taman nasional gunung merbabu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/taman-nasional-gunung-merbabu/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 01 Apr 2025 18:54:25 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 taman nasional gunung merbabu Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/taman-nasional-gunung-merbabu/ 32 32 135956295 Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2) https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-2/ https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-2/#respond Mon, 31 Mar 2025 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46485 Sesuai dugaan, tidak sedikit pendaki yang berangkat ke puncak lebih awal. Dari Pos 2, saya bisa melihat sorot headlamp menyemut di lereng curam berjalan dari arah Thekelan-Wekas yang mendekati puncak. Hampir pasti mereka bisa menikmati...

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
Pendaki mengular di punggungan jalur Thekelan dengan tujuan sama: menuju puncak tertinggi Gunung Merbabu/Rifqy Faiza Rahman

Sesuai dugaan, tidak sedikit pendaki yang berangkat ke puncak lebih awal. Dari Pos 2, saya bisa melihat sorot headlamp menyemut di lereng curam berjalan dari arah Thekelan-Wekas yang mendekati puncak. Hampir pasti mereka bisa menikmati matahari terbit dari puncak Merbabu. Sementara kami baru memulai langkah pukul 04.00.

Di depan dan belakang kami banyak rombongan pendaki. Tampaknya peserta open trip, yang tentu ketahanan fisik dan ritme langkahnya berbeda-beda. Beberapa kali kami harus bersabar menunggu antrean panjang yang meniti jalan setapak di antara cerukan batu, karena hanya bisa dilalui satu per satu.

Seperti kebiasaan kemarau bulan Agustus, angin berembus cukup kencang sepanjang subuh. Debu-debu beterbangan, bikin mata kelilipan. Vegetasi sangat terbuka, hanya perdu kering, cantigi, dan edelweiss yang hijaunya kontras dengan trek tanah dan batu-batu besar berselimut duli. Pos 3 Watu Kumpul (2.821 mdpl), yang berada di titik HM 33, kami tempuh sekitar 45 menit perjalanan dari Pos 2.

Tidak ada tempat lapang untuk beristirahat dengan lega di sini. Umumnya pendaki akan rehat sejenak di area datar HM 31. 

Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
Lampu perkotaan dan sesaat sebelum matahari terbit/Rifqy Faiza Rahman

Bertemu jalur klasik Thekelan

Waktu menunjukkan pukul lima tepat saat kami tiba di pertemuan jalur Wekas dan Thekelan. Tidak ada tanda yang istimewa di sini, hanya berupa petunjuk arah yang terikat pada ranting cantigi agar saat turun pendaki Wekas tidak kesasar dan bablas ke Thekelan. Pertemuan jalur ini berada di punggungan yang membujur dari Puncak Pemancar hingga Puncak Geger Sapi, lalu berakhir di tebing raksasa tempat empat puncak berada: Syarif, Ondo Rante, Kenteng Songo, dan Triangulasi.

Tugu perbatasan tiga kabupaten tidak jauh dari situ. Meski bentuknya masih kukuh, tetapi kondisinya cukup memprihatinkan karena mulai rompal dan sudah tercabut dari pondasinya. Lapisan semen yang merekat perlahan terkikis alam lewat badai angin dan hujan.

Dari arah utara, para pendaki jalur Thekelan berduyun-duyun menahan gigil untuk mencoba peruntungan ke puncak. Saya kemudian berinisiatif mengajak sebagian teman salat Subuh di Helipad saja, yang tempatnya relatif datar dan longgar untuk beribadah. Sesekali tercium bau menyengat dari kawah-kawah belerang Merbabu. Meski dorman dan tertidur sangat lama sejak letusan terakhir sebelum abad ke-18 silam, gunung ini masih memproduksi bongkahan belerang. Pertanda statusnya sebagai gunung berapi.

Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas
Tugu perbatasan kabupaten. Dipotret saat pendakian tektok Juli 2024/Rifqy Faiza Rahman

Hari mulai terang dan menghangat tatkala kami melanjutkan pendakian menuju Puncak Geger Sapi (3.002 mdpl). Semburat matahari pagi perlahan menampakkan diri. Selepas simpang pos mata air Thekelan, trek sempit dan terjal di antara cerukan batuan jadi tantangan yang menguji ketahanan lutut. Beberapa kali saya harus memegang akar cantigi atau bongkahan batu untuk membantu saya melangkah naik.

Dari atas Geger Sapi—secara harfiah berbentuk seperti punuk (geger) sapi—kami bisa melihat jalur klasik Thekelan yang legendaris. Pada saat-saat tertentu, punggungan panjang yang naik dan turun itu bak kerucut pipih yang mencuat menembus selaput kabut dan gulungan awan. Nun jauh di seberang, dari barat ke  timur, Gunung Sumbing, Sindoro, Andong, Telomoyo, dan Ungaran jadi penggembira sebagai latar belakang.

“Istirahat sebentar, Ko, nunggu yang lain,” pinta saya ke Lukas begitu kami tiba duluan di Geger Sapi. Kurniawan, Eko, dan Dio masih di bawah. Tempat ini tidak begitu luas, hanya seperti puncak punggungan yang kemudian berganti ke punggungan lain yang terus menanjak sampai puncak Merbabu.

Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
Pemandangan lebih jelas punggungan jalur Thekelan-Wekas dari Puncak Geger Sapi/Rifqy Faiza Rahman

Di persimpangan jalan

Sinar matahari kembali terhalang tebing di sisi timur ketika kami melanjutkan pendakian. Suasana jalur kembali teduh, debu-debu beterbangan akibat sapuan kaki pendaki. Tak jauh dari Geger Sapi, jalur bercabang menjadi dua, yang sama-sama berujung di persimpangan jalan dekat Ondo Rante. Sama-sama terjal dan melelahkan.

Di titik ini kami akhirnya sepakat untuk pergi ke Puncak Syarif saja, tidak perlu ke Kenteng Songo maupun Triangulasi. Untuk itu kami memilih jalur kiri karena lebih dekat dengan puncak yang dulunya dipercaya pernah jadi tempat bertapa Mbah Syarif, sesepuh dan tokoh spiritual dari sebuah kampung di lereng Merbabu.

Mendekati Puncak Syarif, saya bertemu dengan sejumlah pendaki yang berjalan di depan. Sebagian baru pertama mendaki Merbabu, atau sudah pernah tapi lewat jalur lain, bukan via Wekas atau Thekelan. Salah satu di antara mereka bertanya puncak-puncak yang mungkin bisa digapai sekali jalan.

“Yang di atas itu puncak apa, Mas?” Ia menunjuk arah tenggara, ke tempat yang akan kami tuju.

“Itu Puncak Syarif, Mas,” jawab saya. 

“Kalau yang disebut Seven Summits Merbabu itu mana saja, Mas?”

“Itu kalau lewat Thekelan, bisa dapat tujuh puncak, Mas. Mulai dari Puncak Watu Gubug, Puncak Pemancar, Puncak Geger Sapi, Puncak Syarif, Puncak Ondo Rante, Puncak Kenteng Songo, dan Puncak Triangulasi. Nah, Puncak Syarif di depan itu puncak keempat.” Ia dan temannya ternyata sama-sama naik dari Wekas. Mereka berencana akan menggapai semua puncak itu.

Satu tanjakan terakhir menyambut setibanya kami di persimpangan jalur Syarif–Ondo Rante. Trek yang kami lalui amat curam dan bikin bulu kuduk meremang karena berada di tepi jurang jurang, menuntut fokus selama melangkah dan memastikan kaki berpijak pada tanah atau batuan yang stabil.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)

Arti cukup di Puncak Syarif

Angka ‘06:45’ tertera di arloji digital saya ketika kami sampai di Puncak Syarif (3.137 mdpl). Gunung Merapi di selatan begitu gagah menjulang. Statusnya sebagai gunung berapi paling aktif di Indonesia ditunjukkan lewat kepulan asap yang keluar dari kawah, meninggalkan jejak serupa garis memanjang yang melayang di antara awan. Sejak 2018, pendakian ke puncak gunung yang disakralkan Keraton Yogyakarta itu sudah ditutup karena aktivitas vulkanis yang eksplosif dan masih berstatus Siaga selama hampir lima tahun terakhir.

Ternyata sudah cukup banyak pendaki yang tiba di Puncak Syarif, menunjukkan ragam ekspresi eksistensi lewat kamera ponsel. Mendadak rasa haru dan nostalgia menyeruak, mengingatkan saya pendakian pertama Merbabu lintas Thekelan–Selo pada April 2013. Sudah 12 tahun berlalu dan saya baru menginjakkan kaki lagi di puncak ini untuk kedua kalinya. Dulu jauh lebih sepi karena kami adalah rombongan satu-satunya yang melintas jalur waktu itu.

Sebuah tugu dengan desain dan kombinasi warna yang kurang enak dilihat, jenis tulisan serupa Comic Sans di Microsoft Word serta terlalu memakan tempat—seperti di Kenteng Songo dan Triangulasi—jadi pertanda keberadaan puncak tenggara Merbabu ini. Rasanya, plakat puncak jadul 12 tahun lalu masih lebih enak dipegang dan dipandang daripada tetenger fisik seperti sekarang, yang entah mengandung filosofi apa di balik pembuatannya.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2)

Kawasan Puncak Syarif lumayan luas. Setidaknya terdapat dua area datar terbuka yang bisa menampung beberapa tenda dome—walau memang sangat tidak disarankan mendirikan tenda di puncak. Masih lebih mudah menemukan rerumputan di sini daripada Kenteng Songo dan Triangulasi yang permukaan tanahnya sudah tertutup debu tebal saat musim kemarau.

Dari Puncak Syarif, saya bisa melihat para pendaki berbondong-bondong menuju puncak-puncak berikutnya. Terutama Kenteng Songo dan Triangulasi, yang jadi pertemuan jalur Thekelan-Wekas dengan Selo dan Suwanting. Meski hanya tinggal beberapa ratus meter dan kurang dari satu jam saja, membayangkan langkah ke sana sudah capek. Rasanya waktu kami lebih berharga untuk dimanfaatkan istirahat lebih lama di camp.

Saya kembali memastikan ke teman-teman. “Piye? Lanjut Kenteng Songo atau sudah cukup sampai Syarif saja?” 

Kurniawan menyahut, “Wis cukup, balik tenda saja.” Eko, Lukas, dan Dio setuju. Agar tercipta pengalaman baru, kami memilih turun lewat jalan pintas yang tembus mata air di bawah Helipad, lalu kembali menyusuri jalan yang sama menuju Pos 2 Wekas. 

Sepanjang perjalanan ke tenda, saya sudah membayangkan akan menyeduh kopi terlebih dahulu sebelum berkemas dan turun gunung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-2/feed/ 0 46485
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1) https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-1/ https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-1/#respond Mon, 31 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46483 Wekas ternyata jadi satu-satunya jalur pendakian resmi Merbabu yang belum pernah saya coba, sejak pertama mendaki gunung ini pada 2013 sampai dengan setidaknya pertengahan 2024 lalu. Sebelumnya saya lebih sering lewat Selo (Boyolali), Suwanting (Magelang),...

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
Gunung Merbabu dipotret dari wilayah Desa Batur, Getasan, Kabupaten Semarang/Rifqy Faiza Rahman

Wekas ternyata jadi satu-satunya jalur pendakian resmi Merbabu yang belum pernah saya coba, sejak pertama mendaki gunung ini pada 2013 sampai dengan setidaknya pertengahan 2024 lalu. Sebelumnya saya lebih sering lewat Selo (Boyolali), Suwanting (Magelang), atau Thekelan (Semarang). Meski masih satu kabupaten dengan Suwanting, tetapi Wekas berada di desa dan kecamatan berbeda. Suwanting terletak di Banyuroto, Kecamatan Sawangan, sedangkan Wekas berlokasi di Kenalan, Kecamatan Pakis.

Kesempatan pertama mendaki jalur Wekas datang pada pertengahan Juli 2024. Mulanya saya mencoba pendakian tektok (tanpa menginap), tetapi tidak sampai puncak. Saat itu saya bersama Eko, kawan karib seangkatan semasa kuliah di Malang, hanya menuntaskan perjalanan hingga mata air di jalur Thekelan, lalu balik turun. Baru pada 3–4 Agustus 2024 lalu saya mengulangi jalur ini dengan camping dua hari satu malam. Eko yang kini bekerja di Pemalang ikut lagi, ditambah teman-teman dari luar kota, yakni Lukas dan Dio (Surabaya) serta Kurniawan—kakak tingkat saya semasa kuliah dan kini bekerja di Tangerang.

Dari sekitar tiga basecamp milik warga yang ada di Wekas, saya memilih basecamp Pak Lasin. Rumah petani sayur yang juga berprofesi sebagai pemandu dan porter itu dekat dengan akses utama menuju pintu hutan Merbabu Pass, titik awal pendakian. Berbeda dengan perjalanan bersama Eko sebelumnya yang membawa motor, kali ini saya membawa mobil sewaan. Sebab, barang-barang untuk pendakian lebih banyak.

Rombongan prapendakian terbagi menjadi dua keberangkatan. Saya menjemput Kurniawan terlebih dahulu di Stasiun Yogyakarta, sedangkan Eko menyusul naik bus ke Salatiga untuk bertemu Lukas dan Dio di sana. Kami sepakat bermalam di basecamp sebelum pendakian keesokan paginya, agar persiapan lebih mudah dan tidak terburu-buru.

Tampak luar basecamp Pak Lasin di Wekas (kiri) dan kondisi bagian dalam rumah/Rifqy Faiza Rahman

Kehangatan di tengah dingin

Konsekuensi dari menyulap rumah menjadi basecamp adalah berbagi ruang antara keluarga dengan tamu. Di Wekas sebagian besar tamu adalah pendaki Merbabu, yang mungkin populasi hariannya melebihi jumlah populasi penduduk setempat. Menurut sistem reservasi daring taman nasional, Wekas dapat jatah kuota harian 294 pendaki. Lebih sedikit daripada Selo, Suwanting, dan Thekelan yang mengakomodasi 330–350 pendaki per hari.

Dalam catatan GPS saya, ketinggian rumah Pak Lasin mencapai 1.748 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebagaimana hunian perdesaan di kaki gunung, rumah Pak Lasin sangat sederhana tanpa banyak perabot. Ada tiga bagian di rumah ini, yaitu dua kamar pribadi, ruang tamu, dan pawon lawas beralas tanah—kamar mandi satu-satunya juga ada di sini. 

Di ruang tamu tak berkeramik itu, hanya plester semen, puluhan pendaki bisa beristirahat di atas tikar yang disediakan Pak Lasin. Kadang-kadang pendaki menambahkan alas matras atau sleeping pad agar hangat lalu tidur dengan sleeping bag, seperti yang saya lakukan. Selepas petang sampai subuh keesokan harinya, suhu di luar akan turun mendekati angka satu digit. Menusuk kulit, tetapi di dalam rumah hangat. 

Di rumah, istri Pak Lasin menyediakan makanan dan minuman untuk pendaki. Menunya antara lain nasi sayur (plus lauk telur), nasi goreng, mi goreng, dan mi rebus. Pilihan minumannya standar, seperti teh, kopi, dan air mineral biasa. Menu makanan yang sederhana itu semata pertimbangan kemudahan bahan saja, bukan karena tenaga yang terbatas. “Kalau bikin ramesan gitu repot nanti, Mas, karena harus bolak-balik ke pasar buat belanja bahan. Kalau sayur kan tinggal ambil di kebun, sementara beras, telur, dan mi bisa awet buat beberapa hari, jadi tidak harus setiap hari pergi ke pasar,” jelas ibu dua anak itu.

Ia biasa memasak di pawon jadul itu, mengandalkan kayu bakar sebagai sumber perapian, yang bisa jadi sumber kehangatan. Kehangatan yang juga muncul dari interaksi antarpendaki dengan keluarga Pak Lasin, 

Eko berfoto bersama Pak Lasin dan istri (kiri). Istri Pak Lasin sedang merebus air di pawon rumahnya. Foto ini diambil saat pendakian tektok bersama Eko pada Juli 2024 lalu/Rifqy Faiza Rahman

Jarak dan air, jaminan kenyamanan jalur Wekas

“Jalur Wekas itu jalur paling pendek dan cepat di Merbabu,” kata Pak Lasin. Ia menyebut kisaran angka 4–5 kilometer untuk total jarak dari basecamp ke Kenteng Songo dan Triangulasi, puncak tertinggi gunung ini.

Saya coba mengecek situs web taman nasional. Panjang jalur Wekas 4,86 kilometer. Benar kata Pak Lasin, lebih pendek dari Selo (5,63 km), Suwanting (5,68 km), dan Thekelan (6,1 km). Jalur Wekas akan bertemu dengan jalur Thekelan di percabangan batas tiga kabupaten: Magelang-Semarang-Boyolali (2.847 mdpl).

Selain soal jarak, Pak Lasin menyebut ketersediaan sumber air jadi kelebihan jalur Wekas. Letaknya di Pos 2 Kidang Kencana (2.480 mdpl), yang juga jadi tempat berkemah paling ideal di jalur ini. Kami tidak perlu repot-repot membawa banyak air dari basecamp, pun tidak perlu khawatir kehabisan bekal air selama pendakian. 

“Turun dari puncak bisa isi ulang air lagi di bawahnya Helipad itu,” jelas Pak Lasin. Helipad (2.898 mdpl) adalah salah satu pos datar yang sempit di punggungan jalur Thekelan-Wekas menuju puncak. Dinamakan Helipad karena bentuknya menyerupai landasan helikopter, hanya saja tidak ada huruf ‘H’ besar di permukaan tanahnya.

Tak jauh dari Helipad, ada satu cabang jalur menurun yang bisa jadi jalan tembus ke puncak atau sebaliknya, dan terdapat sumber air yang dialirkan dengan keran. Jaraknya kira-kira 5–10 menit perjalanan. Dari sumber ini pula tersambung pipa-pipa PVC yang lentur dan panjang, menyelimuti lereng-lereng curam, untuk memenuhi kebutuhan air jalur Suwanting.

Akan tetapi, lanjut Lasin, kenyamanan jalur Wekas tersebut acapkali kurang memikat pendaki, yang kebanyakan lebih memilih Selo atau Suwanting. Bukan tanpa sebab. Pendeknya jarak tempuh jelas membawa konsekuensi bahwa jalur akan lebih sering menanjak dan minim bonus—istilah untuk trek datar atau landai. Adanya penutupan untuk rehabilitasi kedua jalur itu beberapa waktu lalu rupanya membawa berkah. Jalur klasik Thekelan dan Wekas yang sebelumnya jarang dilirik mulai mendapat atensi seperti dahulu kala.

“Kalau pendaki lawas dulu, ya, tahunya naik Merbabu lewat Thekelan atau Wekas, Mas,” kata Pak Lasin. Kedua jalur tersebut sama-sama bisa diakses dari jalan raya Magelang–Salatiga, dekat kawasan wisata Kopeng.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)

Ujian kesabaran hingga HM 19

Pendakian pada Sabtu pagi (3/8/2024) kami mulai pada pukul 08.30 setelah sarapan nasi sayur dan lauk telur yang dibuat istri Pak Lasin. Kami juga memesan masing-masing seporsi nasi telur untuk makan siang di camp Pos 2 Wekas nantinya. Tukang ojek dengan tarif Rp15.000 sekali jalan yang kami pesan untuk mengantar ke pintu hutan Merbabu Pass (1..858 mdpl) juga sudah siap di depan basecamp.

Sejam sebelumnya, Eko turun ke Pos TPR (tempat pemungutan retribusi) yang terletak di tepi jalan kampung, untuk registrasi ulang SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) yang telah kami pegang lewat reservasi daring. Kami hanya perlu membayar biaya tambahan berupa retribusi kampung dan parkir. Banyak mobil rombongan pendaki yang parkir paralel di pinggir jalan. Sebab, kontur kampung cukup ekstrem dan sempit jika dipaksakan parkir dekat basecamp, kecuali sepeda motor yang bisa dititipkan di masing-masing basecamp.

Tampaknya pendakian hari itu akan ramai pendaki karena akhir pekan. Pak Lasin pun ikut naik, ia dan tetangga dusunnya disewa sebagai porter dan pemandu oleh satu rombongan pendaki asal Jakarta. “Alhamdulillah hari ini full (kuota), Mas.”

Untuk itulah kami berangkat lebih awal, sebelum jalur terlalu sesak pendaki. Menggunakan ojek merupakan pilihan bijak untuk menghemat tenaga dan waktu, sekaligus memberi sedikit kontribusi pada roda perekonomian masyarakat.

Perjalanan dengan ojek ke Merbabu Pass dilanjutkan dengan jalan kaki. Sebuah plang putih sederhana memberi informasi yang menyambut pendaki memasuki kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Trek awal yang datar di 200 meter pertama sempat memberi kami napas lega, sebelum harus bersahabat dengan tanjakan yang nyaris tanpa putus sampai patok HM (hektometer) 19.

“Ya, normalnya paling 3–4 jam sudah sampai Mas di Pos 2,” Pak Lasin memberi info waktu tempuh pendakian. Ketika saya dan Eko mendaki tektok bulan sebelumnya, kami butuh dua jam berjalan santai dari Merbabu Pass sampai Pos 2. Dengan beban bawaan yang lebih banyak, kami berasumsi akan sampai di Pos 2 dua kali lebih lama dari durasi tektok.

  • Ingin Mendaki Gunung Merbabu dari Magelang? Cobalah via Jalur Suwanting dan Wekas
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)

Rasanya, energi dari asupan sarapan pagi mulai menguap seiring kemiringan tanjakan jalur Wekas. Berdasarkan pengalaman tektok sebelumnya, satu kilometer pertama sampai Pos 1 Tegal Arum (2.117 mdpl) baru bisa dianggap pemanasan. Dua pos bayangan tanpa selter, Simpang Genikan (1.956 mdpl) dan Pos Bayangan 1 (2.078 mdpl), kurang representatif sebagai tempat istirahat sehingga kami sedikit memacu tenaga agar bisa mengatur napas lebih lama di selter Pos 1 yang berupa gazebo kayu. Pendakian menuju Pos 1 memerlukan waktu sekitar 50–60 menit. 

Tutupan hutan jalur Wekas sedang-sedang saja. Vegetasi yang tumbuh di jalur punggungan yang dilalui pipa air itu didominasi cemara gunung, mlanding (sejenis lamtoro), dan tanaman perdu. Jika beruntung, akan terlihat kawanan Macaca fascicularis alias monyet yang bergelantungan di dahan-dahan dan relatif jinak, tidak seagresif di Rinjani, Butak, atau hutan Baluran.

Setelah dirasa cukup, kami melanjutkan pendakian menuju camp Pos 2. Di sinilah ujian kesabaran sesungguhnya, baik fisik dan mental. Selepas HM 11 sampai HM 19 adalah fase terberat jalur ini. Kaki harus diangkat tinggi-tinggi melebihi lutut. Untuk menguji diri, Dio meminta bertukar tas. Ia ingin merasakan carrier 65 liter milik saya yang berisi tenda kapasitas empat orang, alat masak, dan sejumlah logistik lainnya. Sementara saya memakai tas Dio yang bobotnya relatif lebih ringan.

Hari kian beranjak siang. Langkah kian tertatih. Dio sempat terlihat kepayahan ketika mencapai ujung tanjakan HM 19, tapi menolak menyerah. Tanggung, katanya. Ia benar. Vegetasi sudah terbuka. Hanya perlu 600 meter lagi sampai ke HM 25, tempat Pos 2 berada. Di sisi kiri terpisah jurang, tampak punggungan jalur Thekelan yang berujung pada Puncak Pemancar. Bekas menara radio tentara itu ambruk tak bersisa akibat badai besar musim hujan lalu.

Ritme langkah kami mendadak cepat seiring melandainya jalan setapak berdebu. Pos idaman jalur ini telah menyambut di depan mata. Lukas dan Kurniawan sudah tiba lebih awal setengah jam yang lalu. Mereka ‘mengkaveling’ sepetak tanah yang muat untuk dua tenda dome kami. Hanya sepelemparan batu dengan gazebo kayu dan keran sumber air. Kami akan bermalam di sini.

Gazebo sederhana di area camping ground Pos 2 Wekas (kiri) dan kumpulan tenda rombongan pendaki peserta open trip/Rifqy Faiza Rahman

Menyongsong senja, merayakan malam

Sebelum berangkat mendaki, aplikasi radar cuaca memprakirakan dua hari ke depan akan cenderung cerah. Mungkin hampir niscaya karena Agustus hingga September terbiasa jadi puncak musim kemarau, yang identik dengan debu dan angin kencang.

Walaupun potensi turunnya hujan itu tetap ada. Jika itu terjadi, BMKG kerap menyebutnya sebagai ‘campur tangan’ fenomena global, yakni gelombang Kelvin dan Rossby Ekuator, yang berperan dalam sistem curah hujan tropis dan memicu gelombang iklim berskala besar Osilasi Madden-Julian (MJO). Fenomena-fenomena ini mungkin tidak akan tampak secara tersurat di langit beberapa daerah dan dampak yang timbul setelahnya. Namun, setidaknya dalam pendakian kami hari itu, cuaca yang bersahabat berpeluang lebih besar terjadi daripada cuaca buruk. Di Gunung Merbabu, alam memiliki kemungkinan besar menghadirkan senja dan pagi dengan raut khas yang semestinya.

Ada satu alasan lagi yang membuat saya memilih tanggal pendakian di hari ini. Sebagai penikmat fotografi, saya tidak ingin melewatkan kesempatan memotret milky way saat malam tiba. Fenomena malam menakjubkan ini hanya akan mudah terlihat saat tanggal-tanggal fase bulan baru (new moon), atau saya biasa menyebutnya fase bulan mati—bisa dicek lewat aplikasi kalender bulan semacam Lunar Phase atau sejenisnya. Sebab, langit akan lebih bersih tanpa polusi cahaya dari hari-hari ketika bulan bersinar terang benderang. Gunung yang tinggi dan minim gangguan cahaya buatan jadi salah satu prasyarat wajib untuk merekam miliaran bintang dan sistem tata surya dalam galaksi spiral Bimasakti lewat lensa kamera.

  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)
  • Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1)

Usai perburuan foto senja dan gemintang, saya kembali ke tenda. Pembicaraan sebelum makan malam tadi masih menggantung di antara kami, lalu saya pastikan lagi, “Gimana, besok jadi muncak?”

Tarik ulur rencana ke puncak itu karena ada sebagian dari kami yang masih merasa lelah setelah dihajar tanjakan jalur Wekas. Mulanya sempat merasa cukup dengan berada di Pos 2 ini, tetapi semua akhirnya sepakat. Kami berencana berangkat agak santai, sekitar pukul empat pagi. Kami tidak akan tergesa mengejar matahari terbit di puncak, tidak akan berambisi pula untuk menggapai seluruh puncak tertinggi.

“Mau sampai Puncak Kenteng Songo atau cukup di Puncak Syarif saja?” saya tanya ulang.

Opo jare sesok ae, wis,” kata Eko dan Kurniawan serempak, lalu mengajak saya segera beristirahat. Bagaimana kelanjutan perjalanan kami, tergantung apa kata alam besok pagi.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Jalur Tercepat Merbabu (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-jalur-tercepat-merbabu-1/feed/ 0 46483
Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (2) https://telusuri.id/mendaki-gunung-merbabu-via-suwanting-harapan-selepas-hujan-2/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-merbabu-via-suwanting-harapan-selepas-hujan-2/#respond Sat, 13 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38640 Salah satu hal terberat saat mendaki gunung adalah bangun tengah malam untuk berangkat ke puncak. Tantangannya tidak hanya kantuk, tetapi juga suhu dingin yang biasanya mencapai titik terendah sebelum fajar. Apalagi jika jarak dari tempat...

The post Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Salah satu hal terberat saat mendaki gunung adalah bangun tengah malam untuk berangkat ke puncak. Tantangannya tidak hanya kantuk, tetapi juga suhu dingin yang biasanya mencapai titik terendah sebelum fajar. Apalagi jika jarak dari tempat camp ke puncak masih cukup jauh, sehingga harus kuat membuka mata lebih awal.

Kondisi tersebut umum dilakukan di gunung mana pun dengan program pendakian 2 hari 1 malam. Termasuk pendakian Gunung Merbabu via Suwanting. Terlepas kebijakan pembatasan durasi pendakian dari taman nasional, durasi tersebut sudah sangat cukup untuk mengunjungi gunung yang bertetangga dengan Merapi itu.

Untungnya kami hanya tinggal menempuh 1,5 kilometer lagi menuju dua puncak tertinggi yang terletak berdekatan, yaitu Triangulasi dan Kenteng Songo. Naik sekitar 400 meter vertikal untuk mencapai ketinggian hampir 3.145 mdpl. Secara teori, butuh waktu paling cepat 1-1,5 jam perjalanan.

“Kadang-kadang bisa lebih dari 2 jam, karena keasyikan foto-foto di sabana,” kelakar Pak Ambon saat briefing kemarin. 

Pak Ambon mungkin benar. Pemandangan sabana khas jalur Suwanting bisa jadi jauh lebih memikat ketimbang puncaknya. Seperti halnya Ranu Kumbolo di Gunung Semeru, atau danau Segara Anak di Gunung Rinjani. 

Saya sendiri yakin kami pun tidak akan lama berselebrasi di titik tertinggi—kalau memang sampai puncak. Kedua puncak tersebut merupakan pertemuan semua jalur resmi Merbabu, yakni Suwanting, Selo, Tekhelan atau Wekas (dua jalur ini bertemu di pos Helipad). Akhir pekan jelas menjadi masa berkerumun manusia, yang kebanyakan memiliki tujuan sama: foto dengan plang, plakat, atau tugu penanda puncak. Suasana yang tidak ingin kami nikmati berlama-lama.

Pohon edelweis dan bulan di langit menemani pendakian menuju puncak Merbabu
Pohon edelweis dan bulan di langit menemani pendakian menuju puncak Merbabu/Rifqy Faiza Rahman

Menunda Lelah

Adanya potensi hujan seperti hari pertama membuat kami membulatkan tekad untuk berangkat ke puncak sesegera mungkin. Kaus kaki dan sepatu jelas belum kering. Alas kaki yang masih basah sebenarnya membuat berjalan kurang nyaman. Namun, kami tak ambil pusing. Toh, kemarin juga basah-basahan saat mendaki sampai bagian dalam sepatu kebanjiran.

Secangkir teh hangat, dua biji kurma, dan sepotong roti tawar saya lahap untuk menghangatkan tubuh. Teman satu tenda, Evelyne dan Rivai, melakukan hal serupa. Hanya beda di jenis minumannya saja. 

“Mas Bagus, aman? Jadi ke puncak?” tanya saya setengah teriak ke tenda sebelah, tempat kawan asal Jepara itu tidur sendirian semalam.

“Aman!” sahutnya.

Saya melongok ke langit melalui pintu tenda. Masih terlihat jejak bulan dan bintang-bintang berjarak yang bersanding awan kelabu tipis. Namun, cahayanya kalah terang dengan lampu-lampu artifisial buatan operator wisata di “kampung” tenda sebelah. Meriah sekali, seperti bumi perkemahan Sabtu-Minggu. 

Pertanda baik, pikir saya, karena semalam sempat hujan sebentar saat kami tidur. Walaupun begitu tidur saya dan teman-teman tidak terlalu nyenyak, karena sampai jelang tengah malam pun masih banyak pendaki yang baru tiba di Pos 3. Jelang subuh seperti ini, atau setidaknya menunggu agak terang, mereka juga pergi ke puncak. Saya tidak bisa membayangkan akan selelah apa yang mereka rasakan. Istirahatnya hanya sebentar.

Sementara kami saja masih terasa pegal di sekujur tubuh. Saya berharap dengan mencoba terus berjalan rasa capek tidak akan begitu terasa. Atau setidaknya tertunda sejenak. Kondisi seperti ini mungkin dialami juga oleh pendaki-pendaki lain saat itu, yang bersama-sama mencoba berjuang menggapai puncak tertinggi. 

Perjuangan para pendaki meniti tanjakan di tengah sabana menuju puncak Gunung Merbabu, dengan latar belakang Gunung Merapi
Perjuangan para pendaki meniti tanjakan di tengah sabana menuju puncak Gunung Merbabu, dengan latar belakang Gunung Merapi/Rifqy Faiza Rahman

Yang Kami Lihat di Sabana

Cahaya lampu senter maupun alat penerang lainnya menyemut di jalan setapak yang membelah sabana Merbabu. Dari kejauhan seperti kunang-kunang yang terbang vertikal secara perlahan. Setiap pendaki silih berganti saling mendahului dan bertegur sapa. Memberi semangat satu sama lain. Bahu-membahu mendorong yang kepayahan, menarik yang lelah. Seperti inilah sisi positif dari pendakian di gunung, yang saya harapkan juga berlaku tatkala sedang mengalami kesulitan di hutan.

Sebelum puncak, terdapat tiga kawasan sabana yang harus kami lewati. Setelah berjalan hampir setengah jam sampai ke Sabana 1 (2.828 mdpl), saya merasa treknya ternyata tidak terjal-terjal amat. Mungkin karena saya tidak membawa beban berat seperti pendakian lintas jalur Suwanting-Selo lima tahun lalu. Selain itu matahari belum muncul, sehingga tidak terasa terik.

Sepanjang jalur, tidak banyak aktivitas yang kami lakukan selain terus berjalan. Foto-foto pun seperlunya. Saya bukan orang yang mudah kalap dalam membuat konten, ketika melihat pemandangan bagus. 

Namun, saya akui lukisan fajar pagi itu membuat saya tertegun. Terutama setelah melewati Sabana 2 (2.915 mdpl) dan berhenti agak lama di Sabana 3 (2.984 mdpl). Kurang lebih satu jam perjalanan dari tenda kami. 

  • Mbak Evelyne menikmati pemandangan di sabana Gunung Merbabu jalur Suwanting. Terlihat Gunung Andong dan Telomoyo di kejauhan
  • Beberapa pendaki mengabadikan Gunung Merapi dalam perjalanan mereka ke puncak Merbabu

Saya mengedarkan pandangan hampir 360 derajat. Selain sisa tanjakan ke arah puncak Suwanting (3.105 mdpl) dan dua dataran tertinggi Merbabu, sajian alam memberikan pengalaman tak terlupakan. Tiba-tiba, ingatan soal pendakian bersusah payah menerjang hujan kemarin untuk sesaat sirna. Seketika pula saya mampu melupakan rasa lelah. 

“Itu kelihatan Sindoro dan Sumbing juga, Mbak,” ucap saya kepada Mbak Evelyne sambil menunjuk ke arah barat. Gunung Sumbing punya memori yang lekat dengan kami, karena sempat mendaki via jalur Banaran akhir tahun lalu bersama adik ipar saya dan temannya.

Kabut tipis menutup bagian tubuh gunung ke bawah. Gunung-gunung kecil seperti Andong dan Telomoyo seperti melayang. Adapun atraksi utama yang tetap banyak dipotret adalah si tetangga, Gunung Merapi. Sejenak saya berpikir, makin kita berada di ketinggian, sudut pandang menjadi lebih luas dan menarik.

Sepertinya memang benar jika kita bisa melihat bumi dari kacamata burung. Terbang ke mana pun sesuka hati. Pagi itu, tak banyak burung yang kami lihat. Hanya purwarupanya saja, yaitu sekawanan drone yang diterbangkan pemiliknya.

  • Situs bersejarah di puncak Kenteng Songo, Gunung Merbabu. Adapun puncak triangulasi berada di bukit seberang dari tempat ini
  • Menara pemancar seluler di salah satu puncak bukit di punggungan jalur pendakian Merbabu via Thekelan atau Cuntel

Puncak Seperlunya, Pulang Secepatnya

Dua jam perjalanan adalah waktu yang kami catat untuk tiba di puncak Triangulasi dan Kenteng Songo. Masing-masing hanya berjarak 100 meter dengan kontur relatif landai. Seperti yang saya duga, tugu jumbo bertuliskan nama dan ketinggian puncak itu seperti benda keramat yang wajib masuk dalam memori kamera. Adapun kami hanya tertarik untuk mengabadikan diri secara bersama-sama dalam satu atau dua bingkai foto.

Kami berempat sepakat untuk tidak berlama-lama di puncak. Selain ingin lebih menikmati sabana, kami juga mengejar waktu agar tidak terlalu sore tiba di basecamp. Kami berencana meninggalkan Pos 3 Dampo Awang sekitar pukul 10.00 WIB.

Saya teringat pagi sebelum berangkat naik ojek ke pintu hutan kemarin. Waktu itu cuaca hampir secerah hari ini, tetapi siang sampai sore terjadi dua kali hujan deras. Jika hujan jatuh lagi di tengah perjalanan, jalur akan semakin sulit dilewati dan memakan waktu lebih lama untuk turun.

Sejumlah pendaki turun menuju tenda mereka di Pos 3 Dampo Awang, yang ramai saat akhir pekan
Sejumlah pendaki turun menuju tenda mereka di Pos 3 Dampo Awang, yang ramai saat akhir pekan/Rifqy Faiza Rahman

Meskipun manusia hanya berencana, saya tak kapok menitipkan harapan agar alam bermurah hati hari ini. Sepanjang perjalanan kembali ke tenda, kemudian berkemas dan  lanjut turun ke dusun, tidak terhitung berapa kali saya harus menengadah ke langit. Merapalkan doa seperti semalam, agar Tuhan “memasukkan” hujan ke jadwal cuti.

Harapan itu semakin kencang saya genggam dalam pikiran, tatkala mendung dan kabut sempat menyelimuti lembah-lembah di sepanjang punggungan jalur Suwanting. Kepasrahan semakin lekat ketika perut mulai keroncongan dan langkah kian gontai selepas Pos 2 Bendera. 

Namun, sampai kami bertemu pintu hutan dan tiba di rumah Pak Ambon pukul 15.30, tak ada setetes pun air langit yang membasahi tanah. Hujan baru benar-benar turun teramat deras ketika saya sudah jauh dari kawasan gunung, tepatnya dalam perjalanan pulang ke rumah. 

Entah, mungkin doa saya semalam terkabul. Atau, harapan-harapan baik dari pendaki lain selepas hujan kemarin.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-merbabu-via-suwanting-harapan-selepas-hujan-2/feed/ 0 38640
Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (1) https://telusuri.id/mendaki-gunung-merbabu-via-suwanting-harapan-selepas-hujan-1/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-merbabu-via-suwanting-harapan-selepas-hujan-1/#respond Fri, 12 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38623 Kata banyak orang, jalur pendakian Gunung Merbabu via Suwanting bikin sinting. Saat kemarau penuh debu, kalau hujan licin dan berlumpur. Menurut Hosea Mulyanto Nugroho alias Pak Ambon, pemandu gunung profesional dan pemilik operator tur Ambon...

The post Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kata banyak orang, jalur pendakian Gunung Merbabu via Suwanting bikin sinting. Saat kemarau penuh debu, kalau hujan licin dan berlumpur. Menurut Hosea Mulyanto Nugroho alias Pak Ambon, pemandu gunung profesional dan pemilik operator tur Ambon Adventure, ujian terberat di jalur ini adalah antara Pos 2 Bendera ke Pos 3 Dampo Awang. Faktor penyebabnya adalah akumulasi jarak yang agak panjang, elevasi makin tajam, dan kelelahan.

Namun, meminjam istilah “kapok lombok”, jalur yang terletak di Dusun Suwanting, Desa Banyuroto, Sawangan, Magelang itu tetap diserbu banyak orang. Rasa jera para pendaki hanya sesaat, karena tiba-tiba kangen ingin balik lagi di lain waktu. 

Di antara sekian alasan mengapa banyak orang meminati Suwanting, Pak Ambon mengucap satu di antaranya, “Nilai plus jalur ini adalah sabananya. Kadang-kadang pendaki malas melanjutkan perjalanan ke puncak, karena kadung ‘mager’ di tengah-tengah padang rumput hijau.”

Rata-rata pendaki yang pernah mampir di rumah Pak Ambon—berada di ketinggian sekitar 1.400 mdpl—untuk meminta arahan, mengaminkan pernyataan pria kelahiran Semarang itu. Saya pun demikian.

Rumah Pak Ambon sekaligus Basecamp Ambon Adventure di Dusun Suwanting, Banyuroto, Magelang
Rumah Pak Ambon sekaligus Basecamp Ambon Adventure di Dusun Suwanting, Banyuroto, Magelang/Rifqy Faiza Rahman

Wejangan tentang Hujan

Cuaca yang cukup cerah pagi itu (18/3/2023) nyaris membuat saya jemawa. Langit membiru dengan awan-awan putih tipis. Sinar matahari sudah mulai menyengat kulit. Satu-satunya hal yang kontras dan kasatmata hanyalah kabut yang menyelimuti pucuk-pucuk pinus di pintu hutan.

Sesaat saya tersadar. Keberadaan kabut bisa berarti dua: tetap cerah atau akan turun hujan. Pak Ambon tadi sudah menginformasikan cuaca terkini ketika briefing. 

“Nah, ini yang aneh. Sudah dua mingguan ini Suwanting cerah. Lha kok kemarin waktu turun gunung sama tamu sekitar jam 2 siang, dikasih hujan deras sampai basecamp,” tuturnya. 

Artinya, kami harus waspada. Jas hujan disiagakan di kantong tas yang mudah terjangkau dengan cepat. 

Selain wejangan-wejangan soal etika di gunung—di antaranya mengucap salam saat masuk Lembah Manding dan jangan kencing menghadap kiblat—Pak Ambon kembali mewanti-wanti soal potensi badai. “Kalau sampai terjadi badai, lebih baik turun. Jangan paksakan pendakian daripada membahayakan diri sendiri,” tegasnya.

Saya tetap menaruh harapan pada Merbabu. Tidak berekspektasi tinggi, tetapi semoga cuaca sesuram apa pun tetap bersahabat untuk dinikmati. Selicin apa pun tanah yang kami lewati, setidaknya masih dilewati secara perlahan. 

Saya dan teman-teman sudah sampai di tempat ini. Kami akan tahu dan merasakannya sendiri saat mendaki nanti.

Gapura kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, titik awal pendakian jalur Suwanting
Gapura kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, titik awal pendakian jalur Suwanting/Rifqy Faiza Rahman

Jalur yang Mengejutkan Banyak Orang

Pintu rimba (1.470 mdpl) sebagai gerbang masuk kawasan taman nasional berjarak sekitar 700-800 meter dari rumah Pak Ambon. Kami menjangkaunya kurang dari lima menit dengan naik ojek bertarif 10 ribu rupiah sekali jalan. 

Kuota harian jalur Suwanting, yang mencapai 400 orang penuh. Sebagian besar rombongan open trip dari operator wisata yang berbasis di Jakarta. Jumlahnya puluhan. Belum termasuk porter dan pemandu.

Adapun sisanya adalah kelompok-kelompok kecil yang kebanyakan berasal dari daerah sekitar Magelang, seperti tiga orang yang saya temui di kawasan Lembah Gosong (1.665 mdpl). Laki-laki semua. Dua di antara mereka sudah berpengalaman naik gunung, sementara satu orang lagi adalah pemula. Namun, ketiganya baru pertama kali ini mendaki jalur Suwanting. 

“Itu juga karena dipaksa sama temenku ini, Mas! Biasanya saya lewat Selo, Boyolali. Lebih bersahabat,” cetus pria bertopi yang berperawakan agak gemuk. Ia menunjuk sosok berkacamata di sampingnya. 

Yang punya ide pun membalas, “Enak, kok. Lebih cepat ke puncak. Sabananya juga lebih bagus. Dinikmati wae!”

Orang satunya lagi, yang debut mendaki dan kebagian membawa tenda, malah bertanya pada saya, “Jalurnya kayak begini terus, Mas? Kira-kira berapa jam nyampe ke Pos 3?”

Saya menengok layar GPS yang saya bawa. Waktu menunjukkan pukul 10.30 WIB. Kami sudah berjalan setengah jam dari Pos 1 Lembah Lempong (1.560 mdpl), yang hanya berjarak 200 meter dari gapura.

Berdasarkan informasi GPS, saya terangkan kepada mereka, “Jarak ke Pos 2 Bendera (2.168 mdpl) sekitar 1,5 kilometer lagi atau jalan normal paling lama dua jam. Dari situ ke pos air (2.665 mdpl) sekitar 1,1 kilometer atau 2,5 jam perjalanan, karena lebih terjal. Nah, dari sumber air ke Pos 3 Dampo Awang (2.740 mdpl) sudah dekat, hanya 200 meter atau 15 menit saja. Itu pun kalau gak hujan, Mas.”

Raut wajah si gemuk dan pembawa tenda tampak terkejut. Mereka melihat lagi jalan setapak tanah yang cukup liat. Hujan bisa membuatnya lebih berat dan menambah penderitaan.

Temannya yang berkacamata berusaha menenangkan hati dalam bahasa Jawa, “Pelan-pelan saja, dinikmati. Nanti ‘kan sampai juga di Pos 3.”

Lembah Gosong, pertemuan pertama saya dengan tiga pendaki asal Magelang
Lembah Gosong, pertemuan pertama saya dengan tiga pendaki asal Magelang/Rifqy Faiza Rahman

Ujian Terbesar Pendakian adalah Hujan

Selain Lembah Gosong, ada tiga kawasan lembah lagi yang harus kami lewati sebelum Pos 2: Lembah Cemoro, Lembah Ngrijan, Lembah Mitoh. Jarak antar kawasan atau pos sebenarnya mudah diperkirakan, karena ada patok-patok hektometer (HM) yang dipasang per 100 meter oleh taman nasional.

Sayangnya, tak sedikit yang angkanya terhapus karena faktor alami atau ulah tangan jahil. Bahkan ada satu-dua patok yang tumbang atau hilang entah ke mana. Maka secara berkala saya mengecek informasi di GPS. 

Selain berpatokan pada GPS, saya juga cukup banyak memotret untuk menyimpan informasi. Namun, tatkala kabut semakin merungkup tebal di Lembah Cemoro (1.790 mdpl), saya hentikan langkah dan segera mengamankan kamera dan tas selempang. Langit mencurahkan hujan tiba-tiba dan sangat deras. Saya dan kawan-kawan Magelang yang sedari tadi jalan beriringan lekas mengambil jas hujan dari dalam tas. 

Meskipun sudah diprediksi, terus terang turunnya hujan bukanlah menjadi harapan banyak orang. Selain basah, fokus dan tenaga yang dikeluarkan makin ekstra. Apalagi bagi tim yang membawa banyak orang, tentu harus saling menjaga satu sama lain.

Jalur yang tambah becek merupakan salah satu konsekuensi yang kami hadapi di saat-saat seperti ini. Imbas lainnya adalah lumpur akan melekat di sepatu, rain cover, tas, kaus kaki, tangan, bahkan sekujur tubuh kalau kami tak sengaja terpeleset dan terjatuh. 

Kendati demikian, saya patut bersyukur dengan keberadaan vegetasi sepanjang jalur. Meskipun ilalang dan tanaman semak masih dominan, cemara gunung dan mlanding (lamtoro) mencegah kami dari embusan angin kencang. Tanaman-tanaman tersebut sangat membantu menjadi pagar di tipikal jalur punggungan gunung, seperti Suwanting ini.

Ketabahan selama mendaki di bawah guyuran hujan, serta harapan agar mereda terjawab dua jam kemudian. Sekitar pukul 13.20, saya bersama Evelyne, Rivai, dan Bagus tiba di Pos 2 Bendera dengan cuaca kembali cerah. Tempat ini ternyata penuh dengan tenda-tenda para pendaki, yang rata-rata malas melanjutkan perjalanan ke Pos 3. Mereka biasanya akan muncak tanpa membawa beban berlebih pada tengah malam keesokan harinya.

Di sisi lain, permukiman-permukiman di lereng Merbabu terlihat kecil di kejauhan. Pemandangan tersebut menjadi hiburan saat kami mengeluarkan bekal nasi bungkus untuk makan siang. Kami saling mengingatkan untuk tetap membawa sampah selama pendakian.

Keramaian di Pos 2 Bendera setelah hujan reda. Kami istirahat sejenak di sini untuk makan siang
Keramaian di Pos 2 Bendera setelah hujan reda. Kami istirahat sejenak di sini untuk makan siang/Rifqy Faiza Rahman

Hujan di Lembah Manding

Saya kira hujan hanya tumpah sekali saja hari itu. Setidaknya di atas Pos 2 dan Lembah Manding yang siap menyambut di depan kami, awan kelabu itu telah tersibak. Kami lipat kembali jas hujan, tetapi tetap menaruhnya di bagian kepala tas. 

Tidak hanya rombongan open trip, tiga kawan dari Magelang juga melanjutkan perjalanan menuju Pos 3 Dampo Awang. Energi kembali pulih usai makan siang. Kami meninggalkan Pos 2 penuh optimisme. 

Namun, angan-angan hanyalah angan-angan. Baru sepuluh menit berjalan dan memasuki kawasan Lembah Manding (2.215 mdpl), halimun kembali menyergap dan sempat membatasi jarak pandang. Hujan deras yang kembali jatuh sejam kemudian cukup menghambat langkah, karena tanah semakin berlumpur dan licin. 

Padahal trek di kawasan inilah yang paling terjal di jalur Suwanting. Di beberapa tanjakan, sudut kemiringannya seolah-olah membuat lutut bertemu dagu. Tangan harus lincah memegang ranting, akar, atau bebatuan untuk menjaga keseimbangan. Tak heran tenaga semakin terkuras di sini. Hanya sisa-sisa napas dan mental saja yang bisa mengantar kami keluar dari Lembah Manding.

Di antara dua pilihan jalur yang tersedia, kami memilih ambil di sisi kanan (jalur baru) yang cenderung “bersahabat” meski agak memutar. Kata Pak Ambon, jalur lama yang mengarah lurus (sisi kiri) sudah rusak parah tergerus air, terlalu curam, licin, dan berisiko tinggi karena bersebelahan dengan jurang vertikal sedalam puluhan meter. Pantas saya melihat batang kayu melintang agar tidak ada yang melintas. Walaupun tetap saja ada segelintir pendaki nekat yang lewat sana.

Kedua jalur akan beberapa kali bertemu di satu titik sampai menyatu persis sebelum Pos Air (2.665 mdpl). Saya dan teman-teman tiba di sumber air satu-satunya jalur Suwanting itu sekitar pukul 17.00, setelah berjalan tiga jam dari Pos 2.

Mengejar Harapan Selepas Hujan

Melihat antrean panjang dan debit air yang kecil, saya mengurungkan niat mengisi penuh botol minuman dan jeriken lipat 10 liter yang kami bawa. Air tersebut kami gunakan untuk keperluan memasak, minum, dan bekal turun besok pagi. 

“Kita isi nanti malam saja, Mbak. Kalau pas sepi orang. Untuk masak malam ini, kita pakai sisa air yang ada dulu di botol Mas Rivai atau Mas Bagus,” kata saya kepada Mbak Evelyne. 

Saya mengajak Mbak Evelyn melanjutkan sisa langkah sejauh 200 meter menanjak ke Pos 3. Kira-kira 15-20 menit berjalan. Saya ingin lekas mendirikan tenda sebelum terlampau gelap. Kami berempat harus segera mengganti pakaian yang basah untuk mencegah hipotermia. Tubuh juga wajib diisi asupan hangat dan bergizi, usai berjuang menembus hujan di Lembah Manding.

Sebenarnya tidak hanya itu. Saya memiliki alasan-alasan lain yang muncul dari pengharapan selepas hujan.

Pemandangan penutup petang yang kami lihat setibanya di Pos 3 Dampo Awang
Pemandangan penutup petang yang kami lihat setibanya di Pos 3 Dampo Awang/Rifqy Faiza Rahman

Dalam benak saya, sepertinya hujan pun layak menjadi sumber harapan. Kami hanya harus bersabar melalui tamparan bulir-bulir airnya yang menusuk kulit selama beberapa saat. Saya mencoba merawat dan mengejar harapan itu dengan tiba di tempat berkemah sebelum petang benar-benar hilang. 

Memandang ke selatan, Gunung Merapi tampak tegar dengan asap kelabu yang keluar dari kawahnya. Sementara di barat cakrawala, kami menyempatkan diri bertegur sapa dengan langit kemerahan khas sore. Kerlip lampu permukiman dan perkotaan menyala serentak di kaki gunung. 

Bagi saya, kode-kode alam seperti itu berarti pertanda harapan serupa untuk esok hari. Soal puncak, matahari terbit, dan panorama khas pegunungan; semua itu adalah bonus. Doa saya untuk besok hanya satu, yaitu meminta Tuhan “meliburkan” hujan dari “tugas”-nya.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Merbabu via Suwanting: Harapan Selepas Hujan (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-merbabu-via-suwanting-harapan-selepas-hujan-1/feed/ 0 38623