-satunya penyesalan Rutkita adalah ayahnya tidak sempat melihat langsung hasil perjuangan yang ia janjikan dahulu, hingga Tangkahan menjadi seperti sekarang. Sang ayah meninggal dunia tahun 2002. (*)


Foto sampul:
Rutkita Sembiring menceritakan pengalamannya saat dahulu menebang kayu secara ilegal/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Penebusan Dosa Rutkita appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/penebusan-dosa-rutkita/feed/ 0 40399
Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya https://telusuri.id/kisah-gajah-tangkahan-dan-belahan-jiwanya/ https://telusuri.id/kisah-gajah-tangkahan-dan-belahan-jiwanya/#respond Sun, 10 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40386 Sembilan ekor gajah sumatra hidup berdampingan di tepi Sei Batang Serangan berarus deras. Menyerahkan garis takdir pada sekelompok manusia. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri “Theo!” Yang dipanggil bergeming. Menoleh saja tidak. ...

The post Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya appeared first on TelusuRI.

]]>
Sembilan ekor gajah sumatra hidup berdampingan di tepi Sei Batang Serangan berarus deras. Menyerahkan garis takdir pada sekelompok manusia.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Seekor gajah sumatra sedang makan ranting kecil dan semak liar yang tumbuh di sekitar Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan, Langkat/Mauren Fitri

“Theo!”

Yang dipanggil bergeming. Menoleh saja tidak. 

“Theo!”

Sekali lagi. Si empunya suara menyapa keras. Namun, ia tak bisa berbuat banyak selain menunggu.

Sang pemilik nama masih tak acuh. Kakinya tetap kokoh berdiri sekalipun terendam air selutut. Pandangan kedua matanya fokus pada sasaran empuk di bagian atas kepala. Di pinggir tebing cadas, ia terus asyik menarik batang-batang dan daun rotan sampai hampir rontok dari akar. Berbeda dengan manusia, ia meraih itu dengan belalai.

Ya, Theo adalah nama seekor gajah sumatra berusia 37 tahun. Gajah dewasa jantan satu-satunya di Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Gajah Sumatra, Tangkahan, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Ia punya ciri yang sangat mudah dilihat, yaitu rantai baja di pergelangan kaki kiri bagian depan. Sebagai gajah jantan, pada fase-fase tertentu akan mengalami berahi dan berpotensi ngamuk, sehingga harus diikat agar tidak membahayakan gajah lain dan orang-orang di sekitarnya. 

Pagi itu (23/09/2023) memang jadwal Theo mandi di sungai bersama delapan gajah penghuni PLSK lainnya. Joni Rahman (40), pawang gajah atau mahout khusus untuk Theo, terus menyebut nama “anak asuhnya” yang masih sibuk mengunyah rotan. Butuh kesabaran untuk menggiring fokus gajah dari satu kegiatan ke kegiatan berikutnya. Tidak mudah menyamakan persepsi dalam interaksi antara manusia dan gajah. Setiap mahout memiliki bahasa maupun metode pendekatannya tersendiri agar bisa memahami gajah. 

“Setiap gajah yang kita pegang itu, [kita] harus mengerti karakter gajah itu seperti apa. Gajah ini karakternya seperti ini,” kata Joni, sapaan akrabnya, “gajah [juga] tidak boleh dikerasi.”

Nama Joni Rahman dikenal luas sejak muncul di video pendek Save Our Forest Giants produksi Nicholas Saputra dan Mandy Marahimin, Juni 2016. Ia menjadi narasumber yang mewakili mahout Tangkahan. Kini sebagai mahout Joni—sapaan akrabnya—sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS), yang ditetapkan langsung dengan surat keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Pria asal Lhokseumawe itu tidak bekerja sendiri. Ada mahout-mahout lain yang mencurahkan jalan hidupnya untuk mamalia darat terbesar di Indonesia itu.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Joni Rahman, mahout PNS termuda di PLSK Tangkahan, ketika ditemui di penginapan Tangkahan Lodges milik Seh Ukur Depari (Bolang Okor)/Mauren Fitri

Harmoni dua dunia

Para mahout menghuni sekitar 4—5 petak rumah sederhana sebagai tempat tinggal sehari-hari. Fasilitas yang dibuat Conservation Rescue Unit (CRU) tersebut seukuran tipe 21 dengan dinding kombinasi bata dan anyaman bambu. Letaknya memang didesain dekat dengan pintu masuk menuju PLSK. Terpisah dengan Sei Batang Serangan selebar 50 meter. Para mahout dan wisatawan memanfaatkan akses satu-satunya menyeberang sungai, yaitu jembatan gantung Nini Galang sepanjang 150 meter. 

Di PLSK Tangkahan, para mahout melakukan rutinitas mengasuh gajah setidaknya dua kali dalam satu hari. Pukul 08.00 dan 16.00 WIB. Selain memandikan dan memberi makan, secara berkala mahout mengangon gajah untuk cari makan di dalam hutan. Dari pagi sampai petang. 

Meskipun sudah ada jadwal rutin dalam satu hari, sesungguhnya pekerjaan mengurus gajah menuntut waktu dan tenaga untuk bersiaga penuh 24 jam. Mereka tidak pernah bisa memprediksi hal-hal yang menimpa gajah, sehingga satu detik pun berharga. Kondisi itu acap kali menimbulkan rasa jenuh; yang mau tidak mau harus diabaikan karena menjaga profesionalitas.

Begitu pula jatah libur. Sebagaimana PNS yang memiliki waktu bebas Sabtu dan Minggu, para mahout tersebut nyaris tidak pernah mengambilnya. Apalagi akhir pekan adalah momen puncak keramaian wisatawan—domestik maupun mancanegara—yang berkunjung ke Tangkahan untuk melihat gajah. Tanpa mahout, ekowisata gajah-gajah jinak itu tidak akan berjalan.

Seorang mahout bertanggung jawab pada dua dunia yang sangat bertolak belakang, yakni keluarga sendiri dan gajah sumatra. Bukan tugas mudah mengharmonikan keduanya secara seimbang. Seperti dialami sendiri oleh Budiman alias Pakde, seorang mahout senior yang kami temui saat bekerja (24/09/2023).

“Sebenarnya [oleh] keluarga di rumah sudah dikomplain, [katanya lebih] banyak waktu untuk ngurus gajah daripada untuk [mengurus keluarga] di rumah,” seloroh Budiman sambil mengelus belalai Christopher atau Chris, gajah sumatra jantan berusia sembilan tahun yang hendak dimandikan di sungai, “walau [Chris] ‘anak’ keempat saya, tapi saya lebih banyak waktu sama dia.”

Christopher adalah anak dari Agustin (51), gajah betina dewasa yang didatangkan TNGL dari Lhokseumawe, Aceh, ke Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan. Namanya diambil dari seorang veterinarian asal Jerman, Dr. Christopher Stremme, yang ikut merawat gajah bersama para mahout. Sejak 2015, ia bekerja di dua tempat. Sebagai konsultan medis gajah sumatra di organisasi nirlaba International Elephant Project, serta dosen tamu di kelas internasional Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Kehadiran Chris mewarnai dunia Pakde, yang secara biologis sudah dikaruniai tiga orang anak. Dari total 32 tahun bekerja merawat gajah, 21 tahun terakhir ia curahkan hidupnya di Tangkahan. Pakde merupakan salah satu dari empat mahout senior yang sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Tiga orang lainnya adalah Sudiono, Katio, dan Cece Supriatna. Joni jelas mahout PNS termuda. Sekalipun begitu, ia terhitung memiliki jam terbang tinggi untuk berurusan dengan gajah. Hanya terpaut satu dekade di belakang Pakde. Untuk meringankan tugas, kelima mahout ini dibantu oleh empat orang lokal yang direkrut sebagai elephant keeper.

Meskipun belum ada riset spesifik, profesi mahout tampaknya bisa digariskan secara turun-temurun. Ada perasaan kinasih yang mewaris dalam darah mahout. Semacam panggilan hati yang merasuk. Melebur sebagai jiwa yang tak bisa dikesampingkan begitu saja. Garis hidup Joni atau biasa disapa Bang Jon, seperti membuktikan itu. Sedari kecil ayah dua anak itu sudah sangat dekat dengan lingkungan gajah. 

“Bapak saya dulu juga kerja sebagai mahout. Bapak saya orang pertama [di keluarga] yang menjadi mahout. Saya orang kedua,” kenang Joni menceritakan regenerasi mahout di keluarganya. Saat tragedi Krueng Geukueh melanda Aceh Utara pada 1999, bapak Joni adalah koordinator evakuasi gajah liar dari kabupaten tersebut ke dua tempat baru, yaitu Banda Aceh dan Sekolah Pelatihan Gajah Saree. 

Sebelum digaji sebagai mahout, Joni mulanya menjadi relawan elephant keeper selama 2001—2004. Ketika tsunami menerjang Aceh pada Desember 2004, ia dan rekan-rekan mahout lainnya membawa kawanan gajah untuk membantu pembersihan puing-puing setelah bencana mereda.

Kemudian pada 2005—2012 ia diangkat sebagai tenaga honorer di bawah BKSDA Aceh. Salah satu tugas terbesarnya di BKSDA antara lain membawa 11 ekor gajah dari Tangkahan, Kabupaten Langkat ke Saree, Aceh Besar; tempat gajah-gajah liar yang dievakuasi dari konflik untuk dilatih. Bersama gajah ia juga merasakan berkelana lintas kota dan pulau. Sepanjang Sumatra, Jawa, dan Kalimantan pernah disinggahi. Umumnya bekerja mengawal gajah-gajah jinak untuk keperluan atraksi maupun edukasi di sejumlah kebun binatang.

Perjalanan hidup Joni dengan subspesies gajah asia itu kiranya serupa yang dirasakan senior-seniornya. Hubungan mahout dan gajah layaknya bapak dan anak. “Sebenarnya [menjadi mahout] bukan hanya sekadar profesi, [tetapi] juga harus menjiwai dia [gajah],” kata Joni, yang meyakini mahout sebagai pekerjaan mulia.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Pakde bersama Christopher atau Chris, jelang sesi rutin memandikan gajah di Sungai Batang Serangan, Tangkahan/Deta Widyananda

Dari patroli ke fungsi edukasi

Sebelum benar-benar diberdayakan sebagai subjek edukasi dan konservasi, gajah-gajah dewasa yang ada di PLSK Tangkahan dulunya terlibat aktif dalam pengamanan hutan.  Program tersebut diinisiasi oleh Fauna & Flora International (FFI) yang membentuk Conservation Rescue Unit (CRU) dan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK.

CRU atau Unit Tanggap Konservasi merupakan organisasi berbadan hukum yang terpisah dengan Lembaga Pariwisata Tangkahan. Tugas khusus CRU antara lain melakukan respon cepat terhadap konflik antara satwa dengan masyarakat, memberikan edukasi tentang pentingnya konservasi, dan merawat gajah jinak untuk kepentingan konservasi dan patroli hutan.

Di awal, fokus area kerjanya mencakup Aceh, Sekoci, dan Tangkahan. Gajah digunakan sebagai transportasi untuk mendukung petugas saat melakukan patroli hutan. Sebutannya saat itu adalah Elephant Jungle Patrol. Menurut Joni, program di Aceh sebenarnya terhitung berhasil. Namun, selanjutnya kacau karena konflik di Aceh Utara pada 1999. 

Patroli dengan gajah juga sempat dilakukan di Sekoci, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat dalam kurun waktu antara 2000—2001. Para mahout menemani polisi hutan maupun ranger melakukan pengamanan ke hutan. Namun, seiring masifnya perambahan liar dan tingginya risiko keracunan pada gajah di Sekoci, Elephant Jungle Patrol dihentikan. Petugas patroli beralih menggunakan mobil.

Joni menambahkan, gajah-gajah asal Aceh—belakangan diketahui bernama Agustin dan Medang (meninggal beberapa tahun kemudian)—yang sempat dipakai di Sekoci tersebut selanjutnya dipindahkan ke Tangkahan. Saat itu, Tangkahan sedang dalam masa transisi sejak terbentuknya Lembaga Pariwisata Tangkahan dua tahun sebelumnya. Berbenah besar-besaran dari yang awalnya pusat pembalakan liar menuju kawasan ekowisata.

Kedatangan gajah pertama kalinya di Tangkahan digunakan untuk melakukan pengawasan dan pengamanan mencegah aksi pembalak liar. Warga setempat juga direkrut untuk ikut berpatroli ke hutan. Selain itu gajah bisa menjadi nilai tambah untuk daya tarik ekowisata.

Keberadaan dua gajah dewasa tersebut selanjutnya disusul gajah-gajah penghuni baru PLSK Tangkahan. “Ada tiga gajah yang ditangkap dari Bohorok. Si Theo, Yuni, sama Olive,” terang Joni. Ketiga gajah itu dievakuasi dari lahan warga karena dalam kondisi terisolasi dan tidak bisa bergerak ke mana-mana.

Gajah-gajah tersebut kemudian beranak pinak sampai sekarang. Setelah tak lagi sibuk membantu patroli hutan, LPT dan mahout kemudian menjadikan para gajah itu sebagai subjek edukasi untuk ekowisata dan konservasi. Salah satu topik edukasi terpenting adalah tentang daya jelajah dan jalur gajah.

Selama ini banyak orang menganggap gajah adalah hama yang merusak perkebunan atau permukiman mereka. Padahal menurut Joni, gajah akan selalu kembali melewati jalur yang sama dan tidak akan berpindah bahkan sampai 40 tahun. “Dalam 40 tahun perubahan manusia sangat cepat. Begitu gajah masuk ke lahan warga, [gajah akan bilang] ‘loh, ini dulu rumahku, sekarang kok sudah ada kebun rambung, kebun durian, juga sawit’,” jelas Joni. Ketika gajah sudah merangsek ke perkebunan atau permukiman warga, maka timbullah konflik. Gajah tersingkir dari rumahnya sendiri.

  • Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
  • Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya

Sadar ekowisata, sadar batas

Di pinggiran sungai berair jernih saat kemarau itulah sentra aktivitas ekowisata berlangsung. Segala paket ekowisata harus melalui satu pintu, yaitu Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT).

Sejak 2001, ekowisata menjadi denyut nadi yang menghidupkan Tangkahan. Sebuah hidup baru yang ditempuh hampir seluruh warga Tangkahan, setelah satu dekade sebelumnya bergantung pada pembalakan liar. 

Jarak yang jauh dari Kota Medan, sekitar 3—3,5 jam perjalanan sejauh 100 kilometer, seolah tidak jadi soal. Seiring waktu berjalan, Tangkahan menjelma menjadi destinasi ekowisata dunia. Beberapa fasilitas untuk tamu, seperti penginapan dan kuliner yang dikelola berbasis masyarakat, terus bertambah dan berbenah. Dalam satu tahun, pusaran uang yang berputar di masyarakat dapat mencapai 10—20 miliar rupiah.

Pandemi COVID-19 lalu memang berdampak signifikan pada aktivitas wisata di Tangkahan. Pelbagai pembatasan menghambat laju perekonomian masyarakat. Ekowisata adalah kegiatan lintas sektor, sehingga terganggunya satu aspek akan berdampak pada aspek lainnya. 

Selepas pandemi, tahun ini perlahan menunjukkan progres menggembirakan. Ratusan turis mulai kembali mengunjungi Tangkahan setiap bulannya. Menurut Jony Salman, koordinator perencanaan strategis LPT, total sudah ada 5.084 wisatawan yang datang melihat gajah selama periode Februari—Agustus 2023. Puncak kunjungan terjadi pada Juli dan Agustus sebanyak 2.649 orang. Secara keseluruhan wisatawan mancanegara mendominasi sebanyak 55 persen, mayoritas dari Prancis, Belanda, dan Jerman.

Dalam satu hari tur, LPT bekerja sama dengan CRU menjadikan atraksi memandikan dan memberi makan gajah sebagai daya tarik utama. Alternatif lain tersedia aktivitas camping atau tubing. Mereka mengetahui Tangkahan dari buku-buku panduan perjalanan—misalnya, Lonely Planet—maupun informasi di internet. Selain Bukit Lawang, biasanya Tangkahan sepaket dengan pelesir ke Danau Toba.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Bang Ica, elephant keeper muda dari Tangkahan, sedang memandikan Sari dan anaknya, Boni (kiri) saat sore hari di Sei Batang Serangan. Sungai ini menjadi batas antara kampung (kiri) dan kawasan hutan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser/Deta Widyananda

Namun, di balik kesadaran tinggi terhadap legitnya ekowisata, tetap harus diiringi pula dengan kesadaran akan batasan-batasan yang berlaku. Sebagai antitesis dari mass tourism atau pariwisata massal, ekowisata sejatinya memiliki rambu-rambu yang lebih ketat. Salah satunya soal pengaturan jumlah kunjungan wisatawan. Rutkita Sembiring, mantan pengurus LPT yang kini fokus bekerja sebagai humas CRU, mengingatkan soal itu.

“Kalau ada yang datang 2.000 orang pengunjung per hari, [pasti] enggak bisa dikontrol. Karena memang kapasitas atau daya tampung kawasan kami kecil,” Rutkita mewanti-wanti. 

Rutkita tak bisa menyebut angka pasti. Ia coba memberi perkiraan batas maksimal. “Kami enggak perlu banyak. Wisata domestik itu per tahun cukup 100.000 [orang]. Mancanegara itu 10.000 [orang] sudah cukup per tahun,” hitungnya, “enggak banyak, [tetapi] cukup. Dari angka itu, sudah [dapat] 17 miliar per tahun kami [dapatkan].”

Dalam catatan BPS Sumatra Utara (2021), Tangkahan pernah mencatat angka kunjungan wisata tertinggi pada 2016, yaitu sebanyak 72.900 orang. Masih di bawah batas aman sesuai perkiraan Rutkita. Meskipun demikian, ia berharap tidak mendekati atau melampaui angka maksimal yang disebutkan.

Sejauh ini LPT menerapkan beberapa strategi untuk membatasi kunjungan berlebih ke Tangkahan. Di antaranya kewajiban reservasi jauh hari, mematok harga paket lebih tinggi, hingga penerapan zonasi hulu (ekowisata) dan hilir (mass tourism). 

Tantangan terdekat di depan mata adalah proses pengaspalan jalan dari pusat Desa Namo Sialang menuju Tangkahan. Baik dari arah Stabat maupun Bukit Lawang. Tahun ini proyek besar dari pemerintah provinsi itu akan rampung. Artinya, aksesibilitas akan lebih mudah dan berpotensi menarik kunjungan wisata lebih banyak. 

Perlu komitmen bersama untuk mencegah ledakan turis. Tak terbayangkan betapa stresnya sembilan gajah bertemu manusia yang bermacam-macam setiap saat. Mahout pun akan bekerja ekstra dan bisa-bisa makin lupa kapan terakhir kali libur.

Bahaya besar mengintai gajah sumatra

Dari foto udara, lebatnya vegetasi tropis TNGL tampak kontras dengan perkebunan sawit di barat Sei Batang Serangan. Hutan belantara nan asri di seberang timur merupakan harta karun terbesar Tangkahan. Gemericik sungai menjadi penanda batas alami yang memisahkan area publik dan kawasan konservasi.

Jika telinga kita tajam, akan terdengar suara burung-burung bersahutan. Mata yang jeli bisa melihat mereka terbang di kanopi pepohonan. Saat berbincang dengan Joni di penginapan milik Seh Ukur Depari (Bolang Okor), dari gelapnya hutan terdengar tiga kali suara kuau raja memekakkan keheningan malam. Nuansa tersebut sesaat membuat kami lupa dengan ratusan hektare sawit yang mengepung jalan menuju Tangkahan.

Di tengah geliat ekowisata, sepintas situasi tersebut cukup kondusif bagi hajat hidup sembilan ekor gajah sumatra di Tangkahan. Masyarakat setempat maupun pengunjung masih bisa melihat polah lucu anak-anak gajah, seperti Carlos (anak Olive, 33) dan Boni (anak Sari, 37).

Namun, jika membuka sudut pandang lebih lebar, kita patut khawatir. Sampai saat ini belum ada data yang pasti dan sinkron tentang populasi gajah di Indonesia.

Berdasarkan data-data terbaru yang diolah dari KLHK dan sejumlah organisasi nirlaba, Yayasan Auriga Nusantara menyodorkan fakta memprihatinkan. Pada tahun 2021 populasi gajah sumatra liar berkisar antara 924—1.359 ekor. Merosot tajam sekitar 33—45 persen dari tahun 2017. Hanya dalam rentang empat tahun, keberadaan gajah liar menyusut drastis. Sementara kurang dari 500 ekor gajah jinak tersebar di pusat latihan gajah, taman safari, kebun binatang, dan lain-lain.

Surutnya populasi gajah selaras dengan penurunan kantung habitat alami gajah. Selama 2017—2021, 14 titik kantung gajah menghilang. Kini tersisa setidaknya 22 kantung gajah dengan total 4.642.824 hektare; 80 persen di antaranya berada di luar kawasan konservasi. Puluhan kantung gajah itu tersebar di Aceh, Sumatra Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung.

Dalam evaluasi yang disampaikan KLHK—sebelumnya Departemen Kehutanan—dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera Dan Gajah Kalimantan 2007-2017, penurunan populasi gajah in-situ (habitat alami) disebabkan konversi lahan akibat tata ruang wilayah yang belum sepenuhnya mendukung upaya konservasi gajah. Lalu meningkatnya kebutuhan akan ruang untuk pembangunan wilayah permukiman dan perkebunan—yang menyebabkan seringnya konflik gajah dengan manusia, serta konsesi perkebunan yang tumpang tindih merupakan ancaman serius terhadap gajah sumatra.

Belum cukup sampai di situ. Perburuan liar kerap menempati daftar teratas kasus kematian berat gajah sumatra. Kepala Balai Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Sumatra, Eduward Hutapea, seperti dikutip dari Kompas.id (30/03/2021) saat menggagalkan perdagangan sepasang gading gajah di Kabupaten Bungo, Jambi, menyebut gading sebagai komoditas ekonomi tertinggi yang bisa diambil oleh pemburu dan pedagang ilegal. Harganya menyentuh setidaknya 60 juta rupiah untuk sepasang gading sepanjang 37—48 senti. 

Joni memberi kalkulasi angka lebih gamblang. Untuk sepasang gading dengan panjang sedikitnya dua meter—dari ujung ke pangkal—dari satu ekor gajah jantan dewasa, harga jualnya di pasar gelap senilai dua Fortuner atau tiga Innova Reborn. Akan tetapi, jelas nilai kerugian ekologisnya jauh lebih besar. Eduward mengestimasi kerugian ekologis sebesar 3,5 miliar rupiah setiap kematian seekor gajah. 

Bisa dibayangkan betapa menggiurkannya bisnis haram ini. Aksi-aksi perburuan liar yang terus berlangsung menunjukkan masih banyaknya permintaan kolektor atau orang-orang kaya yang tak tahu urat malu. Padahal jeratan hukum pidana berat sudah menanti sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Selain terdesak ancaman konversi lahan dan perburuan liar, gajah sumatra rentan terhadap penyakit Elephant endotheliotropic herpesvirus (EEHV). Virus ini berisiko tinggi terutama pada kelompok anak gajah berusia 1 sampai 10 tahun. Sebelum kelahiran Christopher (9), Albertina (8), Carlos (2), dan Boni (2), sudah ada tiga anak gajah yang lahir di Tangkahan lalu akhirnya mati karena terinfeksi EEHV. Mengutip dari Save Our Forest Giants, ketiga anak gajah itu adalah Tangka (September 2009—April 2011), Namo (Desember 2010—April 2012), dan Amelia (Februari 2012—April 2015).

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Joni menunjukkan foto dirinya bersama Eropa yang baru lahir pada September 2015. Foto ini masih tersimpan di galeri ponselnya/Mauren Fitri

Kasus terbaru tahun ini dialami Eropa (8), anak gajah adopsi delegasi Uni Eropa. Akhir April, Eropa mati setelah 20 hari dirawat intensif. Ia lumpuh karena terperosok ke celah batang pohon dekat blok kandang rusa di area Resor Tangkahan. Insiden tersebut diduga akibat disorientasi jalur. Keterbatasan gerak anak gajah dari induk betina Olive itu disebabkan virus EEHV yang pernah menginfeksinya saat bayi.

Sampai sekarang para pegiat konservasi gajah masih resah, karena belum ada obat khusus untuk memerangi EEHV pada gajah. Christopher Stremme, salah satu narasumber utama di Save Our Forest Giants, mengungkapkan kekhawatirannya. Menurut Stremme, sampai saat ini belum ada vaksin khusus untuk menangkal virus tersebut. Belum tercatat keberhasilan mengisolasi virus karena kendala pendanaan laboratorium. Virus pada gajah dianggap tidak memiliki nilai komersial bagi perusahaan-perusahaan farmasi, bahkan kelas internasional sekalipun.

Kasus EEHV tidak hanya menjangkit gajah-gajah yang ada di penangkaran maupun pusat latihan satwa. Berdasarkan hasil riset Drh. Diah Esti Anggraini dan Drh. Dedi Candra yang ditulis di situs resmi Taman Nasional Way Kambas (06/05/2017), yang menjabarkan analisis kematian empat ekor anak gajah—semuanya di bawah sembilan tahun—di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Way Kambas, gajah liar pun berpotensi tertular. Penyebabnya tidak ada barrier atau pembatas antara tempat penangkaran dengan habitat alami gajah. Ini tentu meresahkan karena EEHV dapat mencapai tingkat kematian 80—90% sejak gejala klinisnya diketahui—itu pun sudah stadium akut.

Begitu banyaknya rentetan bahaya yang mengintai kehidupan gajah sumatra—baik gajah liar maupun jinak. Padahal ibu gajah butuh 22 bulan untuk mengandung sampai melahirkan. Setelah lahir, perlu 8—10 tahun untuk bisa beranak lagi. Seorang mahout harus jeli memerhatikan tanda-tanda tersebut, karena—seperti halnya badak—setiap kelahiran bayi gajah adalah peristiwa yang patut dirayakan dengan sukacita.

Bisa dibayangkan tantangan dan kesulitan yang dihadapi, demi menjamin gajah tetap hidup aman dan terus bermain dengan nyaman di hutan.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Olive-Carlos (depan) dan Sari-Boni (belakang). Pasangan ibu dan anak gajah ini kompak merendam kaki di sungai sebelum dimandikan oleh mahout. Anak gajah selalu menempel dan bergantung pada induknya hingga usia 2-3 tahun/Mauren Fitri

Jalan keabadian

Saya jadi teringat film The Jungle Book rilisan Disney tahun 2016. Ada sebuah adegan yang menurut saya sangat berkesan. Pada suatu momen Mowgli (Neel Sethi) sedang berjalan bersama Bagheera, seekor macan kumbang (disuarakan Ben Kingsley) di dalam hutan. Tiba-tiba muncul kawanan gajah dewasa dan seekor anak gajah mendekat.

Melihat itu Bagheera lekas meminta Mowgli menundukkan kepala, “Bow your head.”

Why?” Mowgli bertanya alasannya. 

Show them respect. The elephant’s created this jungle. Where they’ve made furrows with their tusks the rivers around, where they blew with their trunks the leaves fell. They made all the belong, the mountains, the trees, the birds in the tree; but they did not make you. That is why you must go.”

Bagheera meminta Mowgli menunjukkan rasa hormat kepada kawanan gajah. Mamalia besar yang menciptakan hutan; tempat mereka menggali parit dengan gading untuk sumber air dari sungai-sungai di sekitarnya; tempat mereka mengambil makanan—daun, biji, buah—dengan belalai, lalu menyebarkannya ke tanah agar tumbuh kembali.

Gajah membuat segala makhluk hidup di hutan bergantung padanya. Tak terkecuali predator, seperti harimau atau macan sekalipun. Bahkan mungkin gajah adalah raja rimba sebenarnya.

Terlepas banyaknya penafsiran terhadap adegan tersebut, pesan yang disampaikan Bagheera tidak mengada-ada. Meskipun sekilas polah gajah tampak menggemaskan, perannya jauh lebih besar dari itu. Gajah seolah ditugaskan meniti jalan keabadian. Seumur hidup gajah digunakan untuk memastikan siklus ekosistem berjalan serasi. Lebih-lebih di tengah masifnya pendidihan global yang diderita bumi saat ini.

WildAid, lembaga nonprofit yang berfokus pada proteksi satwa dan habitat liar, mencatat peran krusial gajah untuk menghadapi perubahan iklim. Seekor gajah dapat meningkatkan penangkapan karbon di hutan hujan sekitar 9.500 ton per kilometer persegi. Angka ini hampir setara dengan jumlah karbon yang dihasilkan 2.000 mobil dalam satu tahun. 

Namun, fakta-fakta tersebut belum cukup mampu membuka mata semua orang. Gajah di seluruh dunia berpacu dengan waktu. Termasuk gajah sumatra. Manusia adalah ancaman nomor satu dan satu-satunya, yang bisa menghalalkan segala cara untuk melenyapkan gajah dari bumi pertiwi. Entah secara sengaja maupun tidak. Meracuni, membunuh untuk mengambil gadingnya, atau mempersempit ruang hidup dengan merambah hutan untuk perkebunan.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Joni Rahman (kiri) dan Theo dalam sesi wawancara dengan TelusuRI di pulau berbatu di pinggiran Sungai Batang Serangan/Mauren Fitri

“Paling sedih, ya, kenapa masyarakat tega [membunuh gajah]. [Walau] sebenarnya tidak mesti [hanya] gajah saja. Ke semua satwa itu, kalau orang membunuh tanpa alasan, saya sebenarnya tidak terima. Sedih juga, gitu,” ujar Joni. Lidahnya seperti tercekat.

Ia mengibaratkan anjing, yang dalam beberapa mazhab di agama Islam, akan najis bila terkena tubuh atau liurnya. Namun, bukan berarti ketentuan tersebut dijadikan alasan untuk memukul atau membunuh anjing. Apalagi tanpa sebab yang jelas. Terlebih gajah yang berstatus satwa dilindungi negara dan kritis.

Itu akan terjadi jika manusia tidak segera campur tangan. Mulai dari tingkat pemerintahan selaku pemangku kebijakan hingga level terbawah, harus melakukan intervensi besar-besaran. Segala kebijakan untuk gajah semestinya tidak berasas populisme semata, tetapi berdasarkan kajian kritis dan kepedulian pada masa depan anak cucu.

Akan tetapi, Joni dan rekan-rekan mahout bukan manusia super yang bisa memenangkan pertarungan setiap saat. Dengan rendah hati Joni menyebut, mahout bukanlah bintang film India yang akan mengantar cerita menuju akhir bahagia (happy ending).

Kenyataannya merekalah yang berdiri di garis terdepan pelestarian gajah sumatra dan hutan hujan Leuser. Mahout adalah orang-orang terpilih. Dedikasi dan pengabdian mahout amat penting untuk menjaga jejak gergasi rimba tetap dalam keabadian. Perlu dukungan lintas sektor, pemangku kawasan, masyarakat, penegak hukum, hingga pegiat ekowisata. 

Lihatlah keluarga besar itu. Agustin, Theo, Sari, Olive, dan Yuni; Christopher, Albertina, Carlos, dan Boni. Lekukan belalai yang lentur, sepasang kuping lebar yang suka dikibas-kibas, ekor mungil yang sering bergoyang, dan guratan kulit keras dengan bulu-bulu di atasnya terasa menggemaskan. Apalagi jika melihat lebih dalam bola matanya yang bulat. Terasa membius dan misterius.

Banyak alasan untuk mencintai gajah sumatra dan hutan Leuser. Banyak alasan untuk menghormati separuh hati mereka, para mahout yang setia. (*)


Foto sampul:
Yuni, gajah sumatra betina dewasa di Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan, Sumatra Utara/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-gajah-tangkahan-dan-belahan-jiwanya/feed/ 0 40386