tempat pembuangan akhir Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tempat-pembuangan-akhir/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:23:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 tempat pembuangan akhir Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tempat-pembuangan-akhir/ 32 32 135956295 Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2) https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-2/ https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-2/#respond Wed, 09 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46586 Sopir truk sabar mengantre, menunggu arahan operator ekskavator yang tengah sibuk mengeruk bukit sampah, menggeser dan memindahkan sampah ke sudut lain. Sopir dump truck maju duluan memuntahkan bawaannya. Disusul truk arm roll dengan muatan jumbo,...

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sopir truk sabar mengantre, menunggu arahan operator ekskavator yang tengah sibuk mengeruk bukit sampah, menggeser dan memindahkan sampah ke sudut lain. Sopir dump truck maju duluan memuntahkan bawaannya. Disusul truk arm roll dengan muatan jumbo, mencari posisi yang pas untuk memundurkan kontainer, lalu membuka pintu belakang. Sampah pun berhamburan.

Truk model dump truck membuang muatan dengan mengangkat bak terbukanya sampai sampah merosot keluar. Sedangkan truk arm roll yang membawa kontainer sampah, didesain bisa memundurkan gendongan hingga terlepas. Truk jenis ini punya belalai pengait untuk menaikkan kontainer ke punggung kendaraan. Saat melepas sampah, arm roll menurunkan separuh kontainer sampai miring. Sopir memainkan pedal gas, maju sedikit-sedikit, lalu sampah terjun ke tanah.   

Ekskavator mondar-mandir di antara buldoser yang meratakan timbunan sampah. Para pemulung asyik saja menyambut kedatangan sampah yang masih “segar”. Seolah mereka sedang berlomba mencari “harta karun” dengan besi pengait. Saya membayangkan mereka adalah atlet anggar yang tengah memainkan pedangnya menusuk sasaran. Seru pokoknya!

Karena jalanan becek dan berlumpur, truk-truk yang sudah menunaikan hajatnya, kesulitan melaju. Terjebak. Saya sampai sangsi mereka bisa lolos dari jeratan lumpur. Sejurus kemudian, tak terpikirkan oleh “turis” seperti kami, operator dengan sigap menempelkan kepala belalai ekskavator ke bokong truk lalu mendorongnya. Sukses! Truk bebas dari kepungan lumpur, lanjut ngegas ke jalur aman.          

Muhammad, anak ketiga dari lima bersaudara itu terpana. Ini pengalaman pertamanya menyaksikan truk besar pengangkut sampah membuang muatan di “markas besar”. Di sana segala sampah warga kota terkumpul. Kata “menjijikkan” dan “jorok” seketika kehilangan makna. Sirna begitu saja. Berganti pemandangan tentang ketabahan hidup dari para manusia yang mengais rezeki di lautan sampah. Mereka tak pernah sekolah tinggi. Tak kenal apa itu korupsi. 

Dump truck hijau ketiga datang. Menunggu sebentar sebelum menumpahkan bawaan, menanti aba-aba dari “avatar” pengendali beko. Saat arm roll rampung mengosongkan gendongan, sopir muda truk ketiga segera mengarahkan kendaraan ke arena perpisahan. Sampah-sampah dilepaskan ke sebuah penjuru, lalu para pemburu sampah menyerbu.

Dump truck hijau menunggu giliran membuang sampah (kiri) dan ekskavator yang berada di medan berlumpur TPAS Kopi Luhur/Mochamad Rona Anggie

Cerita dari Pemulung

Saya lalu mengajak Muhammad ke seberang, tempat gubuk-gubuk milik pemulung. Kami waspada sebelum melintas. Saya perhatikan pergerakan belalai ekskavator dan dump truck yang sedang maju mundur. Setelah dirasa aman, jauh dari jangkauan keduanya, baru kami menyeberang. Melewati jalur lumpur yang sebelumnya dilindas roda truk.

Di salah satu gubuk beratap terpal rombeng, seorang pria paruh baya duduk dikelilingi tumpukan wadah plastik dan gelas-botol air mineral. “Namanya siapa, Pak?” tanya saya setengah berteriak, di antara bising suara ekskavator dan truk yang “batuk-batuk” berusaha melepaskan cengkeraman lumpur di roda. 

“Abdul Hamid,” katanya terdengar sayup.

“Usia berapa?”

“Kelahiran 1964,” jawabnya.

Warga Kelurahan Argasunya yang satu kawasan dengan TPAS Kopi Luhur itu lantas berbagi cerita. Dia mulai jadi pemulung di sana sejak 1999. Persis setahun setelah TPAS Kopi Luhur resmi beroperasi. “Tadinya saya kerja di Jakarta,” ujarnya.

Abdul Hamid pergi memulung selepas salat Subuh. Dia pulang kembali ke rumah pukul satu siang. Sampah yang diincarnya adalah tempat makan plastik dan bekas kemasan air minum. Pembeli datang sendiri ke gubuknya. Biasanya para pengepul barang bekas yang akan didaur ulang pabrik.

“Sebulan penghasilan berapa, Pak?”

Abdul Hamid sejenak berpikir. “Sekitar empat juta,” sahutnya. Wow, lumayan besar juga, batin saya.

Ayah sepuluh anak itu kini ditemani anak bungsu yang juga pengumpul sampah. Jumlah pemulung yang terdata di sana, kata Abdul Hamid, ada 170 orang. “Tapi di lapangan bisa sampai dua ratus. Bergantian memulung, beda waktu,” terangnya.  

Pemulung lain, lanjut dia, ada yang datang pukul 09.00 atau selepas zuhur hingga Magrib. Malamnya, juga ada yang memulung, tetapi tidak banyak. “Masing-masing sudah ada rezekinya. Kami di sini saling menghargai. Tidak berebutan,” tutur kakek delapan cucu itu.

  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2)
  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2)

Soal jalanan yang becek dan berlumpur, Abdul Hamid menyebutnya hanya di musim hujan saja. “Kalau kemarau, jalanan kering. Truk lancar melintas,” ucapnya. Saat disinggung sering beraktivitas di tempat sampah, apakah tidak takut kena penyakit? Abdul Hamid membandingkan dengan masa pandemi COVID-19. 

“Waktu COVID-19 saja, alhamdulillah pemulung tidak kena,” katanya dengan senyum mengembang. Saya berseloroh, “Virusnya takut datang ke sini, Pak!” Lelaki bersepatu bot itu tergelak.

Ketika sedang serius menghimpun keterangan Abdul Hamid, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu membelit kaki. Saya tak berani langsung melihat ke bawah. Menerka-nerka dulu. Binatang melatakah (ular) dari tumpukan sampah merambat naik ke kaki? Berdebar saat memastikannya. Saya mengentak-entakkan kaki kiri, berharap yang menempel segera lepas. Pas dilihat, eh, anak kucing! Si meong menggelendotkan tubuhnya sambil mengusapkan buntut ke kaki saya. Huh, mengagetkan saja!

Pemulung di TPAS Kopi Luhur tidak didominasi kaum lelaki. Wanita juga ada. Salah satunya Keni (46). Ibu enam anak itu sedang memanggul keranjang berisi sampah kemasan air mineral dan menjinjing sekarung “sumber rupiah” lainnya, ketika saya ajak ngobrol. “Saya memulung bareng suami, untuk membantu perekonomian keluarga,” tuturnya. 

Dia mengaku sudah belasan tahun bekerja sebagai pemulung. Selain karena rumahnya di Argasunya dekat TPAS, aktivitas harian di tempat sampah mampu memberinya penghasilan. “Sebulan bisa satu sampai dua juta,” beber nenek tiga cucu itu.   

Kaum perempuan ikut memulung guna menyokong ekonomi keluarga. Seperti yang dilakukan Keni (kiri), nenek tiga cucu/Mochamad Rona Anggie

Usia TPAS Kopi Luhur Dua Tahun Lagi

Sudah 27 tahun beroperasi, TPAS Kopi Luhur kini masuk fase kritis over kapasitas. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon, dr. Yuni Darti Sp.GK., melalui Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) TPAS Kopi Luhur, Jawahir Kusen mengungkapkan, hitungan di atas kertas umur area pembuangan akhir sampah itu tinggal dua tahun.

Solusi jangka panjang, kata dia, memindahkannya ke lokasi baru. “Tapi belum tahu di mana,” ucapnya lirih. Sementara untuk jangka pendek, DLH Kota Cirebon sedang mengupayakan kehadiran teknologi pengolahan sampah Refuse Derived Fuel (RDF), demi menyiasati perpanjangan usia TPAS Kopi Luhur. “Dari provinsi (Jabar) sudah survei. Semoga tak lama lagi terwujud,” ujar Jawahir kepada penulis, Rabu (26/2/2025).

Menurutnya, mesin RDF akan membantu mengurangi timbunan sampah, karena memiliki kemampuan memilah sampah organik dan anorganik. Mempercepat proses daur ulang hingga bisa dijadikan briket. 

Jawahir menjelaskan, saat ini dalam sehari TPAS Kopi Luhur menampung 600 sampai 700 kubik sampah. Luasnya 14,2 hektare, tetapi hanya digunakan delapan hektare sebagai tempat pembuangan sampah. Lahan sisanya terlalu dekat permukiman penduduk. Jika dipaksakan rentan gejolak sosial.  

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2)
Tas kain ramah lingkungan koleksi pribadi/Mochamad Rona Anggie

Peduli Lingkungan dari Kecil

Senang bisa mendampingi buah hati ke TPAS Kopi Luhur. Saya berharap Muhammad mulai memahami, kenapa ibunya selalu membawa kantung berbahan kain setiap belanja ke pasar tradisional atau supermarket. 

Termasuk mengapa kasir di beberapa swalayan kini tegas tak menyediakan kresek, dan menawarkan paper bag (kantung berbahan kertas) untuk membawa belanjaan? Tidak lain—semoga Muhammad mengerti—sebagai upaya global mengurangi sampah plastik.

Seiring waktu, kepekaan Muhammad dan rekan seusianya bakal terasah. Orang tua berperan penting mengedukasi anak-anaknya. Bagaimana turut aktif menjaga bumi dari gempuran sampah plastik. Kita biasakan mereka untuk memakai tas ramah lingkungan berbahan kanvas atau anyaman, ketika membeli kebutuhan sehari-hari. 

Kaki saya dan Muhammad (kiri) sama-sama sempat terbenam lumpur/Mochamad Rona Anggie

Kami pun balik kanan. Melangkah ke parkiran. Eh, drama belum usai. Gantian Muhammad terperosok ke lumpur. Dia meringis. Kedua kakinya “disedot” lumpur. Cepat saya tarik tangannya, biar tidak semakin dalam.

“Angkat (kakimu)!” perintah saya. Ya, berhasil. Namun, sandal sebelah kiri menjadi martir (putus). “Sudah, pulang nyeker saja,” kata saya, dibalas dengan cemberut.    

Begitulah petualangan kami di TPAS Kopi Luhur. Menziarahi persemayaman terakhir kasur jebol, sofa bodol hingga lemari ambrol. Sampah busuk yang berserakan adalah “permata” bagi setiap pemulung. Lalat-lalat hijau mendengung dan camar terbang rendah melepas kepulangan kami.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-2/feed/ 0 46586
Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1) https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-1/ https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-1/#respond Tue, 08 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46573 Kehidupan manusia selalu menghasilkan sampah. Ketika masih kecil, kita membuang sampah jajanan: plastik es, bungkus chiki, permen, cokelat, susu kotak, sampai kemasan makanan instan. Saat sudah berkeluarga, sampah yang kita keluarkan semakin banyak. Paling dominan...

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kehidupan manusia selalu menghasilkan sampah. Ketika masih kecil, kita membuang sampah jajanan: plastik es, bungkus chiki, permen, cokelat, susu kotak, sampai kemasan makanan instan. Saat sudah berkeluarga, sampah yang kita keluarkan semakin banyak. Paling dominan sampah kresek pembungkus barang yang kita beli. Baik di pasar tradisional maupun supermarket. Sampah semakin bertambah, karena produk yang dibawa ke rumah juga sudah dalam kemasan, yang ujung-ujungnya kita lempar ke tempat sampah.

Saya juga mengamati bekas popok dan pembalut wanita sekali pakai. Sampah bawaan produk semacam ini ternyata mengerikan. Saat membeli barangnya kita diberi kresek, tambah kemasan produk. Selesai digunakan, kresek, plastik kemasan, si produknya sendiri berikut kotoran manusianya, akan menghuni tempat sampah.

Di bak sampah depan rumah, bercampurlah segala sampah. “Rajanya” tetap sampah plastik aneka rupa. Ada kemasan makanan dan minuman, dus-dus, sisa buah dan sayuran busuk, kulit telur, jeroan ikan serta unggas, tulang-belulang berbelatung hingga dedaunan kering hasil menyapu halaman.   

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Sampah keluarga kami/Mochamad Rona Anggie

Sebelum diangkut tukang sampah kompleks, biasanya sampah rumah tangga disatroni lebih dulu oleh para pemulung. Penampilan mereka khas: membawa karung di punggung, besi pengait, serta menutupi kepala dengan selembar kaus lusuh. Umumnya berjalan kaki keliling perumahan sejak gelap subuh. Ada juga yang naik sepeda, memodifikasinya, memasang dua karung di kanan dan kiri boncengan belakang.

Terkadang para pemulung membuat kesal pemilik rumah. Bagaimana tidak, sampah yang biasanya sudah dibungkus kresek besar dan diikat kuat—guna menghindari bau tak sedap—malah dibongkar memakai besi pengait. Mereka mencari sampah yang punya nilai ekonomis, seperti botol plastik (bekas air mineral) dan botol kaleng (bekas minuman ringan).

Para pemulung itu lantas pergi setelah mendapat apa yang dicari. Mereka tidak peduli sudah memberantakkan isi tempat sampah, sehingga bau sisa sampah makanan dan kotoran di popok menyeruak mengganggu penciuman. Saya pribadi, kalau mendapati pemulung hendak mencerai-beraikan sampah yang sudah terbungkus, segera menegur dengan suara keras, “Jangan diberantakin!”, membuat yang ‘disemprot’ lekas berlalu.

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Pemulung menggeledah bak sampah kami/Mochamad Rona Anggie

Pak Uri, Tukang Angkut Sampah Kompleks Kami

Dalam dua hari, biasanya tumpukan sampah di bak atau tong milik warga bakal meninggi. Tambah hari akan terlihat menyembul melewati batas tempat sampah. Setelah pemulung beraksi, selanjutnya petugas angkut sampah yang bercengkerama dengan sampah-sampah itu.   

Tukang angkut sampah di kompleks kami, RW 04 Darmamukti, Rajawali Barat, bernama Uri. Badannya gempal. Dia bertugas mengangkut sampah warga seminggu tiga kali. “Tapi kalau lagi enggak fit, saya muternya sepekan sekali,” kata Uri kepada penulis, di sela aktivitas mengambil sampah. 

Lelaki 69 tahun itu menggunakan sepeda motor yang disambung tak permanen dengan gerobak pengangkut sampah. Berkeliling dari satu bak sampah ke tong sampah yang ada di depan rumah warga. Jam kerjanya mulai dini hari sampai pagi. 

  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)

Ketika ditanya mengapa tidak mengangkut sampah dari pagi ke siang? Uri menjelaskan kalau sampah warga beres terangkut ke Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) sejak masih pagi sekali, dirinya tak perlu antre menunggu giliran buang di TPSS. “Sengaja dari jam dua pagi saya keliling ambil sampah. Paginya bisa langsung ke TPSS tanpa harus antre,” papar ayah enam anak itu.

Tujuan Uri dan gerobaknya adalah TPSS Rajawali yang bersisian dengan Sungai Kriyan. Di sana, kata Uri, tukang angkut sampah dari masing-masing perumahan atau RW, wajib memasukkan sendiri sampah yang mereka bawa ke kontainer penampung. Proses ini memakan waktu cukup lama. Tambah siang, akan semakin banyak tukang angkut sampah antre untuk membuang bawaannya ke kotak sampah raksasa.

“Bisa saja buang di sekitar kontainer, di bawah. Lebih mudah itu. Tapi harus bayar lima belas ribu,” sebutnya.   

Tidak terasa, sudah 12 tahun Uri bekerja mengangkut sampah di kompleks kami. Sebelumnya, sejak 1976 ketika masih umur 20 tahun, ia menjadi petugas kebersihan jalan di Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Cirebon. “Saya pegawai honorer, pensiun tahun 2013,” ujar warga Pamengkang, Mundu, Kabupaten Cirebon.   

Tugas keseharian Uri saat aktif berseragam kuning adalah menyapu pinggiran Jalan Rajawali. Hingga akhirnya kenal dekat dengan pengurus RW setempat. Tawaran jadi tukang angkut sampah datang saat dirinya purnatugas. “Biar tetap produktif di usia senja,” ucap kakek 15 cucu itu.

Ketika mengangkut sampah warga, Uri kerap dibantu anak ketiganya, Abdul Kholiq (37). Dia mengaku kalau bekerja sendirian, sering tak kuat membungkuk untuk mengambil sampah dari tempatnya. “Suka sakit pinggang,” keluhnya. Halangan lain yang membuat Uri terkadang hanya mampu sepekan sekali menjalankan tugas adalah masuk angin. “Maklum sudah berumur,” imbuhnya.   

Memakai sepatu bot, slayer penutup setengah wajah, dan topi. Begitu tampilan Uri menyusuri tempat sampah warga. Sesekali dia terlihat mengisap rokok kretek. “Supaya enggak ngantuk sekaligus penetral bau sampah,” katanya memberi alasan akrab dengan asap nikotin.   

Apakah penghasilannya saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari? Uri mensyukuri yang ia dapat. Terlebih ketika ingat awal jadi tukang angkut sampah, bergaji hanya Rp150.000 sebulan. “Sekarang sudah satu juta,” beber kepala keluarga dua rumah tangga itu. Ya, Uri tak sungkan mengakui statusnya yang beristri dua. “Istri saya yang muda, bekerja juga. Jadi, bisa meringankan beban saya,” tuturnya.

Motor roda tiga dipakai untuk angkut sampah (kiri) dan kontainer sampah di TPSS Rajawali/Mochamad Rona Anggie

Berikutnya: Urusan Truk Sampah

Saya kemudian mendatangi TPSS Rajawali. Siang itu sebuah dump truck parkir. Dua petugas berjibaku menyerok tumpahan sampah dari gerobak yang sengaja digulingkan.  Petugas lainnya di atas mobil, menyambut operan ember berisi sampah. Terus mereka bekerja demikian, memasukkan sampah ke bak truk, sampai benar-benar tak menyisakan secuil ruang.   

Di balik kemudi kendaraan milik Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cirebon itu, si sopir sedang memejamkan mata. Tapi tak marah begitu saya bangunkan. Namanya Taya (48).

Dia menyebutkan jam kerjanya pukul 07.00 sampai 13.00. Truk yang dibawanya biasa mengirim sampah ke Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Kopi Luhur setelah waktu zuhur, menunggu bak truk penuh maksimum. “Kapasitas (mobil) aslinya satu ton. Tapi kalau sampah dipadatkan bisa dua–tiga ton. Apalagi kalau musim hujan, air membuat muatan tambah berat,” paparnya.

Taya menerangkan ada lima kru yang menyertainya selama pengumpulan sampah di TPSS hingga pembuangan ke TPAS. Mereka tak punya jadwal libur. Kalau mau izin untuk suatu keperluan, mesti mengabari pimpinan sehari sebelumnya. Agar alih tugas kepada sopir lainnya tidak mendadak, demi menjaga layanan angkut sampah terus berjalan. 

Taya bangga mendapat bagian tugas di TPSS Rajawali karena salah satu yang terbesar di Kota Cirebon. Menampung sampah dari sebagian wilayah Kecamatan Harjamukti, Kesambi, dan Lemahwungkuk. Dalam sehari, kata dia, ada hampir 50 gerobak sampah yang merapat. Sebenarnya beban angkut truk Taya hanya untuk 32 gerobak. Sementara satu gerobak bisa dua kali balikan membawa sampah ke TPSS Rajawali. 

  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
  • Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)

“Kelihatan, kan, berapa banyak kelebihan sampah yang mesti diangkut?” tanyanya coba berbagi kesah jika daya tampung sampah sudah over kapasitas. “Tapi ya, namanya juga tugas, tetap kami angkut ke Kopi Luhur,” imbuh pegawai berstatus ASN yang berdinas sejak 2012.

Tentang tukang sampah kompleks dikenai biaya ekstra jika membuang muatannya tidak langsung ke kontainer, sebagaimana penjelasan Uri, Taya menampiknya. Dia mengungkapkan itu sebatas ke-sukarela-an. Bentuk solidaritas kepada petugas kebersihan TPSS. “Kalau enggak ngasih, tidak masalah. Kami tetap bekerja profesional,” kata ayah tiga anak itu.

Taya menceritakan satu waktu pernah didatangi pengurus RW yang komplain soal biaya tak resmi tersebut. Menurutnya, kadang orang salah persepsi dan menganggapnya sebuah keharusan. “Setelah saya jelaskan, baru mereka paham. Jadi, tidak ada pungutan di sini,” ucapnya seraya menyebutkan selain Rajawali, Kota Cirebon memiliki TPSS Galunggung, Kimia Jaya, Buyut, Kalibaru, Sukalila Utara, Penggung, Evakuasi, Grenjeng, Sunyaragi, Tuparev, dan Krucuk. 

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Pemulung mencari peruntungan di TPSS Rajawali/Mochamad Rona Anggie

Menyambangi Kopi Luhur

Besok siangnya, sengaja saya ajak Muhammad (10) ke TPAS Kopi Luhur di Kelurahan Argasunya. Jaraknya 10 kilometer dari TPSS Rajawali. Mengarah ke ujung selatan wilayah kota. Melintasi jembatan di atas jalan tol Palikanci yang menuju Jawa Tengah.

Mendekati Kopi Luhur, jalan menanjak dan berkelok. Permukiman penduduk semakin jarang, berganti pepohonan dan belukar. Melewati lapangan tembak milik Korem 063 SGJ, terus naik lantas mulai tercium aroma tidak sedap, dan pemandangan bukit-bukit sampah. Ada gerbang masuk sekadarnya. Saya parkir motor dekat tenda semipermanen milik pemulung yang tengah memilah botol bekas air mineral.

Tak menanti lama, apa yang saya harapkan datang. Sebuah dump truck penuh sampah berpenutup jaring di atasnya menggilas jalan berlumpur yang dilewati. Hitungan menit, menguntit di belakangnya sebuah truk arm roll menggendong kontainer sampah. Lajunya menderu, mengepulkan asap pekat dari knalpot serupa bazoka. Muhammad takjub melihatnya. Pelajar kelas 4 MI itu tak berkedip! 

Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1)
Muhammad (kanan) menyaksikan kedatangan truk arm roll pengangkut sampah di TPAS Kopi Luhur/Mochamad Rona Anggie

“Ayo, ikuti truk-truk itu!” kata saya.

Setengah berlari, kami mengikuti jejak roda besar yang membelah tanah becek berlumpur hitam. Awalnya meniti pinggiran, lalu terhalang sampah botol beling yang sudah pecah setengah—bahaya! Mau tak mau melangkah agak ke tengah, dan akhirnya apa yang dikhawatirkan terjadi: kaki terjerembap dalam lumpur berbau busuk. Show must go on, saya terus berjalan hingga melihat titik finis truk-truk tadi. 

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Perjalanan Sampah dari Rumah ke Pembuangan Akhir (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalanan-sampah-dari-rumah-ke-pembuangan-akhir-1/feed/ 0 46573