Taman Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/taman/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 14 Jul 2022 04:52:27 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Taman Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/taman/ 32 32 135956295 Mencicip Es Cincau di Taman Asmaul Husna https://telusuri.id/mencicip-es-cincau-di-taman-asmaul-husna/ https://telusuri.id/mencicip-es-cincau-di-taman-asmaul-husna/#respond Sat, 09 Jul 2022 02:47:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34493 Sengatan sinar mentari yang sedang panas-panasnya membuat sejumlah pengendara sepeda motor dan mobil menepikan kendaraannya saat melintas di depan Taman Asmaul Husna, Cianjur, Rabu (1/6/2022) siang. Mereka kemudian memilih beristirahat di lapak para penjual cincau...

The post Mencicip Es Cincau di Taman Asmaul Husna appeared first on TelusuRI.

]]>
Sengatan sinar mentari yang sedang panas-panasnya membuat sejumlah pengendara sepeda motor dan mobil menepikan kendaraannya saat melintas di depan Taman Asmaul Husna, Cianjur, Rabu (1/6/2022) siang. Mereka kemudian memilih beristirahat di lapak para penjual cincau yang berjualan di sekitar Taman Asmaul Husna.

Cincau tampaknya telah identik atau menjadi trademark Taman Asmaul Husna. Di kawasan ini, berjejer puluhan penjual cincau, yang menggelar dagangannya menghadap langsung ke Jalan Raya Bandung-Cianjur. 

Penjual cincau
Penjual cincau/Djoko Subinarto

Siang itu, aku sedang berada dalam perjalanan dari Puncak, Cianjur, menuju Padalarang, Bandung Barat, dan memutuskan berhenti sejenak di Taman Asmaul Husna. Aku kemudian mendekati salah satu lapak penjual cincau yang ada di situ. Penjualnya seorang ibu berkerudung. Ia tengah menyiapkan pesanan cincau untuk lima orang yang baru saja turun dari sebuah mobil. Kelima penumpang itu lantas duduk lesehan di atas tikar di dalam lapak, menunggu pesanan cincau mereka dihidangkan.

Lapak penjual cincau
Lapak penjual cincau/Djoko Subinarto

Di seberang lapak itu, beberapa mobil dan sepeda motor terparkir. Pengendara dan penumpangnya juga duduk-duduk lesehan di dalam lapak-lapak penjual cincau. Begitu kelar membuatkan pesanan cincau untuk para penumpang mobil, aku segera minta pada ibu penjual cincau itu untuk membuatkan satu gelas buatku.

“Mau pakai es atau tidak?” tanyanya.

Kujawab, “Pakai. Tapi, sedikit.”

Aku duduk di dekatnya. Tak begitu lama, ia menyodorkan cincau pesananku. Namun, tidak langsung aku nikmati. Cincau itu aku taruh di atas tikar. Kubiarkan beberapa saat agar esnya lebih mencair serta air gulanya lebih meresap dan merata.

Ibu penjual cincau itu mengaku bahwa cincau buatannya sama sekali tanpa pengawet. “Karena tanpa pengawet, jadi terbatas kekenyalannya. Tidak bisa lama sampai berhari-hari. Paling bertahan sekitar 12 jam. Setelah itu, bakal encer lagi. Berubah jadi air,“ jelasnya, seraya menambahkan bahwa jika cincau tidak laku, dan telah lewat dari 12 jam, maka ia langsung membuang cincau itu.

Ibu itu berjualan cincau selama 24 jam nonstop. Ia bergiliran dengan suami dan salah seorang anaknya menunggui dagangannya. Si ibu hanya bertugas dari pukul 12.00 hingga sekitar pukul 20.00.

“Tadi, pagi-pagi, anak saya yang nunggu lapak.”

Ia membuat cincau sebanyak dua kali, pagi dan petang. ”Untuk jualan yang siang, bikinnya pagi hari. Untuk jualan yang malam, bikinnya sore hari, ” paparnya.

Daun cincau
Daun cincau/Djoko Subinarto

Daun cincau

Cincau yang biasa dikonsumsi dalam wujud gel atau agar-agar dari pengolahan daun cincau. Untuk membuat gel cincau, daun cincau perlu diblender kasar atau diremas-remas dalam air matang, sebelum kemudian ditiriskan hingga mengental.  

Secara umum, terdapat dua jenis tanaman cincau. Jenis pertama adalah cincau hitam (Platostoma palustre). Adapun jenis kedua yaitu cincau hijau (Cyclea barbata).  

Menurut ibu penjual cincau yang aku ajak berbincang siang itu, untuk membuat 20 gelas cincau dibutuhkan sekurangnya satu kilogram daun cincau. Daun-daun cincau itu ia dapatkan dari pemasok.

”Harganya Rp15.000 per kilo. Tapi, kalau pas musim kemarau, harganya naik jadi Rp25.000 per kilo,” sebutnya.

Ibu itu memilih membeli daun-daun cincau dari pemasok karena ia tak memiliki lahan untuk menanam pohon cincau. Ia telah dua belas tahun berjualan cincau di Taman Asmaul Husna.

“Sebelumnya mah berjualan di rumah,” katanya.

Selain cincau, di lapaknya, ia juga menyediakan minuman dan makanan ringan. Ada air mineral kemasan, teh botol, kopi saset, dan beberapa minuman kemasan lainnya, kacang atom, chiki ball, juga pop mie. Sementara itu, di sejumlah lapak lain, di samping cincau, aku juga melihat ada mie bakso dijajakan.

Kehadiran para penjual cincau membuat kawasan Taman Asmaul Husna tak pernah sepi. Para pengendara yang melaju dari Bandung menuju Cianjur, atau sebaliknya dari Cianjur menuju Bandung, kerap memanfaatkan lapak para penjual cincau ini untuk sekadar rehat, sambil tentu saja membasahi kerongkongan dengan cincau yang disajikan dengan parutan es plus cairan gula aren.

Taman Asmaul Husna sendiri membentang sekitar satu kilometer dan berada persis di kedua sisi Jalan Raya Bandung-Cianjur, tak jauh dari Jembatan Citarum, Rajamandala. Di taman ini, terdapat 14 panel tulisan kaligrafi, yang menghiasi dua sisi jalan. Taman Asmaul Husna disebut-sebut sebagai satu-satunya taman kaligrafi terbesar di Jawa Barat, bahkan di Indonesia. 

Kendaran di depan lapak cincau
Kendaran di depan lapak cincau/Djoko Subinarto

Tahun 2018 lalu, saat persiapan dan penyelenggaraan Asian Games, Pemkab Cianjur sempat melarang para penjual cincau berjualan di Taman Asmaul Husna. Tapi, kemudian, pada tahun 2019, mereka diperbolehkan kembali berjualan di taman ini.

“Dulu, memang sempat dilarang berjualan,” kata ibu penjual cincau, sambil membuatkan pesanan secangkir kopi instan untuk salah seorang pengendara sepeda motor. 

“Tapi, ke depannya mau dilarang lagi berjualan di sini. Denger-denger disuruh pindah nanti ke dalam rest area Haurwangi. Kalau saya sih, ngikutin apa kata pemerintah aja. Yang penting bisa tetep berjualan,” harapnya. 

Mentari mulai agak condong ke sisi barat. Sinarnya sudah tidak terlalu terik.

“Berapa, Bu?” tanyaku memastikan harga segelas cincau pesananku yang telah tandas kulahap.

“Lima ribu,” jawabnya.

Kusodorkan uang kertas lima ribuan, sembari mengucapkan terima kasih.

Dan aku segera melanjutkan perjalanan menuju Padalarang, Bandung Barat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencicip Es Cincau di Taman Asmaul Husna appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mencicip-es-cincau-di-taman-asmaul-husna/feed/ 0 34493
Taman Radio Bandung dan Kenangan Masa Kejayaan Musik Rekaman https://telusuri.id/taman-radio-bandung-dan-kenangan-masa-kejayaan-musik-rekaman/ https://telusuri.id/taman-radio-bandung-dan-kenangan-masa-kejayaan-musik-rekaman/#respond Wed, 29 Jun 2022 01:40:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34236 Keberadaan Taman Radio setidaknya hendak menegaskan Bandung, yang juga dijuluki Kota Kembang, sebagai Kota Radio.  Minggu pagi, pertengahan Januari 2022, jalanan di kawasan Dago, Bandung, terbilang masih lengang. Sejumlah pesepeda mengayuh sepeda perlahan, menuju ke...

The post Taman Radio Bandung dan Kenangan Masa Kejayaan Musik Rekaman appeared first on TelusuRI.

]]>
Keberadaan Taman Radio setidaknya hendak menegaskan Bandung, yang juga dijuluki Kota Kembang, sebagai Kota Radio. 

Minggu pagi, pertengahan Januari 2022, jalanan di kawasan Dago, Bandung, terbilang masih lengang. Sejumlah pesepeda mengayuh sepeda perlahan, menuju ke kawasan Dago atas. Sabtu dan Minggu, terutama di pagi hari, kawasan Dago menjadi salah satu arena para pesepeda. Ada yang cuma bersepeda tipis-tipis rute pendek dan diakhiri dengan kongko di sudut-sudut trotoar Dago yang teduh karena naungan pohon-pohon berdaun rimbun. Ada juga yang bersepeda agak jauhan ke daerah Tahura, bahkan tembus hingga kawasan Lembang.

Salah satu sudut kawasan Dago, Bandung/Djoko Subinarto

Di antara pesepeda yang melintas di kawasan Dago pagi itu, terlihat beberapa orang yang melakukan aktivitas joging maupun jalan-jalan santai. Tampak pula beberapa warga yang duduk-duduk di bangku khusus yang ada di trotoar, menikmati sejuknya udara pagi kawasan Dago. Seorang warga kulihat duduk santai menghadap ke arah Jalan Ir. H. Juanda. Adapun dua orang lainnya duduk menghadap ke arah Taman Radio.

Posisi Taman Radio mudah ditemukan. Ia berada di sisi kiri Jalan Ir. H. Juanda, jika kita melaju dari arah Dago bawah. Sisi selatan taman ini menghadap langsung ke Jalan Ranggamalela. Ke utara sedikit dari taman ini, sekitar 300 meteran, kita temui persimpangan Jalan Ir. H. Juanda dan Jalan Sulanjana, yang dulu memiliki bunderan di mana terdapat patung gajah yang ikonik di tengah-tengahnya. Namun, akhir tahun 80-an, bunderan dan patung gajah tersebut dibongkar, tak bersisa.

Boleh dibilang Taman Radio adalah taman radio  yang pertama ada di Indonesia, bahkan mungkin di Dunia. Taman ini diresmikan pada tanggal 19 Mei 2017. Walikota Bandung ketika itu masih dijabat oleh Ridwan Kamil, yang akrab disapa Kang Emil.

Penyiar sedang bertugas di sebuah stasiun radio/Djoko Subinarto

Acara peresmian taman ini diawali dengan pawai kendaraan outside brodcast atau OB van milik stasiun-stasiun radio yang ada di Bandung. Selain itu, juga dimeriahkan dengan parade penyiar dan pembawa acara yang tergabung dalam komunitas MC Bandung, serta hiburan dari radio anggota-anggota Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Jawa Barat. Peresmiannya sendiri dilakukan langsung oleh Kang Emil.

Taman Radio dibangun sebagai apresiasi terhadap media radio yang selama bertahun-tahun telah menjadi sarana edukasi dan juga hiburan bagi masyarakat, khususnya Bandung. Selain itu, boleh jadi pula pendirian taman ini merupakan sebuah penegasan bagi Bandung sebagai Kota Radio.

Sejarah mencatat bahwa di sekitar tahun 1920-an, di Bandung berdiri De Bandoengsche Radio Vereniging (BRV), yang disebut-sebut menjadi salah satu tonggak sejarah bagi perkembangan Radio Republik Indonesia (RRI). Siaran perdana BRV didengar oleh warga Bandung pada 8 Agustus 1926.

Pasca kemerdekaan, Bandung termasuk salah satu kota pelopor yang memunculkan  stasiun-stasiun radio yang dikelola oleh pihak swasta, yang kemudian dikenal sebagai stasiun radio siaran swasta nasional. 

Pada era emas siaran radio, Bandung bahkan menjadi kota yang memiliki stasiun radio di kanal FM terpadat di seluruh dunia, sehingga untuk beberapa waktu lamanya Kota Bandung menutup izin pendirian stasiun radio FM.

Sejumlah presenter televisi nasional maupun sejumlah pesohor tercatat mengawali karirnya sebagai penyiar radio di Bandung. Ridwan Kamil, yang kini menjadi Gubernur Jawa Barat, pernah pula nyambi sebagai penyiar radio di Bandung. Begitu juga Yana Mulyana, atau Kang Yana, yang kini menjadi Walikota Bandung, cukup akrab dengan dunia radio siaran. Sebelum menjadi Walikota Bandung, Kang Yana adalah salah satu petinggi sebuah stasiun radio di Bandung.

Jadi, agaknya memang tak berlebihan jika di Kota Bandung ada sebuah taman yang didedikasikan untuk radio dan diberi nama sebagai Taman Radio.

Gedung bekas Toko Aquarius/Djoko Subinarto

Musik rekaman

Dari depan Taman Radio, jika kita layangkan pandangan ke sisi timur laut, kita dapat melihat Jalan Sultan Tirtayasa, yang tidak terlalu lebar. Tak jauh dari mulut Jalan Sultan Tirtayasa ini, ada sebuah bangunan dua lantai yang dindingnya didominasi warna putih, menghadap ke arah barat. Bangunan ini kini menjadi kantor sebuah bank.

Dulu, bangunan tersebut adalah Toko Aquarius, toko yang khusus menjual musik rekaman dalam bentuk kaset dan compact disc (CD). Selain di Bandung, Aquarius dapat pula dijumpai di sejumlah kota. Saat industri rekaman sedang jaya-jayanya, Aquarius tak pernah sepi pengunjung. 

Aquarius boleh dibilang menjadi tempat ”pelepas dahaga” para pecinta musik dan kolektor musik. Musik rekaman terbaru maupun lawas, domestik maupun mancanegara, dari berbagai genre, dapat kita jumpai dan beli di Aquarius.

Namun, seiring dengan kemajuan teknologi digital, penjualan musik rekaman dalam wujud kaset dan CD semakin seret. Terus merugi, Aquarius pun akhirnya tak bisa lagi mempertahankan roda bisnisnya. Akhir tahun 2009, Toko Aquarius yang berada di Dago, Bandung, tutup. Aquarius yang ada di kota lain menyusul tutup pula kemudian.

Bagi para pecinta dan kolektor musik, Aquarius mungkin saja menjadi kenangan tersendiri dan terakhir ihwal kejayaan musik rekaman. Lantas, bagaimana dengan nasib radio, yang notabene lekat pula dengan musik rekaman?

Radio siaran hingga sekarang masih eksis. Stasiun-stasiun radio di sejumlah kota, termasuk di Kota Bandung, masih mengudara. Tapi, jujur saja, minat orang untuk mendengar siaran radio sudah tidak sebesar dulu.

Dengan kemajuan teknologi digital yang demikian dahsyat sekarang ini, orang memiliki banyak pilihan untuk mendapatkan informasi maupun hiburan, termasuk mendengarkan musik rekaman–yang dulu mungkin hanya bisa diakses lewat siaran dari stasiun radio atau dari kaset/CD yang kita dapatkan dari Aquarius atau gerai musik rekaman lainnya.

Mudah-mudahan saja nasib industri radio siaran tidak seburuk nasib Toko Aquarius, yang harus tutup untuk selama-lamanya.

Taman Radio dilihat dari arah depan/Djoko Subinarto

Keberadaan Taman Radio kiranya dapat menjadi pelecut tersendiri bagi insan-insan radio, khususnya di Kota Bandung, untuk lebih kreatif dalam berkarya, sehingga membuat khalayak tidak memutuskan cepat-cepat mengucapkan selamat tinggal untuk radio.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Taman Radio Bandung dan Kenangan Masa Kejayaan Musik Rekaman appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/taman-radio-bandung-dan-kenangan-masa-kejayaan-musik-rekaman/feed/ 0 34236
Mengenang Perjuangan Kemerdekaan di Taman Tegallega https://telusuri.id/mengenang-perjuangan-kemerdekaan-di-taman-tegallega/ https://telusuri.id/mengenang-perjuangan-kemerdekaan-di-taman-tegallega/#respond Fri, 15 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29790 Tak terasa PPKM Level 4 yang diterapkan di kotaku sudah berjalan sebulan. Sebenarnya tak ada agenda aku keluar rumah, terlebih hari itu jatuh di hari Minggu. Tapi tiba-tiba saja aku terpikir untuk mendatangi Taman Tegallega....

The post Mengenang Perjuangan Kemerdekaan di Taman Tegallega appeared first on TelusuRI.

]]>
Tak terasa PPKM Level 4 yang diterapkan di kotaku sudah berjalan sebulan. Sebenarnya tak ada agenda aku keluar rumah, terlebih hari itu jatuh di hari Minggu. Tapi tiba-tiba saja aku terpikir untuk mendatangi Taman Tegallega. Ide ini tiba-tiba saja muncul secara spontan. Kemudian aku berpikir, jangan-jangan taman itu ditutup dan masyarakat tak boleh masuk. Tetapi aku tetap memaksakan diri menuju ke sana. Biarlah walaupun ditutup mungkin aku bisa mengunjungi tempat lain. Semua itu kulakukan untuk membuang kejenuhan.

Dua masker aku kenakan sekaligus. Sebelum berangkat ke sana aku melihat Pak RT dan warga sedang memasang bendera merah putih di gang. Kemudian aku baru ingat kalau hari itu tanggal 1 Agustus 2021. Aku baru mengerti jika orang-orang mulai memasang bendera maka itu persiapan menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-76. Aku hanya bisa pamit dan tak bisa membantu mereka.

Gerbang Utama Taman Tegallega
Gerbang Utama Taman Tegallega/Deffy Ruspiyandy

Mengapa Taman Tegalega?

Sepertinya pikiranku terpengaruh dengan bendera merah putih yang berkibar di gang tadi. Di sini aku baru teringatkan jika ke taman tersebut, kita bisa mengenang tentang peristiwa pembakaran Kota Bandung. Orang mengenalnya dengan peristiwa Bandung Lautan Api yang terjadi 24 Maret 1946. Aku pun berdiri takjub kala melihat monumen yang berdiri kokoh itu. Terbayangkan saat itu betapa heroiknya semangat para pejuang.

Taman Tegalega merupakan sebuah taman kota, siapapun bisa datang ke sini. Tampak pohon-pohon rindang yang membuat suasana sejuk, kita bisa berteduh di bawah pohon tersebut. Tak hanya itu, tempat olahraga pun disediakan dan terdapat tempat khusus untuk anak-anak bermain. Fasilitas pendukungnya cukup banyak. 

Sekitar pukul 10.30 WIB aku tiba di Taman Tegallega. Pintu pertama ternyata tak dibuka dan aku masuk dari pintu samping. Aku beruntung sekali karena masih banyak pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar sini.

Prasasti Lagu Halo-Halo Bandung
Prasasti Lagu Halo-Halo Bandung/Deffy Ruspiyandy

Mataku kemudian tertuju kepada sebuah monumen yang berdiri kokoh yang tersorot oleh sinar matahari. Monumen Bandung Lautan Api. Mengingatkanku tentang peristiwa heroik TNI pejuang dan rakyat untuk melawan sekutu yang telah menduduki kota saat itu. Pengorbanan yang diperlihatkan TNI (TRI, saat itu) menjadi nilai tersendiri yang mestinya terpatri dalam setiap hati warga negara. Maka sesulit apapun kita tetap haruslah mampu berkorban pula untuk negeri dengan berbagai cara yang bisa dilakukan.  

Kulihat beberapa anak sedang bermain di dekat monumen, namun bisa jadi mereka tak sepenuhnya mengerti tentang makna berdirinya monumen ini. Kemudian aku melihat bait-bait lagu “Halo-Halo Bandung” yang tertulis pada sebuah prasasti di bawah monumen. Lagu yang diciptakan Ismail Marzuki itu adalah bukti penghargaan atas perjuangan yang telah dilakukan. Para pejuang rela mengorbankan nyawa demi kemerdekaan negeri ini. Karenanya, sejenak aku berdiam di sana terasakan suasana waktu itu, Kota Bandung dibakar bukan untuk merusaknya tetapi justru menjadi bentuk perlawanan kepada penjajah.

Tembok Bertuliskan Bandung Lautan Api
Tembok Bertuliskan Bandung Lautan Api/Deffy Ruspiyandy

Setelah itu aku menengok ke arah selatan, sebuah sudut yang menceritakan lebih detail peristiwa ini. Pada sebuah tembok tampak tergambar sosok-sosok yang menjadi peran utama dalam kisah heroik Bandung lautan Api. Mataku tertuju kepada gambar yang terlihat pertama kali. Sosok Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan, figur pejuang yang menjadi sentral perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah di Bandung. Gambar Mohammad Toha tergambarkan jelas dengan wajahnya, namun gambar Mohammad Ramdan yang kulihat saat itu berbentuk siluet. Mohammad Toha dan Mohammad ramdan adalah sosok heroik yang membom Gudang mesiu Belanda di Bandung Selatan. Keduanya dinyatakan gugur pada peristiwa tersebut. 

Tak hanya gambar mereka yang ada di sana, ada pula gambar Jenderal AH Nasution yang saat peristiwa bandung lautan Api menjadi Panglima Kodam Siliwangi. Kemudian ada pula foto Ir Soekarno dan tokoh perjuangan di Tatar Pasundan, Otto Iskandar Dinata yang dikenal “Si Jalak Harupat”.

Monumen Bandung Lautan Api
Monumen Bandung Lautan Api/Deffy Ruspiyandy

Lengkap sudah  aku melihat tentang sejarah pada monument, prasasti, dan juga tembok yang bergambar para pahlawan itu. Tembok yang dibuat untuk mengenang jasa-jasa para mereka, para pahlawan. Karena mereka, saat ini kita tak mengalami harus memanggul senjata untuk melawan penjajah.

Baru kali ini aku mampu mengenang cerita perjuangan yang terjadi tahun 1946 di Bandung dengan penuh hikmah. Karena datang ke Taman Tegallega, aku pun bisa sejenak merenung. Aku sadar, kemerdekaan tidak diraih dengan cara yang mudah tetapi melalui perjuangan keras yang mengorbankan darah, nyawa dan mungkin juga cinta.

Awal Agustus 2021 membuatku menjadi pribadi yang yang harus selalu mengingat sejarah perjuangan bangsa ini. Kendati mungkin masa PPKM ini akan tetap berlangsung pada bulan ini. Namun semua itu takkan menghalangi bangsa ini untuk merayakan HUT RI di tahun ini walaupun tanpa perayaan yang meriah.

Intinya, semangat perjuangan itu harus diwariskan kepada generasi muda agar tidak lupa sejarah dan memotivasi mereka untuk terus berjuang dalam kebaikan bagi negeri ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenang Perjuangan Kemerdekaan di Taman Tegallega appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenang-perjuangan-kemerdekaan-di-taman-tegallega/feed/ 0 29790
Taman Kartini, Taman Kota Cimahi Warisan Kolonial Belanda https://telusuri.id/taman-kartini-taman-kota-cimahi-warisan-belanda/ https://telusuri.id/taman-kartini-taman-kota-cimahi-warisan-belanda/#respond Sat, 17 Jul 2021 01:20:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28618 Kulangkahkan kakiku menyusuri jalan dan trotoar sepanjang jalan raya itu. Diantara berjejernya gedung-gedung bernuansa kemiliteran yang ada di Jalan Baros Kota Cimahi, aku melihat kerumunan orang-orang ada di sana. Kenyataan yang membuatku jadi penasaran karenanya....

The post Taman Kartini, Taman Kota Cimahi Warisan Kolonial Belanda appeared first on TelusuRI.

]]>
Kulangkahkan kakiku menyusuri jalan dan trotoar sepanjang jalan raya itu. Diantara berjejernya gedung-gedung bernuansa kemiliteran yang ada di Jalan Baros Kota Cimahi, aku melihat kerumunan orang-orang ada di sana. Kenyataan yang membuatku jadi penasaran karenanya. Pantas saja seperti itu karena ada sebuah taman yang rindang dengan pepohonan layaknya sebuah taman human kota. Hari itu minggu tidak mengherankan banyak orangtua yang mengajak anak-anaknya untuk sekedar berjalan-jalan menikmati suasana pagi menuju siang. Aku pun rehat di sana beristirahat setelah berjalan sejauh satu kilometer.

Aku sedikit heran karena setelah melihat keadaan di sana semakin membuat keningku mengerut. Sungguh taman yang seharusnya enak untuk dipandang mata, tapi ternyata ada bagian tidak terawat dan terkesan kumuh. Padahal Taman Kartini sudah ada sejak zaman Belanda, taman ini dulunya bernama Taman Wilhelmina. Aku tidak terlalu mempersoalkan hal itu karena kulihat wajah penuh keceriaan orang-orang di sana. Mereka tampak menikmati keseruan liburan.

Taman Kartini/Deffy Ruspiyandy

Bagi mereka dari luar kota yang masuk ke Cimahi melalui pintu tol Baros, tentu akan mudah menemukan taman Kartini karena lokasinya tidak terlalu jauh dari Pusat Pendidikan Artileri Medan (Pusdik Armed). Taman ini bisa dijadikan sebagai transit karena berada di lokasi strategis serta memiliki lahan parkir cukup luas. Tidak itu saja, jika ingin mengisi perut atau sekedar menikmati minuman, di sana ada banyak pilihan. Bagi orang Cimahi sendiri, taman ini merupakan destinasi wisata yang dapat dikunjungi setiap saat. Tak ada biaya untuk memasukinya.

Saat masuk taman, patung RA Kartini akan menyambut. Pemilihan nama taman yang memakai nama pahlawan emansipasi wanita asal Jepara ini lebih meng-Indonesia dibanding Ratu Wilhelmina. Tentunya, Kota Cimahi adalah saIah satu kota yang memberi taman dengan nama Kartini karena di beberapa kota di Pulau Jawa terdapat pula Taman Kartini yang lain. Meski kalah pamor dengan Alun-Alun Kota Cimahi, namun taman Kartini tetaplah menjadi kebanggaan masyarakat kota. Aku senang saja berdiam di taman itu dan beberapa saat berjalan pula mengelilinginya.

Arena Bermain Anak/Deffy Ruspiyandy

Rasa-rasanya Taman Kartini cocok dikunjungi oleh semua kalangan umur khususnya untuk anak-anak. Berada di sini akan membuat mereka betah karena sarana bermain cukup mendukung perbagai macam permainan. Fasilitas bermain tersebut diantaranya gelayutan, alat jungkit anak dan alat permainan lainnya. Selain itu, ada pula penyewaan motor khusus anak, memancing dengan miniatur ikan juga yang tak bisa dilewatkan adalah odong-odong.

Di sini pun aku melihat beberapa orang remaja bermain skateboard, teradapat arena bermainnya juga. Kelihaian mereka bermain skateboard membuat decak kagum orang-orang yang melihatnya. Menjadi hiburan juga untukku. Ada beberapa tempat swafoto juga di sini, dulu mungkin terlihat indah. Namun sekarang terbengkalai tak terawat. Aku sendiri begitu menikmati suasananya, padahal aku tak sengaja hadir di sini.

Arena Skateboard/Deffy Ruspiyandy

Dulu, di tengah-tengah taman itu terdapat kolam air berbentuk lingkaran (pond) lengkap dengan air mancurnya. Tapi sekarang taman tersebut mengalami sejumlah perubahan, kolam air mancur kini tidak ada dan kolamnya pun tidak terisi oleh air. Dulu pada pagi dan siang hari taman didominasi oleh pengunjung anak-anak dan orangtuanya. Namun ketika malam tiba terlihat lebih banyak anak muda yang berkunjung ke taman tersebut.

Aku lalu menyusuri area yang ada di sana. Kulihat beberapa orang anak sedang bermain air kotor di kolam tersebut. Mereka tertawa-tawa tetapi sungguh kurang menyenangkan karena kolamnya tak terurus, tampak terbengkalai. Belum lagi sampah dedaunan berserakan dan dibiarkan. Aku yang melihatnya hanya bisa mengeluh tanpa melakukan apapun.

Aku pun berguman, “Harusnya taman ini bisa lebih diperhatikan. Taman Kartini menjadi salah satu aset berharga dan menjadi tempat rekreasi sederhana masyarakat sekitar. Jika seandainya aku yang memiliki taman itu, maka aku akan merenovasi taman itu daripada dibiarkan terbengkalai. Aku bukan orang berlebih uang dan aku hanya orang biasa yang berharap jika kelak kembali ke taman itu aku bisa melihat taman itu semakin indah dan terpelihara.”

The post Taman Kartini, Taman Kota Cimahi Warisan Kolonial Belanda appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/taman-kartini-taman-kota-cimahi-warisan-belanda/feed/ 0 28618