tur heritage Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tur-heritage/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 06 Mar 2025 07:31:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 tur heritage Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/tur-heritage/ 32 32 135956295 Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-4/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-4/#respond Thu, 06 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45870 Kami tidak lama di Kelenteng Eng An Kiong. Selama di tempat ini, saya dan lainnya hanya berada di bagian muka saja, alias di depan ruang utama ibadah Dewa Bumi yang terletak di tengah-tengah, diapit dua...

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami tidak lama di Kelenteng Eng An Kiong. Selama di tempat ini, saya dan lainnya hanya berada di bagian muka saja, alias di depan ruang utama ibadah Dewa Bumi yang terletak di tengah-tengah, diapit dua ruang ibadah lainnya yang berukuran lebih kecil. Pun, tak begitu banyak cerita yang dikisahkan Agung Buana, pemandu tur kami.

Ia menyebut Kelenteng Eng An Kiong didirikan menjelang Perang Jawa pecah, tepatnya tahun 1820. Dari segi bangunan ia menyebut, kelenteng pernah mengalami kebakaran di tahun 90-an atau tahun 2000 awal. Akibat kebakaran tersebut, kelenteng pun direnovasi dengan menggunakan material dari keramik sementara bahan asli dari kayu.

“Kita lihat, bangunan kelenteng ini didominasi warna kuning dan merah. Bagi masyarakat Tionghoa, merah itu mengandung makna kemakmuran sementara warna kuning berarti kemasyhuran,” terangnya.

Kelenteng Eng An Kiong disebut juga bangunan Tri Dharma karena menjadi tempat ibadah bagi pemeluk Buddha, Tao, dan Konghucu. Tidak hanya menyoroti tentang bangunannya saja, Agung juga menjelaskan bagaimana akulturasi kebudayaan Tionghoa dan lokal terjadi di kelenteng ini.

“Di bagian belakang kelenteng, ada gamelan, wayang, dan pertunjukan-pertunjukan yang sifatnya percampuran kebudayaan Tionghoa dan budaya masyarakat Jawa, termasuk juga budaya Madura. Ini adalah melting pot, pelelehan kebudayaan, akulturasi. Salah satu akulturasi ini tidak hanya pada bangunan, tetapi juga pada makanan.”

Salah satu akulturasi pada makanan adalah lontong Cap Go Meh. Ia mengatakan bahwa lontong berasal dari Jawa dan orang Tionghoa tidak mengenal lontong sebelumnya. Selain lontong, ada juga cwi mie dan bakso Malang. Misalnya, di bakso Malang ada siomay yang merupakan makanan Tionghoa. Adanya akulturasi dalam makanan ini tersirat makna kebersamaan dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Ruang sembahyang lainnya di Kelenteng Eng An Kiong/Dewi Sartika

Jejak Sejarah di Hotel Emma

Selesai mengisi perut di kantin, kami meneruskan perjalanan ke selatan. Kami menelusuri Jalan Martadinata. Di sepanjang salah satu ruas jalan utama Kota Malang ini deretan toko berdiri menghiasi sisi jalan. Kami sempat berhenti sebentar ketika Agung memberikan aba-aba kepada para peserta. Ia membelakangi jalan raya dan sebuah bangunan showroom mobil bekas dengan tulisan “Hotel Emma” di bagian atasnya.

Menjorok ke dalam, di samping showroom tersebut ada Hotel Emma yang berada di bagian belakang. Hampir tidak tampak sama sekali bentuk bangunan hotel. Kepada kami, Agung mulai bercerita. Dahulu, kira-kira hampir 100 tahun lalu, Hotel Emma sudah ada dan termasuk hotel terbaik di wilayah Malang sebelah timur.

“Hotel Emma termasuk hotel yang punya reputasi baik sebelum zaman Jepang. Namun, setelah Jepang masuk ke Malang, Hotel Emma menjadi hotel untuk khusus tentara Jepang yang pangkatnya bukan perwira. Jadi, prajurit-prajurit ke bawah di sini tempatnya. Banyak peristiwa yang namanya jugun ianfu. Ngambil orang-orangnya dari mana? Orang Bululawang, Kepanjen, Wonokoyo, Arjowinangun, diambillah lalu dibawa ke sini. Jadi, hotel ini punya sejarah cukup kelam saat Jepang masuk mulai tahun 1942 hingga 1945. Setelah itu jadi hotel untuk orang-orang yang melakukan transaksi perdagangan di Kota Malang,” jelasnya.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Bagian depan Hotel Emma yang digunakan sebagai showroom mobil/Dewi Sartika

Objek menarik lainnya di Jalan Martadinata membuat langkah kami terhenti lagi. Masih sederet dengan Hotel Emma yang berada di seberang jalan, sebuah rumah tua bergaya kolonial membuat mata saya tertuju kepadanya. Sayangnya, keindahan bangunan tersebut luput dari para pemakai jalan karena terhalang pagar dan tanaman yang menutupi bagian muka rumah.

“Rumahnya cantik sekali, ya. Rumahnya masih bertahan sampai sekarang. Model arsitekturnya, art deco. Coba lihat ornamen di pilar-pilarnya, ada ornamen art deco yang kental sekali di tahun 1920-an. Kedua, railing tangga, kaca patrinya juga masih bagus. Ini adalah rumah yang masih mempertahankan diri,” terang Agung.

Benar adanya kalimat terakhir yang diucapkan Agung. Sepanjang Jalan Martadinata, rumah tersebut bisa dibilang satu-satunya sampai saat ini yang masih terawat. Walaupun sebenarnya ada lagi satu atau dua rumah era kolonial di pinggir jalan ini yang juga masih berdiri. Hanya saja sebagian besar telah berubah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Salah satu rumah era kolonial yang masih utuh di Jalan Martadinata/Dewi Sartika

Tugu Lonceng, Penanda Kawasan Pecinan

Jalan Martadinata tersambung dengan pertigaan Pecinan, yaitu Jalan Kyai Tamin. Kemudian, kami berdiri di samping kompleks ruko yang berada tepat di pertigaan. Kami berada di dekat sebuah pohon dengan daun-daunnya yang besar. Saya tak tahu pohon apa ini. Beberapa orang yang melewati atau berada di jalan ini tampak memerhatikan keberadaan kami.

Dekat pohon besar tersebut ada sebuah pajangan menyerupai tugu dengan ujungnya berupa jam. Orang-orang menyebut kawasan pertigaan ini dengan sebutan kawasan Lonceng karena keberadaan tugu tersebut. Jujur, saya sempat bingung dengan sebutan ‘lonceng’ mengingat tugu itu tak memiliki lonceng pada umumnya.

“Kawasan Lonceng ini adalah penanda kawasan Pecinan. Pecinan paling selatan ditandai dengan adanya sebuah lonceng. Nah, lonceng yang dimaksud adalah sebuah tugu dengan tanda waktu atau jam. Letaknya dulu ada di tengah-tengah sini. Namun, sekarang dipindah di sini,” terang Agung sembari tangannya menyentuh tugu bercat merah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Gerbang Pecinan di Jalan Kyai Tamin yang berada persis di seberang tugu lonceng/Dewi Sartika

Ia juga menjelaskan lokasi tugu lonceng ini bergeser letaknya karena adanya pelebaran jalan. Saking terkenalnya sebutan lonceng ini, beberapa warung kuliner yang ada di sekitar Pertigaan Lonceng ini turut memakai nama lonceng, seperti tahu telur lonceng dan soto lonceng.

Kami lalu menyeberang di tengah padatnya lalu lintas di pertigaan menuju kawasan Pecinan. Kawasan ini ditandai dengan adanya gerbang di Jalan Kyai Tamin. Tak begitu jauh, ada warung soto lonceng yang menjual soto Lamongan. Sederet dengan soto lonceng, masuk ke gerbang kompleks ruko, di pagi hari ada penjual nasi buk Madura. Di pagi hari, para pembeli antri berbaris untuk membeli nasi buk ini. Namun, saat kami berada di Jalan Kyai Tamin menjelang siang, penjual nasi buk sudah membereskan dagangannya.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
Salah satu kuliner terkenal yang berada di dekat Gerbang Pecinan/Dewi Sartika

Bekas Terminal Angkutan

Selanjutnya, kami belok kanan ke Pasar Besar Malang. Suasana tampak ramai meski tak sepadat hari-hari aktif. Toko-toko di sepanjang Jalan Kopral Usman banyak yang tutup. Kemudian kami mendengarkan penjelasan Agung tentang tempat ini.

“Ini adalah bagian belakang pasar. Tapi kira-kira di antara tahun 1928 sampai 1930-an, bagian belakang pasar ini adalah sebuah terminal. Jadi, pasarnya ada di bagian depan sementara di belakang ini terminal untuk mobil-mobil angkutan yang namanya demmo, bukan bemo. Demmo saat itu menjadi alat transportasi untuk perkotaan. Jadi, kalau orang belanja dari sana terus ke sini,” jelasnya. Tangannya mengarah ke bagian depan Pasar Besar.

Ia lalu menerangkan lebih lanjut bahwa terminal di belakang Pasar Besar ini dulunya dibagi menjadi dua bagian, yaitu angkutan untuk mengangkut orang yang kendaraannya memakai mesin dan dokar penumpang. Sementara dokar pengangkut barang berada di sebelah selatan Pasar Besar, tepatnya di daerah Comboran. 

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4)

“Di situlah kuda-kuda dari Kepanjen, Kedungkandang, dan Bululawang berhenti di Comboran. Kudanya istirahat, disuruh makan dan minum. Ketika kudanya minum dari gentong besar, ini namanya nyombor. Makanya dinamakan Comboran,” ucap Agung Buana sewaktu menjelaskan asal-usul nama Comboran.

Perjalanan kami berlanjut melewati bagian depan Pasar Besar lalu Jalan Zainul Arifin atau lebih populer disebut Kudusan. Berikutnya, kami belok ke Jalan KH Ahmad Dahlan lalu memasuki Kampung Temenggungan sebelum tiba di titik awal pemberangkatan, Kafe Pop Mason 52. 

Sungguh, sebuah perjalanan yang lumayan melelahkan bagi saya pribadi. Saya kemudian mencoba mengingat-ingat kembali tur heritage sebelumnya yang pernah saya ikut. Rasa-rasanya tur kali ini menjadi rute terjauh yang pernah saya tempuh. Namun, rasa lelah yang mendera cukup terobati dengan pengetahuan yang didapat dari hasil menelusuri jejak sejarah sudut-sudut Kota Malang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (4) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-4/feed/ 0 45870
Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-3/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-3/#comments Wed, 05 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45856 Napas saya terengah-engah saat menaiki anak tangga di Kampung Warna-Warni Jodipan. Kami hendak keluar setelah menjelajahi beberapa bagian permukiman ini. Tak seperti saat memasuki kampung, untuk keluar kami harus mendaki. Sampai di pintu keluar yang...

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Napas saya terengah-engah saat menaiki anak tangga di Kampung Warna-Warni Jodipan. Kami hendak keluar setelah menjelajahi beberapa bagian permukiman ini. Tak seperti saat memasuki kampung, untuk keluar kami harus mendaki. Sampai di pintu keluar yang tembus ke Jalan Juanda, sejenak saya mengambil jeda untuk istirahat sambil meneguk air mineral. Begitu juga peserta lainnya. Tak bisa dimungkiri, raut wajah mereka menunjukkan kelelahan.

Sesudah beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Juanda. Beberapa bedeng yang menjual barang-barang bekas berdiri di kedua sisi jalan. Tumpukan koper, peralatan dapur hingga kursi roda menjadi bagian dari barang-barang bekas yang dijual.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Bedeng-bedeng di ruas Jalan Juanda yang menjual aneka barang bekas/Dewi Sartika

Malang, Laboratorium Arsitek di Indonesia

Seperti Jalan Aries Munandar, Jalan Juanda juga menyimpan bangunan-bangunan era kolonial. Tak banyak memang. Namun, sisa-sisanya masih dapat dilihat. Saya pun baru menyadarinya. Maklum saja, saya jarang lewat jalan ini. Kalaupun pernah, itu dengan mengendarai motor sehingga abai dengan bangunan-bangunan tua yang masih tersisa.

Agung Buana, pemandu tur, meminta kami untuk berhenti di pinggir jalan. Pandangan kami semua kemudian tertuju pada sebuah rumah berpagar biru langit.

“Masih banyak bangunan kuno. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi permukiman padat penduduk juga. Kita mengenali rumah-rumah kuno itu dari mana? Jangan melihat dari depannya saja, tetapi lihatlah atapnya. Ada fasad-fasad bangunan yang menunjukkan kekunoannya. Ciri lainnya, di ujung atapnya ada semacam mahkotanya.”

Ia juga menambahkan, rumah-rumah yang ada di Jalan Juanda ini sudah ada sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Ciri lain bangunan-bangunan tua pada masa itu adalah mempunyai halaman yang luas.

Kami berjalan kembali hingga sampai di pertigaan Jalan Juanda, yang terhubung dengan Jalan Mangun Sarkoro. Jalan Mangun Sarkoro dikenal dengan nama Gang Boldy. Nama ini diambil dari nama pengusaha keturunan Armenia, A.M.J. Boldy.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Gang Boldy/Dewi Sartika

Tak Jauh dari Gang Boldy, sebuah rumah tua berdiri. Saya sempat terperangah. Rumah yang dahulu sering terlihat kusam kini berubah menjadi cantik. Tampak sekali tembok dan pagarnya telah dicat ulang. 

Kami berdiri di seberang rumah tersebut, tepatnya di depan rumah bergaya jengki yang populer tahun 1950-an. Kepada kami, Agung meminta kami untuk melihat bagian atapnya serta ornamen-ornamen luar rumah tersebut. 

“Malang mempunyai banyak ciri arsitektural, makanya disebut laboratorium arsitek di Indonesia. Karena apa? Bangunan-bangunan semacam itu rata-rata (dibangun) tahun 1910-an, sementara rumah jengki yang ini sesudah kemerdekaan,” katanya sambil menunjuk rumah di seberang jalan, yang diperkirakan berdiri pada 1910-an tersebut.

Tepat di samping rumah era kolonial yang terletak di seberang jalan, juga ada rumah tua berpagar cokelat yang berbeda bentuknya. Menurut Agung, rumah tersebut merupakan tipe-tipe rumah tahun 60 hingga 70-an. Adapun ruko di samping rumah berpagar cokelat, ia menyebut gaya ruko tahun 80-an dan 90-an awal.

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)

Sosok Thee Tjoe Kam

Pasar Kebalen berada di Jalan Zaenal Zakse. Jalan ini memanjang dari perempatan Kelenteng Eng An Kiong hingga perempatan Kebalen yang menjadi titik pertemuan Jl. Zaenal Zakse, Jl. Juanda, Jl. Kebalen Wetan, dan Jl. Muharto. Perempatan ini menjadi salah satu titik tersibuk di pagi hari, terutama ketika berangkat kerja atau sekolah. Untuk itu, menghindari Jalan Zaenal Zakse sebenarnya solusi terbaik meski menjadi jalan tembusan menuju Pasar Besar Malang.

Bayangkan saja, berkendara melewati Jalan Zaenal Zakse dengan para pedagang yang menggelar lapaknya di sisi kanan-kiri jalan, sementara dari arah berlawanan juga meluncur kendaraan bermotor. Syukur-syukur kalau yang lewat adalah sepeda motor. Adakalanya kendaraan roda empat juga lewat Pasar Kebalen, yang tentu saja sering menimbulkan kemacetan karena jalan terlalu sempit. Tak hanya itu saja, jalan ini juga dibelah rel kereta api. Kereta api yang lewat juga menambah kemacetan di Pasar Kebalen.

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)

Itulah sekilas mengenai kondisi Pasar Kebalen yang biasa menjadi tempat saya berbelanja. Sebenarnya, tempat tinggal saya lebih dekat dengan Pasar Induk Gadang, tetapi saya lebih suka belanja di tempat ini. Alasannya, meski sering macet, tetapi suasana pasar tradisional ini membuat saya terkesan dengan banyaknya orang yang saya temui. Selain itu harga  sejumlah kebutuhan dapur di pasar ini juga tergolong murah karena bisa ditawar.

Pasar Kebalen menjadi tujuan kami berikutnya usai mendengar cerita di Jalan Juanda. Sebelum memasuki area pasar, di perempatan, kami terlebih dulu belok ke kiri. Agung hendak mengajak kami melihat bekas rumah pengusaha Tionghoa sukses era kolonial, Thee Tjoe Kam.

Sebagaimana A.M.J. Boldy yang menjadi nama tempat, nama Thee Tjoe Kam juga diabadikan menjadi nama perempatan, yakni Perempatan Cukam yang merupakan nama lain Perempatan Kebalen. Dari arah kelenteng, kediaman Thee Tjoe Kam berada di sisi kiri jalan.

Saya masih ingat, dulu, bekas rumah Thee Tjoe Kam ini hampir tak terlihat karena ditutupi seng. Sekarang, seng-seng tersebut telah hilang. Nasib rumah tersebut serupa dengan bangunan-bangunan tua tak terawat, kusam dengan warna hitam yang perlahan merambat menghiasi dinding-dinding rumah. Di halaman depannya ada sejumlah gerobak jualan. Sepertinya para pedagang menyimpan gerobaknya di tempat ini.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Gerobak-gerobak penjual makanan terparkir di depan bekas kediaman Thee Tjoe Kam/Dewi Sartika

Menara Seruling dan Pasar Kebalen

Kami hanya sebentar mengamati bekas kediaman Thee Tjoe Kam. Saya lalu melangkah beberapa meter kemudian berdiri di depan sebuah toko roti. Lalu lintas di Jalan Muharto terbilang ramai. Mata saya tertuju pada sebuah objek ketika Agung mulai berbicara.

“Orang Malang menyebutnya menara seruling. Menara ini tinggal satu-satunya yang masih utuh di Malang. Dulu digunakan sebagai penanda kalau ada serangan udara. Dibangun oleh Belanda tahun 1940 karena Belanda mengkhawatirkan Jepang akan masuk ke Hindia Belanda melalui serangan udara. Kalau ada serangan udara, sirine itu berbunyi dan berputar. Terdengarnya bisa mencapai radius empat sampai lima kilometer.”

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Menara seruling di dekat perempatan Pasar Kebalen/Dewi Sartika

Dari keterangan Agung, Belanda membangun delapan menara seruling di Kota Malang. Di antara menara-menara tersebut, menara seruling di Jalan Muharto ini terbilang masih lengkap dan bahkan masih berfungsi. Menara ini digerakkan generator ANIEM. Jadi, di mana ada menara seruling di situlah terdapat gardu listrik.

Usai mendengar penuturan Agung, kami bergerak ke barat menuju Pasar Kebalen. Kami melewati sebuah bangunan besar bercat putih yang lagi-lagi terlihat kusam. Itulah hotel milik Thee Tjoe Kam. Sisa-sisa kemegahan hotel tersebut masih terlihat dari lengkungan dinding serta pilar-pilar yang menyatu dengan tembok. Ada juga dinding persegi yang menyerupai jendela. 

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Sisa bangunan hotel milik Thee Tjoe Kam di area Pasar Kebalen/Dewi Sartika

Meskipun waktu mulai beranjak siang, Pasar Kebalen masih ramai. Namun, tak ada lagi kemacetan karena pedagang mulai berkurang. Menyisakan pedagang-pedagang lainnya yang masih setia duduk dekat barang-barang jualan tempat mereka menanti pembeli. 

Kami menyeberang. Tepat di hadapan kami ada penjual kelapa. Beberapa kelapa yang sudah bersih dari sabutnya tertata rapi di meja. Pedagang kelapa tersebut berjualan di muka sebuah rumah tua bergaya kolonial. Tak seperti rumah Thee Tjoe Kam, bangunan ini masih terawat dan bersih. Agung menunjukkan beberapa aspek kolonial yang melekat di rumah tersebut. Ia tak segan memuji keindahan kaca patri yang terpasang di bagian atas.

“Pasar Kebalen ini memang berada di pinggir jalan. Saya saat ini sedang melakukan proses penelitian pasar-pasar tradisional di Kota Malang. Saya menemukan data, bahwa dari awal Pasar Kebalen ini memang pasar tumpah. Jadi, pasar ini merupakan titik pertemuan dari lokasi-lokasi produsen pertanian, seperti Kedungkandang, Wonokoyo, dan Kepanjen. Sumber-sumber pertanian turun ke sini semua. Begitu sampai sini, mereka kemudian melakukan proses jual beli,” terang Agung Buana mengenai keberadaan Pasar Kebalen.

Alasan dipilihnya Pasar Kebalen menjadi lokasi jual beli karena pada saat itu Pasar Induk Gadang belum ada. Artinya, Pasar Kebalen menjadi pasar paling ujung di Kota Malang waktu itu. Faktor lainnya, lokasi pasar ini juga berdekatan stasiun trem, terminal, dan permukiman yang berada di sebelah timur kota.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3)
Bangunan era kolonial dengan Bintang David di bagian atasnya, terletak di belakang kelenteng/Dewi Sartika

Kami meneruskan perjalanan melewati para pedagang yang masih bertahan di pasar. Satu-dua pedagang menjajakan dagangannya kepada kami. Setibanya di Kelenteng Eng An Kiong, kami tak langsung istirahat. Para peserta termasuk saya melihat-lihat keindahan kelenteng yang menjadi tempat ibadah agama Buddha, Tao, dan Konghucu sembari mendengarkan penjelasan singkat dari Agung.

Masih di kompleks kelenteng, tepat di samping tempat ibadah terdapat area kantin yang menyatu dengan tempat parkir. Kami bergegas ke kantin. Maklum saja, perjalanan yang kami tempuh ternyata cukup jauh sehingga membuat kami lumayan kepayahan. Setidaknya, menyantap rujak cingur atau kolak bisa memulihkan tenaga kami.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-3/feed/ 2 45856
Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-2/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-2/#respond Tue, 04 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45845 Kami menyusuri Jalan Aries Munandar usai mendengarkan cerita bangunan bekas sekolah Tionghoa. Lalu, tibalah saya dan peserta lainnya di perempatan yang menghubungkan Jl. Aries Munandar, Jl. Juanda, dan Jl. Gatot Subroto. Selain perempatan kelenteng yang...

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kami menyusuri Jalan Aries Munandar usai mendengarkan cerita bangunan bekas sekolah Tionghoa. Lalu, tibalah saya dan peserta lainnya di perempatan yang menghubungkan Jl. Aries Munandar, Jl. Juanda, dan Jl. Gatot Subroto. Selain perempatan kelenteng yang saya sebutkan sebelumnya, perempatan ini juga termasuk jalur transportasi tersibuk, terutama di pagi dan sore pada hari-hari aktif. Lalu lintas hari Minggu cenderung berjalan normal tanpa macet.

Berada dekat pohon besar dan hampir tertutup tiang besi, sebuah penanda dengan warna kuning berdiri sebelum Jembatan Brantas. Ya, inilah titik nol Kota Malang. Bukti kawasan ini menjadi pusat aktivitas di kota dengan hiruk-piruk berbagai alat transportasi darat yang melintas di kawasan ini.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Penanda titik nol Kota Malang di dekat Jembatan Buk Gluduk/Dewi Sartika

Titik Nol Kota Malang

“Titik nolnya Kota Malang yang lebih unik lagi, ada dua. Yang satu di sini, yang satunya lagi di bawah jembatan penyeberangan Sarinah. Titik nol ini menandai jalur pos. Belanda selalu membuat perkiraan perpanjangan wilayah per kilometer biar tahu jarak antardaerah. Jalur pos itu tidak harus melalui kantor pos, tetapi jalur pos itu bisa digunakan untuk jalur transportasi, jalur kereta api, dan lain-lain, makanya titik nolnya digunakan di sini,” terang Agung Buana, pemandu tur, dengan suara lebih nyaring.

Masih menurut keterangan pemerhati sejarah Malang itu, ada juga pendapat lain bahwa jalur ini dibuat jawatan perhubungan era Belanda. Tujuannya, untuk menandai Kota Malang dengan kota-kota lain, seperti Surabaya yang berjarak 89 kilometer dan Purwosari 28 kilometer.

Dari tempat kami berdiri, terlihat Kampung Warna-Warni Jodipan, sebuah permukiman padat penduduk yang berada di tepi Sungai Brantas. Dahulu, sebelum menjadi permukiman, kampung ini adalah sebuah bantaran Sungai Brantas. Awal mula bantaran ini menjadi sebuah kampung tak lepas dari kebutuhan tempat tinggal oleh tunawisma (homeless). Karena keterbatasan yang dimiliki, mereka kemudian membangun gubuk-gubuk kecil yang di kemudian hari berkembang menjadi permukiman seperti sekarang.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Jembatan Buk Gluduk dipotret dari Jalan Gatot Subroto, bersebelahan tepat dengan gapura Kampung Warna-Warni/Dewi Sartika

Jembatan Buk Gluduk

Kami tak berlama-lama di dekat titik nol Kota Malang. Dengan agak tergesa-gesa, saya dan peserta lainnya menyeberang jalan sesudah Agung memberi aba-aba.

Kendaraan-kendaraan lalu-lalang di Jembatan Buk Gluduk. Jembatan ini melintang di atas Sungai Brantas sehingga sering juga disebut Jembatan Brantas. Nama Buk Gluduk sendiri berasal dari struktur jembatan ini yang mulanya dibuat dari kayu. Kata buk berasal dari bahasa Belanda “brug”, yang berarti jembatan. Lidah orang lokal menyebutnya buk. Sementara penamaan gluduk punya kisah tersendiri. Dahulu, jembatan papan kayu ini sering dilalui cikar yang kemudian menimbulkan suara gluduk-gluduk.

Saat ini Jembatan Buk Gluduk sudah berganti dengan struktur beton. Agung Buana juga menambahkan, di era tahun 1950-an jembatan ini direnovasi dan penamaannya diubah menjadi Jembatan Pahlawan.

Tepat di bawah Jembatan Buk Gluduk, permukiman dengan atap berwarna-warni langsung menjadi perhatian bagi siapa saja yang sedang berdiri di atas jembatan sisi timur. Itulah Kampung Warna-Warni. Pandangan saya lalu beralih ke depan. Sebuah jembatan rel kereta api membentang membelakangi Pegunungan Tengger (di dalamnya ada Semeru dan Bromo) dan Gunung Mburing.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Konstruksi Jembatan Buk Gluduk yang dilihat dari Kampung Warna-Warni/Dewi Sartika

“Gunung Mburing ini sebutan baru. Sebutan lamanya adalah Gunung Malang. Kenapa kita ini disebut Kota Malang, salah satunya karena keberadaan gunung ini. Disebut Gunung Malang karena gunung ini melintangi atau menghalangi pandangan terhadap Gunung Semeru, istilahnya malangi,” ucap Agung.

Jauh sebelum masa kolonial, jalur Gunung Mburing yang memanjang membelakangi Gunung Semeru ini merupakan jalur kuno peradaban kerajaan-kerajaan di Malang, seperti Kanjuruhan dan Singasari. Menurut Agung, dahulu orang-orang harus memutar terlebih dulu sehingga di beberapa titik di jalur tersebut terdapat bangunan candi-candi, semisal Candi Jago dan Candi Kidal. Jalur ini pula, yang digunakan Hayam Wuruk sewaktu melakukan perjalanan sebagaimana yang terdapat di kitab Kakawin Nagarakretagama.

“Dahulu, jalur utamanya ada di sebelah timur. Berarti, peradaban di Malang ini bergeser dari timur ke barat. Pergeseran inilah yang menyebabkan salah satu hal Kota Malang mengalami banyak perubahan, mulai dari konturnya, [hingga] sistem pemerintahannya ke barat semuanya,” tambahnya.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Tampak atas Kampung Warna-Warni yang dipisahkan Sungai Brantas, difoto dari sisi timur Jembatan Buk Gluduk/Dewi Sartika

Kampung Warna-Warni Jodipan

Dari Jembatan Buk Gluduk, kami meneruskan perjalanan menuju Kampung Warna-Warni. Sebelum memasuki kampung, Agung sempat memberikan cerita pengantar mengenai permukiman ini. Selain menjadi tempat tinggal warga, ternyata di kawasan Kampung Warna-Warni terdapat depo Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). 

Tak hanya depo saja, tetapi juga ada rumah-rumah untuk karyawan perusahaan yang terletak di sebelah utara. Sementara itu, mengenai keberadaan rumah-rumah di tepi Sungai Brantas ini, Agung juga mengemukakan fakta menarik.

“Uniknya, rumah-rumah ini, dia bertingkat tapi tidak longsor. Ada yang tahu enggak mengapa rumah-rumah di Malang yang berada di pinggir sungai ini tidak banyak mengalami kelongsoran? Ada yang tahu kenapa?” tanyanya kepada para peserta.

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)

Salah satu peserta memberi jawaban tepat atas pertanyaan yang dilempar Agung. Selanjutnya, mantan anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) tersebut menjelaskan, ciri-ciri sungai di Malang umumnya dalam dan tidak lebar alias sempit. Lereng di sepanjang pinggir sungai tidak berupa tanah, melainkan batu cadas. Ia lalu membandingkan lereng-lereng di permukiman di Surabaya yang cenderung rata, berbeda dengan di Malang yang cenderung dalam.

“Sebelum tahun 2016, rumah-rumah ini cenderung kotor. Angka kriminalitas juga tinggi yang menyebabkan suasana menjadi rawan. Orang enggak berani masuk ke kampung ini. Nah, sekarang, kampung ini sering didatangi orang-orang dari negara lain. Kenapa? Mereka menikmati kampung ini mulai dari jembatan sampai ke daerah dalamnya. Tahun 2018 sampai sekarang tempat ini menjadi kampung wisata,” jelasnya.

Untuk masuk ke Kampung Warna-Warni, setiap pengunjung dikenakan biaya lima ribu rupiah per orang. Begitu masuk, kami langsung disambut dengan anak tangga. Di atasnya, payung-payung beraneka warna terpasang sepanjang anak tangga yang mengarah ke bawah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2)
Pak Agus (paling kanan) bersama para peserta tur heritage/Dewi Sartika

Kami sempat sekitar setengah jam berada di salah satu sudut kampung yang menghadap ke arah sungai. Dari sini, kami juga bisa melihat bagian bawah Jembatan Buk Gluduk sebelum meneruskan perjalanan. Agung membawa kami ke bagian permukiman yang lapang, mirip sebuah aula. Hanya saja salah satu sisinya hanya dibatasi pagar. Pengunjung bisa menyaksikan Sungai Brantas dan jembatan kaca yang menghubungkan dua permukiman. Kampung Warna-Warni memang dipisahkan Sungai Brantas.

Tepat di tengah-tengah, beberapa orang duduk beralas tikar. Seorang pemuda berselempang putih dengan kemeja merah sedang berbicara di hadapan orang-orang tersebut. Di sampingnya ada white board yang terpasang di tripod. Baru saya ketahui dari penjelasan Pak Agus bahwa pemuda tersebut dari Universitas Malang sedang memberikan materi kepada warga sekitar. Pak Agus merupakan warga Kampung Warna-Warni, sekaligus seorang pelukis gambar-gambar yang menghiasi beberapa bagian tembok di kampung.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang-2/feed/ 0 45845
Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1) https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang/ https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang/#respond Mon, 03 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45835 Kota Malang pada Minggu pagi di awal Desember tahun lalu berselimut mendung. Dengan harap-harap cemas, hati kecil saya berdoa semoga tidak hujan. Maklum saja, beberapa hari belakangan, hujan senantiasa mengguyur Kota Malang. Saya hendak mengikuti...

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kota Malang pada Minggu pagi di awal Desember tahun lalu berselimut mendung. Dengan harap-harap cemas, hati kecil saya berdoa semoga tidak hujan. Maklum saja, beberapa hari belakangan, hujan senantiasa mengguyur Kota Malang. Saya hendak mengikuti tur heritage “Riwa Riwi Oyi”. Ini untuk pertama kalinya saya ikut. Sebelumnya, penyelenggara sudah mengadakan tur serupa ke balai kota dan Stadion Gajayana.

Memasuki perempatan Kelenteng Eng An Kiong dengan laju motor agak cepat, saya melewati salah satu persimpangan jalan tersibuk di kota ini. Pagi itu, suasana lalu lintas sudah mulai ramai meski waktu masih menunjukkan pukul 07.00. Sementara di samping kelenteng, aktivitas pasar telah dipenuhi manusia dan kendaraan. 

Usai melaju di Jalan Pecinan Besar, saya bergerak ke arah Kudusan kemudian belok lagi ke kanan. Tak sampai seratus meter, saya melambatkan motor sebelum berhenti sejenak untuk menyeberang. Saya memasuki halaman depan sebuah bangunan berpagar hitam dengan dominasi warna putih di dinding. Untuk ketiga kalinya saya ke sini. Kunjungan pertama, bangunan ini masih terbengkalai. Lalu kunjungan kedua dan ketiga, bangunan ini telah berubah rupa menjadi semacam kafe dengan ruang pameran di dalamnya.

Beberapa orang telah tiba terlebih dahulu. Setelah menyapa sejumlah peserta, saya mendaratkan tubuh ke sebuah kursi kayu yang diletakkan di depan bangunan. Sesaat, mata saya tertuju pada langit yang masih digelayuti mendung. Sesudah menunggu sekitar 30 menit, saya dan peserta lain memulai perjalanan. 

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Tampak depan gedung yang pernah digunakan sebagai markas Freemason/Dewi Sartika

Markas Freemason di Jalan Aries Munandar

Jalan Aries Munandar. Titik kumpul kegiatan sekaligus kawasan pertama yang menjadi tujuan kami. Saya sudah cukup familiar dengan area ini karena sebelumnya pernah mengikuti tur heritage yang memasukkan Jalan Aries Munandar sebagai destinasinya.

Berada di Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Klojen, Jalan Aries Munandar juga menyimpan bangunan-bangunan tua era kolonial yang terdapat di sepanjang jalan. Tentu saja, bangunan-bangunan ini berdiri berdampingan dengan bangunan modern lainnya. Salah satunya adalah Kafe Pop Mason 52, titik awal pemberangkatan kami. 

Bagi orang awam, bisa jadi gedung ini tak ada bedanya dengan bangunan lain yang menghiasi Jalan Aries Munandar. Namun, jangan salah, Kafe Pop Mason 52 ternyata menyimpan kisah menarik untuk disimak. Siapa yang mengira, dahulu pada masa kolonial, Kafe Pop Mason 52 pernah menjadi markas organisasi Freemason. Bangunannya sendiri diresmikan pada 11 April 1914.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Agung Buana memberi penjelasan kepada para peserta tur/Dewi Sartika

“Freemason menggunakan gedung ini untuk perpustakaan di lantai satu dan aktivitas lainnya di lantai dua. Saat ini, lantai satu digunakan untuk kafe, di belakang digunakan untuk homestay, sementara di lantai duanya digunakan untuk galeri,” jelas Agung Buana, pemandu tur.

Ia mempersilakan para peserta naik ke lantai dua untuk melihat-lihat. Sebelumnya, lelaki yang juga menjabat sebagai kepala rumah tangga di Balai Kota Malang ini memberitahu kami, bahwa kondisi di lantai dua sedikit berantakan mengingat minggu sebelumnya ada pameran. 

  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
  • Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)

Bersama peserta lainnya, saya meniti anak tangga yang bentuknya sedikit curam dan sempit. Beberapa lukisan masih terpasang di dinding dan tergeletak di lantai. Sejumlah potongan kertas berisi nama pelukis dan judul lukisan juga masih menempel di tembok lantai dua. Tak afdal rasanya memasuki bekas markas Freemason tanpa melihat ciri khasnya, yaitu lantainya yang berwarna hitam-putih. Itu pula yang menjadi tujuan saya. Meskipun sebelumnya sudah pernah melihat, tetapi hal ini masih menarik minat saya untuk kembali melihatnya.

Lantai dua disekat menjadi dua bagian. Bagian depan terdapat balkon, sedangkan lantai hitam-putih ada di bagian belakang. Lantai yang menyerupai papan catur tersebut tampak kusam di beberapa bagian. Maklum saja, bagian ini masih asli sejak awal berdiri. Saya kemudian teringat akan ruangan di Hotel Shalimar yang juga pernah menjadi markas Freemason. Lantainya juga hitam-putih, hanya saja tidak kusam karena memang bukan orisinal.

Selain gedung bekas markas Freemason, di Jalan Aries Munandar juga terdapat bangunan tua lainnya yang sudah ada sejak zaman kolonial. Di seberang Kafe Pop Mason 52, terdapat sebuah rumah tua peninggalan masa kolonial dengan tulisan “1913” di bagian atasnya, yang merujuk pada tahun pendirian rumah.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Salah satu rumah tua di Jalan Aries Munandar yang dibangun pada tahun 1913/Dewi Sartika

Arsitektur Chalet di Bekas Sekolah Tionghoa

Berjarak sekitar 50 meter dari Kafe Pop Mason 52, ada bangunan milik ANIEM (Algemeen Nederlands Indische Electriciteits Maatschappij) atau perusahaan listrik yang dikelola pemerintah kolonial Belanda. Kami berdiri di tepi jalan. Di seberang jalan, gedung bercat biru berdiri kokoh. Dulunya, gedung tersebut berfungsi sebagai rumah generator yang memasok tenaga listrik untuk daerah sekitarnya, seperti Kota Lama, Pecinan hingga daerah Klojen. Diperkirakan gedung tersebut dibangun pada awal tahun 1900-an.

“Menjelang tahun 1940-an, kantor ANIEM pindah ke Kayutangan. Ada perbedaan yang menarik. Gedung ini, ornamennya masih sama, yang beda cuma warnanya saja. Atapnya juga agak beda sedikit, tapi yang lainnya masih sama. Sekarang, bangunan ini digunakan sebagai gudangnya PLN,” ucap Agung.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Bangunan bekas kantor ANIEM yang kini menjadi gudang PLN/Dewi Sartika

Kami lalu beranjak lagi, tak jauh dari bekas gedung ANIEM. Kami berdiri di depan sebuah bangunan yang sekarang difungsikan sebagai kafetaria, dengan menu andalan pizza. Dilihat dari depan, bangunan ini sepertinya tak memiliki nilai historis. Namun, begitu bola mata ini mendongak, ada yang istimewa dari bangunan itu. Ya, bagian atasnya berupa ornamen kayu mirip kipas. Masih asli. 

Agung pun memuji ornamen tersebut. Menurutnya, dibandingkan bangunan lain di Kota Malang yang rata-rata ornamennya tempelan dari semen, ornamen kayu ini terkesan mewah dan artistik. Ia juga menambahkan, kayu yang digunakan jelas merupakan kayu pilihan. Sebab, sifatnya kering dan kuat sehingga mampu bertahan kurang lebih seratus tahun.

Dari dulu, sebenarnya saya agak penasaran dengan bentuk ornamen itu. Sepanjang tur heritage yang pernah saya ikuti, ornamen kayu menyerupai kipas seingat saya hanya ada di bangunan tersebut. Rasa penasaran saya akhirnya terjawab beberapa hari kemudian. Sebuah info penting tentang ornamen diunggah Anthony, pemilik kafetaria yang juga turut menyertai perjalanan tur di grup Whatsapp Temenggoengan Heritage.

Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)
Tampak depan bangunan berarsitektur Chalet yang telah terbagi menjadi dua bagian/Dewi Sartika

Berdasarkan keterangan dari Olivier Johannes Raap, penulis sejumlah buku, seperti Djawa Tempo Doeloe, Soeka Doeka di Djawa Tempo Doeloe, dan Kota di Djawa Tempo Doeloe, bangunan dengan ornamen kayu tersebut bergaya arsitektur Chalet. Gaya ini terinspirasi dari rumah adat di daerah perdesaan dan pegunungan di Eropa.

Sayangnya, bangunan yang dulu pernah digunakan sebagai sekolah Tionghoa (Holland Chinese School) ini terpotong menjadi dua karena kepemilikan yang berbeda. Tepat di sebelah kafetaria, ada sebuah kafe. Berdasarkan penelusuran Anthony, tidak ada data lengkap mengenai bangunan yang ia miliki. Sampai sekarang, lelaki dari Jakarta itu pun masih berusaha mencari informasi mengenai bangunan tersebut hingga ke Belanda. Hal ini berbeda dengan data-data terkait bangunan-bangunan tua lainnya di Jalan Aries Munandar yang terbilang lengkap.

Sementara itu, Agung menuturkan, bangunan-bangunan di Kota Malang—termasuk di Klojen Kidul—punya sejarah panjang. Menunjukkan bahwa dulunya adalah daerah aktivitas utama sebelum bergeser ke arah barat. Setidaknya, ada bukti lain yang menunjukkan hal tersebut.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-jejak-sejarah-di-sudut-kota-malang/feed/ 0 45835