tan malaka Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tan-malaka/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 18 Jul 2024 16:28:54 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 tan malaka Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tan-malaka/ 32 32 135956295 Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya https://telusuri.id/menapaki-jejak-tan-malaka-di-rumah-kelahirannya/ https://telusuri.id/menapaki-jejak-tan-malaka-di-rumah-kelahirannya/#respond Fri, 19 Jul 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42363 Tan Malaka, seorang pelopor kemerdekaan Indonesia, lahir dari rahim Pandam Gadang, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897. Siapa sangka, di akhir hayatnya Tan Malaka mati dieksekusi tanpa proses peradilan pada 21 Februari...

The post Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya appeared first on TelusuRI.

]]>
Tan Malaka, seorang pelopor kemerdekaan Indonesia, lahir dari rahim Pandam Gadang, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897. Siapa sangka, di akhir hayatnya Tan Malaka mati dieksekusi tanpa proses peradilan pada 21 Februari 1949 di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, karena perlawanannya terhadap pemerintah Republik Indonesia yang dianggap kompromis terhadap Belanda (Haryanto via Tirto.id, 2023).

Tempat masa kecil Tan Malaka itu bernama Nagari Suliki. Tepatnya Gunuang Omeh, sebuah negeri yang terletak di sisi selatan Kota Padang dan Payakumbuh. Nagari Suliki didukung dengan sumber daya dan keelokan alamnya. Hal itu dapat dilihat dari letak geografis Nagari Suliki yang dialiri sungai dan dikelilingi perbukitan.  

Di negerinya, Tan Malaka dikenal dengan nama lengkap Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Terlahir dari seorang ibu bernama Rangkayo Sinah Simabur, salah satu putri dari keluarga yang terpandang, dan ayah bernama H. M. Rasad Bagindo Malano yang memiliki latar sebagai buruh tani.

Tan Malaka kecil tumbuh dengan ketangkasan dan kecerdasan berbasis pendidikan surau yang ada di sebagian besar wilayah Minangkabau silam. Maka ia pun tangkas pula dalam hal mengaji dan silat, seperti penuturan Zulfikar Kamaruddin—keponakan Tan Malaka dari garis ayah—dalam wawancara Mata Najwa: Kisah Bapak Republik Tan Malaka di Metro TV (12/7/2017).

Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya
Tampak depan rumah Tan Malaka/Raja Syeh Anugrah

Kontradiksi

Namun, kebesaran Tan Malaka ternyata berbanding terbalik dengan kondisi rumahnya. Saya mendapati kondisinya amat memilukan. Bagi orang-orang yang pertama kali berkunjung ke rumahnya, seperti saya, spontan akan mengatakan, “Betapa tidak terawatnya rumah ini.”

Bahkan sekadar plang jalan yang menunjukkan “Rumah Tan Malaka” saja tidak ada sama sekali. Informasi itu hanya tertulis di dinding rumah warga yang sukar untuk orang ketahui. Sementara di aplikasi Google Maps, terdapat dua titik “Rumah Kelahiran Tan Malaka” yang mengantarkan ke tempat asing.

Alhasil, sebelum ke tempat sebenarnya, saya dan Kak Wina—seorang kakak senior di salah satu lembaga relawan sekaligus orang lokal dari Limo Puluh Koto—kala itu nyasar sekitar 4–5 km. Atau bisa dikatakan titik yang hendak kami tuju sudah jauh terlewat.

Jalanan yang tidak begitu lebar, berliku, dipenuhi kebun-kebun masyarakat, dan rumah-rumah yang jarang membuat kami agak kesulitan. Hal itu membuat kami harus kembali berputar setelah titik tuju yang tadi cukup jauh terlewat. Barulah akhirnya kami tiba di rumah kelahiran Tan Malaka yang berlokasi tepat di Gunuang Omeh, Suliki.

Setiba di sana kami mendapati hamparan halaman membentang, bangunan dengan ciri khas rumah Gadang, tiga buah kuburan, tiang bendera yang tengah berkibar, dan patung Tan Malaka tegak dengan gagahnya. Letaknya tak jauh dari tepi jalan raya Suliki.

Namun, di Lokasi saya tidak mendapati satu orang pun yang berjaga maupun yang sekadar memberikan informasi mengenai sejarahnya. Meskipun begitu saya masih bisa masuk karena memang tidak dikunci. Di dalam rumah terdapat beberapa buku koleksi yang sama sekali tidak terawat, foto-foto Tan Malaka, dan sederet orang-orang yang menyandangkan gelar Tan Malaka.

Kala menyaksikan betapa tidak terawatnya rumah Tan Malaka, sejenak saya bergidik, “Apakah cahaya sejarah di negeri ini sudah tidak hidup lagi sebagaimana esensi kesohoran namanya di tanah air ini?”

Merawat Sejarah

Sejarah kerap dianggap sangat membosankan. Di dalam sejarah hanya berkisah cerita masa lalu. Padahal jika dipahami benar, mereka yang membaca sejarah adalah orang-orang yang memiliki pandangan besar ke masa depannya. Sebab ia telah mengetahui bagaimana orang-orang terdahulu berjuang untuk peradaban.

Berdasarkan hasil diskusi ringan saya dengan beberapa teman dari Lima Puluh Kota, sebelum saya benar-benar pergi ke rumah Tan Malaka, sebagian di antara mereka tidak mengetahui benar siapa Tan Malaka dan peran besarnya terhadap bangsa. Ditambah keberadaan Tan Malaka di Suliki yang seharusnya dapat menjadi mercusuar informasi sejarah, justru malah tidak dihiraukan begitu saja.

Padahal ketika saya dan Kak Wina ke rumah Tan Malaka, di tangga rumahnya berdiri sebuah bangunan kecil yang tidak permanen bertuliskan “BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya)”. Bahwa memang benar, rumah Tan Malaka telah masuk ke dalam situs cagar budaya. Akan tetapi, skala perawatannya tidak berlanjut.

Jika kita tarik kembali ke masa lalu. Masa kecil Tan Malaka di negeri Suliki dihabiskan di surau, yakni sebuah tempat di mana sistem pendidikan tradisional Minangkabau dijalankan. Aktivitasnya seputar mengaji, bersilat, dan mendalami agama Islam. Dari sana kemudian Tan Malaka melanjutkan sekolah guru di Kweekschool, Bukittinggi yang sekarang berganti menjadi SMAN 2 Bukittinggi.

Selepas ia lulus, Tan Malaka disarankan oleh G. H. Horensma, gurunya di Kweekschool, untuk melanjutkan studi ke Belanda. Karena kendala ekonomi yang dihadapi, masyarakat negeri Suliki itulah yang turut membantu meringankan biaya Tan Malaka untuk berangkat ke Belanda, termasuk Horensma yang meminjamkan uangnya.

Tan Malaka memang dianggap sebagai komunis oleh sebagian orang. Namun, bukankah ia sudah menuliskan di autobiografinya “Dari Penjara ke Penjara”: saya di depan manusia adalah komunis, jika di depan Tuhan saya adalah seorang muslim, sebab di antara manusia banyak setan-setan. Penuturan dari keponakan Tan Malaka bahkan menyebut ia adalah seorang penghafal Quran.

Jadi, artian komunis memang ada betulnya disebabkan bergabungnya Tan Malaka ke dalam Komunis Internasional di Uni Soviet kala itu. Tan Malaka kemudian menyandang posisi sebagai perwakilan Partai Komunis di Asia. Itu pun tidak lama, Tan Malaka kemudian beralih dari kiblat komunis di Rusia setelah ia memberikan pendapat agar adanya perhatian khusus terhadap Pan-Islamisme. Namun, hal itu tertolak dan membuat Tan Malaka berjalan di garis ideologinya sendiri.

Sekiranya ini sekelumit kisah dari kesohoran Tan Malaka. Masih banyak hal lainnya, seperti saat Tan Malaka menjadi guru di perkebunan tembakau di Deli, Sekolah Rakyat di Semarang, hingga mengonsep Republik dan mendorong agar Indonesia merdeka seratus persen tanpa kooperatif. Sebab ucapnya, “Bahwa tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang ada di rumahnya.”

Merawat sejarah tidak hanya merawat ingatan singkat manusia, tetapi juga merawat pengetahuan masyarakat dari generasi ke generasi. Tujuannya agar tetap mengenal siapa itu Tan Malaka yang berasal dari negerinya, Suliki.

Luruskan Niat ke Rumah Tan Malaka

Saya sangat menyarankan bagi siapa pun yang hendak pergi ke rumah Tan Malaka, hal paling utama adalah luruskan niat. Ini agaknya remeh-temeh, tetapi memang benar. Bagi seseorang yang berniat baik untuk ke rumahnya, maka akan ada saja kemudahan.

Dari Kota Payakumbuh berjarak sekitar 33 km dengan waktu tempuh satu jam. Kalau dari Padang lebih jauh lagi, jaraknya 150 km dengan durasi perjalanan hampir empat jam. Di rumah Tan Malaka sama sekali tidak ada sistem tiket. Ini bukan objek wisata sejarah, melainkan lawatan minat khusus bagi yang hendak menapaki jejak kesejarahannya.

Untuk selanjutnya, pahami medan perjalanan dan baca-baca biografi Tan Malaka, agar ketika berada di sana kita dapat memahami esensi sejarah yang melekat pada rumah Tan Malaka dan pusaranya. Hal ini untuk jaga-jaga pula jika setibanya di sana sama sekali tidak mendapati penjaga yang dapat memberikan informasi, setidaknya kisah masa kecil Tan Malaka.

Terlebih informasi yang sama sekali tak tertulis di dalam buku-buku ilmiah maupun garapan sejarawan. Seperti ketika orang tua Tan Malaka meninggal dunia, ia tidak dapat pulang ke negeri Pandam Gadang. Atau informasi dari Ayah Kak Wina yang asli dari Lima Puluh Kota, yang menyebutkan bahwa Tan Malaka memiliki kemampuan mengubah wajah. Dan dialah yang menjadi imam salat kala orang tuanya wafat.

Meski kondisi rumah Tan Malaka sangat memprihatinkan, saya rasa pada bagian halaman di rumahnya masih ada yang merawat. Begitu pun kuburannya. Hanya saja saya berandai-andai adanya tindakan tepat dari pihak yang tepat dan memberikan perhatian lebih pada peninggalan sejarah.

Peninggalan sejarah bukan bermakna mesti ditinggalkan, melainkan diperhatikan. Terlebih Badan Pelestarian Cagar Budaya sudah menancapkan namanya sendiri. Keberlanjutan pelestarian tentu menjadi hal yang sangat diharapkan. Kita berbicara sejarah dan ingatan yang mesti terus dirawat.


Referensi:

Haryanto, A.  (2023, 2 November). Biografi Tan Malaka dan Kisah Hidup Sang Pahlawan Nasional. Tirto.id. Diakses pada 27 Mei 2024 dari https://tirto.id/biografi-tan-malaka-dan-kisah-hidup-sang-pahlawan-nasional-ggw8.
Metro TV. Mata Najwa: Kisah Bapak Republik Tan Malaka (1). Youtube Video. 12 Juli 2017. Dari https://youtu.be/JwpUQxWJEVg?si=ryf3SRc6QzjKzo59.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menapaki Jejak Tan Malaka di Rumah Kelahirannya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapaki-jejak-tan-malaka-di-rumah-kelahirannya/feed/ 0 42363
Kediri dan Ceritaku tentang Tan Malaka https://telusuri.id/kediri-dan-ceritaku-tentang-tan-malaka/ https://telusuri.id/kediri-dan-ceritaku-tentang-tan-malaka/#comments Tue, 17 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36521 Sejarah bukan mata pelajaran favorit sewaktu aku sekolah dulu. Apa itu candi? Buat apa mempelajari perang? Tidak ada gunanya menghafal nama-nama yang susah dilafalkan ataupun angka-angka yang merujuk pada tahun yang bahkan kakekku pun belum...

The post Kediri dan Ceritaku tentang Tan Malaka appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejarah bukan mata pelajaran favorit sewaktu aku sekolah dulu. Apa itu candi? Buat apa mempelajari perang? Tidak ada gunanya menghafal nama-nama yang susah dilafalkan ataupun angka-angka yang merujuk pada tahun yang bahkan kakekku pun belum dilahirkan. 

Ketika sekolah mengadakan karya wisata ke tempat-tempat seperti: museum, candi atau situs bersejarah lainnya, aku hanya menganggap itu tamasya–jalan-jalan sambil bersenang-senang bersama teman-teman. Tidak satupun materi sejarah dari perjalanan karya wisata tersebut yang masuk ke kepalaku.

Kesenangan jalan-jalan berlanjut ketika aku beranjak dewasa. Pantai, gunung dan tempat tempat yang menawarkan keindahan untuk dilihat dan difoto menjadi tujuan utama pada saat itu, termasuk museum, candi dan bangunan bangunan bernilai estetik. Tetapi nilai sejarah atau cerita dibalik tempat-tempat yang dikunjungi belum menjadi perhatianku pada saat itu. 

Seiring waktu, pemaknaanku akan perjalanan mulai berubah. Akhirnya, aku mulai menyukai berjalan-jalan di ruang dalam kota dengan segala produk budayanya: arsitektur, sosial, kuliner, bahkan nilai sejarah dan mulai berpaling dari keindahan pasir putih pantai dan dinginnya pegunungan nun hijau.

Aku jadi banyak membaca, mencari informasi tentang tempat atau bangunan yang ku kunjungi. Kebanyakan bahan bacaan yang kudapat dan kubaca adalah tentang sejarah, sesuatu yang tidak kusuka pada waktu dulu.

Angka di jam tangan menunjukkan 11.56 ketika aku turun dari KA. Kahuripan. Setelah salat Zuhur, aku bergegas keluar dari stasiun menuju ke sebuah warung yang menjual pecel tumpang, menurut aplikasi Google Maps, jaraknya hanya 450 meter dan waktu tempuh sekitar 5 menit berjalan kaki dari Stasiun Kediri.

Di awal minggu bulan terakhir di tahun 2022 kemarin, aku melakukan perjalanan ke Kediri. Setelah melakukan sedikit riset, daerah sekitaran alun-alun, wilayah Pecinan di Pakelan dan wilayah sekitaran Jembatan Lama dulu merupakan wilayah orang Eropa tinggal di masa kolonial Belanda, dan daerah tersebut masuk ke daftar tempat-tempat yang akan ku jelajahi di Kediri.

Aku menemukan fakta lain tentang Kediri. Di buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1762 – 1962 yang ditulis TH. Stevens menyebutkan Kediri adalah salah satu wilayah dimana gerakan Mason Bebas (Freemason) berkegiatan dan ternyata gedung atau loji tempat berkumpulnya anggota Freemason di Karesidenan Kediri dan sekitarnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda masih ada sampai sekarang.

Kemudian di Kediri juga ada juga makam Tan Malaka. Beliau adalah seorang pejuang yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) No. 53 tahun 1963.

Kehidupannya dan perjuangan Tan Malaka sangat misterius. Bahkan di buku sejarah SD sampai SMA pun tidak tertulis sejarah tentang beliau, padahal di namanya tersemat gelar Pahlawan Nasional. Beliau juga yang mengonsepkan negara Republik Indonesia melalui tulisannya di buku Naar de Republiek Indonesia yang ditulis tahun 1925. Tulisan beliau ini mengilhami tulisan lainnya dari Moh. Hatta, Indonesia Vrije tahun 1928 dan Soekarno ketika menulis Mencapai Indonesia Merdeka di tahun 1933.

Sangat sedikit buku dan tulisan berbahasa Indonesia yang membahas tentang Tan Malaka. Salah satunya adalah Harry A. Poeze, seorang sejarawan, penulis dan peneliti berkebangsaan Belanda  yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti secara mendalam tentang Tan Malaka.

Di buku beliau inilah, aku akhirnya mengetahui Tan Malaka bernama asli Sutan Ibrahim. Lahir di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada tahun 1894. Dalam tubuhnya mengalir darah kebangsawanan dari pihak ibunya, sehingga ia mendapatkan gelar Datuk Sutan Malaka. Kehidupan politiknya berkembang semenjak beliau melanjutkan pendidikan di Belanda. Kepedulian akan sesama beliau peroleh ketika kembali ke Hindia Belanda dan melihat kenyataan yang tidak menyenangkan terjadi akibat dari penjajahan kolonial Belanda.

Kemudian ia bergabung dengan Sarekat Islam pimpinan H.O.S. Cokroaminoto, juga kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia bersama Muso, Alimin, Darsono dan Semaun, bahkan di kemudian hari beliau menjadi agen Komintern (Komunis Internasional yang berpusat di Moskow) untuk Asia Tenggara. 

Pandangan radikal Tan Malaka terhadap penjajahan membuat beliau menjadi buronan politik. Nama samaran pun sering digunakan ketika beliau bersembunyi atau bergerak untuk mengelabui intel pemerintahan kolonial Belanda dan antek anteknya. Elias Fuentes, Ong Soong Lee, Ramli Husein, Ilyas Husein, Cheng Kun, Tat, Eliseo Rivera dan Howard Law alias alias yang sering digunakan ia ketika berada di Filipina, Hongkong, Canton, Shanghai, Singapura dan Indonesia.

Tan Malaka juga menulis tentang hidupnya, Dari Penjara ke Penjara, ditulis ketika dia ketika berada di dalam penjara di Magelang dan Ponorogo. Terdiri dari 2 jilid, jilid pertama bukunya menuturkan tentang pergulatannya di penjara Hindia-Belanda dan Filipina. Sedangkan jilid kedua menceritakan tentang “perjalanannya” dari Shanghai, Hong Kong, hingga kembali ke tanah air.

Ada juga novel yang bercerita tentang Tan Malaka, berjudul Pacar Merah Indonesia. Di novel berlatar roman sejarah ini Motu Mona sang pengarang, mencampuradukkan fakta dan fiksi tentang gerakan komunis dan gerakan kiri radikal. Tokoh utamanya adalah Tan Malaka yang di novel ini disebut Pacar Merah, Muso sebagai Paul Musotte, Alimin sebagai Ivan Alminsky, Darsono sebagai Darsonof dan Semaun sebagai Semaunoff. Dan yang menarik, novel ini terbit di tahun 1938, dimana ketika Tan Malaka masih hidup. Sekarang, Pacar (Patjar, dengan ejaan lama) Merah  dijadikan nama oleh komunitas gerakan literasi yang sering mengadakan festival kecil literasi dan pasar buku keliling.

Ojek daring yang kupesan pun datang. Aku bertanya seberapa jauh perjalanan kali ini. Si bapak menjawab, “Lumayan jauh mas, soalnya makamnya ada di atas gunung.”

Aku beruntung mendapatkan pengendara ojek daring yang akhirnya ku tahu ia bernama Pak Agus. Rumah beliau ada di bawah Desa Selopanggung. Walaupun dia belum pernah ke makam Tan Malaka tetapi dia tahu persis lokasinya. 

Makam Tan Malaka terletak di lereng Gunung Wilis, Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Sepanjang perjalanan yang menanjak, aku disuguhi oleh pemandangan yang indah: jalan berkelok di bukit bukit yang hijau, sungai yang bergemericik, dan hamparan sawah berbentuk terasering.

  • Makam Tan Malaka
  • Makam Tan Malaka
  • Makam Tan Malaka

Setelah 30 menit lebih, kami melihat penanda dari kayu di pinggir jalan bertuliskan “Bapak Republik Indonesia, Ibrahim Datuk Tan Malaka, Tidak Pernah Mati’, rupanya kami telah sampai di lokasi makam. 

Aku mengajak Pak Agus untuk turun ke bawah, menuruni anak tangga yang bersudut 45 derajat di lereng bukit. Letak makam ada di tengah area persawahan, kurang lebih 30 meter dari pinggir jalan. 

Suasana sejuk pegunungan menyambut di area pemakaman yang tidak terlalu luas. Hanya ada beberapa makam yang kulihat disini–kebanyakan makam tua—termasuk makam Mbah Selopanggung, tokoh yang pertama tinggal di Desa Selopanggung. 

Jirat berbentuk persegi panjang di tanah yang terbuat batu bata, dilapisi semen dan nisan yang bertuliskan nama Tan Malaka serta keppres pengangkatan beliau sebagai Pahlawan Nasional, makam yang sangat sederhana berbanding terbalik dengan kebesaran nama beliau di gerakan revolusi Indonesia.

  • Makam Tan Malaka
  • Makam Tan Malaka
  • Makam Tan Malaka

Di buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia – Jilid 4: September 1948 – Desember 1949, Harry A. Poeze menuliskan kisah tewasnya Tan Malaka sampai proses penemuan makam Tan Malaka.

Keadaan politik pada saat itu menyebabkan Tan Malaka berseberangan sikap dengan pemerintahan Republik Indonesia yang masih seumur jagung. Kepemimpinan Soekarno-Hatta yang lebih memilih cara diplomasi terhadap Belanda yang masih ingin berkuasa di Indonesia ditentang habis oleh Tan Malaka, karena itu dia dianggap berbahaya bagi keutuhan negara dan harus segera ditangkap. 

Dalam pelariannya di Jawa Timur, beliau ditangkap di Desa Selopanggung oleh pasukan dari Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek atas perintah Letda Soekotjo yang kemudian hari menjadi Walikota Surabaya tahun 1972-1974. Ketika makamnya dibongkar untuk kepentingan forensik, kerangka yang ditemukan dalam keadaan tangan terikat ke belakang.

Setelah berdoa dan membersihkan makam  dari sampah daun dan tanaman, aku kembali ke tengah Kota Kediri. 

Di perjalanan pulang, Pak Agus mengajak ke Gereja Puhsarang yang masih berada di lereng Gunung Wilis. Di tengah kesyahduan menikmati bangunan gereja indah yang dibangun tahun 1936 ini, aku membuka galeri foto di telepon genggam, melihat kembali foto makam Tan Malaka yang ku foto dari kejauhan. Kisah hidupnya memang penuh gejolak dan misteri, namun di peristirahatan terakhirnya, ia berbaring dengan tenang; ditemani gemericik air Sungai Brantas dan semilir angin sejuk di sepi lereng Gunung Wilis.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kediri dan Ceritaku tentang Tan Malaka appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kediri-dan-ceritaku-tentang-tan-malaka/feed/ 1 36521