tenun Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tenun/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 04 Oct 2022 12:43:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 tenun Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tenun/ 32 32 135956295 Tenun yang Menghidupi https://telusuri.id/tenun-yang-menghidupi/ https://telusuri.id/tenun-yang-menghidupi/#respond Sun, 02 Oct 2022 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35455 Di Sabu, saya melihat beberapa pohon pisang yang secara sengaja ditanam oleh warga, selain sayur-sayuran. Di Lobohode, ada beberapa pohon pisang dan pepaya yang ditanam oleh Henderina Dida, yang hasil kebunnya adalah untuk dimakan sendiri....

The post Tenun yang Menghidupi appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Sabu, saya melihat beberapa pohon pisang yang secara sengaja ditanam oleh warga, selain sayur-sayuran. Di Lobohode, ada beberapa pohon pisang dan pepaya yang ditanam oleh Henderina Dida, yang hasil kebunnya adalah untuk dimakan sendiri. Pisangnya berjenis pisang kepok, orang sini menyebutnya sebagai pisang abu-abu. Selain berkebun, Henderina juga mempunyai ternak dan menenun. Tenun menjadi pekerjaan utamanya. Sedangkan hasil dari berkebun, cukup untuk memenuhi kebutuhan dia dan keluarga sehari-hari. Di tanah yang tandus, harapan untuk hidup selalu ada dari orang-orang yang impiannya sederhana. Rumput laut, lontar, dan tenun, adalah sendi kehidupan yang mengikat orang-orang Lobohede—secara umumnya masyarakat Sabu.

Dia mempersilakan saya untuk masuk ke dalam rumahnya, melihat sarung èi worapi setengah jadi yang terdiam di pojok ruang.

Tenun sebagai identitas orang Sabu
Tenun sebagai identitas orang Sabu/Arah Singgah

“Sarung ini biasa dipakai saat acara duka atau pernikahan,” terangnya. Pengerjaan sarung ini mengambil waktu yang tidak menentu, tergantung motif yang ingin dibuat—bisa memakan waktu sampai satu bulan lebih. Henderina bahkan mengungkapkan dengan kata “setengah mati” pada kain yang ia tenun kali ini, sebab bahannya adalah mesrai—yang ia rasa sulit untuk dirajut. Ada tiga kain yang diproduksi masyarakat Sabu di Lobohede untuk dipakai; èi adalah sarung, hi’i huri adalah selimut, dan heleda adalah selendang.

Di siang hari yang panas diikuti kidung-kidung Kristiani yang mengalun dari rumah-rumah warga, kami mengikuti Kaleb Piga ke rumah salah satu warga yang juga bekerja sebagai penenun. Tangan mungilnya cekatan melingkar satu benang antar sisi. Benang berwarna hitam, putih, kuning, coklat membentuk suatu pola yang bernama wohèpi dan bodda. Rismeli Radja Uli, perempuan yang sibuk menenun ini, sudah bisa menenun semenjak usia belasan, untuk membantu orang tuanya mencari penghidupan.

Kain yang kali ini ia tenun, menurutnya termasuk dalam kisaran harga murah di antara kain-kain lainnya, sebab kain ini tidak menggunakan pewarna alami yang bahan bakunya sulit untuk didapatkan—utamanya pada musim panas. “Kalau pewarna alami, bisa mencapai 500 ribu sampai jutaan,” ungkapnya dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata. 

Di bawah atap daun lontar ammu iki yang meneduhkan, kami berbincang banyak mengenai bagaimana ia mendistribusikan penjualan kain tersebut. Saya melihat sarung yang dikenakan oleh Rismeli tampak berbeda dengan kain yang sedang ia tenun. Sarung itu bernama èi raja, berwarna merah kecoklatan dengan campuran biru dan aksen putih yang membentuk suatu pola bunga palem besar, kain yang ia pakai ini adalah buatan tangan ibunya—juga salah satu kain yang masih menggunakan pewarna alami.

“Biasanya ada yang datang ke rumah untuk beli,” Rismeli menerangkan bagaimana alur penjualannya.

Rismeli hanya menjual kain buatannya dari rumah saja. Selebihnya bagaimana kain ini sampai ke daerah lain, dia tidak tahu. Keahlian yang ia dapat dari umur 12 tahun ini cukup membantu perekonomian keluarganya, menambah pundi-pundi uang sang suami yang pergi melaut. Rata-rata per bulannya bisa terjual sebanyak 10 lembar, tapi itu pun tidak menentu.

Besok hari, kain yang ia tenun diperkirakan akan selesai. Tidak ada kata istirahat dalam kamus Rismeli. Ia akan kembali menenun untuk kain berikutnya dan berikutnya. Kalau laku terjual, ia bisa menghela nafas lebih panjang untuk bulan ini, kalaupun tidak, setidaknya dia sudah memperbanyak stok kain buatannya untuk dijual di lain waktu.

Suaminya menawarkan kami beberapa buah kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon. Air kelapa yang melimpah mampu meresapi sedikit pengetahuan yang saya dapat dari kain Sabu.

Di sudut lain Lobohede, sama seperti Rismeli, Mariana Ledehaba juga menggantungkan hidupnya dari tenun. Dari kain tenun yang ia buat, ia juga berhasil membantu penghasilan suaminya yang berprofesi sebagai nelayan.

Mariana Ledehaba
Mariana Ledehaba sedang menenun/Arah Singgah

“Karena dari tenun ikat inilah kita hidup,” tegasnya meyakinkan kami.

Pewarna yang ia pakai juga merupakan pewarna sintetis, sebab untuk mencari pewarna alami harus menunggu musim hujan, belum lagi harga kainnya yang akan menjadi mahal dan peminatnya sedikit. Selendang èi raja yang ia tenun bermotif hebe kelakku—yang pada awalnya ditujukkan kepada para hubi ae, yang masih keturunan raja. Namun sekarang pemakaian motif ini sudah umum untuk diperjual belikan. Pengetahuan motif yang ia dapat, diwariskan secara turun temurun dari ibunya yang juga berprofesi sebagai penenun. Perempuan Lobohede dianugerahi keahlian menenun yang baik.

Dr. Geneviève Duggan membagi tenun Sabu ke dalam dua jenis: tenun tradisional untuk penganut Jingitiu–kepercayaan lokal–dan tenun yang memiliki nilai komoditas/ekonomis. Tenun yang dibuat oleh pelaku Jingitiu lebih ketat dalam menerapkan aturan-aturan, dan dalam beberapa tahap seperti pewarnaan dan proses penenunan memerlukan upacara-upacara. Sedangkan penenun komoditas cenderung bebas dan tidak terikat.

Salah satu motif tenun Sabu/Arah Singgah

“Tetapi bagi mereka yang mengikuti kepercayaan dunia modern dan menjalankan hidup sebagai orang Sabu modern, peraturan tradisional sudah kadaluarsa, karena tenun yang dihasilkan tidak lagi dikaitan pada kepercayaan tradisional, tetapi dianggap sebagai barang komersial yang memenuhi keinginan sang pembeli dan mengikuti permintaan pasar,” tulisnya dalam buku Bunga Palem dari Sabu.

Anehnya, yang paling populer di sini justru sarung samarinda cap manggis dibanding sarung buatan mereka. Alasannya cukup simpel, sarung samarinda bisa dipakai kapan saja—tidak harus pada waktu-waktu tertentu seperti kain Sabu. Hampir setiap lelaki Lobohede mempunyai sarung samarinda, namun hanya lelaki Lobohede yang sudah berkeluarga saja yang memakai sarung samarinda berwarna hijau tua dengan aksen kotak-kotak, yang dikenal dengan harga yang paling mahal dibanding sarung samarinda motif lainnya.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tenun yang Menghidupi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tenun-yang-menghidupi/feed/ 0 35455
Tenun Pajam dan Orang-Orang Baik Wakatobi https://telusuri.id/tenun-pajam-dan-orang-orang-baik-wakatobi/ https://telusuri.id/tenun-pajam-dan-orang-orang-baik-wakatobi/#comments Sun, 29 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28999 Di luar langit masih gelap, bahkan suara toa masjid subuh hari masih menggema di udara. Lepas salat, saya diantar saudara menuju Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan. Perjalanan di bulan Juni kali ini akan...

The post Tenun Pajam dan Orang-Orang Baik Wakatobi appeared first on TelusuRI.

]]>
Di luar langit masih gelap, bahkan suara toa masjid subuh hari masih menggema di udara. Lepas salat, saya diantar saudara menuju Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan. Perjalanan di bulan Juni kali ini akan dibuka dengan mengunjungi salah satu kabupaten dengan kekayaan bahari di Sulawesi Tenggara, Wakatobi.

Keberuntungan membawa saya sejauh 581 km dari Makassar di Sulawesi Selatan, menuju Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Perjalanan dari rumah ke bandara ditempuh sekitar setengah jam. Begitu tiba, tampak calon penumpang maupun pekerja bandara memenuhi pelataran keberangkatan. Tumpukan antrian terlihat jelas di loket validasi dan antrian tes bebas COVID-19.

Saya langsung memasuki bandara. Suasananya tidak seramai sebelumnya. Setelah mengantri di salah satu konter check in maskapai penerbangan, saya pun menuju ruang tunggu keberangkatan. Selalu ada rasa menegangkan dan sedikit mulas ketika memulai petualangan baru, terlebih seorang diri. Perasaan campur-aduk memenuhi dada, termasuk rasa tidak percaya akan kemampuan sendiri. Pertama Kalinya saya berkesempatan mengunjungi Kabupaten Wakatobi berkat Anugerah Jurnalisme Warga  (AJW) Kelautan dari Balebengong, berupa bantuan liputan mendalam di beberapa daerah di Indonesia.

Perjalanan dari Makassar-Wakatobi/Nawa Jamil

Pesawat mendarat mulus di Bandar Udara Haluoleo di, Sulawesi Tenggara, transit sebelum ke Bandar Udara Matahora di Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi. Perjalanan selama lima jam berakhir begitu saya menginjakkan kaki di Wangi-Wangi, dijemput salah satu kerabat dari seorang kawan, Hasrim, warga lokal Pulau Wangi-Wangi. Pulau Wangi-Wangi dengan pusat kota Wanci menawarkan kawasan tundra dan laut biru bergradasi sejauh mata memandang. Saya dan Hasrim berbincang selama perjalanan. 

“Sayang sekali baru tiba di Wanci sekarang, padahal minggu lalu baru saja diadakan acara sunatan,” terangnya. Acara sunatan di Wanci berbeda jauh dengan sunatan-sunatan pada umumnya, khususnya di daerah Sulawesi Selatan. Di sini, acara sunatan merupakan acara budaya yang dibungkus dengan meriah, arak-arakan keliling kampung dengan berbagai identitas budaya dalam pelaksanaannya. 

Saya tinggal di rumah Kak Malil selama di Wanci. Rumahnya dekat dari Pantai Marina, sehingga selama dua hari di Wanci sebelum bertolak ke Kaledupa, saya selalu menghabiskan sore menikmati senja dan laut banda di sini. Aktivitas sore hari warga terlihat di sini. Antara pelabuhan Pelni, pasar malam, lapangan basket, juga titik-titik menikmati sore dan senja di bangku-bangku beton yang disiapkan sepanjang daratan.

Sekali saya menikmati senja di dermaga terapung tempat berlabuh beberapa kapal-kapal speedboat putih megah. Satu senja lainnya saya habiskan di ujung daratan hasil reklamasi dengan duduk-duduk santai di atas bangku beton, dan senja lainnya saya habiskan dengan berjalan-jalan sambil melihat aktivitas sore suku bajo yang berdiam di Mola, salah satu daerah di Pulau Wangi-Wangi. Tanpa tahu siapapun, saya dijaga dan didampingi dengan begitu ramah selama dua hari di Wanci.

Senja di Marina, Wangi-Wangi/Nawa Jamil

Pulau Kaledupa

Dermaga Kaledupa/Nawa Jamil

Tanggal 9 Juni di pagi hari, saya menunggu di atas KM Valentine Bahari di pelabuhan Numana Wangi-Wangi yang hendak menuju Pelabuhan Buranga di Pulau Kaledupa. Perjalanan melewati laut banda yang teduh pagi itu berlangsung sekitar satu setengah jam. Pulau Kaledupa yang hijau dengan perkampungan suku bajo tampak dari tak lama sebelum kapal berlabuh di pelabuhan. Di atas kapal speed ini, saya berkenalan dengan Ika, seorang mahasiswa di kampus keperawatan di Kendari yang hendak pulang kampung ke Kaledupa. 

Belum turun dari kapal, Sinta, kawan sewaktu di Makassar sudah menelepon.

“Sudah turun, Naw?” tanyanya.
“Ini masih antri.”
“Saya tunggu pas di depan kapal, nah!”

Saya mencari-cari sosok Sinta, Sinta yang berarti cinta dalam bahasa Kaledupa. Kami saling memberitahu posisi masing-masing. Tak lama, kulihat Sinta dengan pakaian mentereng dan kaca mata hitam melambai dari atas motor miliknya. Bersama Sinta, saya menuju kediamannya di Desa Ollo sebelum melakukan liputan mendalam tentang tenun dan perempuan di Desa Pajam, Kecamatan Kaledupa Selatan.

Matahari terik menyengat siang itu. Sebelum bertolak ke Pajam, saya memutuskan mencari info lebih jauh perihal Pulau Kaledupa di sekretariat Forkani yang letaknya tidak jauh dari rumah Sinta. Di sana, kami berbincang sedikit perihal sejarah, mayoritas mata pencarian penduduknya, sampai topografi pulau ini. dibandingkan pulau-pulau lain yang pernah saya datangi, Kaledupa sedikit unik ketika berbicara perihal topografinya yang berupa pegunungan. Di sini, medannya menanjak dan dengan tebing-tebing yang menghadap laut. 

Desa Mola Bajo/Nawa Jamil

Lepas ashar, saya ditemani Sinta menuju Desa Pajam yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari Desa Ollo. Matahari sore yang terik, bersamaan dengan jalan menanjak yang berlubang dimana-mana, menjadi tantangan sore itu. Setelah 20 menit melaju, gerbang Pajam akhirnya menyambut kami. Pajam, sebuah desa pusat wisata budaya di Kaledupa ini, terbentuk sekitar 30 an tahun yang lalu, tepatnya di tahun 1987. Merupakan pemekaran dari dua dusun, yakni Palea dan Jamaraka yang disingkat Pajam, desa ini aktif sebagai pusat kerajinan tenun yang terorganisir berkat pendampingan dari beberapa NGO maupun Forkani yang mulai mendirikan kelompok tenun di akhir tahun 2016.

Hari pertama di Pajam, saya bertemu dengan Bu Harlina, istri Pak Mul selaku inisiator yang membentuk kelompok tenun di desa ini. Berhubung Pak Mul sedang di Wanci, saya pun menghabiskan sore bercerita dengan Bu Harlina, salah satu penenun perempuan di desa ini. Di pajam, hampir semua perempuan pandai menenun. Keterampilan ini telah diajarkan kepada anak-anak perempuan sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. Sore itu, Bu Harlina memperlihatkan beberapa motif kain tenun yang disebut homoru dalam bahasa lokal. Selain kain tenun, ia juga memperlihatkan beberapa produk diversifikasi tenun seperti pouch, tas, ikat kepala, dan aneka produk tenun lainnya. saat langit mulai menampakkan lembayungnya, saya dan Sinta pun pamit dan mengatur jadwal untuk keesokan harinya. 


Pajam/Nawa Jamil

Udara pagi masih segar. Tampak pekerja-pekerja perbaikan jalan di sepanjang rute menuju Pajam. Sangat disayangkan saya tidak mengisi baterai kamera kemarin. Ternyata, listrik di pulau ini hanya hidup dari pukul 17.00 sampai 06.00 di pagi hari. Alhasil, perjalanan di hari kedua hanya berupa observasi lanjutan tanpa adanya pengambilan gambar maupun video. Di hari kedua, saya bertemu dengan Mulyadi, inisiator dari kelompok tenun desa ini. Ia begitu semangat menjelaskan perihal sejarah pembentukan kelompok, fokus kegiatan, sampai kontribusi kelompok ini terhadap ekonomi anggotanya. 

Selain berbincang dengan Mulyadi, kami juga melihat langsung proses penenunan oleh dua orang perempuan di desa ini. tidak sulit menemukannya, cukup memasang telinga baik-baik. Mendengar lingkungan desa yang didominasi suara alam, saya bisa menemukan para penenun dengan mendengar bunyi alat tenun tradisional mereka. 

‘Tak…tak…tak…’

Bunyi itu datang dari dua selasar rumah warga. Pertama, saya mendatangi rumah terdekat dari kediaman Pak Mul. Tampak seorang perempuan paruh baya tengah sibuk menenun. Saya mengamati aktivitas berulang yang begitu memikat yakni irama kayu yang saling berbenturan secara konstan, kelincahan tangan penenun dalam memindahkan benang sari satu sisi ke sisi lainnya, berpadu pas dengan suara alam yang masih asri di Pajam.

Saya mengunjungi Pajam selama tiga hari berturut-turut. Selain Pajam, saya juga menghabiskan banyak waktu mengunjungi pantai di dekat perkampungan suku Bajo, serta berjalan-jalan mengelilingi dataran tinggi pulau ini. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani, tidak heran sepanjang jalan saya melihat banyak sekali tanaman kelapa, pisang, serta aneka umbi-umbian. 

Manusia baik

Pulau Wangi-Wangi

Kekhawatiran berkunjung ke tempat baru tanpa mengenal seorangpun untuk kali pertama terpatahkan. Selama seminggu lebih di Kabupaten Wakatobi, saya dipertemukan dengan banyak sekali manusia-manusia baik. Selama di Wanci dan Kaledupa, saya kerap merepotkan banyak orang yang tidak saya kenal. Merekalah orang-orang baik yang membuat waktu selama peliputan di Wakatobi terasa sangat menyenangkan. Dari mereka, saya belajar bahwa kebaikan terus berputar. Saya berdoa semoga kebaikan-kebaikan mereka kembali dalam bentuk-bentuk terindah. 

Di akhir perjalanan, saya penasaran mencoba transportasi laut. Wanci ke Kendari saya tempuh dengan kapal selama delapan jam lebih. Gemerlap kota Kendari menyambut begitu saya tiba di pelabuhan. Dari Kendari, saya menaiki penerbangan terakhir keesokan harinya menuju Makassar. Saat kembali ke rumah, perasaan aneh sekali lagi memenuhi kepala. Perjalanan seorang diri selama seminggu di Wakatobi merupakan pengalaman yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Bahkan saat hendak tidur, ketidakpercayaan akan petualangan yang baru saya alami masih terus terngiang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tenun Pajam dan Orang-Orang Baik Wakatobi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tenun-pajam-dan-orang-orang-baik-wakatobi/feed/ 1 28999
Tenun Nusantara dalam Selembar Kain Bernama Indonesia https://telusuri.id/tenun-nusantara-dalam-indonesia/ https://telusuri.id/tenun-nusantara-dalam-indonesia/#comments Thu, 12 Jan 2017 14:03:45 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=1268 Segumpal kapas dipilin menjadi sehelai benang lalu ditumpuk satu sama lain hingga menjadi selembar kain. Tiga sampai empat bulan bukan waktu yang pendek untuk menyelesaikan selembar tenunan bermotif. Ketekunan, ketelatenan, kesabaran, daya imajinasi, dan konsistensi...

The post Tenun Nusantara dalam Selembar Kain Bernama Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Segumpal kapas dipilin menjadi sehelai benang lalu ditumpuk satu sama lain hingga menjadi selembar kain. Tiga sampai empat bulan bukan waktu yang pendek untuk menyelesaikan selembar tenunan bermotif. Ketekunan, ketelatenan, kesabaran, daya imajinasi, dan konsistensi adalah lembaran-lembaran benang penyusun kain tenun. Beruntung saya berkesempatan melihat transformasi segumpal kapas hingga menjadi selembar kain, yang merupakan salah satu dari tenun Nusantara di Nusa Tenggara Barat.

Daratan Sumatera terkenal dengan ulos, di Jawa khususnya Jepara ada kain troso, di Timor ada tais, hingga Papua dengan rajutan noken-nya. Budaya memanfaatkan serat tumbuhan menjadi seni kriya dari pakaian hingga perlengkapan penunjang kebutuhan. Hasil buah tangan yang terampil dengan motif yang sederhana, hingga yang rumit dengan penuh makna. Ada yang hanya polos rupanya, ada juga yang penuh dengan warna-warni alam. Inilah warisan budaya nenek moyang berupa lembaran-lembaran kain, yang di tiap jengkal Nusantara memiliki pencirinya masing-masing.

Seorang nenek sedang memintal benang/Dhave Dhanang

Pagi ini saya diajak mengunjungi Desa Sade di Pulau Lombok. Desa yang masih mempertahankan adat nenek moyang ini menjadi salah satu tujuan pelancong yang menyambangi Pulau Lombok. Rumah-rumah beratap jerami masih tetap kokoh berdiri di balik perkembangan modernisasi. Prilaku menjaga kebersihan rumah kadang susah dipahami karena mereka mengepel lantai dengan kotoran sapi. Lebih aneh lagi manakala seorang lelaki meminang pujaan hati yakni dengan cara menculik gadis pujaannya di malam hari. Suku Sasak di Lombok dengan segala budaya dan keramahannya menyambut mereka yang terheran-heran seperti terkena gegar budaya, termasuk saya.

Tambatan mata saya tertuju pada seorang nenek yang sedang memintal kapas-kapas menjadi berhelai-helai benang. Kapas dipilin lalu ditarik ujungnya dengan cara ditautkan dan dibelitkan pada roda yang berputar. Pilinan diatur agar memiliki ukuran besar yang sama hingga menjadi gulungan-gulungan benang. Usai dipintal benang-benang ini lalu diberi warna. Pewarna alami yang biasa dipakai antara lain ketepeng, jambu biji, jati, tom (indigofera), kepel, pacar air, alpukat, urang aring, manggis, kedelai, kara benguk, sabut kelapa, getah gambir, bunga sari kuning, biji alpukat, Bixa orelana, kacang merah, makutodewo dan lain sebagainya. Usai diwarnai, akan dilakukan penghanian pada benang, yakni mengikatkan benang-benang pada alat tenun, seperti yang saya lihat saat berkunjung di Desa Kertasari, Taliwang, di Pulau Sumbawa.

Yang menarik dari pembuatan selembar kain tradisional adalah proses menenun. Sebelum menenun, akan ditentukan motifnya terlebih dahulu. Di sinilah harga sebuah kain tenun akan ditentukan. Semakin rumit, sulit, dan bagus makna dari motof kain maka akan semakin mahal harganya—selain kualitas kain dan tingkat kerapian pembuatan.

Alat cetak motif tenun troso Jepara/Dhave Dhanang

Di Jepara ada sentra industri kain tenun troso. Motif tenun troso sebelumnya sudah ditentukan lalu dicetak pada cetakan dan dengan alat tenun akan secara otomatis tercetak dengan sendirinya. Lain lagi kisah saat saya mengunjungi Pulau Timor, NTT. Dalam membuat motif, mama-mama penenun kain tais (kain timor) membuat motif sepenuhnya mengandalkan imajinasi dan hitungan. Inilah kekhasan masing-masing motif kain tenun Nusantara.

Di Kertasari, Pulau Sumbawa, membuat kain tenun saat ini hanya dilakukan oleh ibu-ibu saja. Generasi muda sepertinya sudah enggan menenun. Di bawah rumah panggung yakni hunian khas orang Selayar dari Makassar, kaum ibu sedang sibuk menyelesaikan selembar kain sarung. Mereka ada yang memintal, melungsing, dan menenun demi menghasilkan selembar kain bermotif khas orang pesisir. Di Desa Sade, yang menenun tidak lagi kaum ibu—gadis-gadis juga ikut terlibat. Di Sade kain tenun tak lagi menjadi pemenuh kebutuhan sandang, tetapi menjadi komoditi wisata. Kain tenun berupa selendang, slayer, jarik, diperindah dengan motof-motif yang menarik bahkan ada yang bertulisankan “Lombok, Desa Sade” sebagai penciri asal kain tenunnya.

Helaian-helaian benang warna-warni kini sudah membelit leher para pelancong untuk dijadikan buah tangan. Ada teman saya yang kini mengoleksi kain-kain tenun Nusantara—hebatnya dia selalu menitip pada saya. Dalam benak saya hanya bisa bersenandika, suatu saat kain tenun itu akan berkali-kali lipat harganya dan menjadi sebuah investasi nilai seni. Nusantara, pulau-pulaumu bak helaian warna-warni benang yang ditenun menjadi selembar kain utuh yang bernama Indonesia.


Artikel ini ditulis oleh Dhave Dhanang dan sebelumnya dipublikasikan di sini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tenun Nusantara dalam Selembar Kain Bernama Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tenun-nusantara-dalam-indonesia/feed/ 1 2214