temanggung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/temanggung/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 28 Mar 2024 15:02:11 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 temanggung Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/temanggung/ 32 32 135956295 Kartu Pos dari Gunung Sumbing (2) https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-2/ https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-2/#respond Fri, 29 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41567 Jalur di gunung ini memang terkenal melelahkan. Namun, sepadan dengan pengalaman dan pelajaran yang didapatkan. Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman Perasaan yang selalu timbul saat hendak summit (pendakian ke puncak) adalah kantuk teramat...

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Jalur di gunung ini memang terkenal melelahkan. Namun, sepadan dengan pengalaman dan pelajaran yang didapatkan.

Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman


Perasaan yang selalu timbul saat hendak summit (pendakian ke puncak) adalah kantuk teramat berat dan malas. Keengganan beradu dengan keingintahuan tentang puncak—alias ambisi—tatkala ingin mengeluarkan seluruh tubuh dari kehangatan sleeping bag. Namun, alarm ponsel yang dihidupkan jelas memiliki tujuan. Mau tak mau kami harus bangun.

Saya dan Badak, yang memang satu tenda, lekas bersiap. Kami memilah barang bawaan yang diperlukan dalam ransel kecil, antara lain minuman, camilan, dan obat-obatan. Begitu pun kawan-kawan yang lain. Kecuali Rendra, yang mengaku sedang kurang fit, selebihnya siap mencoba kesempatan muncak. Livi, yang semalam sempat bilang tidak ikut karena kelelahan, subuh itu (20/08/2023) tiba-tiba berubah pikiran. 

Berbekal headlamp, kami mulai berjalan meninggalkan Pos 4 Watu Ondho tepat pukul 04.30. Tampaknya kebutuhan akan senter kepala ini tidak akan terlalu lama. Saya berseru ke teman-teman, sang fajar telah muncul di cakrawala. Situasi yang malah tidak membuat kami bergegas atau tergesa, tetapi memilih untuk menikmati sajian alam di tiap jeda beberapa langkah. 

Berkawan rawi pelipur netra

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kiri-kanan: Henny, Evelyne, Emma, Livi, dan Lukas. Kami kembali beristirahat di tengah jalur menanjak setelah 30 menit berjalan dari Pos 4 Watu Ondho. Meskipun tidak terlalu berangin, kami tetap memakai jaket untuk mencegah kedinginan dan potensi hipotermia. Bagi saya pribadi, biasanya baru akan melepas jaket jika pagi sudah hangat karena cahaya matahari. Namun, lagi-lagi itu berlaku jika angin tidak terlalu kencang.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Tidak ada yang salah dengan menengok ke belakang ketika berhenti. Puncak gunung tidak akan lari dikejar. Tak akan ke mana-mana, katanya. Seperti yang dilakukan Emma (jaket putih). Jika menyukai fotografi, pasti setuju momen itu mahal harganya dan sulit untuk diulang. Bahkan dengan kamera ponsel sederhana sekalipun.

Salindia ke-2: Sorot headlamp Dio yang menyala di tengah pendakian menuju puncak. Di kejauhan Gunung Merbabu (kiri) dan Merapi terlihat mungil di atas lautan awan bak selembut kapas. Di saat-saat seperti inilah kami sering berhenti, karena terlalu sayang dilewatkan.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Ketika jalur semakin terbuka dan naungan pepohonan berkurang, panorama alam kian terbentang luas memanjakan netra. Sekitar 10 menit berjalan dari area Watu Lawang (2.960 mdpl), saya ingin rehat di di tengah jalur dan duduk di antara rerumputan. Emma mengekor di belakang. Saya melihat sang rawi mulai menampakkan diri di kaki langit. Spontan saya segera memencet tombol shutter kamera beberapa kali. 

Salindia ke-2: Potret Lukas yang sedang beristirahat dengan latar Gunung Merbabu dan awan-awan putih. Kali ini ia dan Henny berjalan agak santai. Jarak antara satu sama lain yang muncak pagi itu relatif tidak terlalu jauh.

Salindia ke-3: Sekuntum bunga edelweiss yang masih belum mekar sempurna. Di gunung ini, edelweiss yang tumbuh memang tidak banyak. Namun, keberadaannya mewarnai jalur pendakian. Tanaman gunung yang biasa disebut bunga abadi ini memang hidup dan mampu bertahan di ketinggian hingga 3.000-an mdpl.

Jalur pendakian membelah tebing terjal menuju kawah Segoro Banjaran, yang kira-kira masih berjarak 30 menit lagi. Rute timur Banaran memang cenderung lebih panjang dibandingkan jalur lain, seperti Kaliangkrik, Garung, maupun Bowongso. Pendaki tidak akan langsung menemui puncak, tetapi harus turun terlebih dahulu menyusuri Segoro Banjaran. Akan tetapi, perjalanan dan pengalaman seperti itulah yang kami cari di sini.

Membumi di Segoro Banjaran

Kiri: Petunjuk arah di persimpangan jalur Banaran dan Butuh (Kaliangkrik) di ketinggian 3.202 mdpl. Saat turun dari Segoro Banjaran atau Puncak Rajawali, pendaki harus fokus dan memerhatikan petunjuk yang tersedia agar tidak salah jalur. Kanan: Tebing cadas Puncak Sejati—tingginya hampir sama dengan Puncak Rajawali—yang bisa ditempuh langsung lewat jalur Kaliangkrik, Magelang. Baik itu melalui Dusun Butuh, Mangli, maupun Adipuro, karena ketiganya akan bertemu di percabangan yang sama.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Segoro Banjaran (3.180 mdpl). Sebuah kawasan kaldera Gunung Sumbing yang luas dan dikelilingi tebing cadas setinggi 200-an meter. Di dalam kaldera ini terdapat kawah-kawah kecil penghasil belerang. Kami kerap menjumpai bubuk-bubuk putih belerang yang cukup menyengat di sepanjang jalur. Saat musim hujan, beberapa titik di Segoro Banjaran akan tergenang air. Kami tiba di tempat ini setelah berjalan 2 jam 45 menit dari camp.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Menyusuri jalan setapak membelah rumput-rumput kering yang menguning di Segoro Banjaran. Kami menjadi sangat kecil berada di kaldera megah ini. Seperti semut yang berjalan beriringan di sudut-sudut rumah. Situasi serupa yang saya alami di gunung-gunung lain, tak terkecuali ketika berlayar di tengah lautan. Alam tak akan tertandingi, tak akan bisa ditaklukkan. Ego dirilah yang harus kami tundukkan.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Petunjuk arah menuju empat tempat, yaitu jalur Banaran (Sumbing East Route), Segoro Wedi (kawasan kawah berpasir putih), Puncak Buntu, dan Puncak Rajawali. Untuk menuju Puncak Buntu meniti jalur yang sama ke arah Puncak Rajawali, lalu di persimpangan ambil arah kanan memanjat tebing menuju jalur Garung. Informasi arah yang ditopang dengan tiang besi ini berada dekat makam Ki Ageng Makukuhan.

Salindia ke-2: Kompleks makam Ki Ageng Makukuhan (3.209 mdpl), yang biasanya ramai saat malam 1 Muharram atau 1 Suro (penanggalan Jawa). Seorang tokoh agama yang dihormati penduduk sekitar Gunung Sumbing. Ada sejumlah versi berkaitan dengan sosok tersebut, salah satunya menyebut Ki Ageng Makukuhan sebagai pendakwah beretnis Tionghoa. Ia merupakan santri Sunan Kudus dan ditugaskan menyebarkan agama Islam di Karesidenan Kedu. Kemungkinan “Makukuhan” adalah serapan lidah Jawa terhadap nama aslinya “Ma Kuw Kwan”. Di sisi lain, lokasi makamnya pun memiliki perbedaan versi. Sebagian mengatakan di kawah Gunung Sumbing—seperti yang kami kunjungi—sedangkan yang di daerah Kedu, Temanggung, adalah petilasannya. Yang pasti, siapa pun wajib menjaga etika jika berada di tempat ini.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salah satu dapur belerang berukuran cukup besar di area kawah utama. Tampak papan informasi berwarna kuning dari PVMBG, BPBD, dan pemerintah daerah setempat. Isinya larangan berkemah di seluruh kawasan kawah karena dikhawatirkan adanya kenaikan intensitas gas vulkanis beracun, terutama malam hari atau musim hujan. Saat hari cerah saja kami tidak betah berlama-lama di dekat kawah karena bau belerang yang menyengat.

Jalan terjal menuju Puncak Rajawali

Pendakian terus berlanjut. Menurut GPS yang saya bawa, jarak ke Puncak Rajawali tinggal 350 meter lagi. Namun, meski puncak sudah tampak di depan mata, tidak semudah itu menggapainya. Masih harus menanjak tebing yang penuh batuan putih (kiri), kembali melewati sabana (kanan), dan satu tanjakan terjal terakhir lalu tibalah kami di Puncak Rajawali. Perkiraan saya, perlu satu jam lagi untuk menempuh sisa perjalanan.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Sudut pandang lebar dari lensa kamera yang merekam kaldera Gunung Sumbing. Saya memotretnya di ujung tanjakan sebelum mendekati Puncak Rajawali. Tampak Segoro Wedi bak lapangan berpasir putih di kejauhan. Rumpun edelweiss di sini lebih banyak dibanding jalur Banaran. Sebagian ditumbuhi cantigi. Di titik inilah Sumbing East Route bertemu dengan jalur Sipetung, Batursari, dan Garung. Pendaki dari arah sana harus melewati Puncak Buntu terlebih dahulu dan menuruni tebing curam ala “Watu Ondho”, sebelum sampai puncak tertingginya.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Euforia para pendaki yang datang dari pelbagai jalur di Puncak Rajawali Gunung Sumbing (3.371 mdpl). Saat itu akhir pekan, sehingga ramai pendaki. Di antara sekian jalur resmi yang tersedia, memang jalur Garung masih menjadi favorit dan paling banyak dilalui pendaki.

Salindia ke-2: Salah satu sudut foto yang juga biasa dipakai pendaki Gunung Sumbing setibanya di Puncak Rajawali. Jika cerah akan terlihat Gunung Sindoro. Di belakangnya lagi ada Gunung Prau dan pegunungan Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo. Tampak Emma dan Henny (tengah) sedang mengantre giliran foto di plakat penanda puncak tertinggi Gunung Sumbing.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Pemandangan membiru Gunung Slamet di sisi barat. Gunung tertinggi di Jawa Tengah (3.428 mdpl) yang kakinya membagi lima kabupaten: Purbalingga, Banyumas, Brebes, Tegal, dan Pemalang. Saya pernah sekali mendaki gunung berapi aktif itu, yaitu pada Desember 2013 via Bambangan, Purbalingga. Gunung ini biasanya didaki untuk melengkapi ekspedisi “Triple S” di Jawa Tengah, selain Sindoro dan Sumbing.

Setelah cukup, selanjutnya pulang

Kiri: Sejumlah pendaki berusaha memanjat tebing dengan bantuan tali webbing untuk kembali ke jalur pendakian awal—Garung dan sekitarnya. Seperti halnya Watu Ondho, tebing ini akan licin jika hujan. Pendaki harus ekstra hati-hati. Kanan: Tidak sedikit pendaki yang memilih cukup berhenti di Puncak Buntu saja, tanpa harus meneruskan perjalanan ke Puncak Rajawali. Walau tampak dekat, faktanya tetap saja bakal menguras tenaga.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Livi (paling depan) dan Emma berjalan menyusuri jalur kembali ke tempat camp. Perjalanan pulang memang akan cenderung terus menurun, tetapi seolah sama panjangnya dengan saat berangkat. Hari kian terik, kaki makin lemas, dan tenggorokan kering. Kami bertiga adalah anggota rombongan yang terakhir tiba di tenda.

Salindia ke-2: Areal camp di Pos 4 Watu Ondho (2.715 mdpl). Siang itu kabut mulai naik perlahan, tetapi tidak sampai turun hujan. Terlihat di kejauhan permukiman warga menyemut, yang kadang-kadang memandangnya justru bikin angin-anginan untuk pulang. Rasanya jauh sekali. Namun, ya, kami harus pulang.

Salindia ke-3: Rendra, teman asal Sidoarjo, sedang makan siang bersama kami sebelum turun. Ia tidak ikut muncak karena merasa kurang fit, sehingga memilih istirahat memulihkan tenaga untuk pulang. Ia mengaku memang sudah agak lama libur mendaki gunung.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Sore yang kian temaram tepat kami keluar dari hutan. Saya minta tukang ojek basecamp yang menjemput untuk berhenti sejenak di tengah-tengah jalan makadam. Saya keluarkan kamera dan memotret pemandangan ini sebagai foto penutup jurnal perjalanan kami. Sebuah lanskap perkebunan tembakau, hutan pinus, dan Gunung Sumbing di baliknya. Rasanya tak percaya, secepat itu kami naik dan turun. Melelahkan memang. Namun, saya yakin akan sepadan.


Foto sampul:
Dio sedang memerhatikan jalur yang aman untuk dipijak saat perjalanan menuju Puncak Rajawali Gunung Sumbing/Rifqy Faiza Rahman


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-2/feed/ 0 41567
Kartu Pos dari Gunung Sumbing (1) https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-1/ https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-1/#respond Thu, 28 Mar 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41529 Kembali melintasi jalur Banaran, rute timur yang mengurut lutut dan menguras napas. Langit khas Agustus menyalakan harapan sejak hari pertama. Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman Sama seperti ketika ke Gunung Lawu via Candi...

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kembali melintasi jalur Banaran, rute timur yang mengurut lutut dan menguras napas. Langit khas Agustus menyalakan harapan sejak hari pertama.

Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman


Sama seperti ketika ke Gunung Lawu via Candi Cetho pada pertengahan Mei 2023, mendaki Gunung Sumbing via Banaran dua bulan setelahnya adalah perjalanan remedial. Mengobati rasa penasaran atas pendakian sebelumnya yang terhenti di separuh jalan pada Desember 2022. Saat itu saya, Rino alias Badak, Emma, dan Evelyne terpaksa membuka camp beberapa meter sebelum tebing Watu Ondo. Fisik Emma drop dan tidak mungkin melanjutkan perjalanan.

Kali ini, dengan personel tetap ditambah lima kawan dari Surabaya—Lukas, Henny, Rendra, Dio, dan Livi—kami kembali ke Banaran. Dusun dengan ketinggian 1.071 meter di atas permukaan laut (mdpl) yang jadi salah satu pintu masuk menuju Puncak Rajawali. Para pendaki mengenalnya Sumbing East Route. Rute timur yang sangat menantang karena tanjakan konstan, jarak yang cukup jauh (sekitar 8 km), dan harus melewati luasnya kaldera Segoro Banjaran sebelum puncak.

Dan memang itulah yang kami cari, yaitu melengkapi pengalaman. Banaran adalah jalur yang komplet. Di sinilah fisik diuji, lutut dan betis diurut, dan keringat diperas. Namun, cuaca benderang di hari pertama menghibur hati. Kami optimis pendakian dua hari satu malam ini berjalan lebih baik dari sebelumnya. Kami hanya harus bersabar meniti sedikit demi sedikit langkah di atas jalan setapak.

Awal yang baik untuk melangkah

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kiri: Emma (memanggul tas) yang membonceng Badak ikut melihat lautan awan dalam perjalanan menuju basecamp Banaran, Tembarak, Kabupaten Temanggung. Waktu tempuhnya 1,5 jam dari Kota Magelang. Pagi itu cuaca memang cerah dan tidak terlalu berangin. Kanan: Tampak belakang basecamp Banaran yang menempati gudang penampung hasil pertanian. Saat ini sudah ada basecamp baru yang terletak sekitar 600 meter dari basecamp lama. Letaknya lebih tinggi, searah dengan jalur makadam dan perkebunan tembakau menuju pintu hutan.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Suasana di dalam basecamp lama Banaran. Evelyne (paling kiri), Emma, dan LIvi tengah bersiap sebelum berangkat ke pintu hutan dengan ojek. Biaya registrasi pendakian adalah Rp15.000 per orang (sudah termasuk asuransi), ditambah Rp10.000 per orang untuk fasilitas basecamp (toilet dan mengecas gawai), dan tarif parkir Rp10.000 per kendaraan. Pagi itu (19/08/2023) tidak terlalu ramai pendaki. Kami adalah rombongan pertama yang naik. Karena armada ojek terbatas, kami meninggalkan basecamp secara bergantian mulai pukul 08.50 WIB.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Saya membonceng tukang ojek yang menggunakan motor matik. Berkendara 15 menit menuju pos nol (titik penurunan ojek) sangat menantang. Setelah 600 meter membelah jalan kampung yang menanjak, sisa sekitar 1,5 km ditempuh dengan menyusuri jalan makadam yang tak kalah terjal. Pengemudi harus andal dan lihai agar motor bisa melaju tanpa kehabisan tenaga. Untuk itu tas ransel ditaruh di depan pengemudi agar saya tidak terpelanting. Sekalipun begitu, saya tetap berpegangan erat pada behel motor karena cara mengemudi bapak ini sangat ngebut. Tarif ojek dari basecamp adalah Rp25.000 per orang.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Seorang petani tembakau tertawa saat saya memintanya membuka topi dan tudung jaket, sehingga terlihat rambut gondrong yang disemir kemerahan. Ia mengatakan orang-orang Banaran yang hidup di lereng Sumbing biasa menanam tembakau jenis lamsi. Karakter rajangannya keras dan tebal, tetapi rasanya manis.

Salindia ke-2: Sejumlah petani membeber hasil panen daun tembakau yang sudah menguning di area pos nol (1.487 mdpl), tempat kami turun dari ojek. Suasananya meriah, penuh guyon dan gelak tawa.

Salindia ke-3: Seorang ibu baru keluar hutan dengan memanggul batang-batang kayu untuk bahan bakar perapian di dapur. Rasanya berat tas ransel dan logistik yang kami bawa tak sebanding dengan beban kayu yang ia bawa.

Tak perlu menggerutu di jalur berdebu

Trek ini bernama tangga eskalator. Salah satu ikon jalur Banaran. Dinamakan demikian karena bentuknya seperti eskalator di mal-mal, hanya saja tidak dijalankan mesin secara otomatis. Kami tetap harus berjalan manual. Mengangkat tinggi kaki melewati satu per satu trap anak tangga sepanjang setengah kilometer lebih sedikit. Dimulai dari Warung Ganesari (1.725 mdpl) hingga sepertiga jalan antara Pos 1 Seklenteng (1.880 mdpl) dan Pos 2 Siwel-Iwel (2.1.27 mdpl). Tak ada cara lain untuk melewatinya selain terus berjalan dengan sabar dan hapus segala keluh. Saat kemarau, jalur akan kering dan berdebu. Kontras dengan kondisi di musim hujan yang sangat licin dan agak berlumpur.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Pukul 12.10, berhenti agak lama di Pos 2 Siwel-Iwel untuk istirahat dan makan siang. Menunya nasi bungkus berisi nasi, sayur tumis, dan lauk telur dadar. Kami tertinggal cukup jauh di belakang Lukas, Henny, Rendra, dan Dio yang berjalan lebih cepat.

Salindia ke-2: Berurutan dari belakang, Badak, Emma, dan Evelyne sedang berhenti sejenak mengatur napas di tengah jalur. Tampak bekas batang pohon tumbang yang dipangkas dan tergeletak begitu saja di atas semak-semak. Kami menemukan banyak pohon tumbang di sepanjang jalur menuju Pos 3 Punthuk Barah, yang menunjukkan jejak badai hebat pada puncak musim hujan lalu.

  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing
  • Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Salindia ke-1: Kawasan hutan mlanding yang tumbuh agak rapat. Ada bonus berupa trek datar saat melewati jalur ini, sebelum akhirnya agak menanjak mendekati Pos 3 Punthuk Barah.

Salindia ke-2: Kembali menyempatkan rehat sebentar di Pos 3 Punthuk Barah (2.411 mdpl). Jaraknya kira-kira 650 meter atau 1—1,5 jam perjalanan. Pos ini kadang jadi alternatif mendirikan tenda karena lahan datar cukup memadai. Biasanya digunakan pendaki berkemah jika fisik sudah tidak memungkinkan lanjut ke Pos 4 Watu Ondho, batas akhir camp. Namun, tidak ada sumber air di sini.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Saya menyebutnya Pos Darurat (2.638 mdpl). Daerah terbuka di punggungan yang berjarak sekitar 500 meter dari Pos 3 Punthuk Barah. Di tempat datar sempit inilah kami membuka tenda pada Desember 2022 lalu. Saat itu sudah petang. Gerimis turun sehingga memaksa kami harus berhenti. Padahal tebing vertikal Watu Ondho sudah terlihat, sedikit lagi kami sampai di pos yang lebih nyaman untuk camp. Namun, keselamatan dan kesehatan lebih penting. Jika selepas Pos 3 terpaksa bikin camp darurat, ada tempat yang lebih layak. Letaknya di ketinggian 2.585 mdpl, 350 meter dari Pos 3.

Berjalan lebih jauh dari tebing cadas itu

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Kabut sempat turun menyelimuti ujung punggungan bukit. Lukas dan kawan-kawan sepertinya telah tiba di Pos 4 Watu Ondho dan kelar bangun tenda. Sementara saya bersama Badak, Emma, Evelyne, dan Livi masih harus melalui tantangan terakhir, yaitu tebing Watu Ondho itu sendiri. Kami harus bergegas sebelum petang datang, karena masih ada tugas mengambil air di sumber yang cukup jauh dari camp.

Tebing Watu Ondho (2.690 mdpl). Tebing vertikal setinggi 6—8 meter. Satu-satunya jalan naik menuju Pos 4 Watu Ondho. Melihat batu cadas hitam keabu-abuan tersebut, jelas sekali jika saat hujan akan sangat licin dan berbahaya. Kanan-kirinya hanya jurang dalam menganga. Hidup bergantung pada uluran tali webbing dan seutas rantai yang menjuntai, terikat pada pasak-pasak besi yang tertancap di permukaan batuan. Kunci agar berhasil melewati tebing ini adalah kekompakan tim dan rasa percaya pada setiap pijakan kaki. Foto paling kanan dipotret saat turun gunung, yang lebih menantang dan sulit dibanding naik.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Jurang dalam di sisi kiri tebing. Sekali saja lengah dan kehilangan fokus, ya, sudah. Livi, kawan kami, sempat ingin menyerah tidak mau lanjut karena merasa takut dan tidak sanggup memanjat. Kami berusaha menenangkannya dan meyakinkan bahwa dia bisa. Soal bagaimana turunnya nanti, itu dipikir saat pulang besok.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Setibanya di Pos 4 Watu Ondho (2.715 mdpl) pukul 16.30, kami segera berbagi tugas. Lukas dan kawan-kawan yang sudah datang lebih dulu membantu mendirikan dua tenda yang dibawa saya dan Badak. Saya mengajak Badak mengambil air ke sumber air Semelik (2.791 mdpl), sementara Emma, Evelyne, dan Livi bergegas memasukkan barang serta menyiapkan logistik untuk makan malam. Rute ke mata air berjarak sekitar 300 meter. Naik sedikit lalu belok kanan melipir jalur antarpunggungan yang sangat terbuka tanpa naungan apa pun. Lokasinya memang tersembunyi, di celah lembah dan berupa kolam jernih di aliran sungai kecil. Menurut pengelola basecamp Banaran, mata air ini tersedia sepanjang tahun. Berbeda dengan pipa air di Pos 1 Seklenteng yang tidak mengalir saat kemarau.

Petang yang berkerabat dengan malam

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Lukas (kiri) dan Henny, kawan asal Surabaya. Selain naik gunung, Lukas dan Henny hobi bersepeda jarak jauh antarkota dengan komunitasnya saat akhir pekan. Tak heran di setiap kesempatan pendakian bersama dua orang ini, jalannya sangat cepat. Fisiknya terlatih. Saya awalnya keteter mengikuti ritme langkah keduanya. Namun, pada akhirnya yang sering terjadi adalah membiarkan mereka berjalan dulu di depan, sementara saya santai saja di belakang.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Tampak Dio (baju hitam) berjalan di antara tenda-tenda kami di areal camp Pos 4 Watu Ondho. Karena berada di punggungan yang terbuka, akan terasa bila terjadi angin kencang atau badai. Pasak tenda harus ditancap kencang-kencang di tanah. Tempat datar di pos ini memang tidak terlalu luas. Jika penuh—biasanya akhir pekan—pendaki bisa naik sekitar 50-100 meter dan akan menemukan satu-dua petak tanah yang memadai untuk mendirikan tenda.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Tenda putih milik Rendra berkapasitas satu orang dengan latar guratan langit senja. Cuaca cerah hari itu masih mewarnai Pos 4 Watu Ondho sampai malam datang. Kami tidak bisa melihat jelas momen matahari terbenam, karena terhalang punggungan gunung. Pos ini memang pas untuk menikmati panorama matahari terbit, jika tidak ingin ke puncak lebih awal.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Emma (paling kiri), Evelyne, dan Badak masak bersama untuk menyiapkan makan malam. Kadang-kadang saya ikut membantu. Cuaca cerah dan tidak terlalu berangin, sehingga kami leluasa memasak di luar tenda. Sementara rombongan Surabaya sudah selesai makan karena membawa logistik sendiri. Sembari menunggu matang, saya bergegas keluar tenda dan menyiapkan peralatan fotografi. Atmosfer malam itu benar-benar nyaris bersih, memberi ruang bagi benda-benda langit menampakkan diri.

Kartu Pos dari Gunung Sumbing
Kartu Pos dari Gunung Sumbing

Ini adalah alasan terbesar saya mengatur jadwal mendaki di pertengahan Agustus 2023. Saat itu sedang dalam fase new moon atau bulan baru. Saya biasa menyebutnya bulan mati. Posisi bulan berada paling dekat antara bumi dan matahari, sehingga bayangan bulan redup atau tidak terlihat. Setidaknya sampai fase bulan Di masa tersebut bintang-bintang akan terlihat lebih jelas dan tampak gugusan milky way seperti foto ini.

(Bersambung)


Foto sampul:
Pemandangan sore tatkala gulungan awan menyelimuti Gunung Merapi (kanan) dan Merbabu. Dipotret dari Pos 4 Watu Ondho/Rifqy Faiza Rahman


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kartu Pos dari Gunung Sumbing (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kartu-pos-dari-gunung-sumbing-1/feed/ 0 41529
Kebijakan Cukai Rokok dan Eksploitasi Petani Tembakau di Temanggung https://telusuri.id/kebijakan-cukai-rokok-dan-eksploitasi-petani-tembakau-di-temanggung/ https://telusuri.id/kebijakan-cukai-rokok-dan-eksploitasi-petani-tembakau-di-temanggung/#respond Tue, 08 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39569 Tahun-tahun belakangan ini, pemerintah kerap menerapkan kebijakan kenaikan cukai pada produk rokok. Kebijakan ini bermula dari pernyataan Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, yang menilai bahwa perokok adalah beban negara dan telah menghabiskan anggaran BPJS sampai...

The post Kebijakan Cukai Rokok dan Eksploitasi Petani Tembakau di Temanggung appeared first on TelusuRI.

]]>
Tahun-tahun belakangan ini, pemerintah kerap menerapkan kebijakan kenaikan cukai pada produk rokok. Kebijakan ini bermula dari pernyataan Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, yang menilai bahwa perokok adalah beban negara dan telah menghabiskan anggaran BPJS sampai 15 triliun rupiah. 

Padahal bila menelusuri lebih jauh, sektor penjualan tembakau nyatanya telah memberi keuntungan pada negara sebesar Rp164,87 triliun. Angka tersebut sudah pasti telah menutup tanggungan triliunan dari BPJS.

Meskipun demikian, sepertinya kebijakan cukai dari pemerintah luput membaca kondisi di lapangan. Utamanya kondisi para petani tembakau di daerah pinggiran yang tak tersentuh oleh pusat kekuasaan di Jakarta.

Kebijakan Cukai Rokok dan Eksploitasi Petani Tembakau di Temanggung
Berbincang bersama warga dan pemuda Bringin, Temanggung/Mohamad Ichsanudin Adnan

Kondisi Petani Tembakau di Temanggung

Berlangsungnya kebijakan cukai rokok, yang pada tahun-tahun ini sedang gencar berlaku, ternyata tak membuat petani tembakau benar-benar sejahtera. Hal tersebut jelas bertentangan dengan tujuan cukai untuk kesejahteraan petani. 

Sebagaimana yang saya jumpai di lapangan, ketika saya dan seorang kawan memutuskan untuk singgah lama di Bringin. Dusun yang terletak di pinggiran kota Temanggung ini terkenal sebagai pusat olahan tembakau yang terdistribusi ke pasar rokok nasional.

Selama singgah, kami juga tidak luput berbagi cerita bersama para warga. Khususnya para petani tembakau di Dusun Bringin. Aktivitas berlangsung di kediaman Mas Suti, yang setiap malamnya banyak dari masyarakat Bringin berkumpul di rumah tersebut sembari menikmati malam. 

Para pemuda, pegiat sanggar seni, hingga petani tembakau, satu per satu menyempatkan waktu untuk srawung di rumah sederhana itu. Dari perkumpulan tersebut kami berupaya menghimpun cerita sebanyak yang kami bisa, mengenai upaya bertahan dari desakan serta peminggiran yang mereka alami hari ini.

Di tengah berbincang, saya mendapati suatu hal yang mengejutkan. Sebagaimana Mas Suti katakan, meskipun dusun ini terletak di lereng Gunung Sindoro, sepanjang jalan utama menuju dusun sudah terdapat deretan pabrik rokok besar yang menjadi tempat penyimpanan tembakau sementara. Tempat ini berfungsi untuk memasok olahan tembakau dari para petani. Selanjutnya didistribusikan menuju Jawa Timur, daerah sebagian besar pabrik induk tersebut berada.

Kondisi tersebut menjadi bukti betapa kuatnya sektor rokok swasta yang berlangsung di daerah ini. Hanya sebagian yang dikelola oleh pengusaha lokal, sisanya lebih banyak dimiliki oleh orang di luar Temanggung. Mirisnya lagi, tembakau yang dihasilkan di tanah Temanggung hanya menjadi bahan baku tambahan karena rasanya yang begitu berat.

Kebijakan Cukai Rokok dan Eksploitasi Petani Tembakau di Temanggung
Produksi tembakau dari petani Bringin, Temanggung/Mohamad Ichsanudin Adnan

Dampak Kenaikan Cukai terhadap Petani Tembakau Temanggung

Di luar itu, pemerintah kerap mensosialisasikan kebijakan kenaikan cukai dengan mempertimbangkan kesejahteraan petani tembakau. Namun, pada praktiknya justru berlawanan. Para petani tembakau malah menjadi kelompok paling tertindas dalam pusaran kapital dan kebijakan yang tidak seimbang tersebut. 

Meski etalase di warung telah memasang harga puluhan ribu hanya untuk pembelian sebungkus rokok, petani masih terjerembap dalam pusaran rentenir dan keuntungan produksi yang timpang. Dengan kata lain, selisih dari tingginya harga rokok sangat jomplang dengan pendapatan para petani tembakau hari ini. Bahkan banyak dari mereka mengaku rugi menanam tembakau, sehingga beberapa di antaranya lebih memilih untuk menanam komoditas cabai.

Kemudian terdapat pula praktik adu domba yang gencar terjadi. Praktik ini berjalan dengan cara menempatkan kebencian kepada sesama warga di dalamnya. Menebar ketidakpercayaan dan menimbulkan pertikaian antarkelompok. Alhasil satu sama lain saling menanggung tatapan curiga, sekalipun itu adalah tetangga dan saudara dekat mereka. 

Menurut Mas Ato, petani tembakau yang saya temui di kediamannya, praktik ini kerap dilakukan oleh para calo guna menjaga alur distribusi tetap masuk ke kantong mereka. Selain itu, guna menjaga kepercayaan dari para petani agar tetap menyerahkan segala bentuk investasinya, termasuk tembakau, kepada mereka. 

Selain pasaran harga tembakau dan ritme kehidupan petani, naiknya cukai juga berdampak pada cara petani memperlakukan tanah garapannya sendiri. Hal ini saya jumpai ketika sedang berbincang dengan salah satu warga di Bringin. Dahulu para petani kerap mengadakan ruwatan atau doa sebelum menanam tembakau. 

Selain ruwatan, mereka juga kerap mempertimbangkan kondisi dari tanah olahan mereka. Jika sudah tidak lagi musim tanam, mereka akan membiarkan tanah dan tidak menanam komoditas apa pun. Sebagaimana manusia, tanah pun membutuhkan istirahat. Cara ini terbukti ampuh menjaga kualitas tembakau, karena tanahnya sendiri memiliki waktu untuk tidak terkontaminasi pestisida dan berbagai macam komoditas lainnya.

Akan tetapi, belakangan ini para petani sudah jarang melakukan tradisi ruwatan dan pengkondisian tanah. Irama produksi rokok yang serba cepat dan penghasilan yang tidak menutupi biaya produksi, memaksa tanah bekas garapan tembakau mesti segera berganti dengan komoditas lain, seperti cabai. Maka para petani pun menjadi makin eksploitatif dan tidak memberi ruang napas terhadap tanah olahannya sendiri.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kebijakan Cukai Rokok dan Eksploitasi Petani Tembakau di Temanggung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kebijakan-cukai-rokok-dan-eksploitasi-petani-tembakau-di-temanggung/feed/ 0 39569
Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan https://telusuri.id/jejak-seniman-kungfu-di-omah-tjandi-parakan/ https://telusuri.id/jejak-seniman-kungfu-di-omah-tjandi-parakan/#comments Thu, 20 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39341 Penjelajahan pusaka tersembunyi di Parakan belum berhenti. Puas menikmati kemewahan Rumah Gambiran, saya bersama The Han Thong melanjutkan langkah ke sebuah bangunan lainnya di sebelah rumah warisan Siek Hwie Soe itu. Selayaknya rumah saudagar, pagar...

The post Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Penjelajahan pusaka tersembunyi di Parakan belum berhenti. Puas menikmati kemewahan Rumah Gambiran, saya bersama The Han Thong melanjutkan langkah ke sebuah bangunan lainnya di sebelah rumah warisan Siek Hwie Soe itu. Selayaknya rumah saudagar, pagar tinggi dengan aksen gerbang kayu menjadikan rumah ini lebih memiliki privasi dari hiruk pikuk dunia luar. 

Meski begitu, halaman depan tampak asri dan terawat seperti Rumah Gambiran. Tujuan saya kali ini adalah sebuah rumah yang berjuluk “Omah Tjandi Gotong Royong”. Saat ini dimiliki Go Kiem Yong, pengusaha kue bolu Parakan.

Go Kiem Yong merupakan cucu dari Bah Suthur atau Hoo Tik Tjay, anak dari Hoo Tiang Bie, yang notabene anak angkat dari seorang seniman beladiri kungfu, yakni Louw Djing Tie. Kalian mungkin penasaran, Omah Tjandi sebenarnya milik Hoo Tiang Bie, Hop Lip Boen, atau Louw Djing Tie? Saya akan coba menjawabnya.

Karena rumah tersebut menjadi milik pribadi, tentu terdapat tata cara yang berbeda untuk sekadar berbincang dan mengabadikan momen yang ada. Setelah mendapatkan izin, saya pun menikmati suasana rumah sesaat lalu masuk ke rumah utama.

Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan
The Han Thong dan pemilik Omah Tjandi saat ini di beranda depan/Ibnu Rustamadji

Rumah yang Menyimpan Sejarah Sang Seniman Kungfu  

Begitu menginjakan kaki di dalam, saya berpikir mungkin pemiliknya senang olahraga berat karena terdapat beberapa alat uji ketangkasan di ruang tamunya. Ternyata saya salah. Alat-alat itu merupakan warisan dari sang seniman kungfu, Louw Djing Tie.

Tatkala memotret peralatan tersebut, The Han Thong mengungkap perihal sebenarnya yang terjadi di rumah ini. Ia menjelaskan, Omah Tjandi Gotong Royong sejatinya merupakan peninggalan Hoo Tiang Bie. 

Kepemilikan awal bukan berada di keluarga Hoo Tiang Bie, tetapi Raden Mas Kertoadmodjo. Suatu ketika orang Belanda bernama F. H. Stout, pengawas proyek pembangunan jalur kereta api Parakan—Secang, membeli rumah itu dengan harga 450 gulden. Beberapa waktu kemudian dibeli Hoo Tiang Bie seharga 300 gulden. 

Pembangunan Omah Tjandi Gotong Royong memadukan tiga langgam budaya di Parakan kala itu, yakni Eropa, Tionghoa, dan Jawa. Campuran budaya tidak hanya untuk bangunannya saja, tetapi juga keluarga yang menempati.

Memasuki bagian rumah utama, deretan foto keluarga pemilik Omah Tjandi menyambut kami. The Han Tong menunjuk satu gambar berkanvas coklat dengan epitaf aksara mandarin. Sosok dalam potret tersebut adalah Louw Djing Tie, pendekar kungfu kelahiran 1855 dan berasal dari kampung Khee Thao Kee, Kota Haiting, Hokkian, Tiongkok. 

Louw Djing Tie mempelajari kungfu sedari muda. Berawal dari kekagumannya tatkala melihat kelihaian seorang kakek tua pembuat tahu, seakan tengah melakukan aksi bela diri. Sejak saat itu ia rutin berlatih secara mandiri.

Hal ini tidak lepas dari kondisi keluarga yang memprihatinkan. Ia adalah seorang yatim piatu yang hidup dengan dua kakaknya. Iba melihat Louw Djing Tie, sang kakak perempuan memutuskan untuk memasukkannya ke sekolah bela diri kungfu di Kuil Shaolin. 

Selama di kuil, Louw muda juga memperdalam ilmu tenaga dalam dan pengobatan dengan Biauw Tjien dan Kang Too Soe. Meski begitu, ia diharapkan oleh sang guru untuk tetap rendah hati. Maka dalam beberapa pertarungan, Louw Djing Tie sengaja mengalah atas lawannya. 

Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan
Bagian belakang Omah Tjandi/Ibnu Rustamadji

Mengembara dari Hokkian ke Parakan

Usai belajar di Kuil Shaolin, Louw Djing Tie mencoba mengadu nasib di Hok Ciu, ibu kota Hokkian. Kala itu dewan kota praja tengah mengadakan seleksi prajurit, dengan cara mengalahkan jawara pilihan mereka. 

Lie Wan, salah satu adik seperguruan, mendapat kesempatan melawan seorang guru kungfu yang telah mengalahkan lawan sebelumnya. Ia kewalahan menghadapi serangan berbahaya. Demi melindungi Lie Wan, Louw Djing Tie tiba-tiba masuk arena dan menendang kemaluan lawan sampai tewas. 

Akibat kejadian itu, Louw Djing Tie dan Lie Wan pergi ke arah selatan sebagai pelarian. Kali ini tanpa saudara yang sebelumnya menemani setiap langkahnya. Dari daratan Tiongkok, ia kemudian mendarat di Singapura untuk pertama kalinya. Tak lama, ia meneruskan perjalanan ke Batavia dan menjadi pedagang keliling di sekitar Toko Tiga, Glodok.

Seperti tak pernah puas, Louw Djing Tie terus mencari kehidupan baru di luar Batavia. Tujuan berikutnya Semarang, Kendal, Ambarawa, Wonosobo, dan berakhir di Parakan. Saat di Wonosobo ia bertahan hidup dengan berjualan ikan asin keliling serta mengajarkan kungfu kepada kawannya di suatu pondokan.

Roda kehidupan terus berputar sampai akhirnya berlabuh di Parakan. Selama di Parakan, ia diberi tempat tinggal oleh Hoo Tiang Bie, sang pengusaha tembakau, di area rumahnya yang saat ini menjadi Omah Tjandi. Louw Djing Tie menempati rumah kecil di sudut halaman depan. 

Untuk menyambung napas, ia berjualan permen kembang gula. Seiring waktu kemudian ia membuka perguruan kungfu Garuda Mas secara sembunyi-sembunyi, karena pemerintah Hindia Belanda kala itu melarang adanya perguruan seni bela diri. Salah satu muridnya di Garuda Mas adalah Hoo Tik Tjay, putra Hoo Tiang Bie.

Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan
Rumah tinggal Louw Djing Tie di sudut halaman depan. Di sini pula ia mendirikan perguruan kungfu Garuda Mas/Ibnu Rustamadji

Perjalanan Hidup Louw Djing Tie di Parakan

Saat di Parakan, Louw Djing Tie pernah bertarung dengan Tan Tik Sioe Sian alias Rama Moortie van Jawa. Ia diketahui sebagai pertapa dari Gunung Wilis, Jawa Timur, yang mencoba mengadu keilmuan dengan Louw Djing Tie. 

Ia pun menerima tawaran adu ilmu tersebut. Namun, di tengah pertandingan Louw Djing Tie sengaja mengalah. Mengetahui hal itu, Tan Tik Sioe Sian segera menghentikan pertandingan dan memberikan kenang-kenangan berupa tongkat kayu cendana sebelum si pertapa kembali ke Jawa Timur.

Louw Djing Tie mengajarkan ilmu bela diri tidak pandang status sosial terhadap siapa pun. Ia juga tidak segan membantu pribumi yang bermasalah dengan warga Belanda. Tentu penyelesaiannya tidak semata-mata harus dengan pertumpahan darah. 

Sang seniman kungfu itu memegang tiga sumpah dalam hidupnya: berumur pendek, hidup miskin tapi bisa makan, dan tidak berkeluarga. Pada masa tuanya, ia terpaksa melanggar sumpah untuk tidak menikah. Benar saja, hidup dengan sang istri tidak pernah lama.

Pasca istri pertamanya meninggal, ia kembali menikah sebanyak dua kali. Namun, istri kedua berkhianat dan istri ketiga mengidap sakit jiwa. Usaha rintisannya pun anjlok. Sakit tua mendera dan ia mulai rabun sejak menjadi pemadat opium. Louw Djing Tie menganggap semua ini hukuman dari Tuhan atas kesalahannya masa lalu.

Semasa tua, Louw Djing Tie hidup bersama Hoo Tik Tjay. Ia tidak memiliki keturunan. Konon hal ini karena keilmuan Louw Djing Tie yang menyembunyikan kemaluannya saat bertarung, sehingga membuatnya mandul.

Sang seniman kungfu itu akhirnya wafat pada 1921 di usia 66 tahun. Ia dikebumikan di pemakaman Gunung Manden, sebelah utara Kecamatan Parakan, Temanggung. Sepeninggal Louw Djing Tie, segala lini usaha dan perguruan Garuda Mas pun turut bubar. Hanya beberapa murid yang sempat meneruskan hingga tahun 1942.

Beberapa usaha yang terdampak atas kepergiannya antara lain Jamu Arem Pegal Linu tjap Garuda, obat segar badan (Siang Yong Wan Pastiles), minyak gosok (Jit Li Yu), dan obat oles bergambar potret Louw Djing Tie dengan baret hitam. 

Raganya Mati, Jiwanya Abadi

Memang tidak banyak peninggalan di dalam rumah ini. Sebab sejak Louw Djing Tie hidup, para murid meminjam alat dan tidak mengembalikannya sampai ia wafat. Walaupun begitu, marwah Omah Tjandi Gotong Royong sebagai awal mula seni beladiri kungfu dari Parakan tetap abadi.

Terlebih semasa pemerintahan Jepang, semua kegiatan bela diri dilarang. Apabila tertangkap, maka akan diinterogasi dan mendapat hukuman. Hoo Tik Tjay, sang murid sekaligus penerus perguruan, memutuskan untuk menghilangkan semua alat bela diri milik Louw Djing Tie. Segala yang berhubungan dengan Garuda Mas dikubur di halaman rumah Hoo Tiang Bie untuk menghapus jejak.

Sekalipun demikian, bagi kami, Omah Tjandi Gotong Royong tetap wajib dikunjungi ketika berada di Parakan. Namun, pengunjung harus mematuhi aturan dari pemiliknya saat ini. Sebagai awal mula seni bela diri kungfu di Indonesia, sudah selayaknya Omah Tjandi mendapat perhatian dan apresiasi.

Kiprah dan gerakan The Han Thong bersama sejumlah rekan untuk mengenalkan harta pusaka Parakan ke masyarakat luas sangat luar biasa. Walau sementara baru dua rumah yang kami kunjungi, Rumah Gambiran dan Omah Tjandi Gotong Royong, penelusuran ini cukup mengobati rasa penasaran saya terhadap Parakan. Hanya satu kata yang bisa menggambarkan perjalanan saya kali ini: luar biasa cantik! Sukses menikmati Parakan, perjalanan saya berikutnya mungkin akan mengulik pusaka tersembunyi lainnya di Kabupaten Temanggung. Kebetulan saya sempat lewat dan melihat beberapa yang menarik untuk menelusurinya lebih jauh. Saya akan kembali suatu saat dan menikmati setiap jengkalnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Seniman Kungfu di Omah Tjandi Parakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-seniman-kungfu-di-omah-tjandi-parakan/feed/ 1 39341
Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan https://telusuri.id/mengungkap-pusaka-tersembunyi-di-parakan/ https://telusuri.id/mengungkap-pusaka-tersembunyi-di-parakan/#respond Thu, 22 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39033 Perjalanan saya kali ini berawal dari ajakan seorang rekan untuk sekedar berburu foto dan menjelajah di lereng Gunung Sindoro-Sumbing. Awalnya saya pikir menjelajah lereng gunungnya, tetapi ternyata bukan. Kami melakukan eksplorasi di Kecamatan Parakan, Kabupaten...

The post Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Perjalanan saya kali ini berawal dari ajakan seorang rekan untuk sekedar berburu foto dan menjelajah di lereng Gunung Sindoro-Sumbing. Awalnya saya pikir menjelajah lereng gunungnya, tetapi ternyata bukan. Kami melakukan eksplorasi di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung. 

Tujuan penjelajahan kami adalah kampung pecinan di Jalan Gambiran. Sebelum memulai perjalanan, kami sengaja menyempatkan berkunjung kelenteng Hok Tek Tong guna mengabadikan aktivitas dan detail ornamennya. Tentu kami melakukannya setelah mendapat izin dari pengurus kelenteng. 

Di tengah asyik memotret, tiba-tiba muncul bapak paruh baya berjenggot panjang dari salah satu ruang dewa. Beliau adalah The Han Thong, aktivis Masyarakat Tionghoa Parakan sekaligus pemandu lokal kami. Ia juga dengan senang hati mengantar siapa pun yang ingin melihat Parakan dari sudut pandang berbeda. Setelah bercengkerama, The Han Thong menunjukan beberapa peninggalan yang sekiranya menarik kami abadikan. 

“Kalau mau saya antar keliling seberang sana, di Jalan Gambiran!”

Tentu kami menyetujui. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Penjelajahan dimulai. 

Rumah Gambiran, Pusaka dari Parakan

The Han Tong lantas mengajak kami keluar kelenteng dan berjalan kaki menuju kampung pecinan di Jalan Gambiran. Dia mengaku sering mengantar tamu untuk sekadar jalan-jalan dan merasakan dinginnya udara Parakan. 

Menyusuri sepanjang jalan, hanya deretan tembok tinggi dengan satu aksen masuk yang menemani langkah. Biasanya kampung pecinan identik dengan hiruk pikuk perdagangan. Namun, di sini sangat sepi, seperti yang saya rasakan ketika menelusuri kampung pecinan di Pasuruan. 

Langkah kami menyusuri Jalan Gambiran hanyalah awal perjalanan. Tujuan kami sejatinya berada di gang sebelah, tepatnya Jalan Bambu Runcing. Sepanjang perjalanan lensa kamera tak henti mengabadikan setiap momen, termasuk membingkai lanskap Gunung Sindoro dari tempat kami berada. 

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Pintu depan Rumah Gambiran bergaya Indis/Ibnu Rustamadji

Setelah kurang lebih satu jam berjalan kaki, tibalah kami di tujuan utama. “Selamat datang di Rumah Gambiran,” begitu kiranya sambutan The Han Tong sembari membukakan pintu untuk kami. 

Beranjak memasuki rumah utama dari halaman depan, marwah sebagai seorang pengusaha gambir begitu terasa. Beranda depan berhias sebuah kursi santai, tempat sang saudagar melepas lelah sambil mengisap tembakau.

Menginjakkan kaki ke dalam, kami langsung menjumpai partisi kayu menghadap pintu utama di antara ruang tengah dan ruang belakang. Penggunaan partisi kayu tersebut untuk memisahkan antara ruang publik dan ruang keluarga. Bagian dalam kamar tidur utama berisi perabot kuno Rumah Gambiran. 

Tanpa pikir panjang kami segera merekam semua momen yang ada dalam memori kamera. Sembari kami hunting foto, The Han Tong mulai bercerita tentang Rumah Gambiran. Rumah yang menjadi bagian perjalanan masyarakat Tionghoa Parakan kala itu. 

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Suasana beranda depan dari halaman rumah Indis/Ibnu Rustamadji

Sejarah Rumah Gambiran

Menurut The Han Tong, disebut Rumah Gambiran, karena dahulu rumah ini merupakan hunian milik Siek Oen Soei, seorang pengusaha gambir di Parakan. Namun, ia hanya pewaris usaha gambir moyangnya yang bernama Siek Hwie Soe. Adapun pengusaha gambir pertama di Parakan pertama adalah Loe Tjiat Djie. Gambir yang diproduksi adalah untuk campuran pewarna kain batik.

Siek Hwie Soe tiba di Parakan tahun 1821. Untuk menyambung hidup ia bekerja sebagai buruh pengolahan gambir dan menumpang hidup dengan Loe Tjiat Djie.

Selama bekerja, ia dinilai cukup mumpuni untuk memimpin usaha. Loe Tjiat Djie lantas mengangkat Siek Hwie Soe sebagai menantu dan mewariskan usaha gambir kepadanya. Sekian lama tinggal di Parakan hingga pertengahan tahun 1840, ia memutuskan pulang ke tanah kelahirannya di Tiongkok.

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Inskripsi nasehat di salah satu ruang keluarga rumah orientalis/Ibnu Rustamadji

Tidak lama, ia kembali ke Parakan beserta keluarga lain untuk mengurus usaha gambir. Usaha gambir menuai kesuksesan, sehingga mereka kemudian mendirikan usaha bersama bernama “Hoo Tong Kiem Kie” yang berpusat di Semarang. Empat puluh dua tahun kemudian, tepatnya 1882, Siek Hwie Soe wafat.  

Badan usaha lantas terbagi menjadi dua. Usaha pertama bernama “Hoo Tong Seng Kie” di Semarang, di bawah pengelolaan putranya, yakni Siek Tjin Lion. Usaha kedua bernama “Hoo Tong Kiem Kie” di Parakan, berjalan di bawah pengelolaan keponakannya, Siek Tiauw Kie. 

Siek Tiauw Kie memiliki beberapa istri dan anak. Satu anak di antaranya adalah Siek Oen Soei. Siek Tiauw Kie selanjutnya mewariskan bisnis gambir kepada Siek Oen Soei, yang di kemudian hari menuai kesuksesan besar ketika berhasil memperdagangkan gambir, beras, dan tembakau, sampai akhirnya wafat tahun 1948. 

Siek Oen Soei sebagai pewaris Rumah Gambiran wafat di Yogyakarta. Setelahnya bisnis dan rumah diberikan kepada sang putra, Siek Bien Bie. Tidak lama sejak saat itu mereka pindah ke Batavia (Jakarta) atas alasan keamanan, karena pergolakan agresi militer II oleh Belanda. Rumah keluarga itu pun kosong.

Perpaduan Lintas Budaya dalam Arsitektur Rumah Gambiran

Menapaki halaman belakang, tampak sebuah meja batu langka yang dulu berfungsi untuk bermain mahjong. Terapit oleh kamar tidur untuk tamu atau keluarga yang belum memiliki tempat tinggal sendiri. Ruang belakang tersebut bukti kepedulian Siek Oen Soei dengan keluarga dan handai tolan yang berkunjung. 

Masih berada dalam satu halaman, tepat lima langkah dari meja mahjong, kami terkagum-kagum dengan sebuah bangunan yang sangat kontras dengan Rumah Gambiran sisi utara. Bangunan itu merupakan rumah bergaya Indis dengan kolom menopang beranda depan dan belakang. Menghadap ke selatan dengan pemandangan Gunung Sumbing. 

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Meja batu mahjong dengan latar belakang beranda belakang rumah Indis/Ibnu Rustamadji

The Han Thong memiliki dugaan, “Bangunan warna putih bergaya indis ini, lebih awal dibangun daripada Rumah Gambiran sisi Selatan.”

Ia juga menyangka bahwa Rumah Gambiran sisi utara dibangun setelah ia kembali dari Tiongkok, sebagai memorial negeri leluhurnya. Berfungsi pula untuk kediaman keluarga besar hingga ia wafat, kata The Han Thong menambahkan.

Kekaguman semakin memuncak, ketika kami dipersilahkan menginjakkan kaki ke dalam rumah. Mata dan lensa kamera tak hentinya menikmati detail ornamen, serta sudut rumah yang luar biasa utuh dan masih terjaga. Rasa kagum, senang, bangga bercampur bahagia, kami rasakan kala menjelajahi kedua Rumah Gambiran ini.

Rumah Gambiran sisi selatan lebih menonjolkan sebagai kediaman elit Eropa daripada pengusaha. Setiap ornamen yang ada dan konsep penataan bagian dalam rumah cenderung mencirikan gaya Eropa. Tentu siapa pun yang akan berkunjung ke Rumah Gambiran pasti terpesona dengan kemewahannya.

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
Beranda depan rumah bergaya oriental/Ibnu Rustamadji

Sungguh kesempatan yang sangat langka bagi kami untuk menjelajahi dan mengabadikan dua peninggalan budaya berbeda. Dalam satu tempat dan waktu. Perpaduan marwah sebagai seorang pengusaha gambir dan elit Eropa. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan lebih mengenai Rumah Gambiran selain mewah.

Gaya Indis berpadu dengan oriental adalah wujud akulturasi budaya asing dengan masyarakat setempat. Siek Oen Soei, meski berasal dari daratan Tiongkok, tetapi hubungannya dengan masyarakat Eropa, Tionghoa, maupun pribumi Parakan saat itu terikat baik.

Penelusuran di Parakan Masih Berlanjut

Setelah kepindahan keluarga Siek Bien Bie, Rumah Gambiran sempat kosong dan terbengkalai. Hingga akhirnya tampak seperti saat ini usai revitalisasi oleh Chris Dharmawan, seorang arsitek, filantropi sekaligus pemilik galeri seni Semarang Contemporary Art Gallery di kawasan Kota Lama Semarang.

Kontribusinya di Parakan adalah sebagai pemilik Museum Peranakan Tionghoa Parakan, sekaligus penulis buku Parakan Living Heritage. Buku ini pula yang menjadi panduan saya dan The Han Tong untuk mengulik pusaka tersembunyi di Parakan. Salah satunya Rumah Gambiran.

Pada tahun 2006 Rumah Gambiran dibeli oleh Ekayana Buddhist Centre sebagai Prasadha Mandala Dharma, atau rumah pelatihan dan retret jemaat Buddha. Rumah Gambiran pun mendapat julukan baru, yaitu Rumah Bhante (biksu), karena tempat ini diketuai oleh Bhante Aryamaitri.

Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan
The Han Tong di beranda belakang rumah bergaya Indis/Ibnu Rustamadji

Puas menikmati kemewahan Rumah Gambiran, perjalanan saya di Parakan masih berlanjut. Kali ini, selain The Han Tong, saya juga mengajak beberapa kawan lain dari Parakan. Tujuan kami tidak lain menjaga silaturahmi dan kekeluargaan, agar tidak hanya berperan sebagai pemandu lokal saya belaka.

Bagi saya, Parakan membuat candu siapa pun yang memandang. Untuk sebagian orang mungkin tidak menarik, tetapi saya menilai keindahan tidak hanya bisa dipandang dari satu sisi. Seperti halnya Parakan, yang memiliki keindahannya sendiri jika kita melihat dari sisi lainnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengungkap Pusaka Tersembunyi di Parakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengungkap-pusaka-tersembunyi-di-parakan/feed/ 0 39033
Rekonsiliasi Konflik Tembakau melalui Kesenian Jaran Kepang https://telusuri.id/rekonsiliasi-konflik-tembakau-melalui-kesenian-jaran-kepang/ https://telusuri.id/rekonsiliasi-konflik-tembakau-melalui-kesenian-jaran-kepang/#respond Tue, 30 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38828 Satu tahun belakangan saya mencatat penelusuran tentang resistensi kesenian rakyat di pinggiran Jawa. Perjalanan ini saya mulai dari sebuah tempat yang mungkin asing bagi sebagian orang, tetapi beberapa menganggap sebagai rumah yang menghidupi.  Tempat itu...

The post Rekonsiliasi Konflik Tembakau melalui Kesenian Jaran Kepang appeared first on TelusuRI.

]]>
Satu tahun belakangan saya mencatat penelusuran tentang resistensi kesenian rakyat di pinggiran Jawa. Perjalanan ini saya mulai dari sebuah tempat yang mungkin asing bagi sebagian orang, tetapi beberapa menganggap sebagai rumah yang menghidupi. 

Tempat itu adalah sebuah dusun bernama Bringin yang terletak di pinggiran Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Bringin merupakan rumah bagi para petani tembakau, yang hingga hari ini memutuskan bertahan membudidayakan tanaman bahan baku rokok tersebut. Meskipun kebijakan cukai kerap menyisihkan mereka.

Dalam pusaran tembakau di daerah Bringin, para petani menjadi kelas paling rentan. Walaupun etalase di supermarket telah memasang harga puluhan ribu hanya untuk pembelian sebungkus rokok. Akan tetapi, para petani tembakau masih terjerembap dalam pusaran rentenir dan keuntungan produksi yang tidak seimbang. Dengan kata lain, tingginya harga rokok tidak sebanding dengan pendapatan para petani tembakau.

Dari kesaksian para petani tembakau Bringin, sebagaimana Mas Ato (warga Dusun Bringin) katakan, bahwa permasalahan petani tidak hanya berhenti pada kebijakan cukai yang timpang. Bahkan di lapangan para calo kerap mengadu domba para petani demi keuntungan pribadi. Terdapat kebencian yang kerap mereka alamatkan kepada sesama warga, sehingga sering terjadi perselisihan. Alih-alih mengarahkan keluh kesah kepada produsen kapital besar yang sering memainkan harga, justru kebencian mereka tergiring dan bergulir di sesama petani.

Meskipun demikian, di luar intrik perselisihan komoditas tembakau, masyarakat Dusun Bringin masih sering menggelar pagelaran seni jaran kepang. Tradisi tersebut masih berlangsung hingga hari ini, guna memelihara ingatan mereka terhadap sosok leluhur. 

Rekonsiliasi Konflik Tembakau melalui Kesenian Jaran Kepang
Para penampil muda kesenian jaran kepang di Dusun Bringin, daerah pinggiran Kabupaten Temanggung/Mohamad Ichsanudin Adnan

Kesenian Jaran Kepang Khas Dusun Bringin

Menurut Mas Suti, salah satu pegiat sanggar seni di Dusun Bringin, masyarakat mengenal sosok leluhurnya sebagai salah satu prajurit perang Pangeran Diponegoro. Sebagaimana kita tahu, para prajurit itu kerap terlibat dalam praktik pembangkangan terhadap kekuasaan Mataram dan kolonialisme Belanda di keresidenan Kedu.

Sosok-sosok tersebut merujuk pada Pangeran Suryakusuma, Singa Barong, hingga Kiai Yusup. Penduduk setempat mengenang dan menetapkan ketiga tokoh itu sebagai nama sanggar, yaitu Tri Kudo Waseso Bringin. Sanggar ini menaungi pemberdayaan seni di daerah Bringin.

Antusiasme penduduk Bringin terhadap kesenian jaran kepang menarik perhatian saya untuk singgah lama di tempat ini. Suatu kali, saya menjumpai rombongan anak secara bersemangat menggelar jaran kepang. Tujuannya memeriahkan hajatan kawannya yang habis sunatan. Meskipun tubuh mereka terbilang masih kaku dan lebih dekat dengan kebiasaan bermain, tetapi mereka begitu penuh gairah menari layaknya prajurit di atas papan kayu.

Kemudian pada akhir tahun 2022, sanggar Tri Kudo Waseso melalui para pemudanya, menginisiasi pagelaran seni yang seluruh lapisan masyarakat bisa mengikutinya. Baik itu anak-anak maupun para lansia, semuanya meletupkan energi untuk menyuguhkan penampilan terbaik. 

Sembari berbaur dengan para pemuda di sana, menjelang pagelaran tiba saya memutuskan untuk membersamai proses latihan mereka. Proses latihan ini tersebar di setiap gang hingga antar RT di sepanjang jalan Dusun Bringin. 

Setiap gang maupun RT di Dusun Bringin memiliki model estetika khasnya masing-masing. Meskipun memang dalam proses pengemasannya secara serentak menggunakan jaran kepang. Maka malam itu, suara gamelan nampak meluber ke segala arah. Semua orang terlihat gemar menari, tak mengenal batas usia maupun gender.

Bahkan di halaman masjid sekalipun, di luar jadwal ibadah rutin, mereka jadikan sebagai tempat latihan. Tak hanya itu, mereka juga secara swadaya menginisiasi penyewaan artistik dan juga pengeras suara besar untuk modal latihan.

Rekonsiliasi Konflik Tembakau melalui Kesenian Jaran Kepang
Pertunjukan jaran kepang anak-anak di Bringin (dokumentasi oleh Agung, sanggar seni Tri Kudo Waseso)

Paguyuban Kesenian sebagai Mediasi Konflik

Menariknya, melalui pagelaran seni dan proses swadaya yang berlangsung secara kolektif, para warga yang awalnya saling berselisih satu sama lain, justru berbaur guna menyukseskan acara tersebut. Kebencian yang sempat terjadi justru lenyap dan berusaha menjalin kembali ritme paguyuban satu sama lain.

Mungkin itulah tujuan dari pergelaran tersebut. Bukan hanya sebagai ajang menunjukan kemegahan artistik maupun kemampuan estetika yang luhung. Namun, lebih dari itu, menjadi wadah bagi siapa pun untuk bersatu dan menepis konflik-konflik yang terjadi di Dusun Bringin.

Berangkat dari persinggungan saya dengan nuansa kesenian di Dusun Bringin, saya pun sampai pada suatu pemetaan. Apabila komoditas tembakau dapat menciptakan ketegangan antarwarga di dalamnya, malah justru melalui kesenian upaya rekonsiliasi dapat dilakukan. 

Kesenian dapat menjadi wadah bagi konflik-konflik di daerah pinggiran. Terutama yang irama paguyubannya telah terenggut oleh ketimpangan struktur dan kebijakan pemilik kuasa. Dalam kesenian, seluruh lapisan masyarakat dapat menjalin program kontak dan pertemuan yang lebih sehat.

Di pengujung tahun, pergelaran seni tersebut akan berlangsung. Pagelaran yang menjadi ajang menunjukan hasil latihan yang telah mereka lakukan selama ini. Sekali lagi, bekal tersebut bukanlah keterampilan estetika semata, melainkan nada senyum dan sapa yang menguar selama proses latihan hingga malam pagelaran tiba.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Rekonsiliasi Konflik Tembakau melalui Kesenian Jaran Kepang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rekonsiliasi-konflik-tembakau-melalui-kesenian-jaran-kepang/feed/ 0 38828
Melinting Tembakau Temanggung di Linthing Thoenk https://telusuri.id/melinting-tembakau-temanggung-di-linthing-thoenk/ https://telusuri.id/melinting-tembakau-temanggung-di-linthing-thoenk/#respond Mon, 15 Apr 2019 16:18:48 +0000 https://telusuri.id/?p=13262 Sudah bulan April namun hujan dan gerimis masih setia turun di wilayah Temanggung. Untung saya memakai parka. Jadi, saat dibonceng Roiz naik Vespa yang laju dari Ngadirejo ke Parakan, Temanggung, saya tidak kedinginan. Di Parakan,...

The post Melinting Tembakau Temanggung di Linthing Thoenk appeared first on TelusuRI.

]]>
Sudah bulan April namun hujan dan gerimis masih setia turun di wilayah Temanggung. Untung saya memakai parka. Jadi, saat dibonceng Roiz naik Vespa yang laju dari Ngadirejo ke Parakan, Temanggung, saya tidak kedinginan.

Di Parakan, kami meluncur di jalanan yang dipagari bangunan-bangunan tua, lalu melipir ke sebuah gang sempit yang hanya cukup untuk dua sepeda motor atau sebuah mobil kecil. Selama beberapa saat suara khas knalpot Vespa membahana dipantulkan ke sana kemari oleh pagar rumah dan tembok, sampai akhirnya kendaraan roda dua itu berhenti di depan sebuah rumah.

linthing thoenk
“Toko” tembakau lembutan dan cengkeh Linthing Thoenk/Fuji Adriza

Rumah itu tanpa pekarangan. Hanya pagar besi yang memisahkannya dari jalanan gang. Dindingnya yang dilapisi ratusan ubin persegi panjang berwarna merah bata dan lantai berandanya yang bertegel terang membuat rumah itu tampak klasik.

Tapi, yang paling mencolok adalah pintunya yang kuning terang. Di samping pintu kayu itu ada sebuah spanduk berlatar hitam. Saya perlu mengernyit untuk membaca tulisan dalam lingkaran putih itu: “Linthing Thoenk.” Di bawah “Linthing Thoenk” ada dua baris tulisan warna merah, “Tembakau Lembutan” dan “Cengkeh.”

Roiz mengetuk pintu kuning itu. Selang sebentar terdengar suara gagang pintu sedang ditekan, kemudian pintu itu membuka. Kami disambut seorang pria gondrong berusia sekitar 30-an akhir atau awal 40-an, lalu dipersilakan memasuki ruang tamu.

linthing thoenk
Repro lukisan Affandi di rumah Pak Thoenk/Fuji Adriza

Ruang tamu yang memanjang itu senada dengan eksterior bangunan, sama-sama klasik. Ada dua set meja-kursi tamu dari kayu dan anyaman rotan yang mengingatkan saya pada mebel lawas di rumah nenek. Kami duduk di set meja-kursi tamu kayu berkapur hitam dan penuh ukiran. Sambil menunggu empunya Linthing Thoenk—yang membuka pintu tadi ternyata bukan sang pemilik—saya mengedarkan pandangan mengelilingi ruangan nyeni itu.

Coba dulu, beli kemudian

Dinding tepat di depan saya adalah tempat bagi selusin lebih pigura bergambar keris, lengkap dengan keterangannya. Menoleh ke kiri saya mendapati sebingkai repro lukisan Affandi. Di sudut sana, di belakang meja kayu kokoh penuh ukiran, menjulang dua bilah tombak kayu berwarna cokelat tua. Di pojok yang berseberangan dengan tombak-tombak itu ada satu unik speaker Polytron yang kala itu sedang diam-diam saja.

Saat saya sedang asyik menikmati suasana, Pak Thoenk muncul dari ruang tengah. Wajahnya ceria. Rambutnya dipotong pendek mengikuti bentuk kepala. Susah untuk menebak usianya, barangkali sekitar 40-an akhir atau 50-an awal.

linthing thoenk
Kaleng rokok yang ditempeli logo Linthing Thoenk/Fuji Adriza

Ia menyalami kami berdua, lalu mengobrol dengan Roiz. Kawan saya itu memang sudah dari beberapa tahun lalu kenal Pak Thoenk. Ceritanya, waktu itu ia kehabisan cengkeh untuk dilinting dengan tembakau. Seseorang merekomendasikan Linthing Thoenk ke Roiz. Ternyata, saat ke sana, ia mendapati bahwa, selain cengkeh, Pak Thoenk juga menjual tembakau lembutan. Sejak itu, setiap kali kangen tembakau lembutan, Roiz menghampiri ruang tamu Pak Thoenk ini.

Transaksi di Linthing Thoenk agak berbeda dari yang biasanya terjadi di toko-toko tembakau lembutan kebanyakan. Sebelum membeli, pelanggan dipersilakan mencoba tester yang disediakan di meja.

Malam itu ada delapan kotak kecil di nampan. Isinya varian-varian tembakau Temanggung, dari yang termurah (Canggal, Rp20.000/ons) sampai yang termahal (Jambu, Rp50.000/ons). Sebagai campuran tembakau, Pak Thoenk turut menyediakan sekotak cengkeh hasil rajangannya sendiri. Saat mengintip kotak cengkeh itu, saya lihat ada beberapa butir biji salak yang sengaja ditaruh di sana untuk membuat aroma cengkeh tidak terlalu nyegak.

linthing thoenk
“Tester” delapan varian tembakau Temanggung/Fuji Adriza

Saya buka kotak-kotak plastik kecil itu satu per satu dan saya hirup aromanya. Sebentar saja aroma khas tembakau Temanggung melayang-layang di indra penciuman saya. Untuk menikmatinya, tentu saja saya harus mengambil selembar garet (papir), menjumput tembakau dan cengkeh—melinting.

Hadir sejak 2002

Saat saya sedang asyik melinting, Pak Thoenk bergerak ke arah speaker. Sebentar kemudian nada-nada blues dari gitar Gugun membahana memenuhi ruangan.

“Ini tembakau dari dari kebun bapak semua?” saya bertanya. “Bukan,” jawabnya sambil tersenyum. Tembakau-tembakau lembutan yang ia jual berasal dari petani di penjuru Temanggung. Semuanya adalah tembakau tegal yang ditanam di lahan kering. Ia tidak menjual tembakau sawah yang lebih basah.

Pak Thoenk adalah pelopor. Ia membuka Linthing Thoenk tahun 2002 saat melinting masih praktik yang hanya lazim dilakukan oleh para petani tembakau, jauh sebelum toko-toko tembakau lembutan menjamur di Temanggung sekitar tahun 2017. Pengalaman bekerja di gudang tembakau membuat Pak Thoenk lihai mengkurasi tembakau-tembakau enak.

Melinting tembakau Temanggung/Fuji Adriza

Sekali waktu Roiz pernah mencoba tembakau meteor di Linthing Thoenk. “Enak,” ujar Roiz. Tembakau itu didapat Pak Thoenk dari sebidang tanah di Desa Wonotirto, Kecamatan Bulu, Temanggung yang dekat dengan lokasi jatuhnya meteorit tahun 2001.

Sayang sekali kali ini tak ada tembakau meteor. Gantinya, saya melinting Kramat, Limbangan, Canggal, dan Jambu. Setelah mencoba beberapa jenis tembakau, saya jadi bingung mau membeli yang mana. Semuanya sama-sama enak.

“Jangan tertipu sama harga,” Pak Thoenk terkekeh melihat kebingungan di muka saya. “Yang murah bukan berarti nggak enak, yang mahal nggak mesti enak.”

Akhirnya saya memilih tembakau Limbangan yang tidak terlalu nyegak. Pak Thoenk lalu beranjak ke dalam untuk membungkus tembakau lembutan yang kami pesan. Sejurus kemudian ia kembali membawa dua bungkus tembakau kemasan 1 ons yang dikemas dalam plastik transparan yang ujungnya sudah di-press plus dua bungkus cengkeh.

Karena sudah jam sepuluh, tak lama setelah tembakau pesanan kami dibungkuskan kami pulang. Bagi Parakan, kecamatan kecil di Kabupaten Temanggung, larut memang lebih cepat datang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melinting Tembakau Temanggung di Linthing Thoenk appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melinting-tembakau-temanggung-di-linthing-thoenk/feed/ 0 13262