tradisi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tradisi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:58:51 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 tradisi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tradisi/ 32 32 135956295 Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk https://telusuri.id/mendongak-dan-menunduk-di-ruwat-desa-pagerngumbuk/ https://telusuri.id/mendongak-dan-menunduk-di-ruwat-desa-pagerngumbuk/#respond Wed, 14 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46912 Pernahkah Anda seolah-olah menghirup hawa kematian massal? Pernahkah Anda seakan-akan menonton Izrail yang mencabuti jiwa-jiwa manusia secara membabi-buta? Pernahkah Anda tahu rasanya menatap kain jarik dan batik dengan mayat-mayat terbujur kaku di baliknya? Saya merasakannya...

The post Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk appeared first on TelusuRI.

]]>
Pernahkah Anda seolah-olah menghirup hawa kematian massal? Pernahkah Anda seakan-akan menonton Izrail yang mencabuti jiwa-jiwa manusia secara membabi-buta? Pernahkah Anda tahu rasanya menatap kain jarik dan batik dengan mayat-mayat terbujur kaku di baliknya? Saya merasakannya di hari Minggu yang hangat di pertengahan Februari. 

Hari itu (16/2/2025), hari yang sangat saya nanti-nanti. Jauh-jauh hari, lingkaran merah telah menandai kalender saya. Sehari sebelumnya, di Sabtu malam, hati saya berdebar-debar seperti sedang menanti detik-detik ikrar pernikahan. Saya tidak mampu tidur nyenyak.

Saya memikirkan ulang cerita kakek saya tentang ruwat desa di Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo. Kata Mbah Salim (84) akan ada kasur-kasur tertutup kain jarik batik di depan rumah warga. Warga kemudian akan mengarak kasur-kasur itu keliling desa. Saya membayangkan Malaikat Maut. Maut identik dengan larik-larik kain jarik. Ah, teramat unik dan menarik.

Ruwat desa Pagerngumbuk sudah pasti berbeda dari ruwat-ruwat desa biasanya. Tidak hanya ziarah kirim doa di makam desa. Tidak melulu pengajian dan pertunjukan wayang. Saya pun bertekad seperti seorang raja yang sedang bersumpah, “Saya harus menontonnya! Dengan mata kepala saya sendiri!”

Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk
Panggung utama ruwat desa Pagerngumbuk/Rosyid HW

Ruwat Desa Pagerngumbuk dalam Tiga Gelombang

Minggu-minggu menjelang bulan Ramadan—disebut bulan Ruwah dalam kalender Jawa—beberapa desa di Sidoarjo menggelar ruwat desa. Demi menonton ruwat desa Pagerngumbuk, saya merelakan diri tidak menonton ruwat desa Balongdowo dengan ritual nyadran-nya di pesisir Sidoarjo. “Mayat bergentayangan tentu lebih menarik daripada orang-orang mabuk ciu dan dangdut di geladak kapal!” seruku.

Bersama Fariduddin Attar, seorang antropolog partikelir, kami berangkat terlampau pagi dan mendapati beberapa orang masih menata tikar-tikar di jalanan depan Balai Desa Pagerngumbuk. Terop telah tegak berdiri. Panggung penuh gamelan sudah tertata rapi. Seseorang mencoba kualitas suara mikrofon. Beberapa panitia sedang bekerja dan berjalan ke sana kemari. “Biasanya pukul sembilan, warga mulai berdatangan,” jawab salah satu penjaja makanan dari puluhan penjual yang telah siap siaga mengais rezeki di sepanjang jalan menuju balai desa. 

“Wartawan, ya, Mas?” tanyanya. Saya menggeleng. “Mau ambil video, ya, Mas?” lanjutnya. Saya menjawab, “Kami hanya ingin menonton.” Menonton malaikat maut, batinku. Sambil melipir ke warung kopi, saya pun berpikir, ruwat desa ini sudah kepalang masyhur hingga banyak orang dari luar desa turut berkunjung.

Gunungan hasil panen sayur warga Pagerngumbuk/Rosyid HW

Tiga gelombang rombongan warga mulai berdatangan ketika jarum jam di dinding balai desa menunjuk angka sembilan. Gelombang pertama adalah bapak-bapak yang mengarak gunungan hasil bumi—lebih dari sepuluh gunungan. Setinggi dua meter lebih, aneka sayuran dan buah-buahan ditata sedemikian rupa agar gunungan terlihat menarik. Ada pisang, sawi, sirsak, terong, ketela, jagung, timun, nanas, gambas, dan kacang panjang. “Gunungan ini dilombakan. Per RT satu gunungan,” kata Fanani, saudara saya yang juga warga Pagerngumbuk. Beberapa jam kemudian, saya membaca statistik: desa ini terbagi menjadi 16 RT. Artinya, ada 16 gunungan hasil ladang.

Beberapa menit setelahnya, rombongan kedua mulai berdatangan. Tiba-tiba, dada saya bergetar. Bulu kuduk saya merinding. Para lelaki tampak seperti menggotong keranda-keranda. Keranda berpenutup jarik dan batik, sebuah bidang persegi panjang diikat pada selonjor bambu atau kayu dan diangkat oleh dua lelaki. Tidak hanya satu atau dua, tapi puluhan. Seperti iring-iringan orang meninggal. Rentetan parade kematian. Mereka kemudian meletakkan kendaraan-kendaraan kematian tersebut di area pendopo dan halaman balai desa yang sengaja dikosongkan.

Hidung saya seolah-olah menghirup aroma basah tanah kuburan. Di tiang-tiang balai desa. Di atap-atap genteng. Di pucuk-pucuk daun. Di kilat-kilat lantai. Izrail seakan-akan terbang melayang-layang. Panggilan kematian seperti mendekat, sedekat urat leher. Oh, ini yang diceritakan kakekku.

Aku menatap Fanani dengan alis terangkat. Ia seakan mengerti, lalu membuka mulut: itu hanya dipan atau lincak atau kursi panjang, berisi tumpeng makanan. Aku berpikir, daripada tumpeng, itu lebih mirip mayat. Di antara lalu-lalang orang, Fanani berseru, “Seperti nabi, penyedia tumpeng adalah orang-orang pilihan.” 

Warga berbondong-bondong menggotong bayang dan lincak untuk ditata di balai desa/Rosyid HW

Hanya keluarga penggarap gogol sawah desalah yang berkewajiban mengeluarkan tumpeng. Jika total ada 88 gogol se-Pagerngumbuk, maka ada 88 tumpeng yang dihidangkan. Apabila ada satu keluarga yang menggarap empat gogol, maka keluarga tersebut tetap diharuskan mengeluarkan empat tumpeng. “Aturan ini sudah dijalankan turun-temurun,” katanya.

Daging kerbau adalah hidangan utama ritual ini. Sehari sebelumnya, pemerintah desa menyembelih kerbau. Daging kerbau dibagi-bagikan kepada penggarap 88 gogol sawah desa. Daging kerbau dimasak dan disajikan secara khusus. Tidak boleh sembarangan. Salah satunya adalah sate daging kerbau yang diapit supit bambu dengan pelepah daun pisang di ujungnya. Ada pula sate daging kelapa; kepal parut kelapa yang berisi daging dan sate hati-usus-jeroan—saat bubaran ruwat desa, saya sempat menggigit satu tusuk hati kerbau ini dan rasanya sedap sekali!

Selain daging kerbau, ada pula kerupuk besar selebar rentang jari orang dewasa, pisang hijau, dan jajanan desa macam jadah, kembang gula, dan jenang. Menu sudah diatur dan diturunkan dari generasi ke generasi. Kondimen tumpeng sudah ditentukan sedemikian rupa. “Jika menunya tidak lengkap, ditakutkan muncul tumbal,” tutur Fanani menakut-nakuti.

Setelah tumpeng-tumpeng tertutup kain batik memenuhi area dalam balai desa, rombongan warga—lelaki dan perempuan; dewasa, remaja, dan anak-anak—mulai memadati kawasan jalanan depan balai desa. Mereka juga membawa tumpeng masing-masing, tumpeng bebas yang mereka berhak memasak apa pun dan siapa pun boleh membawanya. Di atas tikar-tikar yang tergelar, mereka tanpa jeda berbicara tak peduli dengan pidato-pidato kepala desa dan camat yang membosankan. 

Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk
Keramaian warga saat prosesi ruwat desa. Mereka membawa makanan dan jajanan masing-masing/Rosyid HW

Menghayati Makna Ruwatan di Pagerngumbuk

Di tengah riuh yang memiuh, saya memilih berteduh dan menata gaung dari dengung pertanyaan di kepala. Mengapa penduduk Pagerngumbuk yang berjumlah 3.158 kepala merayakan ruwat desa dengan tumpeng-tumpeng yang terlihat seperti mayat? Saya mencoba menerka-nerka sendiri jawabannya.

Gunungan hasil ladang adalah ekspresi syukur dengan dada lapang. Syukur dengan kesadaran bahwa desa dengan luas 166,07 hektare dan tanah sawah seluas 154 hektare telah menganugerahi mereka kehidupan, rezeki, dan berkah yang berlimpah-limpah. Syukur yang tidak hanya diukur secara personal, tetapi juga komunal. Tumpeng dan daging kerbau pun mengejawantah dalam bentuk sedekah. Saling berbagi, saling menikmati; perwujudan rasa kebersamaan, gotong-royong, dan persatuan antar penduduk desa.

Namun, hidup dengan rasa syukur dan bahagia yang membuncah tak menghalangi mereka untuk melupakan hidup yang sesungguhnya, hidup selepas kematian. Walhasil, mereka membungkus tumpeng, masakan daging kerbau, dan jajanan mereka dengan kain batik dan jarik sehingga tampak seolah-olah seperti jenazah, seperti jasad mati yang terbujur kaku. 

Ketika zuhur menjelang dan doa-doa baik telah dipanjatkan, kain batik dan jarik disingkap, isi tumpeng-tumpeng diperebutkan dan dilahap, jajanan dan sajian dikudap. Jiwa-jiwa warga mendongak merayakan syukur hidup. Hati-hati penduduk menunduk mengingat mati. 

Di Pagerngumbuk, seraya mengunyah sate hati-usus-jeroan kerbau, saya belajar menghayati hidup sekaligus menghikmati mati. Hidup memang patut dirayakan, tetapi mati tidak boleh dilupakan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendongak dan Menunduk di Ruwat Desa Pagerngumbuk appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendongak-dan-menunduk-di-ruwat-desa-pagerngumbuk/feed/ 0 46912
Melawat ke Dusun Tahunan, Menapaki Jejak Kemahiran Menempa Besi https://telusuri.id/melawat-ke-dusun-tahunan-menapaki-jejak-kemahiran-menempa-besi/ https://telusuri.id/melawat-ke-dusun-tahunan-menapaki-jejak-kemahiran-menempa-besi/#respond Thu, 07 Dec 2023 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40153 Pande besi adalah keterampilan membentuk besi menjadi perkakas tajam seperti pisau, sabit, cangkul, golok, keris, dan lain sebagainya. Di sejumlah kecamatan di Kabupaten Grobogan, tepatnya di Kampung Pandean, dulunya terdapat aktivitas pande besi. Hanya saja,...

The post Melawat ke Dusun Tahunan, Menapaki Jejak Kemahiran Menempa Besi appeared first on TelusuRI.

]]>
Pande besi adalah keterampilan membentuk besi menjadi perkakas tajam seperti pisau, sabit, cangkul, golok, keris, dan lain sebagainya. Di sejumlah kecamatan di Kabupaten Grobogan, tepatnya di Kampung Pandean, dulunya terdapat aktivitas pande besi. Hanya saja, dalam perkembangannya, Pandean tinggal nama, karena aktivitas pande besi di sana sudah tidak ada lagi.

Namun di Kabupaten Grobogan pula, terdapat sebuah kampung yang dijuluki “Kampung Sentra Pande Besi” yang mana sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai pande besi. Kampung tersebut berada di Dusun Tahunan yang secara administratif termasuk bagian dari wilayah Desa Putatsari, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. 

Saat berkesempatan melawat ke Dusun Tahunan pada Sabtu, 23 September 2023, saya mendapatkan data bahwa di Dusun Tahunan ada lebih dari 300 warga yang berprofesi sebagai pande besi. Kemahiran menempa besi menjadi alat-alat dapur dan pertanian seperti pisau, sabit, berang, bendo, golok, cangkul, dan lainnya itu, merupakan warisan budaya dari leluhur mereka, yang diwariskan dari generasi ke generasi, sejak ratusan tahun lampau.

Kampung Sentra Pande Besi
Alat-alat dapur dan pertanian produksi pande besi Dusun Tahunan yang dijual dalam sebuah ekspo/Badiatul Muchlisin Asti

Jejak Pangeran Penatas Angin 

Warisan kebudayaan tersebut semakin kukuh dengan jejak tokoh masa lalu yang mewarnai sejarah desa. Adalah Pangeran Penatas Angin dan Empu Supo, dua sosok historis yang selalu disebut ketika membincang asal-usul Dusun Tahunan berikut kemahiran warganya dalam menempa besi. Lalu, siapakah Pangeran Penatas Angin? 

Ustaz Saiful Anam, tokoh agama Dusun Tahunan, menceritakan kepada saya riwayat ringkas Pangeran Penatas Angin. Menurutnya, Pangeran Penatas Angin adalah seorang bangsawan dari Kerajaan Gowa di Makassar. Nama aslinya Daeng Mangemba Nattisoang. Dijuluki Pangeran Penatas Angin karena kemampuan navigasi yang hebat alias memiliki “kesaktian” menghalau angin sehingga mampu menyelamatkan kapal yang ditumpanginya dari amukan badai di tengah lautan.

Singkat cerita, menurut Mas Saiful—demikian saya menyapanya, suatu ketika Pangeran Penatas Angin memutuskan hijrah ke Demak untuk berguru kepada Kanjeng Sunan Kalijaga. Setelah bertemu dan mampu melewati “ujian” yang diberikan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, Pangeran Penatas Angin pun akhirnya diterima menjadi murid resmi Sunan Kalijaga. Ia kemudian diperintahkan oleh Sunan Kalijaga untuk mengabdi di Kesultanan Demak sebagai salah seorang senapati.

Bertahun-tahun kemudian, saat terjadi kemelut perebutan takhta Kesultanan Demak, Pangeran Penatas Angin memilih menyepi atau uzlah ke sebuah tempat yang kelak disebut “Dusun Tahunan”. Menurut Mas Saiful, nama “Tahunan” berasal dari kata “tahun”, yaitu dari rentang waktu uzlah Pangeran Penatas Angin yang hingga bertahun-tahun lamanya. Di tempat ini, Pangeran Penatas Angin membenamkan diri dalam kekhusukan ibadah dan mengembangkan syiar Islam.

Menurut riwayat, Pangeran Penatas Angin berada di Dusun Tahunan hingga akhir hayatnya selama kurang lebih 17 tahun. Makamnya berada di kompleks Makam Gedong yang berada di Dusun Tahunan. Di kompleks pemakaman ini pula terdapat sejumlah makam tokoh besar lainnya, salah satunya adalah makam Syekh Kafrawi Pangeran Kusuma Yudha yang merupakan murid kinasih Pangeran Penatas Angin atau yang kemudian populer dengan sebutan Syekh Maulana Penatas Angin.

  • Kampung Sentra Pande Besi
  • Kampung Sentra Pande Besi
  • Kampung Sentra Pande Besi
  • Kampung Sentra Pande Besi

Jejak Empu Supo

Selain Pangeran Penatas Angin, sosok historis lain yang selalu disebut saat membincang sejarah Dusun Tahunan, terutama terkait dengan kemahiran warganya dalam membuat alat-alat dapur dan pertanian, adalah sosok bernama Empu Supo.

Empu Supo sendiri adalah murid Kanjeng Sunan Kalijaga—salah seorang anggota Korp Dakwah Walisongo. Selain murid, Empu Supo juga berstatus ipar Kanjeng Sunan Kalijaga, karena dalam riwayat, Empu Supo disebutkan menikah dengan Dewi Rasawulan—adik kandung Kanjeng Sunan Kalijaga. Dalam buku-buku historiografi Jawa disebutkan, Empu Supo masyhur sebagai seorang empu yang mahir membuat keris pusaka.

Meski tak ada sumber primer yang bisa dirujuk, namun menurut Mas Saiful, cerita tutur turun-temurun menyebutkan bahwa sosok Empu Supo pernah singgah di Dusun Tahunan, sehingga hal itu selalu dikaitkan dengan warisan kemahiran masyarakat Dusun Tahunan dalam menempa besi dan memproduksi alat-alat dapur dan pertanian.

Potret Pande Besi Dusun Tahunan 

Setelah berziarah ke Makam Syekh Maulana Penatas Angin dan mendapatkan cerita tentang riwayat Syekh Maulana Penatas Angin dan Empu Supo, saya berkesempatan berkunjung ke kediaman salah satu sesepuh Dusun Tahunan sekaligus seorang pande besi senior di Dusun Tahunan bernama Wargono. Mbah Wargo—begitu kemudian saya menyapanya, termasuk pelaku pande besi senior di Dusun Tahunan yang berusia 71 tahun.

Kampung Sentra Pande Besi
Mbah Wargo sedang menempa besi/Badiatul Muchlisin Asti

Sebelum kemudian kami terlibat dalam perbincangan, saya telah terlebih dahulu berkesempatan menyaksikan langsung kepiawaian Mbah Wargo dalam menempa besi untuk dibuat produk perkakas tajam.  Di usianya yang ke 71 tahun, Mbah Wargo masih gesit dalam menempa besi. 

Dari Mbah Wargono saya mendapatkan informasi ikhwal prototipe, model, atau istilahnya disebut wangun alat-alat dapur dan pertanian khas Dusun Tahunan. Misalnya ada model sabit yang disebut dengan istilah ngembang turi sumba keplayu. Ada juga sabit atau arit dengan model nggagang terong ngembang turi tuwa. Ada pula model sabit mbatuk banyak semar ndodok yang biasanya berfungsi untuk merajang tembakau. Selain itu, ada juga sabit untuk merajang tembakau dengan model tikus mogok.

Cangkul atau pacul produksi pande besi Dusun Tahunan juga punya model tersendiri yang khas, yaitu yang disebut dengan istilah pacul krenyeh dan pacul terek. Pacul krenyeh memiliki ciri leburan baja cor anti lengket di dekat mata pacul. Baja cor di dekat mata pacul itu juga berfungsi menambah kekuatan sehingga pacul tidak gampang mleyot. Adapun pacul terek adalah pacul yang mata paculnya disambung dengan baja dengan tujuan menambah ketajaman.

Secara umum disebutkan, produk-produk alat dapur dan pertanian di Dusun Tahunan lazim disebut dengan istilah isen (isian), yaitu sebuah teknik pembuatan alat dapur dan pertanian dengan memadukan baja kualitas tinggi yang dilebur dengan besi konvensional, sehingga menghasilkan produk berkualitas tinggi dari segi fungsi dan estetika. Produknya juga mudah diasah dan awet tajam.

Mitos Larangan Membuat Bilah Pamor

Di tengah ratusan warga Dusun Tahunan yang hingga saat ini menekuni profesi sebagai pande besi, terdapat sebuah mitos yang hingga saat ini masih dipercaya oleh sebagian besar penduduk Dusun Tahunan, yaitu mitos larangan membuat bilah pamor, seperti pisau dan keris yang berpamor. Bila melanggar larangan itu, maka berkonsekuensi bisa membawa musibah dan malapetaka dalam kehidupan pembuatnya, termasuk kematian tragis.

Menurut Mas Saiful, larangan itu menemukan konteksnya dan dapat dimaknai sebagai ekspresi kearifan leluhur Dusun Tahunan agar masyarakat Dusun Tahunan tidak terjebak dalam produksi senjata yang berguna untuk membunuh, yang bisa mengantarkan masyarakat Dusun Tahunan masuk ke dalam pusaran konflik dan peperangan yang masih sering berkecamuk ketika itu. Menurutnya, mitos itu perlu disikapi secara kritis, sehingga larangan itu tidak diterima begitu saja tanpa reserve.

Meski sebagian besar masyarakat Dusun Tahunan masih memegang erat mitos itu, namun saat ini ada saja warga Dusun Tahunan yang berupaya mendobrak mitos tersebut. Salah satunya adalah Farid Muhammad Fadhila, salah seorang empu termuda Dusun Tahunan, yang saat ini justru menekuni bilah pamor berupa pisau dan keris berpamor.

  • Kampung Sentra Pande Besi
  • Kampung Sentra Pande Besi

Saat berbincang santai dengan saya, Farid—demikian ia biasa disapa—mengaku tidak takut dengan mitos yang melarang warga Dusun Tahunan membuat bilah pamor. Menurutnya, hal itu hanya mitos belaka yang tidak benar. Sedangkan motif dirinya menekuni pembuatan pisau atau keris berpamor adalah dalam rangka melestarikan warisan budaya leluhur Indonesia.

Membuat bilah pamor, menurut Farid, selain mengandung nilai seni tinggi, juga mendongkrak nilai jual produk yang dibuatnya. Di pasaran, produk bilah pamor buatan Farid dihargai Rp1 juta hingga Rp5 juta per pcs. Farid sendiri sudah mulai belajar pande besi sejak Kelas 6 SD. Lalu fokus menekuni bilah pamor sejak duduk di kelas 2 SMK. Farid adalah cucu Mbah Wargo. Ayah Farid—menantu Mbah Wargo—juga seorang pelaku pande besi.

Menuju Desa Wisata Berbasis Sejarah dan Budaya

Dengan segenap potensi yang dimiliki Dusun Tahunan, kampung ini memiliki daya tarik yang bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata desa berbasis sejarah, budaya, dan edukasi. Saat bersua dengan Sumarno, Kepala Desa Putatsari, di kantornya, saya mendapatkan master plan terkait pengembangan desa wisata di kampung yang dipimpinnya itu. Gagasan mengembangkan wisata desa itu, saat ini on progress. Secara bertahap sedang dalam proses eksekusi. 

Kampung Sentra Pande Besi
Berfoto dengan Kepala Desa Putatsari, Sumarno, seusai berbincang tentang pengembangan desa wisata Pustatsari/Badiatul Muchlisin Asti

Kepada saya, Pak Marno menyampaikan tiga elemen pengembangan Desa Wisata Putatsari, meliputi pertama; wisata sejarah karena di kampung ini terdapat makam sosok-sosok penting dalam sejarah. Selain makam Pangeran Penatas Angin atau Syekh Maulana Penatas Angin, juga ada makam tokoh-tokoh lainnya seperti Syekh Kafrawi Pangeran Kusuma Yudha, Pangeran Delimas, Pangeran Sosro Kusuma Atmaja, dan lainnya. 

Kedua; 300-an lebih warga Dusun Tahunan yang berprofesi sebagai pande besi bisa menjadi potensi atraksi wisata desa berbasis budaya yang cukup magnetis. Nantinya, wisatawan bisa melihat geliat aksi warga dalam menempa besi, membuat alat-alat dapur dan pertanian.

Ketiga; wisata edukasi dengan membuat museum yang berisi narasi jejak sejarah Dusun Tahunan sebagai kampung sentra pande besi dan display pelbagai model alat-alat dapur dan pertanian khas Dusun Tahunan.

Menurut Pak Marno, dirinya sudah menyiapkan lahan untuk pendirian museum dan saat ini sudah dalam tahap pembuatan fondasi. Ia berharap, wisata desa dapat segera terealisasi dan nantinya dapat menjadikan perekonomian warga yang dipimpinnya bisa meningkat tajam.

Sehari di Dusun Tahunan sungguh banyak hal baru yang saya jumpai dan dapatkan. Tentang sejarah, juga tentang warisan budaya yang berhasil dilestarikan oleh masyarakat pewarisnya. Dusun Tahunan adalah potret kampung sentra pandai besi yang sangat magnetis.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Melawat ke Dusun Tahunan, Menapaki Jejak Kemahiran Menempa Besi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/melawat-ke-dusun-tahunan-menapaki-jejak-kemahiran-menempa-besi/feed/ 0 40153
Tradisi Massempe’: Pertarungan Tanpa Menang dan Kalah https://telusuri.id/tradisi-massempe-pertarungan-tanpa-menang-dan-kalah/ https://telusuri.id/tradisi-massempe-pertarungan-tanpa-menang-dan-kalah/#respond Fri, 01 Dec 2023 06:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40154 “Lokkaki mita mappassempe’!” (bahasa Bugis), yang artinya seorang teman mengajak saya pergi menyaksikan tradisi massempe’ —sebuah gelaran tradisi pasca panen masyarakat Bugis sebagai bentuk perayaan atas hasil yang mereka dapatkan.  “Oh, massempe’ tetap diadakan tahun...

The post Tradisi Massempe’: Pertarungan Tanpa Menang dan Kalah appeared first on TelusuRI.

]]>
“Lokkaki mita mappassempe’!” (bahasa Bugis), yang artinya seorang teman mengajak saya pergi menyaksikan tradisi massempe’ —sebuah gelaran tradisi pasca panen masyarakat Bugis sebagai bentuk perayaan atas hasil yang mereka dapatkan. 

“Oh, massempe’ tetap diadakan tahun ini?” ajakan teman saya timpal dengan pertanyaan sedikit terheran. Tahun ini kekeringan melanda, menyebabkan banyak lahan terutama sawah tadah hujan, gagal panen. Saya pun berpikir, apakah harus merayakannya jika hasil panen bermasalah?

Meski sedikit bingung saya tetap beranjak dengannya.

Kami menuju Desa Sanrangeng, Kecamatan Dua Boccoe, Kabupaten Bone. Dua desa setelah kampung kelahiran saya. Sesampainya di sana, mobil dan motor sudah mulai berdesakan penuhi bahu jalan, lorong-lorong dan halaman rumah warga.

Massempe’ sendiri merupakan tradisi tahunan sekaligus ajang silaturahmi masyarakat antardesa yang saling berkumpul di desa tempat tradisi berlangsung. Sebagai penghormatan kepada tamu yang datang, desa tuan rumah bertugas mappanre (memberi makan) dengan memotong hewan peliharaan seperti ayam dan sapi yang dimasak secara gotong royong bersama seluruh warga desa. 

“Sudah mulai kah?” tanya ku pada teman yang berjalan mendahului ke lapangan.

“Belum, orang-orang masih mappere,” jawabnya saat melihat orang berayun di atas ayunan raksasa.

Sebelum massempe’ sebagai acara inti dimulai, mappere (berayun) menjadi pembuka acara. Ayunan tersebut sangat besar, memiliki tinggi sekitar 20 meter, terbuat dari dua batang kayu kapuk ditancapkan ke tanah dengan jarak kedua tiangnya sekitar 10 meter. Di tengahnya terdapat tali sebagai pengikat bantalan ayunan terbuat dari kayu.

Orang yang ingin diayun duduk di bantalan sembari kedua tangannya berpegangan pada tali ayunan. Kemudian terdapat dua orang pemuda yang membentangkan tali pada perut orang di atas bantalan yang menarik sisi kanan dan kiri tali dengan kuat. Ayunan mulai bergerak, dua pemuda itu dengan sigap  mengambil tali kemudian menariknya kembali. Ayunan semakin meninggi, pemuda itu melakukannya berulang kali sampai ayunan mencapai ketinggian 10 meter lebih.

Biasanya mappere diperuntukkan untuk ibu-ibu dan remaja putri meski tidak ada larangan bagi golongan laki-laki untuk mencobanya. Makanya, tak heran jika suara histeris para ibu-ibu terdengar di atas ketinggian. Sontak para penonton tertawa meski mereka juga ikut merasakan ketegangannya.

Mappere menjadi tontonan mengasyikkan dan buat jantung berdebar. Pun, butuh keberanian dan mental kuat untuk mencobanya. Meski begitu, mappere selalu membuat penonton penasaran.

“Saya ingin mencobanya!”

“Tidak usah, nanti kau pingsan di atas ayunan!” jawab teman yang lain sambil mengejek.

Setelah sekitar satu jam terbuai dengan keseruan mappere, orang-orang mulai beralih ke sisi tengah lapangan yang sudah diberi garis pembatas berbentuk lingkaran dari tali rafia. Penonton tidak boleh melewati garis batas tersebut.

Berkumpulnya orang-orang di sekitar arena pertanda tradisi massempe’ segera dimulai.

Secara bahasa, massempe’ berasal dari dua kata yaitu ma dan sempe’ (bahasa Bugis). Ma artinya sedang melakukan dan sempe’ artinya sepak atau menendang. Massempe’ adalah budaya saling menendang antara dua orang laki-laki yang bertarung atau tradisi uji ketangkasan bagi kaum pria suku Bugis. 

Sebelum memulai pertarungan, beberapa pemuda yang akan bertarung berjalan sambil menepuk-nepuk paha mengelilingi arena di tengah-tengah penonton sebagai pihak penantang. Pemuda lain yang duduk di antara penonton berperan sebagai calon lawan sehingga para penantang berjalan sembari menunggu tantangannya diterima.

Cara menerima tantangan dilakukan dengan berdiri sambil menepuk tangan dua kali lalu menyodorkan salah satu tangan ke arah penantang yang diinginkan. Apabila penantang setuju, dia melakukan hal yang sama sebagai simbol kesepakatan antara dua pihak untuk bertarung. Selanjutnya kedua pemuda itu memasuki arena.

Massempe’ dipandu oleh dua orang wasit inti. Wasit bertugas melerai para petarung yang mereka ukur dengan estimasi waktu tertentu. Pertarungan berlangsung hanya sekejap untuk setiap sesi. Meski begitu, massempe’ termasuk pertarungan cukup ekstrim. Terkadang ada petarung yang cedera seperti betisnya bengkak, mulutnya berdarah, bahkan pernah ada kasus sampai patah tulang.

Pertarungan dalam massempe’ cuma terdapat dua aturan, pertama tidak boleh menggunakan tangan dan kedua harus mematuhi wasit. Makanya peran wasit sangat intim untuk memastikan petarung tidak ada yang cedera sebab massempe’ sendiri bukan ajang unjuk diri semata, tetapi lebih kepada bentuk silaturahmi dalam gerak. 

“Bagaimana kawan? Kita massempe’ juga?” Teman saya mengajak masuk arena .

“Kalian pemuda, masuklah!” Seorang sesepuh yang duduk dekat kami mengompori

Saya cengengesan di pinggir arena menolak ajakannya.

Terakhir kali saya ikut massempe’ itu sewaktu SD, memori tersebut sudah cukup untuk mengungkap betapa serunya tradisi ini. Bagi golongan pria Bugis, massempe’ seperti memiliki energi magis menarik kita ke dalam arena. Ikut bertarung seakan memberi kepuasan yang menggembirakan.

Di antara kerumunan penonton, kaki saya mulai gemetaran namun kekhawatiran cedera lebih kuat menahan diri. Belum sempat menenangkan diri, seorang pemuda di samping saya sepakat bertarung. Mereka menuju tengah lapangan menghampiri wasit, mereka melangkah membusungkan dada penuh kehormatan sebagai laki-laki. Sebelum memulai pertarungan, wasit mewajibkan petarung bersalaman. Kemudian mereka mundur beberapa langkah untuk mengambil ancang-ancang, setelah wasit memberi instruksi, pertarungan mulai. 

“Prakkk! Bumm… Pushh…” Suara saling tendang terdengar.

“Eaaa… Eeeeaaa… Huuuu… Hahahaha…” Gelegar suara penonton menyaksikan model tendangan.

“Hooppp… Stoppp, sudah, sudah..” Suara wasit terdengar lantang merelai.

Uniknya, massempe’ tidak menambah musuh pasca pertarungan tetapi justru menambah pertemanan. Pertarungan dimulai dengan jabat tangan dan berakhir dengan jabat tangan pula, kemudian mereka tidak boleh bertarung kembali dengan lawan yang sama.

Dua pemuda tadi berjabat tangan sambil mengumbar senyum, bahkan salah satunya mengucap maaf ketika berhasil mengenai lawan dengan keras.

Suku Bugis Bone terkenal dengan konsep padaidi (sesama kita). Suatu nilai yang memiliki kekuatan besar untuk mempersatukan setiap kepentingan dalam masyarakat Bugis. Kata-kata itu sering terdengar sewaktu terjadi konflik antarmasyarakat Bugis, sehingga pada tradisi massempe’ semua orang merasa satu walau berasal dari desa berbeda.

Massempe’ berlangsung sejak siang sampai sore, para pemuda bergantian mengadu ketangkasan. Gemuruh teriakan penonton memuncak sejalan dengan sepakan petarung. Suara-suara saling menendang terdengar, meski ngilu namun wajah sumringah tetap terlihat pada petarung. Inilah seni massempe’, saling adu tanpa ada yang menang dan kalah. Semata-mata demi perayaan atas hasil bumi dan momen saling kenal untuk memperkokoh silaturahmi.

Dalam tradisi massempe’ yang mendapatkan luka dan mengalami sakit, bukan berarti ia kalah. Begitu juga yang berhasil menendang mundur lawan, bukan berarti menjadi pemenang.

Pertarungan tanpa ada hadiah selain persahabatan sebagai piala, merupakan pertarungan paling berkesan. Mereka yang pernah saling beradu, kerap menjalin hubungan pertemanan setelah acara, yang awalnya tidak saling kenal kemudian bisa merawat silaturahmi.

Tidakkah pesan yang timbul begitu menggiurkan di era sekarang ini? Kompetisi pertarungan yang tampak ke permukaan masyarakat dominan menuntut adanya pemenang dan menyingkirkan mereka yang kalah. Pun pertarungan yang terlihat memperlebar jarak hubungan manusia sehingga musuh selalu menjadi anak dari setiap arena kompetisi. Menyaksikanmassempe’ memberi saya setitik kesadaran bahwa pertarungan paling indah adalah pertarungan tanpa mengalahkan apapun selain rasa egois untuk menjadi pemenang.

***

Pada mulanya tradisi massempe’ dilakukan sejak Kerajaan Bone, pemuda saling bertarung depan aristokrat kerajaan untuk direkrut menjadi pallapi aro (pelindung raja). Tradisi tetap eksis secara turun temurun meski arahnya dialihkan menjadi bentuk perayaan atas hasil panen masyarakat Bugis, dan hasil panen mereka tidak selalu memuaskan. Apalagi di tengah gempuran El Nino yang meretakkan banyak lahan, seperti saat ini.Akhirnya, massempe’ menjadi ruang bagi petani untuk berterimakasih kepada alam sekaligus doa yang terpanjat tanpa ucap untuk keberkahan siklus tanam selanjutnya. Lewat massempe’, petani memberi sedikit interupsi bahwa perayaan bukan hanya perihal euforia tetapi bentuk kerendahan hati untuk bersyukur.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tradisi Massempe’: Pertarungan Tanpa Menang dan Kalah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tradisi-massempe-pertarungan-tanpa-menang-dan-kalah/feed/ 0 40154
Pasar Senggol: Perayaan Kecil Masyarakat Selang Kebumen https://telusuri.id/pasar-senggol-perayaan-kecil-masyarakat-selang-kebumen/ https://telusuri.id/pasar-senggol-perayaan-kecil-masyarakat-selang-kebumen/#respond Mon, 17 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39323 Kenangan awal ketika datang ke Kelurahan Selang, Kebumen, adalah tradisi pasar senggolnya. Entah mengapa, masyarakat di desa tersebut kerap merekomendasikan saya menunggu beberapa waktu untuk mengalami tradisi pasar senggol secara langsung. Bagi sebagian warga Selang,...

The post Pasar Senggol: Perayaan Kecil Masyarakat Selang Kebumen appeared first on TelusuRI.

]]>
Kenangan awal ketika datang ke Kelurahan Selang, Kebumen, adalah tradisi pasar senggolnya. Entah mengapa, masyarakat di desa tersebut kerap merekomendasikan saya menunggu beberapa waktu untuk mengalami tradisi pasar senggol secara langsung.

Bagi sebagian warga Selang, momen munculnya pasar senggol merupakan perayaan kecil yang kerap mereka nantikan. Biasanya mereka akan mengajak kerabat dan keluarganya untuk menghabiskan waktu menikmati meriahnya acara tersebut.

“Kalau Mas-nya bingung mau ngapain di sini, mending jangan pulang dulu. Tunggu bulan-bulan ini bakalan ada pasar senggol,” sahut salah satu warga ketika kami sedang bercengkerama di angkringan.

Celetukan itu membuat saya cukup tertarik untuk bertahan lebih lama. Terlebih masih banyak hal yang mesti saya kerjakan di sini. Namun, yang membuat saya heran dan bertanya-tanya, bukankah pasar senggol sebenarnya sudah sangat akrab bagi sebagian masyarakat Jawa? Bahkan keberadaannya pun bisa kita temui di berbagai tempat?

Lantas, apa yang membuat tradisi pasar senggol begitu penting dan dekat bagi masyarakat Selang, meskipun tidak setiap waktu ada dan hanya berlangsung dua kali dalam setahun?

Ternyata setelah berbagi cerita dengan seorang warga Selang di angkringan, saya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Jawaban yang membuat saya mengerti alasan masyarakat Selang begitu antusias menyambut tradisi pasar senggol. 

Asal Usul Tradisi Pasar Senggol

Sejatinya, tradisi pasar senggol di Kelurahan Selang tidak lepas dari akar sejarah dan warisan leluhur mereka. Itulah sebabnya pasar senggol menjadi tradisi yang paling ditunggu-tunggu. Sekaligus menjadi ajang antarwarga untuk saling menjalin ritme paguyubannya masing-masing.

Dalam catatan yang saya kumpulkan, termasuk perbincangan saya dengan warga sekitar, pasar senggol merupakan tradisi yang hanya dirayakan menjelang Maulid Nabi Muhammad dan juga Idulfitri. Pun dalam teknis penyelenggaraan, biasanya hanya berlangsung selama dua dan tiga hari saja.

Perayaan tradisi tersebut mengingatkan masyarakat Selang terhadap sosok leluhur mereka yang sangat berpengaruh, yakni R. Ng. Kramaleksana. Dalam tutur lisan yang berkembang, beliau merupakan sosok yang memiliki kemampuan olah kanuragan. Menariknya, kemampuan tersebut bukan untuk memancing keributan, melainkan mengawal para adipati selama perjalanan menuju Keraton Mataram.

Peristiwa tersebut dapat dirujuk ketika wilayah Klagen Kilang (saat ini menjadi Kelurahan Selang) masih di bawah kekuasaan Raja Amangkurat I.  Pada masa itu, setiap enam bulan sekali wilayah-wilayah sebelah barat Keraton Mataram, seperti Cilacap, Banyumas, Purwokerto, dan lain sebagainya terkena kewajiban membayar dan mengantarkan upeti menuju Keraton Mataram.

Namun, ketika para adipati hendak mengantar upeti, mereka selalu diganggu oleh gerombolan begal di wilayah Kutowinangun. Hal tersebut membuat Raja Amangkurat I murka. Melalui penasihatnya, beliau direkomendasikan untuk mengutus seorang ahli kanuragan di Klagen Kilang agar mengawal perjalanan para adipati. 

Kemudian Raja Amangkurat I memerintahkan R. Ng. Kramaleksana untuk menjadi pengawal. R. Ng. Kramaleksana menyanggupi perintah rajanya, dengan syarat para adipati mesti berkumpul terlebih dahulu di Klagen Kilang, agar ia dapat berangkat bersama-sama menuju Keraton Mataram melalui kawalannya.

Setiap enam bulan sekali wilayah Klagen Kilang selalu ramai dengan kehadiran rombongan Adipati Mataram. Ketika hendak berkumpul, para adipati kerap beristirahat di bawah pohon mangga. Alhasil, banyak warga sekitar yang tertarik untuk menyaksikan mereka secara langsung. 

Melihat fenomena itu, R. Ng. Kramaleksana terinspirasi untuk menghadirkan tontonan guna menghibur para adipati dan masyarakat setempat. Di sekitar pohon mangga tersebut, ia menyiapkan tanah lapang sebagai arena geladi (latih tanding). Para santri R. Ng. Kramaleksana menggunakannya untuk berlatih kanuragan hingga aksi-aksi kesenian lainnya. 

Peristiwa kesenian dan aksi kanuragan gagasan R. Ng. Kramaleksana itu juga memancing banyak perhatian masyarakat di luar Klagen Kilang untuk hadir. Para pedagang pun memanfaatkan momen untuk menggelar lapak berjualan guna mendapat keuntungan. Dari interaksi antarpengunjung dan pedagang, maka muncullah tradisi pasar senggol. 

Secara natural, tradisi pasar senggol muncul dari masyarakat itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Istilah “senggol” mengacu pada para pengunjung yang saling berdesakan, sehingga mereka saling menyenggol satu sama lain. 

Pasar Senggol Saat Ini

Meskipun kekuasaan Mataram sudah berakhir, tradisi pasar senggol masih tetap lestari sampai sekarang. Tradisi tersebut merupakan bagian dari memori masyarakat Selang untuk mengingat jasa para leluhur terdahulu. Selain itu masyarakat juga dapat memanfaatkannya untuk saling bersilaturahmi.

Ketika pertama kali mengalami dan menjadi bagian dari tradisi pasar senggol, saya mendapati banyak dari sanak saudara mereka yang datang dari perantauan. Kembali ke kampung halaman hanya untuk memeriahkan tradisi pasar senggol bersama keluarga. Terdapat aneka makanan dan jajakan kuliner lainnya yang dapat dinikmati selama penyelenggaraan pasar senggol.

Saking ramainya para pedagang dan masyarakat yang hadir, lalu lintas sepanjang jalan Kutoarjo menuju Pasar Selang menjadi padat merayap. Baru pada momen ini Kebumen bisa dibuat macet. Ketika hari biasa daerah ini cukup lengang dan jarang sekali terjadi kemacetan. Meskipun demikian, saya tidak menyesal bisa hadir dalam tradisi yang hanya berlangsung dua kali dalam setahun.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pasar Senggol: Perayaan Kecil Masyarakat Selang Kebumen appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-senggol-perayaan-kecil-masyarakat-selang-kebumen/feed/ 0 39323
Menonton Tradisi Pasola di Kodi, Sumba Barat Daya https://telusuri.id/menonton-tradisi-pasola-di-kodi-sumba-barat-daya/ https://telusuri.id/menonton-tradisi-pasola-di-kodi-sumba-barat-daya/#respond Mon, 17 Oct 2022 16:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35313 Sumba, punya banyak hal untuk saya ceritakan. Selain mempunyai alam yang elok, Sumba menyimpan beragam kebudayaan yang tersimpan di desa-desa adat yang masih mempertahankan tradisi dan warisan para leluhur. Februari lalu, saya berkunjung ke Sumba...

The post Menonton Tradisi Pasola di Kodi, Sumba Barat Daya appeared first on TelusuRI.

]]>
Sumba, punya banyak hal untuk saya ceritakan. Selain mempunyai alam yang elok, Sumba menyimpan beragam kebudayaan yang tersimpan di desa-desa adat yang masih mempertahankan tradisi dan warisan para leluhur. Februari lalu, saya berkunjung ke Sumba untuk melakukan penelitian tugas akhir kuliah. Saya tinggal di rumah seorang kenalan yang juga turut membantu dalam penelitian. Lokasi rumahnya di Desa Ate Dalo, Kecamatan Kodi.

Di desa ini terdapat kampung adat yang berdasar tradisi lisan masyarakat Kodi merupakan kampung pertama di Kodi. Namanya adalah Kampung Bukubani. Di sini, terdapat puluhan rumah adat dengan tanah luas di tengahnya. Biasnya, masyarakat menggunakannya untuk melaksanakan ritual. 

Di Kodi, masyarakat tampak belum begitu terjamah oleh modernitas. Semua hal masih tampak tradisional, terlihat dari rumah-rumah adat yang masih berdiri kokoh hingga tradisi dan agama lokal—marapu, yang masih lestari.

Sumba sendiri terkenal dengan kebudayaan megalitikum yang masih lestari sampai sekarang. Di sekeliling kampung, rumah adat, dan di halaman tengah terdapat susunan bebatuan alam yang merupakan makam. Masyarakat setempat menyebutnya kubur batu. Beberapa di antaranya tampak tua. Ternyata, makam tersebut merupakan makam dari leluhur pertama orang Kodi.

Pasola Sumba
Warga menonton pasola di Lamboya, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur via TEMPO/Seto Wardhana

Ini adalah pengalaman pertama saya tinggal bersama masyarakat Kodi dan melihat secara langsung beragam tradisi serta kebudayaan mereka. Nah, salah satu pengalaman yang cukup berkesan untuk saya yakni saat mengikuti perayaan nyale dan ritual pasola. Dua tradisi dan budaya ini Perayaan nyale dan ritual pasola adalah tradisi tahunan yang juga banyak menarik minat wisatawan. Keduanya, dilakukan oleh masyarakat Kampung Bukubani sebagai ungkapan syukur atas panen.

Perayaan nyale merupakan momentum saat orang-orang akan pergi ke pantai untuk menangkap nyale atau cacing laut. Nyale dipandang sebagai simbol berkat dan kesuburan. Pasola sendiri, merupakan sebuah permainan adat  yang menggunakan lembing kayu yang digunakan untuk menjatuhkan lawan dari kuda yang ditunggangi. Mirip seperti “peperangan” berkuda antara dua kubu. Konon ritual ini memang merupakan sarana untuk latihan perang karena pada waktu itu perang suku cukup sering terjadi. Tombak asli digunakan pada waktu itu sebelum akhirnya dilarang oleh kolonial Belanda dan menggantinya dengan lembing kayu. Pasola tahun ini diadakan pada tanggal 25 Februari.

Perayaan nyale dan ritual pasola di Kodi dimulai sejak pagi hari. Sebelum fajar orang-orang berbondong-bondong ke Pantai Bukubani untuk menangkap nyale. Melalui nyale rato (tetua adat dan pemimpin religius Marapu) dapat melihat dan memprediksi hasil panen yang akan didapat. Jika nyale cukup berisi dan banyak akan ada berkat yang melimpah dari panen. Sebaliknya jika nyale kurus dan sedikit akan menjadi pertanda buruk seperti kemarau panjang dan musim lapar. Nyale yang telah ditangkap kemudian akan dibawa pulang untuk dimasak dan setelah ritual pasola akan dimakan bersama para kerabat.

Pasola Sumba
Pengendara kuda melempar lembing dalam permainan tradisional suku Sumba “Pasola”, di Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) via TEMPO/Seto Wardhana

Pasola adalah saat dimana orang-orang keturunan Kodi akan pulang di manapun mereka berada. Entah di perantauan sedang menempuh pendidikan atau bekerja orang Kodi akan menyempatkan waktu pulang, bertemu dengan sanak saudara dan merayakan sekaligus melaksanakan pasola. Jadi pasola memang merupakan momen yang dinantikan. Saya merasa momen ini seperti tradisi mudik setiap kali lebaran.

Saat hari pelaksanaan ritual pasola, rumah-rumah di Kampung Bukubani dipenuhi oleh kerabat dan tamu baik dari kenalan ataupun wisatawan. Orang Kodi akan senang hati mengajak dan menerima tamu. Saat saya bertamu ke salah satu rumah di Kampung Bukubani, saya dijamu dengan sirih pinang dan kopi. 

Sirih pinang sendiri merupakan jamuan utama bagi orang Kodi ketika bertamu. Ketika pasola, sirih pinang juga akan ditaruh di beberapa kubur batu sebagai jamuan kepada para leluhur. Saat bertamu di Kodi, seseorang akan dianggap tidak sopan dan tidak akan mendapat berkah kalau tidak memakan sirih pinang. 

Rasa sirih pinang ini terbilang cukup memabukkan dan membuat pusing bagi saya dan mungkin orang yang tidak biasa memakannya. Maka kalau memang tidak kuat untuk memakannya sebaiknya kita meminta izin kepada tuan rumah untuk tidak memakannya.

Pagi menjelang siang sudah terdapat banyak sekali kuda di halaman Kampung Bukubani. Penunggang kudanya ada yang lelaki dewasa, remaja, bahkan anak-anak. Mereka menggunakan pakaian adat berupa sarung atau kain. Warnanya ada yang merah, orange, kuning hijau. Kemudian beberapa menggunakan semacam mahkota yang terbuat dari kain dan kulit kayu. 

Kuda-kuda dihiasi dengan potongan-potongan kain dan lonceng yang diikat di leher atau di kaki. Saat mengendarai kuda, orang Kodi menggunakan cara tradisional, tidak menggunakan pelana. Saat pasola akan dimulai dan para penunggang bersiap menuju lapangan pasola, para rato terlebih dahulu menyanyikan syair adat untuk mengundang leluhur dan meminta berkat selama jalannya pasola

Orang-orang yang berada di Kampung Bukubani berbondong-bondong pergi ke lapangan untuk menyaksikan pertempuran pasola. Di lapangan pasola sudah dipadati oleh banyak penonton. Jumlahnya ratusan lebih. Terlihat di pinggir-pinggir lapangan ada tenda-tenda kecil yang terbuat dari bambu dan terpal sebagai tempat untuk berjualan makanan dan minuman. Tribun kecil  juga sudah sesak oleh para penonton yang berdesak-desakan. Di tengah teriknya matahari orang berdesak-desakan ingin berada di paling depan untuk bisa jelas menyaksikan pasola, mereka sampai rela memanjat pohon, pagar dan berdiri di atas mobil serta kubur batu untuk mendapatkan pemandangan yang jelas.

Pasola Sumba
Pengendara kuda melempar lembing dalam permainan tradisional suku Sumba “Pasola”, di Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT) via TEMPO/Seto Wardhana

Pasola dibuka oleh Rato Nale, para peserta masih belum melakukan aksinya yang gagah. Mereka seakan melakukan pemanasan terlebih dahulu dengan mengitari lapangan sambil sesekali melempar lembing. Kedua kubu akan bergantian melempar lembing. Ada yang membawa satu bahkan ada yang lebih. Seiringan dengan para penunggang kuda yang melempar lembing, penonton mulai ikut memanaskan acara dengan berteriak dan bersorak. Tak kalah seru para penunggang juga bersorak layaknya orang Indian di film barat. Melalui gestur dan sorakan itu penunggang menantang lawan supaya terpancing. Semakin lama para peserta mulai menyerang lawan secara bergantian dengan cepat. Sesekali kedua kubu beristirahat dan menurunkan tempo lalu menaikannya lagi. Ketika ada yang berhasil menjatuhkan lawan, penonton akan semakin bersemangat bersorak dan berteriak. Matahari semakin panas tapi antusiasme penonton tak kalah juga. 

Ketika ritual pasola, cedera atau pertumpahan darah tidak bisa dihindari. Masyarakat Kodi percaya percikan darah selama pasola mendatangkan kesuburan. Ketika matahari semakin terik terlihat kuda sudah mulai kelelahan dan mulai sulit dikendalikan. Pengendara yang jatuh bisa saja terinjak-injak oleh kuda. Cedera seperti patah tulang, cedera leher, kebutaan sering terjadi. 

Saya sendiri menyaksikan ada penunggang kuda yang melempar lembing dan mengenai mata lawannya. Lukanya tampak cukup parah. Katanya kematian pun bisa saja terjadi, tetapi jarang. Kalaupun ada, konon itu karena penunggang kuda sering melakukan perbuatan yang dilarang adat.

Pasola berlangsung sekitar 3–4 jam. Siang sekitar jam setengah satu acara pasola ditutup oleh Rato Nale. Hal yang unik, orang-orang yang terluka selama pasola tidak dibawa ke rumah sakit tetapi akan diobati secara tradisional oleh Rato. Dipercaya luka-luka tersebut bisa langsung sembuh selama 2–3 hari saja.

Setelah pasola, saya mampir ke Kampung Bukubani dan ikut makan bersama di sana. Tuan rumah membakar ayam yang ternyata itu juga dipersembahkan kepada leluhur. Harum ayam bakar dan nyale keluar dari dapur yang ada di tengah rumah. 

Di beberapa rumah sekitar juga terlihat kepulan asap yang keluar. Ada juga yang memotong babi untuk dibakar dan dimakan bersama. Seperti biasa sebelum dijamu dengan makan sirih pinang serta kopi adalah hidangan utama. Kemudian saya bersama tamu-tamu yang lain dijamu dengan ketupat-ketupat serta ayam dan nyale.Perayaan nyale dan pasola merupakan perekat relasi persaudaraan masyarakat Sumba, wisatawan, dan semua yang terlibat. Ketika selesai bertamu mereka akan sangat akrab mengingatkan kita “Jangan lupa datang lagi tahun depan semoga berkat dari Kodi sampai juga ke rumahmu.”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menonton Tradisi Pasola di Kodi, Sumba Barat Daya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menonton-tradisi-pasola-di-kodi-sumba-barat-daya/feed/ 0 35313
Marakka’ Bola, Tradisi Gotong Royong Angkat Rumah Suku Bugis https://telusuri.id/marakka-bola-tradisi-angkat-rumah/ https://telusuri.id/marakka-bola-tradisi-angkat-rumah/#respond Mon, 08 Feb 2021 08:12:00 +0000 https://telusuri.id/?p=26854 “Bangun!” “Woee bangun! Sudah pagi. Pergi bantuin orang angkat rumah!”  Pagi yang berisik. Suara adik perempuanku memekak telinga. Aku yang tertidur di sebuah kamar kecil—kamar yang sering kurindukan saat tidur jauh darinya terbangun karenanya.  Waktu...

The post Marakka’ Bola, Tradisi Gotong Royong Angkat Rumah Suku Bugis appeared first on TelusuRI.

]]>
“Bangun!”

“Woee bangun! Sudah pagi. Pergi bantuin orang angkat rumah!” 

Pagi yang berisik.

Suara adik perempuanku memekak telinga. Aku yang tertidur di sebuah kamar kecil—kamar yang sering kurindukan saat tidur jauh darinya terbangun karenanya. 

Waktu menunjukkan pukul 07.45 WITA, mataku mulai terbuka, menata pikiran dan perasaan dengan sejenak terduduk di pinggir ranjang. Menghirup aroma oksigen yang menyelinap masuk kamar lewat jendela atau ventilasi rumah. Rumah yang selalu menjadi tujuan untuk ku pulang dan tujuan ini, tidak pernah membuat aku tersesat dijalan.

Setelah beberapa bulan jauh dari rumah, kesempatan kembali berpihak padaku melalui momen pergantian tahun—momen yang juga dirayakan oleh banyak orang. Entah itu bersama teman, pasangan, atau.

Kali ini, aku memilih merayakannya bersama mereka—keluarga.

Aku keluar rumah sehabis membasuh muka dengan air, memakai sandal jepit dan berjalan kesalah satu rumah warga. Ku lihat sinar matahari pagi terpantul dari atap rumah yang satu ke rumah lainnya, sebab semua rumah warga disini terbuat dari seng. Semua rumah tampak berkilau dibuatnya.

Langkahku diiringi nyanyian burung gereja. Setelah celingak celinguk mencarinya, ku temukan mereka. Burung-burung gereja itu bersenandung tepat diatas pohon jambu air depan rumah tetangga, lompat dari ranting ke ranting seakan sedang memamerkan suaranya pada ku.

Senyum ku tiba-tiba mencuat melihatnya.

Mungkin ini senyum syukur karena ditakdirkan lahir di desa sehingga setiap pagi terasa damai ketika pulang ke rumah, gumamku.

“Si gondrong sudah datang, pasti akan terasa ringan. Cepat sini ke dekatku!” 

Kakak laki-lakiku berteriak menegur saat dia melihatku sudah di dekat rumah yang akan kami pindahkan. Orang-orang tertawa mendengar tegurannya, sebab mereka tahu kalau aku termasuk orang yang lemah dalam urusan angkat mengangkat. Aku hanya terkekeh sambil berjalan ke arah mereka.

Marakka’ Bola
Susasa persiapan mengangkat rumah dari jauh/Yusran Ishak

Ternyata warga sudah berkumpul sedari tadi, aku saja yang kesiangan. Aku kemudian berdiri tidak jauh dari kakak, mengambil posisi di bawah sebuah rumah panggung. Seluruh tiangnya diselingi bambu—dari kiri ke kanan, dari depan ke belakang, hingga bagian tengah. Tiang-tiang rumah ini sudah dipegang erat oleh orang-orang yang tersebar mengelilinginya. Mereka mengambil posisi dekat bambu yang terikat kuat di tiang, dan bersiap untuk mengangkat rumah dengan bahu masing-masing. 

Budaya mengangkat rumah—Marakka’ Bola merupakan sebuah tradisi dari masyarakat suku Bugis, Sulawesi Selatan. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan, utamanya bagi masyarakat pedesaan di sini. Marakka’ Bola kerap dijadikan sebagai simbol percontohan yang menggambarkan makna gotong royong, nilai budaya yang melekat bagi masyarakat Indonesia.

Jadi, jangan bayangkan rumah-rumah ini diangkat dengan tenaga mesin. Di sini, memindahkan rumah dilakukan dengan cara mengangkatnya menggunakan tenaga manusia. Bersama-sama, oleh warga desa.

Rumah panggung, begitu kami menyebutnya. Terbuat dari kayu dengan tiang-tiang penyangga yang banyak dan cukup tinggi. Tradisi masyarakat Bugis yang sering berpindah-pindah membuat mereka membangun rumah dengan tidak menanam tiangnya dalam tanah, supaya ketika ingin dipindahkan tak perlu membongkar kemudian membangunnya kembali.

Uniknya cara memindahkan rumah tersebut dilakukan secara gotong royong oleh warga sehingga menjadi sebuah “tontonan” seru di zaman serba modern seperti saat ini. Aku sendiri bersyukur karena waktu kepulangku kali ini mendapati momen ini—yang sebenarnya menjadi momen pertama kali bagiku. Sebab tradisi ini sudah sangat jarang dilakukan seiring dengan maraknya pembangunan rumah beton di pedesaan. 

Marakka’ Bola dilakukan setelah mengundang warga di desa sekitar satu atau dua hari sebelum hari pemindahan. Menariknya lagi, undangan disampaikan secara lisan, berbeda dengan undangan perkumpulan warga di kota yang disampaikan melalui surat.

Rumah warga didatangi satu persatu. Empunya bertamu dengan mengenakan pakaian yang sopan, menyampaikan maksud dengan tutur kata santun—tutur yang tidak kalah bagusnya dengan kalimat-kalimat yang sering saya temui di berbagai surat undangan.

Aku bersiap dengan posisi jongkok dengan bahu menempel pada bambu.

  • Marakka’ Bola
  • Marakka’ Bola
  • Marakka’ Bola
  • Marakka’ Bola
  • Marakka’ Bola

“Siap! Satu.. Dua.. Tiga..”

Seorang kakek dengan celana pendek dan sarung melilit di pinggangnya berteriak memberi aba-aba. Setelah hitungan ketiga kami memusatkan tenaga dan bersama-sama mengangkat sambil berteriak.

“Ahhhhhh…”

“Angkattttt…”

“Hiyyaa.. Hiyyaa..”

“Ayooooo…”

“Maju…”

Segala jenis teriakan kami lontarkan, entah dari mulut mana suara itu datang, yang jelas bising menggelegar. Momen ini terasa lucu, aku tertawa sambil ikut berteriak. Ternyata teriakan-teriakan ini memberi kobaran semangat untuk membakar berat beban di pundak, sehingga abunya terasa ringan, dan tentu api tercipta dari kerja sama.

Seikitar 6 meter berjalan, salah seorang dari kami di ujung pojok belakang berteriak “Stooppp!”

Kami pun berhenti. Kakek pemandu didepan menegur.

“Ada apa?”

“Bambunya patah.” Teriak orang-orang dibelakang.

“Cara angkatnya tidak seimbang.” Jawab seorang lainnya.

“Tenaganya tidak seimbang dari sudut ke sudut.” Sahut orang lain dari arah berbeda.

Tiba-tiba seseorang berteriak di tengah, “beraaaaaaaaaat!”

“Hahahahaha..” sontak kami semua tertawa mendengar itu.

Momen tersebut kami pakai untuk istirahat sejenak. Beberapa orang memperbaiki bambu yang rusak, lainnya lagi menukar posisi untuk menyimbangkan tenaga. Pemandu sibuk mengatur arah atau cara mudah untuk mengangkatnya.

Selang beberapa menit teriakan pemandu kembali menggelegar, ujung kata tiga dari mulutnya kembali kami berteriak sambil mengangkat. Ibu-ibu dan anak-anak berada di sudut-sudut pelataran rumah, menonton sambil berteriak atau bertepuk tangan menyemangati kami. 

Alhasil rumah panggung itu berhasil kami pindahkan. Tidak terlalu jauh, sekitar 15 meter dari posisi awalnya, diangkat oleh lebih kurang 50 warga desa. Kami berhasil memposisikan rumah tersebut sesuai keinginan tuan rumah, menghadap utara yang sebelumnya menghadap ke arah barat.

Keringat bercucuran, punggung saya terasa sakit.

“Memang berat rumah ini,” pikirku.

Marakka’ Bola
Mengangkat rumah dimulai/Yusran Ishak

Tapi mungkin ini representasi dari filosofi “sapu lidi” yang sering diajarkan kepada saya waktu SD. Bersama kita kuat, kuat karena bersatu dan bekerja sama. Dengan tradisi ini saya berpikir bahwa sejatinya gotong royong melahirkan persatuan. Gotong royong tercipta dari kesadaran bersama bahwa kita saling membutuhkan satu sama lain. Dari kesadaran tersebut akhirnya mewujudkan harmonisasi dalam bersosial, tentunya diwujudkan melalui persatuan.

Jika kelak tak ada lagi rumah panggung di pedesaan mungkin tradisi ini juga ikut hilang. Simbol gotong royong yang sering digambarkan dalam buku-buku dengan menampilkan gambar dari tradisi ini hanya akan menjadi cerita khayalan bagi generasi selanjutnya. Cerita yang diceritakan para guru kepada muridnya bahwa pernah ada Marakka’ Bola; diceritakan orang tua di desa kepada anaknya sambil melihat foto rumah panggungnya sebelum menjadi rumah beton yang mereka tinggali; atau mungkin kelak anak cucu hanya akan melihatnya replika dalam bentuk miniatur yang tersimpan rapi dalam museum untuk dipamerkan bahwa inilah simbol gotong royong Indonesia yang hilang ditelan pembangunan.

Lalu, akan kah tradisi ini tergantikan? Jika iya, digantikan dengan tradisi apa? Atau mungkinkah ada tradisi di kota yang dapat mencerminkan makna gotong royong seperti Marakka’ Bola? Atau adakah kebiasaan masyarakat kota yang melambangkan persatuan seperti ini?

Mungkin ada, tapi.. Tapi bersatu dengan membawa kelompok dan kepentingan masing-masing. Lantas itukah persatuan yang dilukiskan masyarakat desa? Entahlah. 

Aku percaya bahwa persatuan orang desa itu suci sebab persatuan warga desa-lah yang pernah membebaskan negeri ini dari penjajahan. 

Aku kemudian mengambil tempat untuk rehat, penak di bahu ditambah dengan beberapa pertanyaan dan kekhawatiran di kepala menyerbu. Pemandangan di depanku, orang-orang mengambil posisi nyaman untuk istirahat. Ada yang mengipas-ngipas badannya, ada yang pergi mengambil air minum, ada yang merokok sambil berbincang, dan ada seorang kakek yang yang mengelurkan kantongan dari saku celananya. Kantong itu berisi tembakau berwarna hitam yang sudah diasapi, lengkap dengan kertas rokok dan korek. Aku mendekat ke kakek tersebut untuk ikut melinting.

“Minta sedikit Kek, boleh?” sapaku. 

“Memang kau hisap tembakau juga Nak?” jawabnya.

Aku tersenyum sambil berkata, “iya.”

Wajar saja kakek tersebut berpikir begitu. Mungkin karena sekarang ini jarang pemuda mau menghisap tembakau, entah karena ribet, rasanya yang kurang enak atau karena takut dicap kampungan, pikirku. Tapi aku tidak peduli soal itu. Bagiku melinting adalah seni yang rasanya nikmat.

“Kamu pintar melinting?” Tanya Kakek.

“Jelas dong, Kek!” jawabku yang membuat si Kakek cengingir dengan giginya yang menghitam—mungkin karena kebanyakan ngerokok.

Senang rasanya bisa merokok bersama Kakek tersebut. Nikmat karena tembakau ia racik sendiri secara alami. Kepulan asap tebal hadir diantara kami. Depannya, aku coba memainkan asap yang keluar dari dalam mulut, ku bentuk asap rokok jadi sebuah lingkaran.

Ia pun tertawa melihatku.

Aku pun tertawa balik setelah melihat sebagian giginya ompong, tampak jelas saat ia terbahak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Marakka’ Bola, Tradisi Gotong Royong Angkat Rumah Suku Bugis appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/marakka-bola-tradisi-angkat-rumah/feed/ 0 26854
Menonton Pacuan Kuda Legendaris di Ambal https://telusuri.id/pacuan-kuda-ambal/ https://telusuri.id/pacuan-kuda-ambal/#respond Wed, 31 Jul 2019 06:06:06 +0000 https://telusuri.id/?p=16162 Setengah perjalanan antara Stasiun Kutoarjo dan Kebumen, saya dioper bis tanggung itu ke bis lain. Penumpang terlalu sedikit sehingga jadi tak ekonomis lagi bagi bis itu untuk meneruskan perjalanan sampai ke tujuan. Isinya memang hanya...

The post Menonton Pacuan Kuda Legendaris di Ambal appeared first on TelusuRI.

]]>
Setengah perjalanan antara Stasiun Kutoarjo dan Kebumen, saya dioper bis tanggung itu ke bis lain. Penumpang terlalu sedikit sehingga jadi tak ekonomis lagi bagi bis itu untuk meneruskan perjalanan sampai ke tujuan. Isinya memang hanya saya dan dua orang lain yang kemudian turun tak jauh dari titik keberangkatan.

Nasib bis kedua jauh lebih baik. Penumpang berjubel. Namun, saya tetap mengantisipasi jika saja nanti dioper lagi ke bis lain. Untungnya tidak.

pacuan kuda
Bis tanggung menuju Karanganyar, Kabumen/Dewi Rachmanita Syiam

“Yo! Persiapan Karanganyar! Pos Polisi! Pos Polisi!” kernet bis berteriak dari pintu belakang.

Senang sekali rasanya mendengar sebentar lagi saya akan tiba di tujuan. Saya segera bangun dari kursi, lalu menerobos barikade penumpang yang memadati lorong bis. Kendaraan umum itu pun berhenti dan saya meloncat turun. Tak menunggu lama, bis itu melaju meninggalkan saya.

Sepanjang perjalanan ke Kebumen, banyak yang bertanya pada saya, “Ngapain ke Kebumen?” Setiap kali ditanyai begitu, saya akan menjawab mantap begini: “Menonton pacuan kuda.” Mendengar itu, biasanya orang-orang akan mengernyit. Sebab, biasanya wisatawan datang ke Kebumen untuk ke Goa Jatijajar, Pantai Menganti, Pantai Karang Bolong, Gumuk Pasir Pantai Lembupurwo, atau Bukit Petulu Indah.

pacuan kuda
Penton pacuan kuda berbondong-bondong menuju arena/Dewi Rachmanita Syiam

Tak banyak yang tahu bahwa sejak tahun 1957 di bulan Syawal, sebuah pacuan kuda rutin digelar di Ambal yang memang dikenal sebagai daerah peternakan kuda.

Saya dijemput Wijil, kawan sekampus, kemudian dibawa ke Lapangan Pacuan Kuda Tegalrejo, Desa Ambalresmi. Perjalanan lumayan seru, sebab kami melaju melewati hamparan sawah, rel kereta api, juga deretan warung sate Ambal. Sesekali kami berpapasan dengan truk bak terbuka yang muatannya adalah para penonton pacuan kuda.

pacuan kuda ambal
Loket tiket pacuan kuda Ambal/Dewi Rachmanita Syiam

Setiba dekat lapangan pacuan kuda, Wijil memarkir kendaraannya di halaman rumah warga, di antara sepeda motor yang sebagian besar berpelat AA. Dari sana, menembus kerumunan orang di antara lapak yang menjajakan aneka barang dan makanan, kami mesti berjalan sekitar seratus meter menuju lokasi. Semakin mendekati lapangan pacuan kuda, suasana semakin ramai. Maklum, hari ini pertandingan final.

Akhirnya kami tiba di depan sebuah bangunan yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu berkapur putih. Lewat sebuah lubang kecil, kami menebus tiket masuk (yang katanya tiket duduk) seharga Rp20.000/orang.

pacuan kuda ambal
“Tribun” penonton/Dewi Rachmanita Syiam
pacuan kuda ambal
Penonton duduk beratap payung dan beralas tikar/Dewi Rachmanita Syiam

Kenyataannya, tidak ada tempat duduk yang tersisa bagi saya dan Wijil—juga bagi banyak penonton lainnya. Kursi-kursi plastik di bawah tenda yang disediakan panita sudah diduduki semua. Alhasil, para penonton yang tak kebagian kursi, jika tidak berdiri, berinisiatif untuk menggelar kain atau tikar di pinggir arena. Bahkan, ada sebagian penonton yang menggelar bivak dari jarik.

Sirkuit pacuan kuda di Ambal ini memang sangat sederhana. Selain “tribun” yang hanya berupa tenda dan deretan kursi plastik, kebersahajaan itu tampak dari pembatas arena yang hanya berupa bambu setinggi perut orang dewasa yang sangat mudah dilewati pengunjung. Tidak aman, tentu. Saya sendiri melihat buktinya. Saat jeda, saya meringis ketika seorang perempuan kena sepak wajahnya oleh kuda.

pacuan kuda ambal
Dua orang joki menunggangi kuda/Dewi Rachmanita Syiam

Tapi, segala keterbatasan itu tak membuat para pengunjung kehilangan semangat menonton final pacuan kuda. Hari itu ada sebelas pertandingan yang digelar. Para kontestan itu, setelah berhasil menjadi pemuncak di antara 127 kuda dari empat provinsi, berjuang memperebutkan hadiah berupa piala bergilir dan uang pembinaan.

Tensi di arena tentu saja tinggi. Para joki tampak bersemangat memacu tunggangannya. Diiringi teriakan penyemangat dari penonton, mereka dengan lihai mengitari sirkuit, berlomba-lomba menjadi yang tercepat. Akhirnya, ada yang terseok-seok di belakang, ada pula yang melaju penuh percaya diri di depan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menonton Pacuan Kuda Legendaris di Ambal appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pacuan-kuda-ambal/feed/ 0 16162
Ibu Zie dan Warna-warni Alami Batik Kampung Malon https://telusuri.id/ibu-zie-kampung-malon/ https://telusuri.id/ibu-zie-kampung-malon/#respond Sat, 13 Jul 2019 09:00:52 +0000 https://telusuri.id/?p=15067 Ibu Zazilah, akrab dipanggil Ibu Zie, pindah ke Kampung Malon tahun 2010 lalu mendirikan Zie Batik. Sebelum itu, sejak 2006 perempuan asal Tegal ini mengembangkan batik di Kota Semarang. Ia bahkan juga pernah tinggal dan...

The post Ibu Zie dan Warna-warni Alami Batik Kampung Malon appeared first on TelusuRI.

]]>
Ibu Zazilah, akrab dipanggil Ibu Zie, pindah ke Kampung Malon tahun 2010 lalu mendirikan Zie Batik. Sebelum itu, sejak 2006 perempuan asal Tegal ini mengembangkan batik di Kota Semarang. Ia bahkan juga pernah tinggal dan mengajar di Kampung Batik Bubakan.

Kala itu, Kampung Malon yang berada di kaki Gunung Ungaran belum terlalu dikenal. Meskipun masih dalam Kota Semarang, belum banyak yang tahu soal kampung berhawa sejuk ini. Lampu sorot publikasi tentu saja tak begitu tertarik dengan wilayah yang mayoritas penduduknya bertani dan beternak.

kampung malon
Ibu Zazilah atau Ibu Zie/Istimewa

Dengan modal yang ia miliki, Ibu Zie lalu melatih ibu-ibu Kampung Malon untuk membatik. Kebetulan pula saat itu Pemerintah Kota Semarang sedang menjalankan Program Kampung Tematik. Harapannya, masyarakat Malon bisa berkarya dengan membuat batik khas dari Kampung Malon.

“Kami ingin masyarakat juga ikut merasakan efek yang baik dan dapat mengangkat taraf hidup mereka,” ujar Ibu Zie.

Memperkenalkan pewarna-pewarna alami pada perajin batik Malon

Menurut Ibu Zie, Kampung Malon adalah salah satu kawasan “sabuk hijau” dengan lingkungan yang masih asri. Di sini, kamu akan menemukan jalanan yang masih belum diaspal atau dibeton. Saat memasuki kawasan Kampung Malon, kamu akan disambut pepohonan rindang yang menjulang ke langit. Rumah-rumah warga pun dipagari tanaman teh-tehan (Acalypha siamensis).

batik malon
Kain baik dan mangkuk berisi bahan-bahan pewarna alami/Mauren Fitri

Namun ternyata bukan hanya lingkungan Malon saja yang “hijau,” batiknya juga. Berbeda dari batik kebanyakan, batik Kampung Malon menggunakan warna-warna alami yang diekstraksi—direbus atau difermentasi—dari bahan-bahan seperti indigofera, secang, tingi, jelawe, tegeran, dan limbah mangrove.

Hampir semuanya dibudidayakan di kebun milik masyarakat Kampung Malon, kecuali limbah mangrove tentunya. Untuk limbah mangrove, Ibu Zie mengambil dari beberapa kawasan pesisir sekitar Semarang.

malon
Penggunaan pewarna alami sekarang menjadi ciri khas batik Malon/Mauren Fitri

Meskipun sekarang penggunaan pewarna alami menjadi ciri khas batik Malon, menurut Ibu Zie tidak mudah untuk meyakinkan masyarakat untuk mewarnai membatik dengan bahan-bahan yang diperoleh dari alam. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai antusias. Untuk mendukung penggunaan warna alami, Ibu Zie pun mendorong petani untuk menanam tanaman seperti indigofera sehingga perajin tak perlu membeli dari luar.

Bangga dengan perkembangan positif Kampung Malon

Proses panjang yang dilalui Ibu Zie mulai membuahkan hasil. Kini, taraf perekonomian masyarakat sudah mulai meningkat sebab mereka sudah bisa menambah pemasukan dari membatik, entah batik cap, tulis, maupun kombinasi. Perubahan positif ini tentu saja membuat Ibu Zie sangat bangga.

kain batik
Batik Malon yang dihiasi dengan warna-warna cerah/Mauren Fitri

Kekhasan batik Malon membuat para penggemar batik tak ragu-ragu mengeluarkan uang antara Rp150.000 dan Rp2.000.000 untuk membawa pulang kain tradisional khas Jawa tersebut.

Namun, Ibu Zie sempat bertutur pula bahwa masih ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi perajin batik Malon, misalnya proses pewarnaan yang masih begitu bergantung pada cuaca dan bahan baku produksi (seperti kain dan malam) yang masih harus didatangkan dari luar kota semisal Pekalongan, Jogja, dan Solo.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ibu Zie dan Warna-warni Alami Batik Kampung Malon appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ibu-zie-kampung-malon/feed/ 0 15067
Serunya Meracik Bubur India, Santapan Takjil Khas Masjid Jami Pekojan Semarang https://telusuri.id/bubur-india-masjid-jami-pekojan/ https://telusuri.id/bubur-india-masjid-jami-pekojan/#respond Thu, 30 May 2019 16:00:29 +0000 https://telusuri.id/?p=14182 Bunyi klakson yang cukup memekakkan telinga menyambut kedatangan saya sore itu. Jalan Pekojan, Semarang, sedang macet-macetnya. Lahan parkir—alias ruas jalan—juga sangat penuh. Terpaksalah saya berjalan kaki sepanjang 500 meter dari tujuan saya: Masjid Jami Pekojan....

The post Serunya Meracik Bubur India, Santapan Takjil Khas Masjid Jami Pekojan Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
Bunyi klakson yang cukup memekakkan telinga menyambut kedatangan saya sore itu. Jalan Pekojan, Semarang, sedang macet-macetnya. Lahan parkir—alias ruas jalan—juga sangat penuh. Terpaksalah saya berjalan kaki sepanjang 500 meter dari tujuan saya: Masjid Jami Pekojan.

Saya tiba tepat saat azan Asar berkumandang. Dari kejauhan, tampak bapak-bapak berpakaian rapi, bersarung dan berpeci, memasuki areal masjid. Beberapa di antaranya memberikan senyum sapa pada saya.

bubur india
Bubur India sedang dimasak/Mauren Fitri

Sebelum Ramadan tahun ini habis, saya memang ingin sekali mampir ke Masjid Jami Pekojan buat mencicipi menu buka puasa unik yang hanya tersedia di masjid itu, yakni bubur India.

Setelah beribadah, segeralah saya menuju dapur tempat takmir masjid memasak bubur India, menu buka puasa yang sudah mentradisi di masjid ini sejak 150 tahun lalu. Bubur ini selain disajikan untuk semua pengunjung masjid yang hendak berbuka puasa dan beribadah juga dibagikan kepada masyarakat sekitar.

bubur india
Pak Ahmad Ali biasanya mulai memasak bubur India selepas Zuhur/Mauren Fitri

Saya memperhatikan sosok lelaki tua yang sedang sibuk menuangkan bubur ke dalam mangkuk-mangkuk plastik. Tangannya tampak lincah sekali. Mangkuk yang ditaruhnya dari tangan ke meja menghasilkan irama beraturan: cetok… cetok… cetok… Keahliannya menuangkan bubur dari panci ke mangkuk dengan cepat patut diacungi jempol.

Ia adalah Pak Ahmad Ali, Takmir Masjid Jami Pekojan yang menjadi generasi keempat chef bubur India. Setiap harinya, Pak Ahmad bergulat dengan rempah-rempah seperti jahe, daun serai, kayu manis, dll. demi memasak bubur untuk sekitar 200 porsi. Biasanya ia mulai memasak bubur India selepas Zuhur.

bubur india
Bubur India dituang ke mangkuk/Mauren Fitri
bubur india
Masyarakat sekitar membungkus bubur India untuk dibawa pulang/Mauren Fitri

Di atas perapian kayu, semua bumbu yang sudah dicampur dengan 23 kg beras dan santan diaduk dalam sebuah panci tembaga besar. Pak Ahmad bilang, panci tembaga yang digunakan untuk memasak bubur India adalah panci kedua selama 150 tahun terakhir. Panci generasi pertama telah dipensiunkan karena retak sehingga tak bisa digunakan lagi.

Santapan yang diperkenalkan oleh saudagar India dan Pakistan

Sembari terus menuangkan bubur ke dalam mangkuk, pria keturunan Gujarat itu bercerita pada saya tentang bubur India.

masjid jami pekojan
Sebelum disajikan, bubur disirami kuah dan ditambahi lauk/Mauren Fitri

Ternyata, yang membawa bubur India adalah para saudagar India dan Pakistan yang dulu berdagang di Semarang. Kebiasaan menyantap bubur India ini diturunkan dari generasi ke generasi. Tentu saja, agar bisa terus dinikmati, resep dan teknik memasak bubur India juga mesti terus diturunkan.

Dari tangan Pak Ahmad, mangkuk-mangkuk berpindah ke tangan-tangan lain untuk dibawa masuk ke masjid. Selanjutnya, bubur-bubur itu disirami kuah dan dilengkapi dengan lauk. Sore itu menunya opor ayam.

takjil masjid jami pekojan
Mangkuk-mangkuk bubur yang sudah disirami kuah/Mauren Fitri

Ternyata tak hanya takmir masjid yang sibuk sore itu. Para relawan juga turun tangan menyiapkan takjil. Salah seorang relawan yang sempat saya ajak mengobrol sore itu ialah Pak Irawan. Selama Ramadan kali ini, pria yang bekerja di bank itu sepulang kerja selalu datang membantu takmir masjid.

Bahan-bahan untuk memasak bubur India berasal dari para donatur masjid. Jadi, kalau ada rezeki, kamu juga bisa datang ke Masjid Jami Pekojan membawa “oleh-oleh”—entah beras, susu, kurma, atau buah-buahan—untuk disajikan sebagai santapan takjil puasa bulan Ramadan.

masjid pekojan
Pak Irawan, relawan yang sepulang kerja selalu mampir untuk membantu takmir menyajikan bubur India/Mauren Fitri

Waktu berbuka puasa hampir tiba. Orang-orang berdatangan, para takmir dan relawan semakin tekun menyiapkan santapan. Berhubung saya mesti ke tempat lain sebelum azan Magrib berkumandang, dengan berat hati saya pun berpamitan dengan Pak Ahmad dan Pak Irawan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Serunya Meracik Bubur India, Santapan Takjil Khas Masjid Jami Pekojan Semarang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bubur-india-masjid-jami-pekojan/feed/ 0 14182
Bagaimana Rasanya Menggiling Jagung dengan Alat Berusia Puluhan Tahun? https://telusuri.id/batu-putar-wakatobi/ https://telusuri.id/batu-putar-wakatobi/#comments Tue, 14 May 2019 14:06:40 +0000 https://telusuri.id/?p=13903 Siang itu saya dan seorang kawan pergi menghampiri Mamak Tua di Dapur Kejujuran. Tempat itu berlantai papan dan luas tanpa sekat pemisah dapur dan ruang tengah. Karena itulah ia dinamakan Dapur Kejujuran; semua jadi serba...

The post Bagaimana Rasanya Menggiling Jagung dengan Alat Berusia Puluhan Tahun? appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang itu saya dan seorang kawan pergi menghampiri Mamak Tua di Dapur Kejujuran. Tempat itu berlantai papan dan luas tanpa sekat pemisah dapur dan ruang tengah. Karena itulah ia dinamakan Dapur Kejujuran; semua jadi serba ketahuan. Di sana, Mamak Tua dan anak-anaknya sedang membuat penganan tradisional bernama lapa-lapa.

Lapa-lapa sebenarnya tak hanya jamak di Wakatobi, namun juga mudah ditemukan di penjuru Sulawesi Tenggara. Penganan ini terbuat dari beras ketan yang dicampur beras biasa, santan, tepung jagung, serta daun pandan. Nantinya, setelah campuran bahan-bahan itu dimasak, adonan akan dibungkus dengan daun pisang dan janur kelapa lalu dikukus.

Mirip lepat.

batu putar
Mencoba menggiling jagung dengan batu putar/Dewi Rachmanita Syiam

Penasaran, saya pun mencoba membungkus adonan lapa-lapa. Mula-mula saya ambil daun pisang. Kemudian saya letakkan adonan secukupnya pada daun pisang itu. Lalu—ini bagian yang paling menarik—daun pisang itu saya lilit dengan daun kelapa. Ternyata membungkus lapa-lapa menuntut kecermatan. Tantangannya adalah bagaimana agar adonan tidak merembes ke luar pas diikat dengan tali, sementara talinya tetap rapat.

Saya takjub. Namun, ternyata ada hal lain yang mencuri perhatian saya selain proses pembuatan lapa-lapa. Ia berada dekat tiang dapur. Bentuknya berupa dua batu berbentuk lingkaran yang bertumpuk. Keduanya tampak sudah sangat tua, bopeng di sana-sini bak permukaan bulan. Warnanya krem dengan aksen putih bedak. Saya tanya ke Mamak Tua itu apa.

“Itu batu putar,” jawab Mamak Tua.

batu putar
Mekanisme batu penggiling ini hampir sama dengan blender manual/Dewi Rachmanita Syiam

Menggiling jagung dengan alat berusia puluhan tahun

Menurut Mamak Tua, batu itu ia beli dulu sekali. “Riwayat hidupnya” sudah puluhan tahun. Dibelinya pun di Jawa, bukan di Wakatobi. Dengan batu putar dari Jawa itulah Mamak Tua dan keluarganya turun-temurun menggiling jagung.

Mekanismenya tampaknya tak jauh beda dari blender manual. Penasaran, saya coba saja. Saya ambil segenggam butiran jagung lalu saya masukkan ke dalam lubang kecil di batu putar. Kemudian, dengan sebatang kayu yang dipasang vertikal di pinggir batu, saya putar batu itu berlawanan arah dengan jarum jam.

Ternyata berat.

Rasa-rasanya, kalau tiap hari saya menggiling jagung dengan batu putar, saya bakal maklum kalau otot lengan saya jadi besar seperti binaragawati.

batu putar
Mamak Tua mengajarkan cara menggiling jagung/Dewi Rachmanita Syiam

Setelah sekian lama memutar—sampai bulir-bulir keringat bermunculan di pelipis—akhirnya tepung jagung keluar dari celah antara dua batu dan mulai memenuhi tampah. Menggiling dengan batu putar PR juga ternyata. Barangkali ini sebabnya batu putar mulai ditinggalkan dan perannya digantikan alat yang lebih modern.

“Udah nggak ada lagi yang jual sekarang,” ungkap Mamak Tua. Ucapan Mamak Tua itu terngiang-ngiang terus dalam kepala saya, sampai lapa-lapa masak, sampai saya mengucapkan “sampai jumpa” pada Wakatobi.

Setiba di Jakarta, saya masih kepikiran soal nasib batu putar. Saya pun iseng berselancar di dunia maya mencari-cari alat itu. Ternyata di salah satu laman e-commerce ada yang jual batu serupa. Warna dan penadah tepungnya saja yang agak beda. Sang penjual menyebutnya “penggiling tepung.” Tapi, harganya tak main-main: sekitar Rp2.000.000.

Mungkin ini bisa jadi pilihan bagi Mamak Tua seandainya suatu saat batu putar di Dapur Kejujuran tak bisa lagi dioperasikan sehingga mesti dipensiunkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bagaimana Rasanya Menggiling Jagung dengan Alat Berusia Puluhan Tahun? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/batu-putar-wakatobi/feed/ 1 13903