tasikmalaya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tasikmalaya/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Mon, 23 Jun 2025 09:31:55 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 tasikmalaya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tasikmalaya/ 32 32 135956295 Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya https://telusuri.id/menikmati-minggu-pagi-di-alun-alun-manonjaya/ https://telusuri.id/menikmati-minggu-pagi-di-alun-alun-manonjaya/#respond Mon, 23 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47513 Saat melakukan perjalanan ke kota lain, salah satu tempat yang kerap saya kunjungi adalah alun-alun. Saban kali menyambangi sebuah kota, alun-alun selalu menjadi tujuan pertama saya dalam upaya menyelami denyut nadi kehidupan kota tersebut.  Di...

The post Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Saat melakukan perjalanan ke kota lain, salah satu tempat yang kerap saya kunjungi adalah alun-alun. Saban kali menyambangi sebuah kota, alun-alun selalu menjadi tujuan pertama saya dalam upaya menyelami denyut nadi kehidupan kota tersebut. 

Di alun-alun, setidaknya saya bisa merasakan esensi dari keberadaan sebuah kota. Bagaimana orang-orangnya berinteraksi, bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari, dan bagaimana ruang publik ini menciptakan hubungan antara individu dengan lingkungan sekitar.

Tentu saja, setiap orang yang datang ke alun-alun memiliki tujuan yang beragam. Namun, semuanya agaknya bertemu dalam satu titik, yakni keinginan untuk merasakan momen yang sederhana tetapi bermakna. 

Contohnya, ada yang datang cuma untuk berolahraga, ada yang sekadar jalan-jalan, ada yang beristirahat sambil menikmati suasana sekitar, dan ada pula yang mencari hiburan. Aktivitas yang beragam ini menunjukkan betapa alun-alun adalah ruang inklusif, yang menerima siapa saja tanpa pandang usia, status, atau latar belakang. 

Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya
Pengendara melintas di depan Alun-alun Manonjaya/Djoko Subinarto

Alun-alun Manonjaya

Begitu pula dengan Alun-alun Manonjaya, di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang saya kunjungi beberapa waktu lalu. Ketika matahari baru saja mulai menampakkan parasanya, Alun-alun Manonjaya mulai dipenuhi oleh warga dari berbagai kalangan.

Suara riuh rendah mereka berbaur dengan derap langkah kaki dan raungan mesin kendaraan, hingga tawa anak-anak yang bercampur dengan udara pagi yang segar. Menciptakan atmosfer pagi tersendiri. Sebagaimana alun-alun pada umumnya, Alun-alun Manonjaya berada di lokasi yang sangat strategis. Ia berada persis di pinggir Jalan Raya Manonjaya–Banjar.

Di sebelah barat alun-alun ini, berdiri Masjid Agung Manonjaya yang legendaris. Masjid Agung Manonjaya bukan sekadar bangunan ibadah, melainkan saksi bisu sejarah panjang Tasikmalaya yang dulunya bernama Sukapura. Berdiri anggun sejak tahun 1837, dengan arsitektur klasiknya, masjid ini kiwari menjadi ikon Manonjaya.

Atapnya bertumpang tiga, menjulang ke langit seolah hendak meraih rahmat Ilahi, dengan mustaka tembaga yang konon berasal dari Masjid Pamijahan peninggalan Syekh Abdul Muhyi. Tiang-tiangnya—dahulu 29 buah, kini menjadi 61—menopang ruang suci seluas hampir seribu meter persegi, tempat doa dan harapan para jemaah bermuara.

Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya
Masjid Agung Manonjaya yang bersejarah/Djoko Subinarto

Dilengkapi Dua Gawang

Alun-alun Manonjaya ini cukup khas. Bagian utama alun-alunnya merupakan lapangan sepakbola berumput alami. Lengkap dengan dua gawang terpasang di sisi barat dan timur. Di depan masing-masing gawang, dominasi tanah tampak lebih menonjol daripada rumput. Buntutnya, saat hujan turun, di depan kedua gawang ini bakal lebih becek ketimbang bagian lain lapang yang lebih berumput.

Track khusus berlapis batu andesit halus mengelilingi lapang sepakbola Alun-alun Manonjaya. Minggu pagi itu, saya melihat lumayan banyak warga yang memanfaatkan track khusus ini untuk melakukan aktivitas jalan pagi maupun joging ringan. 

Di beberapa sudut alun-alun, sejumlah pedagang makanan dan minuman menggelar barang dagangannya. Tak sedikit dari mereka yang baru menyelesaikan jalan kaki maupun joging langsung merapat ke penjual makanan dan minuman.

Sementara itu, di sisi barat alun-alun, tak jauh dari gawang sepakbola, penjaga penyewaan motor dan mobil kecil mainan sibuk melayani anak-anak yang hendak menyewa untuk dipakai wara-wiri di tengah lapangan sepakbola.

Di tengah lapangan, beberapa kelompok anak berlarian. Sebagian anak terlihat sedang bermain bola menggunakan bola plastik. Adapun beberapa anak yang lain asyik bermain kejar-kejaran. Tawa dan teriakan mereka membelah pagi, laksana melodi kebebasan yang tak terganggu oleh gawai atau jadwal padat orang dewasa. Dan di wajah-wajah polos itu, bisa jadi tersimpan ingatan akan masa kecil orang-orang dewasa. Saat kebahagian cukup digenggam dengan tersedianya sebidang tanah lapang dan teman-teman untuk berlari tanpa beban.

  • Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya
  • Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya

Tak Pernah Benar-benar Kosong

Namun, seiring udara pagi yang sejuk mulai berganti menjadi lebih panas lantaran matahari semakin tinggi, satu per satu anak-anak yang bermain di lapangan sepak bola itu orang mulai meninggalkan kawasan Alun-alun Manonjaya. Begitu juga orang-orang dewasa yang berjalan kaki maupun joging mengitari alun-alun, satu per satu mulai beranjak pergi.

Namun, meskipun mulai dihinggapi sepi, Alun-alun Manonjaya ini tak pernah benar-benar kosong tanpa aktivitas. Di beberapa sudut, sejumlah petugas kebersihan berseragam kaus biru mulai bekerja. Mereka berpatroli untuk mengumpulkan sampah demi sampah yang berserakan di sudut-sudut lapangan alun-alun. Pemandangan tersebut adalah gambaran dari peran yang selama ini mungkin tak terlihat dari mereka yang bertugas menjaga agar ruang publik—seperti Alun-alun Manonjaya ini—tetap bersih dan terawat. 

Sebagaimana pepatah kuno Inggris mengatakan, “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others. Dalam hal ini, para petugas kebersihan adalah mereka yang melayani dengan cara yang paling sederhana tetapi penuh makna.

Pada akhirnya, alun-alun—di kota mana pun—adalah ruang yang mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati kerap bersemayam dalam kesederhanaan. Sebagai ruang publik, ia menjadi tempat untuk kembali ke inti kehidupan, yakni dengan menikmati waktu bersama orang-orang terkasih, larut dalam momen tanpa tergesa, dan menemukan kedamaian yang tumbuh dari hal-hal yang tampak remeh tetapi bermakna.

Dalam semangat seperti itulah, kita mungkin teringat pada pesan lembut yang terpatri dalam bait lagu Let It Be dari The Beatles, berupa sebuah ajakan untuk membiarkan segalanya mengalir sebagaimana adanya. Tak perlu dipaksakan, tak perlu diburu-buru. Dan di ruang seperti alun-alun itulah, kita perlahan belajar untuk benar-benar hadir dalam diam, dalam tawa, dan dalam rasa syukur yang tulus.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menikmati Minggu Pagi di Alun-Alun Manonjaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menikmati-minggu-pagi-di-alun-alun-manonjaya/feed/ 0 47513
Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga https://telusuri.id/kampung-naga-tasikmalaya-jawa-barat/ https://telusuri.id/kampung-naga-tasikmalaya-jawa-barat/#respond Mon, 17 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45665 Kampung Naga merupakan salah satu kampung adat yang terletak di Jawa Barat, tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jumlah penduduk kampung ini sekitar 271 jiwa, terdiri dari 101 kepala keluarga. Dengan populasi penduduk...

The post Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga appeared first on TelusuRI.

]]>
Kampung Naga merupakan salah satu kampung adat yang terletak di Jawa Barat, tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jumlah penduduk kampung ini sekitar 271 jiwa, terdiri dari 101 kepala keluarga. Dengan populasi penduduk yang relatif kecil, keaslian budaya Kampung Naga tetap terjaga hingga kini. Sebagai bentuk pengakuan dari pemerintah, pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN mendaftarkan dan meresmikan hak pengelola (HPL) Tanah Ulayat di Kampung Naga.

Seperti halnya Kampung Adat Kuta di Kabupaten Ciamis, Kampung Naga menjadi salah satu dari banyaknya kampung adat yang memilih untuk tetap mempertahankan adat istiadat serta warisan leluhurnya di tengah perubahan sosial yang terus berkembang. Komitmen tersebut menjadi daya tarik bagi masyarakat luar untuk bersilaturahmi, berbagi pengalaman dan memahami pandangan hidup (filosofi) masyarakat Kampung Naga.

  • Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga
  • Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga

Sejarah Kampung Naga

Sayangnya, sejarah atau asal usul Kampung Naga tidak dapat diketahui secara pasti. Berdasarkan pengakuan dari Pak Sarya selaku kepala wilayah, berbagai arsip Kampung Naga hilang pascapemberontakan DI/TII sekitar tahun 1950-an. Konon, pembakaran terjadi pada saat pemberontakan tersebut yang mengakibatkan hangusnya arsip sejarah tentang Kampung Naga.

Bahkan sampai hari ini, masyarakat Kampung Naga tidak ada yang mengetahui akan sejarah kampungnya sendiri. Mereka memilih untuk tidak menyampaikan apa pun tentang sejarah atau asal usul tentang Kampung Naga. Hal ini dilakukan demi menghindari kesalahan informasi yang dikhawatirkan menghasilkan sejarah yang keliru.

Meski demikian, terdapat cerita yang berkembang di khalayak luar tentang asal usul penamaan Kampung Naga. Berdasarkan informasi yang beredar, konon penamaan Kampung Naga berasal dari lokasinya yang berada di tebing, atau dalam bahasa Sunda disebut “dina gawir”. Kemudian istilah tersebut disingkat oleh masyarakat menjadi “na gawir”, lalu muncullah penamaan Kampung Naga (Na Gawir). Akan tetapi, menurut Pak Sarya, informasi atau cerita tersebut tidak dapat dikonfirmasi kebenarannya, karena masyarakat Kampung Naga sendiri pun tidak mengetahui sejarah asli kampung mereka.

Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga
Posisi rumah warga saling berhadapan agar tercipta interaksi dan kerukunan bertetangga/Dadan Abdul Majid

Larangan di Kampung Naga

Sebagai kampung adat, Kampung Naga memiliki berbagai macam larangan yang terus dipegang teguh oleh masyarakatnya, antara lain:

1. Tidak boleh memasuki “leuweung larangan”

Masyarakat Kampung Naga sangat menjaga kelestarian alam yang ada di sekitarnya, yang dibuktikan dengan adanya konsep leuweung larangan atau hutan keramat. Demi menjaga kelestarian dan keseimbangan alam (ekosistem), tanpa mengenal kompromi, tidak seorang pun diperbolehkan untuk memasuki hutan keramat, apa pun alasannya. 

2. Tidak boleh membuang limbah rumah tangga langsung ke sungai

Untuk menjaga kebersihan aliran Sungai Ciwulan, masyarakat tidak boleh membuang limbah rumah tangga secara langsung ke sungai. Sebagai solusi, limbah tersebut harus dibuang terlebih dahulu ke kolam-kolam yang ada di sana. Masing-masing kolam tersebut memiliki beberapa tumbuhan yang mampu menyerap zat berbahaya yang dapat mencemari air sungai, salah satunya adalah tumbuhan eceng gondok. Setelah melalui penyaringan alami ini, limbah rumah tangga tersebut baru dialirkan ke aliran sungai.

3. Tidak boleh menggunakan listrik

Tidak ada satu pun warga Kampung Naga yang diperbolehkan untuk menggunakan listrik. Menurut Pak Sarya dan salah satu anggota masyarakat di sana, larangan ini bertujuan untuk menghindari berbagai risiko yang ditimbulkan dari adanya pemakaian listrik, di antaranya kebakaran akibat korsleting listrik serta mencegah perubahan gaya hidup masyarakat. Soal perubahan gaya hidup, mereka khawatir muncul kelas-kelas sosial tertentu yang berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial.

Itulah beberapa larangan yang penulis ketahui setelah berkunjung dan bersilaturahmi dengan salah satu anggota masyarakat Kampung Naga. Larangan-larangan tersebut dikenal dengan istilah “pamali”, yang merupakan konsep sakral bagi masyarakat Kampung Naga. Pamali berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang menjadikan warga masyarakatnya tunduk dan patuh pada aturan adat (social of control).

  • Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga
  • Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga

Tradisi Kampung Naga

Dalam masyarakat adat, tradisi merupakan elemen penting yang patut dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Sebab, tradisi tersebutlah yang dapat memperkuat ikatan sosial antaranggota masyarakat (kohesi sosial). Di Kampung Naga, salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah Hajat Sasih.

Hajat Sasih merupakan upacara adat yang diselenggarakan setiap dua bulan sekali, yang berarti dalam setahun masyarakat Kampung Naga merayakan enam kali upacara adat tersebut. Berdasarkan penuturan Pak Sarya, waktu-waktu pelaksanaan Hajat Sasih adalah bulan Muharram (berkaitan dengan tahun baru Islam), bulan Rabiulawal (berkaitan dengan kelahiran atau maulid Nabi Muhammad saw.), pertengahan bulan dalam kalender Hijriah, penyambutan bulan suci Ramadan, penyambutan datangnya Syawal, dan Zulhijah (bulan penutup dalam kalender Hijriah).

Saat pelaksanaan Hajat Sasih, penduduk laki-laki melakukan ziarah kubur, sementara kaum perempuan menyiapkan makanan dan hidangan nasi untuk disantap secara bersama-sama. Setelah prosesi selesai, seluruh masyarakat Kampung Naga berkumpul di bale (balai). Selanjutnya melaksanakan doa bersama sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, lalu secara bersama-sama menyantap hidangan yang telah dipersiapkan sebelumnya. 

Hajat Sasih tidak hanya memperkuat hubungan vertikal antara manusia dan Tuhannya. Tradisi ini juga menjadi sarana silaturahmi untuk mempererat hubungan antarsesama anggota masyarakat Kampung Naga.

Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga
Bangunan balai tempat berkumpul warga/Dadan Abdul Majid

Kesetaraan Sosial dan Sistem Pendidikan di Kampung Naga 

Stratifikasi sosial merupakan penggolongan masyarakat ke dalam kelas-kelas tertentu secara bertingkat. Wujud dari stratifikasi ini yaitu adanya kelas bawah, menengah, dan atas. Pada masyarakat modern, stratifikasi ini sangat jelas wujudnya dalam bentuk perbedaan gaya hidup dan sumber daya ekonomi yang mencolok. 

Namun, hal tersebut tidak berlaku di Kampung Naga. Rumah-rumah dengan bentuk dan bahan yang seragam tertata dengan rapi, seolah mencerminkan kesetaraan sosial di antara warganya. Selain itu, hal tersebut juga menjadi bukti bahwa masyarakat Kampung Naga tidak terpengaruh oleh kemewahan hidup, serta tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari.

Kesederhanaan mereka tergambar dari batasan penggunaan teknologi modern, wajib memanfaatkan sumber daya alam secara tepat guna dan tidak eksploitatif, serta tidak adanya penggunaan listrik. Dampaknya, tidak memunculkan kelas sosial atau perbedaan gaya hidup yang mencolok di masyarakat. Selain itu, setiap dua bangunan rumah di Kampung Naga harus dibangun secara berhadapan untuk memudahkan interaksi antarwarga. Maka tidak berlebihan jika keseragaman mereka mencerminkan kesetaraan, sedangkan kedekatan mereka menegaskan pentingnya kebersamaan dan keakraban. 

Berbeda dengan Kampung Baduy Dalam, warga Kampung Naga tidak dilarang untuk menempuh pendidikan formal. Mereka bebas bersekolah, tetapi tetap diajarkan untuk tidak melupakan adat istiadat dan berbagai kearifan lokal yang mereka miliki. Bahkan mereka berharap, pendidikan yang diperoleh warganya dapat membantu dalam melestarikan dan mengembangkan warisan budaya yang sudah ada.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Kampung Naga: Sejarah yang hilang, Tradisi yang Terjaga appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kampung-naga-tasikmalaya-jawa-barat/feed/ 0 45665