timor Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/timor/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 16 Feb 2020 14:37:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 timor Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/timor/ 32 32 135956295 Semalam di Tli’u https://telusuri.id/semalam-di-tliu/ https://telusuri.id/semalam-di-tliu/#respond Mon, 10 Feb 2020 08:40:56 +0000 https://telusuri.id/?p=19782 Kami akan ke So’e! Tidak pernah ada di bayangan kalau saya akan mengunjungi tempat kelahiran kawan baik saya saat kuliah dulu. Bukan untuk liburan tetapi untuk summer school. Beberapa teman menyarankan saya membeli jeruk So’e...

The post Semalam di Tli’u appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami akan ke So’e!

Tidak pernah ada di bayangan kalau saya akan mengunjungi tempat kelahiran kawan baik saya saat kuliah dulu. Bukan untuk liburan tetapi untuk summer school. Beberapa teman menyarankan saya membeli jeruk So’e saat tiba di sana. Hm… patut dicoba.

Pagi itu, saya dan rombongan memenuhi bus kecil Mitra Kokoh yang warnanya hijau tua mengilap. Sepanjang perjalanan dari Kupang menuju So’e, saya dan teman-teman yang menjejali kursi paling belakang bergantian bernyanyi mengikuti lagu-lagu yang diputar.

Jalan mulai beralih ke jalan aspal yang lebih sempit, keluar dari jalanan kota Kupang. Di tengah perjalanan, bus berhenti di depan jejeran penjual jeruk. Aha! Ini dia jeruk So’e. Saya dan teman-teman berhamburan keluar bus menuju para penjaja jeruk. Ternyata tidak hanya jeruk yang dijual. Bersisian dengan jeruk yang sudah ditumpuk berdasarkan harga, ada juga ubi ungu, keladi, sirih, bubuk kapur, dan buah pinang.

Kios-kios penjual jeruk So’e/Vidiadari

Saya baru saja menerima kembalian setelah membeli jeruk ketika Rachel, teman dari Amerika, memanggil saya. Dia rupanya penasaran bagaimana rupa singkong dan keladi, sebagaimana Vitali, kawan dari Moldova, penasaran dengan bentuk pohon pisang. Alhasil, setiap bertemu pohon pisang, dia minta difoto.

“Tenang, Vi, kamu nanti juga akan kagum kalau lihat salju. Mampirlah ke Moldova,” ujarnya pada saya sambil terkekeh.

Sayangnya, hari itu tidak ada singkong yang dijual. Hanya keladi saja. Rachel berkali-kali menurunkan kacamatanya, memperhatikan bentuk keladi lalu terkagum-kagum. Ah… rupanya standar rasa kagum itu bukan karena kehebatan atau kemewahan, tapi ketika menemukan sesuatu yang belum pernah dilihat sebelumnya.

Bus bergerak lagi. Di setengah perjalanan ini saya sudah menghabiskan tiga buah jeruk. Rasanya segar sekali. Pantas jeruk So’e disebut-sebut terus oleh teman-teman saya.

Beberapa kendaraan sedang antre menyeberangi jembatan kayu/Vidiadari

Di bus, ketika berbincang dengan Yohanes, salah seorang panitia, saya baru tahu kalau rombongan kami persisnya akan menuju sebuah desa bernama Tli’u. Nama ini asing di telinga saya. Pengetahuan saya hanya sampai kata So’e saja.

Bus terus melaju di jalan mengular. Saya bosan lalu tertidur. Entah berapa lama saya terlelap sampai badan saya diguncang-guncang, “Turun, Vi! Jembatannya tidak kuat, kita harus turun.”

Ternyata Adam, suami Rachel.

Dengan nyawa yang sepertinya baru setengah, saya turun bus. Kaki saya menjejak balok-balok kayu hitam yang rangkaiannya sudah renggang. Di bawah sana hanya ada batu-batu kali berwarna hitam. Air sungai nyaris kering. Saya berjalan menuju seberang jembatan. Tanahnya berwarna putih dan memantulkan cahaya matahari yang menusuk mata. Putihnya tanah kontras dengan pohon-pohon hijau dan langit biru. Setelah seluruh penumpang tiba di seberang, bus melaju dengan kencang di atas jembatan yang terus bergetar. Ketika bus berhasil sampai di seberang, kami semua bertepuk tangan, merayakan kesuksesan Mitra Kokoh melalui jembatan goyang.

Demam sirih pinang

Kami tiba di Tli’u saat makan siang. Bus berhenti di sebuah SD. Ruang kelas SD itu disulap menjadi tempat istirahat sebelum kami disebar untuk menginap di rumah-rumah penduduk. Halaman SD itu cukup luas, bisa muat untuk bermain sepak bola. Di sebelah kiri ada pohon asam. Di bawah pohon yang rindang itu sudah tersusun beberapa baris kursi plastik serta meja berisi camilan dan tempat air minum. Setelah makan siang, kami memulai acara perkenalan dengan tetua dan pejabat desa setempat.

Irwan, kawan saya yang duduk di samping, bertanya apakah saya pernah mencoba sirih pinang. Saya menggeleng. Dia lalu mengambil kotak kayu berisi sirih pinang, mengambil tiga lembar sirih, menyerahkan satu lembar ke saya dan satu lagi ke Kiki, kawan saya yang lain.

“Saya contohin, ya. Tapi nanti jangan ditelan, ya, apa pun yang terjadi.”

Saya dan Kiki mengangguk. Sirih tadi diberi sedikit bubuk kapur, digulung, lalu dikunyah. Rasanya pedas, tapi berbeda dari rasa pedas cabe. Saya terus mengunyah seperti suruhan Irwan. Lalu ia mengambil buah pinang yang sudah setengah terkupas.

“Kunyah dikit dulu aja,” ujarnya dengan lafal kumur-kumur. Air liur memenuhi mulutnya.

Saya mengikuti instruksinya, menggigit lalu mengunyah. Liur membanjir di dalam mulut. Rasanya bercampur aduk antara pedas dan pahit. Tidak tahan dengan liur yang terus menerus mengisi rongga mulut, saya pun meludah. Air liur saya berwarna jingga. Irwan tertawa melihat ekspresi saya. Saya kosongkan mulut saya dari sirih, pinang, dan liur, lalu saya ambil air mineral dan meneguknya banyak-banyak. Sepertinya, saat inilah ada sirih pinang yang terteguk. Saya tidak menyadarinya.

Diskusi di bawah pohon asam di Tli’u/Vidiadari

Acara perkenalan selesai, kami dipersilakan beristirahat. Angin dingin mulai membelai-belai pipi. Langit sudah jingga. Saya pun antre mandi di toilet sekolah.

Selesai mandi dengan air yang sejuk seperti baru keluar dari kulkas, saya merasakan dingin menguasai perut dan diafragma. Mulai gemetar, pelan-pelan saya berjalan menuju kelas. Di sana ada Aigoul, kawan saya serombongan, tengah tidur menyamping. Saya lalu mengambil jaket dan syal. Syal ini cukup besar dan hangat untuk dijadikan selimut. Saya pun berbaring di sebelah Aigoul yang sudah terlelap. Tak lama, saya tidak mendengar apa-apa lagi.

Saya bangun saat mendengar suara tetabuhan dan riuh rendah dari luar. Malam pentas seni sudah mulai tapi saya tidak bisa mengangkat kepala. Saya demam. Badan saya gemetar di balik syal. Saya berupaya duduk. Entah dari mana, di saat yang bersamaan, Irwan masuk kelas. Wajahnya berubah saat melihat saya.

“Heh, kamu kenapa pucat?” tanyanya panik

“Aku demam,” jawabku singkat. Dengan cepat Irwan menyimpulkan: bisa jadi karena sirih pinang yang tadi siang. Saya mengutuk dalam hati. Ah… seandainya saya ngeyel saja tadi siang!

Beberapa teman satu per satu masuk ke ruang kelas. Kiki dan beberapa teman lain yang tadi mencoba sirih pinang juga terkena efek samping meskipun berbeda dengan saya. Mereka pusing, saya demam. Akhirnya, kami menghabiskan sisa malam dengan pijat berantai, berupaya saling menyembuhkan diri dari mabuk sirih pinang.

Di waktu-waktu setelahnya, tiap kali saya menceritakan cerita demam karena sirih pinang ini, saya sukses ditertawakan lalu dinasihati, “Sudah. Nggak usah dicoba lagi, Nona.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Semalam di Tli’u appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/semalam-di-tliu/feed/ 0 19782
Menuju Oh Aem https://telusuri.id/menuju-oh-aem/ https://telusuri.id/menuju-oh-aem/#respond Sat, 08 Feb 2020 14:44:07 +0000 https://telusuri.id/?p=19752 Pagi itu, setelah mandi dan sarapan, saya terburu-buru mengangkut dua ransel saya menuju dua bus kecil yang terparkir di halaman sebuah sekolah di Oe Ekam. Sudah tiga malam sejak saya menuruni tangga burung besi di...

The post Menuju Oh Aem appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi itu, setelah mandi dan sarapan, saya terburu-buru mengangkut dua ransel saya menuju dua bus kecil yang terparkir di halaman sebuah sekolah di Oe Ekam.

Sudah tiga malam sejak saya menuruni tangga burung besi di Bandara El Tari, Kupang. Saya memang sedang mengikuti sebuah summer school yang mengharuskan saya berpindah tempat dari Jakarta ke Jawa Barat lalu terbang ke Kupang, Pulau Timor, untuk mengunjungi tiga desa: Tli’u, Oe Ekam, dan Oh Aem.

Pagi ini jadwal kami berpindah ke Oh Aem. Bus hijau kecil berlabel Mitra Kokoh itu sejak dari Kupang mengikuti perjalanan kami—hingga besok sore untuk mengantarkan kami kembali ke penginapan di Kupang.

Pemandangan dalam perjalanan ke Oh Aem/Vidiadari

Seorang lelaki kurus sedang menata tas teman-teman saya di atap bus. Saya menyorongkan ransel hitam saya, dia menyambutnya dari atas bus. Setelah beres ditata, ia menggelar terpal lalu mengamankannya dengan tali panjang yang diikat di sana-sini.

Sementara saya terkagum-kagum dengan keterampilan tali temali si lelaki (entah namanya siapa), seorang teman menyodorkan dua lembar masker.

“Pakai dua lapis masker, Vi. Banyak debu,” katanya. Saya mengangguk dan menerima masker pemberiannya. Dalam hati saya membatin, setebal apa debunya sampai-sampai saya harus bermasker dobel? Entahlah. Saya manut saja. Saya letakkan masker di kantong baju sebelah depan, lalu mendekat ke ketua rombongan. Ada pengumuman singkat tentang perjalanan ke desa terakhir itu.

Kata Bang El, ketua rombongan kami, perjalanan ke Oh Aem akan memakan waktu sekitar 4 jam, tidak termasuk waktu istirahat makan siang. Setelah beberapa pengumuman lain—misalnya soal kegiatan yang akan kami lakukan dan kondisi air di Desa Oh Aem—kami pun masuk ke bus.

Rombongan kami dibagi ke dalam dua bus kecil yang masing-masing memuat 20 orang beserta barang perlengkapan. Saya naik ke bus nomor 2, tempat di mana teman-teman “se-genk” saya sudah menguasai tempat duduk paling belakang. Genk saya yang terdiri dari enam orang ini terbentuk tidak sengaja, hanya karena obrolan penuh tawa di rumah makan pada hari pertama. Setelah saling lempar lelucon, kami sukses menjadi enam orang yang sulit terpisahkan selama dua minggu .

Bus berjalan melalui jalan sempit di antara selang-seling aspal dan bebatuan. Kami sempat berhenti di depan sebuah bank di So’e. Beberapa teman butuh menukarkan uang dolar mereka ke rupiah.

Jalan tanah berdebu yang kami lewati menuju Oh Aem/Vidiadari

Sementara menunggu mereka, saya melipir ke depan kantor pemerintahan. Di halaman parkir sepeda motornya terdapat seorang ibu yang berjualan kue dan minuman hangat. Ia sedang bercakap dengan seorang ibu lain yang kalau dilihat dari pakaiannya adalah staf di kantor tersebut. Saya memesan teh sambil mencuri dengar obrolan mereka.

“Mama, sesuk lebe baik bawa serbet sa, sonde usah pakai tisu,” logatnya medok seperti orang Jawa.

Lalu saya bertanya kenapa ia bisa medok begitu.

“Ohh… beta ini dari Malang. Datang ke sini melu beta pung suami,” perpaduan kemedokan dan bahasa setempat terdengar lucu di telinga. Setelah menghabiskan teh dan membayar, saya kembali ke bus. Perjalanan pun berlanjut.

Tidak jauh dari sebuah gereja tempat kami istirahat makan siang, bus berbelok ke sebuah jalan beraspal yang sedikit lebih sempit. Rupanya, di jalan inilah masker diperlukan. Mungkin hanya 2 km saja dari belokan tadi, jalan yang awalnya berwarna hitam aspal berubah menjadi cokelat muda.

Bus depan seperti meniupkan napas debu cokelat ke bus kami. Si roda empat mulai tidak stabil, jalannya seperti terombang-ambing. Ah… mungkin hanya beberapa kilometer saja, pikir saya—ternyata belasan kilometer. Seorang teman mengatakan bahwa jalan ini sedang dalam tahap perbaikan untuk nantinya diaspal dan jadi jalan yang lebih bagus. Semoga!

Di tengah perjalanan, di antara debu yang pekat, saya melihat serombongan anak sekolah. Rupanya ini jam pulang sekolah. Beberapa dari mereka duduk santai di pinggiran penutup bak truk yang melaju di depan. Lebih banyak yang jalan kaki.

Saat bus sudah dekat dengan rombongan anak-anak ini, ada beberapa yang berlari mendekati Artur, teman saya yang duduk di pintu bus. Mereka minta izin menumpang. Setelah diiyakan, mereka meraih tangga belakang bus lalu bergelantungan di sana. Teman saya menyuruh mereka naik ke atap. Mereka menurut. Tiga anak ini bergantian naik dan duduk di atas. Lima menit kemudian, seorang teman dari depan membawa kresek hitam yang ternyata sudah diisi dengan beberapa camilan dan air mineral, menyodorkan kepada Artur, menyuruhnya memberikan kepada anak-anak di atap.

Bayangan anak-anak sekolah yang menumpang bus kami untuk pulang/Vidiadari

Bus sepi, mungkin karena kami lelah, atau karena berdoa supaya bus sampai di Oh Aem dengan selamat. Sesekali saya mendengar suara cekikikan anak-anak di atas bus. Entah menertawakan apa. Sesekali mereka memanggil teman-temannya yang berhasil mereka lampaui dengan naik bus ini.

Pikiran saya lalu terbang ke Jogja, tempat saya bekerja sebagai pengajar. Berganti-gantian pikiran saya membayangkan mahasiswa saya dengan anak-anak di atap. Pernahkah mereka, yang mengawali kuliah dengan motor pelat putih itu merasakan jalan kaki berkilo-kilometer untuk mencapai sekolah, menumpang ke atas bus dan bahagia karena bisa menghemat tenaga? Apakah mereka cukup bersyukur karena bisa mencapai pendidikan di universitas, difasilitasi kendaraan baru di perantauan? Lalu saya sendiri? Ah… memalukan sekali melihat kemudahan yang saya miliki dan perkara yang sering saya keluhkan….

Bayangan-bayangan tentang diri sendiri, mahasiswa, dan anak-anak di atas pecah saat terdengar ketukan dari atap.

Anak-anak itu minta berhenti, rumah mereka sudah dekat. Mungkin satu dari beberapa rumah berpagar kayu di depan bus. Bus berhenti, mereka menuruni tangga besi lalu melompat turun. Bus berjalan pelan, mereka mengejar sambil melambaikan tangan.

“Terima kasih, om!” teriak mereka bersahut-sahutan.

Bus melaju, kabut debu menebal. Saya lihat Artur yang sedari tadi duduk di lantai bus dan menghadap jalan. Rambut hitamnya berubah jadi pirang. Dia tertawa-tawa, saya juga. Oh Aem masih jauh.

Hati terguncang-guncang, sama seperti tubuh dalam bus di perjalanan ini. Rasanya sungguh tidak keruan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menuju Oh Aem appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menuju-oh-aem/feed/ 0 19752
Haumeniana, Satu Pasar untuk Dua Negara https://telusuri.id/haumeniana-pasar-perbatasan-indonesia-timor-leste/ https://telusuri.id/haumeniana-pasar-perbatasan-indonesia-timor-leste/#respond Sun, 27 Oct 2019 15:07:20 +0000 https://telusuri.id/?p=18329 Bukan cerita baru dari saya. Ini tentang tahun 2018 saat saya menjelajah Pulau Timor dan singgah di Pasar Haumeniana (Haumeni’ana), Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT. Pasar ini berada di garis batas dua...

The post Haumeniana, Satu Pasar untuk Dua Negara appeared first on TelusuRI.

]]>
Bukan cerita baru dari saya. Ini tentang tahun 2018 saat saya menjelajah Pulau Timor dan singgah di Pasar Haumeniana (Haumeni’ana), Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT.

Pasar ini berada di garis batas dua negara, yakni Republik Indonesia (RI) dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Posisinya itu membuat Pasar Haumeniana jadi tempat jual-beli bagi warga dari dua negara.

Gerbang Perbatasan Republik Indonesia (RI)/Irfan Rahmad Widiutomo
Suasana Pasar Haumeniana/Irfan Rahmad Widiutomo

Pasar Haumeniana memfasilitasi warga perbatasan RI dan RDTL. Warga Haumeniana, Oetulu, dan Oeolo bisa memperoleh pendapatan dengan berjualan di Pasar Haumeniana, sementara warga Timor Leste dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Para penjual memenuhi lorong Pasar Haumeniana/Irfan Rahmad Widiutomo

Setiap Sabtu, warga Oecusse, kota di Timor Leste, memenuhi Pasar Haumeniana untuk membeli segala macam kebutuhan. Di pasar, mereka berkomunikasi dengan para penjual, warga Indonesia, menggunakan bahasa Dawan. Meskipun tinggal di negara yang berbeda, komunitas Timor yang tinggal di sekitar Timor Tengah Utara dan Oecusse memang punya banyak persamaan dari segi budaya. Nyaris mirip, malah.

Sebelum masuk ke teritori Republik Indonesia, warga Timor Leste menitipkan kartu identitas ke petugas yang berwenang. Kemudian, karena transaksi di Pasar Haumeniana hanya dilakukan dalam mata uang rupiah, orang-orang Timor Leste mesti menukarkan uang dolar Amerika—RDTL belum menerbitkan uang kertas—menjadi rupiah.

Petugas imigrasi RDTL yang sedang berjaga dan melakukan pengecekan/Irfan Rahmad Widiutomo
Semboyan militer RDTL yang artinya “Ini Adalah Tanda Pengorbanan Kita, Didedikasikan untuk Kita”/ Irfan Rahmad Widiutomo

Beraneka ragam barang yang diperjualbelikan di Pasar Haumeniana, seperti hasil pertanian dan perkebunan, perabotan rumah tangga, barang elektronik, dan obat-obatan.

Selain sebagai pusat perekonomian, pasar ini juga seakan menjadi “monumen perdamaian” bagi warga RI dan RDTL; sebagai pengingat bahwa, untuk terus bertahan hidup, mereka harus saling bantu dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Haumeniana, Satu Pasar untuk Dua Negara appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/haumeniana-pasar-perbatasan-indonesia-timor-leste/feed/ 0 18329
Menelusuri Timor dari Kupang sampai ke Soe https://telusuri.id/pantai-kolbano-timor-tengah-selatan/ https://telusuri.id/pantai-kolbano-timor-tengah-selatan/#comments Mon, 08 Apr 2019 16:00:40 +0000 https://telusuri.id/?p=13062 Liburan pun tiba. Aku diajak kaka bepergian ke tempat yang jauh dari kota. Kami melewati beberapa desa, kota, dan kabupaten, dimulai dari Kota Kupang, terus sampai ke Atambua (perbatasan Indonesia dan Timor Leste), kemudian kembali...

The post Menelusuri Timor dari Kupang sampai ke Soe appeared first on TelusuRI.

]]>
Liburan pun tiba. Aku diajak kaka bepergian ke tempat yang jauh dari kota. Kami melewati beberapa desa, kota, dan kabupaten, dimulai dari Kota Kupang, terus sampai ke Atambua (perbatasan Indonesia dan Timor Leste), kemudian kembali ke Kupang. Perjalanan kami lakukan selama 4 hari 3 malam menggunakan sepeda motor yang kami kemudikan bergantian.

Hari pertama kami menginap di sebuah desa yang terpisah sembilan kilometer dari kota. Desa itu berada di tengah hutan, belum mendapatkan aliran listrik dari kota. Penduduk desa itu sangat ramah dan hidup mereka sangat sederhana. Setelah menginap semalam di sana, keesokan paginya kami melanjutkan perjalanan ke Atambua.

pantai kolbano
“Selfie” di perbatasan Indonesia-Timor Leste/Arsenia Hokor

Perjalanan itu sangat jauh dan melelahkan, melewati pegunungan dan perdesaan. Namun, rasa lelah itu tak terasa sebab sepanjang perjalanan kami menyaksikan pemandangan-pemandangan menawan. Lalu, tahu-tahu saja kami sudah tiba di kota perbatasan, Atambua.

Sore itu kami duduk di dermaga, menikmati matahari terbenam yang indah sambil menyantap makanan yang kami beli sebagai bekal perjalanan. Dari dermaga, kami beranjak ke rumah keluarga kenalan kaka untuk beristirahat.

“Gurun pasir” di Pantai Oetune/Arsenia Hokor

Malam pun berlalu dan pagi datang dijemput mentari. Aku dan kaka pun bersiap-siap, kemudian pamit pada tuan rumah untuk melanjutkan perjalanan ke perbatasan Indonesia dan Timor Leste.

Di perbatasan, kami hanya berfoto-foto sebentar kemudian kembali memacu sepeda motor ke tujuan selanjutnya, yakni Soe, Ibu Kota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Di “Kota Membeku” itu air begitu dingin seperti es. Kami hanya menginap semalam di Soe. Keesokan paginya kami kembali ke arah Kupang.

Singgah di Pantai Kolbano

Dalam perjalanan pulang ke Kupang, kami sempatkan untuk piknik ke tempat-tempat wisata di Soe, yakni Air Terjun Oehala, Taman Rekreasi Bu’at, Pantai Oetune (yang di sana ada hamparan pasir seperti gurun di Mesir), dan Pantai Kolbano.

pantai kolbano
Pantai Kolbano/Arsenia Hokor

Pantai Kolbano adalah primadona Kabupaten Timor Tengah Selatan. (Dari Kupang, jaraknya sekitar 135 kilometer.) Menuju ke sana, kami melewati desa yang berhadap-hadapan dengan hamparan sawah hijau yang indah. Kalau dihitung-hitung, barangkali kami menghabiskan waktu satu sampai dua jam menelusuri jalanan itu.

Rasa lelah, capai, haus, dan lapar seketika buyar ketika akhirnya kami melihat pemandangan Pantai Kolbano. Tidak seperti pantai-pantai lain yang biasanya dihiasi pasir, pesisir Pantai Kolbano penuh batu halus yang sangat indah dan unik. Air lautnya berwarna biru seperti langit.

pantai kolbano
Matahari terbenam di Timor/Arsenia Hokor

Tapi tidak mudah untuk bisa menyaksikan pemandangan itu. Selain harus berkendara lama, kami juga mesti mendaki dari bawah ke puncak berbatu (yang membuatku sadar bahwa hidup seperti roda yang berputar, kadang berada di bawah dan terkadang di atas). Di puncak itu, selain berfoto selfie, kami terpana mengagumi keindahan Pantai Kolbano. Kami terlena sampai-sampai tak sadar bahwa sudah terlalu lama di sana. Padahal, hari itu juga kami mesti kembali ke Kupang.

Sudah larut malam saat kami akhirnya tiba di Kupang dan mengistirahatkan badan di rumah. Perjalanan beberapa hari melintasi beberapa kota dan kabupaten di Pulau Timor itu pun akhirnya usai.

Liburanku pun juga berakhir. Waktunya untuk kembali kuliah. Keesokan harinya, aku diantarkan kaka ke Bandara El Tari untuk kembali ke Yogyakarta via Surabaya. Kenangan piknik di tempat-tempat indah itu masih terbayang-bayang dalam ingatan. Aku begitu menikmatinya dan merasa bersyukur atas apa yang sudah diciptakan oleh Yang Maha Kuasa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Timor dari Kupang sampai ke Soe appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pantai-kolbano-timor-tengah-selatan/feed/ 1 13062
10.000 Orang Memeriahkan Festival Sarung dan Musik NTT https://telusuri.id/kemeriahan-festival-sarung-dan-musik-ntt/ https://telusuri.id/kemeriahan-festival-sarung-dan-musik-ntt/#respond Wed, 13 Mar 2019 09:23:50 +0000 https://telusuri.id/?p=12285 Sabtu, 2 Maret 2019 lalu, Festival Sarung dan Musik NTT diadakan bersamaan dengan Car Free Day di Jalan El Tari Kota Kupang. Kegiatan ini diikuti lebih dari 10.000 peserta dari instansi pemerintah, pelajar, pengrajin tenun...

The post 10.000 Orang Memeriahkan Festival Sarung dan Musik NTT appeared first on TelusuRI.

]]>
Sabtu, 2 Maret 2019 lalu, Festival Sarung dan Musik NTT diadakan bersamaan dengan Car Free Day di Jalan El Tari Kota Kupang. Kegiatan ini diikuti lebih dari 10.000 peserta dari instansi pemerintah, pelajar, pengrajin tenun ikat, dan masyarakat umum.

Tidak hanya itu, festival ini juga dihadiri oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat beserta istri, Julie Sutrisno Laiskodat, yang sekaligus merupakan Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTT. Festival ini semakin unik sebab peserta yang hadir diwajibkan mengenakan kaos putih dan sarung tenun ikat khas NTT.

festival sarung dan musik ntt
Paduan suara pelajar di teras Kantor Gubernur NTT/Yudha Eka Nugraha

Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk memeriahkan Festival Sarung dan Musik NTT Sabtu lalu. Beberapa kegiatan yang menarik antusiasme masyarakat antara lain paduan suara dan marching band pelajar NTT, menari bersama mengenakan berbagai kain tenun ikat khas Flores, Sumba, Timor, dan Alor (Flobamora), pameran aneka makanan tradisional berbahan dasar kelor dari UMKM setempat, pameran instalasi tenun, pameran musik tradisonal, dan olahraga bersarung.

Sedari pagi, masyarakat mulai ramai memenuhi areal Kantor Gubernur NTT di Jalan El Tari Kupang. Jam 06.00 WITA, paduan suara yang terdiri dari 2.000 orang pelajar memenuhi teras Kantor Gubernur NTT. Mereka menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia, dilanjutkan dengan lagu tradisional NTT.

festival sarung dan musik ntt
Stan tenun tradisional/Yudha Eka Nugraha

Paduan suara selesai, pasukan marching band pelajar makin menyemarakkan kegiatan Festival Sarung dan Musik ini. Bunyi gemuruh alat musik yang dimainkan membuat peserta tumpah ruah ke jalan utama El Tari untuk mengabadikan momen. Sementara itu, 1.800 pelajar lainnya ikut meramaikan dengan melakukan tarian massal Flobamora seperti Gawi, Dolo-dolo Jai, dan juga Tebe.

Bukan sekadar festival sarung dan musik

Meskipun kegiatan ini baru kali pertama digelar, terlihat antusiasme masyarakat sangat tinggi. Sarung tenun khas NTT bak seragam yang dipakai untuk menunjukkan kebanggaan terhadap budaya. Warga setempat, terutama para pengrajin tenun, berjejer rapi di tempat-tempat yang sudah disediakan untuk menunjukkan tenun-tenun yang luar biasa kaya dengan motif, terinspirasi dari warisan leluhur yang berasal dari 22 kabupaten.

Di sela-sela kegiatan, Ibu Julie yang juga adalah Bunda Tenun NTT berkata bahwa [merajinkan] tenun ikat bukan hanya [untuk] memamerkan tenun saja, namun, lebih dari itu, masyarakat NTT ingin berusaha menunjukkan kepada dunia bahwa mereka cinta damai, bersatu, baik etnis dan juga agama.

festival sarung dan musik ntt
Salah satu stan makanan di Festival Sarung dan Musik NTT/Yudha Eka Nugraha

Kegiatan yang bertemakan “Sarung Tenun Ikat NTT Identitas Budaya, Pemersatu Bangsa” ini diinisiasi sang Bunda Tenun NTT cum Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekrasnada NTT) bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi NTT. Menariknya lagi, tenun-tenun ikat yang dipamerkan adalah hasil karya perempuan-perempuan dari seluruh pelosok Flobamora.

Ibu Julie menambahkan bahwa dengan mengusung pesan kearifan lokal yang unik, tenun ikat NTT diharapkan dapat mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat, terutama untuk membangkitkan kebanggaan di kalangan generasi muda, termasuk milenial, terhadap kain sarung NTT. Acara ini nantinya akan diselenggarakan setiap tahun untuk meningkatkan kebanggaan warga setempat atas kekayaan budaya yang dimiliki NTT.

festival sarung dan musik ntt
Gubernur NTT berkunjung ke stan makanan/Yudha Eka Nugraha

Agar tenun ikat tak hilang termakan zaman

festival sarung dan musik ntt
“Fashion show” via berbagifun..com

Selain musik, tarian, dan pameran tenun, Festival Sarung dan Musik NTT ini juga menyuguhkan aneka bazar makanan tradisional berbahan dasar daun kelor. (Revolusi Hijau Kelor adalah program terbaru yang diusung Gubernur NTT untuk warga setempat.) Gubernur NTT beserta masyarakat dengan bersemangat mendatangi stan-stan makanan tersebut untuk mencicipi cita rasa khas NTT, misalnya teh kelor, salome kelor, es krim kelor, cokelat kelor, keripik kelor, dsb. Pedagang yang menjual pun berasal dari berbagai etnis.

Sampai jam 10.00 WITA, masih banyak peserta kegiatan yang hilir mudik memadati areal festival. Alunan musik terdengar dari tenda pameran. Sasando dimainkan di tengah-tengah kegiatan.

Selain itu, ternyata juga ada fashion show dalam Festival Sarung dan Musik NTT ini. Diiringi alunan musik tradisional, para model meliuk-liuk memperagakan kain tenun ikat khas NTT. Semakin nyatalah bahwa tenun ikat memang diperuntukkan bagi seluruh kalangan, sebagai identitas sekaligus sebagai karya seni yang harus dilestarikan agar tidak hilang termakan zaman.

Animo yang tinggi dari masyarakat tentunya menjadi kekuatan tersendiri bagi Festival Sarung dan Musik NTT. Lewat kerjasama yang baik dari lembaga pemerintahan, swasta, pelajar, masyarakat, dan satuan keamanan, tentu acara ini akan menjadi ikon NTT.

Semoga festival ini memang berkelanjutan, dijadikan acara tahunan NTT yang dapat menjadi magnet bagi wisatawan nusantara maupun mancanegara.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 10.000 Orang Memeriahkan Festival Sarung dan Musik NTT appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kemeriahan-festival-sarung-dan-musik-ntt/feed/ 0 12285
Lari Sore dan Menikmati Senja di Bukit Cinta Kupang https://telusuri.id/menikmati-senja-di-bukit-cinta-kupang/ https://telusuri.id/menikmati-senja-di-bukit-cinta-kupang/#comments Mon, 11 Mar 2019 13:21:13 +0000 https://telusuri.id/?p=12204 Sore itu, Kota Kupang, tempat saya tinggal sekarang, cerah berawan namun tidak terlalu panas. Waktu menunjukkan pukul 15.30 WITA. Saya pikir, mungkin saya bisa mengisi waktu dengan berolahraga. Karena topografi Kupang seperti perbukitan, saya memilih...

The post Lari Sore dan Menikmati Senja di Bukit Cinta Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
Sore itu, Kota Kupang, tempat saya tinggal sekarang, cerah berawan namun tidak terlalu panas. Waktu menunjukkan pukul 15.30 WITA. Saya pikir, mungkin saya bisa mengisi waktu dengan berolahraga. Karena topografi Kupang seperti perbukitan, saya memilih untuk lari sore jarak dekat saja, yaitu dari pinggir Jalan Claret sampai finish di Bukit Cinta.

Di Kupang, berlari di pinggir jalan masih bisa jadi pilihan karena udara masih bersih dan tersedia pemandangan hijau untuk dinikmati. Namun kita tetap harus hati-hati sebab pengendara motor dan mobil masih banyak yang ugal-ugalan.

bukit cinta kupang
“Signage” Bukit Cinta/Yudha Eka Nugraha

Sekilas mata memandang, akses jalan di Kota Kupang ini berangsur-angsur membaik. Jalanan utamanya sudah diaspal dan memungkinkan pejalan kaki untuk bergerak dengan nyaman. Namun, dari Jalan Claret perjalanan menuju Bukit Cinta lumayan berat. Saya harus berlari dengan lintasan yang menanjak. Jadi lumayan melelahkan.

Saya sebenarnya cukup penasaran dengan Bukit Cinta. Kalau ke sana mengendarai motor, tempat itu hanya akan terlihat seperti perbukitan biasa dengan papan nama “Love Hill” yang sangat tidak menarik di bagian depan. Namun, setiap sore tempat itu pasti selalu ramai. Saya yang tinggal di Jalan Claret dan sering lalu-lalang melewati tempat itu tentu saja penasaran dan ingin mengenal Bukit Cinta Kupang lebih jauh.

Bukit Cinta yang menghampar luas bak permadani hijau

Setelah berlari kurang lebih tiga puluh menit, saya tiba di Bukit Cinta Kupang. Saya terkejut ketika melihat ke belakang. Ternyata Bukit Cinta tidak seperti yang saya kira selama ini. Bukit Cinta yang saya pikir sempit, sekadar bukit bertuliskan “Love Hill,” aslinya sangat luas. Ditambah rumput yang sedang hijau maksimal sebab sekarang sedang musim penghujan, Bukit Cinta tak ubahnya seperti hamparan permadani hijau yang melayang-layang menaungi Kupang.

bukit cinta
Lari sore di Bukit Cinta/Yudha Eka Nugraha

Saya melanjutkan berlari di tengah hamparan padang rumput Bukit Cinta Kupang, melewati para pengunjung yang mayoritas muda-mudi dari penjuru NTT. Beberapa pendatang juga datang silih berganti ke tempat ini untuk berfoto. Jeli mengambil kesempatan, terkadang satu, dua orang membawa kamera datang menghampiri para pelancong untuk menawarkan jasa memotret.

Tapi, bukit ini bukan hanya tempat untuk berfoto. Di tempat ini juga banyak yang olahraga (saya salah satunya). Olahraga yang biasa dilakukan di sini adalah jogging. Walaupun belum ada lintasan khusus, berlari di Bukit Cinta tetap terasa asyik sebab kita bisa berolahraga sembari menikmati pemandangan alam yang menyenangkan.

Saya juga menjumpai beberapa orang yang hanya sekadar duduk untuk menikmati sunset, bercengkerama dan berkumpul bersama orang terkasih. Memang banyak muda-mudi yang datang ke sini untuk berpacaran. Konon, tempat ini dinamai Bukit Cinta karena banyaknya muda-mudi setempat yang memadu kasih di sini.

bukit cinta
Padang rumput yang hijau di musim penghujan/Yudha Eka Nugraha

Kebetulan saya datang berdekatan dengan Hari Valentine. Beberapa muda-mudi yang merayakan Hari Kasih Sayang itu tampak mengungkapkan rasa sayangnya dengan memberikan boneka beruang sebesar galon Aqua kepada kekasihnya. Sebagian lain sekadar mempersembahkan bunga, cokelat, dan mengabadikan momen dengan berfoto bersama di hamparan hijau Bukit Cinta.

Selalu ramai sebab belum ada tiket masuk

Bagi mereka yang sangat menyukai momen tenggelamnya matahari, Bukit Cinta adalah lokasi yang pas untuk melihat fenomena alam tersebut. Selain itu, penikmat sejarah juga pasti akan senang ke Bukit Cinta, sebab di sini ada peninggalan sejarah berupa bunker dan goa Jepang. Konon, kedua peninggalan itu dahulunya adalah lokasi persembunyian tentara pendudukan Jepang ketika perang. Sayang sekali sekarang nasibnya kurang diperhatikan; hanya jadi alas untuk melihat sunset.

bukit cinta
“Bunker” peninggalan Jepang/Yudha Eka Nugraha

Bukit Cinta Kupang berada di perbatasan Kota Kupang dan Kabupaten Kupang, tidak jauh dari Bandara El Tari, hanya terpaut sekitar tiga kilometer saja. Dari bandara, hanya perlu membayar antara Rp 5.000-10.000 naik ojek. Naik angkot jurusan Penfui hanya Rp 2.000. Kedekatan tempat ini dengan bandara membuat saya dan pengunjung lain dapat leluasa melihat pesawat yang berlalu-lalang, baik yang hendak take off maupun landing.

Tempat ini selalu ramai terutama di sore hari, barangkali karena belum ada biaya masuk. Siapa pun bebas menjelajah Bukit Cinta dan melakukan aktivitas yang mereka suka selama tidak menganggu ketertiban umum.

Jika pengujung butuh sesuatu, mereka bisa membelinya di kios-kios dan kafe-kafe di sekitar Bukit Cinta. Pohon-pohon besar juga tumbuh dengan rindang di sekitar puncak, cukup untuk berteduh atau berhenti sejenak sekadar menikmati angin semilir.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lari Sore dan Menikmati Senja di Bukit Cinta Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menikmati-senja-di-bukit-cinta-kupang/feed/ 1 12204