toleransi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/toleransi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 24 Jun 2023 01:57:59 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 toleransi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/toleransi/ 32 32 135956295 Menyikapi Aturan Adat dan Pantangan dalam Perjalanan https://telusuri.id/menyikapi-aturan-adat-dan-pantangan-dalam-perjalanan/ https://telusuri.id/menyikapi-aturan-adat-dan-pantangan-dalam-perjalanan/#respond Fri, 23 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39044 Suatu hari saya sedang siap-siap untuk pergi ke Baduy, sebuah perkampungan adat di Banten. Sehari sebelum berangkat, seorang teman memberi cerita tentang kunjungannya ke Baduy. Hitung-hitung menambah referensi, maka saya simak kisahnya dengan serius.  Ia...

The post Menyikapi Aturan Adat dan Pantangan dalam Perjalanan appeared first on TelusuRI.

]]>
Suatu hari saya sedang siap-siap untuk pergi ke Baduy, sebuah perkampungan adat di Banten. Sehari sebelum berangkat, seorang teman memberi cerita tentang kunjungannya ke Baduy. Hitung-hitung menambah referensi, maka saya simak kisahnya dengan serius. 

Ia memulai kisahnya dengan impresi saat pertama kali menjejaki hutan adat di Baduy tahun 2017. Ia melakukan perjalanannya secara berkelompok. Bersama teman-temannya, mereka berjalan kaki empat jam ke arah Baduy Dalam. Ketika memasuki kawasan Baduy Dalam, ia mendapat peringatan untuk tidak mengambil foto atau memotret dengan kameranya. 

Masalah bermula ketika seorang pemuda bandel mengeluarkan kameranya dan memotret di area terlarang. Namun, tak ada seorang pun yang tahu pelanggaran ini. Anehnya, ketika rombongan ini beristirahat di sebuah desa adat, seorang tokoh dari desa itu menghampiri orang yang melanggar peraturan tersebut.

Si pelanggar dan rombongannya langsung keringat dingin dan gemetar. Mereka bingung harus berbuat apa. Akhirnya, si pelanggar mendapat teguran dan konsekuensi berdasarkan aturan adat. Entah bagaimana kelanjutan ceritanya, sebab rombongan tersebut tak ada yang tahu konsekuensi yang harus ditebus si pelanggar. Yang jelas, kisah ini membuat saya tidak akan melakukan hal-hal aneh ketika berada di Baduy. 

Menyikapi Aturan Adat dan Pantangan dalam Perjalanan
Perjalanan menuju Baduy Dalam/Amos Ursia

Cerita tersebut memang cukup sering kita temui, entah soal kunjungan di situs keramat atau perkampungan adat. Kisah-kisah mistis dalam perjalanan semacam ini kerap viral, apalagi sejak munculnya kehebohan KKN di Desa Penari dan konten horor di YouTube. Dampaknya, seringkali mereka yang ingin traveling jadi bingung. Terutama jika daerah yang ingin dikunjungi memiliki tradisi dan adat yang sangat kental. 

Saking banyaknya pengalaman pejalan yang kesannya sangat mistis dan menyeramkan, saya jadi sering bertanya-tanya: bagaimana menyikapi hal ini? Apakah itu wajar dan bisa kita siasati? Lalu, bagaimana idealnya seorang pejalan menempatkan diri dalam kepercayaan lokal itu? 

Perjalanan berarti memahami dan menghormati

Indonesia adalah negara yang sangat kaya secara budaya. Tiap daerah memiliki kebudayaannya sendiri. Sistem religi dan kepercayaan pun bermacam-macam, baik yang berupa warisan leluhur maupun kepercayaan modern. Saya akan membahas bagaimana idealnya kita menyikapi adat dan kepercayaan lokal di sebuah tempat, terutama daerah yang memiliki ikatan kuat dengan hal-hal spiritual. 

Menurut saya, kita perlu mengkritisi frasa “mistis” yang sering menjadi perbincangan dan viral di media sosial. Kita perlu memaknai kepercayaan lokal sebagai sesuatu yang tidak mengancam, selama kita menanamkan niat baik dalam diri sendiri. Sebab, ketika kita mengunjungi sebuah wilayah, kita sedang masuk ke dalam ruang hidup dan budaya orang lain.

Menyikapi Aturan Adat dan Pantangan dalam Perjalanan
Mengobrol bersama Ayah Sapri, warga Baduy/Amos Ursia

Menurut antropolog Claude Levi-Strauss (1963), mitos perlu dilihat sebagai “bahasa”, sebagai upaya sebuah masyarakat menuturkan suatu pesan. Memahami kepercayaan lokal dan mitos-mitos dalam perjalanan sebagai pesan adalah penting.

Misalnya, kepercayaan untuk larangan masuk ke hutan yang “sakral” di sebuah perkampungan adat. Pesan tentang hutan ini terhubung dengan pemeliharaan lingkungan hidup, karena di hutan jelas terdapat sumber air hingga pangan. Jika sembarang orang memasuki hutan, tentu sumber air akan rusak dan ketersediaan pangan terganggu.

Sehingga, sudah seharusnya kita mendasari sebuah perjalanan dengan rasa hormat, khususnya kepada kebudayaan yang akan kita jumpai. Rasa hormat ini sangat penting, karena menentukan cara kita berlaku dan bertindak. Yang menjadi masalah, seringkali wisatawan arus utama acuh tak acuh pada sistem kepercayaan masyarakat di daerah yang mereka datangi. 

Dari banyak kasus yang ada, penyebab terjadinya hal mistis kepada wisatawan adalah ketika mereka belum mengerti sistem kepercayaan masyarakat setempat. Jadi, tidak usah banyak bergaya ketika ingin menjelajahi sebuah daerah yang belum pernah kita kunjungi. Ikuti saja panduan dan nasihat warga lokal, sehingga tidak semata foto-foto keren untuk memajangnya di media sosial.

Pentingnya Interaksi dalam Perjalanan

Rasa hormat saja ternyata tidak cukup. Kita membutuhkan dialog atau percakapan dengan warga lokal. Perjalanan wisata arus utama seringkali hanya sebatas mengamati, jalan-jalan, dan berfoto dengan pose keren. Padahal perjalanan sejatinya adalah soal membangun relasi dengan penduduk setempat. 

Suatu hari saya pergi ke Lasem. Tepatnya ke sebuah komplek pecinan kuno di daerah Karangturi. Saya melihat sebuah rumah lawas yang menarik sekali. Sangat kuno dan suasana rumah tersebut cukup “angker”. Tadinya saya ingin langsung masuk ke dalam, melihat konstruksi dan pola bangunan rumah itu. Namun, saya memutuskan terlebih dahulu mencari sang empunya rumah dan meminta izin. 

Menyikapi Aturan Adat dan Pantangan dalam Perjalanan
Salah satu rumah tua di Lasem/Amos Ursia

Ternyata saya tidak berhasil menjumpai sang pemilik rumah. Saya pun dihampiri warga lain di sekitar rumah itu. Mereka bahkan tidak memberi saya izin untuk sekadar masuk ke halamannya. Tentu ada beberapa alasan yang cukup bermotif spiritual. Saya juga tidak menerobos dengan sengaja untuk masuk ke rumah kuno tersebut. Melalui dialog dengan warga, saya jadi mengerti batasan-batasan dan kehati-hatian saat memasuki sebuah ruang baru. 

Namun, saya malah jadi mendapat kesempatan berbicara dan bertamu. Meski gagal melihat artefak kuno dan arsitektur rumah tua itu, saya jadi disambut, diberikan teh hangat, dan diceritakan tentang Lasem dari penuturan langsung warga lokal. 

Rasa hormat dan dialog mungkin kata kunci untuk kita pegang dalam perjalanan. Sebagai tamu sekaligus pejalan, kita perlu benar-benar tahu diri. Tamu yang baik tidak akan membuat tuan rumah terganggu. Di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. 

Adanya aturan agar tidak mengambil foto sembarangan, tidak memasuki area terlarang, dan tidak melanggar aturan adat, adalah tanda dari sejauh apa dorongan untuk melakukan perjalanan. Ingin sekadar foto-foto dan memuaskan ego, atau ingin mengenal kebudayaan lain?

Lagipula, bukankah hakikat perjalanan adalah mendapat pengalaman, pandangan, dan kenalan baru? 

Referensi:

Claude Levi-Strauss. 1963. Structural Anthropology. Basic Books: New York.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyikapi Aturan Adat dan Pantangan dalam Perjalanan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyikapi-aturan-adat-dan-pantangan-dalam-perjalanan/feed/ 0 39044
Memaknai Toleransi Antarumat Beragama di Kota Kupang https://telusuri.id/memaknai-toleransi-antarumat-beragama-di-kota-kupang/ https://telusuri.id/memaknai-toleransi-antarumat-beragama-di-kota-kupang/#respond Fri, 20 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36914 Bicara tentang toleransi, Kota Kupang menyimpan beragam cerita baik yang terwujud dalam berbagai hal di dalamnya. Salah satu wujud toleransi itu sendiri tercermin melalui kerukunan antarumat beragama. Dalam skala nasional, Kota Kupang memang telah beberapa...

The post Memaknai Toleransi Antarumat Beragama di Kota Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
Bicara tentang toleransi, Kota Kupang menyimpan beragam cerita baik yang terwujud dalam berbagai hal di dalamnya. Salah satu wujud toleransi itu sendiri tercermin melalui kerukunan antarumat beragama.

Dalam skala nasional, Kota Kupang memang telah beberapa kali menerima penghargaan terkait toleransi antarumat beragama. Belum lama ini, mendapatkan Harmony Award dan julukan Kota Toleran. Beberapa tahun sebelumnya, juga pernah meraih penghargaan yang sama. 

Selain Harmony Award, Kota Kupang juga berhasil menorehkan catatan baik melalui Indeks Toleran Award (ITW) sebagai Kota Toleran Indonesia 2020 bersama 9 kota lainnya, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) tertinggi tingkat nasional tahun 2021, dan beberapa torehan lainnya. 

Terlepas dari pencapaian-pencapaian ini, toleransi antarumat beragama di sini memang telah menjadi potret indah yang mewarnai kehidupan orang-orang di dalamnya. Karena itu jugalah saya merasa sangat bersyukur bahwa Kota Kupang pernah menjadi bagian dari sejarah hidup saya, dan sekaligus menjadi tempat saya menimba banyak pelajaran berharga. 

Mengawali Oktober, kami melakukan kunjungan ke dua tempat ibadah yang berdampingan dan sekaligus menjadi salah satu ikon toleransi di Kota Kupang, yakni Masjid Al-Muttaqin dan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). 

foto bersama
Bersama Bapak Muhamad Marhaban/Oswald Kosfraedi

Kedua rumah ibadah yang berdiri berdampingan ini cukup terkenal, banyak juga cerita baik yang dapat dengan mudah kita temukan lewat berbagai literatur. Keduanya telah menjadi potret toleransi yang patut dijaga dan diceritakan pula sebagai salah satu representasi kerukunan antarumat  beragama di Kota Kupang. 

Kami tiba di sana sekitar pukul 08.00 WITA sesuai kesepakatan waktu bersama pengurus masjid dan gereja yang kami temui sehari sebelumnya. Menariknya, sehari sebelumnya kami menemui pengurus masjid tepat setelah pelaksanaan salat Jumat. 

Siang hari itu, halaman masjid masih cukup ramai. Kami disambut ramah oleh beberapa pengurus dan remaja masjid. Setelah saya dan Rikar memperkenalkan diri, kami disuguhi kopi dan makanan ringan, lalu larut dalam obrolan yang cukup lama. 

Agenda kegiatan kami di sana bertajuk “Indahnya Toleransi Beragama”, yang dilaksanakan sebagai salah satu bagian dari kegiatan kebinekaan program Modul Nusantara.  Pagi hari itu, kami duduk bersama di teras Masjid Al-Muttaqin bersama Ketua Yayasan Al-Muttaqin, Muhammad Marhaban. Beliau juga merupakan anggota FKUB Provinsi NTT utusan Majelis Ulama Indonesia Provinsi NTT.

Bapak Muhammad Marhaban mengawali cerita dengan berbagi pengalaman saat menjabat sebagai Kepala Kantor Agama di Kabupaten Alor. “Begini-begini sudah pernah jadi kepala kantor,” katanya sambil tertawa. Kemudian beliau berbagi cerita tentang rentetan pencapaian Kota Kupang dalam hal penghargaan kota toleransi. 

Beliau bercerita tentang kerukunan antarumat beragama di NTT, termasuk bagaimana kisah kerukunan antara gereja dan masjid yang berdampingan ini. Di hadapan kami semua, beliau juga dengan yakin mengatakan NTT bisa dijadikan contoh membangun toleransi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. 

sesi sharing
Sharing di Masjid Al-Muttaqin/Oswald Kosfraedi

Masih dalam diskusi di Masjid Al-Muttaqin, saya bertanya kepada Bapak Muhammad Marhaban perihal bagaimana kearifan lokal dan kehidupan budaya NTT berpengaruh terhadap kerukunan antarumat beragama. Menurutnya, kearifan lokal dan budaya di NTT memiliki andil besar terhadap terciptanya kerukunan antarumat beragama. Dengan mengambil contoh di Alor, beliau menjelaskan hal demikian dengan acuan buku yang pernah beliau tulis berjudul “Kearifan Lokal Umat Beragama di Kabupaten Alor Dalam Spirit Kerukunan”.

Beliau lalu menjelaskan bagaimana masyarakat Alor tumbuh dalam kerukunan antarumat beragama, yang juga tidak terlepas dari pengaruh budaya masyarakat di sana. Masyarakat Alor senantiasa bekerja sama dalam berbagai hal, seperti pembangunan rumah ibadah. 

“Orang Alor itu kalau mau bangun masjid, bukan orang Islam saja yang membangunnya, tapi yang bantu bangun itu [juga ada] orang Kristen,” jelasnya. Lebih lanjut, beliau juga menjelaskan bagaimana aspek-aspek kultural dan kehidupan kolektif masyarakat setempat menjadi fondasi kuat guna menciptakan kerukunan antarumat beragama. 

“Agama itu urusan pribadi, tapi dalam kehidupan sosial tidak pernah dibeda-bedakan agama,” tegasnya. Beliau pun mengutarakan faktor kekerabatan juga memainkan peran besar dalam mendukung kerukunan antarumat beragama di sini. Hubungan kekerabatan yang dibangun dengan kesadaran akan pentingnya menerima dan menghargai perbedaan agama turut menjembatani terciptanya kerukunan antarumat beragama. 

Dalam konteks survei indeks kerukunan umat beragama, tiga indikator umum mendasar yang dipakai Kementerian Agama mengacu pada aspek toleransi, kesetaraan, dan kerja sama. Beliau lantas menjelaskan ketiga hal ini dalam konteks kehidupan masyarakat NTT. Selain itu, beliau juga mengetengahkan peran dan dukungan pemerintah dalam menopang kerukunan antarumat beragama. Menariknya, hal ini dipraktikkan secara baik dalam kehidupan masyarakat NTT. 

Kembali dengan mengambil contoh di Alor, pemerintah memberikan dukungan secara maksimal melalui kebijakan yang adil terhadap semua agama, misalnya melalui pemberian anggaran yang sesuai dengan kebutuhan setiap agama maupun dengan langkah baik berupa kesempatan studi bagi setiap tokoh agama. 

Seusai diskusi dengan Bapak Muhammad Marhaban, teman-teman PMM juga diberikan kesempatan untuk sejenak berbagi pengalaman tentang potret kerukunan di daerah asalnya masing-masing. Seiring sesi yang kian akrab, hujan turun di pagi hari itu meski tak terlalu lama. Pagi  itu, Bapak Muhammad Marhaban juga rupanya memiliki agenda kegiatan lain yang membuat beliau pamit lebih awal.

Kami lalu mengunjungi Gereja HKBP yang terletak tepat di samping Masjid Al-Muttaqin. Di sana Pendeta Maradona Sibagariang yang telah kami hubungi sehari sebelumnya menyambut kehadiran.

Kami lantas kembali mendengarkan cerita kerukunan antarumat beragama dari perspektif beliau. Kali ini, Pendeta Maradona menekankan kepada kami semua bagaimana generasi muda perlu menjadi garda depan dalam menciptakan kerukunan antarumat beragama.

Dengan gaya bicaranya yang tenang, beliau menyinggung beberapa isu kontemporer yang perlu dihadapi secara bijak dalam konteks kerukunan antarumat beragama. Persoalan-persoalan intoleran yang saat ini sering bermunculan di media sosial perlu dihadapi secara baik dalam upaya menjaga kerukunan, terutama kerukunan antarumat beragama. 

  • Foto Bersama Pendeta
  • foto bersama

Setelah berbincang selama satu jam lebih, kami lantas mengakhirinya dengan mengambil foto bersama tepat di depan Gereja Huria Batak Protestan (HKBP) siang hari itu. Setelahnya, kami berpamitan pulang. 

Kembali dari sana, saya begitu bersyukur untuk kesempatan berbagi cerita sejak pagi hingga siang hari itu. Saya bersyukur bahwa saya hadir dan terlibat dalam semua kegiatan yang mungkin hanya berlangsung dalam skala kecil, tetapi punya pelajaran dan nilai yang sangat besar guna mendukung tumbuh dan lestarinya kerukunan antarumat beragama dalam kehidupan sehari-hari.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Memaknai Toleransi Antarumat Beragama di Kota Kupang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/memaknai-toleransi-antarumat-beragama-di-kota-kupang/feed/ 0 36914
Pontianak: Cerita Toleransi, Mi Tiaw, dan Sungai Kapuas https://telusuri.id/pontianak-cerita-toleransi-mi-tiaw-dan-sungai-kapuas/ https://telusuri.id/pontianak-cerita-toleransi-mi-tiaw-dan-sungai-kapuas/#respond Mon, 09 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36844 “Sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Supadio, Pontianak. Para penumpang harap mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi.” Suara dari pramugari sudah terdengar dari pengeras suara. Pesawat akan segera menapak di bumi Kalimantan. Ini...

The post Pontianak: Cerita Toleransi, Mi Tiaw, dan Sungai Kapuas appeared first on TelusuRI.

]]>
“Sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Supadio, Pontianak. Para penumpang harap mengencangkan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi.” Suara dari pramugari sudah terdengar dari pengeras suara. Pesawat akan segera menapak di bumi Kalimantan. Ini adalah kunjungan pertama saya ke Pontianak. Jantung memompa darah begitu kencang—antara semangat dan gugup.

Saya sempat menerka-nerka seperti apa Pontianak; sungai nun panjang yang diisi oleh sampan kecil, klenteng yang bergandengan dengan masjid, dan rumah-rumah panggung tepi sungai. Permadani hijau terhampar luas dari jendela pesawat, sejenak kemudian, kumpulan bangunan mulai terlihat berada di dekat dengan sungai—saya tebak pasti Sungai Kapuas. “Sayang ya, airnya cokelat. Coba aliran airnya jernih, mungkin pemandangan dari atas sini akan terlihat lebih cantik,” ucapku dalam hati.

Kunjungan saya kali ini dalam rangka business trip. Setelah hampir dua tahun hanya mengendap di rumah sembari bekerja, inilah momen peralihan dari kegiatan daring menuju luring. Rasanya menyenangkan, tetapi di juga menakutkan. Sebab, mesti ada penyesuaian kembali dari semua kegiatan yang serba mengandalkan jaringan internet menjadi kegiatan lapangan.

Saya menjadi delegasi Rombak Media untuk program CREATE (Creative Youth for Tolerance) yang merangkul anak anak SMA dari kelas X hingga XII untuk memahami praktik toleransi dan pluralisme di Pontianak. Saya juga menjadi moderator dalam sebuah focus group discussion antar peserta yang sebelumnya sudah mengikuti kunjungan ke rumah ibadah yang ada di sekitar Pontianak.

Kegiatan diskusi berlangsung pada tanggal 20 Agustus 2022 pada pukul 09.00 WIB. Jujur, saya cukup terkejut melihat para peserta yang sudah bersiap dari sekitar pukul 8.30. Untuk kegiatan kali ini kami dibantu oleh Kak Ningsih dan Kak Rio selaku Field Officer untuk Kota Pontianak, lalu ada Kak Yustina dan Kak Oki. Kami sudah bertemu malam sebelum kegiatan untuk melakukan briefing dan berkenalan.

Kebetulan, malam itu Kak Oki sedang berhalangan hadir karena sudah ada jadwal kegiatan lain. Karena kami sudah lebih mengenal Kak Rio dan Kak Ningsih melalui koordinasi dan meeting secara online, maka kami tidak merasa terlalu canggung. 

Namun, untuk Kak Yustina, saya agak merasa kikuk untuk harus bersikap seperti apa, karena saya dan dia belum pernah menjalin komunikasi sebelumnya. Untungnya, Kak Yustina sangat ramah dan mudah bergaul. Saya akhirnya merasa pembicaraan kami berlangsung dengan menyenangkan. Kak Yustina juga menawarkan untuk mencetak dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kegiatan nanti, karena kami kebetulan tidak membawa printer khusus dari Jakarta. 

Sebelum kegiatan semua peserta melakukan tes antigen untuk memastikan semuanya sehat dan siap untuk mengikuti kegiatan. Malang nian, dua peserta dinyatakan positif COVID-19 setelah menjalani pemeriksaan. Kami pun menghimbau peserta yang positif untuk pulang dan beristirahat sampai membaik. 

Saya jadi merasa sangat bersalah dan bingung, ketika harus meminta peserta yang positif untuk pulang, padahal mereka sudah menyempatkan dan berusaha menyisakan waktu untuk datang. Apalagi, salah satu peserta ada yang berasal dari Kubu Raya jarak tempuhnya ke Pontianak sekitar 2 jam perjalanan dan harus melalui jalan yang masih belum di aspal. Tapi mau bagaimana lagi? Jika tidak pulang maka resikonya akan lebih besar untuk peserta lain dan peserta yang sakit itu sendiri. 

peserta create
Para pesertaprogram CREATE dari Pontianak/Azlina Fitri

Kegiatan pada siang itu berjalan dengan lancar. Antusiasme peserta membuat saya sangat bersemangat dalam memandu jalannya kegiatan. Mereka sangat aktif dan terbilang cukup dekat dengan satu sama lain. 

Pendapat dan cerita yang mereka bagikan selama kegiatan, membuat saya belajar banyak hal tentang bagaimana toleransi di Pontianak. Saya juga baru tahu, bahwa dulu di Pontianak pernah terjadi tragedi kerusuhan Sambas—kerusuhan antar etnis—yang dampaknya masih cukup terasa hingga saat ini dan dirasakan oleh para keturunan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Keberagaman peserta di Pontianak membuat saya bersemangat selama kegiatan berlangsung. Salah satu peserta juga ada yang tuli, namun tidak ada diskriminasi dari peserta lainnya. Mereka justru belajar tentang bagaimana cara menggunakan bahasa isyarat. Saya sempat berfikir jika para peserta diberikan ruang dan kesempatan yang lebih siapa tau mereka bisa membawa perubahan yang besar di Kota Pontianak. Semoga.

Mencicipi Mi Tiaw

Rasanya ada yang kurang jika berkunjung ke tempat baru tanpa mencicipi kuliner lokal dan mampir ke atraksi wisata setempat. Sewaktu di hotel, saya sempat berbincang sebentar dengan resepsionis hotel, yang kebetulan sama-sama berasal dari Bandung.

“Baru pertama ke Pontianak, Mbak?” tanyanya kepada saya sewaktu check in. Saya mengangguk, mengiyakan dugaannya.

“Saya juga baru loh di sini, Mbak. Baru sekitar dua tahun di Pontianak.”

Dia kemudian memberikan sebuah kartu yang bertuliskan namanya yang dilengkapi dengan alamat dan nomor telepon. “Ini kartu nama saya, siapa tahu nanti ke Pontianak lagi. Kita bisa main.” Berkat dialah, saya mendapatkan rekomendasi tempat makan yang harus dicoba, salah satunya adalah Mi Tiaw Apollo.

Di bawah terik mentari yang memancar kuat, sembari menunggu ojek daring, saya mengamati sekitar. Dua orang pemulung berjalan kepayahan dengan gerobak dorong bak baru saja pulang dari medan perang. Seorang ibu tua yang menawarkan dagangannya kepada siapa saja yang lewat dengan intonasi yang tinggi. Rumah-rumah kayu yang menghitam dimakan umur. Tak lama, ojek daring datang dan kami bergegas pergi. Sayang, tujuan saya, Mi Tiaw Apollo tutup. Bapak pengemudi menawarkan beberapa pilihan tempat makan lainnya yang serupa. Saya setuju dengan sarannya. Motor kembali digas ke Mi Tiaw Antasari, yang konon cita rasanya juga melegenda. Bapaknya baik, mau mengantarkan saya tanpa mengenakan ongkos tambahan.

kuliner pontianak
Mencicipi kuliner lokal Pontianak/Azlina Fitri

Saya memilih untuk mencari tempat duduk di dekat tembok yang bercat kuning. Gemuruh suara orang berbicara di dalam warung bernafaskan Melayu: koki yang berteriak bahasa Melayu, pelayan yang bergumam dalam bahasa Melayu, pelanggan yang bercanda dalam bahasa Melayu. Telinga saya memang akrab dengan bahasa ini. Pesanan datang. Sepiring mi tiaw daging dengan porsi orang kelaparan. Saking banyaknya, saya tidak mampu untuk menghabiskan dan memutuskan untuk membungkus sisanya.

Menyusuri Sejengkal Pontianak

Di penghujung hari, kala padatnya manusia tidak berkurang sama sekali, saya memutuskan untuk melangkahkan kaki melihat Kota Pontianak dari nadinya. Jujur, saya sebenarnya malas dan berniat untuk tetap tinggal di hotel setelah kegiatan berlangsung. Kalau bukan karena ajakan Kak Ningsih, Kak Rio, dan Anti, saya pasti hanya menghabiskan sisa hari dengan rebahan. Saya sempat berpikir akan pingsan di jalan saking lelahnya, tapi kalaupun nantinya pingsan, setidaknya saya pingsannya di Pontianak.

Ojek mobil yang kami tumpangi menggilas jalanan di sore hari yang dirundung awan. Persinggahan pertama kami adalah Rumah Betang. Rumah Betang ini adalah replika rumah adat yang dulunya digunakan oleh masyarakat Dayak sebagai perkampungan komunal dalam satu bangunan. Sekarang, karena fungsinya replika, maka tempat ini menjadi serbaguna. Sebutan lainnya adalah Rumah Radankng–istilah penyebutan rumah adat dari suku Dayak Kanayatn. Modifikasi yang terlihat mencolok adalah tangga yang terbuat dari semen dan seperti tangga pada umumnya, mendampingi tangga asli yang terbuat dari batang kelapa–yang saya coba menaikinya.

Sehabis dari Rumah Betang, kami beranjak ke tepian Sungai Kapuas, lalu menaiki sebuah kapal. Di dalamnya ada warung yang menjual berbagai makanan ringan dan minuman. Bentuknya seperti kapan biasa tapi ada toko kecil di bawahnya, untuk menaiki kapan ini kami perlu membayar sekitar 15 ribu rupiah. 

Perjalanan mengelilingi Sungai Kapuas kurang lebih memakan waktu 40 menit. Angin berhembus cukup kencang dan tanpa sadar membuat saya melamun. dari kapal kita bisa melihat dua perbedaan cukup signifikan antara tipe pemukiman di sebelah kanan dan kiri sungai. Mungkin jika diartikan secara literal ini lah definisi nyata dari inequality, bangunan di sebelah kanan kapal sudah mulai terlihat lebih modern dan rapi sedangkan di sebelah kiri kapal banyan bangunan yang masih terbuat dari kayu dan beberapa warga masih menggunakan Sungai Kapuas untuk sekedar mencuci baju atau piring. 

Sambil memandang matahari yang mulai sirna, Kak Rio dan Kak Ningsih bercerita tentang kenapa warna Sungai Kapuas bisa kotor dan legenda-legenda makhluk misterius yang bernama puake. Mendengar cerita ini, saya teringat cerita legendaris Nyi Roro Kidul karena kisahnya yang kurang lebih sama. 

sungai kapuas
Menyusuri Sungai Kapuas/Azlina Fitri

Saya tiba-tiba teringat buku dari Yuval Noah Harari Sapiens, mungkin memang benar, manusia membuat cerita-cerita mistis yang dapat dipercaya untuk menjaga harmoni antar manusia atau menjaga alam agar dapat terus terawat dengan baik.

Yang terakhir, sebelum kembali ke hotel untuk beristirahat kami mampir di D’bamboo untuk memakan chai kue. Makanan ini bentuknya mirip seperti dimsum namun isinya macam-macam: ada bengkuang, kuchai, keladi dan kacang. Karena tidak tahu mana yang paling enak, kami memutuskan untuk memesan semuanya. 

Tekstur dari chai kue ini sangat lembut dan mudah terbuka. Rasanya gurih dan akan lebih mantap lagi kalau dimakan bersama sambalnya yang pedas dan asam. Saking enaknya saya menghabiskan total tujuh chai kue sendirian. Saya sempat berencana untuk membungkusnya pulang ke Jakarta, tapi ternyata chai kue hanya bertahan 1 hari saja.  Alhasil, saya jadi bercanda dengan Kang Ningsih dan Kak Rio, kalau saja di Pulau Jawa ada yang berjualan chai kue mungkin saya sudah menjadi pelanggan tetap mereka. Gelak tawa menghidupkan malam terakhir kami di Pontianak, dan saya belum tahu kapan akan kembali ke sini.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pontianak: Cerita Toleransi, Mi Tiaw, dan Sungai Kapuas appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pontianak-cerita-toleransi-mi-tiaw-dan-sungai-kapuas/feed/ 0 36844