toko buku jogja Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/toko-buku-jogja/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 11 Aug 2024 14:28:26 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 toko buku jogja Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/toko-buku-jogja/ 32 32 135956295 Buku Akik Yogyakarta: Toko Buku dengan Konsep Baru https://telusuri.id/buku-akik-yogyakarta-toko-buku-dengan-konsep-baru/ https://telusuri.id/buku-akik-yogyakarta-toko-buku-dengan-konsep-baru/#comments Mon, 12 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42496 Pertama kali aku mengetahui Buku Akik adalah dari Instagram. Waktu itu, lagi scrolling di Instagram, tiba-tiba menemukan konten video tentang toko buku yang unik. Setelah kucermati, toko buku itu bernama Buku Akik. Lokasinya di Jogja....

The post Buku Akik Yogyakarta: Toko Buku dengan Konsep Baru appeared first on TelusuRI.

]]>
Pertama kali aku mengetahui Buku Akik adalah dari Instagram. Waktu itu, lagi scrolling di Instagram, tiba-tiba menemukan konten video tentang toko buku yang unik. Setelah kucermati, toko buku itu bernama Buku Akik. Lokasinya di Jogja. Sepintas dari video tersebut, tempatnya cukup ramai dengan pernak-pernik beragam bentuk dan warna yang memenuhi setiap sudut ruangan. 

Eh, iya. Namaku Leya. Aku tinggal di Semarang. Setelah melihat reels tadi, aku merasa tertarik. Keinginan untuk berkunjung muncul seketika. Soalnya aku jarang melihat toko buku yang estetis. Seperti jadi keunikan sendiri dan tampaknya cocok untuk mengisi konten pribadiku.

Buku Akik Yogyakarta: Toko Buku dengan Konsep Baru
Kutipan menarik di depan pintu masuk/Aldino Jalu Seto

Kunjungan Pertamaku

Setelah penantian beberapa waktu, di bulan April lalu, akhirnya aku punya kesempatan untuk datang ke Buku Akik. Apa yang menjadi bayanganku dari Instagram dengan realitasnya ternyata tak jauh berbeda—bukan berarti sama persis.

Aku kira, lokasinya di seberang Jalan Kaliurang. Namun, setelah dicari, ternyata tempat ini masuk ke dalam gang desa sampai beberapa belokan. Agak susah, sih, mencarinya. Walau setelah dipikir-pikir, letaknya cukup strategis karena tidak terlalu berisik dengan keramaian jalan raya. 

Tampak dari luar, kita disambut dengan tempat duduk yang berbentuk mirip seperti mesin tik jadul. Lengkap dengan huruf dan angka di setiap kursinya. 

Tak kalah menariknya, aku melihat bangunan dari toko buku ini mencolok dengan batu bata merah yang menjadi ciri khas. Terdapat jendela-jendela besar, termasuk yang paling ikonis adalah jendela yang di bawahnya terdapat dua buah kursi, lalu di atasnya bertuliskan “Buku Akik” dan “Independent Bookstore”.

Aku juga mengira jika tempat ini cukup luas dan terdapat beberapa ruangan yang digunakan untuk memajang buku. Akan tetapi, begitu pertama masuk, ternyata tak seluas bayanganku. Tidak terlalu luas, tetapi juga tidak terlalu sempit. Mirip seperti perpustakaan rumahan.

Meskipun begitu tempat ini cukup nyaman. Mungkin karena banyaknya tumpukan buku yang tingginya bisa mencapai tiga meter. Dan mungkin karena saking banyaknya pernak-pernik yang dipajang, membuat tempat ini serasa kecil. 

Kesan pertamaku terhadap Buku Akik adalah, “Wah, banyak sekali barang-barang lucu, apalagi ditambah dengan tone warna yang kecokelatan yang menjadikan impresinya hangat dan sangat homey,” ujarku dalam hati sambil mataku menjelajah ke seluruh ruangan. 

Ragam dekorasi mengisi setiap sela rak di Buku Akik. Ada foto, lukisan, tanaman, Lego, action figure, patung, piringan hitam lengkap dengan alat putarnya, dan mesin tik.

Yang Membedakan Buku Akik dengan Toko Buku Lainnya

Di Buku Akik, interiornya memancarkan suasana era tempo dulu. Termasuk gambar tokoh revolusioner, seperti Tan Malaka. Namun, masih ada juga beberapa hiasan yang identik di zaman modern, seperti miniatur rumah yang mirip dengan instalasi mini Buku Akik. Karena keunikan dekorasi dan pernak-pernik ini, orang biasa menyebut Buku Akik memiliki nuansa Ghibli.

Ghibli adalah studio animasi Jepang yang didirikan Hayao Miyazaki dan Isao Takahata pada 1985 di Koganei, Tokyo. Studio ini dikenal menghasilkan film dengan visualisasi yang memanjakan mata, seperti My Neighbor Totoro, Kiki’s Delivery Service, dan Ponyo. Keunikan dari film-film itu terletak di tone atau nada warna yang unik dan konsisten digunakan oleh sang sutradara. Tone warna tersebut menjadi sebuah daya tarik bagi masyarakat untuk membuat hal serupa, lalu memunculkan sebuah diksi “Ghibli vibes” atau suasananya Ghibli banget. 

Oleh karena itu, aku menduga Buku Akik terinspirasi dari Studio Ghibli. Alasannya, terdapat banyak kesamaan, mulai dari warna hingga karakter-karakter menggemaskan yang menjadi hiasan di Buku Akik. Namun, meriahnya dekorasi tak mengaburkan Buku Akik sebagai toko buku. Buku-buku baru tetap dipajang di sana. Judul-judul buku yang tak familiar di benakku juga banyak tersaji di raknya.

Menurut kabar yang aku dengar dari beberapa kawan, Buku Akik ini adalah toko buku independen. Prinsip itu jelas tertulis di jendela kaca yang terletak persis di depan toko. Aku melihat banyak buku yang tak banyak diketahui orang. Aku mengira, independensi dari Buku Akik ini sampai mengarah ke tata letak penempatan buku-buku yang dijual.

Aku membaca sebuah wawancara Mojok.co dengan Tomi Wibisono (13/12/2022). Pemilik Buku Akik itu bilang, buku-buku yang ditaruh di tempat yang sering dilihat—atau dianggap strategis—bukanlah buku-buku best seller atau sering ditemui di toko buku besar. Ia menempatkan buku-buku yang (memang) perlu dibaca oleh para pembaca, atau dianggap penting untuk dibaca menurut Tomi. 

Menurutku, konsep ini cukup menarik karena sepertinya Buku Akik jadi tidak kaku. Berbeda dengan pakem toko-toko buku besar lainnya. Sepertinya, Tomi ingin membantu para penulis kecil yang tulisannya menarik untuk dibaca, tapi tidak memiliki kesempatan untuk memperluas jangkauan bukunya. 

Buku Akik Yogyakarta: Toko Buku dengan Konsep Baru
Instalasi miniatur toko Buku Akik/Aldino Jalu Seto

Hal menarik lainnya yang saya lihat adalah penggabungan antara toko buku dengan perpustakaan. Melihat perpustakaan di dalam toko buku memberikan sebuah perspektif baru tentang toko buku. Aku cukup antusias ketika melihat koleksi di perpustakaan yang menyatu dengan toko buku itu. Ternyata tak hanya aku, orang yang kuajak ke Buku Akik pun terkejut dengan koleksinya. 

“Wah, koleksinya bagus-bagus sekali. Kayaknya aku bisa deh bertapa di sini buat membaca. Kalau semisal toko ini tak jauh dari Kota Jogja, tiap hari aku bakal ke sini,” ujarnya sambil senyum-senyum siput. 

Aku sempat salah fokus dengan keberadaan meja yang bisa memuat sampai enam orang. Letaknya di tengah-tengah ruangan sempit itu. Meja tersebut bertuliskan sebuah instruksi agar tidak mengerjakan tugas di sana, tetapi hanya boleh membaca. Setelah sebelumnya dibuat kagum dengan segala pernak-pernik sekaligus koleksi mereka, sekarang kian kagum dengan kepekaan para pengelola Buku Akik tentang pentingnya literasi.

Sebetulnya, lawatanku ke sana hanyalah ingin melihat keunikan dari toko buku ini. Namun, ternyata kedatanganku justru membawa ke sebuah perspektif baru tentang konsep toko buku.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Buku Akik Yogyakarta: Toko Buku dengan Konsep Baru appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/buku-akik-yogyakarta-toko-buku-dengan-konsep-baru/feed/ 2 42496
Boekoe Theotraphi Jogja: Harapan Kebangkitan Toko Buku Alternatif? https://telusuri.id/boekoe-theotraphi-jogja-harapan-kebangkitan-toko-buku-alternatif/ https://telusuri.id/boekoe-theotraphi-jogja-harapan-kebangkitan-toko-buku-alternatif/#respond Wed, 27 Sep 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39873 Belakangan ini kita terkejut dengan tutupnya toko buku Gunung Agung yang telah berjaya selama hampir 70 tahun. Banyak pihak yang cukup menyayangkan keputusan tersebut. Beberapa pihak turut menilai adanya senja kala bagi ruang hidup literasi...

The post Boekoe Theotraphi Jogja: Harapan Kebangkitan Toko Buku Alternatif? appeared first on TelusuRI.

]]>
Belakangan ini kita terkejut dengan tutupnya toko buku Gunung Agung yang telah berjaya selama hampir 70 tahun. Banyak pihak yang cukup menyayangkan keputusan tersebut. Beberapa pihak turut menilai adanya senja kala bagi ruang hidup literasi di negeri ini.

Alih-alih menilai minat baca masyarakat yang rendah, sejumlah pihak menganggap penutupan toko legendaris tersebut lebih karena pengelolaan yang kurang optimal. Tata kelola tersebut berhubungan dengan adanya peralihan antara konsumsi buku masyarakat dan industri buku yang terjadi hari ini.

Sejalan dengan itu, saya tertarik untuk menelusuri kembali seberapa relevan kehadiran toko buku sekarang. Mengingat arus teknologi dan informasi yang kian deras, membuat masyarakat kita rasanya tidak begitu perlu jika sekadar membaca buku.

Menyambangi Toko Buku Alternatif

Saya cukup bersyukur. Meskipun banyak toko buku besar perlahan menutup gerainya, akan tetapi tidak sedikit pula toko-toko buku alternatif yang bermunculan. Toko buku alternatif ini setidaknya dapat mempertemukan publik dengan buku, serta memberi ruang bagi siapa pun untuk terbiasa dengan membaca.

Salah satu toko tersebut mudah saya jumpai di pusat Kota Jogja, tepatnya Boekoe Theotraphi di Jl. Gendeng Centel No. 324, Muja Muju, Umbulharjo, Yogyakarta. Berbeda dengan toko buku besar yang belakangan mulai menunjukan gejala kematian, toko satu ini justru membawa konsep kecil layaknya berada di rumah sendiri.

Konsep tersebut yang akan membuat siapa saja, termasuk saya, merasa begitu dekat dengan buku. Etalase buku yang mereka tampilkan tampak begitu mudah terjangkau oleh mata, sehingga saya tak perlu mengeluarkan banyak energi untuk sekadar mencari buku. Meskipun demikian, judul-judul buku yang mereka tawarkan cukup inklusif bagi para penerbit independen yang juga sedang merintis usahanya.

Selain karena tempatnya yang cukup sederhana dan kecil, di toko ini saya merasa mudah merasa dekat dengan orang-orang yang berada di toko ini. Tak terkecuali oleh pemiliknya sendiri, Ahmad. Saya kerap menjumpainya sedang menunggui toko sembari sesekali mengajak ngobrol pengunjung yang mampir. Kedekatan tersebut menjadikan tempat ini tidak beroperasi dengan metode SOP yang ketat, melainkan membuat pengunjungnya seperti sedang menyambangi rumah sendiri.

Selain menjual buku, Boekoe Theotraphi juga menyediakan beberapa buku sehingga siapa pun dapat membaca secara gratis. Alhasil kesempatan tersebut tidak saya sia-siakan. Setidaknya sebelum menyesal membeli buku, saya bisa membacanya terlebih dahulu di perpustakaan. Jika sudah cocok dan sesuai, barulah saya membeli buku tersebut.

Boekoe Theotraphi Jogja: Harapan Kebangkitan Toko Buku Alternatif?
Kedai kopi Renaisansi yang letaknya seatap dengan Boekoe Theotraphi/Mohamad Ichsanudin Adnan

Tak berhenti di situ. Boekoe Theotraphi juga menyediakan sebuah kedai yang dapat dipesan sewaktu-waktu. Kedai bernama Renaisansi Coffee tersebut telah menyediakan berbagai menu makanan dan minuman yang dapat pengunjung pilih untuk menemani waktu membaca di bagian teras. Meskipun teras yang tersedia masih terlalu kecil, tetapi proses kedekatan antara saya dan pengunjung lain, bahkan pemiliknya sendiri, selama membaca dan ngopi di kedai itu ternyata membawa pengalaman tersendiri yang tak mudah terlupakan.

Di bagian depan beranda, terpampang dengan cukup jelas sebuah kalimat “Tidak Menjual Buku, Tapi Menyebarkan Ilmu”. Selama perbincangan saya dengan Ahmad, saya menangkap adanya semangat di balik rangkaian kata tersebut. Semangat tersebut menegaskan ulang eksistensi dirinya hari ini, serta cara pandang baru untuk melihat toko buku bukan sekadar aktivitas memutar kapital. Lebih dari itu, toko buku hadir untuk menjembatani sumber pengetahuan dengan pembacanya.

Maka tak heran Boekoe Theotraphi menginisiasi banyak forum publik yang berlangsung secara rutin. Forum tersebut di antaranya berupa diskusi, bedah buku, rangkaian kelas, hingga aksi-aksi panggung yang telah mewadahi banyak seniman hingga penyair muda di Kota Jogja.

Bangkitnya Toko Buku

Berbeda dengan toko buku konvensional yang perlahan karam karena hanya menyediakan buku kepada masyarakat, dan berjalan sekadar meraup untung sebesar-besarnya. Boekoe Theotraphi berupaya menerapkan model strategi yang tepat guna melihat bergesernya tren konsumsi buku oleh masyarakat hari ini.

Toko buku tidak hanya menjadi etalase mati yang siapa pun harus mengeluarkan uang untuk bisa membacanya. Toko buku mesti mengupayakan tersebarnya pengetahuan dan menyediakan wadah kontak antara sumber ilmu dengan pembacanya. 

Selain itu hadirnya forum-forum publik di Boekoe Theotraphi sejatinya turut menghidupkan kembali kebutuhan sejumlah komunitas kecil di Jogja akan tersedianya ruang. Kebutuhan ini ditopang dengan pengetahuan yang dapat diakses melalui perpustakaan mereka, rasa betah ketika menyeruput kopi, kehangatan ketika duduk dan berbincang bersama tanpa mengenal batas gender dan ras, hingga ruang aktualisasi untuk siapa pun mempresentasikan gagasannya.

Selama menyambangi Boekoe Theotraphi, sejatinya saya menemukan kembali kebangkitan toko buku yang akan terus-menerus menghidupi iklim literasi kita di masa mendatang. Strategi semacam inilah yang kiranya perlu untuk dihidupi secara berkelanjutan. Sehingga toko buku bukan lagi mati karena alasan minat baca, melainkan gagal melihat eksistensi dirinya sendiri dengan tren yang berkembang di masyarakat saat ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Boekoe Theotraphi Jogja: Harapan Kebangkitan Toko Buku Alternatif? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/boekoe-theotraphi-jogja-harapan-kebangkitan-toko-buku-alternatif/feed/ 0 39873