tokoh Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tokoh/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 04 Jan 2023 11:00:05 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 tokoh Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tokoh/ 32 32 135956295 Rifqy Faiza Rahman: Meniti Hidup dalam Ekowisata https://telusuri.id/rifqy-faiza-rahman-meniti-hidup-dalam-ekowisata/ https://telusuri.id/rifqy-faiza-rahman-meniti-hidup-dalam-ekowisata/#respond Thu, 12 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36854 Namanya Rifqy Faiza Rahman, seorang penulis dan pegiat pariwisata. 13 tahun yang lalu, dirinya mungkin tidak akan menyangka memilih jalan ini sebagai titian hidup. Pariwisata dan perjalanan adalah ruh yang menghidupkannya untuk terus belajar dan...

The post Rifqy Faiza Rahman: Meniti Hidup dalam Ekowisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Namanya Rifqy Faiza Rahman, seorang penulis dan pegiat pariwisata. 13 tahun yang lalu, dirinya mungkin tidak akan menyangka memilih jalan ini sebagai titian hidup. Pariwisata dan perjalanan adalah ruh yang menghidupkannya untuk terus belajar dan berkelana. Dengan label “Papan Pelangi”, ia terus menulis di berbagai media, dan mendalami ekowisata sebagai jati dirinya di dunia pariwisata.

Saat usia tiga tahun, ia harus ikut bapaknya ke Sidoarjo—karena suatu alasan—hingga lulus SMA. Bakat jalan-jalannya sudah terendus semenjak kecil, kala ia harus ikut mudik ke Pacitan setiap lebaran maupun libur panjang. Jarak tempuh yang berkisar 275 kilometer inilah yang jadi cikal bakal dirinya menggemari perjalanan. 

Saat berkuliah, ia memilih jurusan Agribisnis di Universitas Brawijaya. Selama berkuliah, kegemarannya jalan-jalan semakin tersalurkan kala ia menyukai aktivitas naik gunung dan bertemu teman-teman yang hobi touring, budaya, hingga masalah sosial. Meskipun ia bukan seorang anak mapala, kecakapannya soal mountaineering ia dapat dari teman-teman perjalanannya, yang secara rutin menjelajah gunung-gunung yang ada di Jawa. Naik gunung adalah obat dari suntuknya rutinitas kaum urban, begitu pula Rifqy semasa kuliah. Secara khusus, Rifqy tipikal orang yang kurang menyukai destinasi populer. Sesekali, iya. Tapi dia lebih menyukai untuk tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu tertentu dan menggali cerita.

semeru
Kala mendaki Semeru di tahun 2012/Rifqy Faiza Rahman

Kota Malang, tempat ia menuntut ilmu selama beberapa tahun, menjadi tempat yang tepat baginya untuk berkembang. Dari kota yang selama ini terkenal dengan destinasi wisata populer—orang menyambanginya untuk sekedar berlibur atau menghabiskan akhir pekan—kemudian tercetuslah ide bisnis pariwisata.

“Anak-anak mahasiswa bisa nih nyari duit sambilan dari pariwisata,” pikirnya saat itu. Dengan pengalaman naik gunung dan tekad untuk mendapatkan uang tambahan, ia berhasil menjalankan usaha pertamanya. Di tahun itu, 2015, segala sesuatu sudah tampak lebih terang baginya, meskipun pariwisata yang ia kenal masih sebatas pariwisata umum. 

Kemampuan berkelananya kemudian juga disokong dengan kemampuan menulis, yang ia tekuni semenjak SMA melalui blogging. Menulis, tidak hanya bisa menyampaikan gagasan mengenai alam pikirannya yang sudah berkelindan dengan budaya yang plural, tetapi juga menjadi penyokongnya untuk mendapatkan pengalaman menulis yang lebih paripurna, plus apresiasi berupa uang. 

Ia mengasah kemampuan menulisnya dengan banyak mengirimkan tulisan di berbagai media seperti majalah penerbangan, koran-koran, dan media daring. Kalau soal tulisan perjalanan, Rifqy memfavoritkan tulisan-tulisan di National Geographic, terutama tulisan dari Pico Iyer dan Mark Jenkins; yang menurutnya tidak hanya sekedar membagikan tips-tips perjalanan, tetapi lebih personal; menyajikan cerita dari sudut pandang yang semestinya.

Kenapa “Papan Pelangi”? Pemilihan nama pena ini sebenarnya dari kebingungan dia. Mau menggunakan nama sendiri rasanya kurang menjual. Terbesitlah pemikiran filosofis di kepalanya. Dia mengandaikan Indonesia sebagai rumah—dengan kata lain papan—tempat beraktivitas, tempat hidup, dan tempat hingga akhir hayat. Sedangkan pelangi adalah perlambangan kemajemukan negara Indonesia—di luar konteks LGBT pada masa sekarang.

Perubahan Memandang Pariwisata

Apa yang menjadi perubahan terbesar dalam memandang pariwisata? Rifqy bercerita saat di NTT, tepat sebelum wisuda, dia mendapatkan “pencerahan” dalam pengetahuan pariwisata. Menurutnya, pariwisata di Indonesia, kebijakan-kebijakannya masih mengarah ke mass tourism. Perkembangan media sosial yang drastis, cukup untuk melabeli kawasan wisata sebagai “viral”, “populer”, atau “trending”. Spot foto berbentuk hati dan atraksi wisata yang diada-ada adalah hal yang konyol. “Ini adalah sisi buruk dari pariwisata,” jelas Rifqy.

Rifqy sempat berkarir di salah satu instansi sebelum akhirnya pandemi menyergap, dan memberi dia waktu untuk belajar ekowisata. “Sejak lama sebenarnya aku sudah kenal dengan salah satu pakar ecotourism, namanya Pak Nurdin Razak. Beliau itu mantan dosen pariwisata Universitas Airlangga, Surabaya, yang sekarang mengelola penginapan berbasis lingkungan, Baluran Eco Lodge,” paparnya. Pak Nurdin Razak adalah salah satu pemain utama ecotourism di Jawa Timur dan sedikit di antara pelaku ecotourism di Indonesia. 

Rifqy kemudian menimba ilmu langsung dengan Pak Nurdin di Situbondo. Setelah beberapa kesempatan, Rifqy mulai yakin memilih ekowisata sebagai way of life in tourism. Akhirnya, mereka berkolaborasi dalam mengadakan paket ekowisata.

“Saya diizinkan untuk menjual paket beliau, tapi juga saya ingin punya signature sendiri, makanya pertengahan tahun ini (2022) saya pindah ke Magelang dan membangun paket ekowisata di sekitar Borobudur.”

“Sampai saat ini, hampir belum ada sih yang khusus main di ecotourism (di sekitar Borobudur),” tambahnya.

Dalam menjalankan usaha ekowisata, Rifqy berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis dan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat di sekitar destinasi pariwisata bukan hanya, objek tapi juga aktor yang perlu pendampingan dan pemberdayaan. Perannya sebagai penulis lantas memudahkannya untuk menyuarakan tentang pariwisata berkelanjutan. Ia sebisa mungkin ingin ikut aktif dalam menyuarakan pariwisata dengan model yang lebih ramah lingkungan. 

“Pariwisata ini udah hampir jenuh. Beberapa tempat kayak Bali, ada jurnal penelitian yang menulis bahwa Bali terancam menjadi the destination of yesterday,” tuturnya. Benar saja, Andrew Marshell dalam salah satu artikel di majalah Time terbitan April 2011, menyebut Bali adalah tempat berlibur yang serasa “neraka”, sebabnya: sampah yang sudah tidak dapat ditolerir, kemacetan yang semakin membludak, dan limbah industri yang mempengaruhi kualitas air dan tanah. Belum lagi video seorang warga asing yang sedang berselancar di laut yang dipenuhi sampah yang sempat viral. Akankah keindahan Bali hanya menjadi cerita bagi generasi mendatang?

Dalam manajemen trip, ia mengakui bahwa banyak belajar dari naik gunung. Naik gunung, menurutnya bukan hanya sekedar olahraga alam bebas. Medan yang relatif ekstrim membuat para peminatnya harus mematangkan segala sesuatu sebelum eksekusi. Untuk itu, manajemen yang baik diperlukan agar keberangkatan dan kepulangan berbuah keselamatan. Selain praktik manajemen, ia merasa naik gunung bisa lebih membuka pikiran dan menurunkan ego.

“Orang bilang kalau naik gunung itu kelihatan teman-teman kita sifat aslinya, itu dibutuhkan jiwa kepemimpinan dan keterbukaan hati, supaya dalam perjalanan berangkat dan pulangnya dengan selamat. Soal foto dan konten, itu bonus.”

Ketika saya bertanya kemungkinan jalan lain yang ia pilih selain berkecimpung menjadi seorang praktisi ekowisata, Rifqy tertawa renyah.

“Tertarik buat jadi dosen nggak?”

“Kalau saya menjadi dosen, entahlah. Saya aja sekolah S1 molor,” diiringi gelak tawa yang membahana, “tapi mungkin tetap akan mengambil S2, tapi dengan tujuan memperkuat praktik. Nggak harus jadi dosen, biar luwes.”

Rifqy mulai memanggil kembali ingatannya kala berkuliah. Di mata dosen-dosennya, Rifqy termasuk “bandel”. Waktu pengerjaan skripsi yang lama membuat para dosen bertanya-tanya, “mau lulus atau nggak sih?” Tapi ada beberapa dosen yang kemudian mengerti alasan keterlambatannya mengerjakan skripsi.

“Oh, mungkin si Rifqy ini passion-nya menulis, di pariwisata. Ada minat yang sangat besar di situ,” kenangnya menirukan ucapan dosen. Kemudian dosennya menyarankannya untuk segera lulus agar bisa lebih fokus mengerjakan apa yang ia gemari. Terbaru, Rifqy diundang para dosennya untuk menjadi konseptor pengabdian masyarakat yang mengarah ke ekowisata. 

bersama mentor
Bersama sang mentor, Nurdin Razak/Rifqy Faiz Rahman

“Yang bikin saya senang adalah dosen saya mengapresiasi saya, memberikan tempat pada saya bahwa ‘ini loh ada lulusan UB yang konsisten di jalurnya’. Mungkin dunia saya di sini.”

Tantangan yang dihadapi Rifqy dalam menjalani hidup di “jalan” ekowisata dan menulis adalah konsistensi. Seberapa kuat bisa memegang komitmen di awal, dan seberapa konsisten dalam pembuatan program. Tiap hari, ia harus terus mengasah kreativitas untuk selalu menemukan hal-hal baru untuk dieksplorasi. “Konsisten adalah yang benar-benar berat, aku rasa.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Rifqy Faiza Rahman: Meniti Hidup dalam Ekowisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rifqy-faiza-rahman-meniti-hidup-dalam-ekowisata/feed/ 0 36854
Junko Tabei, Perempuan Pertama yang Mencapai Tujuh Puncak Dunia https://telusuri.id/sejarah-hidup-junko-tabei/ https://telusuri.id/sejarah-hidup-junko-tabei/#respond Thu, 11 Jun 2020 15:16:00 +0000 https://telusuri.id/?p=12878 Pagi hari, 16 Mei 1975. Kala itu Junko Tabei sudah beranjak dari South Col. Puncak Everest sudah semakin dekat. Kurang dari dua minggu sebelumnya, longsoran salju (avalanche) memorak-porandakan kamp Tabei di ketinggian 6.400 mdpl. Kengerian...

The post Junko Tabei, Perempuan Pertama yang Mencapai Tujuh Puncak Dunia appeared first on TelusuRI.

]]>
Pagi hari, 16 Mei 1975. Kala itu Junko Tabei sudah beranjak dari South Col. Puncak Everest sudah semakin dekat. Kurang dari dua minggu sebelumnya, longsoran salju (avalanche) memorak-porandakan kamp Tabei di ketinggian 6.400 mdpl. Kengerian tentu masih tersisa. Dari lima belas pendaki Jepang yang berangkat dalam ekspedisi khusus perempuan itu, hanya Tabei yang pagi itu mencoba ke puncak, ditemani oleh seorang sirdar (pemimpin Sherpa) bernama Ang Tshering Sherpa.

Di hadapannya sekarang adalah sebuah punggungan terjal, batas alami antara Nepal dan China, dan di ujung sana adalah Hillary Step yang legendaris. Untuk melewatinya, Tabei mesti melipir lewat pijakan tipis setajam pisau—berlipat-lipat lebih berat ketimbang jalur traversing sebelum Puncak Merbabu via Wekas. Pilihan hanya dua: lanjut atau turun.

Junko Tabei mendaki Ismoil Somoni Peak (dulu Communism Peak) di Tajikistan (1985) via commons.wikmedia.org/
Jaan Künnap

Tapi Tabei tak mungkin turun. Ekspedisi ini lebih dari sekadar persoalan menginjakkan kaki di puncak: ini adalah pembuktian. “Dulu sekitar (tahun) 1970-an di Jepang, merupakan sebuah anggapan umum bahwa kaum prialah yang bekerja di luar dan para perempuan tinggal di rumah,” ungkap Junko Tabei dalam wawancara dengan The Japan Times.

Ekspedisi khusus perempuan itu sendiri minus dukungan. Sponsor utama mereka hanya dua perusahaan media di Jepang. “Kami disarankan (bahwa) semestinya kami (sekadar) membesarkan anak-anak saja,” kenang Tabei dilansir dari artikel Tomoko Otake di The Japan Times.

Setelah beristirahat sebentar, Junko Tabei bersama Ang Tshering melanjutkan pendakian. Dengan penuh determinasi, Tabei melewati jalur hidup-mati itu. Ia genggam erat-erat punggungan itu. Kakinya yang beralaskan crampon tak henti-henti mencari pijakan aman di salju. Ia berhasil. Selebihnya adalah sejarah.

“Hal yang berharga dari momen itu adalah, selain dari menjadi perempuan pertama (yang berdiri) di sana, puncak (Gunung) Everest indah bukan main, tanpa sebuah benda buatan manusia pun yang tampak dalam pandangan,” kenang Tabei sebagaimana ditulis oleh Tim Hornyak untuk The Japan Times.

Saat kecil rapuh, ketika dewasa membuat sejarah

Junko Tabei lahir di Miharu, Prefektur Fukushima, 22 September 1939. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Tim Hornyak menulis bahwa, secara fisik, Junko Tabei bukan seorang anak yang kuat. Ia tidak olahraga. Bahkan, beberapa kali ia juga terkena pneumonia.

Tapi, di kelas empat sekolah dasar, saat berumur 10 tahun, ia turut serta mendaki Gunung Nasu dan Gunung Asahi di Gugusan Pegunungan Nasu, Prefektur Tochigi, bersama seorang guru dan teman-teman sekelasnya. “(Pengalaman itu) sangat berkesan dan aku ingin terus (melakukannya). Itulah awal mula (pendakian gunung) bagiku dan aku masih bisa merasakan (sensasinya),” kenang Tabei.

Aktivitas pendakian Junko Tabei jadi semakin intens ketika ia kuliah. Ia bergabung dengan kelompok pencinta alam di Showa Woman’s University. Lulus kuliah ia belajar teknik pendakian musim dingin (winter mountaineering). Lalu, menyadari bahwa saat itu klub-klub pendakian di Jepang masih terbatas untuk laki-laki, tahun 1969 ia mendirikan Ladies Climbing Club (LCC), klub pendakian khusus perempuan pertama di Jepang, yang slogannya “Let’s go on an overseas expedition by ourselves.”

Setahun setelah klub ini terbentuk, Junko Tabei mencatatkan diri sebagai perempuan pertama yang menginjakkan kaki di titik tertinggi Annapurna III.

junko tabei
Ismoil Somoni Peak (dulu Communism Peak) tahun 1985. Dari kiri: Alfred Lõhmus, Jaan Künnap, Kalev Muru, Junko Tabei, dan Ilmar Priimets + dua alpinis Jepang duduk di depan: Nobuko Yanagisawa (kiri) dan Mayuri Yasuhara via commons.wikimedia.org/Jaan Künnap

“Karir” pendakian Tabei jelas tak berhenti di Annapurna III. Puncak Everest ia daki tahun 1975. Puncak Uhuru Kilimanjaro ia tapaki tahun 1980. Ia ke Aconcagua tahun 1988, terus ke Elbrus setahun kemudian (1989). Musim 1990-1991 giliran Vinson Massif di Antartika yang ia datangi. Setahun kemudian, saat mencapai Puncak Jaya tanggal 28 Juni 1992, perempuan Jepang itu mengaveling tempat dalam sejarah sebagai perempuan pertama yang berhasil menginjakkan kaki di tujuh puncak tertinggi di tujuh benua (the Seven Summits).

Pencapaian itu, tulis Amanda Padoan dalam sebuah artikel Outside, “… hanya berselang sembilan tahun setelah (ide the Seven Summits) pertama kali digagas oleh Dick Bass.”

Warisan Junko Tabei

Sebagai pendaki yang sudah ke mana-mana—the Seven Summits dan sekitar tujuh puluh puncak di tujuh puluhan negara—Junko Tabei tentu sudah melihat banyak; ia menyadari bahwa aktivitas pendakian gunung berdampak pada lingkungan.

Bulan Oktober 1990 ia mendirikan Himalayan Adventure Trust Japan (HAT-J). Gerakannya, sebagaimana Himalayan Adventure Trust yang digagas Sir Edmund Hillary, adalah mempromosikan konservasi lingkungan pegunungan. Anggotanya sudah lebih dari 1.400 orang.

Kegiatan HAT-J bermacam-macam, dari mulai memungut sampah, trekking di dalam/luar Jepang, menanam pohon-pohon apel untuk menambah pemasukan masyarakat Himalaya, pembangunan dan pengelolaan pembakaran sampah di Lukla, Lembah Khumbu, sampai mengadakan program pertukaran pemuda tahunan bertema konservasi lingkungan pegunungan, “Cross-Cultural Mountain Conservation Youth Project.”

“Sibuk” mendaki gunung, Tabei tak melupakan pendidikan. Tahun 2000 ia meraih gelar master dari Kyushu University. Penelitiannya tak jauh-jauh dari tema pendakian, yakni persoalan sampah di Everest. “Salah satu risetnya adalah menghitung jumlah sampah yang terakumulasi sejak ekspedisi pendakian perdana Everest tahun 1923,” tulis Tomoko Otake, dikutip dari The Japan Times.

Melihat sepak terjangnya, barangkali kita akan sepakat bahwa, ketika ia meninggal 20 Oktober 2016 dalam usia 77 tahun karena kanker, Junko Tabei sudah menjalani hidup yang penuh. Menyitir Tomoko Otake, “Tabei menunjukkan pada sebuah generasi perempuan bagaimana (cara) memakai crampon dan mendaki melampaui segala keterbatasan.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Junko Tabei, Perempuan Pertama yang Mencapai Tujuh Puncak Dunia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sejarah-hidup-junko-tabei/feed/ 0 12878
Djamaluddin Adinegoro, Travel Writer Indonesia https://telusuri.id/travel-writer-indonesia/ https://telusuri.id/travel-writer-indonesia/#respond Tue, 02 Oct 2018 09:00:49 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=428 Di Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat, ada sebuah jalan panjang yang diberi nama Jl. Adinegoro. Letaknya di pinggir kota. Sudah masuk Padang coret sebenarnya. Berkendara sedikit saja lebih jauh kamu akan tiba di Kabupaten...

The post Djamaluddin Adinegoro, Travel Writer Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat, ada sebuah jalan panjang yang diberi nama Jl. Adinegoro. Letaknya di pinggir kota. Sudah masuk Padang coret sebenarnya. Berkendara sedikit saja lebih jauh kamu akan tiba di Kabupaten Padang Pariaman.

Lazimnya ruas jalan di pinggir kota, kawasan Jl. Adinegoro masih sepi. Lebih banyak semak belukar dan persawahan dibanding perumahan. Orang-orang pun tidak terlalu menggubris nama “Adinegoro” dan lebih senang menyebutnya sebagai daerah Lubuk Buaya. Maka tak heran jika tak banyak yang tahu Adinegoro itu siapa.

Untuk “berkenalan” dengan Adinegoro, sempatkan diri untuk mampir ke Museum Mbah Suro di Sawahlunto, kota tambang batubara yang dulu sempat jaya di pedalaman Sumatera Barat. Dinding museum itu penuh dengan reproduksi foto-foto zaman dahulu dan poster-poster berbau sejarah. Adinegoro ada dalam salah satu bingkai foto itu.

Kamu pasti tak akan menyangka bahwa ternyata Adinegoro punya hubungan darah dengan Muhammad Yamin, salah seorang tokoh Sumpah Pemuda. Adinegoro adalah adik Muhammad Yamin satu bapak lain ibu. Barangkali sebagian besar warga Kota Padang yang tiap hari lalu lalang di sana juga tidak akan menduga bahwa Adinegoro, yang namanya bernuansa Jawa, adalah putra Minangkabau.

Nama asli Djamaluddin Adinegoro adalah Djamaluddin gelar Datuk Maradjo Sutan. Lahir di Talawi (sekarang salah satu kecamatan di Sawahlunto) pada 14 Agustus 1904, ia adalah salah seorang pemuda Minangkabau zaman katumba yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi di Pulau Jawa.

Adinegoro adalah nama pena yang ia gunakan untuk menulis di surat kabar semasa bersekolah di salah satu sekolah paling bergengsi di Hindia Belanda, STOVIA. Ia terpaksa memakai nama pena sebab di masa itu para siswa sekolah dokter pribumi itu dilarang untuk menulis di surat kabar.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di STOVIA (1918-1925), ia berangkat ke Berlin, Jerman, untuk mendalami jurnalistik, geografi, kartografi, dan geopolitik. Lumayan lama ia di Eropa, sekitar lima tahun antara 1926 dan 1930. Dan selama itu pula ia menyambi menjadi wartawan lepas untuk Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Batavia).

Sekembali ke tanah air, Djamaluddin Adinegoro melanjutkan kiprahnya sebagai wartawan. Ia sempat memimpin beberapa surat kabar, seperti Pewarta Deli di Medan, Sumatera Shimbun, dan Mimbar Indonesia. Ia juga sempat mengabdi di Kantor Berita Nasional yang sekarang bernama Antara sampai menjadi Presiden Komisaris LKBN Antara.

Selain itu, ia juga turut andil mendirikan Perguruan Tinggi Jurnalistik di Jakarta dan Fakultas Publisistik dan Jurnalistik Universitas Padjadjaran. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama penghargaan jurnalistik paling bergengsi di Indonesia, yakni Adinegoro Award.

Selain tokoh wartawan, Djamaluddin Adinegoro barangkali bisa pula dikatakan sebagai salah seorang penulis perjalanan (travel writer indonesia), sebab jauh sebelum penulis perjalanan seperti HOK Tanzil, Norman Edwin, Teguh Sudarisman, Trinity, atau Agustinus Wibowo muncul, pada tahun 1930 Adinegoro sudah menerbitkan sebuah buku berjudul “Kembali dari Perlawatan ke Europa” yang berisi kisah perjalanan pulangnya dari Jerman ke tanah air.

Kembali dari Perlawatan ke Europa

“Kitab ini ditoelis dikapal ditengah laoetan besar. Meskipoen ombak kadang-kadang membikin kepala poesing tapi kewadjiban kita teroes didjalankan, mesin toelis tidak boleh dibiarkan pensioen menganggoer sadja.”—Djamaluddin Adinegoro

Alih-alih pulang naik kapal lewat jalur konvensional ke Hindia Belanda, ia memilih untuk melipir dulu ke Afrika, lewat Abyssinia (Ethiopia) dan Eritrea sebelum meneruskan perjalanan ke India dan Sri Lanka. Ia ingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri kondisi koloni-koloni lain Eropa. (Eritrea adalah koloni Italia sementara India dikuasai oleh Inggris.) Dengan mengunjungi kedua koloni bangsa Eropa itu, ia berharap bisa mendapatkan “sesuatu” untuk dibawa pulang ke Indonesia.

Lama di Eropa memang tidak serta merta membuat Adinegoro lupa Tanah Air. Bahkan selama di Eropa ia tak henti-hentinya memikirkan Indonesia. “Saja sekarang akan poelang ketanah air jang tidak saja loepakan satoe menit, selama saja didalam perantauan. Bertambah djaoeh kapal ke Selatan, makin besar hati saja” (Adinegoro, 1930: 16-17).

Sebagai travel writer Indonesia, ia mencatat segala yang dirasakan dan dijumpainya dalam perjalanan pulang yang mengharukan itu, dari mulai perpisahannya dengan tanah Jerman, kota-kota baru nan indah yang disinggahinya, sampai orang-orang yang ia temui sepanjang perjalanan.

Salah satu kisah yang menarik adalah ketika ia bertemu tiga orang Tionghoa di kapal. Dua orang awak kapal, satu orang pelajar. Menurutnya, tak peduli keluar negeri dengan alasan apa—belajar atau bekerja—para pemuda Tionghoa menjalaninya dengan bersemangat. Semua mereka lakukan demi kemajuan negaranya. Ia juga bercerita tentang teman-teman atau kenalannya dari Tionghoa ketika belajar di Jerman. Tak segan-segan ia mengungkapkan kekagumannya pada para anak muda Tionghoa yang bisa bicara banyak bahasa dan mampu menyerap dengan baik pendidikan Barat, namun di sisi lain tidak melupakan akar mereka, yakni budaya Timur.

Yang juga menarik adalah pendapat Adinegoro soal melakukan perjalanan. Menurutnya, jalan-jalan ke daerah lain di Nusantara akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan mengunjungi rekan-rekan di tempat lain, semangat persatuan akan muncul dan kita akan benar-benar menjadi seperti saudara.

Adinegoro membandingkan kebiasaan jalan-jalan di Eropa dan kebiasaan jalan-jalan di tanah air ketika itu. Menurut pengamatannya, orang Eropa lebih senang liburan ke tempat-tempat jauh, ke kota-kota lain, ke pantai, atau ke gunung. Sementara generasi muda di Indonesia lebih senang menghabiskan perlop alias cuti dengan berdiam diri di kamar. Ia menganggap bahwa bangsa Eropa itu bisa pintar bukan karena mereka sudah pintar sedari lahir, melainkan karena mereka suka mempelajari hal-hal baru, yang salah satunya bisa didapat melalui jalan-jalan.

Perjalanan panjangnya berakhir di Medan. Meninggalkan Medan selama lima tahun, ketika kembali ke kota itu ia terkaget-kaget dengan perubahannya. Kota semakin besar dan semakin banyak intelektual yang berkumpul di sana: “Dari sana ke Djawa dan kembali lagi ke Medan, roepanja besi berani (magneet) Medan ada lebih koeat.” Namun Djamaluddin Adinegoro di masa itu barangkali tidak menyangka bahwa suatu saat ia akan menjadi seorang tokoh nasional yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama jalan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Djamaluddin Adinegoro, Travel Writer Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/travel-writer-indonesia/feed/ 0 428
Inilah Para Perempuan Petualang Tangguh yang Kamu Perlu Tahu https://telusuri.id/para-perempuan-petualang-tangguh/ https://telusuri.id/para-perempuan-petualang-tangguh/#respond Wed, 19 Sep 2018 09:00:45 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=834 Selamat Hari Perempuan Sedunia, teman-teman TelusuRI! Untuk memperingati Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada beberapa hari yang lalu, TelusuRI akan menceritakan kisah beberapa perempuan yang melakukan petualangan gila. Perjalanan mereka begitu dramatis sampai-sampai beberapa di...

The post Inilah Para Perempuan Petualang Tangguh yang Kamu Perlu Tahu appeared first on TelusuRI.

]]>
Selamat Hari Perempuan Sedunia, teman-teman TelusuRI! Untuk memperingati Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada beberapa hari yang lalu, TelusuRI akan menceritakan kisah beberapa perempuan yang melakukan petualangan gila. Perjalanan mereka begitu dramatis sampai-sampai beberapa di antaranya sudah diangkat menjadi film. Siapa saja perempuan petualang ini dan bagaimana petualangannya?

1. Amelia Earhart, Pilot 

perempuan petualang tangguh

Amelia Earhart via atlasobscura.com

Meskipun pilot perempuan sudah lumayan banyak akhir-akhir ini, tetap saja angkanya belum cukup banyak untuk menandingi jumlah pilot laki-laki. Apalagi di masa lalu. Nah, di masa-masa pahit, tahun 1932, Amelia Earhart menjadi perempuan pertama yang terbang solo melintasi Samudra Atlantik. Lepas landas di Newfoundland, Amerika Serikat, dan mendarat di sebuah padang rumput di Culmore, Irlandia Utara, Amelia Earhart terbang sendirian selama 14 jam 56 menit.

Tentu saja Amelia Earhart tidak serta merta jadi pilot perempuan petualang pertama yang melintasi Samudra Atlantik sendirian. Ada proses yang panjang sebelum pencapaiannya itu. Ia pernah bekerja di industri penerbangan sebagai sales representative. Selain itu ia juga pernah mengisi sebuah rubrik penerbangan di surat kabar lokal. Namun sayang sekali, Amelia Earhart hilang di Samudra Pasifik saat ia mencoba mengelilingi dunia menggunakan pesawat. Sampai sekarang pun masih banyak yang bertanya-tanya tentang keberadaan perempuan petualang legendaris ini.

2. Maureen Wheeler, Co-Founder Lonely Planet

perempuan petualang tangguh

Tony (kiri) dan Maureen Wheeler (kanan) via outsideonline.com

Maureen Wheeler sama gilanya dengan suaminya, Tony Wheeler. Ia mau-mau saja diajak melakukan perjalanan “overland and sea” dari Inggris sampai Australia. Semula mereka ingin naik mobil sampai ke tujuan. Namun pada akhirnya mereka harus rela menjual mobilnya di sebuah titik sebab mustahil untuk membawanya melintasi wilayah tersebut, kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan transportasi umum.

Tiba di Bali, mereka duduk termenung di sebuah bar sambil memikirkan cara untuk menuju Australia—masalahnya uang mereka sudah hampir habis. Lalu mereka seperti mendapat cahaya terang sebab seorang kapten yacht asal Selandia Baru yang sedang mencari kru “untuk berlayar ke selatan” menghampiri mereka. Mereka pun senang sebab dapat tumpangan gratis. Akhirnya setelah perjalanan panjang mereka mendarat di pesisir barat Australia dengan uang hanya beberapa sen. Namun pendaratan mereka di Benua Kanguru itu menandai dimulainya sejarah buku panduan perjalanan legendaris, Lonely Planet.

3. Robyn Davidson, Naik Onta Sepanjang Australia

perempuan petualang tangguh

Robyn Davidson via proof.nationalgeographic.com

Road-trip dengan van, mobil, sepeda motor, atau sepeda sudah lazim dilakukan para petualang. Namun tidak banyak petualang yang bepergian dengan binatang. Robyn Davidson, entah apa yang ada dalam kepalanya saat memulai petualangannya pada tahun 1977, traveling bersama seekor anjing dan empat onta. Ya, kamu tidak salah baca; travelmate-nya onta.

Jarak yang ditempuhnya tidak main-main, sekitar 1.700 mil (sekitar 2735 km) dari Alice Springs ke pesisir barat Australia yang ditempuhnya selama sekitar sembilan bulan.

Semula Robyn Davidson tidak berniat untuk menuliskan kisah perjalanannya. Namun setelah kisahnya terbit di National Geographic, ia menjadi tertarik untuk menuliskan kisahnya secara utuh dalam sebuah buku berjudul Tracks yang terbit pada 1980 silam. Lalu pada 2013 lalu film tentang perjalanannya pun dirilis dan dan bahkan sempat diputar di Venice Film Festival.

4. Tim Ekspedisi Puncak Annapurna, A Woman’s Place is On Top

perempuan petualang tangguh

Di Base Camp Annapurna via arleneblum.com

Agustus tahun 1978, dipimpin oleh Arlene Blum, 13 orang perempuan petualang tangguh berangkat dari Amerika Serikat ke Nepal untuk mendaki Puncak Annapurna I. Mereka berasal dari latar belakang beragam—usia, asal, pekerjaan—namun disatukan oleh mimpi untuk mencapai salah satu puncak yang jarang dijamah manusia. Untuk mengumpulkan dana, mereka memakai cara yang sekarang banyak dipakai oleh organisasi-organisasi: jual kaos. Tapi tidak main-main, mereka berhasil menjual sekitar 15.000 kaos bertuliskan kalimat ambigu: “A Woman’s Place is On Top.”

Dalam perjalanan mereka harus berhadapan dengan masalah-masalah yang lazim dihadapi oleh tim ekspedisi lainnya, seperti porter yang mogok kerja, perselisihan antaranggota tim, sampai ancaman avalanche alias longsoran salju. Namun ketabahan mereka menghadapi segala permasalahan itu menuai hasil sebab pada 15 Oktober 1978 dua anggota tim plus dua sherpa berhasil mencapai Puncak Annapurna I, meskipun harus dibayar dengan hilangnya nyawa dua anggota tim.

5. Cheryl Strayed, Jalan Kaki Menelusuri “Pacific Crest Trail”

perempuan petualang tangguh

Cheryl Strayed via oprah.com

Pada tahun 1995 di usia 26 tahun Cheryl Strayed berusaha untuk melupakan kesedihan dan penyesalan atas kematian sang ibu dengan jalan kaki menelusuri Pacific Crest Trail (PCT), Amerika Serikat bagian barat, sendirian. Dalam perjalanannya Cheryl berjumpa dengan banyak orang dan kejadian yang pada akhirnya akan mengubah cara pandangnya terhadap hidup. Uniknya, setiap kali melintasi pos PCT, Cheryl mengisi buku registrasi dengan kutipan-kutipan menarik, entah buatannya sendiri maupun yang diambilnya dari buku-buku yang telah ia baca.

Ia berhasil menyelesaikan sekitar 1.100 mil (sekitar 1770 km) dari total 2.659 mil (sekitar 4279 km) trek PCT. Perjalanannya itu diabadikan dalam memoar berjudul Wild: From Lost to Found on the Pacific Crest Trail dan adaptasinya dalam bentuk film dirilis pada bulan Desember 2014.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Inilah Para Perempuan Petualang Tangguh yang Kamu Perlu Tahu appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/para-perempuan-petualang-tangguh/feed/ 0 834
5 Gunung Tertinggi di Dunia yang Namanya Berasal dari Nama Tokoh https://telusuri.id/5-gunung-tertinggi-dari-nama-tokoh/ https://telusuri.id/5-gunung-tertinggi-dari-nama-tokoh/#respond Thu, 13 Sep 2018 09:00:05 +0000 https://telusuri.id/?p=10492 Di antara puncak-puncak tertinggi di penjuru dunia, ada beberapa yang namanya berasal dari nama tokoh. Lima gunung tertinggi ini misalnya: 1. Kosciuszko (2.228 mdpl) Ini adalah puncak tertinggi di mainland Australia dan salah satu dari...

The post 5 Gunung Tertinggi di Dunia yang Namanya Berasal dari Nama Tokoh appeared first on TelusuRI.

]]>
Di antara puncak-puncak tertinggi di penjuru dunia, ada beberapa yang namanya berasal dari nama tokoh. Lima gunung tertinggi ini misalnya:

1. Kosciuszko (2.228 mdpl)

gunung tertinggi

Lukisan Tadeusz Kościuszko oleh Schweikart via en.wikipedia.org

Ini adalah puncak tertinggi di mainland Australia dan salah satu dari Seven Summits versi Richard Bass. Tingginya sih nggak sampai 3.000 mdpl, cuma 2.228 mdpl. Tapi, karena terletak di garis lintang yang jauh di selatan, setiap musim dingin dan musim semi gunung ini selalu diselimuti salju.

Nama Gunung Kosciuszko berasal dari nama seorang jenderal legendaris bernama Tadeusz Kościuszko. Penjelajah Polandia bernama Pawel Edmund Strzelecki adalah orang yang menamai gunung ini pada 1840. Menurutnya, Gunung Kosciuszko mirip sebuah tempat bernama Kościuszko Mound di Kraków, Polandia.

2. Carstensz Pyramid (4.884 mdpl)

Ini adalah nama lain dari Puncak Jaya, puncak tertinggi di Oseania yang dijadikan salah satu Seven Summits oleh Reinhold Messner. Namanya berasal dari nama seorang penjelajah Belanda, yakni Jan Carstenszoon, yang pertama kali melihatnya di suatu hari pada tahun 1623.

Ratusan tahun setelah itu, tepatnya tahun 1962, barulah Carstensz Pyramid berhasil didaki. Para pendaki yang pertama kali berhasil mencapai puncak gunung ini adalah Heinrich Harrer, Robert Philip Temple, Russell Kippax, dan Albertus Huizenga.

gunung tertinggi

Foto Carl G. Vinson via en. wikipedia.org

3. Vinson Massif (4.892 mdpl)

Menjulang setinggi 4.892 mdpl, Vinson Massif adalah gunung tertinggi di Kutub Selatan alias Antartika. Puncak Vinson Massif pertama kali dicapai oleh regu pendaki Amerika yang dipimpin Nicholas Clinch pada tahun 1966.

Gunung ini pun baru diketahui keberadaannya pada tahun 1958. Nah, nama Vinson Massif berasal dari nama seorang anggota parlemen dari Georgia, Carl G. Vinson, yang membantu pelaksanaan misi eksplorasi antartika.

4. Denali (McKinley) (6.190 mdpl)

gunung tertinggi

Foto William McKinley via en.wikipedia.org

Orang Amerika punya kebiasaan untuk menamakan gunung, pegunungan, atau jalur lintas alam berdasarkan nama tokoh. Tak terkecuali gunung tertinggi di Amerika bagian utara ini. Nama Denali sempat diganti namanya menjadi McKinley. Namun pada tahun 2015 kemarin gunung ini secara resmi dikembalikan namanya menjadi Denali.

Tapi, omong-omong siapa sih McKinley? William McKinley adalah presiden ke-25 Amerika Serikat. Ia menjabat dari tahun 1843 sampai 1901, kemudian meninggal karena dibunuh.

5. Everest (8.848 mdpl)

gunung tertinggi

Foto Sir George Everest via en.wikipedia.org

Kamu semua pasti tahu kalau ini adalah titik tertinggi di muka Bumi. Gunung ini menjulang sampai ke ketinggian 8.848 mdpl. Orang Nepal menyebutnya Sagarmatha, orang Tibet menyebutnya Chomolungma, tapi orang Inggris menyebutnya Mount Everest.

Nah, ternyata Everest ini adalah nama mantan British Surveyor General of India, Sir George Everest. Yang memberi nama adalah Andrew Waugh, suksesor Sir George Everest. Lucunya, konon Sir George Everest sempat enggan namanya dijadikan nama puncak tertinggi di dunia, soalnya pasti bakal susah buat orang lokal melafalkan nama itu. Dan, omong-omong, pelafalan nama George Everest ini adalah EEV-rist, agak beda dari pengucapan Everest sekarang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 5 Gunung Tertinggi di Dunia yang Namanya Berasal dari Nama Tokoh appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/5-gunung-tertinggi-dari-nama-tokoh/feed/ 0 10492
Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi yang Akan Menjaga Gajah Sumatera? https://telusuri.id/dokter-taman-nasional-tesso-nilo/ https://telusuri.id/dokter-taman-nasional-tesso-nilo/#comments Mon, 21 May 2018 06:00:20 +0000 http://telusuri.id/?p=8785 Tulisan ini kolaborasi antara WWF-Indonesia dan TelusuRI Namaku Annisa Wandha Sari dan biasa dipanggil Wandha. Aku adalah dokter hewan di Kamp Elephant Flying Squad (Tim Patroli Gajah) WWF. Kamp WWF ini terletak di Taman Nasional...

The post Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi yang Akan Menjaga Gajah Sumatera? appeared first on TelusuRI.

]]>
Tulisan ini kolaborasi antara WWF-Indonesia dan TelusuRI


Namaku Annisa Wandha Sari dan biasa dipanggil Wandha. Aku adalah dokter hewan di Kamp Elephant Flying Squad (Tim Patroli Gajah) WWF. Kamp WWF ini terletak di Taman Nasional Tesso Nilo, Provinsi Riau.

Elephant Flying Squad adalah sebuah tim yang terdiri dari pawang (mahout) dan gajah terlatih.

Tim yang pertama kali diperkenalkan oleh WWF-Indonesia dan Balai Taman Nasional Tesso Nilo pada 2004 ini bertugas melakukan penggiringan gajah liar yang memasuki kebun masyarakat untuk kembali ke habitatnya di Taman Nasional Tesso Nilo sehingga dapat mengurangi konflik antara gajah dan manusia.

taman nasional tesso nilo

Menjaga si teman besar via instagram.com/wandha_sari

Sehari-hari, tugasku adalah melakukan tindakan medis, mulai dari perawatan, pengobatan, hingga pencegahan penyakit, terhadap gajah jinak di sana.

Intinya, aku mesti memastikan bahwa gajah-gajah jinak di Taman Nasional Tesso Nilo dalam keadaan sehat dan sejahtera. Namun, jika ada gajah liar yang sakit, bersama-sama Tim Medis BKSDA aku juga ikut membantu mengobati.

Demi kelestarian gajah sumatera

Mendiagnosis penyakit pada gajah tidak semudah mendiagnosis penyakit pada hewan lainnya. Pada gajah, gejala baru akan muncul saat kondisi sudah parah. (Sedihnya, obat-obatan untuk gajah susah didapatkan di Riau.)

taman nasional tesso nilo

Bercengkerama dengan gajah via instagram.com/wandha_sari

Selain itu, kesehatan seekor gajah tidak semata tergantung pada gajahnya saja, melainkan juga pada lingkungannya. Semakin berkurang (atau mengecil) habitatnya, nutrisi yang tersedia akan semakin sedikit. Alhasil, gajah harus disuplai dengan suplemen buatan manusia.

Ada satu peristiwa yang cukup berkesan saat aku mendampingi gajah, mulai dari ia hamil, diperiksa menggunakan USG, hingga melahirkan anaknya. Itu adalah pengalaman yang sangat menakjubkan. Aku terharu melihat gajah itu meneteskan air mata ketika kami menyemangatinya agar kuat untuk melahirkan.

Saya pun kemudian paham bahwa gajah hanya akan bertahan selama kita, bersama-sama, mampu menjaga mereka dari kepunahan. Kita harus belajar berbagi ruang dan hidup berdampingan dengan gajah agar tercipta sebuah keseimbangan. Konsep berbagi ruang itulah yang selalu kami kampanyekan demi kelestarian gajah sumatera.

taman nasional tesso nilo

Memeluk seekor gajah sumatra via instagram.com/wandha_sari

Mereka pun sama seperti kita: punya keluarga, perlu tempat tinggal yang nyaman, dan butuh makanan yang cukup.

Siapa lagi yang akan menjaga gajah sumatera jika bukan kita

Jalan yang kutelusuri sekarang berawal dari keberanian mengambil profesi yang berbeda dari teman-teman lainnya. Namun, terus terang, aku sempat takut juga ketika melihat berita-berita soal kematian manusia akibat gajah. Bahkan, ketika akhirnya terjun ke lapangan, sempat terpikir untuk pergi.

Tapi, melihat tatapanmu yang penuh arti dan berlinang air mata, aku tak bisa pergi. Engkau menyentuh hati ini, seakan berkata: “Jangan pergi lagi. Tinggallah bersama.”

taman nasional tesso nilo

Merawat gajah sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo via instagram.com/wandha_sari

Selain gajah sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo, yang membuatku bertahan adalah dukungan orang tua, sahabat, dan rekan kerja. Mereka tak pernah putus memberikan semangat dan motivasi. Aku harus bisa. Aku harus bertahan untuk mereka.

Sekarang, aku merasa bahwa ini bukanlah sebuah pekerjaan, melainkan wujud rasa cintaku pada mereka—si teman besar. Lagipula, jika bukan kita, siapa lagi yang mau membantu mereka?

Sehat selalu, teman besarku. Semoga kelak anak cucuku dan generasi masa depan juga dapat merasakan hangatnya pelukmu dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa engkau masih ada untuk keseimbangan Bumi ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi yang Akan Menjaga Gajah Sumatera? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dokter-taman-nasional-tesso-nilo/feed/ 2 8785
Bram Aditya, Belajar “Terbang” dengan Drone Rakitan https://telusuri.id/bram-aditya-skygrapher/ https://telusuri.id/bram-aditya-skygrapher/#comments Thu, 12 Apr 2018 01:30:20 +0000 https://telusuri.id/?p=8026 Sebelum jadi pilot drone, Bram Aditya lebih dulu menjajal videografi dan filmmaking. Adalah perubahan teknologi yang membuat Bram tertarik membuat video dan film. Sekitar tahun 2010, ketika ia mulai menyukai dunia pengambilan gambar, teknologi pembuatan...

The post Bram Aditya, Belajar “Terbang” dengan Drone Rakitan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebelum jadi pilot drone, Bram Aditya lebih dulu menjajal videografi dan filmmaking. Adalah perubahan teknologi yang membuat Bram tertarik membuat video dan film. Sekitar tahun 2010, ketika ia mulai menyukai dunia pengambilan gambar, teknologi pembuatan video sedang berevolusi menjadi semakin sederhana.

Untuk merekam, seseorang tak perlu lagi repot-repot membawa kamera berukuran besar. Kamera DSLR Canon 550D atau kamera saku saja—menurut pengalaman Bram—sudah bisa mengambil gambar-gambar yang berpotensi menghasilkan decak kagum.

bram aditya

Mengambil montase aerial di sebuah pantai di Bali/Bram Aditya

Melihat karya-karya keren yang dihasilkannya, barangkali kamu menyangka Bram adalah lulusan sekolah perfilman. Keliru. Ia mengasah kemampuannya secara otodidak. Untuk memperkaya pengetahuan, ia menjalani kerja-lepas di beberapa rumah produksi film dokumenter.

Dulu menyewa drone untuk keperluan syuting

Tak ada yang bisa menebak ke mana jalan seseorang akan berujung. Bram Aditya merasakan sendiri hal itu. Pada akhirnya, dunia filmlah yang memperkenalkan Bram dengan drone dan fotografi/videografi aerial.

bram aditya

“Terbang” di Blitar/Bram Aditya

“Menurut saya action dan cerita ada di darat … drone hanya elemen pendukung dari suatu film,” Bram bercerita dalam wawancara via surel. Karena gambar-gambar dari udara hanya komplemen, Bram dulu lebih memilih untuk menggunakan jasa vendor-vendor videografi drone.

Estetika, bagaimanapun juga, tidak bisa berbohong. Lama-lama Bram menemukan bahwa montase-montase yang diambil vendor tersebut kurang memuaskan, “Dari framing, movement … kadang bahkan over-exposure.”  Sementara itu, permintaan klien terhadap gambar-gambar dari udara semakin meningkat. Jadi untuk menjaga kualitas, Bram menceburkan diri ke dalam dunia videografi aerial.

Dari drone rakitan sampai Yuneec Typhoon H520

“Saya tipikal orang yang peralatannya minim jika buat film, karena tool yang saya punya biasanya pun saya beli dengan harga-harga murah,” ungkapnya. “Contohnya, lensa pribadi saya hanya punya lensa kit 16-50, lensa manual fix 35mm, dan lensa zoom 70-300. Jadi jika kalian selalu kira saya menggunakan lensa-lesa mahal, salah, karena harga-harga lensa tersebut hanya satu juta masing-masing. Murah, ‘kan?”

Barangkali ini memang bawaan Bram. Dari caranya memilih alat untuk berkarya, jelas sekali yang ia cari adalah substansi. Oleh sebab itu ia tak terlalu ambil pusing soal peralatan. Jadi wajar saja saat mulai menggunakan drone tahun 2014, ia tidak langsung membeli alat yang mahal. Ia belajar terbang dengan drone rakitan.

Sekarang, setelah tiga tahun lebih berkutat dengan drone, Bram menambatkan hati pada Yuneec Typhoon H520 yang sesuai dengan kebutuhannya.

“Buat saya semua drone sama saja. Hanya yang membedakan, drone saya kameranya bisa 360 derajat muternya, bisa sangat lambat jalannya walaupun saya gas full, dan semua bisa sangat cepat jalannya dengan mengubah tuas (on the fly). Kelebihan lainnya yang saya suka adalah baling-balingnya enam. Saya merasa lebih aman, karena jika terjadi masalah di dua baling-baling, masih aman dan bisa terbang.”

Beberapa kali “kecelakaan”

Menerbangkan drone itu tidak gampang, dan perlu proses. Untuk menjadi pilot drone yang diperhitungkan, Bram Aditya telah melewati jalan-jalan yang berliku, menanjak, dan penuh batu-batu runcing.

Setidaknya, ada dua “kecelakaan” drone yang paling diingat Bram. Kejadian pertama adalah ketika drone yang diterbangkannya tiba-tiba mengalami kerusakan GPS sehingga menjadi tak terkontrol. Akibatnya, drone itu menabrak Hotel Borobudur Jakarta. “Kameranya masuk ke lantai 5, drone-nya jatuh ke lobby,” kenang Bram. Tentu saja ia harus merogoh dompet untuk mengganti biaya sewa kamar, kerusakan karpet, korden, dan kaca jendela.

Di Bali, drone-nya pernah jatuh saat mengambil gambar kemacetan jalan. “Boom! Drone jatuh dari atas nyerempet kap mobil. Ya, sama seperti kejadian di Hotel Borobudur, saya harus ganti.”

Menjadi salah seorang “co-founder” SkyGrapher.id

Tapi insiden-insiden itu tidak membuat Bram ciut nyali. Jika saja Bram memutuskan untuk gantung konsol, barangkali SkyGrapher, komunitas penerbang drone terbesar di Indonesia, akan punya cerita yang berbeda.

Pertengahan 2016, beberapa enthusiast drone berkumpul—Andre djohan, Anton Chandra, Aboenk, Ricky Febrianto, Kevin Bewok. Mereka pun sepakat untuk membentuk sebuah komunitas fotografer dan videografer aerial.

skygrapher goes to krakatau

Menikmati dunia bawah laut Lampung/SkyGrapher.id

Meskipun tak sempat hadir pada pertemuan perdana itu, beberapa hari setelahnya Andre Djohan menghubungi Bram untuk mengajaknya bergabung dengan komunitas baru itu. Tertarik, ia pun bergabung dengan para pilot drone itu dalam SkyGrapher. Bahkan ia jadi salah seorang co-founder portal SkyGrapher.id. Sampai sekarang, Bram Aditya masih aktif di sana. Baru-baru ini, ia bersama anak-anak SkyGrapher lainnya hunting bareng ke perairan Anak Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bram Aditya, Belajar “Terbang” dengan Drone Rakitan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bram-aditya-skygrapher/feed/ 6 8026
Bukan Sekadar Mengumpulkan Buku untuk Papua https://telusuri.id/mengumpulkan-buku-untuk-papua/ https://telusuri.id/mengumpulkan-buku-untuk-papua/#respond Tue, 20 Mar 2018 03:25:24 +0000 https://telusuri.id/?p=7449 Buku untuk Papua (BUP) dimulai Dayu Rifanto secara tidak sengaja. Pemuda kelahiran Nabire itu nekat menggalang donasi buku setelah menerima telepon dari Longginus Pekei, kawannya yang jadi guru di SMA Adi Luhur Nabire. Ceritanya, Longgi,...

The post Bukan Sekadar Mengumpulkan Buku untuk Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
Buku untuk Papua (BUP) dimulai Dayu Rifanto secara tidak sengaja. Pemuda kelahiran Nabire itu nekat menggalang donasi buku setelah menerima telepon dari Longginus Pekei, kawannya yang jadi guru di SMA Adi Luhur Nabire.

Ceritanya, Longgi, panggilan akrab Longginus Pekei, yang kala itu sedang merintis komunitas untuk anak-anak putus sekolah, tiba-tiba keruntuhan ide: membangun perpusatakaan. (Sebelumnya, Longgi sudah membuat kolam ikan.) Perpustakaan tentu perlu buku. Entah angin apa yang sedang berhembus waktu itu, Longgi malah mengontak Dayu.

Saat Longgi menghubunginya, Dayu sedang berkutat dengan tesis gelar master yang diambilnya di Universitas Diponegoro Semarang. Karena tinggal tesis, ketimbang ngekos di Semarang ia lebih memilih tinggal di rumah saudaranya di Yogyakarta, kota tempatnya menempuh studi sarjana—dan kota komunitas.

Dayu tak ragu-ragu membantu Longgi menggalang Buku. Bertahun-tahun tinggal di Pulau Jawa mengajarkannya bahwa orang-orang di sana tampaknya gampang sekali menggalang sesuatu, termasuk buku. Kalau mau berusaha sedikit, pastilah buku-buku untuk komunitas Longgi itu akan terkumpul.

buku untuk papua

Salah satu “talkshow” tentang Buku untuk Papua/Dayu Rifanto

Dayu pun mempelajari metode penggalangan buku lewat internet secara otodidak. Ia mulai menyelami media sosial komunitas-komunitas penggiat pendidikan dan literasi, seperti Indonesia Bercerita, Indonesia Mengajar, Taman Baca Pelangi Nila Tanzil, Akademi Berbagi, dan lain-lain. Ia pun mengajak kawan-kawan lain untuk bergerak.

Ternyata menggalang buku tak semudah membalikkan telapak tangan. Memulai kampanye April 2012, sampai akhir September belum banyak buku yang terkumpul. Dayu dan kawan-kawan sesama relawan pun berdiskusi. Mereka sepakat bahwa nama gerakan mereka mesti lebih spesifik. Tercetuslah nama akun twitter @Bukuntukpapua.

Setelah mengganti nama, nasib baik akhirnya berhembus ke BUP. Rumah Baca Panter di Depok bersedia mendonasikan sekitar 500 buku. Akhirnya, Desember 2012 BUP melakukan pengiriman perdana sekitar 1000 buku ke Nabire dengan kapal laut. Ongkos kirimnya, sekitar Rp 1,5-2 juta, berasal dari dompet Dayu pribadi. (Semakin ke sini biaya kirim semakin murah. PT Pos Indonesia bahkan menyediakan Free Cargo Literacy setiap tanggal 17 tiap bulan.)

Pernah ada 15 komunitas Buku untuk Papua di berbagai kota

Di masa jayanya, BUP pernah punya 15 komunitas di berbagai kota di Indonesia. Relawan ramai dan berbagai kegiatan penggalangan buku tak henti-henti diadakan. Namun, lama-lama gairah berkomunitas semakin surut sehingga jejaring komunitas Buku untuk Papua tidak lagi sebanyak dahulu.

“Dulu BUP bergeraknya dengan membuka komunitas di berbagai kota di mana ada relawan (yang) mau bikin komunitas jejaring BUP,” jelas Dayu dalam wawancara via surel. “Tetapi semenjak dua tahun (ke belakang) ini sudah tidak seperti itu lagi.”

Kini galang donasi dilakukan sendiri secara terpusat oleh BUP, bekerjasama dengan kawan-kawan yang satu ide. Dua bulan terakhir ini, misalnya, Buku untuk Papua berkolaborasi dengan Rumah Kata Sorong untuk mengampanyekan penggalangan donasi buku.

buku untuk papua

Anak-anak di Rumah Kata Sorong/Rumah Kata Sorong

“BUP tugasnya menghubungkan mereka (para pengelola taman bacaan) dengan donatur buku dan selanjutnya (tugas kami adalah melakukan) kampanye literasi,” tambah Dayu.

Namun BUP juga akan menyambut dengan gembira jika ada orang yang berminat menjadi relawan. Hanya saja, proses rekrutmennya lumayan ketat.

Alasannya, menurut Dayu, “(karena aktivitas) di BUP bukan hanya galang donasi buku tetapi sekaligus mengampanyekan literasi di Papua, sehingga ada kerja-kerja menulis konten yang perlu dikuasai oleh relawan.” Tidak jarang pula relawan harus mendatangi narasumber dan melakukan wawancara.

BUP cenderung mencari orang-orang yang bersedia menjadi relawan dalam jangka panjang. “Yang terbaru BUP dibantu oleh Herman Degei untuk menjadi relawan BUP selama 6 bulan (untuk) membantu kerja-kerja dari BUP,” lanjut Dayu.

Membantu yang mau dibantu

Sejak 2012, tentu sudah tak terhitung jumlah buku yang berhasil dihimpun dan dikirimkan Buku untuk Papua ke pulau di ujung timur Indonesia itu. Bulan ini BUP sedang membantu TBM Paniai Timur untuk galang donasi—dan ini adalah galang donasi yang ke-40!

Jumlah rumah baca yang sudah dikirimi buku oleh BUP saja, menurut data Dayu, mencapai 40 rumah baca. “Data ini sebenarnya bisa lebih (banyak),” ujar Dayu. “Tetapi saya menggunakan data minimal saja karena misal satu komunitas yang kami bantu (saja) bisa membuat lebih dari dua rumah baca.”

Selain rumah baca komunitas, ternyata @Bukuntukpapua juga menyalurkan donasi buku bacaan ke titik-titik literasi lain, seperti perpustakaan sekolah, perpustakaan komunitas, TBM (Taman Baca Masyarakat), dan lain-lain.

Kondisi terkini rumah baca-rumah baca itu pun beragam. Banyak yang masih terus beroperasi sampai sekarang, tapi ada pula yang bubar jalan karena berbagai alasan. Keberlangsungan sebuah rumah baca memang sangat bergantung pada para pengelolanya. Kalau pengelolanya bersemangat, tentu saja gerakan penggalangan buku untuk rumah baca yang mereka urus tidak akan berhenti.

Dayu mencontohkan sebuah komunitas di Sorong yang bernama Komunitas SobatBUPSorong. Dulu di sana tidak ada ruang baca. BUP mengirimkan buku-buku hasil donasi dan membantu memperluas jaringan komunitas tersebut. Sekarang, mereka malah asyik mengelola empat ruang baca dengan segala dinamikanya.

@Bukuntukpapua tidak cuma membagikan ikan. Lebih dari itu, ia menyediakan kail bagi ruang-ruang baca yang ada di Papua dengan cara membukakan jaringan seluas-luasnya. “Jadi BUP membantu mereka yang mau dibantu,” kata Dayu.

Jadi sekrup kecil roda literasi Papua

Bagi Dayu, gerakan @Bukuntukpapua bukan sekadar gerakan mengumpulkan buku untuk Papua. Lebih dari itu, ini diharapkan bisa menjadi sekrup kecil yang akan membuat roda literasi Papua berjalan seperti di daerah-daerah lain. BUP adalah pemicu yang akan memancing dampak yang jauh lebih masif.

Menurut penuturan Dayu, tingkat buta huruf di Papua tahun 2012 menurut data BPS berada di kisaran 39%. Menariknya, menurut cerita yang didapat Dayu dari jejaring-jejaringnya di dunia ruang baca Papua, tingkat buta huruf ini justru berbanding terbalik dengan minat baca yang sebenarnya tinggi. Persoalannya adalah ketersediaan bahan bacaan itu sendiri.

“Ada yang bilang kita punya buku banyak di perpustakaan tapi tidak ada anak yang mau datang baca. Setelah dicek ternyata isinya buku pelajaran kebanyakan. Ya, saya juga tra mau kali baca buku pelajaran,” tutur Dayu.

buku untuk papua

Kegiatan membaca dan menulis di Rumah Baca Kasimle/@rumahbaca_kmpkasimle

@Bukuntukpapua juga diharapkan dapat berkontribusi terhadap ekosistem literasi di Papua agar menjadi lebih baik. “Jadi kemudian akan meningkat jumlah buku yang diterbitkan oleh penulis dari Papua, ada peningkatan penulis dari Papua, ruang baca bertambah di Papua, harga buku bisa semakin murah dengan kualitas meningkat di Papua,” ungkap laki-laki berkacamata ini panjang lebar.

BUP bahkan sudah punya penerbitan sendiri yang diberi nama Papua Cendekia. Ke depannya penerbit ini diharapkan dapat menjadi salah satu tiang yang menopang gerakan BUP sekaligus mengakselerasi perkembangan literasi di Papua.

Papua Nugini dijadikan Dayu sebagai perbandingan. “PNG (Papua Nugini) misalnya … sejak 2011 (mereka) punya penghargaan untuk para penulis di PNG dengan nama Crocodile Prize Award. Di Papua (apakah ada)?”

Kaka Dayu punya mimpi bahwa suatu saat di Papua akan ada sebuah kota cendekia seperti Yogyakarta, yang di sana banyak penulis dan penerbit dari kalangan muda yang bukunya laris manis di pasaran, ada juga kampung buku, dan lain sebagainya.

Pernah diancam dan diintimidasi

Pemuda berkepala tiga ini sadar betul bahwa jalan buku tak ubahnya seperti jalan pedang—tajam. Kalau tidak berhati-hati, bukan tidak mungkin jalan itu malah akan menyayat-nyayat kaki sehingga orang yang menjalaninya terpaksa harus berhenti.

Meskipun banyak yang berempati, tidak sedikit pula yang tak setuju dengan gerakan yang dilakukan Dayu Rifanto.

Sekali waktu ia pernah dihubungi seseorang via Facebook. Orang itu menasihatinya agar tidak terlalu menggebu-gebu saat kampanye membantu membuat ruang baca di Papua. Kata orang itu, sebagai yang lebih dulu membuat gerakan serupa di Papua ia sendiri saja tidak menggebu-gebu seperti itu. “Ini jadi masukan baik buat saya,” ungkap Dayu.

buku untuk papua

Depan Rumah Baca Kasimle setelah mengikuti lomba literasi/@rumahbaca_kmpkasimle

Pernah juga ada yang secara frontal mengintimidasi dengan menuliskan di media sosial bahwa ia ingin memukul Dayu karena menggalang donasi.

Tapi Kaka Dayu menikmati proses-proses yang dialaminya. “Akhirnya saya tahu di mana passion saya, apa alasan saya hidup. Saya pikir sa menemukannya karena tidak sengaja berlabuh mengerjakan BUP ini. Hal lainnya adalah (saya) bisa membantu teman-teman menemukan passion-nya juga, terutama teman-teman dari Indonesia timur yang mungkin terinspirasi dengan apa yang sa buat.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bukan Sekadar Mengumpulkan Buku untuk Papua appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengumpulkan-buku-untuk-papua/feed/ 0 7449
Hari Dharma Samudra, Mengenang Tenggelamnya RI Matjan Tutul dalam Pertempuran Laut Aru https://telusuri.id/hari-dharma-samudra-infografis/ https://telusuri.id/hari-dharma-samudra-infografis/#respond Mon, 15 Jan 2018 02:00:55 +0000 https://telusuri.id/?p=5699 Laut ternyata nggak hanya melulu soal keindahan pesisir dan terumbu karang. Lautan juga nggak melulu soal matahari terbit atau terbenam. Nggak sedikit juga peristiwa heroik yang pernah terjadi di lautan, termasuk di perairan Indonesia. Setiap...

The post Hari Dharma Samudra, Mengenang Tenggelamnya RI Matjan Tutul dalam Pertempuran Laut Aru appeared first on TelusuRI.

]]>
hari dharma samudra
Infografis oleh Fadwa Langka: Hari Dharma Samudra yang dicetuskan untuk memperingati tenggelamnya “motor torpedo boat” RI Matjan Tutul dalam Pertempuran Laut Aru, Operasi Trikora, 15 Januari 1962/TelusuRI

Laut ternyata nggak hanya melulu soal keindahan pesisir dan terumbu karang. Lautan juga nggak melulu soal matahari terbit atau terbenam. Nggak sedikit juga peristiwa heroik yang pernah terjadi di lautan, termasuk di perairan Indonesia.

Setiap tanggal 15 Januari Indonesia memperingati Hari Dharma Samudra. Tujuannya untuk mengenang tenggelamnya motor torpedo boat kelas jaguar RI Matjan Tutul pada 15 Januari 1962 dalam Pertempuran Laut Aru saat menyelesaikan misi Operasi Trikora.

Dalam misi untuk membebaskan Irian Barat itu, bersama 25 awaknya, Komodor Yos Sudarso gugur setelah kapalnya tenggelam akibat dihantam dua torpedo kapal patroli Armada Laut Belanda.

Yos Sudarso yang dikenang dalam Hari Dharma Samudra meninggal di umur yang lumayan muda, yakni 36 tahun. Setelah gugur, pemuda kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, 24 November 1925, ini pun dijadikan Pahlawan Nasional. Namanya kemudian diabadikan sebagai nama pulau (yang terletak di Merauke, dekat perbatasan dengan Papua Nugini), KRI (kelas fregat, bekas AL Belanda), jalan, dan sekolah.

Selamat memperingati Hari Dharma Samudra! Jalesveva Jayamahe!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Hari Dharma Samudra, Mengenang Tenggelamnya RI Matjan Tutul dalam Pertempuran Laut Aru appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/hari-dharma-samudra-infografis/feed/ 0 5699
Soe Hok Gie Pernah ke Gunung-gunung Ini, Kamu Pasti Nggak Nyangka https://telusuri.id/soe-hok-gie-mendaki-gunung/ https://telusuri.id/soe-hok-gie-mendaki-gunung/#respond Sat, 16 Dec 2017 02:30:00 +0000 http://telusuri.id/?p=4592 Sebagian dari kita barangkali terpancing buat naik gunung setelah menonton film GIE (2005). Dalam film itu ada beberapa montase Soe Hok Gie sedang naik gunung. Tapi, keterbatasan mengakibatkan film itu hanya mengangkat adegan Soe Hok...

The post Soe Hok Gie Pernah ke Gunung-gunung Ini, Kamu Pasti Nggak Nyangka appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagian dari kita barangkali terpancing buat naik gunung setelah menonton film GIE (2005). Dalam film itu ada beberapa montase Soe Hok Gie sedang naik gunung. Tapi, keterbatasan mengakibatkan film itu hanya mengangkat adegan Soe Hok Gie mendaki Gunung Pangrango. Padahal, semasa hidupnya Gie nggak cuma ke Pangrango saja. Dia juga nanjak ke gunung-gunung lain. Mau tahu gunung-gunung yang pernah didaki Soe Hok Gie? Geser ke bawah!

Gede dan Pangrango

soe hok gie mendaki gunung

Gede-Pangrango lewat Cobodas via ceritapejalan.com

Gunung Gede dan Pangrango seperti arena bermain bagi Soe Hok Gie. Kadang dia cuma ke Pangrango, di lain waktu dia hanya ke Gede, ada pula masanya dia maraton dari Gede ke Pangrango. Dalam Catatan Seorang Demonstran (CAS) lumayan banyak cerita tentang pendakian Gie ke Gunung Gede dan Pangrango.

Tahun baru 1968 Gie ke Pangrango. Kenangannya tentang pendakian tahun baru itu diabadikannya dalam CAS pada entri perjalanan ke Ciremai 1969: “Akhirnya saya putuskan untuk membuka biskuit mengingat pengalaman di [Gunung] Pangrango tanggal 31 Desember 1967.” Beberapa bulan setelahnya, 9 Maret 1968, Soe Hok Gie mendaki Gunung Gede dan Pangrango secara maraton bareng kawan-kawannya di Mapala UI untuk melantik ketua baru. Dia bercerita: “Jam 7.30 pergi ke kawah. Bersama Don dan David menaiki lereng terjal dari kawah ke puncak. Berangkat ke Pangrango bersama Maria dan Jaju, [r]elax tidur dengan selimut bersama Rina, Rudi, Jaju, Rusdi, Wolly, Sjafei.”

Slamet

soe hok gie mendaki gunung

Perjalanan menuju puncak Gunung Slamet/Maria Noviarta

Kisah Soe Hok Gie mendaki Gunung Slamet diterbitkan di Kompas tanggal 14, 15, 16, dan 18 September 1967. Soe Hok Gie sendiri yang memimpin ekspedisi itu. Dulu, Slamet masih sepi dan pendakian ke puncak terbilang sulit. Dalam karangannya, Gie menceritakan: “Gunung itu tingginya 3.422 m, gunung nomor dua di Pulau Jawa. Dan menurut Junghu[h]n, ia mendaki gunung itu dengan merangkak. Di puncaknya pada musim-musim tertentu suhu dapat turun sampai nol derajat.”

Jalur yang mereka pilih adalah Kedaung. Terbayang, pasti di masa itu hutan Slamet masih rapat sekali, tidak ada yang bisa dilihat kecuali pepohonan, sampai-sampai Gie mengatakan Slamet “… membosankan sekali. Tidak indah seperti Gunung Pangrango atau pun menakjubkan seperti Gunung Merapi. Jalannya panjang dan berliku-liku.” Tapi setiba di puncak, Gie akhirnya dibuat terpana juga oleh keindahan kawah Slamet. Dia menulis, “… kawah gunung yang bagus sekali. Kawahnya jauh lebih besar dari Ceremai dan benar-benar mengagumkan.”

Ciremai

soe hok gie mendaki gunung

Ciremai lewat Linggarjati/Fuji Adriza

Perjalanan Soe Hok Gie mendaki Gunung Ciremai lewat Linggarjati berlangsung dari 30 Mei hingga 2 Juni 1969. Gie bersama Mapala UI berangkat sore-sore dari Jakarta. “Perjalanan amat bagus. Udara sore yang segar, bulan yang hampir penuh dan suasana yang sangat intim,” begitu tulisnya di buku harian. Mereka telat tiba di Cirebon sehingga pendakian dimulai agak sore.

Setiba di puncak, sekitar jam 14.00, 1 Juni 1969, Gie dan kawan-kawannya melakukan tradisi menyanyikan lagu Padamu Negeri. “Semuanya bersuara fals tapi sedap juga,” tulis Gie. Sore itu juga mereka turun lagi. Namun mereka terjebak malam di jalan dan terpaksa mendirikan tenda jam 2 dini hari. “Perjalanan pulang sangat enak,” ujar Gie. Mereka pulang dari Cirebon naik kereta dan tiba di Stasiun Jatinegara pukul 19.30, 2 Juni 1969.

Sindoro

soe hok gie mendaki gunung

Pemandangan dari Gunung Sindoro/Fuji Adriza

Soe Hok Gie mendaki Gunung Sindoro hari Minggu, 8 Juni 1969. Tidak seperti sekarang ketika sebagian besar pendaki naik dari Kledung, Temanggung, Soe Hok Gie mendaki Gunung Sindoro lewat Jalur Tambi, Wonosobo—tektok! Dia dan temannya menyewa guide lokal, dua orang, yang dibayarnya Rp 300.

Tapi dia nggak begitu terkesan dengan Gunung Sindoro. Dalam buku hariannya dia menulis, “Gunung Sindoro tidak terlalu indah. Hutan-hutannya botak karena kayu-kayunya banyak diambil. Setelah jalan empat jam, sampai di puncak.” Meskipun dia prihatin sama kehidupan para pemandu, dia juga kesal karena merasa diperas kedua guide lokal itu. Sang petualang menulis, ”Saya agak kesal karena guide ini menuntut uang lebih dengan alasan waktu. Ia rupa-rupanya mau ‘memeras.’ Saya tegaskan bahwa saya tidak mau diperas. Akhirnya dia minta maaf.”

Gunung Sela

soe hok gie mendaki gunung

Konon, Gunung Salak yang kelihatan dari Alun-Alun Mandalawangi itu pernah didaki juga oleh Soe Hok Gie via ceritapejalan.com

Di Jawa Barat, ada dua Gunung Sela. Satu di kaki Gunung Ciremai di Kuningan, satu lagi di sebelah utara puncak Gunung Gede, Cibodas. Minggu, 20 Juli 1969, Soe Hok Gie mendaki Gunung Sela yang di Cibodas bersama Aristides Katoppo. Mereka kemping di batas air di hutan Gunung Sela.

Gie sebenarnya nggak berniat buat muncak. Tapi dia dibujuk Tides (panggilan akrab Aristides Katoppo) untuk ikut naik ke puncak yang cuma sekitar dua jam perjalanan. “Saya ikut untuk gerak badan,” katanya dalam CAS. Tengah hari mereka sudah tiba kembali di Cibodas. “Lalu pulang ke Jakarta setelah makan dan shopping di Cipanas.”

Galunggung

soe hok gie mendaki gunung

Telaga Bodas Galunggung via en.wikipedia.org

Cerita perjalanan Soe Hok Gie mendaki Gunung Galunggung tidak diabadikan dalam catatan hariannya. Tapi, dalam entrinya tentang pendakian Gunung Sindoro, dia menyebutkan Telaga Bodas, “Bagi saya yang pernah melihat kawah-kawah [Gunung] Slamet, Gede, Merapi, Ciremai dan Telaga Bodas; Dieng tak punya arti apa-apa.”

Di halaman lampiran CAS, ada sebuah foto Gie sedang berada di Telaga Bodas, Gunung Galunggung, bersama rekan-rekannya. Soe Hok Gie mendaki Gunung Galunggung bersama Artistides Katoppo, Perdamaian Jones Hutabarat, Rudy Badil, dan Oei Tik Bie.

Merapi

soe hok gie mendaki gunung

Kerucut puncak Gunung Merapi via pendakiindonesia

Soe Hok Gie ternyata juga pernah mendaki Gunung Merapi di Jawa Tengah. Tapi, dalam catatan-catatannya, dia nggak cerita soal pendakiannya ke salah satu gunung paling aktif di Indonesia itu.

Barangkali kamu tahu soal pendakian Gie ke Gunung Merapi? Kapan dia ke sana, dulu ke sana barang siapa, lewat mana, kisah pendakiannya seperti apa?

Semeru

soe hok gie mendaki gunung

Ranu Kumbolo/Fuji Adriza

Gunung Semeru menjadi gunung terakhir yang didaki oleh Soe Hok Gie. Berniat merayakan ulang tahun di Semeru, Soe Hok Gie (dan Idhan Lubis, mahasiswa Universitas Tarumanegara) malah tutup usia di gunung tertinggi di Pulau Jawa itu tanggal 16 Desember 1969, beberapa jam sebelum dia benar-benar memasuki usia 27 tahun.

Kepergian Soe Hok Gie sang aktivis humanis diratapi oleh rekan-rekannya dan masyarakat luas yang kerap membaca tulisan-tulisan tajamnya di media. Gie memang telah 48 tahun pergi, tapi dia masih tetap hidup dalam pikiran kita semua, para pendaki Indonesia.

Itulah gunung-gunung yang dicatat Gie dalam buku harian dan karangan yang dia kirim ke media. Itu saja gunung-gunung yang pernah didaki Soe Hok Gie? Entahlah. Barangkali kamu punya informasi tentang gunung-gunung lain yang pernah didaki Soe Hok Gie?

The post Soe Hok Gie Pernah ke Gunung-gunung Ini, Kamu Pasti Nggak Nyangka appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/soe-hok-gie-mendaki-gunung/feed/ 0 4592