Tegal Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tegal/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 14 May 2024 08:41:59 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Tegal Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tegal/ 32 32 135956295 Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan https://telusuri.id/jejak-kejayaan-pabrik-texin-tegal-yang-terlupakan/ https://telusuri.id/jejak-kejayaan-pabrik-texin-tegal-yang-terlupakan/#respond Tue, 14 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41911 Orang mungkin akan lebih mengenal Pabrik Texin, ketimbang nama panjangnya: PT Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal. Selama 16 tahun saya bertetangga dengan kompleks bangunan tersebut, saya baru tahu bahwa ada sejarah menarik di baliknya....

The post Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Orang mungkin akan lebih mengenal Pabrik Texin, ketimbang nama panjangnya: PT Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal. Selama 16 tahun saya bertetangga dengan kompleks bangunan tersebut, saya baru tahu bahwa ada sejarah menarik di baliknya. Konon pada masanya, Pabrik Texin pernah menjadi salah satu pabrik tekstil terbesar dan tersohor se-Asia Tenggara.

Menurut penuturan orang zaman dulu yang pernah bekerja di Pabrik Texin, hanya pribumi terpandang yang beruntung menjadi karyawan di pabrik peninggalan Belanda itu. Para karyawan pribumi digaji dengan bayaran yang cukup besar untuk ukuran pada masanya. Belum lagi pemberian tunjangan hari raya yang banyak dan lengkap, seperti sejumlah uang dan sembako. Bahkan karyawan pria, jika ingin memilih pasangannya hanya tinggal menunjuk perempuan mana saja yang ingin ia nikahi, karena jarang ada perempuan yang menolak.

Foto-foto lawas koleksi Tropenmuseum Amsterdam yang menggambarkan para pekerja di antara mesin-mesin tenun di pabrik Java Textiel Maatscappij Tegal atau Pabrik Texin Tegal (kiri) dan pemrosesan kapas yang dipres menjadi bal lalu dikemas oleh pekerja pabrik (kanan).

Sejarah Singkat Pabrik Texin

Pabrik Texin memiliki luas lahan sekitar 50 hektare dan terletak di Jalan Pala Raya, yang menghubungkan Kelurahan Dampyak dan Desa Mejasem Barat, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Persis di depan area pabrik, terdapat puluhan perumahan dinas khas arsitektur Belanda.

Pabrik ini didirikan pada tahun 1935 dan diresmikan tanggal 25 Mei 1936 dengan nama Java Textil Maatschappij atau JTM, yang berbentuk badan hukum “NV” dengan modal yang terbagi dalam beberapa saham. Hanya berselang setahun kemudian, pabrik mulai produksi dan berlanjut hingga pihak Jepang menguasai Indonesia. Jepang merebut pabrik tersebut dari pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1942.

Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1964 tentang pendaerahan perusahaan industri negara, serta Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 21 tahun 1965 tanggal 3 Juli 1965, terbentuklah perusahaan industri daerah “Sandang” Jawa Tengah dengan sebutan Pinda “Sandang” Jateng Pabrik Textil Indonesia (TEXIN) Tegal. Di kemudian hari dikenal dengan sebutan Perusda “Sandang” Jawa Tengah Pabrik Textil Indonesia (TEXIN) Tegal.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pabrik tersebut diambil alih oleh pemerintah Indonesia dan ditempatkan di bawah pengawasan Badan Pertekstilan Negara. Kemudian dalam perkembangannya, beralih ditempatkan di bawah Badan Pimpinan Perusahaan-perusahaan Industri dan Tambang atau disebut BAPPIT PUSAT TEXIN.

Pada tanggal 27 April 1983, ada pergantian nama pabrik dari Pabrik TEXIN Tegal menjadi Pabrik Tekstil (Pabriteks) Tegal. Lalu pada November 2015, untuk yang terakhir kalinya berubah nama menjadi PT Sandang Tegal Intijaya (tahun 2000 sempat bernama PT Industri Sandang Nusantara). PT Sandang Tegal Intijaya saat ini beroperasi dengan memproduksi benang dan kain, benang TR 20/2, benang katun 20/2, kain katun, dan kain TR (tetron rayon).

Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan
Tampak gerbang depan Pabrik Texin atau sekarang PT Sandang Tegal Intijaya/Google Street View

Rumah-rumah Belanda yang Tidak Terurus dan Mitosnya

Kalau Anda berkunjung ke Kota Tegal, kemudian berkendara atau berjalan melewati Jl. Pala Raya, Anda pasti akan menemukan jejeran puluhan rumah khas arsitektur negeri kincir angin yang sudah lapuk termakan waktu. Posisinya persis di sebelah selatan RS Mitra Siaga Tegal dan dekat rel kereta api. Konon, bangunan-bangunan tersebut tersebut adalah perumahan bagi para penggede Hindia Belanda yang dulu bekerja di Pabrik Texin. Seperti yang dituturkan oleh nenek saya, Maslicha (72), “Awal tahun 1960-an itu saat Mbah [sekolah] TK, masih sering terlihat anak-anak keturunan Londo  di sekitar lingkungan pabrik dan perumahan.”

Bangunan rumah yang mencolok dan tidak terawat menambah unsur angker dan mistis. Dari depan pagar, banyak terlihat rumah dinas yang telah terkelupas catnya dan ditumbuhi dengan tanaman liar yang merambat lebat hingga ke atap. Belum lagi kondisi rumah yang sudah jebol di sana-sini. Banyaknya semak belukar di sekitar halaman kompleks perumahan menjadi sarang binatang, seperti ular dan kalajengking. Dari puluhan bekas rumah dinas Belanda tersebut, terdapat satu sekolah (sepertinya sekolah dasar) yang masih terlihat catnya yang bergambar kartun Bobo.

Meski lingkungan sudah tak keruan, fisik rumah-rumah yang terlihat kokoh menjelaskan bahwa bahan bangunan yang digunakan adalah material dengan kualitas terbaik. Bingkai jendela dan pintu menggunakan kayu jati sebagai bahan bakunya. Keramik-keramik yang digunakan sejak masa kolonial masih terlihat utuh. Hanya ada satu-dua rumah saja yang roboh, itu pun akibat angin besar dan hujan lebat yang mengguyur akhir-akhir ini.

Selain perumahan dinas, di kompleks tersebut juga terdapat wisma tamu yang letaknya bersebelahan. Area wisma tamu kurang lebih seluas 70 meter persegi. Tidak banyak yang saya tahu dari wisma tamu. Namun, yang jelas di area wisma tamu terdapat kolam renang anak dan dewasa yang masih utuh bentuknya, serta ruangan karaoke, ruang dansa, dan bar yang luas. Kolam renang tersebut juga dibuka untuk umum pada saat itu. Tepat di belakang ruangan karaoke terdapat lapangan tenis, yang lantainya masih menggunakan keramik putih lama masa kolonial.

Perumahan dinas di sekitar Pabrik Texin juga pernah dan sering dijadikan sebagai tempat pengajian sebelum tahun 2000-an. Di depan jalan sepanjang perumahan dinas dan pabrik, setiap bulan puasa selalu ramai oleh hiasan lampu dan ornamen-ornamen khas Ramadan. “Biasanya setiap pengajian ibu-ibu Jumat sore, kita meminjam tempat di salah satu rumah. Nanti janjian di rumah nomor berapa,” ungkap nenek saya. 

Terdapat mitos yang berkembang di tengah sebagian masyarakat. Di belakang ruang karaoke, terdapat siluman buaya putih penghuni kolam renang. “Di kolam renang yang airnya warna hijau itu ada penunggunya (buaya putih),” kata Lita, salah satu warga setempat.

Ada satu misteri lagi, yakni sering terdengar bunyi sirine pada pukul 12 hingga 3 siang dari arah kompleks perumahan dan pabrik, serta penampakan sesosok pria Belanda di area pabrik. “Biasanya kalau siang itu ada bunyi ‘nguuung’ dari situ,” tambah Wawan, warga desa lainnya.

  • Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan
  • Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan
  • Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan

Kurang Perhatian Pemerintah dan Terpinggirkan

Sejak berakhirnya masa kolonial Belanda, perumahan dinas Pabrik Texin sudah tidak dipakai lagi. Akan tetapi, aktivitas di sekitar pabrik masih tetap berjalan. Memasuki akhir tahun 2000, kejayaan pabrik mulai memudar karena mengalami kebangkrutan. Bangunan perumahan dibiarkan terbengkalai. Entah karena biaya perawatannya yang besar atau bukan termasuk dalam bangunan cagar budaya yang dilindungi. Bagaimanapun, pabrik dan kompleks perumahan Belanda tersebut adalah bangunan bersejarah. Di baliknya banyak jejak sejarah yang bahkan oleh masyarakat sekitar sendiri tidak mengenali.

Lantas, mengapa bangunan tersebut tidak dihancurkan saja? Sesuai peraturan perundang-undangan, bangunan itu termasuk tipe A yang tidak boleh dibongkar baik luar maupun dalam. Tanggapan dan tindakan pemerintah daerah dalam mengelola Pabrik Texin adalah sebatas melakukan inventarisasi. Adapun pengurusan bangunan tersebut merupakan kewenangan dari Kementerian BUMN.  Saya jadi bertanya-tanya, apakah jejak sejarah di dekat rumah saya akan tergerus oleh zaman sehingga dilupakan oleh generasi muda?

Berdasarkan beberapa referensi yang saya baca dan observasi langsung, banyak aset pabrik yang dijual dan beberapa bangunan peninggalan Belanda dihancurkan untuk membayar karyawan yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja). Misalnya, ruangan pemintalan dan pengecoran yang dirobohkan pertama kali pada 2014, diganti dengan kompleks perumahan baru. Pelelangan dilakukan oleh pemerintah, seperti bangunan untuk pertenunan, persiapan, ketel uap, finishing, bahkan perumahan pejabat dengan arsitektur khas Belanda. Saat ini yang masih tersisa adalah bangunan masjid Baitul Amanah yang berada di bagian paling barat area pabrik.

Selain itu, bangunan pabrik sepertinya juga tidak direnovasi besar-besaran. Menurut informasi beberapa karyawan yang bekerja di pabrik tersebut, kondisi kumuh dan fasilitas pabrik di dalamnya juga masih kurang memadai untuk standar pabrik tekstil modern. Aktivitas pabrik saat ini pun sudah berkurang dibanding saat masih berjaya di bawah pengelolaan Belanda. Hanya beberapa kegiatan saja yang tetap berjalan, seperti pemintalan dan penenunan.

Foto sampul:
Foto hitam putih pabrik Java Textiel Maatschappij Tegal atau Pabrik Texin tahun 1938/koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen


Daftar Pustaka

Mulyadi, A. (2015, 12 Maret). Pabrik Texin Tegal Riwayatmu Kini. Lensa Pantura. Diakses pada 31 Maret 2024, dari http://lensaseputarpantura.blogspot.com/2015/03/pabrik-texin-tegal-riwayatmu-kini.html.
Mulyadi, A. (2023, 23 Juli). Kilas Sejarah Pabrik Texin Tegal, Perusahaan Tekstil Tersohor Pada Masanya. Radar Tegal. Diakses pada 1 April 2024, dari https://radartegal.disway.id/read/659375/kilas-sejarah-pabrik-texin-tegal-perusahaan-tekstil-tersohor-pada-masanya.
Saprudin. (2001). Analisis Sebab Pemborosan Dalam Rangka Meningkatkan Efektivitas Peralatan Pada Pasar Yang Kompetitif (Kasus PT (Persero) Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal). Tesis S-2. Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/9396/.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-kejayaan-pabrik-texin-tegal-yang-terlupakan/feed/ 0 41911
Suatu Hari di Metta Vihara https://telusuri.id/suatu-hari-di-metta-vihara/ https://telusuri.id/suatu-hari-di-metta-vihara/#respond Sun, 17 May 2020 11:32:09 +0000 https://telusuri.id/?p=21690 Tulisan ini ingin menceritakan kepada pembaca semua tentang perjalanan saya mengenal Sang Buddha di tanah kelahiran saya, Kota Tegal. Semua dimulai dari sebuah pertemuan di Metta Vihara, Tegal. Sejujurnya, janji saya buat dengan sangat mendadak....

The post Suatu Hari di Metta Vihara appeared first on TelusuRI.

]]>
Tulisan ini ingin menceritakan kepada pembaca semua tentang perjalanan saya mengenal Sang Buddha di tanah kelahiran saya, Kota Tegal.

Semua dimulai dari sebuah pertemuan di Metta Vihara, Tegal. Sejujurnya, janji saya buat dengan sangat mendadak. Romo Ing Tjong baru memberikan kabar semalam, sekitar jam setengah sebelas. Beruntungnya saya masih membuka WhatsApp saat itu dan belum menyandarkan tubuh di kasur. Persiapan sebelum berangkat biasa saja. Saya membawa barang sekenanya saja, seperti buku, pena, power bank, uang, serta, seperti biasa, dua ponsel. Kalau satu ponsel low-bat, saya bisa menggunakan yang lainnya.

Sesampai di depan vihara, saya titip pesan ke abang, “Tunggu di mobil aja, nggak lama, kok.” Saya tak menyangka pada akhirnya diskusi berjalan cukup lama; saya hanyut dalam cerita panjang Romo Ing Tjong.

Metta Vihara tampak depan/Muhammad Fadhil Ghifari

Sebelum bertemu romo, saya mencuci tangan menggunakan sabun; safety procedure. Ketika akhirnya bertemu dengannya, saya merasa semua jauh di luar dugaan. Saya kira ia sosok yang dingin dan cuek, namun ternyata justru sebaliknya. Tentunya kami tidak bersalaman, demi keamanan di tengah pandemi seperti sekarang. Usai perkenalan singkat, saya dibawa romo ke ruang serba guna khusus untuk menerima tamu dari luar.

Perbincangan kami di dalam ruangan itu diawali dengan sebuah permintaan sederhana dari romo, “Untuk penulisan Buddha nanti dobel ‘d,’ ya. Jadi ‘Buddha,’ bukan ‘Budha.’”

Sebenarnya saya mengetahui soal ejaan itu, tapi saya tak tahu apa alasannya. Penasaran, saya memastikannya, “Memang kenapa, Romo?”

Dengan senyum khas pria paruh baya, ia menjawab tenang, “Budha itu nama salah satu dewa sembahan yang ada di India sana. Nah, kalau Buddha, itu artinya orang yang tercerahkan, orang yang sudah mencapai pendalaman sempurna, ya, Sang Buddha itu.”

Ia juga sempat bercerita sedikit soal betapa sulitnya pengajuan perubahan nama dari Budha menjadi Buddha kepada pihak pemerintah atau otoritas yang mengurusinya. Birokrasi negara ini membuat sekadar menambah huruf “d” di pertengahan nama agama saja menjadi susah. Para pemuka agama Buddha di Indonesia perlu menunggu bertahun-tahun sampai ada dua huruf “d” alam Buddha.

Romo berkisah panjang lebar perihal sejarah masuknya Buddha ke nusantara. Saya jadi pusing sendiri, seolah-olah sedang ikut kursus pelajaran Sejarah bab masuknya agama Buddha ke nusantara, mulai dari cerita zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dahulu sampai soal dua aliran besar Buddha di Indonesia yakni Mahayana dan Theravada (Hinayana). Caranya menjelaskan seru sekali. Namun, entah kenapa tetap saja saya diserang kantuk.

Kemudian, lanjut Romo Ing Tjong, pengaruh Buddha di nusantara meredup, lama, sampai akhirnya hadir kembali pada pertengahan abad ke-20, sekitar dekade 1950-an. Pelopor kebangkitan itu adalah Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Sekitar dekade 1960-an, Buddha memasuki wilayah Karesidenan Tegal (Brebes, Tegal, Pemalang, dan sekitarnya). Di Tegal sendiri, Buddha yang berkembang adalah Buddha Theravada. Peresmian vihara ini dilakukan oleh bhikkhu dari Sri Lanka pada tahun 2001 lalu. Sayangnya romo lupa nama tokoh yang membawa Buddha ke Tegal.

Lalu saya mengajukan rasa penasaran lainnya, “Apa makna ritual ibadah bagi umat Buddha?” Ia dengan senyum merekah menjelaskan dengan sangat tenang dan runtut.

Ruang berdoa untuk leluhur/Muhammad Fadhil Ghifari

“Aku contohkan yang paling dekat saja, ya. Waisak, misalnya. [P]erayaan Waisak ini salah satu perayaan yang kami tunggu. Kenapa? Karena dalam Waisak kami memperingati tiga perayaan bersamaan,” jelas Romo Ing Tjong yang kemudian melanjutkan, “yang pertama ada hari kelahiran Sang Guru, atau Siddharta Gautama, atau Sang Pangeran. Kedua, Pangeran mencapai penerangan sempurna menjadi Sang Buddha. Ketiga Sang Buddha meninggal … Waisak ini terjadi di Bulan Waisakka, atau di masa purnama di Bulan Mei menurut kalender internasional. Waisak ini juga disebut Tri Suci Waisak, karena [ada] tiga perayaan itu tadi.”

Pemaknaan terhadap Waisak itu—tentang kelahiran, perjuangan, dan kematian—sejalan dengan salah satu praktik dalam ajaran Buddha, yakni “selalu berbuat baik.”

Menurut romo, Buddha meyakini adanya satu masa kehidupan “baru” setelah kematian pertama. Maksudnya, bilamana seseorang mati dari hidupnya yang sekarang, dia akan lahir kembali di kehidupan berikutnya dengan membawa “bekal” dari kehidupan sebelumnya. Meskipun Romo Ing Tjong tidak menyebut secara spesifik, ini saya maknai sebagai salah satu konsep dalam Buddhisme, yakni reinkarnasi. Sebab itulah penekanan ajaran Buddha ada pada selalu berbuat baik dan baik, bagaimanapun caranya dan dalam keadaan apa pun.

Beberapa kali romo memberikan penekanan soal “berbuat baik.” Semula sempat saya skeptis, “Loh, setiap agama ‘kan pasti memang ngajarin berbuat baik?” Ternyata konsep berbuat baik yang ia ceritakan menarik juga. Ketika berdoa, umat Buddha tidak diperkenankan untuk “meminta” pada Buddha. Justru mereka diharuskan untuk “aktif” demi mendapat apa yang mereka minta. Meminta dianggap hanya akan membuat manusia berserah tanpa usaha dan cuma menggantungkan nasib kepada Tuhan. Padahal semestinya, menurut konsep Buddhisme, Tuhan bukan tempat bergantung atau meminta pertolongan, melainkan Sang Guru yang “menuntun” menuju jalan kebaikan dan segala yang ingin dicapai. Dengan apa? Dengan prinsip berbuat baik sepanjang hayat itu tadi. Ini adalah ajaran utama Sang Buddha sebelum Ia mencapai kesempurnaan sebagai seorang Buddha dan akhirnya moksa.

Sembari bercerita, Romo Ing Tjong memilih-milih buku di perpustakaan atas ruang serba guna yang juga bergabung dengan ruang leluhur ini. Ada satu patung Buddha besar yang terbuat dari fiber dan bercorak khas Indonesia (corak Borobudur), beberapa simbol Buddha lainnya, dan juga foto para leluhur. Pemeluk Buddha cukup serius rupanya menjalin hubungan yang intim dengan roh leluhur melalui doa-doa setiap setelah ibadah.

Romo Ing Tjong sedang memilih buku koleksi perpustakaan vihara/Muhammad Fadhil Ghifari

Kata romo, di kehidupan selanjutnya, mereka yang sebelumnya hanya berbuat jahat akan terus menjadi seorang yang menderita sepanjang hidupnya, penuh kesakitan dan pedih. Oleh karena itu, salah satu yang bisa menyelamatkan kehidupannya adalah doa-doa dari keluarganya yang akan cukup membawa keselamatan atas hidup barunya.

Setelah memilih dan menemukan buku yang dicari, romo memberikan buku itu pada saya. Katanya begini, “Nggak usah dikembalikan, itu buat kamu. Buat kenang-kenangan kamu juga. Anggap sebagai salah satu yang bisa jadi media persahabatan kita. Dan bisa mempermudah kamu dengan tulisanmu nanti.”

Saya terharu sekali mendapatkan semua ini. Diberi kesempatan untuk bisa berkomunikasi langsung dengan salah seorang petinggi vihara saja saya sudah merasa beruntung, sekarang ditambah pula dengan mendapat kenang-kenangan buku Dharma, Ajaran Sang Buddha.

Romo berkata bahwa berbuat baik [dalam ajaran Buddha] tidak hanya kepada sesama Buddha, bahkan juga tak hanya kepada sesama manusia. “Berbuat baik itu sama semua makhluk,” ujarnya. “Termasuk kalau kamu ngelepasin lele dari pasar. Kenapa lele? Karena kalau kamu lihat ke pasar, penjual itu kejem banget sama lele. Lele masih hidup segar, terus dibunuh dengan sadis, digetok kepalanya, dibanting, langsung disobek badannya, tanpa ampun. Sekadar kamu beli lele setengah kilo saja, terus kamu lepas ke sungai, itu kebaikan dalam Buddha. Kita nggak ada konsep pahala, tapi adanya dharma kebaikan. Untuk itu tadi, mencapai kesempurnaan dan mendapatkan nasib baik di kehidupan selanjutnya.

Setelah itu ia membawa saya ke ruang utama vihara, yaitu ruang ibadah. Sambil berjalan, ia bercerita soal relief dinding di sebelah ruang ibadah; gambaran sejarah singkat perjalanan Sang Guru sampai menjadi Sang Buddha.

Relief perjalanan Sang Buddha/Muhammad Fadhil Ghifari

Sebelum masuk ke ruang ibadah, saya bertanya perihal satu bangunan stupa yang cukup besar di depan vihara, “Romo, ini buat apa? Itu juga kelihatan ada tempat dupa, ya?”

Ia menjawab, “Itu simbol estetika saja. Iya, bisa juga untuk berdoa. Karena di dalam [stupa] sana sebenarnya ada abu kremasi dari seorang yang sudah mencapai sempurna. Tandanya itu, di bagian tulang belakangnya ada bongkahan kecil dari permata. Dan itu ada di dalam stupa ini.”

Sepanjang pandemi ini, ibadah dilakukan secara daring dan pribadi di rumah masing-masing, meskipun vihara juga tak menutup pintu bagi umut yang tetap ingin ke vihara, asalkan tidak menggerombol.

Di Tegal, toleransi yang terjalin cukup baik. Saat kami berada di dalam ruang ibadah, Romo Ing Tjong menjelaskan bagaimana toleransi terbentuk baik di Tegal, salah satunya karena ada ruang bersama yang disebut dengan FKUB, akronim dari Forum Komunikasi Umat Beragama yang menaungi enam agama yang diakui secara formal di Indonesia. Salah satu praktik kerukunan adalah melakukan kunjungan ke posko mudik setiap menjelang lebaran.

Nyaris tidak pernah ada konflik antaragama di Tegal. Dalam 30 tahun terakhir, terhitung hanya ada satu kasus yang baru saja terjadi sekitar 3-4 tahun lalu—itu pun sebenarnya hanya sebuah kesalahpahaman dan selesai setelah mediasi. Setelah itu, tidak pernah ada pertikaian yang mengatasnamakan agama apa pun, khususnya Buddha di Tegal.

Seru sekali obrolan panjang dengan Romo Ing Tjong itu. Dalam kondisi begini, ia masih rajin dan terus bersemangat untuk rutin datang ke vihara. Sebelum pulang, saya diajak mengobrol sebentar dengan istrinya yang sudah sempat berbicara dengan saya beberapa hari sebelumnya. Romo dan istrinya adalah pribadi-pribadi yang sangat ramah dan terbuka, yang tidak ragu-ragu menjawab pertanyaan-pertanyaan penasaran yang saya ajukan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Suatu Hari di Metta Vihara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/suatu-hari-di-metta-vihara/feed/ 0 21690