tangkahan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tangkahan/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 07 Mar 2025 16:44:10 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 tangkahan Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tangkahan/ 32 32 135956295 Benteng Terakhir Leuser https://telusuri.id/benteng-terakhir-leuser/ https://telusuri.id/benteng-terakhir-leuser/#respond Fri, 15 Dec 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40465 Taman Nasional Gunung Leuser adalah satu-satunya di dunia yang menjadi rumah empat spesies mamalia besar hidup berdampingan, yaitu harimau, gajah, orang utan, dan badak. Tertekan perambahan hutan, perburuan satwa ilegal, dan pembalakan liar. Teks: Rifqy...

The post Benteng Terakhir Leuser appeared first on TelusuRI.

]]>
Taman Nasional Gunung Leuser adalah satu-satunya di dunia yang menjadi rumah empat spesies mamalia besar hidup berdampingan, yaitu harimau, gajah, orang utan, dan badak. Tertekan perambahan hutan, perburuan satwa ilegal, dan pembalakan liar.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Sekitar 4,3 kilometer dari jalan raya Desa Lau Damak, Bahorok, berdiri sebuah kandang lembu di tengah perkebunan kelapa sawit. Ukurannya 14 m x 15 m. Untaian kawat berduri saling mengikat antartonggak beton. Saat itu (24/09/2023) ada belasan lembu di kandang. Lehernya terikat di tiang-tiang kayu, yang menopang atap seng agar lembu terhindar dari panas dan hujan. Sebagian tampak asyik mengunyah pakan rumput yang tersedia, sementara sisanya memandang sekitar. Mungkin bertanya-tanya siapa kami beramai-ramai datang ke tempat tinggalnya.

Sepintas tak ada yang aneh dengan pemandangan itu. Namun, seketika bulu tengkuk kami turut meremang. Mata terus awas menyiratkan waspada. Deretan sawit tampak homogen dan membiaskan arah mata angin. Bukan apa-apa. Cerita Hendri Sembiring (33) pagi itu memaksa kami harus menyiapkan ancang-ancang ambil langkah seribu jika sang “Datuk” tiba-tiba datang.

“Kejadian dulu di bulan Mei tahun 2019. Pagi hari. Seperti biasa saya mau menggembalakan lembu. Karena kebetulan di sini memang biasanya pagi-pagi itu dipindah. Pas saya ke lokasi, tiba-tiba satu ekor enggak nampak. Pas dicari-cari rupanya ternak ini dimakan oleh harimau sumatra,” kenang Hendri dengan dialek Batak kental. Masih tersisa keterkejutan di raut wajahnya, karena satu dari total tujuh ekor lembu miliknya meregang nyawa.

Hendri menunjuk lokasi harimau memakan lembu. Hanya sepelemparan batu dari pintu kandang. Di antara tegakan sawit. Bekas serangan yang berlangsung malam hari tampak jelas. Tubuh bagian belakang lembu tersebut terkoyak. Bau prengus dan anyir beradu. Jejak darah yang tertinggal masih segar. 

Tempat kejadian perkara berada di radius 2—3 kilometer dari batas terluar Taman Nasional Gunung Leuser. Harimau sumatra seakan paham ada calon mangsa empuk, walau harus mengambil risiko di luar “zona nyaman”. Ini bukan berarti ketersediaan pakan di dalam hutan habis. Bisa jadi karena habitat atau ruang geraknya sedikit terusik dengan gangguan lainnya, seperti perburuan liar atau perambahan hutan.

Benteng Terakhir Leuser
Hendri Sembiring, pemilik ternak lembu/Mauren Fitri

Seperti membaca kekhawatiran kami, Hendri buru-buru memberi jaminan. Harimau sumatra umumnya aktif saat malam. Tanpa bermaksud menyepelekan, Hendri mengonfirmasikan jarang terjadi konflik satwa saat hari terang. Lembu-lembu yang sudah digembalakan pun akan dimasukkan kembali ke kandang saat sore. Keberadaan kawat duri yang menjadi tameng jelas lebih manjur dan menambah rasa aman ketimbang pagar kayu biasa.

Kalau memang terpaksa harus berhadapan dengan harimau, pilihan kami ada dua saat itu. Lari ke mobil yang parkir agak jauh dari lokasi wawancara atau masuk ke kandang. Rasanya pilihan kedua lebih masuk akal sambil mencari bala bantuan lewat telepon.

Beruntung kejadian tersebut adalah yang pertama dan terakhir dialami Hendri. Meski kadang masih terlihat jejak harimau berkeliling kandang, tetapi harimau tidak bisa masuk. Sekalipun lembu panik hingga tali di lehernya terlepas, lembu tidak akan bisa keluar kandang. Kini sekretaris Desa Lau Damak itu memiliki 22 ekor lembu yang bisa dijual utuh maupun diambil dagingnya. Kotoran yang dihasilkan juga berguna sebagai pupuk kandang alami yang menyuburkan kebun sawit milik keluarganya.

Kandang lembu milik Hendri merupakan salah satu program percontohan penerapan kandang Tiger Proof Enclosure (TPE). Tujuannya meminimalisasi konflik harimau sumatra dengan ternak warga. Hendri bukan satu-satunya. Ada beberapa peternak yang mendapatkan bantuan kandang TPE tersebut. Hasil kemitraan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser dengan BKSDA Sumatra Utara, dan lembaga nonprofit Wildlife Conservation Society (WCS). Meskipun bisa menyampaikan usulan bantuan, beberapa warga pemilik ternak di kawasan penyangga juga didorong untuk membuat kandang serupa secara mandiri.

Benteng Terakhir Leuser
Hendri mengoleskan pelumas ke kawat-kawat duri untuk perawatan kandang TPE berkala/Mauren Fitri

Pembangunan kandang TPE merupakan jalan tengah yang terbilang konkret dan realistis. Masyarakat sudah menyadari akan menjalani hidup berdampingan dengan predator puncak tersebut. Pun lahan yang ditinggali atau dijadikan ladang perkebunan dan peternakan dahulu juga merupakan area hutan. Habitat satwa endemik. Kesadaran ini penting dan akan meringankan beban taman nasional.

Setidaknya “Datuk” tak lagi dianggap hama. Begitu halnya dengan tiga mamalia besar lain, yakni gajah, orang utan, dan badak. Karena sesungguhnya ada satu hama lagi yang jauh lebih berbahaya.

Tantangan di balik semboyan

Konflik satwa bukanlah satu-satunya ancaman yang mengintai ternak, manusia, maupun kawasan itu sendiri. Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, Dr. U. Mamat Rahmat, S.Hut., M.P. (51), menjelaskan ada dua aktivitas ilegal besar lainnya yang bisa menekan eksistensi kawasan konservasi, yaitu perambahan hutan dan pembalakan liar. “Mereka memberikan alasan yang selalu klasik. Alasan kelaparan. Masalah perut, masalah perut, dan masalah perut.”

Di antara taman-taman nasional yang ada di Indonesia, posisi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) memang terbilang sangat strategis dan seksi. Selain sebagai taman nasional, TNGL juga menyandang status cagar biosfer sejak 1981 dan ASEAN Heritage Park sejak 1984. Dengan luas kawasan 830.268,95 hektare—sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 6589/Menhut-VII/KUH/2014 dan SK. 4039/Menhut-VII/KUH/201—empat mamalia ikonis hidup berdampingan, yakni harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatra (Elephas maximus), orang utan sumatra (Pongo pygmaeus abelii), dan badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis).

Belum lagi bicara soal keanekaragaman hayati dan nilai-nilai penting lainnya—ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, ilmu pengetahuan. TNGL juga menyediakan sumber air dan oksigen yang menghidupi sedikitnya 340 desa penyangga di Provinsi Aceh maupun Sumatra Utara.

Tidak heran bila banyak motivasi atau kepentingan tertentu masuk kawasan. Lembaga-lembaga nonprofit, mulai dari skala lokal, nasional, hingga internasional; bermitra dengan taman nasional untuk melaksanakan sejumlah program. Umumnya bergerak di bidang konservasi dan pemberdayaan masyarakat. 

Namun, tak sedikit yang punya agenda terselubung. Nilai tinggi taman nasional mengundang bahaya yang bisa berdampak buruk. Jumlah kayu yang diambil memenuhi bak-bak truk besar. Membuka lahan hutan berhektar-hektar untuk perkebunan. Menjual tanah dan menanam kelapa sawit di lahan konservasi. Harimau, gajah, orang utan, dan badak diburu serta dijerat. Skala pengrusakan seperti itu tidak mungkin kalau hanya karena dalih mencari makan.

Benteng Terakhir Leuser
Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, U. Mamat Rahmat, ketika ditemui di ruang kerjanya/Mauren Fitri

“Sebenarnya ada juga orang yang ingin memperkaya diri bahkan [melakukannya karena] hobi. Dan ini yang bahaya,” ujar mantan kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon itu.

Upaya-upaya represif sempat dilakukan. Pelaku-pelaku aktivitas ilegal tersebut ditangkap dan dipenjarakan. Namun, ternyata tidak memberikan efek jera. Aktivitas ilegal tetap berlangsung. Kucing-kucingan dengan petugas kerap terjadi. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) tidak hanya jadi habitat flora dan fauna, tetapi juga taman bermain buat perusak hutan itu. 

Maka strategi pun berubah. Jika sebelumnya berorientasi menjaga hutan baru memikirkan masyarakat, kini berusaha sebaliknya. Mengedepankan hajat hidup masyarakat terlebih dahulu, sehingga otomatis kelestarian hutan akan terjaga dengan sendirinya. Pendekatan ini bernaung dalam moto yang Mamat Rahmat sebut “Masyarakat Sejahtera, Hutan Terjaga”.

Semboyan itu pernah ia sampaikan kepada TelusuRI dalam wawancara virtual melalui Zoom (28/03/2023). Salah satu contoh yang bisa dilakukan adalah pengembangan daerah penyangga melalui ekowisata, seperti yang kini terlihat di Bukit Lawang dan Tangkahan. Ekowisata menjadi sumber ekonomi alternatif yang bisa mencegah masyarakat merusak hutan.

Benteng Terakhir Leuser
Seorang elephant keeper sedang memandikan dua ekor gajah sumatra penghuni Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan, yaitu Sari (atas) dan anaknya, Boni, saat sore hari di Sei Batang Serangan. Sungai ini menjadi batas antara kampung Tangkahan (sisi kiri) dan kawasan hutan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser/Deta Widyananda

“Kami berharap, wisatawan masuk ke kawasan TNGL itu hanya untuk melihat [objeknya] saja. Aktivitas buang duitnya ada di masyarakat, [di] luar kawasan. Sehingga peningkatan kesejahteraan, peningkatan lapangan kerja naik. Daya beli masyarakat bisa tercapai. Jangan bikin hotel di TNGL, saya nggak setuju. Banyak hotel di sekitar kawasan TNGL, saya setuju,” tegasnya.

Pendekatan seperti itu sesuai dengan pernyataan Ir. Wiratno, M.Sc, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK 2017—2022, dalam bukunya Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi di Indonesia: Membangun “Organisasi Pembelajar”. Masyarakat merupakan subjek utama yang terlibat dalam berbagai pengelolaan kawasan konservasi. Selain ekowisata, memfasilitasi dan melakukan pendampingan dalam pembuatan kandang TPE juga merupakan satu contoh dari sekian implementasi program Balai Besar TNGL yang berbasis masyarakat. 

Tantangan yang dihadapi tentu besar. Belum lagi gejolak yang mungkin timbul di daerah-daerah penyangga. Tak terkecuali keterlibatan oknum aparat dari satuan tertentu, yang juga ikut bermain dalam aktivitas-aktivitas ilegal tadi. Seluruh pasang mata rimbawan TNGL tak akan sanggup mengawasi kawasan konservasi seluas hampir satu juta hektare itu. 

SPY SERASI

Mamat Rahmat butuh lebih dari sepasang tangan dan kaki untuk mewujudkan mimpi besar “Masyarakat Sejahtera, Hutan Terjaga.” Ia dan jajarannya bergerak cepat. Di hari yang sama saat kami melakukan perjalanan ke Medan (20/09/2023), TNGL bersama Wildlife Conservation Society menggelar deklarasi bersama sekaligus meluncurkan program pencegahan aktivitas ilegal yang dilakukan secara terintegrasi berbasis masyarakat (SPY SERASI). Sebuah program dengan pendekatan Integrated Prevention Model (IPM) atau model pencegahan terintegrasi.

Wajah harimau menjadi simbol utama dalam logo SPY SERASI tersebut. Secara harfiah, kata “SPY” dalam bahasa Inggris berarti mata-mata. Filosofi dasarnya adalah TNGL harus menjadi mata-mata untuk memotret semua kondisi yang ada di masyarakat dan hutan. Keinginan Mamat Rahmat, “Kita harus jeli melihat permasalahan. Jangan hanya dari permukaan. Nah, kenapa harus harimau? Karena itu satwa yang memang jeli dengan penglihatannya dalam mencari mangsa. Di saat gelap pun di malam hari dia bisa melihat mangsanya. Jadi, kejelian. Itulah yang saya jadikan sebagai dasar trigger.

Alumnus S-3 IPB itu menambahkan, tujuan menjadi mata-mata dalam memotret seluruh kehidupan masyarakat dan seluruh permasalahan di hutan tak lain untuk mencari solusi. Mencari akar masalah, bukan yang terlihat di permukaan semata. Ibarat orang sakit kepala, yang sakit belum tentu kepalanya. Bisa jadi karena lambung atau jantungnya bermasalah. Begitu pun ketika berhadapan dengan penebang hutan atau pemasang jerat hewan. Penyebabnya bisa jadi karena kemiskinan struktural. “Ketika kita cepat mendeteksi akar masalahnya tadi [dan] diagnosisnya bagus, maka penanganan yang diberikan akan tepat.”

Program SPY SERASI lebih menekankan pada upaya preventif daripada kuratif. Mencegah dari sakit jauh lebih baik dibanding mengobati. Sehingga ia mengakui jika pada beberapa kasus ringan—misal mencuri satu atau dua batang pohon—akan melakukan pendekatan yang lebih lunak. Menyentuh kesadaran. Mamat Rahmat menganalogikan orang yang terkena sakit jantung. Ketika sudah telanjur parah dan harus diobati, jelas membutuhkan biaya tinggi. Padahal dengan pencegahan sebenarnya akan menjadi lebih ringan. Tinggal menjaga pola makan dan pola hidup kita. “Pola [seperti] ini yang sedang kita coba,” kata pria asli Garut itu.

Beberapa peserta deklarasi program yang diundang antara lain mewakili Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Sumatera, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Sumatra Utara, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, dan Polda Sumatera Utara. Kemudian Polres Langkat, Polres Deli Serdang, Polres Tanah Karo, KODIM 0204 Deli Serdang, KODIM 0205 Tanah Karo, Kejaksaan Negeri Langkat, Kejaksaan Negeri Deli Serdang, Kejaksaan Negeri Karo, Pengadilan Negeri Langkat, Pengadilan Negeri Kabanjahe, Pengadilan Militer Tinggi I Medan, UPT KPH Wilayah XV Kabanjahe, dan UPT KPH Wilayah I Stabat.

Benteng Terakhir Leuser
Bagian depan kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah III di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara/Rifqy Faiza Rahman

Kehadiran peserta dari lintas sektor menunjukkan pentingnya kolaborasi untuk sebuah tujuan besar. Jika sebelumnya menggunakan konsep “pentahelix”—merangkul unsur pemerintahan (pusat dan daerah), pelaku usaha, akademisi, lembaga nonpemerintahan (NGO), dan masyarakat atau komunitas—Mamat Rahmat menambahkan satu stakeholder lagi, yaitu media. Enam unsur berkolaborasi yang disebut “hexahelix”.

“Media harus mulai terlibat. Karena kerja kita itu harus dipublikasikan, ya. Sampaikan ke dunia luar bahwa kita punya program ini,” jelasnya. Namun, masyarakat atau komunitas tetap menjadi pondasi dasar implementasi SPY SERASI. Masyarakat akan menjadi unsur terdepan yang terlibat ketika pengelola kawasan—dalam hal ini TNGL—hendak melaksanakan program pengelolaan, di antaranya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK), jasa lingkungan, patroli kawasan, pengendalian kebakaran, penanggulangan konflik satwa, hingga pencegahan perburuan dan perdagangan satwa.

TNGL akan menyusun rencana aksi SPY SERASI ke tiga periode, yakni jangka pendek (dua bulan), menengah (satu tahun), dan panjang (tiga tahun). Mamat Rahmat memastikan TNGL akan melakukan evaluasi menyeluruh di setiap akhir periode, termasuk mengukur signifikansi dampak program terhadap penurunan tiga besar aktivitas ilegal seperti ia sebut sebelumnya. 

Pada akhirnya, prestasi terbaik dari pelaksanaan program ini adalah terbentuknya kesadaran penuh semua pihak terhadap pentingnya peran kawasan konservasi. Makna semboyan “Masyarakat Sejahtera, Hutan Terjaga” pun akan benar-benar relevan untuk siapa pun. 

Leuser untuk anak cucu

Sebelum menjelajahi sejumlah area penyangga TNGL, kami sempat berkunjung ke kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional (BPTN) Wilayah III di Stabat, Kabupaten Langkat. BPTN Wilayah III bertanggung jawab terhadap pengelolaan 205.355,12 hektare kawasan TNGL di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Di kantor ini kami diizinkan menggunakan ruang rapat untuk tempat menginap. Gedung kantor lumayan besar dan lapang. Selain ruang rapat, terdapat ruang kepala bidang dan ruang staf. Pekarangannya luas. Ditambah bangunan mes pegawai di halaman belakang. Banyaknya pohon dan semak membuatnya seperti berada di dalam hutan.

Benteng Terakhir Leuser
Kepala BPTN Wilayah III, Palber Turnip, ketika diwawancarai di ruang kerjanya setelah apel pagi/Mauren Fitri

Siang itu (21/09/2023) tidak banyak yang siaga di kantor. Kepala BPTN Wilayah III, Palber Turnip, S.P., M.H., dan beberapa kepala seksi lainnya sedang berada di Medan. Mengikuti rangkaian acara sosialisasi dan deklarasi SPY SERASI yang diikuti peserta lintas perangkat pemerintahan. Hanya ada satu petugas piket dan Bowo, pegawai fungsional bidang program, anggaran, dan kerja sama yang akhirnya berbincang cukup lama dengan kami. 

Pria keturunan Jawa itu banyak berbicara soal suka duka bekerja di dunia konservasi. Sebuah bidang pekerjaan yang tidak bisa dianggap enteng. Tanggung jawab dan tantangannya berat, sementara sumber daya yang tersedia terbatas. Benar-benar pengabdian yang perlu dapat imbalan sepadan. Bertaruh nyawa menghadapi keganasan alam liar hingga manusia-manusia pemburu dan perusak hutan. 

Barangkali mencari nafkah di bidang konservasi sumber daya alam dan ekosistem memang pekerjaan mulia. Selain gaji dan syukur-syukur dapat penghargaan sebagai bentuk apresiasi, rasanya tak mungkin hutan dan satwa itu akan gamblang berterima kasih kepada para rimbawan. Sampai-sampai Bowo mengutip surah Al Baqarah ayat 30, tentang firman Allah SWT yang menciptakan manusia untuk menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Mengatur bumi dan seisinya. Dengan sedikit berseloroh ia berujar, “Kalau tafsiran saya, ya, [manusia] yang [layak bekerja] mengurus bumi itu orang-orang kehutanan!”

Istilah Bowo, perlu kesadaran spiritualitas untuk bekerja penuh integritas di dunia konservasi. Termasuk di dalamnya petugas, masyarakat maupun lembaga mitra kehutanan. Dalam kacamata kami, jangan-jangan orang-orang seperti ini yang kelak pantas masuk surga terlebih dahulu. Tak terkecuali kiprah Joni Rahman dan para mahout setia untuk sembilan gajah di Tangkahan, Misno dan pasukan patroli hutannya di Resor Bahorok, hingga Hatuaon Pasaribu yang nyaring menggalakkan komitmen Kelompok Tani Hutan Konservasi (KTHK).

Karena saat ini uang bisa menjadi kuasa terbesar manusia untuk melakukan apa saja. Menyebabkan gelap mata: membuka lahan-lahan konservasi untuk perkebunan ilegal, memburu satwa tanpa pandang bulu, dan merambah hutan secara ngawur. Lupa bahwa hutan telah memberikan segalanya. 

Hingga kini, TNGL memang belum sepenuhnya terbebas dari kegiatan ilegal. Empat mamalia besar nan eksotis, seberapa pun banyak dan buasnya, tak akan sanggup membendung kerakusan manusia. Padahal manusia semestinya bisa berbuat lebih dan mengerahkan segala kekuatan untuk melindungi sumber kehidupan di dalam taman nasional. Tak bisa menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme alam—sekalipun memiliki kemampuan memulihkan diri secara alami. Harus ada campur tangan manusia. Mesti ada intervensi taman nasional selaku pemangku kawasan. Tak ada jalan lain. Kitalah benteng terakhir Leuser itu sendiri.

Namun, seperti kata Mamat Rahmat, TNGL tidak akan bisa melangkah sendirian menyejahterakan masyarakat sekaligus menjaga ekosistem Leuser. Butuh kerja keras dan dukungan semua pihak agar program yang dicanangkan berhasil.

“Mohon doanya semoga program ini [SPY SERASI] dapat berjalan dengan baik. Sehingga kita bisa mewariskan alam ini kepada generasi yang akan datang. Atau, kita harus kembalikan alam ini kepada pemiliknya, yaitu anak cucu kita. Karena alam ini bukan warisan, tetapi titipan dari anak cucu kita. Harus kita kembalikan,” pungkasnya.

Leuser bahkan bukan hanya warisan dunia semata, melainkan juga warisan Tuhan untuk dijaga demi kemaslahatan bersama. Kita belum terlalu terlambat untuk bergerak, sebelum semuanya akan benar-benar terlambat. (*)


Foto sampul:
Mahout sedang mengangon seekor gajah sumatra di hutan sekitar Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan. Kawasan ini merupakan batas terluar Taman Nasional Gunung Leuser di tepi Sungai Batang Serangan, Langkat, Sumatra Utara/Deta Widyananda

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Benteng Terakhir Leuser appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/benteng-terakhir-leuser/feed/ 0 40465
Penebusan Dosa Rutkita https://telusuri.id/penebusan-dosa-rutkita/ https://telusuri.id/penebusan-dosa-rutkita/#respond Mon, 11 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40399 Sebelum gajah-gajah datang, Tangkahan adalah taman bermain bagi para penebang kayu liar. Balik kanan di napas terakhir. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri Jika orang belum mengenal baik, sekilas pria berkalung perak...

The post Penebusan Dosa Rutkita appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebelum gajah-gajah datang, Tangkahan adalah taman bermain bagi para penebang kayu liar. Balik kanan di napas terakhir.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Penebusan Dosa Rutkita
Tampak jembatan gantung Nini Galang yang menghubungkan kampung dengan hutan dan PLSK Tangkahan. Siapa sangka dahulu hutan serimbun itu memerah tanpa sehelai daun pun/Mauren Fitri

Jika orang belum mengenal baik, sekilas pria berkalung perak itu cocok jadi bintang film laga. Tubuhnya tegap. Postur menjulang. Paras sangar dengan rahang siku. Intonasi bicara tegas, tidak bertele-tele.

Namun, sorot matanya tidak bisa menutupi perubahan besar yang pernah dialami. Kulit sawo matangnya adalah saksi nyata yang menguak masa lalunya. Ia menengok ke arah hutan di seberang Sungai Batang Serangan. Menunjuk deretan pepohonan ujung ke ujung.

“Dulu kering [hutan] ini. Kalau kalian kemari di tahun 2000, [hutan] ini merah! Merah! Tinggal pancang-pancang [anakan pohon] saja yang ada,” kenang Rutkita Sembiring (47). Penduduk asli Tangkahan dan mantan pembalak liar.

Merah yang ia maksud bukan karena terbakar. Merah berarti tak ada lagi jejak hijaunya hutan tersisa. Gundul. Kulit-kulit pohon besar mengelupas, seolah terluka. Suara senso meraung-raung sepanjang waktu. Serpihan kayu melayang bersama debu. Sepanjang 1995—2000, kurang lebih 300 sampai dengan 400 hektare hutan Tangkahan rusak. Mencakup kawasan di sepanjang Sungai Batang Serangan dan beberapa ratus meter ke dalam hutan. Bukti keberingasan manusia terhadap alam.

Pikiran Rutkita waktu itu, “Mengambil kayu di hutan itu gampang. Tidak menanam, tidak merawat. Hanya menebang saja jadi [uang].”

Pada 2001, sejumlah tokoh masyarakat merintis mimpi mengubah wajah Tangkahan. Dari pusat pembalakan kayu yang brutal menjadi pusat konservasi dan desa ekowisata.

Di era-era transisi, Rutkita mengalami pergulatan batin luar biasa. Kami menemuinya sore itu (25/09/2023) untuk mendengar ceritanya.

Penebusan Dosa Rutkita
Puluhan limbah kayu berusia puluhan tahun berserakan di tepi Sungai Batang Serangan. Saksi bisu rusaknya hutan Tangkahan beberapa dekade/Rifqy Faiza Rahman

Masa-masa kelam Tangkahan

Simbiosis erat antara masyarakat dan hutan Tangkahan telah berlangsung puluhan tahun. Sejak kampung dibuka pertama kali pada awal abad ke-19, mayoritas mata pencaharian masyarakat bersumber dari hasil hutan. Mulai mengambil getah kayu damar hingga menebang kayu.

Rutkita menyebut bekerja di kayu diwariskan turun-temurun, “Mulai dari kakek saya [dan] ayah saya sendiri. Saya juga sempat mengambil kayu di hutan.”

Kuatnya rantai kehidupan yang nyaris tak pernah putus itu bukan terjadi secara tiba-tiba. Hutan Tangkahan memiliki sejarah konflik yang sangat panjang. Sejak ditetapkan sebagai hutan lindung dan hutan produksi pada 1900-an, segala dinamika terjadi. Konflik yang timbul bukan berasal dari dalam hutan, melainkan faktor manusia. 

Saiful Bahri (alm.), dengan pendekatan kajian historis, memiliki catatan menarik tentang kampung lawas tersebut; yang diketahui dirintis oleh keluarga marga Sembiring Depari dari Karo Gugung yang merantau. Di bab kesepuluh dalam Tersesat di Jalan yang Benar: Seribu Hari Mengelola Leuser (2012), buku karya Wiratno, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) periode 2005—2007, tokoh muda konservasi hutan Tangkahan itu mengungkap fakta penting. 

Kegiatan illegal logging atau pembalakan liar tidak dimulai oleh masyarakat Karo itu sendiri. Masyarakat Karo justru memiliki norma dan nilai-nilai budaya konservasi, jika melihat dari hubungan spiritualnya dengan hutan. Pelopor sejarah penebangan ilegal Tangkahan dimulai pada awal 1920-an, ketika terjadi kerja sama antara penguasa kolonial Hindia Belanda dan pengusaha (pedagang besar) Tionghoa, Kon Sen Song.

Sejak saat itulah era besar pembalakan kayu bermula. Kemudian di tahun 1950 sampai 1980-an, pengusaha-pengusaha lokal (tokoh masyarakat dan pengikutnya) mulai unjuk gigi. Pemain atau pekerja kayu di Tangkahan bukan hanya berasal dari masyarakat kampung setempat saja. Dari desa luar pun masuk, kebanyakan masih satu kecamatan, seperti Namo Sialang, Sei Serdang, dan Karya Jadi. Bahkan ada pula dari Tapanuli.

Mereka yang semula hanya menonton, lambat laun belajar dan makin berani mengambil alih “konsesi” di kawasan hutan dekat tempat tinggal mereka. Sekalipun sasaran penjualannya, baik perorangan maupun kelompok, tetap melalui saudagar-saudagar kelas kakap keturunan Tionghoa—seperti A Gong, A Lai, A Lai muda, Kho An, A Beng—di Tanjung Pura. Tanjung Pura adalah sentra perdagangan ramai pada masa itu, yang termasuk ujung dari Sungai Batang Serangan—jalur balok-balok kayu selain lewat darat.

Selama nyaris seabad ekosistem hutan dan masyarakat Tangkahan seperti tak memiliki muruah. Rata-rata masyarakat tidak paham fungsi hutan yang ada di Tangkahan. Tidak mengerti kenapa harus dijaga dan dilestarikan. Yang mereka tahu, ada banyak jenis kayu mahal yang bisa diubah jadi uang.

Hal ini diperparah kebijakan rezim Orde Baru. Atas nama pembangunan, Soeharto mendukung eksploitasi dan ekstraksi hutan lewat Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Pihak swasta, militer, bahkan aparatur negara lainnya diberikan karpet merah untuk mengakses sumber daya alam dalam jangkauan nyaris tak terbatas. 

Namun, Saiful Bahri mengingatkan ini sepenuhnya bukan bicara soal etnis tertentu. Ia menilai masalah permainan kayu ilegal sejatinya adalah proses kolaborasi antara kekuasaan dan uang, yang mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari alam.

Salah satu momen puncak penebangan kayu paling brutal terjadi saat krisis moneter 1998. Ketika hampir seantero daerah di Indonesia limbung karena krisis ekonomi, masyarakat Tangkahan justru berlimpah uang. 

“Di tahun 1998, saya mendapat penghasilan [dari kayu] sampai dua juta rupiah per minggu. Jadi, satu bulan itu sekitar delapan jutaan,” ujar Rutkita mengenang masa-masa kejayaannya. 

Uang sebesar itu ia dapat sangat mudah, setidaknya hanya dari satu pohon. Jika satu pohon bisa menghasilkan balok lima ton, dengan asumsi harga per ton Rp600.000, maka dalam satu hari saja Rutkita sudah mengantongi uang tiga juta rupiah. Memang hasil penjualan masih dibagi lagi dengan rekan kerjanya yang ikut memeras keringat. Akan tetapi, di tahun-tahun segitu, sudah sangat besar bagi seorang pemain kayu. 

Gurihnya bisnis kayu membutakan mata Rutkita. Ia tak ingin hanya menjadi penonton di kampungnya; membiarkan ceruk besar itu hanya dimakan orang-orang tua. Jika hidayah Tuhan tidak pernah benar-benar datang, barangkali Tangkahan akan selamanya merah.

Penebusan Dosa Rutkita
Rutkita Sembiring, satu dari sedikit orang Tangkahan yang tidak malu menceritakan perjalanan gelap hidupnya membalak hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser/Mauren Fitri

Titik terendah

Mengetahui anaknya ingin menjadi penebang kayu, ayah Rutkita sempat melarang keras. Ia memberi nasihat, “Enggak ada [gunanya]. Enggak bisa kau beli apa pun dengan uang jual kayu dari hutan.”

Saat itu ayahnya sudah sakit-sakitan. Mendengar nasihatnya, gejolak muda Rutkita meronta. Tak percaya. Ia memberontak, baginya apa pun bisa dibeli. Rutkita remaja—berusia 19 tahun—dan teman-temannya tetap mencebur bermain kayu.

Masa-masa keemasan memang sempat dirasakan. Pundi-pundi terisi jutaan rupiah per minggu. Tak peduli peluh mengucur, mata perih terkena serpihan kayu, atau telinga pekak karena suara senso. Semua demi uang.

Seiring waktu berjalan, Rutkita kian menyadari makna ucapan sang ayah. Uangnya memang banyak, tetapi ia tak berkembang. Tidak melangkah ke mana pun. Tolok ukurnya sederhana, yaitu kepemilikan mobil atau sepeda motor.

Rutkita mencoba mengamati lebih dalam. Rupanya sejak nenek moyang mereka membuka kampung, sampai sekitar tahun 1999, tidak ada satu pun yang memiliki mobil. “Tahun 1998—1999, berapa jumlah sepeda motor di sini? Tak lebih dari lima!”

Penyebabnya tidak jauh dari nafsu menghambur-hamburkan uang. Berjudi, minum-minum. Tatkala kalah judi, terpaksa berutang. Begitu uang habis, kembali ke hutan. Kerja lagi menebang kayu berhari-hari. Dapat uang, bayar utang. Lanjut judi, minum-minum lagi. Siklus yang selalu berulang. 

“Itu namanya uang setan dimakan hantu,” seloroh Rutkita. Uang yang didapat lenyap tak berbekas. Jika dia percaya mistis, mungkin akan menuduh babi ngepet atau tuyul pelakunya.

Rutkita memberi contoh lain dari kondisi “uang setan dimakan hantu”, yakni pemain bisnis galian C. Sumber bahan bakunya ada di pantai-pantai—daratan berpasir dan berbatu di sepanjang sungai. Di Kecamatan Batang Serangan, banyak pelakunya.

“Orang jual batu itu, yang enggak ada modalnya, kaya dia. Tapi sebentar. Begitu berhenti dia dan habis pantainya, habis [juga] hartanya!” terang Rutkita.

Gelimang uang dari kayu—yang bahkan hanya dinikmati setitik dan sesaat—ternyata juga memakan tumbal. Tidak sedikit warga menjadi korban fatal akibat kerasnya hidup menjadi pembalak liar. Masyarakat kecil tertatih dan pusing tujuh keliling, sementara bos-bos besar tetap kipas-kipas uang sambil ongkang-ongkang. 

“Abangnya bapak saya [orang tua Pak Okor] meninggal di hutan, tertimpa kayu. Adiknya [bapak] juga, terputus tangannya gara-gara kayu juga,” tutur Rutkita pilu, “dan ayah saya sendiri, delapan tahun sakit-sakitan di masa tua karena kelelahan fisik luar biasa.”

Bayangan-bayangan seram itu mengisi pikiran Rutkita. Masa-masa kejatuhannya sebagai pembalak liar tampak nyata. Ia seperti tinggal menanti detik-detik embusan napas terakhir, dan selamanya dikenang sebagai penebang. Sampai akhirnya Tuhan menunjukkan padanya buku takdir yang baru.

Ketika kembali ke rumah dan hampir putus harapan, ia sampaikan mimpi besarnya kepada ayah dan ibunya, “Saya janji ke orang tua saya, bahwa hidup saya itu di Tangkahan. Jadi, apa pun yang saya lakukan sekarang ini, itulah nanti hidup saya. Kalau memang Tangkahan itu tidak jadi [berkembang], berarti habislah masa depan saya.”

Penebusan Dosa Rutkita
Rutkita menunjukkan bagian bawah batang damar yang pernah ia tebang 24 tahun lalu. Damar adalah salah satu komoditas kayu bernilai tinggi/Deta Widyananda

Dari penebang ke penjaga hutan

Di sela sesi wawancara, TelusuRI sempat diajak Rutkita masuk sedikit ke hutan. Beberapa meter saja dari kandang gajah Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan. Ia menunjukkan jejak batang damar setinggi 40-an meter yang rebah di tanah. Lingkar batangnya setara pelukan tiga orang dewasa. Pohon tersebut ia tebang sekitar tahun 1999. Begitu tumbang, menimpa pohon-pohon lain di sekitarnya dan ikut jatuh. Usianya ratusan tahun. Jika diukur dengan kurs sekarang, nilainya bisa mencapai 150 juta rupiah. 

“Kami pikir dulu kayu ini [hadiah] dari Tuhan. Karena ditanam, berarti [kayu] ini untuk kita,” kelakar bapak dua anak itu. Kami ikut tertawa. 

“Ternyata kami salah,” katanya.

Sekitar 1999—2000, sekelompok mahasiswa pencinta alam (mapala) asal Medan datang ke Tangkahan. Para mahasiswa ini prihatin dengan rusaknya hutan Tangkahan. Salah satu koordinatornya adalah mendiang Saiful Bahri. Melihat kondisi menyedihkan itu mereka bertekad untuk mengajak masyarakat melakukan perubahan. 

Waktu itu secara perlahan, anggota mapala tersebut berdialog dengan penduduk yang bermain kayu. Tidak serta-merta melarang, tetapi diajak membuka pikiran tentang untung-rugi bermain kayu, lingkungan hidup, manfaat hutan, hingga potensi ekonomi melalui pariwisata seperti yang sudah berjalan di Bukit Lawang.

“Mereka ‘menjual’ hutan juga, tetapi bukan dengan menebang, melainkan wisata. Mereka dapat uang [dari] membawa turis-turis berkeliling. Di Bukit Lawang ada hutan, di sini juga ada hutan. Di sana ada sungai, di tempat kami bahkan ada dua sungai besar,” jelas Rutkita.

Rutkita dan lima orang temannya adalah sasaran awal “cuci otak” dari anak-anak mapala tersebut. Mereka menginap dan saling berdiskusi di tempat milik Wak Yun, pengusaha ekowisata dari Bukit Lawang, yang membangun penginapan dan restoran. Sayangnya, karena berkonflik dengan para penebang kayu, restoran miliknya dibakar. Wak Yun pun “kabur” dan kembali bekerja sejenak ke Inggris, negara asal istrinya.

Lambat laun pendekatan Saiful Bahri dan anggotanya menemui titik terang. Gol pertama yang berhasil dicetak adalah terbentuknya komunitas pemuda Tangkahan Simalem Ranger pada 22 April 2001. Rutkita didapuk menjadi ketua. Tugas utamanya menghentikan illegal logging, menyetop truk-truk pengangkut kayu yang masuk kampung. Mereka meyakinkan kawan-kawan—para pembalak—untuk berhenti bermain kayu. 

Selang sebulan kemudian, berdasarkan inisiatif menggerakkan ekonomi alternatif melalui ekowisata, lahirlah Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT). Sisanya adalah sejarah, seperti yang terlihat sampai saat ini. Berkolaborasi dengan Conservation Rescue Unit (CRU) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), menyediakan paket ekowisata gajah dan aktivitas petualangan alam lainnya.

Di masa-masa inilah titik balik Rutkita terlahir menjadi pribadi yang benar-benar baru. Dengan agak tertatih, ia dan timnya berjuang melestarikan sungai dan hutan di belakang rumah mereka.

Namun, perjalanannya tentu tidak semulus itu. Konflik pribadi masih menyala, karena Rutkita berhadapan dengan saudara-saudaranya sendiri. Termasuk paman-pamannya, yang menilai gerakan Tangkahan Simalem Ranger akan memotong sumber rezeki mereka.

Selain itu Rutkita dan teman-temannya harus menjalani masa-masa prihatin. Menganggur berhari-hari bak orang bingung tanpa arah. Periuk di dapur selalu kosong. Tak punya uang untuk membeli beras. Cita-cita dan janji besar untuk memajukan kampung halaman jelas penuh liku. Tak akan didapat dalam waktu singkat. Sampai-sampai ia bilang ke ibunya yang khawatir dengan kesehatan dan nasib anak sulungnya, “Sudahlah, Mak! Kalau memang Tangkahan nggak jadi, sudah, kami mati saja di sini.”

Di masa-masa itu, Rutkita dan anggota komunitas maupun LPT sering dianggap orang gila. Dibodoh-bodohi. Sejumlah warga, bahkan keluarga sendiri, masih memandang sebelah mata. Diremehkan karena tak mungkin bisa dapat uang selain bermain kayu. Tak mungkin tamu mau datang ke Tangkahan melihat sungai dan hutan, yang saat itu masih bopeng dan belum kembali pulih sebagaimana mestinya.

“Yang menggaji saya adalah Tuhan!” cetusnya ketika dahulu sering dipertanyakan sumber penghasilannya. Seketika membungkam mulut para peragu itu.

Berangkat dari pengalaman itu, Rutkita sering keliling memotivasi kawan-kawan senasib di luar Tangkahan. Di Jambi atau di mana pun. Ia bilang ke mereka, “Potensi yang ada di daerah kalian ini, dibandingkan daerah saya, itu jauh [lebih bagus]. Tapi apakah kalian mau dan bersedia jadi orang gila? Karena memang harus gila [untuk mau berubah]!”

Bagi Rutkita, terlalu banyak berpikir tanpa aksi nyata adalah kesia-siaan belaka. Tidak bisa berpangku tangan menunggu uang jatuh dari langit. Entah setahun, dua tahun, atau lima tahun, pasti akan menghasilkan sesuatu. “Kalau ada dua atau tiga orang saja [yang mau] gila memajukan daerahnya, yakin jadi!”

Setelah cukup lama berkontribusi di LPT, belakangan Rutkita fokus bekerja sebagai humas di CRU. Ikut membantu pengelolaan gajah-gajah yang dirawat para mahout. “Saya suka kerja di NGO [organisasi nirlaba] karena itu memang tempat saya,” katanya. 

Kini suami Susanti itu sudah cukup membuktikan kepada banyak orang. Meskipun tidak sekolah dan tidak membuka lahan perkebunan untuk orang tua, Rutkita merasa tidak kalah sukses daripada kawan-kawan yang tidak satu gerbong dengan mereka.

Rutkita—dan mungkin beberapa orang di kampung—tidak pernah menyangka Tangkahan akan berkembang sejauh ini. Sejajar dengan Bukit Lawang, menjadi destinasi penyangga TNGL favorit wisatawan.

Tak terkecuali pengerasan jalan yang sedang berlangsung. Senyawa asphaltene akan mengguyur tanah dan memuluskan mobilitas masyarakat.

“Sekarang kan, siapa yang bermimpi [jalan kampung] bisa diaspal?” tanya Rutkita, “tidak pernah bermimpi saya.”

Penebusan Dosa Rutkita
Setelah tidak lagi menebang kayu, kini Rutkita banyak diundang ke berbagai acara di banyak tempat untuk berbagi pengalaman pahitnya di masa lalu/Mauren Fitri

“Saya tidak menyesal”

Kisah dan kiprah Rutkita membawanya ke pintu ajaib yang bisa mengantarnya ke mana saja. Menemukan jalan baru yang tak pernah ia sangka-sangka. Meskipun tidak pernah mengenyam bangku kuliah, ia telah kenyang pengalaman berdiri di forum-forum internasional. Berbicara di ASEAN Heritage Parks, dikirim ke Myanmar hingga Australia.

Tahun lalu Rutkita pernah dihubungi BKSDA Jambi untuk menjadi salah satu konsultan kegiatan sosialisasi dan edukasi konservasi. Ia hadir bersama sejumlah pakar sebagai narasumber forum pertemuan antar kepala dinas, camat, dan perangkat desa se-Provinsi Jambi. Di sesi presentasi, ia bercerita tentang Tangkahan dan masa lalunya. Memberi motivasi kepada orang-orang yang masih tenggelam di dunia pembalakan liar.

Beberapa waktu setelah pertemuan, ia diundang seorang kepala desa peserta forum, untuk datang ke daerahnya di dekat perbatasan Jambi—Riau. Salah satu penyangga Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Namanya Desa Pemayungan. Di peta wilayah kerja BKSDA Jambi, desa ini masuk zona merah. 

“Desa Pemayungan itu di 2022 kemarin, [kondisinya] sama seperti di Tangkahan tahun 1998,” ujar Rutkita. 

Menurut Kepala BKSDA Jambi saat itu, Rahmad Saleh (alm.), desa tersebut hutannya gundul dan rawan konflik. Ia belum pernah ke sana. Pernah anggotanya berkunjung malah mau dibakar dan nyaris tidak bisa pulang. Bahkan LSM pun tidak boleh masuk.

Rutkita nyaris berangkat sendiri, andaikata kepala seksi tidak berani menemaninya. Padahal dia tidak paham jalan ke Pemayungan. Lokasinya memang jauh sekali. Sekitar 300 kilometer dari pusat kota Jambi. Mereka pun akhirnya berangkat bersama satu orang sopir. Atas usul Rutkita, plat mobil dinas diganti hitam.

“Begitu sampai di desanya, memang sama seperti Tangkahan dulu. Samping kantor desa numpuk balok bulat-bulat itu,” kata Rutkita sambil terkekeh, “karena saya memang aslinya pemain kayu, saya tahu jenis kayu ini dan itu.”

Ia pun turun. Kepala seksi dan sopir menunggu di dalam mobil. Mesin tetap dihidupkan. Dalam pikiran Rutkita, mungkin sebagai antisipasi kalau terjadi sesuatu mereka bisa langsung tancap gas dan pergi dari desa. 

Di pekarangan ia menemui ibu-ibu, yang tampaknya perangkat desa juga. Sembari berkeliling melihat tumpukan balok-balok tersebut. Rutkita lekas meminta mereka memanggil penduduk desa.

Pada momen itu, ia berbicara dari hati ke hati. Di awal, ia meluruskan pemahaman tentang keberadaaan BKSDA setempat, yang bekerja justru untuk kebaikan masyarakat. Selanjutnya menceritakan sisi pahit dari bermain kayu, serta perubahan dirinya dari penebang pohon menjadi aktivis konservasi dan ekowisata. 

Rutkita berkata kepada masyarakat, “Tapi itu dulu. Sekarang saya enggak lagi [main kayu]. Saya enggak butuh lagi [kayu] seperti kalian. Ini bunuh diri.” 

Tidak ada cara terbaik untuk mengajak orang berubah selain karena berdasarkan pengalaman pribadi. Itulah sebabnya ia mengaku tidak malu menceritakan dosa-dosa di masa lalu, ketika menebang ratusan pohon di hutan Tangkahan. 

“Saya tidak menyesal. Kalau saya tidak pernah melakukan tadi [pembalakan liar], mungkin juga saya tidak pernah melakukan seperti ini [edukasi]. Gara gara pernah melakukan illegal logging, saya sudah keliling Indonesia,” katanya.

Seolah tak cukup, ia menambahkan satu legitimasi lagi. Memvalidasi perubahan hidup yang dijalaninya sampai saat ini.

Di wawancara atau acara mana pun, ia juga selalu berkata, “Saya adalah satu-satunya orang yang berani mengakui, [bahwa] saya pelaku illegal logging!” Dalam pandangannya, Rutkita merasa otaknya lebih konservasionis dibandingkan orang-orang taman nasional sendiri. 

Roda kehidupan memang dinamis. Jika mobil dan motor jadi ukuran kesuksesan hidup tanpa bermain kayu, Rutkita menyebut sekarang ada 4—5 motor dalam satu rumah. Warga yang memiliki mobil pun sudah 70 persen.

Begitu pun alam. Sejak tahun 2000 sampai sekarang, hutan Tangkahan mampu memulihkan diri. Dari semula merah membara menjadi hijau menyejukkan. Bukan hanya proses alami semata, melainkan juga kesadaran dan komitmen orang-orang di sekitarnya.

Rutkita berani memastikan saat ini tidak ada lagi pembalak liar di Tangkahan. Nol persen, katanya. Namun, di luar Tangkahan—entah kawasan sekitar Leuser atau daerah lainnya—mungkin masih ada dan marak. Ia tak bisa apa-apa kecuali berharap agar kawan-kawan yang masih melakukan illegal logging lekas bertobat.

“Berhentilah, karena uang setan tetap dimakan hantu! Pasti!” pesannya.

Ia tahu, orang-orang seperti itu tidak akan mudah percaya dengan omongannya. Mereka akan menyadari kebenaran pesan Rutkita ketika kelak berhenti menebang pohon. Mengalami saat-saat terendah, seperti yang Rutkita rasakan begitu lama. Ketika berapa pun banyaknya uang yang didapatkan setiap bulan tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan sepeda motor saja tidak punya. Sehari-hari bercelana pendek yang sama. 

“Tidak ada yang bisa langgeng dari hasil hutan [secara ilegal]. Saya jamin itu,” tegasnya.Barangkali, satu-satunya penyesalan Rutkita adalah ayahnya tidak sempat melihat langsung hasil perjuangan yang ia janjikan dahulu, hingga Tangkahan menjadi seperti sekarang. Sang ayah meninggal dunia tahun 2002. (*)


Foto sampul:
Rutkita Sembiring menceritakan pengalamannya saat dahulu menebang kayu secara ilegal/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Penebusan Dosa Rutkita appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/penebusan-dosa-rutkita/feed/ 0 40399
Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya https://telusuri.id/kisah-gajah-tangkahan-dan-belahan-jiwanya/ https://telusuri.id/kisah-gajah-tangkahan-dan-belahan-jiwanya/#respond Sun, 10 Dec 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40386 Sembilan ekor gajah sumatra hidup berdampingan di tepi Sei Batang Serangan berarus deras. Menyerahkan garis takdir pada sekelompok manusia. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri “Theo!” Yang dipanggil bergeming. Menoleh saja tidak. ...

The post Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya appeared first on TelusuRI.

]]>
Sembilan ekor gajah sumatra hidup berdampingan di tepi Sei Batang Serangan berarus deras. Menyerahkan garis takdir pada sekelompok manusia.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri


Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Seekor gajah sumatra sedang makan ranting kecil dan semak liar yang tumbuh di sekitar Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan, Langkat/Mauren Fitri

“Theo!”

Yang dipanggil bergeming. Menoleh saja tidak. 

“Theo!”

Sekali lagi. Si empunya suara menyapa keras. Namun, ia tak bisa berbuat banyak selain menunggu.

Sang pemilik nama masih tak acuh. Kakinya tetap kokoh berdiri sekalipun terendam air selutut. Pandangan kedua matanya fokus pada sasaran empuk di bagian atas kepala. Di pinggir tebing cadas, ia terus asyik menarik batang-batang dan daun rotan sampai hampir rontok dari akar. Berbeda dengan manusia, ia meraih itu dengan belalai.

Ya, Theo adalah nama seekor gajah sumatra berusia 37 tahun. Gajah dewasa jantan satu-satunya di Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Gajah Sumatra, Tangkahan, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Ia punya ciri yang sangat mudah dilihat, yaitu rantai baja di pergelangan kaki kiri bagian depan. Sebagai gajah jantan, pada fase-fase tertentu akan mengalami berahi dan berpotensi ngamuk, sehingga harus diikat agar tidak membahayakan gajah lain dan orang-orang di sekitarnya. 

Pagi itu (23/09/2023) memang jadwal Theo mandi di sungai bersama delapan gajah penghuni PLSK lainnya. Joni Rahman (40), pawang gajah atau mahout khusus untuk Theo, terus menyebut nama “anak asuhnya” yang masih sibuk mengunyah rotan. Butuh kesabaran untuk menggiring fokus gajah dari satu kegiatan ke kegiatan berikutnya. Tidak mudah menyamakan persepsi dalam interaksi antara manusia dan gajah. Setiap mahout memiliki bahasa maupun metode pendekatannya tersendiri agar bisa memahami gajah. 

“Setiap gajah yang kita pegang itu, [kita] harus mengerti karakter gajah itu seperti apa. Gajah ini karakternya seperti ini,” kata Joni, sapaan akrabnya, “gajah [juga] tidak boleh dikerasi.”

Nama Joni Rahman dikenal luas sejak muncul di video pendek Save Our Forest Giants produksi Nicholas Saputra dan Mandy Marahimin, Juni 2016. Ia menjadi narasumber yang mewakili mahout Tangkahan. Kini sebagai mahout Joni—sapaan akrabnya—sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS), yang ditetapkan langsung dengan surat keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Pria asal Lhokseumawe itu tidak bekerja sendiri. Ada mahout-mahout lain yang mencurahkan jalan hidupnya untuk mamalia darat terbesar di Indonesia itu.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Joni Rahman, mahout PNS termuda di PLSK Tangkahan, ketika ditemui di penginapan Tangkahan Lodges milik Seh Ukur Depari (Bolang Okor)/Mauren Fitri

Harmoni dua dunia

Para mahout menghuni sekitar 4—5 petak rumah sederhana sebagai tempat tinggal sehari-hari. Fasilitas yang dibuat Conservation Rescue Unit (CRU) tersebut seukuran tipe 21 dengan dinding kombinasi bata dan anyaman bambu. Letaknya memang didesain dekat dengan pintu masuk menuju PLSK. Terpisah dengan Sei Batang Serangan selebar 50 meter. Para mahout dan wisatawan memanfaatkan akses satu-satunya menyeberang sungai, yaitu jembatan gantung Nini Galang sepanjang 150 meter. 

Di PLSK Tangkahan, para mahout melakukan rutinitas mengasuh gajah setidaknya dua kali dalam satu hari. Pukul 08.00 dan 16.00 WIB. Selain memandikan dan memberi makan, secara berkala mahout mengangon gajah untuk cari makan di dalam hutan. Dari pagi sampai petang. 

Meskipun sudah ada jadwal rutin dalam satu hari, sesungguhnya pekerjaan mengurus gajah menuntut waktu dan tenaga untuk bersiaga penuh 24 jam. Mereka tidak pernah bisa memprediksi hal-hal yang menimpa gajah, sehingga satu detik pun berharga. Kondisi itu acap kali menimbulkan rasa jenuh; yang mau tidak mau harus diabaikan karena menjaga profesionalitas.

Begitu pula jatah libur. Sebagaimana PNS yang memiliki waktu bebas Sabtu dan Minggu, para mahout tersebut nyaris tidak pernah mengambilnya. Apalagi akhir pekan adalah momen puncak keramaian wisatawan—domestik maupun mancanegara—yang berkunjung ke Tangkahan untuk melihat gajah. Tanpa mahout, ekowisata gajah-gajah jinak itu tidak akan berjalan.

Seorang mahout bertanggung jawab pada dua dunia yang sangat bertolak belakang, yakni keluarga sendiri dan gajah sumatra. Bukan tugas mudah mengharmonikan keduanya secara seimbang. Seperti dialami sendiri oleh Budiman alias Pakde, seorang mahout senior yang kami temui saat bekerja (24/09/2023).

“Sebenarnya [oleh] keluarga di rumah sudah dikomplain, [katanya lebih] banyak waktu untuk ngurus gajah daripada untuk [mengurus keluarga] di rumah,” seloroh Budiman sambil mengelus belalai Christopher atau Chris, gajah sumatra jantan berusia sembilan tahun yang hendak dimandikan di sungai, “walau [Chris] ‘anak’ keempat saya, tapi saya lebih banyak waktu sama dia.”

Christopher adalah anak dari Agustin (51), gajah betina dewasa yang didatangkan TNGL dari Lhokseumawe, Aceh, ke Pusat Latihan Satwa Khusus (PLSK) Tangkahan. Namanya diambil dari seorang veterinarian asal Jerman, Dr. Christopher Stremme, yang ikut merawat gajah bersama para mahout. Sejak 2015, ia bekerja di dua tempat. Sebagai konsultan medis gajah sumatra di organisasi nirlaba International Elephant Project, serta dosen tamu di kelas internasional Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Kehadiran Chris mewarnai dunia Pakde, yang secara biologis sudah dikaruniai tiga orang anak. Dari total 32 tahun bekerja merawat gajah, 21 tahun terakhir ia curahkan hidupnya di Tangkahan. Pakde merupakan salah satu dari empat mahout senior yang sudah berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Tiga orang lainnya adalah Sudiono, Katio, dan Cece Supriatna. Joni jelas mahout PNS termuda. Sekalipun begitu, ia terhitung memiliki jam terbang tinggi untuk berurusan dengan gajah. Hanya terpaut satu dekade di belakang Pakde. Untuk meringankan tugas, kelima mahout ini dibantu oleh empat orang lokal yang direkrut sebagai elephant keeper.

Meskipun belum ada riset spesifik, profesi mahout tampaknya bisa digariskan secara turun-temurun. Ada perasaan kinasih yang mewaris dalam darah mahout. Semacam panggilan hati yang merasuk. Melebur sebagai jiwa yang tak bisa dikesampingkan begitu saja. Garis hidup Joni atau biasa disapa Bang Jon, seperti membuktikan itu. Sedari kecil ayah dua anak itu sudah sangat dekat dengan lingkungan gajah. 

“Bapak saya dulu juga kerja sebagai mahout. Bapak saya orang pertama [di keluarga] yang menjadi mahout. Saya orang kedua,” kenang Joni menceritakan regenerasi mahout di keluarganya. Saat tragedi Krueng Geukueh melanda Aceh Utara pada 1999, bapak Joni adalah koordinator evakuasi gajah liar dari kabupaten tersebut ke dua tempat baru, yaitu Banda Aceh dan Sekolah Pelatihan Gajah Saree. 

Sebelum digaji sebagai mahout, Joni mulanya menjadi relawan elephant keeper selama 2001—2004. Ketika tsunami menerjang Aceh pada Desember 2004, ia dan rekan-rekan mahout lainnya membawa kawanan gajah untuk membantu pembersihan puing-puing setelah bencana mereda.

Kemudian pada 2005—2012 ia diangkat sebagai tenaga honorer di bawah BKSDA Aceh. Salah satu tugas terbesarnya di BKSDA antara lain membawa 11 ekor gajah dari Tangkahan, Kabupaten Langkat ke Saree, Aceh Besar; tempat gajah-gajah liar yang dievakuasi dari konflik untuk dilatih. Bersama gajah ia juga merasakan berkelana lintas kota dan pulau. Sepanjang Sumatra, Jawa, dan Kalimantan pernah disinggahi. Umumnya bekerja mengawal gajah-gajah jinak untuk keperluan atraksi maupun edukasi di sejumlah kebun binatang.

Perjalanan hidup Joni dengan subspesies gajah asia itu kiranya serupa yang dirasakan senior-seniornya. Hubungan mahout dan gajah layaknya bapak dan anak. “Sebenarnya [menjadi mahout] bukan hanya sekadar profesi, [tetapi] juga harus menjiwai dia [gajah],” kata Joni, yang meyakini mahout sebagai pekerjaan mulia.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Pakde bersama Christopher atau Chris, jelang sesi rutin memandikan gajah di Sungai Batang Serangan, Tangkahan/Deta Widyananda

Dari patroli ke fungsi edukasi

Sebelum benar-benar diberdayakan sebagai subjek edukasi dan konservasi, gajah-gajah dewasa yang ada di PLSK Tangkahan dulunya terlibat aktif dalam pengamanan hutan.  Program tersebut diinisiasi oleh Fauna & Flora International (FFI) yang membentuk Conservation Rescue Unit (CRU) dan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK.

CRU atau Unit Tanggap Konservasi merupakan organisasi berbadan hukum yang terpisah dengan Lembaga Pariwisata Tangkahan. Tugas khusus CRU antara lain melakukan respon cepat terhadap konflik antara satwa dengan masyarakat, memberikan edukasi tentang pentingnya konservasi, dan merawat gajah jinak untuk kepentingan konservasi dan patroli hutan.

Di awal, fokus area kerjanya mencakup Aceh, Sekoci, dan Tangkahan. Gajah digunakan sebagai transportasi untuk mendukung petugas saat melakukan patroli hutan. Sebutannya saat itu adalah Elephant Jungle Patrol. Menurut Joni, program di Aceh sebenarnya terhitung berhasil. Namun, selanjutnya kacau karena konflik di Aceh Utara pada 1999. 

Patroli dengan gajah juga sempat dilakukan di Sekoci, Kecamatan Besitang, Kabupaten Langkat dalam kurun waktu antara 2000—2001. Para mahout menemani polisi hutan maupun ranger melakukan pengamanan ke hutan. Namun, seiring masifnya perambahan liar dan tingginya risiko keracunan pada gajah di Sekoci, Elephant Jungle Patrol dihentikan. Petugas patroli beralih menggunakan mobil.

Joni menambahkan, gajah-gajah asal Aceh—belakangan diketahui bernama Agustin dan Medang (meninggal beberapa tahun kemudian)—yang sempat dipakai di Sekoci tersebut selanjutnya dipindahkan ke Tangkahan. Saat itu, Tangkahan sedang dalam masa transisi sejak terbentuknya Lembaga Pariwisata Tangkahan dua tahun sebelumnya. Berbenah besar-besaran dari yang awalnya pusat pembalakan liar menuju kawasan ekowisata.

Kedatangan gajah pertama kalinya di Tangkahan digunakan untuk melakukan pengawasan dan pengamanan mencegah aksi pembalak liar. Warga setempat juga direkrut untuk ikut berpatroli ke hutan. Selain itu gajah bisa menjadi nilai tambah untuk daya tarik ekowisata.

Keberadaan dua gajah dewasa tersebut selanjutnya disusul gajah-gajah penghuni baru PLSK Tangkahan. “Ada tiga gajah yang ditangkap dari Bohorok. Si Theo, Yuni, sama Olive,” terang Joni. Ketiga gajah itu dievakuasi dari lahan warga karena dalam kondisi terisolasi dan tidak bisa bergerak ke mana-mana.

Gajah-gajah tersebut kemudian beranak pinak sampai sekarang. Setelah tak lagi sibuk membantu patroli hutan, LPT dan mahout kemudian menjadikan para gajah itu sebagai subjek edukasi untuk ekowisata dan konservasi. Salah satu topik edukasi terpenting adalah tentang daya jelajah dan jalur gajah.

Selama ini banyak orang menganggap gajah adalah hama yang merusak perkebunan atau permukiman mereka. Padahal menurut Joni, gajah akan selalu kembali melewati jalur yang sama dan tidak akan berpindah bahkan sampai 40 tahun. “Dalam 40 tahun perubahan manusia sangat cepat. Begitu gajah masuk ke lahan warga, [gajah akan bilang] ‘loh, ini dulu rumahku, sekarang kok sudah ada kebun rambung, kebun durian, juga sawit’,” jelas Joni. Ketika gajah sudah merangsek ke perkebunan atau permukiman warga, maka timbullah konflik. Gajah tersingkir dari rumahnya sendiri.

  • Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
  • Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya

Sadar ekowisata, sadar batas

Di pinggiran sungai berair jernih saat kemarau itulah sentra aktivitas ekowisata berlangsung. Segala paket ekowisata harus melalui satu pintu, yaitu Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT).

Sejak 2001, ekowisata menjadi denyut nadi yang menghidupkan Tangkahan. Sebuah hidup baru yang ditempuh hampir seluruh warga Tangkahan, setelah satu dekade sebelumnya bergantung pada pembalakan liar. 

Jarak yang jauh dari Kota Medan, sekitar 3—3,5 jam perjalanan sejauh 100 kilometer, seolah tidak jadi soal. Seiring waktu berjalan, Tangkahan menjelma menjadi destinasi ekowisata dunia. Beberapa fasilitas untuk tamu, seperti penginapan dan kuliner yang dikelola berbasis masyarakat, terus bertambah dan berbenah. Dalam satu tahun, pusaran uang yang berputar di masyarakat dapat mencapai 10—20 miliar rupiah.

Pandemi COVID-19 lalu memang berdampak signifikan pada aktivitas wisata di Tangkahan. Pelbagai pembatasan menghambat laju perekonomian masyarakat. Ekowisata adalah kegiatan lintas sektor, sehingga terganggunya satu aspek akan berdampak pada aspek lainnya. 

Selepas pandemi, tahun ini perlahan menunjukkan progres menggembirakan. Ratusan turis mulai kembali mengunjungi Tangkahan setiap bulannya. Menurut Jony Salman, koordinator perencanaan strategis LPT, total sudah ada 5.084 wisatawan yang datang melihat gajah selama periode Februari—Agustus 2023. Puncak kunjungan terjadi pada Juli dan Agustus sebanyak 2.649 orang. Secara keseluruhan wisatawan mancanegara mendominasi sebanyak 55 persen, mayoritas dari Prancis, Belanda, dan Jerman.

Dalam satu hari tur, LPT bekerja sama dengan CRU menjadikan atraksi memandikan dan memberi makan gajah sebagai daya tarik utama. Alternatif lain tersedia aktivitas camping atau tubing. Mereka mengetahui Tangkahan dari buku-buku panduan perjalanan—misalnya, Lonely Planet—maupun informasi di internet. Selain Bukit Lawang, biasanya Tangkahan sepaket dengan pelesir ke Danau Toba.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Bang Ica, elephant keeper muda dari Tangkahan, sedang memandikan Sari dan anaknya, Boni (kiri) saat sore hari di Sei Batang Serangan. Sungai ini menjadi batas antara kampung (kiri) dan kawasan hutan konservasi Taman Nasional Gunung Leuser/Deta Widyananda

Namun, di balik kesadaran tinggi terhadap legitnya ekowisata, tetap harus diiringi pula dengan kesadaran akan batasan-batasan yang berlaku. Sebagai antitesis dari mass tourism atau pariwisata massal, ekowisata sejatinya memiliki rambu-rambu yang lebih ketat. Salah satunya soal pengaturan jumlah kunjungan wisatawan. Rutkita Sembiring, mantan pengurus LPT yang kini fokus bekerja sebagai humas CRU, mengingatkan soal itu.

“Kalau ada yang datang 2.000 orang pengunjung per hari, [pasti] enggak bisa dikontrol. Karena memang kapasitas atau daya tampung kawasan kami kecil,” Rutkita mewanti-wanti. 

Rutkita tak bisa menyebut angka pasti. Ia coba memberi perkiraan batas maksimal. “Kami enggak perlu banyak. Wisata domestik itu per tahun cukup 100.000 [orang]. Mancanegara itu 10.000 [orang] sudah cukup per tahun,” hitungnya, “enggak banyak, [tetapi] cukup. Dari angka itu, sudah [dapat] 17 miliar per tahun kami [dapatkan].”

Dalam catatan BPS Sumatra Utara (2021), Tangkahan pernah mencatat angka kunjungan wisata tertinggi pada 2016, yaitu sebanyak 72.900 orang. Masih di bawah batas aman sesuai perkiraan Rutkita. Meskipun demikian, ia berharap tidak mendekati atau melampaui angka maksimal yang disebutkan.

Sejauh ini LPT menerapkan beberapa strategi untuk membatasi kunjungan berlebih ke Tangkahan. Di antaranya kewajiban reservasi jauh hari, mematok harga paket lebih tinggi, hingga penerapan zonasi hulu (ekowisata) dan hilir (mass tourism). 

Tantangan terdekat di depan mata adalah proses pengaspalan jalan dari pusat Desa Namo Sialang menuju Tangkahan. Baik dari arah Stabat maupun Bukit Lawang. Tahun ini proyek besar dari pemerintah provinsi itu akan rampung. Artinya, aksesibilitas akan lebih mudah dan berpotensi menarik kunjungan wisata lebih banyak. 

Perlu komitmen bersama untuk mencegah ledakan turis. Tak terbayangkan betapa stresnya sembilan gajah bertemu manusia yang bermacam-macam setiap saat. Mahout pun akan bekerja ekstra dan bisa-bisa makin lupa kapan terakhir kali libur.

Bahaya besar mengintai gajah sumatra

Dari foto udara, lebatnya vegetasi tropis TNGL tampak kontras dengan perkebunan sawit di barat Sei Batang Serangan. Hutan belantara nan asri di seberang timur merupakan harta karun terbesar Tangkahan. Gemericik sungai menjadi penanda batas alami yang memisahkan area publik dan kawasan konservasi.

Jika telinga kita tajam, akan terdengar suara burung-burung bersahutan. Mata yang jeli bisa melihat mereka terbang di kanopi pepohonan. Saat berbincang dengan Joni di penginapan milik Seh Ukur Depari (Bolang Okor), dari gelapnya hutan terdengar tiga kali suara kuau raja memekakkan keheningan malam. Nuansa tersebut sesaat membuat kami lupa dengan ratusan hektare sawit yang mengepung jalan menuju Tangkahan.

Di tengah geliat ekowisata, sepintas situasi tersebut cukup kondusif bagi hajat hidup sembilan ekor gajah sumatra di Tangkahan. Masyarakat setempat maupun pengunjung masih bisa melihat polah lucu anak-anak gajah, seperti Carlos (anak Olive, 33) dan Boni (anak Sari, 37).

Namun, jika membuka sudut pandang lebih lebar, kita patut khawatir. Sampai saat ini belum ada data yang pasti dan sinkron tentang populasi gajah di Indonesia.

Berdasarkan data-data terbaru yang diolah dari KLHK dan sejumlah organisasi nirlaba, Yayasan Auriga Nusantara menyodorkan fakta memprihatinkan. Pada tahun 2021 populasi gajah sumatra liar berkisar antara 924—1.359 ekor. Merosot tajam sekitar 33—45 persen dari tahun 2017. Hanya dalam rentang empat tahun, keberadaan gajah liar menyusut drastis. Sementara kurang dari 500 ekor gajah jinak tersebar di pusat latihan gajah, taman safari, kebun binatang, dan lain-lain.

Surutnya populasi gajah selaras dengan penurunan kantung habitat alami gajah. Selama 2017—2021, 14 titik kantung gajah menghilang. Kini tersisa setidaknya 22 kantung gajah dengan total 4.642.824 hektare; 80 persen di antaranya berada di luar kawasan konservasi. Puluhan kantung gajah itu tersebar di Aceh, Sumatra Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung.

Dalam evaluasi yang disampaikan KLHK—sebelumnya Departemen Kehutanan—dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera Dan Gajah Kalimantan 2007-2017, penurunan populasi gajah in-situ (habitat alami) disebabkan konversi lahan akibat tata ruang wilayah yang belum sepenuhnya mendukung upaya konservasi gajah. Lalu meningkatnya kebutuhan akan ruang untuk pembangunan wilayah permukiman dan perkebunan—yang menyebabkan seringnya konflik gajah dengan manusia, serta konsesi perkebunan yang tumpang tindih merupakan ancaman serius terhadap gajah sumatra.

Belum cukup sampai di situ. Perburuan liar kerap menempati daftar teratas kasus kematian berat gajah sumatra. Kepala Balai Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK Wilayah Sumatra, Eduward Hutapea, seperti dikutip dari Kompas.id (30/03/2021) saat menggagalkan perdagangan sepasang gading gajah di Kabupaten Bungo, Jambi, menyebut gading sebagai komoditas ekonomi tertinggi yang bisa diambil oleh pemburu dan pedagang ilegal. Harganya menyentuh setidaknya 60 juta rupiah untuk sepasang gading sepanjang 37—48 senti. 

Joni memberi kalkulasi angka lebih gamblang. Untuk sepasang gading dengan panjang sedikitnya dua meter—dari ujung ke pangkal—dari satu ekor gajah jantan dewasa, harga jualnya di pasar gelap senilai dua Fortuner atau tiga Innova Reborn. Akan tetapi, jelas nilai kerugian ekologisnya jauh lebih besar. Eduward mengestimasi kerugian ekologis sebesar 3,5 miliar rupiah setiap kematian seekor gajah. 

Bisa dibayangkan betapa menggiurkannya bisnis haram ini. Aksi-aksi perburuan liar yang terus berlangsung menunjukkan masih banyaknya permintaan kolektor atau orang-orang kaya yang tak tahu urat malu. Padahal jeratan hukum pidana berat sudah menanti sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Selain terdesak ancaman konversi lahan dan perburuan liar, gajah sumatra rentan terhadap penyakit Elephant endotheliotropic herpesvirus (EEHV). Virus ini berisiko tinggi terutama pada kelompok anak gajah berusia 1 sampai 10 tahun. Sebelum kelahiran Christopher (9), Albertina (8), Carlos (2), dan Boni (2), sudah ada tiga anak gajah yang lahir di Tangkahan lalu akhirnya mati karena terinfeksi EEHV. Mengutip dari Save Our Forest Giants, ketiga anak gajah itu adalah Tangka (September 2009—April 2011), Namo (Desember 2010—April 2012), dan Amelia (Februari 2012—April 2015).

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Joni menunjukkan foto dirinya bersama Eropa yang baru lahir pada September 2015. Foto ini masih tersimpan di galeri ponselnya/Mauren Fitri

Kasus terbaru tahun ini dialami Eropa (8), anak gajah adopsi delegasi Uni Eropa. Akhir April, Eropa mati setelah 20 hari dirawat intensif. Ia lumpuh karena terperosok ke celah batang pohon dekat blok kandang rusa di area Resor Tangkahan. Insiden tersebut diduga akibat disorientasi jalur. Keterbatasan gerak anak gajah dari induk betina Olive itu disebabkan virus EEHV yang pernah menginfeksinya saat bayi.

Sampai sekarang para pegiat konservasi gajah masih resah, karena belum ada obat khusus untuk memerangi EEHV pada gajah. Christopher Stremme, salah satu narasumber utama di Save Our Forest Giants, mengungkapkan kekhawatirannya. Menurut Stremme, sampai saat ini belum ada vaksin khusus untuk menangkal virus tersebut. Belum tercatat keberhasilan mengisolasi virus karena kendala pendanaan laboratorium. Virus pada gajah dianggap tidak memiliki nilai komersial bagi perusahaan-perusahaan farmasi, bahkan kelas internasional sekalipun.

Kasus EEHV tidak hanya menjangkit gajah-gajah yang ada di penangkaran maupun pusat latihan satwa. Berdasarkan hasil riset Drh. Diah Esti Anggraini dan Drh. Dedi Candra yang ditulis di situs resmi Taman Nasional Way Kambas (06/05/2017), yang menjabarkan analisis kematian empat ekor anak gajah—semuanya di bawah sembilan tahun—di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Way Kambas, gajah liar pun berpotensi tertular. Penyebabnya tidak ada barrier atau pembatas antara tempat penangkaran dengan habitat alami gajah. Ini tentu meresahkan karena EEHV dapat mencapai tingkat kematian 80—90% sejak gejala klinisnya diketahui—itu pun sudah stadium akut.

Begitu banyaknya rentetan bahaya yang mengintai kehidupan gajah sumatra—baik gajah liar maupun jinak. Padahal ibu gajah butuh 22 bulan untuk mengandung sampai melahirkan. Setelah lahir, perlu 8—10 tahun untuk bisa beranak lagi. Seorang mahout harus jeli memerhatikan tanda-tanda tersebut, karena—seperti halnya badak—setiap kelahiran bayi gajah adalah peristiwa yang patut dirayakan dengan sukacita.

Bisa dibayangkan tantangan dan kesulitan yang dihadapi, demi menjamin gajah tetap hidup aman dan terus bermain dengan nyaman di hutan.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Olive-Carlos (depan) dan Sari-Boni (belakang). Pasangan ibu dan anak gajah ini kompak merendam kaki di sungai sebelum dimandikan oleh mahout. Anak gajah selalu menempel dan bergantung pada induknya hingga usia 2-3 tahun/Mauren Fitri

Jalan keabadian

Saya jadi teringat film The Jungle Book rilisan Disney tahun 2016. Ada sebuah adegan yang menurut saya sangat berkesan. Pada suatu momen Mowgli (Neel Sethi) sedang berjalan bersama Bagheera, seekor macan kumbang (disuarakan Ben Kingsley) di dalam hutan. Tiba-tiba muncul kawanan gajah dewasa dan seekor anak gajah mendekat.

Melihat itu Bagheera lekas meminta Mowgli menundukkan kepala, “Bow your head.”

Why?” Mowgli bertanya alasannya. 

Show them respect. The elephant’s created this jungle. Where they’ve made furrows with their tusks the rivers around, where they blew with their trunks the leaves fell. They made all the belong, the mountains, the trees, the birds in the tree; but they did not make you. That is why you must go.”

Bagheera meminta Mowgli menunjukkan rasa hormat kepada kawanan gajah. Mamalia besar yang menciptakan hutan; tempat mereka menggali parit dengan gading untuk sumber air dari sungai-sungai di sekitarnya; tempat mereka mengambil makanan—daun, biji, buah—dengan belalai, lalu menyebarkannya ke tanah agar tumbuh kembali.

Gajah membuat segala makhluk hidup di hutan bergantung padanya. Tak terkecuali predator, seperti harimau atau macan sekalipun. Bahkan mungkin gajah adalah raja rimba sebenarnya.

Terlepas banyaknya penafsiran terhadap adegan tersebut, pesan yang disampaikan Bagheera tidak mengada-ada. Meskipun sekilas polah gajah tampak menggemaskan, perannya jauh lebih besar dari itu. Gajah seolah ditugaskan meniti jalan keabadian. Seumur hidup gajah digunakan untuk memastikan siklus ekosistem berjalan serasi. Lebih-lebih di tengah masifnya pendidihan global yang diderita bumi saat ini.

WildAid, lembaga nonprofit yang berfokus pada proteksi satwa dan habitat liar, mencatat peran krusial gajah untuk menghadapi perubahan iklim. Seekor gajah dapat meningkatkan penangkapan karbon di hutan hujan sekitar 9.500 ton per kilometer persegi. Angka ini hampir setara dengan jumlah karbon yang dihasilkan 2.000 mobil dalam satu tahun. 

Namun, fakta-fakta tersebut belum cukup mampu membuka mata semua orang. Gajah di seluruh dunia berpacu dengan waktu. Termasuk gajah sumatra. Manusia adalah ancaman nomor satu dan satu-satunya, yang bisa menghalalkan segala cara untuk melenyapkan gajah dari bumi pertiwi. Entah secara sengaja maupun tidak. Meracuni, membunuh untuk mengambil gadingnya, atau mempersempit ruang hidup dengan merambah hutan untuk perkebunan.

Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya
Joni Rahman (kiri) dan Theo dalam sesi wawancara dengan TelusuRI di pulau berbatu di pinggiran Sungai Batang Serangan/Mauren Fitri

“Paling sedih, ya, kenapa masyarakat tega [membunuh gajah]. [Walau] sebenarnya tidak mesti [hanya] gajah saja. Ke semua satwa itu, kalau orang membunuh tanpa alasan, saya sebenarnya tidak terima. Sedih juga, gitu,” ujar Joni. Lidahnya seperti tercekat.

Ia mengibaratkan anjing, yang dalam beberapa mazhab di agama Islam, akan najis bila terkena tubuh atau liurnya. Namun, bukan berarti ketentuan tersebut dijadikan alasan untuk memukul atau membunuh anjing. Apalagi tanpa sebab yang jelas. Terlebih gajah yang berstatus satwa dilindungi negara dan kritis.

Itu akan terjadi jika manusia tidak segera campur tangan. Mulai dari tingkat pemerintahan selaku pemangku kebijakan hingga level terbawah, harus melakukan intervensi besar-besaran. Segala kebijakan untuk gajah semestinya tidak berasas populisme semata, tetapi berdasarkan kajian kritis dan kepedulian pada masa depan anak cucu.

Akan tetapi, Joni dan rekan-rekan mahout bukan manusia super yang bisa memenangkan pertarungan setiap saat. Dengan rendah hati Joni menyebut, mahout bukanlah bintang film India yang akan mengantar cerita menuju akhir bahagia (happy ending).

Kenyataannya merekalah yang berdiri di garis terdepan pelestarian gajah sumatra dan hutan hujan Leuser. Mahout adalah orang-orang terpilih. Dedikasi dan pengabdian mahout amat penting untuk menjaga jejak gergasi rimba tetap dalam keabadian. Perlu dukungan lintas sektor, pemangku kawasan, masyarakat, penegak hukum, hingga pegiat ekowisata. 

Lihatlah keluarga besar itu. Agustin, Theo, Sari, Olive, dan Yuni; Christopher, Albertina, Carlos, dan Boni. Lekukan belalai yang lentur, sepasang kuping lebar yang suka dikibas-kibas, ekor mungil yang sering bergoyang, dan guratan kulit keras dengan bulu-bulu di atasnya terasa menggemaskan. Apalagi jika melihat lebih dalam bola matanya yang bulat. Terasa membius dan misterius.

Banyak alasan untuk mencintai gajah sumatra dan hutan Leuser. Banyak alasan untuk menghormati separuh hati mereka, para mahout yang setia. (*)


Foto sampul:
Yuni, gajah sumatra betina dewasa di Pusat Latihan Satwa Khusus Tangkahan, Sumatra Utara/Mauren Fitri

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah Gajah Tangkahan dan Belahan Jiwanya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-gajah-tangkahan-dan-belahan-jiwanya/feed/ 0 40386
Ke Tangkahan tapi Tidak untuk Bertemu Nicholas Saputra https://telusuri.id/ke-tangkahan-tapi-tidak-untuk-bertemu-nicholas-saputra/ https://telusuri.id/ke-tangkahan-tapi-tidak-untuk-bertemu-nicholas-saputra/#respond Sat, 27 Aug 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34961 Jika kita mengikuti Nicholas Saputra di Instagram atau menonton video klip “Adu Rayu” pasti familiar dengan tempat ini. Video klip tersebut diambil di Tangkahan, sebuah kawasan ekowisata yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser,...

The post Ke Tangkahan tapi Tidak untuk Bertemu Nicholas Saputra appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika kita mengikuti Nicholas Saputra di Instagram atau menonton video klip “Adu Rayu” pasti familiar dengan tempat ini. Video klip tersebut diambil di Tangkahan, sebuah kawasan ekowisata yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Tangkahan sendiri dikenal sebagai tempat penangkaran gajah Sumatera dan merupakan habitat alami dari berbagai jenis satwa liar. Tidak hanya itu, lokasi ini juga merupakan pertemuan beberapa sungai yaitu Sungai Buluh, Sungai Batang Serang, dan Sungai Musam di bagian hilirnya. Selain sebagai tempat penangkaran satwa liar, masyarakat lokal juga mengelola wilayah ini sebagai tempat wisata alam dengan berbagai aktivitas seru di dalamnya. 

Jembatan dalam video Adu Rayu
Jembatan dalam video Adu Rayu/Shara Tobing

Lokasi ekowisata Tangkahan bisa dicapai dengan 3 jam berkendara dari Kota Medan dengan membawa kendaraan pribadi. Kalau enggan membawa kendaraan sendiri, kamu bisa juga mencoba kendaraan umum seperti mobil travel dari Pinang Baris. Tarifnya cukup murah, sekitar Rp30.000-Rp50.000 untuk satu kali jalan Dengan menggunakan travel, kamu akan diantarkan langsung sampai ke lokasi penginapan yang kamu tuju. Beberapa penginapan seperti Terarrio Tangkahan bahkan menyediakan jasa penjemputan langsung dari Bandara Kualanamu, Medan.

Ada banyak penginapan yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat lokal yang bisa kamu pesan baik langsung melalui pemandu wisata atau marketplace perjalanan. Sebelum masa pandemi, mayoritas masyarakat mengandalkan sektor pariwisata sebagai mata pencaharian utama. Namun karena pandemi COVID-19, banyak masyarakat yang harus beralih mata pencaharian menjadi pekerja di perkebunan sawit yang lokasinya berdampingan dengan wilayah ekowisata Tangkahan. Perubahan mata pencaharian ini diakibatkan oleh turunnya angka wisatawan asing dan lokal akibat dari dilakukannya pembatasan wilayah dan penutupan alur masuk penerbangan luar negeri. 

Berinteraksi langsung dengan para gajah
Berinteraksi langsung dengan para gajah/Shara Tobing

Salah satu aktivitas andalan di wilayah ekowisata ini adalah memandikan dan memberi makan gajah, serta rafting menyusuri sungai. Untuk memberikan makan dan memandikan gajah kamu perlu untuk merogoh kocek sebesar Rp100.000/orang. Kamu dapat berinteraksi langsung dengan beberapa gajah yang ada di penangkaran, memberi makan, berfoto bersama dan bisa pula ikut membantu para pawang memandikan gajah. Kegiatan memberi makan gajah ini dilakukan dua kali sehari di jam 08.00 dan jam 15.00, maka dari itu pastikan kamu datang tepat waktu ya. Semua kegiatan di sini tentunya dilakukan dibawah pengawasan, jadi kamu tidak perlu takut untuk berinteraksi langsung dengan para gajah di sini.

Tidak hanya memberi makan gajah, kamu juga bisa makan siang di tepi sungai sambil menikmati suasana hutan yang masih asri. Lengkap dengan gemericik air sungai, dan tentunya udara segar.

Masyarakat desa sekitar Tangkahan sangat peduli terhadap konsep pariwisata berkelanjutan. Pengelolaan dana retribusi lokasi ekowisata dimanfaatkan dengan sangat apik dan tentunya merata bagi setiap bagian masyarakat. Pengelolaan lokasi ekowisata dilakukan dengan memberdayakan setiap lapisan masyarakat yang ada. Para pemuda misalnya, tergabung dalam sebuah kelompok yang fokus terhadap penyediaan fasilitas ekowisata dan menjadi pemandu wisata bagi pelancong yang datang.

Kelompok perempuan, khususnya para ibu menjajakan makan siang dan jajanan ringan di sepanjang sungai khususnya pada spot yang ramai dengan wisatawan. Selain itu, beberapa pemuda dan kelompok ibu juga diberdayakan untuk melakukan kegiatan pembersihan di sepanjang sungai setiap sore hari untuk memastikan bahwa tidak ada sampah yang berserakan dan mengotori sungai. Selama perjalanan pula, para pemandu wisata tidak henti-hentinya mengingatkan para pengunjung untuk tidak membuang sampah sembarangan.

Selain bertemu dengan gajah, kamu juga bisa mencoba beberapa kegiatan lain seperti rafting dan eksplorasi beberapa bagian sungai seperti air terjun, sumber air panas, hingga camping di tengah hutan. Dengan merogoh kocek sebesar Rp250.000/orang kamu akan dibawa menyusuri sungai dengan rafting, menuju beberapa spot pemandian yang indah serta makan siang di tepi sungai yang tentunya sangat instagramable.

Menuju Pantai Kupu Kupu setelah rafting
Menuju Pantai Kupu-kupu setelah rafting/Shara Tobing

Salah satu spot tersebut yakni Pantai Kupu-kupu. Sesuai dengan namanya, di kala siang hari akan ada banyak sekali kupu-kupu berterbangan di sekitar sungai. Menurut masyarakat sekitar, kupu-kupu ini tertarik dengan bau manusia jadi semakin ramai tempat tersebut maka akan semakin banyak pula kupu-kupu yang bertebangan di sekitar sungai. Oh iya, katanya juga spot ini menjadi tempat favorit Nicholas Saputra loh.

Berhubung lokasi ini ditempuh dengan melewati jalur sungai yang cukup berbatu dan berarus deras, pastikan bahwa kalian menggunakan pakaian dan sendal yang sesuai untuk mempermudah perjalanan. Perlu diingat pula bahwa untuk mengunjungi bagian ini kalian perlu untuk didampingi oleh para pemandu wisata yang paham betul akan kondisi alam. Maklum, kepercayaan lokal masih cukup kuat dipegang oleh masyarakat sekitar. Mereka akan membaca tanda-tanda alam yang menentukan apakah lokasi aman untuk dikunjungi. Jadi jangan sekali-kali iseng pergi sendiri ya. 

Selain mengunjungi Pantai Kupu-kupu, kita juga bisa mengunjungi sumber air panas yang berada di tengah celah tebing batu. Tempat ini terbilang cukup unik sebab hanya muat untuk tiga orang dewasa. Menurut masyarakat, pasir yang berada di air panas ini ampuh untuk mengobati berbagai penyakit kulit dan jerawat, jadi jangan kaget kalau ketika kamu datang ada banyak orang rela mengantre untuk berendam.

Pantai Kupu Kupu
Pantai Kupu-kupu/Shara Tobing

Perjalanan selanjutnya akan membawa kamu ke air terjun di pinggir sungai. Meskipun air terjun ini tidak terlalu tinggi, namun spot ini menjadi lokasi favorit bagi anak-anak kecil. Menariknya, lokasi sungai ini tidak hanya ramai oleh wisatawan, tetapi juga ramai oleh masyarakat sekitar yang menjadikannya lokasi pemandian sehari-hari. Di lokasi ini pula, pemandu wisata telah menyediakan makan siang yang didesain layaknya piknik tepi sungai. Setelah mengunjungi air terjun, kita bisa melanjutkan aktivitas dengan rafting kembali sekitar 15-20 menit melewati aliran sungai yang tenang dan jernih. 

Beberapa homestay milik masyarakat sengaja berlokasi di tengah hutan, masih berada dekat dengan aliran sungai. Tentunya menambah kesan asri. Pemandu wisata yang membawa saya dan keluarga mengatakan bahwa ada banyak sekali wisatawan asing yang memilih untuk menginap di Tangkahan selama berbulan-bulan. Mereka tidak hanya mencari tempat yang mungkin sulit didapatkan dari negara asal namun juga belajar mengenai konservasi hewan liar, hingga belajar budaya dan kultur masyarakat setempat. Tak sedikit yang akhirnya fasih bahasa Indonesia, bahkan bahasa masyarakat setempat setelah berbulan-bulan tinggal di sini. 

Meski belum banyak terdengar, dan bahkan belum menjadi destinasi prioritas di Indonesia, Tangkahan memiliki potensi luar biasa yang menurut saya perlu terus dikembangkan. Wisata edukatif, berbasis pengelolaan masyarakat setempat masih menjadi tantangan tersendiri di Indonesia.

Walaupun para pemandu wisata sangat mengharapkan adanya lonjakan pengunjung yang dapat berkontribusi positif terhadap ekonomi masyarakat setempat, mereka sempat pula mengeluhkan adanya potensi dampak negatif terhadap kondisi alam jika terlalu banyak pengunjung datang. Dengan demikian, mereka sangat mengharapkan adanya bantuan dan perhatian lebih dari pemerintah guna menemukan mekanisme yang tepat dalam pengelolaan pariwisata berkelanjutan di Tangkahan. Setelah mengarungi sungai, pengunjung akan sampai di lokasi terakhir, bagian sungai yang cukup landai dan berbatu. Dari sini pengunjung mobil off-road akan mengantarkan pengunjung kembali ke penginapan.

Perjalanan kali ini sangat bermakna untuk saya. Selain menyusuri alam yang masih sangat terjaga, masyarakat lokal sudah sadar pariwisata sehingga saat berjumpa dengan wisatawan, mereka akan menyapa dengan ramah. Jadi, kapan kamu akan berkunjung ke sini?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ke Tangkahan tapi Tidak untuk Bertemu Nicholas Saputra appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ke-tangkahan-tapi-tidak-untuk-bertemu-nicholas-saputra/feed/ 0 34961