thomas karsten Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/thomas-karsten/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 12 Sep 2024 12:31:12 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 thomas karsten Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/thomas-karsten/ 32 32 135956295 Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard https://telusuri.id/menengok-mahakarya-thomas-karsten-di-kawasan-idjen-boulevard/ https://telusuri.id/menengok-mahakarya-thomas-karsten-di-kawasan-idjen-boulevard/#respond Fri, 13 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42647 Jika tak diburu waktu, begitu melewati Jalan Ijen saya akan melambatkan laju motor yang saya kendarai. Tujuannya, menikmati suasana salah satu jalan utama di Kota Malang tersebut. Tentu bukan tanpa alasan saya melakukannya. Kawasan ini...

The post Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika tak diburu waktu, begitu melewati Jalan Ijen saya akan melambatkan laju motor yang saya kendarai. Tujuannya, menikmati suasana salah satu jalan utama di Kota Malang tersebut. Tentu bukan tanpa alasan saya melakukannya. Kawasan ini memang dipenuhi rumah-rumah besar dengan halaman luas. Belum lagi deretan pohon palem raksasa di kanan-kiri jalan. Sementara bagian tengahnya ada taman yang berbentuk memanjang.

Intinya, Jalan Ijen atau sering disebut Idjen Boulevard ini tertata sangat baik. Bisa jadi karena kawasan ini adalah salah satu landmark Kota Malang sehingga harus selalu terlihat cantik. Rumah-rumah megah dengan berbagai gaya seolah menandakan bahwa tempat ini bukanlah kawasan sembarangan. Kenyataannya memang demikian, karena Idjen Boulevard merupakan permukiman elit dari masa kolonial Belanda hingga saat ini.

Saking cantiknya Idjen Boulevard ketika itu, tempat ini pernah dinobatkan sebagai kawasan terbaik pada masa kolonial. Idjen Boulevard sendiri membentang dari selatan ke utara. Mulai dari perempatan Jalan Kawi hingga perlimaan Gereja Katedral Ijen.

Kesempatan untuk menjelajahi tempat ini sambil mendengarkan kisah sejarah Idjen Boulevard, kembali saya dapatkan pada Februari lalu. Sewaktu saya mengikuti tur heritage bertema Nooit Klaar yang diadakan Komunitas Indonesia Colonial Heritage (ICH). Dalam bahasa Belanda, Nooit Klaar mempunyai arti perencanaan yang belum selesai.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Para peserta mendengarkan arahan sebelum tur dimulai/Dewi Sartika

Dari Rumah Bentoel ke Rumah Soesman

Dulunya, kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya di masa kolonial memang masuk dalam bouwplan (rencana penataan kota) VII Kota Malang. Pada waktu itu, pemerintah Belanda berencana membangun kota ini secara bertahap melalui sejumlah bouwplan. Sayangnya, ketika Belanda hendak melengkapi pembangunan kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya, Jepang keburu masuk ke Indonesia pada tahun 1942.

Warsa 1917, bouwplan Kota Malang pertama kali dilaksanakan. Sementara bouwplan VII yang meliputi Idjen Boulevard dan sekitarnya baru dilakukan tahun 1935. Perencanaan tata kota kawasan ini sendiri diarsiteki Thomas Karsten, yang dikenal juga sebagai orang di balik pembangunan Pasar Johar Semarang dan Pasar Gede Hardjonagoro di Solo.

Bouwplan VII merupakan kelanjutan dari proyek bouwplan V yang dimulai dari Jalan Semeru dengan dua gedung kembar yang mengapit jalan tersebut hingga ke arah barat yang tembus ke Jalan Ijen (Idjen Boulevard).

Saya berjalan beriringan dengan salah satu peserta yang saya kenal di tur-tur heritage sebelumnya. Kami menyusuri Jalan Semeru mengikuti instruksi Irawan Paulus, pemimpin tur. Bersama peserta lainnya, kami berangkat dari titik kumpul yang berada di Jalan Sumbing kemudian menyeberangi jalan. Selanjutnya kami singgah dan berdiri di samping gedung perpustakaan Kota Malang.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Rumah Bentoel sebelum ditutupi seng/Dewi Sartika

“Bangunan bercat merah yang ada di hadapan kita ini sering disebut sebagai ‘Rumah Bentoel’. Kenapa demikian? Karena dulunya rumah tersebut memang dimiliki pengusaha rokok cap Bentoel sehingga dinamai Rumah Bentoel,” jelas lelaki yang lebih dikenal dengan sapaan Om Ir itu.

Sebagai permukiman elit, rumah-rumah di Jalan Ijen memang dibangun untuk kebutuhan tempat tinggal bagi orang-orang kulit putih maupun orang berada yang termasuk dari kalangan Tionghoa. Rumah Bentoel mulanya dimiliki The Bo Gwan. Rumah ini berdiri pada tahun 1935 dengan Liem Bwan Tjie sebagai arsiteknya. Ia dikenal sebagai arsitek Tionghoa pertama di Kota Malang.

Sebelum mendapat sebutan Rumah Bentoel, bangunan yang terletak di Jalan Semeru dan Jalan Ijen tersebut juga pernah menjadi kediaman Wali Kota Malang semasa pendudukan Jepang, Raden Adipati Ario Sam (1942–1954), kemudian dimiliki pengusaha rokok Bentoel. Menurut kabar terakhir yang diperoleh ICH, kepemilikan rumah tersebut sudah beralih tangan ke pihak lain.

Sayangnya, keasrian dan keindahan bangunan era kolonial tersebut terancam. Sudah beberapa minggu belakangan, rumah yang didominasi warna merah itu ditutupi seng. Bukan rahasia umum lagi, apabila sebuah rumah telah tertutup seng, dipastikan bangunan tersebut akan berubah. Hal ini pula yang pernah saya temui di kawasan Idjen Boulevard beberapa waktu lalu. Semoga saja apa yang saya perkirakan tersebut salah.

Tak berselang lama sesudah para peserta berjalan, kami kemudian berhenti beberapa meter dari bangunan Perpustakaan Kota Malang. Perhatian saya dan lainnya tertuju ke seberang jalan, saat Om Ir menunjuk sebuah rumah di samping Museum Brawijaya.

Diperkirakan rumah tersebut dibangun pada 1930-an. Pemiliknya bernama Soesman. “Dulu, ada dua orang bernama Soesman. Yang satu orang Belanda berdarah campuran, satunya lagi pribumi. Dugaan saya, pemilik rumah yang ada di belakang saya ini adalah Soesman, orang Belanda berdarah campuran,” ucap Om Ir ketika menerangkan singkat tentang pemilik awal rumah tersebut.

Berdasarkan kisah yang diperoleh, Soesman merupakan anggota volksraad (dewan rakyat) sekaligus aktif di Indo-Europeesch Verbond (IEV). Ia juga yang berupaya mempertahankan bouwplan VI (kawasan yang diberi nama pulau-pulau) sebagai tempat hunian bagi kaum menengah ke bawah, karena sebelumnya ada rencana akan dibuat sebagai area industri pada saat itu. Sayangnya, rumah milik Soesman sekarang sudah berubah bentuk. Hanya atapnya saja yang masih asli.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Gardu ANIEM di Idjen Boulevard/Dewi Sartika

Sejumlah Ciri Khas Kawasan Idjen Boulevard

Selesai mendengar penjelasan, kami kemudian meneruskan langkah menyusuri jalur pejalan kaki (pedestrian) di sepanjang Jalan Ijen. Sesekali saya menengok ke atas, lalu menyadari bahwa saya seolah seperti kurcaci yang berada di bawah barisan pohon palem yang sudah ada sejak kawasan ini mulai dibangun. Tak luput, sepasang mata saya juga mengedarkan pandangan ke rumah-rumah yang kami lewati saat itu.

Sementara itu, lalu-lalang kendaraan tak berhenti melewati jalan kembar yang berada di Idjen Boulevard. Ya, kawasan ini dibelah dua jalan yang dipisahkan taman yang membentang di sepanjang Jalan Ijen. Dikutip dari Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, boulevard sendiri berasal dari bahasa Prancis yang berarti dua ruas jalan dengan taman yang ada di tengah-tengahnya. 

Pada salah satu taman, terdapat gardu ANIEM (Algemeen Nederlands Indische Electriciteits Maatschappij), perusahaan listrik yang berdiri pada 1909. Fungsinya untuk menyalurkan listrik melalui kabel ke rumah-rumah di kawasan Idjen Boulevard.

“Rumah-rumah yang ada di kawasan ini dulunya tidak dibangun secara serentak, tetapi setahap demi setahap,” ucap lelaki kelahiran 1967 tersebut.

Bentuk rumah-rumah di sepanjang Idjen Boulevard sekarang sudah bercampur. Ada bangunan peninggalan kolonial, ada juga yang sudah beralih rupa menjadi bangunan bergaya modern. Om Ir menjelaskan bahwa dulunya tipe rumah-rumah di Idjen Boulevard berbentuk rumah vila dengan ukuran sekitar 1.000 meter persegi (paling kecil 600 meter persegi), dengan ukuran bangunan banding tanah adalah 50:50.

Rumah vila di Idjen Boulevard yang masih bisa dilihat adalah sebuah rumah bertingkat dengan tulisan De Vliering di salah satu bagian atasnya. Tidak seperti rumah dua lantai zaman sekarang yang terdiri dari beberapa ruangan, lantai dua di De Vliering hanya berisi satu kamar saja.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Irawan Paulus dengan sebuah foto rumah De Vliering/Dewi Sartika

Ciri khas Idjen Boulevard tak hanya rumah vila saja, tetapi juga menyangkut jalur pejalan kaki. Dulunya pedestrian tidak mulus seperti saat ini (dilapisi lantai), tetapi hanya berupa tanah yang dilapisi batu-batu kecil. Tujuannya agar air hujan yang jatuh di jalur pejalan kaki bisa meresap ke tanah dan tidak meluber ke jalan.

“Dulu, di sini masih terdapat burung-burung manyar yang hinggap di pohon-pohon palem yang ada di sepanjang Jalan Ijen. Sekarang sudah habis karena diburu manusia. Tupai juga masih ada saat itu,” kenang Om Ir kepada para peserta.

Kami melanjutkan perjalanan lalu berhenti kembali di depan sebuah jalan yang menyerupai gang yang diapit dua rumah. Dari penjelasan Om Ir, kami mengetahui kegunaan jalan ini di masa kolonial dulu.

Dulunya, jalan ini disebut brandgang yang berarti gang kebakaran. Brandgang ini bisa ditemui di setiap permukiman yang dibangun pemerintah Belanda saat itu. Keberadaan gang tersebut digunakan sebagai jalur evakuasi sekaligus jalan yang dilalui mobil pemadam kebakaran seandainya terjadi kebakaran. Sayangnya, kini gang yang menghubungkan Idjen Boulevard dan Jalan Rinjani tersebut menjadi jalan buntu.

Salah satu rumah bergaya kolonial yang mengapit brandgang pernah menjadi rumah kos anak laki-laki (jongen) sebagaimana iklan termuat di Soerabaijasch Handelsblad tahun 1935—yang ditunjukkan kepada peserta tur. Tentu saja, saat itu yang mampu ngekos adalah anak-anak Belanda yang bersekolah di Kota Malang. 

Jadi, rumah kos ternyata sudah ada sejak zaman kolonial. Berbeda dengan kos zaman sekarang yang cenderung bebas, menurut Om Ir, pada masa itu anak-anak yang kos tinggal satu atap dengan induk semang atau pemilik kos. Sejujurnya, cerita ini mengingatkan saya kepada kisah Presiden Sukarno ketika indekos di rumah HOS Cokroaminoto.

Waktu terus bergerak menuju siang hingga akhirnya tiba di perlimaan yang ditandai dengan keberadaan Gereja Katedral Ijen. Sembari berjalan, dalam hati saya membayangkan bagaimana kondisi kawasan bouwplan VII tempo dulu dan merasa beruntung masih bisa menikmati kawasan ini.

Rasa-rasanya tak berlebihan, sebagai warga Kota Malang, saya sangat berterima kasih kepada Thomas Karsten atas mahakaryanya yang satu ini. Meskipun nasib arsitek kelahiran Amsterdam tersebut harus berakhir pada 1945 di kamp interniran di Cimahi, sewaktu pendudukan Jepang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menengok-mahakarya-thomas-karsten-di-kawasan-idjen-boulevard/feed/ 0 42647
Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo https://telusuri.id/menelusuri-ponten-mangkunegaran-di-kampung-lawas-kestalan-solo/ https://telusuri.id/menelusuri-ponten-mangkunegaran-di-kampung-lawas-kestalan-solo/#respond Tue, 04 Jun 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42088 Saya kembali mengawali perjalanan menelusuri perkampungan lawas di Solo, kota Bengawan. Tujuan kali ini berada di tengah Kampung Kestalan, Kecamatan Banjarsari, tepat di seberang Stasiun Solo Balapan. Ponten Mangkunegaran, begitu kira-kira warga menyebutnya.  Setelah sekitar...

The post Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya kembali mengawali perjalanan menelusuri perkampungan lawas di Solo, kota Bengawan. Tujuan kali ini berada di tengah Kampung Kestalan, Kecamatan Banjarsari, tepat di seberang Stasiun Solo Balapan. Ponten Mangkunegaran, begitu kira-kira warga menyebutnya. 

Setelah sekitar 30 menit menelusuri jalan kampung melalui belakang stasiun Radio Republik Indonesia (RRI) Solo, tibalah saya di Ponten Mangkunegaran. Karena tidak ada warga yang beraktivitas di sana, segera saya putuskan untuk menghubungi rekan Heri Priyatmoko untuk menapak tilas bersama.

Tak lupa juga, saya meninjau sesaat kondisi ponten yang akan saya abadikan. Beberapa saat kemudian, Heri datang tepat setelah saya selesai observasi. Kesimpulan sementara, Ponten Mangkunegaran sejatinya merupakan kamar mandi komunal untuk warga Kestalan dan Kampung Ngebrusan.

Mungkin sedikit aneh, tetapi faktanya demikian. Heri pun menyatakan hal yang sama. Namun, di balik fungsinya, Ponten Mangkunegaran menyimpan cerita yang luar biasa bagi saya. Terutama mengenai hubungan Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegara VII dengan Ir. Herman Thomas Karsten.

Tanpa pikir panjang, kami lantas duduk lesehan di bawah pohon trembesi berumur puluhan tahun yang juga menaungi Ponten Mangkunegaran. Kami lantas saling mengobrol mengenai masa lalu Ponten Ngebrusan.

  • Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo
  • Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo

Tentang Kampung Kestalan

Ponten Mangkunegaran memiliki nama lain dalam Bahasa Belanda, yakni Badplaats Mangkunegaran, artinya kamar mandi milik Praja Mangkunegaran. Ponten adalah kata serapan dari Bahasa Belanda, fountain, yang artinya air mancur. 

Kampung Kestalan, tempat ponten tersebut berada, dulunya merupakan kampung para joki kuda dan kandang kuda pacuan milik Pura Mangkunegaran. Lokasi latihan pacuan kuda itu kini menjadi Stasiun Solo Balapan.

“Antara Kampung Kestalan, ini [ponten] dan Stasiun Balapan saat ini memiliki akar rumput. Tidak asal bangun kolah [Ponten Mangkunegaran] saja, Bro,” ungkap Heri.

Kampung Kestalan lebih dahulu eksis sebagai stal (kandang kuda) daripada Ponten Mangkunegaran. Sejak tahun 1810-an awal, Kestalan sudah disebut sebagai sarang kuda pacuan terbaik di Surakarta (penyebutan lain Kota Solo). Akan tetapi, kondisi masyarakat dan kampungnya jauh dari standar kesehatan kala itu.

“Ada sungai di selatan kita, tetapi rumah-rumah sekitar ini (ponten) saling berdempetan tanpa jarak dan saluran airnya mampet,” jelasnya. Heri menambahkan ketika virus pes merebak di Solo, Kampung Kestalan turut terdampak parah. Salah satunya dipicu gaya hidup warga yang cukup jorok. 

Sebagai upaya penanganan wabah pes di wilayah Kampung Kestalan, dilakukan perbaikan kampung atau kampoong verbatering dan penataan sanitasi air. Tidak berhenti begitu saja, kebersihan dan kesehatan warganya pun turut diperhatikan. Salah satunya dengan pendirian kamar mandi komunal yang kelak disebut Ponten Mangkunegaran.

Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo
Jalan kampung Kestalan di antara Sungai Pepe dan Poten Mangkunegaran/Ibnu Rustamadji

Proses Pembangunan Ponten Mangkunegaran

Ponten Mangkunegaran dibangun tahun 1936 atas inisiatif Gusti Mangkunegara VII, sebagai bagian dari perbaikan kampung wilayah Praja Mangkunegaran.  Ia tidak mendesain sendiri, melainkan diserahkan kepada arsitek sekaligus perencana kota lulusan Delft kelahiran Amsterdam, yakni Thomas Karsten. 

Latar belakang pembangunan Ponten Mangkunegaran berawal dari keprihatinan Gusti Mangkunegara VII terhadap kehidupan warga Kestalan yang menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Alasan lain adalah tidak adanya sanitasi air yang baik, dan kebiasaan hidup kotor menyebabkan virus mudah menjangkiti warga sekitar dan Kota Solo.

Rasa prihatin dan ide pembangunan ponten dikemukakan Gusti Mangkunegara VII selepas lawatan kenegaraan ke Belanda. Tata ruang kompleks permukiman yang indah dan jalur sungai yang bersih, membuat beliau ingin merepresentasikan itu di wilayah Praja Mangkunegaran, terutama Kampung Kestalan.

Setibanya di Pura Mangkunegaran, ia memutuskan segera mengubah gaya hidup warga Ngebrusan Kestalan dengan memperbaiki sanitasi air dan mendirikan Badplaats atau Ponten Mangkunegaran. Thomas Karsten ditunjuk sebagai desainer dan pemimpin proyek pembangunan.

Thomas Karsten merancang Ponten Mangkunegaran dengan mengadopsi gaya Hindu-Buddha Jawa Tengah. Terinspirasi dari seniornya, yaitu Ir. Henri Maclaine Pont. Dana pembangunan ponten berasal dari uang pribadi Gusti Mangkunegara VII dan sumbangan pengusaha perkebunan di Kota Solo kala itu. Ponten Ngebrusan selesai satu tahun kemudian.

Meski berupa kamar mandi komunal, upacara peresmian digelar cukup meriah.  Pejabat pemerintah setara residen pengusaha perkebunan di Solo turut hadir. Menurut data yang Heri miliki, tersebut nama Johannes Agustinus Dezentje, pionir perkebunan kopi di wilayah Ampel, Boyolali. Meski ia memperistri salah satu putri Sunan Pakubuwana X, ia memiliki kekerabatan juga dengan Pura Mangkunegaran. 

“Kamu tahu betul sepak terjang beliau (J. Agustinus Dezentje), kan? Panjang ceritanya,” ungkapnya sambil tertawa.

Upacara peresmian Ponten Ngebrusan ditutup dengan suguhan minuman khas Pura Mangkunegaran dan pidato penutup oleh Gusti Mangkunegara VII. Dalam cuplikan pidatonya, Gusti Mangkunegara VII berpesan agar warga menggunakan ponten dan tidak menggunakan air sungai, guna mengurangi resiko penyakit menular. 

Detail Menarik dari Arsitektur Ponten Mangkunegaran

Rasa haus tiba-tiba menerjang. Kami pun lantas mencari warung angkringan sebagai pelepas dahaga. Setelahnya kami lanjut mengelilingi ponten dan Kampung Kestalan. Sebelum keluar halaman ponten, tiba-tiba terlintas pertanyaan karena saya penasaran sejak awal datang di sini.

“Mas Heri, ini [ponten], sisi timur terbuka mungkin areal cuci muka atau baju. Tapi utara, selatan, dan barat, kan, kolah (toilet). Serius desain awal memang tanpa atap dan pintu?” tanya saya. 

Dan betul, faktanya demikian. Namun, pada tahun 1931 menggunakan kamar mandi komunal jamak terjadi dan tidak ada rasa malu. Jika perempuan tetap menggunakan baju kemben dan jarik, kalau pria tanpa baju—hanya celana. Itu lumrah terjadi dan bukan pornografi.

Lokasinya yang berada di tepi Sungai Pepe dan di tengah kampung, jelas menjadi aset yang penting untuk meminimalkan sebaran penyakit di wilayah sekitar. Thomas Karsten mengemasnya dengan apik, sehingga tidak tampak seperti kamar mandi komunal. Sangat detail dan simetris satu sama lain. 

Ponten Ngebrusan bergaya ala candi bercorak Hindu Jawa Tengah, dengan ciri khas hiasan kemuncak di sudut tembok. Seakan mempertegas bahwa sang perancang sangat menghormati budaya negara yang ia datangi. Letaknya yang lebih tinggi dari halaman juga semakin menambah kesan mewah. 

Sumber air berada di selatan ponten dan dialirkan ke bak penampungan di tengah. Kemudian dialirkan kembali melalui pipa besi ke toilet di setiap sisi. Khusus sisi timur, digunakan untuk mencuci dan mungkin juga untuk mandi. 

Menariknya, setiap toilet didesain membelakangi pintu dan menghadap bak kecil. Jelas tujuannya tidak lain supaya orang lain yang akan menggunakan tidak saling bertatap muka. Air kotor pun dialirkan dengan baik melalui saluran kecil, lalu dibuang ke parit luar ponten.

Melalui foto lama keluaran Belanda yang dimiliki Heri, kondisi Ponten Ngebrusan tidak berubah sejak tahun 1931. Hanya perbaikan dan pengecatan ulang beberapa sisi, karena statusnya sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Solo. Maka tidak boleh direnovasi sembarangan.

Saat melangkah keluar halaman ponten, kami langsung dihadapkan perkampungan Ngebrusan dan Kestalan. Layaknya perkampungan, hilir mudik warga silih berganti tanpa henti. “Ya, seperti ini juga kondisi kampungnya. Hanya saja kala itu dikenal kumuh,” imbuh Heri. 

Warga yang menempati kedua kampung tersebut kini sudah beragam. Banyak pendatang yang sudah membaur dengan warga asli. Penduduk asli banyak yang tinggal di area Ponten Mangkunegaran dan tepi Sungai Pepe Kampung Kestalan. Sementara warga pendatang tinggal di tepi jalan, tepatnya di barat kampung.

Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo
Aliran Sungai Pepe di selatan Ponten Mangkunegaran/Ibnu Rustamadji

Berharap Tak Lekang Termakan Zaman

Ponten Mangkunegaran tentu tidak dapat dipisahkan dari akar rumputnya dengan warga Kampung Kestalan dan Kampung Ngebrusan. Meski zaman terus berubah, memori warga sebelum, sesaat, dan setelah adanya Ponten Mangkunegaran tentu tidak akan lekang oleh waktu.

Tata ruang kampung yang lebih baik adalah bukti nyata sinergi antara Gusti Mangkunegara VII dan Thomas Karsten dalam mewujudkan kampung yang lebih sehat. Seperti pepatah, kota tidak bisa hidup tanpa adanya kampung; tetapi sebaliknya, kampung bisa hidup tanpa adanya kota.

Kampung lawas bekas kandang kuda pacuan di tengah Kota Solo itu kian berkembang, tetapi masih menyimpan harta terpendam sebagai bukti berkembangnya kota. Patut dihargai, terutama kepada warganya yang turut serta menjaga ingatan sekaligus warisan berharga bagi wong Solo.

Juga bagi mereka sebagai penikmat, seperti saya dan Heri, dapat menyaksikan Ponten Ngebrusan dengan layak. Meskipun tidak mewah, tetapi tentu ada perasaan tersendiri ketika dapat mengabadikan setiap detailnya Begitulah yang saya alami ketika menelusuri Ponten Ngebrusan dengan rekan tempo hari lalu. “Tidak ada masalah jika disebut wong kampungan. Mungkin mereka belum tahu di balik kampung itu ada apa saja,” ucapnya sambil tertawa. 

Semakin dalam menyusuri Kampung Kestalan dan Kampung Ngebrusan, langit senja berubah menjadi gelap tanda malam datang. Kami segera kembali ke areal ponten untuk mengambil kendaraan dan memutuskan untuk jajan di warung angkringan legendaris pilihan Heri.

Ponten Mangkunegaran saat ini masih eksis, meskipun sudah tidak berfungsi sebagaimana dahulu. Bangunan tersebut menjadi monumen hidup, mahakarya, sekaligus sumbangsih Gusti Mangkunegara VII dan Thomas Karsten yang paling unik di Solo. 

Setiap sore, halaman ponten digunakan anak-anak kampung setempat berlatih pencak silat. Tidak jarang juga dimanfaatkan warga untuk menggelar kegiatan seni dan budaya. Dengan adanya kegiatan semacam ini, citra kampung lawas Kestalan perlahan naik menjadi kawasan cagar budaya. Semoga saja, kampung lawas lain di Solo maupun kota-kota lainnya dapat bersinergi dengan cagar budaya yang ada di sekitarnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Ponten Mangkunegaran di Kampung Lawas Kestalan Solo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-ponten-mangkunegaran-di-kampung-lawas-kestalan-solo/feed/ 0 42088