tionghoa Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tionghoa/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 03 Apr 2024 08:51:39 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 tionghoa Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tionghoa/ 32 32 135956295 Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah https://telusuri.id/jejak-pecinan-kota-bandung-dari-rumah-rumah-ibadah/ https://telusuri.id/jejak-pecinan-kota-bandung-dari-rumah-rumah-ibadah/#respond Wed, 03 Apr 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41593 Sebagai sebuah kota multietnis, Bandung—yang di masa silam sempat beken dengan julukan Parijs van Java alias Paris-nya Jawa—dihuni oleh beragam penduduk dengan latar belakang yang berbeda-beda. Termasuk Tionghoa. Dalam karyanya Ethnic Chinese Social Assimilation in Cibadak...

The post Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai sebuah kota multietnis, Bandung—yang di masa silam sempat beken dengan julukan Parijs van Java alias Paris-nya Jawa—dihuni oleh beragam penduduk dengan latar belakang yang berbeda-beda. Termasuk Tionghoa.

Dalam karyanya Ethnic Chinese Social Assimilation in Cibadak Chinatown Bandung, Rizaldi dkk (2018) menyebut sejarah kedatangan orang Tionghoa di Bandung berawal dari keputusan pemerintah kolonial Belanda. Saat itu dikeluarkan kebijakan yang akhirnya menjadikan Bandung sebagai kota terakhir di Nusantara yang diizinkan untuk dimasuki dan dihuni oleh etnis Tionghoa. Mereka yang datang ke Kota Bandung adalah orang-orang yang direlokasi dari kota lain di Indonesia. Sehingga etnis Tionghoa yang berada di Bandung bukanlah etnis yang bermigrasi dari Tiongkok.

Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah
Pasar Baru sebagai kawasan Pecinan pertama di Kota Bandung/Djoko Subinarto

Kusteja (2012) menyebut komunitas Tionghoa cenderung bermukim di sekitar pusat simpul transportasi perhubungan, seperti jalan raya, jalan kereta api, stasiun kereta api, dan pasar sebagai pusat perdagangan. Sebab kegiatan utamanya bergerak dalam bidang perdagangan. Oleh sebab itu, tak heran jika kawasan Pecinan pertama di Bandung adalah Pasar Baru. Pasar yang terletak tak jauh dari Stasiun Kereta Api Bandung itu kini menjadi salah satu pusat ekonomi Kota Kembang.

Namun, seiring dengan pertumbuhan jumlah etnis Tionghoa, kawasan Pecinan di Bandung lantas meluas. Etnis Tionghoa bukan hanya mendominasi kawasan Pasar Baru, melainkan juga Sudirman, Gardu Jati, Cibadak, Belakang Pasar, Suniaraja, Pasar Andir, dan Kosambi.

Hingga sekarang, jejak sejarah Pecinan masa lalu di Kota Bandung masih bisa dilihat dengan jelas. Ambil contoh di seberang Pasar Baru, ada sebuah kawasan bernama Pecinan Lama. Sejumlah bangunan toko berarsitektur Tionghoa masih terlihat berdiri kukuh di kawasan ini. Begitu juga di kawasan-kawasan Pecinan lainnya.

Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah
Tampak depan Kelenteng Satya Budhi Kota Bandung/Djoko Subinarto

Kelenteng dan Vihara

Selain bangunan toko maupun rumah berarsitektur Tionghoa, salah satu bukti lain terkait peninggalan sejarah Pecinan masa silam di Bandung adalah adanya kelenteng dan vihara. Salah satu contoh Kelenteng Satya Budhi, yang awalnya bernama Kuil Xietian Gong. Lokasinya berada di antara dua kawasan Pecinan, yaitu Sudirman dan Pasar Andir.

Awalnya, kelenteng tersebut merupakan tempat tinggal seorang kapitan Tionghoa bernama Tan Yun Liong. Kemudian pada 16 Juni 1885, bangunan tempat tinggal itu berubah fungsi dan menjadi sebuah kelenteng (Wardhani dkk, 2023).

Kendati sempat dipugar pada 1958 dan 1985, lalu mengalami kebakaran hebat pada 2019, hingga sekarang arsitektur asli kelenteng ini masih tetap utuh. Kelenteng Satya Budhi masuk dalam kategori cagar budaya dengan status A.

Bergeser sedikit ke arah selatan dari kelenteng, terdapat Vihara Dharma Ramsi. Vihara ini didirikan tahun 1954 oleh biksu Amingse Samo Amoyse yang berasal dari Tiongkok (Nurani, 2017).

Tatkala digelar perayaan Cap Go Meh di Kota Bandung, jalanan di depan Vihara Dharma Ramsi biasanya menjadi titik awal pemberangkatan peserta pawai rangkaian Tahun Baru Imlek tersebut. Dari depan vihara ini, peserta pawai bergerak ke utara melewati Kelenteng Satya Budhi, kemudian beralih arah ke Jalan Kebon Jati. Setelah itu masuk ke kawasan Pasar Baru, selanjutnya belok ke Cibadak hingga kembali lagi ke Vihara Dharma Ramsi.

  • Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah
  • Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah

Dua Masjid

Tak cuma kelenteng dan vihara, masjid juga bisa menjadi bukti autentik sejarah ihwal keberadaan etnis dan budaya Tionghoa yang turut mewarnai Kota Bandung. Dua di antaranya adalah Masjid Al-Imtizaj dan Masjid Lautze. 

Masjid Al-Imtizaj terletak di sebelah timur Pasar Baru. Tak jauh dari persimpangan Jalan ABC dan Jalan Banceuy. Salah satu tujuan pendirian masjid ini adalah untuk menyatukan komunitas-komunitas muslim Tionghoa yang ada di Kota Bandung (Putra, 2022).

Al-Imtizaj sendiri secara harfiah berarti “pembauran”. Warna merah dan kuning mencolok mendominasi tampilan masjid yang diresmikan pada 2010 itu. Sebuah gapura yang biasa ditemui di bangunan kelenteng kian menegaskan masjid ini bernuansa Tionghoa.

Berbeda dengan Al-Imtizaj, Masjid Lautze yang berlokasi di Jalan Tamblong tidak memiliki gapura. Kendati demikian, nuansa Tionghoa masih tetap kentara. Berdasarkan penelitian Nurjaman dan Gumilar (2021), Masjid Lautze didirikan pada 1997 sekaligus menjadi masjid tertua yang dibangun komunitas muslim Tionghoa yang bermukim di Kota Bandung.

Seperti halnya Al-Imtizaj, warna merah dan kuning juga mendominasi arsitektur Masjid Lautze. Saat saya menyambanginya, sejumlah lampion terlihat menggelantung di bagian depan masjid ini. Keberadaan Masjid Al-Imtizaj dan Masjid Lautze juga menunjukkan etnis dan budaya Tionghoa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan Kota Bandung. 

Zaman akan terus berubah. Penduduk Bandung juga semakin bertambah—kini hampir 3 juta jiwa. Meski begitu jejak dan bukti sejarah, termasuk ingatan orang-orang tentang Bandung, perlu terus dirawat agar bisa menjadi jembatan penghubung perjalanan kota di masa silam hingga berkembang seperti sekarang.


Referensi

Kusteja, S. (2012). Jejak Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung. Jurnal Sosioteknologi. Vol. 11, No. 26 (2012), pp. 105–115. https://journals.itb.ac.id/index.php/sostek/article/view/1095/701.
Nurani, H. (2017). Nilai-Nilai Kerukunan Vihara Dharma Ramsi di Jawa Barat. Religious: Jurnal Agama dan Lintas Budaya. Vol 1, No. 2 (Maret 2017), pp. 147–153. https://doi.org/10.15575/rjsalb.v1i2.1357.
Nurjaman, I. M., & Gumilar, S. (2021). Kontribusi Aktivis Mesjid Lautze 2 Bandung dalam Merangkul Mualaf Tionghoa Tahun 2016–2021. Jurnal Iman dan Spiritualitas. Vol 1, No 4, 2021, pp. 429-436. https://doi.org/10.15575/jis.v1i4.13193.
Putra, M. Y. (2022, 6 April). Menilik Masjid Gaya Arsitektur Tionghoa di Jalan ABC Kota Bandung. Diakses pada Februari 2024, dari https://www.ayobandung.com/bandung-raya/pr-793153609/topik-khusus.html.
Rizaldi, D., Abdulkarim, A., & Malik, Y. (2018). Ethnic Chinese Social Assimilation in Cibadak Chinatown Bandung. International Journal Pedagogy of Social Studies. Vol. 3, No. 2, 2018, pp. 133–141. https://doi.org/10.17509/ijposs.v3i2.
Wardhani, M. K., Praseta, A. K., Ramadhan, S., Cahyowati, T. S., & Achsanta, D. N. (2023). STUDY OF LAYOUT, CIRCULATION, AND ORNAMENTS IN TEMPLE BUILDING (Case Study: Satya Budhi Temple, Bandung). Jurnal Arsitektur TERRACOTTA. Vol. 4, No. 2 (2023, pp. 145–155. https://doi.org/10.26760/terracotta.v4i2.8694.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Pecinan Kota Bandung dari Rumah-Rumah Ibadah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-pecinan-kota-bandung-dari-rumah-rumah-ibadah/feed/ 0 41593
Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/ https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/#respond Fri, 09 Feb 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41136 Walau bukan penganut salah satu agama dari kebudayaan Tionghoa, tetapi aku selalu menantikan Imlek dan Cap Go Meh setiap tahunnya. Kemeriahan suasana menjelang Imlek di Glodok ataupun pertunjukan Barongsai dan Tatung yang dilakukan oleh komunitas...

The post Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
Walau bukan penganut salah satu agama dari kebudayaan Tionghoa, tetapi aku selalu menantikan Imlek dan Cap Go Meh setiap tahunnya. Kemeriahan suasana menjelang Imlek di Glodok ataupun pertunjukan Barongsai dan Tatung yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa Krendang, Jakarta Barat ketika perayaan Cap Go Meh selalu menarik perhatianku.

Aku mulai mengacak tumpukan bukuku. Mencari bahan bacaan menarik bertemakan Imlek dan Cap Go Meh, selain tentang kemeriahan Glodok dan pertunjukan Barongsai. Di buku Waktu Belanda Mabuk Lahirlah Batavia karya Alwi Shahab—jurnalis senior dan pencerita terbaik tentang sejarah Betawi dan Jakarta—aku menemukan bacaan tentang tradisi membawakan ikan bandeng dan kue cina untuk calon mertua dari calon menantu sebelum Imlek.

Sementara di buku Kuliner Betawi Selaksa Rasa & Cerita dari tim Akademi Kuliner Indonesia, menceritakan tentang akulturasi budaya di kehidupan masyarakat Betawi yang multikultur dan berlangsung dalam kurun waktu lama sampai melahirkan tradisi lebaran gaya Jakarta yang “berwarna”. Sebutan “lebaran” sebagai perayaan agama membuat banyak lebaran di Betawi.

Di Islam, selain Lebaran Idulfitri dan Iduladha, ada juga Lebaran Anak Yatim di tanggal 10 Muharram. Di komunitas nonmuslim ada istilah Lebaran Serani yang merupakan sebutan untuk perayaan Natal. Istilah Serani mungkin berasal dari kata Nasrani. Begitu pun sebutan untuk pindang serani, yang merujuk pada pindangnya orang Nasrani. Makanan ini menjadi ciri khas pada saat Natal di komunitas warga Betawi keturunan Portugis di Kampung Tugu. Sementara untuk perayaan Imlek disebut Lebaran Cina dan pindang bandeng menjadi salah satu makanan yang wajib dihidangkan. 

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Sampul depan buku karya Windoro Adi di situs Gramedia Digital/Gramedia

Jejak Kekerabatan Multietnis dari Seekor Bandeng

Membaca fakta itu aku mulai mencari lebih jauh tentang hubungan ikan bandeng dengan perayaan Imlek. Akhirnya aku menemukan kalimat “Sepekan menjelang Imlek tiba, pertigaan Rawa Belong ramai oleh pedagang dan pembeli ikan bandeng…” di buku Batavia 1740 — Menyisir Jejak Betawi tulisan Windoro Adi.

Aku pernah beberapa kali ke Rawa Belong yang terkenal dengan Pasar Bunganya itu. Terakhir ke sana, aku menyusuri daerah ini dari halte busway Slipi Petamburan 2 sampai ke Pasar Bunga Rawa Belong. Dari penelusuran itu aku mendapati beberapa bangunan tua berikut ini:

  1. Gedung Tinggi Palmerah. Bekas kediaman Andries Hartsinck, seorang pejabat VOC, yang sekarang menjadi kantor Polsek Palmerah. Gedung ini dibangun tahun 1790-an bergaya arsitektur Indische dengan ciri khas pilar besar di bagian depan, langit-langit yang tinggi, serta jendela dan pintu besar.
  2. SD Negeri Palmerah 07 Pagi. Bangunan yang dibangun tahun 1936 ini dulunya gedung sekolah Tionghoa, Kwa Ming School.
  3. Kelenteng Hian Thian Siang Tee Bio. Kelenteng yang telah ada dari abad ke-19 ini berdiri di dekat Pasar Palmerah.

Rawa Belong juga terkenal sebagai kampungnya para jawara. Istilah ini mungkin berawal dari zaman Andries Hartsinck menjadi tuan tanah di Palmerah sampai Grogol. Penyebutan Palmerah berasal patok (paal) berwarna merah sebagai penanda batas tanah dari Andries Hartsinck. Dengan tanah seluas itu, Andries Hartsinck membutuhkan penjaga yang disebut centeng dan mandor. Kampung di depan Gedung Tinggi dikenal dengan nama Kampung Kemandoran. Kemungkinan dahulu daerah itu menjadi tempat tinggal para mandor dan centeng, jawara-jawaranya Andries Hartsinck.

Si Pitung, tokoh legenda masyarakat Betawi pun diceritakan lahir di Rawa Belong. Bahkan makamnya bisa ditemukan di depan gedung Telkom, Jl. Palmerah No. 80. Di buku Iwan Mahmoed Al-Fattah, Pitung (Pituan Pitulung): Jihad Fi Sabilillah Para Pejuang Menyelamatkan Jayakarta, menjelaskan Pitung bukan nama orang, melainkan nama kelompok yang terdiri dari tujuh orang jawara yang membela kaum lemah dari penindasan kaum kafir penjajah. Salah satu aliran silat khas Betawi, Silat Cingkrik, juga berasal dari Rawa Belong dan makin menguatkan frasa kampung jawara di Rawa Belong.

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Seorang ibu memilih bandeng yang akan dibeli di lapak bandeng Rawa Belong, Pamelah, Jakarta Barat/Daan Andraan

Mencari Bandeng di Rawa Belong

Tiga hari menjelang Imlek, dengan menumpang ojek daring, aku menuju ke Rawa Belong. Sehari sebelumnya aku telah mencari info tentang lokasi para penjual ikan bandengnya. Motor pun berhenti di pertigaan Jl. Rawa Belong dan Jl. Sulaiman. Lapak-lapak penjual ikan bandeng yang hanya ada ketika menjelang perayaan Imlek ini berjejer di sisi jalan. Lapak tersebut begitu sederhana. Hanya terbuat dari meja kayu yang di empat sudutnya ada tiang bambu sebagai penyangga atap yang terbuat dari plastik, dan di atas meja berderet-bertumpuk ikan bandeng.

Setelah berkeliling, aku berhenti di salah satu lapak. Pak Ujang, nama bapak penjual bandeng bercerita tentang tradisi “Nganter Bandeng”. Hantaran bandeng ini biasanya dilakukan oleh calon menantu kepada calon mertua. Bandeng yang dibawa dalam bentuk besar sebagai tanda keseriusan dan ketulusan. Bandeng ini kemudian dimasak pindang oleh calon menantu perempuan dan dihidangkan ke keluarga calon mertua laki-laki. Tradisi warga Betawi tersebut kemudian diadopsi oleh orang-orang Tionghoa waktu itu dan menjadikan bandeng sebagai sajian Imlek.

Mengutip dari warisanbudaya.kemendikbud.go.id, J. J. Rizal mengatakan sajian ikan bandeng untuk Imlek hanya ada di Indonesia dan tidak ada di Tiongkok. Orang Tiongkok di Batavia pada saat itu menyerap bandeng dari kultur Betawi sejak abad ke-17. Dalam jamuan makan tatkala Imlek, bandeng disajikan di akhir sebagai lambang dan harapan rezeki berlimpah di masa mendatang. Makin besar ukuran ikan, maka makin besar pula rezeki yang akan diperoleh di masa mendatang.

Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta
Seorang calon pembeli dari atas motornya mengamati tumpukan bandeng jumbo di salah satu lapak Rawa Belong/Daan Andraan

Tradisi “Nganter Bandeng” Kini

Seorang Ibu yang sedang membeli ikan pun ikut nimbrung di percakapan kami. Zaman dahulu apabila ada ikan bandeng yang digantung di pagar rumah, itu menandakan ada seorang gadis yang belum menikah di rumah tersebut dan siap dipinang. Apabila bandengnya hilang, berarti ada seorang pemuda yang tertarik dengan sang gadis. Di masa sekarang, kalau ada yang menggantung ikan di pagar bukan diambil oleh pemuda yang akan datang melamar sang gadis, tetapi dicomot oleh kucing oren yang kelaparan, cerita sang ibu sambil terkekeh.

Tradisi “Nganter Bandeng” untuk menyenangkan hati mertua pun mulai pudar. Namun, ibu itu menambahkan pandangan menarik. Membeli dan memasak pindang bandeng pada saat Imlek, yang kemudian dimakan bersama-sama atau diberikan kepada keluarga yang lebih tua, masih menjadi tradisi yang mengakar di masyarakat Betawi di Jakarta.

Hal paling unik di lapak para penjual bandeng ini adalah ukuran bandeng yang jumbo. Pak Ujang mengatakan, ikan-ikan ini memang dipelihara sampai berukuran besar dan dipanen untuk dijual menjelang Imlek. Tambak di daerah Cilincing dan Tangerang menjadi sentra pemasok bandengnya. Sementara di lagu Penjual Ikan yang didendangkan Lilis Suryani saja, penyanyi lawas tahun 1960-an, bercerita tentang penjual ikan bandeng yang mengambil ikannya di empang Muara Karang.

Aku pun membeli dua ekor bandeng jumbo seberat tiga kilogram dengan harga Rp240.000 di lapak Pak Ujang. Di atas ojek daring yang mengantarku pulang, anganku dipusingkan, akan ke mana ikan-ikan bandeng ini kuberikan. Pasangan saja tidak punya, apalagi calon mertua!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bandeng Rawa Belong: Kekerabatan Budaya Betawi dan Perayaan Imlek di Jakarta appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bandeng-rawa-belong-kekerabatan-budaya-betawi-dan-perayaan-imlek-di-jakarta/feed/ 0 41136
Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-simbol-persatuan-di-balik-perbedaan/ https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-simbol-persatuan-di-balik-perbedaan/#comments Thu, 31 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39706 Setiap hari, Pasar Lama Tangerang selalu ramai. Terlebih saat musim liburan.  Kebetulan saya mengunjunginya di akhir pekan. Tentu saya harus berhadapan dengan kemacetan Kota Tangerang dan menyelam di tengah lalu-lalang warga. Namun, kalau masuk gang-gang...

The post Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan appeared first on TelusuRI.

]]>
Setiap hari, Pasar Lama Tangerang selalu ramai. Terlebih saat musim liburan.  Kebetulan saya mengunjunginya di akhir pekan. Tentu saya harus berhadapan dengan kemacetan Kota Tangerang dan menyelam di tengah lalu-lalang warga.

Namun, kalau masuk gang-gang sempitnya mungkin bisa sedikit bernafas lega. Seperti yang saya lakukan tempo hari, guna menghindari keramaian di ruas utama Pasar Lama Tangerang. Gang-gang sempit dengan segala keriuhannya setia menemani setiap langkah saya.

Yang menjadi kekhawatiran saya adalah keberadaan copet yang beraksi di tengah-tengah kerumunan. Untungnya selama penelusuran di Pasar Lama Tangerang saya diberikan keselamatan lahir batin. Pun saya mendapatkan kenikmatan seusai berkeliling. Rasanya tidak cukup satu minggu atau satu bulan untuk menjelajahi tempat ini.

Keterbatasan waktu membuat saya hanya memiliki tujuan utama, tepatnya berada di balik pertokoan Jalan Kisamaun atau ruas utama Pasar Lama Tangerang. 

Museum Benteng Heritage: Rekam Jejak Peranakan Tionghoa Tangerang

Perjalanan saya ke Pasar Lama Tangerang sebenarnya sekadar iseng untuk memeriahkan Tahun Baru Imlek lalu (22/01/2023). Selepas mengantar saudara ke Bandara Soekarno-Hatta, saya putuskan menuju Pasar Lama di Sukasari, Kota Tangerang.

Karena bertepatan dengan akhir pekan dan perayaan Tahun Baru Imlek, kawasan Pasar Lama Tangerang penuh lautan manusia dan stan jajanan kekinian. Setelah memarkirkan kendaraan, saya lanjut berjalan kaki menyusuri Pasar Lama. Saya sudah memiliki target destinasi di sekitar Pasar Lama, sehingga tidak butuh waktu lama mencapai tujuan. Berbekal rasa penasaran, saya masuk gang sebelah ruas utama Pasar Lama.

Gang di sepanjang Jalan Cilame Pasar Lama merupakan akses tercepat menuju Kelenteng Boen Tek Bio dan Museum Benteng Heritage. Dua tujuan utama saya. Kunjungan pertama saya adalah Museum Benteng Heritage Tangerang, sebuah museum peranakan Tionghoa milik pribadi, yaitu Udaya Halim. 

Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan
Tampak depan Museum Benteng Heritage di kawasan Pasar Lama Tangerang/Ibnu Rustamadji

Setelah menyampaikan izin dan maksud kedatangan, pengelola mengizinkan saya masuk untuk menikmati setiap detailnya. Namun sayang, ketika di dalam saya tidak boleh mengambil gambar. Saya memaklumi karena museum pribadi tersebut penuh dengan memorabilia peranakan Tionghoa Tangerang. 

Menginjakkan kaki ke dalam, rasa kagum dan senang campur aduk menjadi satu.  Bagi saya Museum Benteng Heritage adalah satu dari sekian banyak rumah peranakan Tionghoa di Indonesia yang masih terawat. Nuansa dan gaya bangunan khas peranakan Tionghoa sangat kentara terpampang di seluruh sisi museum.

Museum yang dahulu merupakan rumah peranakan Tionghoa ini awalnya milik keluarga Tionghoa bermarga Loa. Sebagaimana rumah milik taipan kala itu, rumah marga Loa pun sangat mewah. Rumah berlantai dua dengan elemen kayu jati utuh dan dua pasang daun pintu di setiap lantai. 

Pada ventilasi terdapat ukiran dan epitaf karakter Tionghoa. Lalu empat pilar persegi berukir menopang bagian tengah ruangan. Tujuannya supaya rumah tidak lembap dan memiliki sirkulasi udara yang baik. Bagian tengahnya terdapat relief Sie Jin Kui, bercerita mengenai jenderal perang Kwan Kong (160—220 M) yang hidup di masa Dinasti Tang pada abad ketujuh—kesepuluh. Dalam relief tergambar sang jenderal sebagai sosok pahlawan yang sangat dihormati lantaran kemenangan yang dia peroleh.

Namun, tidak ada catatan lebih lanjut tentang sepak terjang sang jenderal karena hanya sebagian relief yang ditemukan. Terlepas dari itu, rumah seorang taipan Tionghoa setidaknya terdapat satu altar sembahyang. Museum Benteng Heritage memiliki dua altar.

Setiap altar terpampang foto keluarga awal pemilik rumah, di antaranya Loa Tiang Lie, Khouw Pit Nio,  Loa Siong Lim, dan Loa Pek Yam. Ketika di masa kepemilikan Loe Tiang Lie, rumah ini pernah digunakan sebagai rumah lelang dan gudang ikan asin. Sedangkan keluarga lain berdagang kelontong.

Tidak menutup kemungkinan fungsinya sebagai rumah lelang dan gudang ikan, mengingat lokasinya tepat di pinggiran aliran sungai Cisadane, pusat nadi perekonomian Tangerang abad ke-18 hingga masa kemerdekaan. Semua itu terekam kuat di museum ini.

Adapun cerita mengenai masyarakat China Benteng di Tangerang sendiri cukup rumit dan kompleks. Sudah banyak peneliti dari luar negeri yang risetnya mengkhususkan mengenai masyarakat China Benteng.

“Kalau saya ceritakan hari ini, tentu Mas Benu tidak pulang!” canda Udaya Halim. Faktanya memang demikian. Kunjungan pertama kali tersebut membuat saya merasa tidak ingin pulang dan ingin mengenal lebih jauh kehidupan mereka. Namun, apa daya waktu berlalu cukup cepat dan saya harus segera melanjutkan perjalanan.

Saat keluar museum, mata saya tertuju pada tiga pintu utama museum. Tentu aneh apabila museum peranakan Tionghoa memiliki daun pintu layaknya warung makan. Ternyata, memang sejak dahulu pintu tersebut ada.

Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan
Penarik becak setia menunggu penumpang di tengah hiruk pikuk Pasar Lama Tangerang/Ibnu Rustamadji

Sejak pertama kali dibangun, Museum Benteng Heritage Tangerang tidak banyak berubah. Hanya saja saat pihak keluarga sempat mengosongkan rumah ini selama puluhan tahun karena pindah ke Jakarta, terjadi penjarahan di beberapa sudut.

Udaya Halim sejatinya tetangga depan rumah keluarga Loa—sekarang Museum Benteng Heritage. Udaya menjadi pemilik museum lantaran keluarga Loa menjual rumah leluhur mereka. Ia yang lahir dari kawasan pecinan Pasar Lama Tangerang sudah mengenal betul keluarga Loa.

Masa kecil Udaya Halim dikenal sebagai keluarga miskin, hingga tuan tanah mengusir mereka dari tempat mereka tinggal. Kini keluarga Udaya Halim, yang menaruh perhatian besar terhadap Museum Benteng Heritage, tengah mengumpulkan artefak mengenai sejarah China Benteng Tangerang untuk koleksi museum. Serta mengembalikan marwah Pasar Lama Tangerang, dengan komunitas China Benteng yang terkenal kala itu.

Menurut dia, “Artefak yang dibutuhkan tidak harus benda antik peninggalan jaman itu. Sepasang baju atau sandal, kalau pemiliknya memiliki cerita di dalamnya, bisa dimasukan dalam museum.”

Reproduksi foto dan silsilah keluarga Loa juga tengah berlangsung. Besar harapan agar rumah keluarga Loa tidak kehilangan sejarahnya dan diselamatkan untuk generasi mendatang. Selain itu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya bangunan tertua di kawasan pecinan Pasar Lama Tangerang maupun tempat lainnya. 

Kelenteng Boen Tek Bio: Wujud Persatuan dalam Perbedaan

Puas bercengkerama di Museum Benteng Heritage, perjalanan saya berlanjut ke Kelenteng Boen Tek Bio. Kelenteng tertua di Tangerang yang sudah ada sejak  1684. Pertama kali berkunjung, saya kira awalnya hanya lalu lalang teman-teman yang sembahyang saja. Ternyata lebih dari itu.

Tentu banyak yang beribadah di Hari Raya Imlek. Banyak pula rekan seperjalanan dan fotografer yang tengah mengabadikan kegiatan di luar kelenteng. Saya pun ikut lekas merekam momen yang ada. Tidak perlu keahlian khusus untuk mendapatkan momen terbaik. Tentu tetap harus mengutamakan tata krama. Selama saya hunting tidak sampai mengganggu jalannya ibadah mereka.

Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan
Wujud akulturasi budaya berbeda di Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang/Ibnu Rustamadji

Di tengah asyik mengambil gambar, tiba-tiba rasa iseng saya muncul. Saya masuk ke kelenteng dan ikut menyalakan hio di hiolo. Tentu saya mendapat izin melakukan itu setelah memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan kedatangan saya kepada pengurus.

Puas menyalakan hio tidak lupa saya mengucapkan terima kasih dan memohon maaf atas ketidaknyamanan yang saya buat. Saya pun kembali ke halaman kelenteng untuk mengabadikan momen-momen dari sudut pandang lain. Di sinilah awal mula saya kena iseng dari salah satu pengelola kelenteng. 

Ia tanpa basa-basi mempersilakan saya untuk mengobrol dan mengambil buah-buahan yang tersaji di sisi kiri kelenteng. Awalnya saya ragu untuk mengambil, karena waktu itu saya berpikir sajian tersebut untuk keperluan upacara di dalam. Ternyata yang berada di luar, siapa pun itu, boleh mengambil secukupnya.

“Mas, tadi kamu masuk kelenteng, ya? Kalau iya, silakan ambil ini buah-buahan. Dari mana asalnya?” tanyanya sambil mempersilakan saya mengambil buah.

Setelah saya memperkenalkan diri, ia tertegun sejenak dengan apa yang yang saya sampaikan. Ia tidak menyangka, saya yang datang dari Jawa Tengah memang sengaja iseng main ke Tangerang buat ikut perayaan Imlek. Apalagi saya seorang muslim dan mengunjungi kelenteng. 

Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan
Kondisi salah satu gang di sekitar Kelenteng Boen Tek Bio Tangerang/Ibnu Rustamadji

Ternyata saya sangat dihargai, karena tidak semua orang berani melihat ke dalam klenteng. Rekan-rekan fotografi mengabadikan momen hanya di halaman depan. Namun, balik lagi ke pembaca untuk menyikapi. Bukan menilai, tetapi ini fakta yang terjadi. Saya termasuk di antara ratusan rekan Tionghoa yang masuk ke kelenteng Boen Tek Bio.

Mengetahui hal tersebut, akhirnya ia memberi saya dua buah apel dan satu buah pir untuk bekal perjalanan. Setelah kira-kira 2,5 jam mengambil gambar di kelenteng, saya pun berpamitan dengan pengurus dan melanjutkan perjalanan ke Bogor.

Rasanya sangat menyenangkan melihat kerukunan antarumat beragama, suku, dan daerah asal setiap orang. Besar harapan saya tahun depan dan yang akan datang kerukunan seperti ini tetap terjaga. Tidak hanya saling bertoleransi, tetapi juga rukun dalam bermasyarakat. Seperti yang saya alami selama di Pasar Lama Tangerang.

Semoga.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pasar Lama Tangerang: Simbol Persatuan di Balik Perbedaan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-simbol-persatuan-di-balik-perbedaan/feed/ 1 39706