tradisional Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tradisional/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 22 Feb 2023 03:07:07 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 tradisional Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tradisional/ 32 32 135956295 Dari Dapur Rawon Rampal https://telusuri.id/dari-dapur-rawon-rampal/ https://telusuri.id/dari-dapur-rawon-rampal/#respond Tue, 21 Feb 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36274 Siang itu, belum ada satu butir nasi yang masuk ke perut sejak pagi. Saya lalu teringat beberapa hari sebelumnya, Rifqy merekomendasikan cukup banyak tempat makan yang bisa jajal satu per satu selama di Malang. Namun,...

The post Dari Dapur Rawon Rampal appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang itu, belum ada satu butir nasi yang masuk ke perut sejak pagi. Saya lalu teringat beberapa hari sebelumnya, Rifqy merekomendasikan cukup banyak tempat makan yang bisa jajal satu per satu selama di Malang. Namun, hingga hari terakhir saya di sini, tak satupun yang sempat saya singgahi. Dengan impulsif, saya memutuskan untuk mencicipi salah satu dari daftar tersebut. Adalah rawon rampal—kuliner legendaris khas Kota Malang yang sudah ada sejak 1957—sebagai penutup perjalanan.

Ketika tiba, saya dihadapkan pada sebuah bangunan klasik layaknya rumah hunian berwarna cokelat–merah. Bentuknya memanjang ke belakang. Halamannya tak luas, hanya cukup untuk memarkir beberapa mobil saja. Di bagian depan, terpampang plang “RAWON RAMPAL” dengan warna senada. Posisinya begitu tinggi, sehingga saya harus melongok ke atas untuk membacanya dengan jelas.

raowan rempal
Papan plang warung yang menjulang tinggi/Mauren Fitri

Bagian dalam warung mengingatkan saya pada warung-warung serupa di kawasan Kota Lama Semarang. Lawas, terkesan. Kursi “kondangan” saya menyebutnya, tertata rapi di samping meja persegi panjang yang jumlahnya hanya empat buah. Di temboknya, selain tergantung menu warung ini, juga ada jam klasik dan beberapa foto tua. Saya tidak terlalu memperhatikan, tapi tampaknya foto tersebut merupakan foto “orang-orang penting” yang pernah berkunjung ke sini.

Segera saya mendatangi si empunya. Kaca lebar memisahkan kami saat berinteraksi. Mungkin untuk menaati protokol kesehatan. Seorang bapak paruh baya berkaus hijau yang menanggalkan maskernya di dagu, tampak sibuk di depan saya, ia mengambil piring dan menanyai lauk kepada pengunjung laki-laki yang berdiri di sebelah kanan saya.

Di belakangnya, aroma sedap menguar dari dua buah panci alumunium besar. Satu panci berisi kuah soto, satu lagi panci berisi kuah rawon. Gelembung-gelembung disertai suara air mendidih terdengar tipis. Mumpal-mumpal, kalau orang Jawa bilang. Dari baunya, terbayang rasa gurih di setiap tetesnya.

Usai menyiapkan pesanan laki-laki tadi, ia kemudian menanyai apa yang ingin saya makan. “Tiga porsi rawon rampal campur, yang satu porsi nasinya setengah saja,” jawab saya cepat. Masih dari bilik kaca, ia tampak cepat menyiapkan pesanan. Mengambil piring, menuangkan nasi putih, lalu menambahkan irisan daging sapi di atasnya. Terakhir, ia tuangkan kuah rawon dengan warna cokelatnya yang khas ke dalam piring, lengkap dengan topping kecambah mentah dan sambal.

“Ada tambahan lain?” tanyanya lagi sambil menyodorkan satu nampan berisi tiga piring nasi rawon rampal.

Karena tak ingin menambah menu lain, saya bergegas membawa nampan tersebut ke meja di depan. Menaruhnya satu per satu di hadapan masing-masing kawan jalan saya seraya berkata “Nih, makan enak kita hari ini.”

Saya punya cara tersendiri untuk mencicipinya, yakni dengan menyeruput kuah rawon untuk merasakan kelezatannya, lalu melanjutkannya dengan menyantap irisan daging sapi yang punya potongan cukup besar, tebal, tetapi empuk. Baru setelah menyantap kesemuanya bersama nasi. Sempurna untuk saya.

Memang tidak salah jika orang banyak rekomendasikan kuliner satu ini, kelezatannya yang tersohor sangat terbukti. Aroma gurih hingga rasa rempah-rempah yang kuat, membuat saya tak berhenti mengunyah. Selain menggunakan resep turun-temurun, cara memasak yang masih tradisional menggunakan kayu bakar menjadi satu rahasia umum yang menjadikan Rawon Rampal punya rasa dan aroma khas.

Seporsi Rawon Rampal pun ludes kurang dari 10 menit. Sisa-sisa kuah rawon yang pekat tanpa lemak saya seruput habis. Sungguh tak rela menyisakannya.

Usai si empunya memperbolehkan saya melihat-lihat dapur, saya menuju para ibu yang sedang asik berbincang sembari mengiris daging sapi. 

“Niki daging kagem rawon kaleh soto, Bu?” “Nggeh, Mbak,” jawabnya serentak.

Di depan mereka, agak ke sebelah kanan, deretan tungku-tungku besi yang nampak sudah berkarat namun nampak kokoh berjajar. Apinya sudah padam, hanya abu yang tersisa. Ada sekitar lima tungku seingat saya, kesemuanya digunakan untuk memasak daging, hingga kuah. Dua buah panci besar dan satu wajan besar “nangkring” di atasnya. Ketika saya tanya isinya apa, salah seorang ibu menjawab isinya adalah stok kuah rawon untuk hari ini.

Untuk sajian esok hari, dapur Rawon Rampal sudah bersiap meraciknya hari ini. Tentu, mereka harus memasak berpanci-panci besar kuah rawon dan pelengkap lainnya. Para ibu tampak asyik mengiris daging, kemampuan mengiris dagingnya tampak tak jauh beda dengan pedagang tempe mendoan. Iris tipis-tipis untuk paru sebagai menu pelengkap, sedangkan iris tebal untuk daging rawon. 

“Senjata” mereka juga lengkap. Selain pisau besar, asahan dari pisau yang terbuat dari batu selalu ada di sampingnya. Sesekali kami bercanda sembari berbincang. Supaya tak dikerumuni lalat, sebuah kipas angin menyala di sisi para ibu. Menghempas serangga dari ordo Diptera ini. Di belakang mereka, seorang ibu lain sedang “memberesi” cabai dan beberapa rempah lain untuk bumbu.

Saya kembali ke dalam warung. “Satu panci rawon itu bumbunya satu kilogram,” ujar si Bapak sembari mengaduk-aduh kuah rawon untuk memisahkan endapan bumbunya. Sesaat kemudian, saya melunasi hidangan yang sudah masuk ke dalam perut dan berpamitan. “Wah, lumayan juga ya Rp50.000 untuk satu porsi rawon rampal. Tapi sebanding sama rasanya sih,” celetuk saya kepada dua rekan perjalanan sembari berjalan ke tempat parkir.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Dapur Rawon Rampal appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-dapur-rawon-rampal/feed/ 0 36274
Gudeg Yu Yah, Kuliner Malam Favorit Mahasiswa Jogja https://telusuri.id/gudeg-yu-yah-kuliner-malam-favorit-mahasiswa-jogja/ https://telusuri.id/gudeg-yu-yah-kuliner-malam-favorit-mahasiswa-jogja/#respond Tue, 24 Jan 2023 04:03:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36932 Mampir ke Yogyakarta, tentu rasanya belum sah jika belum mencicipi kuliner yang satu ini: gudeg. Masakan yang terbuat dari cacahan nangka muda yang diolah dengan gula merah dan dipadukan dengan potongan krecek yang ditumis dengan...

The post Gudeg Yu Yah, Kuliner Malam Favorit Mahasiswa Jogja appeared first on TelusuRI.

]]>
Mampir ke Yogyakarta, tentu rasanya belum sah jika belum mencicipi kuliner yang satu ini: gudeg. Masakan yang terbuat dari cacahan nangka muda yang diolah dengan gula merah dan dipadukan dengan potongan krecek yang ditumis dengan potongan cabai, dan siraman kuah areh yang terbuat dari santan. Kuliner yang bercita rasa manis ini memang menjadi primadona makanan berat di Yogyakarta, dan menjadi salah satu opsi oleh-oleh khas daerah selain bakpia pathok. Meski awalnya lidah saya kesulitan untuk beradaptasi dengan makanan manis, namun setelah lima tahun tinggal di Yogyakarta dan mencicipi berbagai gudeg, saya mulai terbiasa dan menikmati cita rasanya.

Dalam banyak kesempatan, ketika harus menjamu teman-teman maupun keluarga dari luar pulau yang hendak main ke Yogyakarta, tak jarang saya mendapat komentar dari mereka yang mencoba gudeg untuk pertama kali. 

Wah, enak sih, tapi manis sekali!” 

Saya biasanya akan memberikan gambaran dulu kepada para tamu tentang cita rasa yang akan diperoleh dari mencicipi kuliner yang satu ini.

Setelah mencoba berbagai jenis gudeg, saya akhirnya paham bahwa makanan ini punya banyak varian. Gudeg yang paling populer biasanya kita sebut sebagai gudeg kering, disebut demikian karena seluruh lauk dan isiannya relatif kering tidak berkuah. Gudeg kering menjadi varian gudeg yang paling sering menjadi incaran utama wisatawan yang datang dan menjadi oleh-oleh khas untuk dibawa ke kota asal. Gudeg kering biasanya memiliki cita rasa yang relatif sangat manis, bisa jadi karena harus dimasak lama dengan banyak gula merah untuk mendapatkan tekstur yang sedemikian rupa. Sepanjang pengamatan saya, gudeg kering biasanya dijual dari pagi sampai malam hari. 

Seporsi Nasi Gudeg
Seporsi Nasi Gudeg/Ully Shara

Kalau penasaran dengan rasa gudeg kering, kamu dapat mengunjungi Gudeg Yu Djum ataupun Gudeg Bu Amad di Jalan Selokan Mataram ataupun langsung menuju Sentra Gudeg Yogya di Kampung Wijilan, yang mana sepanjang jalan terdapat berbagai kedai yang menjual gudeg. Gudeg kering juga tersedia dalam bentuk kemasan kaleng, sehingga aman dibawa sebagai oleh-oleh.

Jenis lainnya biasa disebut sebagai gudeg basah, yang saya amati banyak dijual justru di tengah malam hingga dini hari. Maka dari itu, gudeg basah bahkan bisa dibilang sebagai salah satu kuliner malam. Gudeg basah biasanya tidak terlalu manis dengan sajian krecek yang dimasak berkuah dan relatif lebih pedas. Kuah areh yang diberikan juga lebih gurih dan encer. 

Di beberapa tempat, biasanya pilihan lauknya akan lebih bervariasi dan sudah pasti pedas. Sebut saja gudeg mercon, yang menyajikan tumisan daging dan tetelan sapi berkuah yang sangat pedas, sehingga disebut sebagai ‘mercon’. Kalau saya boleh bilang, agaknya gudeg basah lebih cocok untuk teman-teman yang tidak terlalu suka rasa manis.

Jika tertarik mencicipi gudeg basah, kamu bisa datang ke Gudeg Yu Yah yang berlokasi di Jalan Magelang No. 129 A. Di sini, menyediakan 20 jenis lauk pauk yang bisa dipilih untuk mendampingi sensasi makan gudeg. Rata-rata lauk yang disajikan berupa tumisan yang tentunya memiliki banyak potongan cabai, sebut saja tumis mercon, tumis ikan teri, tumis jamur, ikan peda cabai. Kemudian ada juga baceman telur, tempe, tahu serta suwir ayam, telur sambal, dadar, gelatin kecap, hingga berbagai jenis sate seperti sate telur puyuh, sate usus, sate hati, sate brutu, dan berbagai jenis gorengan seperti tahu bakso, mendoan, dan lumpia. 

Memang mungkin rasanya jadi tidak sesuai dengan gudeg pada umumnya tetapi perpaduan cita rasa ini tidak kalah nikmat dari yang lainnya. Bagi saya justru membuat cita rasanya ini semakin komplit.

Makan gudeg tidak selalu identik dengan nasi di berbagai tempat—termasuk Gudeg Yu Yah—nasi  bisa diganti dengan bubur. Istilahnya bubur gudeg. Kadang kala juga banyak dijual di pagi hari sebagai opsi sarapan.

Gudeg Yu Yah cukup legendaris, apalagi bagi kalangan anak muda dan mahasiswa di Yogyakarta. Hanya buka di malam hari, mulai dari jam 20.00 sampai jam 03.30 dini hari, Gudeg Yu Yah jadi salah satu destinasi mahasiswa yang kelaparan tengah malam. 

Belum lagi mengingat harganya yang cukup murah, hanya sekitar 15.000-20.000 rupiah per porsi bergantung pada lauk-pauk yang kita pilih. Berbagai lauk khususnya tumisan dan sayur ini bisa kamu peroleh mulai dari harga Rp2.000 saja. Sedangkan berbagai jenis sate yang disajikan hanya dibanderol dengan harga Rp3.000.

Lokasi tempat makannya bisa dibilang cukup sederhana, berada di emperan beberapa ruko layaknya street food pada umumnya. Pengunjung nantinya dapat duduk di tikar-tikar yang digelar di bantaran ruko. Jangan heran kalau kuliner satu ini justru semakin malam akan semakin ramai, penuh dengan anak muda. 

Walaupun tempatnya sederhana, Gudeg Yu Yah ini relatif sangat bersih. Sensasi makan ini juga akan bertambah dengan iringan berbagai lagu yang dibawakan oleh para pengamen bersuara merdu. Tak jarang, banyak juga pengunjung yang akhirnya ikut me-request lagu, bernyanyi bersama, bahkan karaoke dengan diiringi lantunan musik. Secara suasana, cukup mirip dengan suasana makan di pinggiran Jalan Malioboro. 

Gudeg Yu Yah bisa dibilang favorit masyarakat lokal, belum banyak wisatawan yang tahu atau bahkan berkunjung ke sini. Kalaupun ada pendatang yang hadir, biasanya merupakan perantau yang dulunya berkuliah atau pernah tinggal di Yogyakarta. Tak jarang pula ada yang datang karena mendapat rekomendasi dari temannya. Menurut cerita si penjual, tempat makan inisendiri sudah buka dari tahun 2011, yang awalnya hanya berupa warung tenda kecil dengan pilihan lauk yang terbatas sampai terkenal dan ramai sampai sekarang,

Sudah bertambah satu nih daftar kuliner. Jadi kapan kamu ke Yogyakarta?

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Gudeg Yu Yah, Kuliner Malam Favorit Mahasiswa Jogja appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/gudeg-yu-yah-kuliner-malam-favorit-mahasiswa-jogja/feed/ 0 36932
Mencicipi Sega Pager, Menu Sarapan Khas Godong https://telusuri.id/sega-pager-menu-sarapan-khas-godong/ https://telusuri.id/sega-pager-menu-sarapan-khas-godong/#respond Wed, 18 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36898 Sarapan bagi masyarakat Indonesia seperti sebuah keharusan. Meski menu sarapan masing-masing daerah, bahkan masing-masing orang, boleh jadi berbeda. Ada orang yang cukup sarapan dengan ngeteh atau ngopi dengan teman cemilan. Ada yang hanya mengonsumsi buah-buahan...

The post Mencicipi Sega Pager, Menu Sarapan Khas Godong appeared first on TelusuRI.

]]>
Sarapan bagi masyarakat Indonesia seperti sebuah keharusan. Meski menu sarapan masing-masing daerah, bahkan masing-masing orang, boleh jadi berbeda. Ada orang yang cukup sarapan dengan ngeteh atau ngopi dengan teman cemilan. Ada yang hanya mengonsumsi buah-buahan dan air putih—biasanya untuk tujuan diet dan kesehatan. Atau ada pula—boleh jadi mayoritas—yang masih mengandalkan menu sarapan berbasis beras, baik dalam wujud nasi, lontong, ketupat, maupun bubur.  Di sejumlah daerah, terdapat menu sarapan khas yang bersifat terroir (karakteristik lokal). Di antaranya ada lentog tanjung (Tanjungkarang, Kudus), nasi tumpang koyor (Salatiga),  ketupat sayur dan nasi uduk (Betawi), dan banyak lagi. Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, juga ada menu sarapan khas yang memiliki lokalisme kuat. Namanya unik: sega pager. 

sega pager
Sega pager biasa disantap dengan aneka gorengan seperti bakwan/Badiatul Muchlisin Asti

Sega pager merupakan menu sarapan khas Godong—nama salah satu kecamatan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Minggu (19/1/2020), sebelum pandemi COVID-19 melanda negeri ini, sempat dihelat Festival Sega Pager yang dihadiiri Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.

Sejak dihelat dalam balutan festival, sega pager menjadi trending topic. Banyak orang yang makin mengenal kuliner ini. Bahkan setelahnya, “menjamur” lapak-lapak sega pager di lintas kecamatan, hingga lintas kabupaten seperti Kudus dan Demak. 

Padahal sebelumnya, sega pager hanya terkenal di lingkup Kecamatan Godong—sebagai  lokus di mana kuliner ini berasal mula. Itupun hanya bisa dijumpai di tiga desa yang berdampingan—yaitu Desa Ketitang, Desa Bugel, dan Desa Godong. Sedang jumlah desa di Kecamatan Godong sendiri mencapai 28 desa.

Dari ketiga desa itu, tak diketahui jejak historisnya, dari warga desa mana dari ketiga desa itu yang warganya mengkreasi atau menjadi kreator pertama kali sega pager. Jejak yang terlacak hanya menyebutkan bahwa di masing-masing tiga desa itu, terdapat generasi pertama pelopor kuliner ini, yaitu Mbah Turmudi (Ketitang), Mbah Sin (Bugel), dan Mbah Nyampen (Godong). Dari hasil wawancara sejumlah narasumber menyebutkan, sega pager diperkirakan sudah eksis sejak tahun 1960-an.

Apa Itu Sega Pager?

Nama aslinya sebenarnya bukan sega pager, melainkan sega janganan. Di era media sosial, nama sega pager lebih banyak disebut, sehingga nama sega pager kemudian menggeser dan menjadi lebih populer dibanding nama sega janganan. Boleh jadi, nama sega pager lebih branded dan lebih memantik tanya dan penasaran dibanding sega janganan.

Sega, dalam bahasa Jawa artinya nasi. Pager artinya pagar. Sega pager berarti “nasi pagar”. Saat memberi sambutan pada Festival Sega Pager, Gubernur Jawa Tengah,Ganjar Pranowo, sempat berseloroh, “Wong Godong orangnya sakti-sakti, pager saja dimakan.” Seloroh orang nomor satu di Jawa Tengah itu, yang disambut respons tawa gemuruh dari ribuan orang yang hadir di festival.  

Sega pager sendiri adalah hidangan berupa nasi yang disajikan dalam pincuk yang terbuat dari daun pisang, lalu diberi urap sayur dan diguyur saus kacang tanah, lantas diberi toping uyah goreng dan pethet rebus. Uyah goreng adalah serundeng versi asin dalam hidangan Jawa—terbuat dari parutan kelapa, dibumbui, lalu disangrai. 

Adapun pethet adalah biji mlanding (petai cina). Komposisi inilah yang menjadikan kuliner ini mencuatkan cita rasa khas dan istimewa. Kata “pager” dalam sega pager berasal dari sayuran yang biasa digunakan dalam sajiannya. Sayurannya berasal dari tanaman yang tempo dulu sering dimanfaatkan sebagai “pagar hidup”—juga  banyak ditanam di pekarangan rumah—sehingga sajian ini pun kemudian dinamai sega pager.

Dulu, sayuran yang biasa dibuat sebagai urap untuk sega pager adalah daun mlanding muda, kèplèk—kulit mlanding muda yang belum berbiji, daun kenikir, daun beluntas, daun ketela pohung, daun lembayung, dan daun pepaya. Aneka sayuran itu masing-masing direbus, kemudian diperas untuk menghilangkan airnya, dan diiris agak lembut.

Sekarang, sayurannya menyesuaikan yang ready saja. Seporsi sega pager biasa dinikmati dengan aneka gorengan seperti bakwan, mendoan, tahu isi, rempeyek, dan kerupuk. Juga ada penjual yang melengkapinya dengan pilihan lauk lainnya seperti telur bacem dan telur dadar. Minumnya es teh atau teh hangat.

Penyanjian yang Otentik

Melihat awal kemuculan sega janganan atau sega pager, yaitu sekitar tahun 1960-an, mengingatkan kita pada saat pekarangan rumah biasa ditanami berbagai macam tanaman yang bisa digunakan untuk kebutuhan pangan keluarga—sekaligus sumber ekonomi.  

Seperti yang dinyatakan Andreas Maryoto, pada masa lalu pekarangan lebih berfungsi sebagai basis pangan rumah tangga dibandingkan sebagai sumber ekonomi. Hasil pekarangan baru dijual ke pasar bila sebuah keluarga membutuhkan pangan lain atau alat-alat rumah tangga yang tidak bisa dibuat sendiri. (Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, 2009).

Selain pekarangan, pada masa-masa itu jamak dijumpai “pagar hidup”—yaitu konsep pagar rumah yang terbuat dari tanaman tertentu seperti beluntas dan katuk. Kedua tanaman itu bisa dijadikan sumber pangan, yaitu daun mudanya bisa dijadikan urap dan lalapan.

Konsep ketahanan pangan melalui pekarangan rumah itulah yang sepertinya dikreasi secara genial oleh warga Godong menjadi menu sarapan berupa sega pager. Boleh dibilang, sega pager merupakan ekspresi otentik kearifan lokal (local genius) masyarakat Godong dalam memanfaatkan potensi alam di sekitarnya.

Kearifan itu berlanjut hingga kini. Tidak hanya berupa masih terus dilestarikan, bahkan dikembangkannya, sega pager sebagai menu sarapan khas Godong, namun juga pelestarian pada penyajian yang otentik—yang berbasis pada kearifan ekologis, yaitu menggunakan pincuk dari daun pisang. 

Boleh dibilang, 95% penjual sega pager di Kecamatan Godong—bahkan yang di luar, masih mempertahankan penyajian sega pager yang otentik dengan menggunakan pincuk. Lalu sendoknya pakai suru, yang juga terbuat dari daun pisang—namun untuk yang satu ini, saat ini sifatnya opsional, karena banyak yang lebih nyaman memakai sendok logam.

Para Pelestari Sega Pager

Semua generasi pertama pelopor sega pager sudah meninggal dunia dan penjual yang ada sekarang adalah generasi penerus dengan kisaran masa tempuh berjualan antara 10 hingga 30-an tahun. Ada juga pendatang baru yang menjajal peruntungan dengan berjualan sega pager. Apalagi setelah dihelat Festival Sega Pager, lebih banyak lagi dijumpai penjual baru di banyak tempat, baik di dalam maupun di luar Godong.
Salah satu generasi penerus atau pelestari sega yang banyak penggemarnya adalah Mbak Ngatminah. Perempuan kelahiran 1965 yang berjualan sega pager di teras rumahnya di Kampung Bugel Kauman, Desa Bugel itu, telah berjualan kuliner ini sejak sekira 30-an tahun yang lalu (1990). Ia berjualan sega pager meneruskan almarhum budhe-nya, bernama Aminah—yang dulu berjualan di Pasar Godong.

Selain Mbak Ngatminah, di Desa Bugel juga ada Mbah Siu yang juga telah berjualan makanan ini sejak sekira 20-an tahun. Ia meneruskan usaha bulik-nya, bernama Mbah Bonah, yang kini telah tiada.

Pelestari lainnya, Mbak Ika, yang setiap hari membuka lapak di Jalan Pemuda, Desa Godong. Ia adalah generasi ketiga. Ia meneruskan almarhum neneknya, Mbah Nyampen—yang disebut-sebut salah satu generasi pertama pelopor makanan ini.

  • Mendoan
  • Penjual sega pager
  • Sega Pager Mbak Ngatminah

Adapun di Ketitang, sepeninggal Mbah Turmudi, tidak ada keturunannya yang meneruskan usaha berjualan sega pager. Tapi beruntung, ada beberapa warga Ketitang yang berinisiatif berjualan sega pager. Antara lain Ibu Miyati, warga Ketitang, yang telah berjualan sega pager sejak sekira 10-an tahun lalu. Dan masih banyak lagi.

Bila sedang melintas Jalan Raya Purwodadi–Semarang di pagi hari, dan melewati pasar Godong, silahkan berburu sega pager. Jangan khawatir akan “tersesat” alias sulit menemukan pelapak sega pager. Karena pelapak sega pager di sekitar pasar Godong sangat banyak. Bahkan di Jalan Pemuda, Desa Godong—atau pertigaan timur pasar Godong arah ke selatan, arah ke Juwangi-Boyolali, di sepanjang jalan banyak dijumpai pelapak sega pager di pinggir jalan. Tinggal pilih saja. 

Selamat berburu!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mencicipi Sega Pager, Menu Sarapan Khas Godong appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sega-pager-menu-sarapan-khas-godong/feed/ 0 36898
Tenun Nusantara dalam Selembar Kain Bernama Indonesia https://telusuri.id/tenun-nusantara-dalam-indonesia/ https://telusuri.id/tenun-nusantara-dalam-indonesia/#comments Thu, 12 Jan 2017 14:03:45 +0000 http://telusuri.org/dev/?p=1268 Segumpal kapas dipilin menjadi sehelai benang lalu ditumpuk satu sama lain hingga menjadi selembar kain. Tiga sampai empat bulan bukan waktu yang pendek untuk menyelesaikan selembar tenunan bermotif. Ketekunan, ketelatenan, kesabaran, daya imajinasi, dan konsistensi...

The post Tenun Nusantara dalam Selembar Kain Bernama Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
Segumpal kapas dipilin menjadi sehelai benang lalu ditumpuk satu sama lain hingga menjadi selembar kain. Tiga sampai empat bulan bukan waktu yang pendek untuk menyelesaikan selembar tenunan bermotif. Ketekunan, ketelatenan, kesabaran, daya imajinasi, dan konsistensi adalah lembaran-lembaran benang penyusun kain tenun. Beruntung saya berkesempatan melihat transformasi segumpal kapas hingga menjadi selembar kain, yang merupakan salah satu dari tenun Nusantara di Nusa Tenggara Barat.

Daratan Sumatera terkenal dengan ulos, di Jawa khususnya Jepara ada kain troso, di Timor ada tais, hingga Papua dengan rajutan noken-nya. Budaya memanfaatkan serat tumbuhan menjadi seni kriya dari pakaian hingga perlengkapan penunjang kebutuhan. Hasil buah tangan yang terampil dengan motif yang sederhana, hingga yang rumit dengan penuh makna. Ada yang hanya polos rupanya, ada juga yang penuh dengan warna-warni alam. Inilah warisan budaya nenek moyang berupa lembaran-lembaran kain, yang di tiap jengkal Nusantara memiliki pencirinya masing-masing.

Seorang nenek sedang memintal benang/Dhave Dhanang

Pagi ini saya diajak mengunjungi Desa Sade di Pulau Lombok. Desa yang masih mempertahankan adat nenek moyang ini menjadi salah satu tujuan pelancong yang menyambangi Pulau Lombok. Rumah-rumah beratap jerami masih tetap kokoh berdiri di balik perkembangan modernisasi. Prilaku menjaga kebersihan rumah kadang susah dipahami karena mereka mengepel lantai dengan kotoran sapi. Lebih aneh lagi manakala seorang lelaki meminang pujaan hati yakni dengan cara menculik gadis pujaannya di malam hari. Suku Sasak di Lombok dengan segala budaya dan keramahannya menyambut mereka yang terheran-heran seperti terkena gegar budaya, termasuk saya.

Tambatan mata saya tertuju pada seorang nenek yang sedang memintal kapas-kapas menjadi berhelai-helai benang. Kapas dipilin lalu ditarik ujungnya dengan cara ditautkan dan dibelitkan pada roda yang berputar. Pilinan diatur agar memiliki ukuran besar yang sama hingga menjadi gulungan-gulungan benang. Usai dipintal benang-benang ini lalu diberi warna. Pewarna alami yang biasa dipakai antara lain ketepeng, jambu biji, jati, tom (indigofera), kepel, pacar air, alpukat, urang aring, manggis, kedelai, kara benguk, sabut kelapa, getah gambir, bunga sari kuning, biji alpukat, Bixa orelana, kacang merah, makutodewo dan lain sebagainya. Usai diwarnai, akan dilakukan penghanian pada benang, yakni mengikatkan benang-benang pada alat tenun, seperti yang saya lihat saat berkunjung di Desa Kertasari, Taliwang, di Pulau Sumbawa.

Yang menarik dari pembuatan selembar kain tradisional adalah proses menenun. Sebelum menenun, akan ditentukan motifnya terlebih dahulu. Di sinilah harga sebuah kain tenun akan ditentukan. Semakin rumit, sulit, dan bagus makna dari motof kain maka akan semakin mahal harganya—selain kualitas kain dan tingkat kerapian pembuatan.

Alat cetak motif tenun troso Jepara/Dhave Dhanang

Di Jepara ada sentra industri kain tenun troso. Motif tenun troso sebelumnya sudah ditentukan lalu dicetak pada cetakan dan dengan alat tenun akan secara otomatis tercetak dengan sendirinya. Lain lagi kisah saat saya mengunjungi Pulau Timor, NTT. Dalam membuat motif, mama-mama penenun kain tais (kain timor) membuat motif sepenuhnya mengandalkan imajinasi dan hitungan. Inilah kekhasan masing-masing motif kain tenun Nusantara.

Di Kertasari, Pulau Sumbawa, membuat kain tenun saat ini hanya dilakukan oleh ibu-ibu saja. Generasi muda sepertinya sudah enggan menenun. Di bawah rumah panggung yakni hunian khas orang Selayar dari Makassar, kaum ibu sedang sibuk menyelesaikan selembar kain sarung. Mereka ada yang memintal, melungsing, dan menenun demi menghasilkan selembar kain bermotif khas orang pesisir. Di Desa Sade, yang menenun tidak lagi kaum ibu—gadis-gadis juga ikut terlibat. Di Sade kain tenun tak lagi menjadi pemenuh kebutuhan sandang, tetapi menjadi komoditi wisata. Kain tenun berupa selendang, slayer, jarik, diperindah dengan motof-motif yang menarik bahkan ada yang bertulisankan “Lombok, Desa Sade” sebagai penciri asal kain tenunnya.

Helaian-helaian benang warna-warni kini sudah membelit leher para pelancong untuk dijadikan buah tangan. Ada teman saya yang kini mengoleksi kain-kain tenun Nusantara—hebatnya dia selalu menitip pada saya. Dalam benak saya hanya bisa bersenandika, suatu saat kain tenun itu akan berkali-kali lipat harganya dan menjadi sebuah investasi nilai seni. Nusantara, pulau-pulaumu bak helaian warna-warni benang yang ditenun menjadi selembar kain utuh yang bernama Indonesia.


Artikel ini ditulis oleh Dhave Dhanang dan sebelumnya dipublikasikan di sini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tenun Nusantara dalam Selembar Kain Bernama Indonesia appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tenun-nusantara-dalam-indonesia/feed/ 1 2214