umkm Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/umkm/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 18 Jun 2025 16:21:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 umkm Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/umkm/ 32 32 135956295 Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/ https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/#respond Thu, 19 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47483 Ayam jantan berkokok kencang sahut-sahutan. Jam pun turut berdetak menunjukkan waktu pukul 05.45 WIB. Sabtu (12/04) pagi itu matahari menunjukkan sinarnya, tanda bahwa cuaca cerah. Tibalah kami di Tlogoadi, Sanggrahan, Mlati, Sleman, Yogyakarta, di rumah...

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Ayam jantan berkokok kencang sahut-sahutan. Jam pun turut berdetak menunjukkan waktu pukul 05.45 WIB. Sabtu (12/04) pagi itu matahari menunjukkan sinarnya, tanda bahwa cuaca cerah. Tibalah kami di Tlogoadi, Sanggrahan, Mlati, Sleman, Yogyakarta, di rumah salah satu anggota tim, Tarissa. Rumah Tarissa hanya berjarak 10 meteran dari rumah Pak Arif Kurniawan.

Teh hangat dihidangkan Tarissa. Zakia membawa beberapa jajanan pasar. Ama dan Dyah menyiapkan tripod, ponsel, dan clip on. Sementara saya tengah menyeduh teh dan melihat jam di dinding.

“Ayo, ke Pasar Cebongan, sudah hampir pukul 06.00 ini,” ajak saya.

“Ayo, gas!” jawab mereka penuh semangat.

Hanya lima menit perjalanan kami ke sana. Setelah melalui pintu masuk dan memarkirkan kendaraan, terlihat jelas kios di area depan Pasar Cebongan dengan plang tertulis “AN. Putra Juwana”. Di tengah hiruk-piruknya pasar, lelaki usia madya 40 tahun tengah menjaga lapaknya. Kami pun pergi menghampiri.

Tampak sebuah etalase dengan pajangan beberapa ikan bandeng yang ditaruh pada wadah-wadah kayu berbentuk kotak, ditutupi kertas makanan putih pada kepalanya. Sudah banyak yang terjual. Namun, masih pagi sekali, kios baru saja buka sehingga belum seluruhnya langsung terjual habis. Di samping itu, di dalam kios, disediakan juga stok ikan bandeng di dalam freezer untuk mengisi kembali kekosongan tempat di etalase.

“AN. Putra Juwana” merupakan jenama yang terdiri dari: ‘A’ yang berarti Arif, ‘N’ berarti Nur (istri Pak Arif), ‘Putra’ berarti anak laki-laki, dan ‘Juwana’ merupakan tempat asal ikan bandeng diambil. Tak lama berselang istrinya datang. Setelah menjelaskan beberapa hal tadi, Pak Arif mengajak kami ke rumahnya untuk mengikuti proses produksi.

“Pulang dulu, Sayang, kamu jaga toko, ya,” pamit Pak Arif kepada istrinya.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Produk bandeng presto yang siap jual tersedia di dalam etalase/Afrinza Amalusholehah

Proses Produksi Bandeng Presto AN. Putra Juwana

Tepat di sebelah kanan rumah Pak Arif, pintu itu dibuka. Bau amis menggelegar. Dua orang tengah bekerja sesuai dengan tugasnya, yaitu.Rahmat (Mamat) dan Purwanto (Lik To). Kedatangan kami menghadirkan senyuman pada wajah mereka. Keduanya masih muda, layaknya anak-anak setelah lulus SMA.

Mamat beranjak pergi mengambil air pada sebuah ember 120 literan, lalu dituangkan pada ember-ember kecil 10 literan, yang sebelumnya sudah diisi sejumlah ikan sesuai kapasitasnya. Kedua tangannya pun masuk ke ember kecil itu, lantas Mamat mulai mengaduknya untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih tersisa.

Di sela-sela pekerjaan Mamat, tampak Lik To sedang mengambil kotoran sisa pada perut ikan. Ditemani dingklik sebagai alas duduknya, Lik To senantiasa mencukil satu per satu kotoran itu hingga bersih. Itu adalah kotoran sisa-sisa saja. ”Ini dibersihkan ulang,” ujarnya.

“Itu sudah dibersihkan dahulu di Juwana,” lontar Pak Arif seketika. AN. Putra Juwana mengambil ikan dengan kualitas bagus. Pengambilan itu didasarkan dari proses pengambilan ikannya. Pak Arif memilih petani ikan yang ketika menangkap ikan, jaringnya tidak langsung diambil, tetapi ikan itu dibiarkan dulu menggantung pada jaring selama satu jam hingga keluar semua kotorannya.

Pengambilan dari Juwana sebanyak 1,5 ton, sedangkan 5 ton sisanya untuk es batu. Mengendarai pikap Grand Max hitam, ikan-ikan itu bisa sampai di Jogja. Tidak seperti kisahnya dulu yang mengantar ikan harus titip truk muatan garam. Setelah sampai pun tidak langsung dimasak. Akan tetapi, perlu upaya penyortiran size untuk mengklasifikasikan ukuran yang besar dan kecil.

Di tengah obrolan, Mamat berganti haluan. Kini ia menata bandeng pada kotak kayu. Berbekal tiga hal: satu kertas makanan, dua garam kasar, dan tiga plastik bening. Bukan kertas koran atau kertas bekas LKS anak sekolahan yang digunakan karena terdapat tinta di sana. Ini soal kualitas. Ikan-ikan itu ditata dua kiloan per kotaknya, dengan penutup kertas makanan pada kepala ikan, dan taburan-taburan garam kasar pada tubuhnya. Kemudian plastik digunakan untuk alas pemisah kotak satu dengan kotak lainnya.

Maksimal kapasitas dandang untuk memasak 52 kotak. Akan tetapi, hari ini mencapai 42 saja. Sebab, itu adalah stok terakhir, sebelum malamnya Pak Arif pergi ke Juwana untuk mengambil 1,5 ton ikan lagi.

Kiri-tengah: Tampak kelihaian Mamat dan Lik To membungkus kepala ikan dengan kertas/Sayyidati Zakia Afkaroh. Kanan: Bandeng presto yang sudah siap masak ditata dan disusun sedemikian rupa/Tarissa Noviyanti Az Zahra.

Tak lama kedua karyawan itu bahu-membahu memasukkan kotak-kotak bandeng presto ke dalam dandang. Tak lupa mereka menaburkan rempah-rempah untuk menjaga kualitas ikan. Penutup dipasang, mur mulai diputarkan pada baut-baut dandang, tandanya proses masak akan segera dimulai.

Dua gas LPG 3 kg dipasang, alirannya mulai diaktifkan. Mamat dengan membawa selembar kertas persegi panjang mulai meringkasnya seperti sumbu petasan. Korek dinyalakan, api pun membakar kertas itu. Melalui tangan kanannya, kertas itu disodorkan ke bawah dandang, tepat di mana aliran gas keluar. Api pun mulai hidup dan membakar bagian bawah dandang.

Sudah bekerja 10 tahunan, dua karyawan itu sudah paham seberapa api dikobarkan. Tidak memakai alat pendeteksi suhu semacam termometer, tetapi hanya melalui feeling dan itu sudah menjawabnya.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Mamat dengan keahlian dan jam terbangnya mampu mengatur api di bawah dandang tanpa alat bantu termometer/Afrinza Amalusholehah

Penantian Kematangan Bandeng Presto

Dua jam berlalu, Mamat mulai membuka tube-tube pada dandang. Uap dalam dandang mulai keluar, asap putih mendesis kencang dan mengepul di udara. Aroma khas bandeng presto mengisi ruangan.

Dua jam di awal pembukaan uap adalah sebuah penentuan: Apakah bandeng sudah lunak? Jika sudah, maka dijaga kobaran apinya. Namun, jika berlebihan atau kekurangan, kobaran itu diatur lagi sesuai porsinya.

Total tujuh jam untuk memasak. Dua jam telah digunakan di awal sebagai penentuan. Kini, dengan kopi, rokok, bluetooth speaker, dan ponsel, Mamat dan Lik To setia menunggu bandeng presto matang. Setiap 30 menitnya mereka harus membuka tube secara berulang hingga lima jam sisa waktu itu terpenuhi.

Kini matahari sudah condong ke barat. Tujuh jam telah berlalu, Mamat dan Lik To segera mematikan api dan membuka tube dandang. Desis uap pun keluar, dari yang berbunyi kencang dan keluar cepat, berangsur-angur mereda. Akhirnya kematangan bandeng presto telah mencapai klimaksnya.

Mur mulai diputar dan terlepas satu persatu dari pasangannya. Mamat dan Lik To mulai memosisikan diri untuk mengangkat penutup dandang. Dengan kedua tangannya yang lihai itu, pembukaan dandang pun terselesaikan.

Berbeda dengan dua jam di awal proses memasak, kini aroma khas bandeng semakin tajam menusuk paru-paru kami. Aroma itu mendatangkan keinginan untuk bergegas menyantap dengan nasi dan sambal.

  • Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
  • Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()

Kedua karyawan mulai melanjutkan tugasnya. Kotak-kotak kayu bandeng presto itu dikeluarkan dari dandang. Tanpa sarung tangan dan sebuah alas, mereka segera mengambil kotak-kotak itu dan dipindahkan keluar. Bandeng masih panas, begitu juga dengan kotak wadahnya. Tapi mereka sudah terbiasa. Kotak-kotak itu ditata menumpuk, perlu ditunggu dua jam lamanya agar suhu kembali normal.

Suhu pada ikan-ikan bandeng itu berangsur-angsur menjadi normal. Kini sudah dua jam berlalu. Ada dua pilihan di benak mereka.

Pertama, jika stok ikan rekan kerja seduluran kehabisan, mereka akan datang dan mengambilnya setelah proses masak selesai. Begitu juga dengan stok Pak Arif di Pasar Cebongan, jika di sana kehabisan maka ikan-ikan itu langsung dibawa ke sana.

Kedua, jika hari ini stok rekan-rekan dan Pak Arif masih banyak, bandeng-bandeng itu belum bisa disebar ke pasar-pasar. Namun, perlu menghuni dulu di freezer rumah produksi Pak Arif. 

Mamat dan Lik To memahaminya dan menemukan jawaban. Mereka lalu mulai memindahkannya ke freezer di rumah produksi.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Foto bersama Pak Arif (tengah) usai melihat proses produksi bandeng presto. Tampak anggota Melati Suci Project, yaitu Zakia (paling kiri), saya, Dyah, Tarissa, dan Ama/Rahmat

Setelah proses itu selesai, tiba-tiba Pak Arif berkata, “Saya itu berharap nantinya punya toko besar di pinggir jalan dengan nama Oleh-oleh Khas Juwana: AN. Putra Juwana. Bukan hanya menyediakan bandeng-bandeng saja, tapi makanan seafood lainnya juga yang siap saji.”

Tak hanya itu, jika mengulang masa lalunya, banyak sekali pelajaran yang ingin ia sampaikan ke khalayak, terutama yang ingin menjadi pengusaha. “Kalau ingin menjadi usahawan itu harus komitmen, profesional, dan tekun. Tapi yang utama harus suka dulu, kalau suka pasti akan nyaman dan enak untuk terus berjalan,” tambahnya dengan wajah penuh harap.


Tentang Tim Melati Suci Project
Melati Suci Project adalah sebuah tim yang terbentuk dari salah satu kelas menulis di bawah bimbingan guru kami, Eko Triono. Tim ini beranggotakan lima orang, yakni Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. Semoga, karya kami ini akan abadi dan bermanfaat bagi pembaca. Tabik.

Foto sampul: Arif Kurniawan, pemilik usaha AN. Putra Juwana berdiri di balik etalase produk bandeng-bandeng presto (Afrinza Amalusholehah)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/feed/ 0 47483
Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/ https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/#respond Wed, 18 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47474 “Keajaiban hanya terjadi untuk orang-orang yang tidak pernah menyerah.” Emporio Ivankov, anime One Piece (episode 439)   “Le, sisa ikane dijual keliling, ya, dibagi sama kakak-kakakmu,” suruh Simbok. “Nggih, Mbok,” jawab saya. Inilah keseharian saya, Arif...

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) appeared first on TelusuRI.

]]>


Keajaiban hanya terjadi untuk orang-orang yang tidak pernah menyerah.”

Emporio Ivankov, anime One Piece (episode 439)


  “Le, sisa ikane dijual keliling, ya, dibagi sama kakak-kakakmu,” suruh Simbok.

Nggih, Mbok,” jawab saya.

Inilah keseharian saya, Arif Kurniawan kecil selama kelas 1–3 SD. Begitu pun lima saudara saya. Jika dagangan ikan Simbok di siang hari belum habis, maka kami disuruh menjualnya keliling desa dengan daerah yang berbeda-beda. Maklum, kami hidup di Juwana, Pati. Sejak kecil sudah hidup di lingkungan petani ikan dan berkenalan dengan ikan, bahkan kami turut menjualnya.

Waktu kian berjalan, kelas 4 SD saya berhenti jualan keliling. Syukurlah, karena ekonomi Simbok sudah membaik.

Setahun berselang, saat kelas 5 SD, entah mengapa saya tiba-tiba terpikir suatu hal: “Bagaimana, ya, kalau saya keluar dari Juwana untuk cari pengalaman dan wawasan?” Dan benar, pikiran saya termanifestasi. Pergilah saya ke Surabaya, tepatnya terminal GM Sari, hanya dengan berbekal celana, baju lengan panjang, dan sarung.

Kepergian itu mempertemukan saya dengan seorang penjual asongan di terminal, Mas Andre, yang juga menawari berjualan. Di situlah sumber penghidupan saya. Melalui pekerjaan itu, saya juga dapat berkenalan dengan banyak teman. Ada pengamen, anak punk, dan anak jalanan lainnya. Sepuluh bulan berjalan, saya berpikir, “Kok begini, ya, kehidupan?”

Akhirnya saya memutuskan pulang ke Juwana. Sesampainya di rumah, saya yang merasa masih kecil dan sudah pergi berkelana, tidak dikhawatirkan sama sekali oleh keluarga. Paling hanya lontaran Simbok yang cukup singkat, “Seko ngendi wae, Le, Le… (Dari mana saja, Nak, Nak…).”

Tapi tidak apa, lontaran singkat itu sudah saya anggap sebagai tanda cinta, apalagi saya yang masih diterima untuk tidur di rumah. Karena masih kelas 5 SD, sempat saya ditawari untuk lanjut sekolah, bahkan kepala sekolah datang ke rumah. Namun, saya tolak. Mau bagaimana lagi? Uang hasil berdagang dari Surabaya sudah saya belikan becak dan kambing, yang bisa digunakan untuk mencari uang.

Kini keseharian saya bukan sekolah seperti anak pada umumnya lagi, juga bukan penjual ikan keliling di desa. Saya menjadi tukang becak keliling dari pagi sampai sore. Setelah itu menjadi penggembala kambing yang setiap harinya harus membabat rumput.

Liputan langsung ke Pasar Cebongan dan Rumah Produksi AN. Putra Juwana/Melati Suci Project1

Arif Kurniawan Kecil yang Masih Haus Pengalaman Hidup

Kalau becak sepi, sumber kehidupan saya dari kernet bus. Karena masih merasa kurang, pergilah saya ke Yogyakarta bersama teman. Sesampainya di Jogja, saya berjualan garam bata, yang ukurannya memang seperti balok bata sebenarnya.

Pernah sekali waktu kena marah sopir karena menjatuhkan garam bata. Mau bagaimana lagi? Masih kecil sudah nyunggi benda berat, terkena senggol sedikit pasti jatuh. Tapi tidak apa, karena tujuan saya memang pergi ‘mencari pengalaman dan wawasan’.

Mencari kedua tujuan itu tidak hanya di Jogja. Kalau perlu saya pergi ke daerah lain lagi. Akhirnya saya pergi ke Solo untuk bekerja. Di situ saya bersama teman mengolah dan berjualan bandeng presto di toko milik bos kami, mengubah duri-duri padat pada ikan menjadi lunak, dan memajangnya untuk dijual.

Namun, pengalaman di Solo tidak mudah. Pernah sekali dandang yang digunakan untuk membuat presto meledak. Hal itu disebabkan oleh uap angin pada dandang yang telat dikeluarkan.

Pengalaman pahit itu membuat saya kembali ke Jogja. Di Jogja, saya diajak oleh seorang bernama Tomo untuk mempresto dan jualan ikan bandeng juga. Namun, di lingkungan kerja, teman-teman sering merundung saya karena belum sunat. Itu memang benar, karena saya pergi keluar dari Juwana masih usia belia. Atas kejujuran mereka, wajah saya memerah malu, lalu saya pulang lagi ke tanah kelahiran.

Sesampainya di Juwana, becak dan kambing hasil dari Surabaya saya ubah menjadi uang. Bukan untuk foya-foya, jalan-jalan, ataupun merayakan kepulangan, melainkan modal sunat dan membuat kamar sendiri. Bagi saya itu sudah menjadi suatu kebanggaan karena merupakan hasil dari keringat saya sendiri.

Berjalannya waktu saya masih di Juwana. Kendati demikian, saya tetap pergi juga ke Batam. Sebab, saya jualan barang mentah logam kuningan yang dikirimkan ke sana. Suatu ketika saya sedang pergi ke rumah sakit. Di situ terjadi pertemuan saya dengan Maryono, yang merupakan salah satu anggota tempat pelelangan ikan (TPI). Ikutlah saya dengan Maryono meninggalkan pekerjaan barang mentah logam kuningan itu.

Di TPI harus memiliki kartu anggota. Itu adalah tempat gledek kapal pelelangan, dari pelelangan diantar ke bakul. Saya perlu bekerja keras, karena jika tidak sat-set, uang tidak akan mengalir. Begitulah pengalaman dunia kerja yang saya alami.

Tak lama, atas jerih payah usaha, saya mendapatkan enam bakul. Tentunya itu menjadi keuntungan tersendiri untuk menambah penghasilan saya. Namun, itu berangsur tidak lama. TPI semakin sepi. Terpikirlah keresahan untuk mencukupi kebutuhan. Teringat saya akan relasi di Jogja, bergegaslah saya ke sana untuk mengobati keresahan itu.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Ilustrasi nelayan sedang mengumpulkan ikan di atas kapal/setengah lima sore via Pexels

 * * *

“Sayang! Kopi, sayang!” lantang Pak Arif Kurniawan menyuruh istrinya.

“Hahahaha,” riuh tawa kami mendengarnya.

Di luar hujan memahat tanah halaman rumah. Bau petrikor menyerbak di udara. Selasa (8/4/2025) sore itu, di teras rumahnya, kisah masa kecil Pak Arif diceritakan. Ucapannya meminta kopi ke istrinya memecah imajinasi kami2 yang turut hanyut ke masa lalunya. Saat-saat sebelum sukses menjadi pengusaha bandeng presto Juwana di Jogja.

Kopi sudah datang, korek dihidupkan, asap kretek Dji Sam Soe mengepul di udara. Tandanya cerita berlanjut. 

“Lanjut lagi, ya? Jadi, pada waktu itu…”

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Sore itu Pak Arif (tengah) di sela-sela menunggu kopi dari istrinya, sedangkan saya (kiri) sedang bertanya suatu hal. Sementara Ama, Dyah, dan Tarissa (kanan) antusias menyimaknya/Sayyidati Zakia Afkaroh

* * *

Arif Kurniawan Kembali ke Jogja

Di Jogja saya bertemu dengan Pak Bambang, orang yang bekerja sama dengan saya untuk jualan ikan bandeng. Ikan diambil dari Jawa Timur. Namun, banyak komplain dari pelanggan, ada yang mengatakan ikannya kurang lunak, ada yang mengatakan baunya apak.

Atas pengalaman itu saya berpikir, “Saya, kan, asli Juwana dan di situ tempatnya bandeng. Nah, ini bisa jadi kesempatan untuk jual sendiri dengan ganti tempat pengambilan ikan.”

Kini saya sudah tumbuh dewasa, pengalaman dan wawasan sudah banyak saya lalui, proses belajar itu perlu saya gunakan untuk berdiri sendiri. Akhirnya, dengan rasa percaya diri, saya utang masing-masing 5 juta rupiah ke bank dan kakak kandung, yang saya gunakan untuk membeli bandeng 8 juta dan 2 juta diputar untuk kulakan.

Maklum, masih merintis. Ikan bandeng dari Juwana itu sampai Jogja bukan melalui mobil pribadi, melainkan menumpang truk yang kirim garam dari Juwana ke Jogja. Jualan bandeng masih sendiri, belum mempunyai bakul. Uang serasa berjalan di tempat saja. Terpikirlah saya untuk mencari bakul.

Akhirnya, saya dapat bakul dari beberapa daerah. Ada yang di Gamping, Bantul, Piyungan, Prambanan, hingga Magelang. Tapi sayang sekali, uang masih terasa berjalan di tempat. Bakul-bakul itu sering kali utang dan lama membayarnya.

Sebelum saya putuskan bakul-bakul itu, ada ide untuk menjual dengan konsep seduluran. Berbeda dengan franchise yang mengkapitalisasi pasar dan rekannya, konsep seduluran yang saya maksud ini lebih ke kekeluargaan.

Konsep yang saya bangun ini lebih transparan dan tidak merusak pasar. Jadi, misal ikan di pasaran seharga Rp8.000,, ikan dari seduluran ini juga harus menjual dengan harga yang sama. Tak hanya itu, setiap enam bulannya, juga ada kumpul diskusi untuk membahas perkembangan kerja sama.

Atas dasar itu, saya berhasil menggaet tiga orang, yang masing-masing memiliki kios di Pasar Kuthu, Pasar Pundung, dan Pasar Godean. Untuk usaha saya sendiri berada di Pasar Cebongan. Para bakul awal yang banyak notanya itu pun saya putuskan secara sepihak dan pindah ke konsep ini.Sebelum ada kios di Pasar Cebongan, saya berjualan secara liar, tempat kurang mumpuni, tidak ada orang lewat, dan kurang laku. Tapi satu hal, saya tidak boleh menyerah! Dengan uang seadanya, akhirnya saya beli kios di pasar bagian dalam. Berjalannya waktu, kios saya pindah di bagian luar dan laris hingga kini.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Ilustrasi tumpukan ikan yang dijual di sebuah lapak tanpa kios tetap/Shukhrat Umarov via Pexels

 * * *

“Jadi, begitu, Mas dan Mbak-mbak sekalian,” ucap Arif Kurniawan memungkasi cerita hidupnya.

Hujan kian mereda. Kopi Pak Arif tinggal setengah. Dua rokok kretek sudah tertidur di pangkuan asbak. Langit semakin gelap, suasana itu dipenuhi rasa ingin tahu kami untuk pergi ke Pasar Cebongan dan mengikuti proses membuat bandeng presto secara langsung.

“Kami berencana meliput proses pembuatannya, Pak,” ucap saya sebagai anggota tim Melati Suci Project.

“Oke, silakan datang ke sini. Sabtu pagi jam 06.00-an kami produksi,” jawabnya.

(Bersambung)


  1. Tidak ada foto masa lalu Pak Arif Kurniawan. Namun, dongeng itu dibuktikan dengan video liputan kami yang sudah ada di YouTube. Untuk foto-foto produksi ada di tulisan kedua yang terbit di hari berikutnya. ↩︎
  2. “Kami” di sini adalah anggota Tim Melati Suci Project, yang beranggotakan: Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. ↩︎

Tentang Tim Melati Suci Project
Melati Suci Project adalah sebuah tim yang terbentuk dari salah satu kelas menulis di bawah bimbingan guru kami, Eko Triono. Tim ini beranggotakan lima orang, yakni Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. Semoga, karya kami ini akan abadi dan bermanfaat bagi pembaca. Tabik.

Foto sampul: Tumpukan kotak bandeng presto setelah dimasak di rumah produksi Pak Arif Kurniawan (Tarissa Noviyanti Az Zahra)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/feed/ 0 47474
Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda https://telusuri.id/masa-depan-siak-di-tangan-generasi-muda/ https://telusuri.id/masa-depan-siak-di-tangan-generasi-muda/#respond Thu, 21 Dec 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40627 Bertahun-tahun industri manufaktur serta eksplorasi minyak bumi dan gas menghidupi Siak, kabupaten terkaya kedua di Riau. Namun, generasi mudanya tidak mau terlena. Teks: Rifqy Faiza RahmanFoto: TelusuRI dan Skelas Sisa kejayaan Kesultanan Siak seolah masih...

The post Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda appeared first on TelusuRI.

]]>
Bertahun-tahun industri manufaktur serta eksplorasi minyak bumi dan gas menghidupi Siak, kabupaten terkaya kedua di Riau. Namun, generasi mudanya tidak mau terlena.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: TelusuRI dan Skelas


Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda
Tampak depan galeri Sentra Kreatif Lestari Siak (Skelas) saat malam. Galeri ini menjadi simbol nyata gerakan orang-orang muda Siak di sektor ekonomi kreatif dan ramah lingkungan/Explore Siak

Sisa kejayaan Kesultanan Siak seolah masih terasa sampai sekarang. Penanda paling gampang adalah istana kesultanan di daerah Kampung Dalam, Kecamatan Siak, yang kini dibuka jadi museum untuk kunjungan wisata. Struktur bangunan dan koleksi sejarah di dalamnya masih terawat baik.

Tanda lain yang bisa dilihat jelas adalah ketika memasuki Siak Sri Indrapura, ibu kota Kabupaten Siak. Setelah Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah sepanjang 1,2 kilometer, pengendara mobil atau motor akan melewati jalan protokol yang mulus dan lebar. Banyak area publik terbuka di sekitarnya.

Meskipun relatif jauh dari Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau, Siak menawarkan kenyamanan bagi penghuninya. Sumber kenyamanan itu berasal dari industri manufaktur serta pertambangan dan penggalian minyak bumi dan gas (migas). Dua sektor ini menyumbang hampir 68% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Siak. Nilainya mencapai 70 triliun rupiah. 

Namun, di balik berlimpahnya nilai ekonomi industri tersebut, tersimpan kekhawatiran dampak eksploitasi yang mengancam kelestarian alam. Mulai dari limbah, pencemaran lingkungan, hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menyisakan problem yang belum sepenuhnya terselesaikan. 

Di sisi lain, suara-suara orang muda Siak dari berbagai komunitas bermunculan. Untuk membantu mengatasi masalah-masalah klasik itu, mereka menawarkan sebuah jalan baru bernama ekonomi kreatif. Salah satu ruang kreasi yang muncul adalah Skelas, Sentra Kreatif Lestari Siak. 

Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda
Noza Rahmad Alditya, co-founder Skelas yang juga seorang komposer musik. Saat ini aktif mengelola akun Instagram @exploresiak sebagai media lokal yang mempromosikan sejarah, budaya, komunitas, dan potensi alam Siak/TelusuRI

Sekilas tentang Skelas

Bukan cuma faktor lingkungan. Skelas (baca: sekelas) juga lahir dari keresahan orang-orang muda terhadap perkembangan kepariwisataan Siak yang monoton. Pada 2015, ketika Instagram mulai populer digunakan sebagai media promosi pariwisata daerah, Siak relatif adem ayem. Tak ada sesuatu yang baru. 

Noza Rahmad Alditya, komposer musik dan salah satu co-founder Skelas, memandang pemerintah daerah masih memakai gaya lama. Kurang memanfaatkan digitalisasi untuk promosi wisata. “Padahal Siak punya potensi wisata dan budaya yang cukup besar. Potensi generasi muda juga besar,” katanya. 

Melihat pemerintah kurang responsif, Skelas berinisiatif ingin membuktikan diri dengan gebrakan kreatif. Termasuk menunjukkan cara mengemas produk pariwisata dan mempromosikannya lebih baik. Salah satunya melalui akun Instagram Explore Siak yang dibentuk Musrahmad alias Igun. Direktur PT Alam Siak Lestari sekaligus inisiator Skelas itu juga merupakan tokoh komunitas muda di Siak. Sejak 2012 ia sudah merangkul banyak komunitas lokal untuk berkolaborasi dalam wadah yang sama.

Noza dan Igun tidak sendiri. Ada tujuh orang muda lainnya dari latar belakang berbeda ikut bergabung menyokong Skelas, sembari tetap menjalankan bidang usaha atau komunitas masing-masing.

Ketujuh orang itu adalah Satria (aktivis milenial dan founder Tumbuh Anak Siak), Cindy Shandoval (arkeolog dan founder Heritage Hero), Adit (desainer grafis dan owner Tilas), Deni (pekerja seni dan owner Batik Zen). Lalu Cerli (ketua Skelas dan owner Suwai), Andrio (pekerja seni dan founder Visit Siak), dan Hendri (web developer dan owner Kakudoko).

Spektrum perjuangan Skelas kemudian berkembang. Kepariwisataan tidak bisa hanya bicara soal destinasi wisata. Banyak aspek multidisiplin di dalamnya dan saling berkaitan satu sama lain.

Semangat gotong royong menjadi motor utama komunitas. Inti gerakannya adalah menjembatani antara komunitas dengan pemerintah. Bukan rahasia umum jika orang-orang muda di komunitas memiliki ide dan kreativitas dalam banyak hal positif, tetapi tidak punya kekuatan, modal, dan fasilitas memadai. Sementara pemerintah berada di posisi sebaliknya. Igun dan kawan-kawan sepakat bahwa kerja sama yang bagus dari masing-masing pihak bisa berkontribusi positif untuk menghasilkan solusi kreatif atas sejumlah permasalahan di Siak.

Cindy (29), yang menjabat koordinator sumber daya manusia Skelas, menyebut saat ini ada tiga fokus utama Skelas, yaitu: (1) membuat pusat informasi dan data potensi ekonomi kreatif, budaya, maupun lingkungan; (2) mendata sumber daya manusia yang punya potensi besar, khususnya generasi muda; dan (3) menjalankan program inkubasi, akselerasi, dan agregator Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Skelas mendorong generasi muda Siak untuk tetap memerhatikan lingkungan dan kelestarian alam saat membuat produk-produk UMKM maupun ekonomi kreatif. Rambu-rambu lestari ini selaras dengan masuknya Kabupaten Siak sebagai salah satu pendiri sekaligus wakil ketua forum Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) pada tahun 2017. Langkah itu akhirnya ditindaklanjuti dengan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Siak Kabupaten Hijau. Perbup tersebut kemudian ditingkatkan menjadi peraturan daerah (Perda) pada 2022.

Komitmen tersebut didasari oleh pengalaman sulit mengatasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) luar biasa selama 2011 sampai dengan 2015. Siak, yang hampir 58 persen wilayahnya merupakan tutupan lahan gambut, ingin pulih dan membuat program pembangunan dengan pendekatan ekologis. Generasi muda turut berkontribusi di dalamnya melalui diversifikasi karya kreatif atau produk ramah lingkungan.

Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda
Cindy Shandoval, co-founder Skelas yang juga pendiri komunitas Heritage Hero di Siak/TelusuRI

Potensi produk ekonomi lestari dan tantangannya 

Sebagai upaya berkelanjutan, Skelas menyediakan beberapa platform khusus untuk memperluas jangkauan pasar. Termasuk salah satu fokus yang sedang dikerjakan, yaitu program inkubasi, akselerasi, dan agregator Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Tujuannya membawa UMKM Siak naik kelas dan siap berdaya saing, dengan tetap berusaha memerhatikan dampak sosial dan lingkungan. 

Pada Januari—Maret 2023, Skelas bekerja sama dengan Pemkab Siak menyelenggarakan program inkubasi UMKM, dengan prioritas utama inkubasi bisnis lestari. Di tahap awal ini, Skelas mendampingi generasi muda yang memiliki ide atau sudah memulai usaha kreatif, khususnya yang telah menggali dan memanfaatkan potensi komoditas ramah gambut. Salah satu yang terbesar adalah sektor pangan atau kuliner lokal. 

Acara tersebut bertempat di basecamp atau Kantin Skelas, Mempura, yang berdiri dekat kawasan bekas Tangsi Belanda di tepi Sungai Siak. Cindy mengatakan ajang ini bertujuan untuk sosialisasi program Skelas dan pemerintah dalam pendampingan UMKM, mempertemukan berbagai stakeholder untuk melihat potensi produk UMKM lokal. Sampai dengan tahun ini, terdapat 57 produk dari 21 UMKM yang lolos kurasi selama program inkubasi.

Saat ditemui pagi itu di Siak (28/09/2023), kepada TelusuRI Cindy menunjukkan contoh-contoh produk ramah gambut yang telah berhasil diinkubasi.

“Ini adalah minuman nanas yang kami beri nama Puan Pina. ‘Puan’ artinya perempuan, ‘Pina” itu artinya pineapple (nanas),” terang Cindy. Nanas termasuk tanaman ramah gambut yang kini banyak dikembangkan di Siak, terutama Kecamatan Bunga Raya dan Sungai Apit. Ia menambahkan, “Biasanya nanas diolah oleh teman-teman UMKM sebagai sirup.”

Sebelumnya, produk sirup tersebut disajikan dalam bentuk botol biasa. Proses membuatnya terbilang merepotkan. Harus menuangkan dulu ke gelas dan ditambah air jika kurang manis. Karena kurang efisien, utamanya untuk hidangan saat rapat, dalam sebulan hanya diproduksi 10—20 botol. Itu pun belum tentu laku.

Melalui program inkubasi, teman-teman UMKM dilatih memperbaiki sistem produksi, mengubah bentuk pengemasan dan menyematkan informasi produk di kemasan, serta melengkapi legalitas produk. Akhirnya muncul kemasan baru sirup nanas dengan kemasan kaleng siap minum. Inovasi kemasan dan kemudahan cara minum berpengaruh ke drastisnya peningkatan penjualan drastis lebih dari 100 persen. Sepanjang April—September sudah terjual 5.000 kaleng.

Selanjutnya Cindy memperlihatkan kemojo, kue bolu tradisional khas Siak dengan rasa pandan. Selama diriset, ditemukan sejumlah kendala yang bisa berpengaruh pada kesehatan. “Kue ini untuk orang yang punya program diet kurang sehat, karena tepungnya mengandung santan dan tidak bebas gluten,” jelasnya.

Dulunya kue tersebut hanya dijual saat sudah matang saja dan tinggal makan. Namun, kekurangannya adalah kue menjadi tidak awet. Hanya bertahan tiga hari. Setelah proses inkubasi, dihasilkan perubahan bentuk produk menjadi tepung premix. Produk ini bisa dimasak oleh konsumen di tempatnya masing-masing. Rasanya tetap keluar dan daya tahannya bisa mencapai tiga bulan.

Kue kemojo versi baru tersebut menjadi produk paling inovatif saat inkubasi. Salah satu aspek inovasi paling menonjol adalah penggunaan bahan baku tepung dari bekatul, serbuk halus yang dihasilkan setelah padi ditumbuk. Perubahan bahan baku tersebut merupakan saran dari narasumber lokal maupun nasional selama pelatihan. UMKM produsen bolu kemojo mengambil bekatul itu dari petani padi sawah di Bunga Raya, lalu mengesktraksinya menjadi tepung premix.

“Ini jadi salah satu varian yang cukup recommended dan paling banyak disukai karena cukup sehat,” ujar Cindy.

Tak hanya olahan makanan atau minuman lokal. Di etalase basecamp Skelas juga dijual beberapa produk lainnya, seperti kaus, kerajinan tangan, hingga obat herbal. Untuk memperluas jangkauan penjualan, Skelas bekerja sama dengan toko oleh-oleh atau agen reseller di Pekanbaru. Katalog produk-produk tersebut dapat dilihat secara daring di laman situs kantin.skelas.org

Cindy mengakui, tantangan besar yang dihadapi adalah memastikan seluruh proses pembuatan produk UMKM mitra Skelas sepenuhnya mempertimbangkan kaidah ramah lingkungan. “Sebenarnya produk kita pun sejauh ini belum bisa seratus persen klir dari hulu sampai hilir itu lestari,” ujarnya.

Sementara yang bisa dilakukan adalah memastikan ketersediaan bahan baku harus menggunakan bahan lokal dan terjangkau. Beberapa item produksi dalam rantai pasok, seperti bahan kemasan, juga masih menyesuaikan harga pasar. Cindy pun belum berani menggaransi, jika sebuah produk yang 100 persen memenuhi konsep ideal (lestari), harganya akan sama murahnya dengan produk biasa. 

Adapun untuk mengakomodasi industri jasa sektor ekonomi kreatif, tersedia platform Kawan Skelas (kawan.skelas.org). Sebuah situs yang mempertemukan individu atau kelompok usaha kreatif. Tujuannya mendorong kemandirian ekonomi melalui kegiatan wirausaha. Dan diharapkan terjalin kolaborasi lintas sektor lainnya di Kabupaten Siak.

Kawan Skelas memberi ruang 17 subsektor ekonomi kreatif, yaitu fotografi, desain interior, seni rupa, musik, desain produk, mode (fesyen), film/video, animasi, dan kriya. Kemudian ada periklanan, seni pertunjukan, desain komunikasi visual, televisi dan radio, pengembangan game, arsitektur, penerbitan, aplikasi, dan kuliner. 

Sejauh ini sudah ada 38 anggota yang terverifikasi, dan memiliki spesialisasinya masing-masing. Mereka dapat dihubungi melalui saluran komunikasi dan media sosial pribadi terlampir, jika diperlukan portofolio atau informasi lebih lanjut.

Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda
Kudapan khas Siak, bolu kemojo dalam dua kemasan siap saji mengapit produk minuman nanas kaleng. Produk-produk UMKM lokal karya orang-orang muda Siak ini lolos program inkubasi dan saat ini penjualannya juga tersedia di galeri Skelas/TelusuRI

Menjawab tantangan dengan kolaborasi 

Beragam potensi ekonomi kreatif yang disebut Cindy menguak sisi lain Siak. Banyak peluang lapangan kerja “hijau” yang memiliki prospek cerah. Ia percaya generasi muda lokal, dengan latar belakang beragam, tidak kekurangan ide dan memiliki kapasitas. 

“Jika itu dikerjakan bareng-bareng, ide-ide itu akan muncul dan menciptakan inovasi yang lebih banyak lagi,” kata Cindy.

Alumni Arkeologi UGM itu memberi contoh produk pangan, menurutnya, menghasilkan sebuah produk pangan tidak bisa hanya diselesaikan oleh orang teknologi pangan saja. Pasti ada campur tangan dari desainer kemasan produk, fotografer produk, bahkan konsultan pemasaran. Kolaborasi bersama untuk membangun penjenamaan dan menciptakan pasar dari produk pangan tersebut.

Tantangan-tantangan yang dihadapi tidak bisa dianggap enteng. Salah satu yang terberat adalah mengubah pola pikir. Baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat. Penyebabnya antara lain sudah terlanjur nyaman dengan lingkungan yang ada. Noza memiliki analisis menarik soal kenyamanan hidup di Siak yang melenakan.

“Kota ini punya sungai. Habitat dan hutannya bagus. [Tempat tinggal] masyarakat Siak biasanya di depan adalah sungai, di belakang rumahnya adalah hutan. Jadi, kalau mau makan pergi ambil sayuran di belakang, terus mau makan ikan tinggal memancing di sungai,” terangnya, “itu yang bikin orang ini malas [berkembang] dan mindset seperti ini muncul turun-temurun.”

Meskipun orang-orang muda Siak merantau pun, entah untuk studi atau bekerja, orang tuanya tetap menyuruh pulang. Mereka telah menyiapkan rumah, tanah luas; semata melanjutkan “keteraturan” yang sudah mengakar. Di sisi lain, Noza yakin generasi muda itu memiliki mimpi-mimpi besar setelah melihat dunia luar. Akan tetapi, kadang-kadang mereka takut berkarya sesuai panggilan jiwanya.

Belum lagi soal kebijakan pembangunan daerah. Ia menilai pemerintah terlalu fokus pada infrastruktur fisik daripada meningkatkan kapasitas orang-orang muda. “Padahal investasi paling bagus adalah [membangun] sumber daya manusianya,” ujar Noza.

Maka alasan Skelas tercipta dari sembilan orang pendiri pun memiliki filosofi sendiri. Komunitas ini ingin menunjukkan pola gerakan yang dimulai dari langkah kecil, fokus, lalu melebar dan berdampak ke sekitarnya. Menurunkan ego, berkolaborasi demi 

“Kita percaya dari 1.000 orang muda di Siak, pasti ada 10 orang yang mikirin Siak,” ucap Cindy yakin. Artinya, memikirkan cara-cara kreatif dan inovatif. Di luar dominasi industri manufaktur dan migas, terselip harapan baru untuk Siak yang tidak itu-itu saja. Lewat Skelas, semangat dan kreativitas generasi muda bisa terus meretas batas. Masa depan Siak lestari ada di tangan mereka. (*)


Foto sampul:
Musrahmad atau Igun (kanan), salah satu pendiri Skelas, memberi penjelasan sejumlah produk UMKM lokal yang telah lolos inkubasi di galeri Sentra Kreatif Lestari Siak/Explore Siak

Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Masa Depan Siak di Tangan Generasi Muda appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masa-depan-siak-di-tangan-generasi-muda/feed/ 0 40627
Madu dan Laut: Menggali Seutas Cerita dari Sebotol Madu Baduy https://telusuri.id/madu-dan-laut-menggali-seutas-cerita-dari-sebotol-madu-baduy/ https://telusuri.id/madu-dan-laut-menggali-seutas-cerita-dari-sebotol-madu-baduy/#respond Wed, 08 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31603 Madu merupakan salah satu panganan tertua yang pernah dikonsumsi manusia, konon madu sudah menjadi makanan manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Madu dipercaya berkhasiat untuk kesehatan manusia, salah satunya adalah untuk meningkatkan imunitas tubuh. Oleh...

The post Madu dan Laut: Menggali Seutas Cerita dari Sebotol Madu Baduy appeared first on TelusuRI.

]]>
Madu merupakan salah satu panganan tertua yang pernah dikonsumsi manusia, konon madu sudah menjadi makanan manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Madu dipercaya berkhasiat untuk kesehatan manusia, salah satunya adalah untuk meningkatkan imunitas tubuh. Oleh karena itu, sampai sekarang madu tidak pernah kehilangan peminatnya, dan seringkali dipadukan dalam berbagai olahan; makanan, minuman, dan cemilan. 

Madu dan Laut, salah satu UMKM yang memproduksi madu, juga turut meramaikan penjualan madu di Indonesia. Madu dan Laut baru saja berdiri semenjak pagebluk COVID-19. Anjani dan Rahadian, yang sudah lama menjalin relasi dengan masyarakat Baduy, ingin membantu masyarakat Baduy yang menjual madu yang terkendala kondisi pagebluk sehingga tidak bisa datang ke Jakarta.

Madu dan Laut
Anjani dan Rahadian bersama orang-orang Suku Baduy/Anjani

“Kebetulan saya dan Rahadian berelasi baik dengan masyarakat Baduy sejak kecil. Kami sehari-hari juga mengkonsumsi madu Baduy,” papar Anjani.

Berangkat dari kondisi tersebut, Anjani dan Rahadian mencoba menjadi kepanjangan tangan masyarakat Baduy dan mulai menjual madu ke beberapa keluarga dan koleganya. Tak disangka, respon yang mereka terima bagus dan lambat laun mereka harus memperluas ekspansi bisnis mereka dengan membuka toko online di salah satu marketplace. Sampai sekarang mereka akhirnya bisa menambah jumlah personil mereka dua orang.

Madu bukanlah sesuatu yang unik untuk dijual. Kru Madu dan Laut juga menyadari hal tersebut. Mereka ingin agar produk ini dikemas dan memiliki presentasi visual yang menarik. Tujuannya adalah mampu menarik kalangan luas untuk tidak hanya mengkonsumsi madu Baduy, tetapi juga mengenal masyarakat Baduy. Produk Madu dan Laut selalu mengikutsertakan cerita mengenai masyarakat adat Baduy seperti pada stiker botol ataupun kotak kemasan, ada cerita singkat mengenai Baduy. 

Madu dan Laut
Madu dari Baduy yang dikemas dalam kemasan yang cantik/Anjani

“Kami ingin Baduy sebagai masyarakat adat lebih dikenal oleh masyarakat luas melalui produk ini, salah satu cara yang dapat kami tempuh adalah merepresentasikan produknya dengan kemasan yang menarik dan juga higienis.”

“Dalam beberapa kesempatan, kami juga turut mengundang masyarakat Baduy untuk berinteraksi langsung dengan pembeli dan pengunjung jika ada pameran yang biasa kami ikuti,” tambahnya.

Bagi Baduy, madu bukanlah sekedar bahan pangan biasa, tetapi lebih dari itu, madu merupakan bagian dari penghidupan, baik untuk dikonsumsi, ritual, atau dijual kembali. Madu adalah berkah. Proses panen madu juga tidak hanya sekedar memanen kemudian menjualnya. Ada keberlanjutan yang dilakukan masyarakat Baduy; untuk menjaga madu dan hutan agar tetap lestari di lingkungan hutan adat mereka.

Ada dua jenis madu Baduy yang diproduksi oleh Madu dan Laut. Pertama ada madu odeng yang dihasilkan oleh lebah apis dorsata yang berwarna coklat dengan rasa manis. Selanjutnya ada madu hitam yang berwarna hitam dengan rasa yang pahit. Keaslian produk Madu dan Laut terjamin karena madu ini didistribusikan langsung dari tangan pertama masyarakat Baduy Dalam.

“Untuk kerjasama, kami mengambil langsung dari tangan pertama masyarakat Baduy Dalam. Perlu diketahui bahwa Baduy Dalam memiliki keterbatasan aturan adat tidak boleh menaiki moda transportasi dalam bentuk apapun, jadi untuk pengiriman ke Jakarta, kami dibantu rekanan kami dari Baduy Luar.”

Anjani dan kawan-kawan nampaknya begitu menikmati mengelola Madu dan Laut dan dalam waktu dekat bakal melakukan ekspansi dengan mengenalkan berbagai produk madu dari berbagai daerah lainnya yang memiliki latar belakang kearifan lokal yang sejalan dengan misi Madu dan Laut. Ada banyak jenis madu Nusantara yang mungkin bisa dipromosikan dengan kearifan lokal seperti madu kelulut, madu hutan Timor, madu pelawan, dan lain sebagainya. 

Pasalnya, tidak banyak orang tahu madu banyak ragamnya; beda jenis lebah dan beda bunga berbeda pula madunya.

Saya awalnya sempat terpikir Madu dan Laut menjual produk selain madu karena mengandung kata “laut”. Anjani menjelaskan bahwa penamaan “Madu dan Laut” untuk mudah diingat semua orang dan memancing konsumen bertanya-tanya lebih lanjut, seperti saya.

“Dari situlah akhirnya lahir Madu dan Laut, dimana keduanya adalah entitas yang berbeda dan nggak nyambung, tapi ketika disatukan, kok jadi enak, baik dari pengucapan ataupun nadanya,” jelasnya.

Saya jadi teringat judul lagu Bill & Brod yang hampir senada dengan Madu dan Laut, Madu dan Racun.

Produk lokal memang belum menjadi primadona di negeri sendiri, harus bersaing dengan produk-produk luar, yang secara branding sudah mendapat tempat tersendiri. Segala sesuatu yang bernilai luar negeri seakan lebih prestisius daripada produk dalam negeri, padahal sejatinya produk kita sudah bagus dan bermacam-macam. 

“Harapan kami adalah agar semua produk lokal memiliki panggung yang layak di mata publik. Menurut kami, sudah saatnya produk lokal bangkit untuk menjadi salah satu pondasi penopang perekonomian bangsa, tinggal bagaimana disiplin dan konsistensi kita dalam terus menyuarakan dan mengawal perkembangan produk lokal Indonesia.”

Madu dan Laut ingin menjadi inspirasi untuk para pemilik produk lokal yang ingin berkembang dan memasarkan produknya. Memang pada perjalanannya tidak akan semudah membalikkan telapak tangan. 

“Kami percaya bahwa suatu produk yang dipersiapkan secara matang dan sungguh-sungguh dapat selalu diterima di hati masyarakat,” pungkasnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Madu dan Laut: Menggali Seutas Cerita dari Sebotol Madu Baduy appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/madu-dan-laut-menggali-seutas-cerita-dari-sebotol-madu-baduy/feed/ 0 31603
Rumapala dan Cerita Memberdayakan Pala Banda https://telusuri.id/rumapala-dan-cerita-memberdayakan-pala-banda/ https://telusuri.id/rumapala-dan-cerita-memberdayakan-pala-banda/#respond Mon, 22 Nov 2021 09:18:56 +0000 https://telusuri.id/?p=31402 Pala adalah komoditas yang dahulu pernah mengguncang dunia. Keberadaannya dicari-cari, ditemukan, dan diperebutkan. Jauh sebelum dikenal sebagai Indonesia, Nusantara sudah tersohor kemasyhurannya akan rempah yang merekah. Kepulauan Banda adalah harta dari timur yang paling dicari...

The post Rumapala dan Cerita Memberdayakan Pala Banda appeared first on TelusuRI.

]]>
Pala adalah komoditas yang dahulu pernah mengguncang dunia. Keberadaannya dicari-cari, ditemukan, dan diperebutkan. Jauh sebelum dikenal sebagai Indonesia, Nusantara sudah tersohor kemasyhurannya akan rempah yang merekah. Kepulauan Banda adalah harta dari timur yang paling dicari oleh para penjelajah barat. Kepulauan asal muasal pala ini banyak menceritakan bagaimana pala adalah sumber penghidupan orang-orang Banda yang juga mengundang petaka bagi kepulauan ini.

Meski sekarang pala tidak begitu berharga lagi karena sudah ditanam di berbagai penjuru dunia. Kisahnya memang abadi, namun terlupakan di benak banyak orang. Upaya pemerintah merevitalisasi ingatan akan jalur rempah adalah upaya untuk menghilangkan sifat pelupa kita akan sejarah bangsa. Rumapala adalah salah satu UMKM yang berusaha menjembatani ingatan kita tentang pala Banda, membuat pala menjadi sebuah usaha yang bisa mengingatkan bahwa pala lebih dari sekedar bumbu dapur.

Rani Bustar Rumapala
Rani Bustar/Istimewa

Rumapala adalah salah satu UMKM yang mengembangkan pala sebagai produk utama mereka. Rumapala menjual berbagai produk dari manisan, selai, sirup, hingga sabun. Rani Bustar selaku founder Rumapala mengelola dan memasarkan produk-produknya dibantu oleh Melda, seorang ibu rumah tangga asli Banda yang bersama-sama fokus dalam membangun Rumapala sebagai sebuah brand.

Berawal dari Kegelisahan

Rumapala sebagai suatu UMKM, muncul dari kegelisahan dan kecintaan Rani terhadap Banda. Pulau yang berada di Timur Indonesia ini memang asl tempat pala tumbuh untuk pertama kali dan dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan. Dulu pamor Banda adalah tempat yang indah di timur dan menyimpan rempah-rempah nan ajaib. Sekarang pamor itu seakan pudar. Pala Banda sudah tidak seistimewa dahulu. “Rempah dari Banda kalau di pasaran, sudah tercampur dengan rempah dari mana-mana jadi sudah tidak istimewa,” papar Rani. 

“Selain bijinya, buah pala sendiri ‘kan unik. Teman-teman di Banda, mama-mama, sudah pintar sekali membuat aneka olahan dari buah pala yang biasanya cuma dibuang.”

Limbah dari panen pala kalau diolah bisa menjadi produk yang bernilai, seperti selai dan manisan yang dijual di pasar. Rumapala membantu memasarkan produk asli Banda ini ke seluruh Indonesia. Dengan memasarkan produk dari Banda ke publik, orang bisa lebih kenal dan tahu Banda itu dimana dan bagaimana. 

Visi misi yang diusung Rumapala adalah memperkenalkan Kepulauan Banda yang dulu orang-orang kenal sebagai pulau rempah (spice islands). Kebanyakan orang-orang Indonesia lupa dimana letak Banda, atau mungkin tidak tahu sama sekali. 

“Padahal, sejarah Banda itu luar biasa, bahkan bisa dibilang Banda itu titik nol Indonesia.” 

Rani ingin menumbuhkan kebanggaan masyarakat Banda dan juga kepedulian publik Indonesia secara umum. Rani selalu bersemangat untuk melakukan sesuatu untuk Banda, meskipun hanya hal-hal kecil

Pala dengan Bentuk Berbeda

Pala, yang dikenal sebagai bumbu dapur penguat rasa dan aroma, ternyata berbeda dengan hasil produk Rumapala. Rumapala memproduksi produk-produk seperti sirup, manisan, sabun, dan selai. Olahan pala yang hanya terkenal di Banda kini mulai dipasarkan secara daring. 

“Orang kan taunya biji pala atau bunga pala (fuli atau mace) tapi kalau buah pala yang diolah, tidak banyak orang tahu,” jelas Rani.

“Padahal sebenarnya juga sudah banyak [yang membuat] manisan pala. Biasanya jadi obat tidur alami, karena punya efek relaksasi. Lalu, karena buah pala cepat busuk kalau tidak langsung diolah maka biasanya olahan buah pala banyak ada di daerah dekat perkebunannya.”

Karena sifatnya yang cepat membusuk, olahan pala kerap sulit ditemui di pasaran umum. Olahan pala memang tidak hanya ada di Banda tetapi pala Banda merupakan pala khusus yang tidak ada di tempat lain.

”Spesiesnya pala [yang digunakan] bukan Myristica fragrans seperti yang di Banda. Biji pala [yang digunakan] lonjong tidak bulat. Aromanya pun beda, tentu rasanya juga akan beda.”

Banda tidak dekat kesehariannya dengan kita, tidak seperti pulau-pulau besar Indonesia yang disorot, Banda seakan asing di telinga masyarakat. Letaknya nun jauh di timur dan cerita-cerita kemegahan pala Banda yang sudah tidak ditemui. Banda adalah pusat perdagangan dunia yang kemudian dilupakan.

Tanggapan pasar sejauh ini terhadap produk Rumapala sangat bagus. Menurut Rani, bagi beberapa orang yang sudah mengetahui tentang Banda, produk Rumapala adalah semacam obat rindu. Nostalgic. Bagi yang belum mengetahui Banda kemudian mencoba produk dan ditambah dengan kisah yang disampaikan pada kemasannya, muncul rasa ingin tahu. Semakin ingin tahu maka semakin ingin mengenal lebih dalam. 

“Soal pasar, saya percaya selalu ada niche market yang menginginkan produk ini. Hanya saja karena jarak yang jauh, availability product dan jejak karbon yang ditimbulkan dari produk ini saat ini dikonsumsi tetap perlu diperhatikan. Jadi saya selalu bilang, saya nggak mau jual murah untuk ini. Karena nilai intrinsik produk ini jauh lebih besar daripada nilai extrinsiknya melalui product storytellingnya.”

Harapan dan Rencana Rumapala 

Harapan yang diusung Rumapala sederhana, ada apresiasi yang lebih besar untuk pala dan Banda. Sesederhana ketika orang mengkonsumsi produk Rumapala dan mendapatkan sedikit kisah tentang Banda bisa kemudian lebih memahami dan menghargai sejarah. Lebih jauh lagi, supaya menarik perhatian publik ke timur Indonesia. Karena tinggal di sanalah sumber daya alam yang masih sangat terjaga kelestariannya. 

“Kalo sudah tahu, maka ingin kenal lebih dalam. Kalau sudah kenal dan cinta, pasti kan mau untuk membantu menjaga.”

Banyak sekali potensi rempah di Indonesia belum dikelola dengan benar. Sumber daya dijual dalam bentuk mentah tanpa diolah untuk bisa menikmati added value pada produk negeri sendiri. Alhasil bangsa kita terbiasa menghabiskan sumber daya untuk dijual dan ketika sudah diolah bangsa lain, kita kembali membeli produk tersebut.

Kita sudah terlalu lama menjadi bangsa yang manja. Hanya mengambil sumber daya dan menjual mentah. Tidak terbiasa mengolah dan menikmati added value produknya di dalam negeri sendiri. 

“Harapannya tidak muluk-muluk, hanya ingin lebih banyak mengeksplorasi benefit buah pala dan rempah yang terutama dihasilkan di timur, seperti cengkeh dan kayu manis. Tidak hanya untuk kuliner, tapi saya yakin pasti ada benefitnya juga untuk kosmetik. Clean cosmetic dari rempah timur Indonesia,” pungkas Rani.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Rumapala dan Cerita Memberdayakan Pala Banda appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rumapala-dan-cerita-memberdayakan-pala-banda/feed/ 0 31402
Berkah dari Limbah https://telusuri.id/berkah-dari-limbah/ https://telusuri.id/berkah-dari-limbah/#respond Tue, 19 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31078 Bagi sebagian orang, limbah hanyalah limbah yang berakhir di tumpukan sampah. Bagi Jony, limbah adalah sebuah kesyukuran. Dengan sedikit ketelatenan dan kreatifitas, limbah kayu ulin disulapnya menjadi alat-alat rumah tangga yang memiliki nilai jual. Jony...

The post Berkah dari Limbah appeared first on TelusuRI.

]]>

Bagi sebagian orang, limbah hanyalah limbah yang berakhir di tumpukan sampah. Bagi Jony, limbah adalah sebuah kesyukuran. Dengan sedikit ketelatenan dan kreatifitas, limbah kayu ulin disulapnya menjadi alat-alat rumah tangga yang memiliki nilai jual.

Jony Stiawan alias Jony Fink menyambut kedatangan kami dengan ramah di rumahnya yang terletak di Desa Kandangan Lama, Kecamatan Panyipatan, Kabupaten Tanah Laut. Rumah kayu sederhana menyambut kami yang datang dari jauh, meneduhkan kami yang baru saja berpanas-panasan. 3 jam perjalanan yang melelahkan, ditambah dengan perbaikan jalan sedikit melambatkan laju motor kami. Sambutan Jony sekeluarga yang ramah mampu membuat kami merasa betah.

“Silahkan diminum,” ucapnya sembari menyodorkan gelas dan ceret. Kami disuruh mencoba banyu lahang atau air nira, yang untuk pertama kalinya saya cicipi. Kami bercengkrama mengenai usaha kerajinannya yang terbuat dari limbah kayu ulin. “Usaha kerajinan ini adalah usaha keluarga, jadi dibina sama-sama.” Dari bapaknya lah yang merintis kerajinan ini hingga diteruskan oleh Jony. Dari tahun 2016 mereka menggeluti usaha ini, yang bertahan hingga sekarang. Sang bapak mendapatkan keahlian ini dari belajar otodidak, mengikuti alur pikirannya yang memang kreatif. 

Limbah-limbah kayu ulin bekas pembuatan rumah dan lainnya seringkali berakhir jadi arang-arang kayu untuk keperluan dapur. “Di tangan kami, limbah-limbah tadi dikumpulkan, diolah, kemudian dijual sebagai alat-alat rumah tangga,” paparnya. Jony sangat bersemangat dalam membuat cobek. Menurutnya, cobek dari limbah ulin ini merupakan solusi dari cobek batu, yang bisa aus dan menimbulkan butiran pasir dan dibandingkan dengan cobek kayu biasa, tentu keawetannya berbeda. “Kalau dengan bahan ulin ini kan nggak ragu lagi (bakal aus),” ucapnya. 

Bahan limbah yang didapatkan tidak semerta-merta hasil mencari sendiri, ia juga bisa membelinya dari pihak ketiga. Jony menegaskan bahwa membeli dari pihak ketiga ini menjadi rentetan-saling menguntungkan- dalam menumbuhkan ekonomi. Dia seringkali menyuruh teman-temannya untuk mencarikan limbah kayu ulin dan kemudian membelinya dengan harga yang sepadan. Roda ekonomi berjalan dengan menghubungkan satu sama lain. Dalam proses pembuatannya, Jony juga mengupayakan teman-temannya yang mau ikut bekerja untuk membantunya, hitung-hitung bisa menafkahi dan mengajarkan yang lain.

Limbah Kayu Ulin
Limbah-limbah kayu ulin yang belum diolah/M. Irsyad

Limbah kayu memang tidak seperti balokan kayu yang ukurannya besar. Ukuran limbah bervariasi tergantung hasil olahan sebelumnya, kadang besar dan kadang kecil. “Bagaimanapun bahan yang datang, kita akan mencoba mengolahnya menjadi suatu barang yang bernilai lebih,” imbuhnya. Gergaji kayu dan peralatan lainnya tersedia lengkap untuk menangani berbagai ukuran limbah.

Saya disodorkan berbagai macam peralatan yang sudah jadi; sendok, garpu, centong, cobek, spatula. Saya mengambil sendok dan garpu, merasakan beratnya menjalari ujung jari saya; terasa kuat dan kokoh dibanding sendok kayu biasa. Cobeknya juga terlihat kokoh dan mengkilap karena sudah dipoles dengan polish yang aman untuk digunakan pada makanan. Siapa sih yang tidak kenal ketangguhan kayu ulin yang juga biasa disebut ‘kayu besi’? Dengan statusnya yang semakin langka, alih-alih menyelamatkannya, pemerintah malah mengeluarkan 10 tumbuhan dari jenis yang dilindungi (termasuk ulin), demi mengakomodasi kepentingan para pemodal dan pengusaha.

Limbah Kayu Ulin
Hasil kerajinan dari limbah kayu ulin buatan Jony/M. Irsyad

Pemasaran barang sekarang hanya bisa melalui media daring. Ketiadaan pameran-pameran akibat pagebluk mempengaruhi penjualan kerajinan Jony. Bagi Jony, pameran-pameran yang pernah ia ikuti bukan merupakan ajang jual beli, tetapi lebih kepada pengenalan tentang kerajinannya ke khalayak umum. Barang-barang kerajinan pun bisa dipesan sesuai selera, tingkat kerumitan yang semakin tinggi tentu akan menaikkan harga jual, tetapi sepadan dengan apa yang didapat. Jony berusaha keras mengisi celah ini dengan menyediakan apa kemauan konsumen. Untungnya, penjualan kerajinannya tidak hanya mengisi produk di Kabupaten Tanah Laut saja, tetapi sudah sampai keluar pulau seperti Jakarta. Karena masih ada ketidakstabilan, usaha kerajinan ini bukan menjadi usaha utama keluarga Jony.

Meskipun tanpa pesanan, Jony tetap rajin membuat kerajinan olahannya. Pasalnya dia menjalankan usaha ini lebih ke condong sebagai hobi, karena apapun hobi yang dilakukan tidak akan membuat bosan.

Uluran tangan dari pemerintah, terutama dari Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian disambut dengan baik oleh Jony. Pemerintah memberikan beberapa alat untuk mempermudah pembuatan kerajinan ini. Jony berkisah tentang bagaimana salah satu program yang diinisiasi dinas setempat yaitu Galianan (Gerakan Membeli Olahan Kawan), dia menceritakan bahwa program ini cukup membantunya. Pemerintah daerah juga menyediakan gedung Dekranasda dan pusat promosi, para pengrajin bisa menitipkan kerajinan mereka di rumah pasar tersebut.

Saya meminta izin untuk melihat tempat pembuatan kerajinan yang berada di samping rumahnya. Bekas bekas potongan kayu terlihat berserakan. Limbah yang belum diolah juga ada; ukuran besar dan kecil dengan berbagai warna yang memperlihatkan usia kayu. Saya perhatikan di belakang rumahnya terdapat bukit kecil. Desa ini memang terletak di antara bukit bukit yang berjejer. Sepanjang perjalanan menuju kemari, tiada henti saya menatap alam sekitar, yang menurut saya agak menjengkelkan. Sepanjang jalan yang hijau, 60% didominasi oleh perkebunan sawit. 

Dua pasang sendok dan garpu yang dibuatnya saya beli sebagai buah tangan untuk dibawa ke rumah. Sembari menikmati suguhan, saya menceritakan kepadanya bahwa saya juga ingin ekonomi daerah saya untuk terus berkembang, mampu menghidupi orang-orang sekitar. Jony adalah contoh pemuda yang mampu berdiri dengan kreativitas dan ketelatenannya. Dengan kreativitas yang terus diasah dan kejelian melihat peluang; saya yakin orang sepertinya yang akan membawa perubahan, utamanya untuk keluarga dan masyarakat sekitar.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berkah dari Limbah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berkah-dari-limbah/feed/ 0 31078
Temu Wicara: Sinergi UMKM dan Pariwisata https://telusuri.id/temu-wicara-sinergi-umkm-dan-pariwisata/ https://telusuri.id/temu-wicara-sinergi-umkm-dan-pariwisata/#respond Tue, 28 Sep 2021 11:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30828 Pada 27 September 2021, Pekan Raya Pariwisata resmi dibuka dengan acara Temu Wicara: Sinergi UMKM dan Pariwisata yang disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube TelusuRI dan TV Tempo. Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,...

The post Temu Wicara: Sinergi UMKM dan Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Pada 27 September 2021, Pekan Raya Pariwisata resmi dibuka dengan acara Temu Wicara: Sinergi UMKM dan Pariwisata yang disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube TelusuRI dan TV Tempo.

Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Republik Indonesia, dalam sambutan pembukaan Pekan Raya Pariwisata, mengungkapkan terima kasihnya kepada seluruh pihak yang berperan dalam terselenggaranya Pekan Raya Pariwisata. Sandiaga kembali mengingatkan tentang pandemi yang belum usai dan UMKM merupakan salah satu sektor ekonomi yang paling terdampak, terutama di sektor pariwisata. Ia juga berharap semua pihak dapat beraksi, berkolaborasi, dan inovasi bersama-sama untuk menjawab tantangan ekonomi nasional.

Sumbangan ekonomi kreatif pada PDB Indonesia pada 2020 sebesar 1.100 triliun rupiah dan 3 dari 17 sub sektor ekonomi kreatif juga menjadi penyumbang terbesar struktur PDB dan ekspor diantaranya: kuliner, fashion, dan kriya. “Melalui pekan raya pariwisata kali ini saya mengajak semua untuk dapat berpartisipasi dan bangkit bersama untuk mencapai cita-cita Indonesia yang maju, kuat, dan sejahtera melalui pengembangan UMKM di Indonesia,” pungkasnya.

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi sesi diskusi, yang dipandu oleh Hannif Andy, Founder, Desa Wisata Institute dengan narasumber pertama yakni Menteri Koperasi dan UMKM, Teten Masduki yang diwakili oleh Staf Khusus Kementerian Koperasi dan UKM, Republik Indonesia, Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif yaitu Fiki Satari.

Fiki menjelaskan bagaimana UMKM itu adalah nyawa bagi kemandirian usaha di Indonesia. 99,9% populasi usaha di Indonesia adalah UMKM dan berkontribusi lebih dari 60% untuk PDB Indonesia. Fiki mengatakan bahwa UMKM ini adalah penyelamat Indonesia di saat krisis pada 98, namun di saat pandemi, UMKM juga terdampak dahsyat. Hal ini juga ungkap FIki, membuat kita mengetahui bahwa 80% UMKM belum memasuki ekosistem digital. Pemerintah berusaha menangani ketimpangan ini.

Fiki juga menerangkan bahwa terdapat sistem OSS (Online Single Submission) yang merupakan sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik. Hal ini untuk memudahkan para pelaku UMKM untuk mengurus izin bahkan untuk produk beresiko rendah tidak perlu perizinan, cukup mendaftar di OSS. Pemerintah sejak awal pandemi,memang menargetkan program pemulihan ekonomi nasional khususnya UMKM dikebut karena banyak dari masyarakat yang ekonominya bergantung kepada UMKM, baik sebagai pelaku maupun pekerja. Pemerintah terus memperbaiki layanan dengan melakukan pemetaan permasalahan agar program yang dilaksanakan tepat guna. 

Sesi diskusi kemudian dilanjutkan dengan menghadirkan Serafim Firman dari Nucalale dan Maria G Isabella dari Copa de Flores. Nucalale selaku UMKM yang bergerak di industri kreatif tentu merasakan dampak pandemi, menurut Serafim pandemi tak melulu ada di sisi negatif, sebaliknya pandemi membuka mata para pelaku UMKM bahwa banyak hal yang terjadi di sekitar.

Daya beli produk Nucalale memang mengalami penurunan signifikan selama dua tahun berjalannya pandemi, meski akhir-akhir ini nampak membaik. Pembatasan sosial yang digaungkan pemerintah untuk mencegah penularan COVID-19 yang makin merebak, juga membuat sebagian pelaku UMKM ketar ketir karena terbatas melakukan gerak. Meski begitu,  akhirnya Nucalale harus melakukan inovasi dan kolaborasi.

Kebosanan dalam keterbatasan gerak membuat Nucalale berinisiatif; menggelar panggung online sembari promosi produk. “Nucalale mengadakan “nyanyi dari rumah” di Instagram, kita mencoba melakukan kolaborasi dengan seniman budaya yang ada di NTT untuk secara rutin mengadakan sejenis virtual concert,” terang Serafim. “Kita juga mengadakan talkshow dengan beberapa public figure dan travel blogger seputar industri kreatif,” tambahnya.

Mereka juga giat mengadakan trip virtual untuk membuang kebosanan para pejalan yang tidak bisa kemana-mana  Nucalale juga melakukan inovasi produk dengan bekerja sama para seniman Jogja, Bandung, maupun lembaga swasta. Dampaknya, Nucalale mendapat banyak eksposure yang meningkatkan penjualan. 

Copa de Flores, yang digawangi Isabella, yang tidak hanya mengusung penjualan juga ada misi untuk pemberdayaan perempuan Flores, khususnya dalam budaya menenun. Selama pandemi juga mengalami pasang surut yang menghempaskan bisnisnya. Rencana besar yang disusun pada 2019, digadang-gadang bakal direalisasikan secepatnya, justru berhenti sejenak pada awal pandemi. “Kita kemudian mencoba merefleksi diri, filosofi Copa de Flores sendiri kan kita selalu melihat proses dalam menenun, jadi kita selalu bercermin kepada penenun,” kata Isabella. “Tenun bukan hanya sebuah mata pencaharian, melainkan ada pemaknaan dari lingkungan hidup, keluarga, dan budaya.” Isabella mencoba memaknai pandemi sebagai refleksi.

Copa de Flores mulai memperbaiki proses hulu ke hilir untuk berbenah. Isabella menceritakan bagaimana ia terjun langsung untuk melihat bagaimana para penenun menghasilkan suatu kain dalam beberapa rentang waktu yang berbeda. “Akhirnya kami identifikasi, kain mana yang bisa jadi dalam sebulan, dua bulan, dan seterusnya,” papar Isabella. Copa de Flores membantu pendistribusian kain-kain yang telah ditenun. 

Pandemi tiba, kegiatan Copa de Flore yang semula terpusat pada kegiatan lapangan harus berhenti. Kemudian mereka bertekad merubah bisnis model mereka yang semula terpusat luring menjadi daring. Ia juga memaparkan bagaimana Copa de Flores menjalin langsung hubungan dengan para penenun yang tergabung dalam komunitas yang akan membantu distribusi. Baik Copa de Flores maupun Nucalale meyakini bahwa setelah pandemi, produk-produk akan mengalami lonjakan yang signifikan, terutama produk ekonomi kreatif.

Sebagai pembuka rangkaian acara Pekan Raya Pariwisata, diskusi dengan berbagai narasumber tadi semoga dapat membantu mencerahkan para pelaku UMKM yang masih kesulitan di masa pandemi ini. Jangan lupa, ada beberapa rangkaian acara kedepannya dari Pekan Raya Pariwisata seperti Ngobrolbareng dan Sekolah TelusuRI yang menghadirkan narasumber-narasumber yang tak kalah seru dan menginspirasi. Yuk ikuti terus keseruan Pekan Raya Pariwisata 2021!

Bagi yang tak sempat berpartisipasi, barangkali video berikut dapat menjadi penawar rasa penasaran acara temu wicara ini. Silakan disimak!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Temu Wicara: Sinergi UMKM dan Pariwisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/temu-wicara-sinergi-umkm-dan-pariwisata/feed/ 0 30828
Pekan Raya Pariwisata Hadir untuk Mendorong Pelaku UMKM Meningkatkan Pengetahuan Digital Marketing https://telusuri.id/pekan-raya-pariwisata-2021/ https://telusuri.id/pekan-raya-pariwisata-2021/#respond Sun, 26 Sep 2021 00:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30786 UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) merupakan salah satu kontributor signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa, UMKM berkontribusi 61,07 persen terhadap PDB negara, selain itu UMKM juga...

The post Pekan Raya Pariwisata Hadir untuk Mendorong Pelaku UMKM Meningkatkan Pengetahuan Digital Marketing appeared first on TelusuRI.

]]>
UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) merupakan salah satu kontributor signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa, UMKM berkontribusi 61,07 persen terhadap PDB negara, selain itu UMKM juga dapat menyerap 97 persen total tenaga kerja yang ada dan menghimpun 60,4 persen dari total investasi. Terlepas dari kontribusi UMKM yang cukup signifikan terhadap perekonomian negara, UMKM merupakan salah satu sektor yang paling terdampak pandemi COVID-19. Bank Indonesia menyebutkan sebanyak 87,5 persen UMKM terdampak oleh pandemi yang mempengaruhi sisi penjualan mereka. 

Tahun ini Pekan Raya Pariwisata kembali hadir, kegiatan daring untuk merayakan Hari Pariwisata Dunia dengan mengusung tema ‘Perjalanan Selanjutnya’. Dengan tema ini, TelusuRI ingin mengajak pejalan dan pelaku usaha untuk melihat kembali dampak dari pandemi terhadap UMKM di Indonesia, lebih lanjut TelusuRI akan mengajak pelaku usaha terutama yang berada di sektor UMKM pariwisata untuk meningkatkan strategi penjualan produk mereka secara digital.

Acara akan dilangsungkan pada 27 September — 5 Oktober 2021 melalui siaran pada kanal YouTube TelusuRI dan TV Tempo, Zoom, dan Instagram TelusuRI.

Kick Off Pekan Raya Pariwisata

Hari pertama pembukaan acara Pekan Raya Pariwisata tahun ini akan dihadiri oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno yang akan membawakan membuka acara. Kemudian dilanjutkan dengan temu wicara bersama Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, serta Serafim Firman dari Nucalale dan Maria G Isabella dari Copa de Flores. Ketiganya akan membahas kesiapan-kesiapan UMKM khususnya di industri pariwisata dan ekonomi kreatif yang siap bersaing kembali di era normal baru.

#NgobrolBareng

#NgobrolBareng yang diselenggarakan melalui Instagram Live mengundang beberapa pelaku UMKM berskala internasional untuk menjadi pembicara diantaranya ada Alfonsa Horeng, pendiri kelompok tenun Lepo Lorun yang telah menerima berbagai penghargaan internasional dan juga Nucalale, yang diwakili oleh Serafim Firman, founder Nucalale yang mengembangkan produk lokal berbasis digital.

Sekolah TelusuRI

Sekolah TelusuRI merupakan ruang belajar yang dipersembahkan oleh TelusuRI kepada para pelaku UMKM dengan menghadirkan pembicara yang berpengalaman diantaranya: Addi Ippe dari Katon Indonesia  yang akan membahas mengenai pentingnya branding untuk para pelaku UMKM; Membangun branding digital produk UMKM, Dedy Huang sebagai Digital Marketer yang akan membahas cara menarik pelanggan dari digital marketing; Mentari Diniartiwi dari Lingkar Temu Kabupaten Lestari yang mengulas pengembangan produk lestari; dan Avini Razy dari Buku Warung sebagai Keuangan Bisnis yang membahas tips usaha melejit dengan mengatur keuangan.

Dwita Nugrahanti, selaku Manajer Program dari TelusuRI mengatakan bahwa Pekan Raya Pariwisata kali ini ingin menyemarakkan semangat pariwisata dan gairahnya yang sempat menurun karena pandemi. Oleh karena itu, tema pada acara kali ini mengusung tagline ‘Perjalanan Selanjutnya’ agar para pelaku UMKM bisa terus melangkah kedepan walaupun pandemi masih membayangi. “Kami berharap dengan adanya Pekan Raya Pariwisata ini dapat membantu para pelaku UMKM untuk terus belajar mengembangkan usahanya.”

Ratih Ummi, selaku peserta Pekan Raya Pariwisata tahun lalu mengungkapkan keinginannya untuk mengikuti kembali Pekan Raya Pariwisata tahun ini. “Saya merasa pembelajaran di dalam Pekan Raya Pariwisata fun, apalagi dengan para pembicara yang memang sesuai bidangnya, semoga ilmunya cepat menular.” Ratih berharap Pekan Raya Pariwisata dapat terus diadakan tiap tahunnya.Untuk kamu yang berminat mengikuti program ini sebagai peserta, kamu bisa mendaftar melalui laman website telusuri.id/prp, dan mengisi formulir yang tertera.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pekan Raya Pariwisata Hadir untuk Mendorong Pelaku UMKM Meningkatkan Pengetahuan Digital Marketing appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pekan-raya-pariwisata-2021/feed/ 0 30786
Kerai dan Pagebluk yang Mengubah Wayan https://telusuri.id/kerai-dan-pagebluk-yang-mengubah-wayan/ https://telusuri.id/kerai-dan-pagebluk-yang-mengubah-wayan/#respond Wed, 22 Sep 2021 09:34:45 +0000 https://telusuri.id/?p=30670 Wayan Kaung menundukkan kepala karena pagebluk. Pekerjaanya sebagai pemandu wisata di Bali sedikit demi sedikit mulai tergerus pagebluk yang berlangsung tampak tiada akhir. Kekhawatiran itu semakin memuncak ketika pemberlakuan pembatasan sosial diterapkan oleh pemerintah. Pariwisata...

The post Kerai dan Pagebluk yang Mengubah Wayan appeared first on TelusuRI.

]]>
Wayan Kaung menundukkan kepala karena pagebluk. Pekerjaanya sebagai pemandu wisata di Bali sedikit demi sedikit mulai tergerus pagebluk yang berlangsung tampak tiada akhir. Kekhawatiran itu semakin memuncak ketika pemberlakuan pembatasan sosial diterapkan oleh pemerintah. Pariwisata Bali seakan runtuh, sulit untuk berdiri di tengah-tengah puingnya. Ditengah keputusasaan, ternyata penyelamatnya tidak jauh dari keluarganya sendiri. 

Sang bapak, Ketut Kawi, yang semenjak dahulu menekuni usaha seni dan kerajinan, kini menjadi sandarannya dalam berusaha. Sebuah kios kecil di Batubulan, Gianyar yang terkenal dengan daerah penghasil kerajinan bernilai seni, adalah saksi keuletan seorang bapak yang menekuni hobinya. Dulu masa-masa kejayaan seni Gianyar yang berada pada medio 80-an sampai 2000-an, karya-karya pengrajin di Gianyar terkenal bagus dan mahal. 

Salah satu pelanggan Kawi Kerai yang menghias bangunan dengan kerai via Instagram/Kawi_Kerai

Keapikan bapak dalam melihat peluang bisnis patut diacungi jempol. Melihat bisnis kerai di Bali yang didominasi oleh orang Jawa, bapak tertarik untuk ambil bagian. Sembari menjalankan usahanya dalam seni ukir kayu, kerai juga ikut dia produksi dan awalnya hanya sebagai barang tambahan. Terus menerus mengalami kenaikan permintaan dan berbagai relasi di luar pulau. Dunia pariwisata juga ikut andil dalam meluasnya pasar kerai jualannya. Tahun 2000-an merupakan tahun yang penuh gairah untuk Bali.

Kerai memang bukanlah barang mewah, hanya bambu-bambu yang dirangkai sedemikian rupa untuk menutupi rumah dari hujan atau panas. Oleh bapak, kerai dibuat tidak sekedar untuk menutupi rumah, tetapi ada bahan baku yang harus diutamakan kekuatannya. Bapak menggunakan Bambu Bali, sebagai pengganti Bambu Dampar yang dinilai tidak tahan lama. Terus menerus mendapat masukan dari pelanggan, membuat usahanya semakin berkembang. 

Sayang, bisnis bapaknya yang melambung tidak membuat Wayan tertarik untuk mengikuti jejak ayahnya. Sehabis kuliah, Wayan memilih untuk terjun di dunia pariwisata, membangun travel tour dan menjadi guide. Kemilau dunia pariwisata Bali memang menyilaukan siapa saja. Menurut Wayan, dunia pariwisata lebih enak dijalankan daripada usaha. Tiba-tiba saja dunia dikejutkan dengan pagebluk yang terjadi pada akhir 2019 dan mulai memasuki Indonesia pada tahun 2020. “Waktu itu saya mikir, paling lama pagebluk ini setahun bakal beres, ditambah lagi saya baca-baca analisis-analisis yang mengatakan pagebluk ini bakal cuman sampai September,” kenangnya. Tabungan masih dirasa cukup, Wayan memutuskan untuk menikmati rehat sejenak dari pekerjaannya.

Mimpi-mimpi buruk ini belum sirna. Pagebluk belum berakhir, ditambah Indonesia menerapkan pembatasan sosial. Bali terkena dampak yang paling terasa, denyut pariwisata sudah tidak terasa lagi. Masyarakat banyak memutar otak untuk tetap bertahan hidup di masa pagebluk. Wayan mulai masuk ke dalam bisnis bapaknya, membantu sedikit-sedikit untuk mengembangkannya. “Beberapa teman mulai bikin akun yang asik-asik gitu, semisal ada yang berkebun, dia bikin Instagram tentang berkebun, ada teman bisnis kecil-kecilan juga bikin akun, kebetulan saya senang menulis juga di balebengong.id, saya juga suka main sosial media, akhirnya saya berpikir wah asyik juga nih usaha bapak dibawa ke media sosial,” ucapnya. 

Wayan menyadari meskipun pagebluk menimpa, usaha bapaknya tetap lancar, permintaan pasar lokal justru meningkat. “Saya jadi semakin sering bikin postingan di sosial media tentang usaha bapak, dan jujur saja ini sudah menghasilkan uang,” tambahnya. Pola pikir Wayan kemudian berubah, ingin lebih mengandalkan kerai daripada pariwisata yang tidak tentu juntrungannya sekarang. Wayan fokus untuk membangun strategi digital marketing dari usaha bapaknya.

Bapak, yang memang berasal dari kalangan seniman ukir kayu Gianyar, melihat usaha kerai lebih mudah dijalankan daripada seni ukir. Bapak yang juga menguasai Bahasa Jawa yang memudahkannya untuk mencari kenalan untuk bekerja sama. Berkat keapikan bapak dalam mencari teman kerja, akhirnya dia mendapatkan banyak pinjaman modal. Kepercayaan itulah akhirnya membawa toko kerajinannya semakin besar dan besar. Bapaknya mempekerjakan 3 orang untuk membantu usahanya. Sering juga mengajak adik-adik untuk membantu pembuatan kerai, pengantaran, atau pemasangan. 

Orderan kerai yang terus menerus masuk juga tidak bisa diterima semuanya. Waktu pengerjaan yang memakan sekitar 4 hari ditambah tenaga kerja yang masih sedikit membuat Wayan seringkali menolak pesanan. “Kalau ada orderan baru masuk kita tanyain pengerjaannya mungkin lebih lama, tapi lebih sering ditolak karena bakal numpuk,” jelas Wayan. Selain kerai, usaha bapak juga memproduksi tikar, keranjang, tas, tudung saji, skatsel, hula hoop. Dalam sebulan, barang yang laku terjual mencapai puluhan item.

Suasana pariwisata Bali yang semenjak 10 tahun belakangan berubah menjadi mass tourism, ditambah pagebluk membuka sebagian mata bahwa Bali sudah jatuh terlalu dalam bergantung pada pariwisata, berakibat tercemarnya lingkungan ditambah perubahan drastis fungsi lahan akibat pembangunan masal. Pariwisata selain banyak manfaat, juga mendatangkan mudarat yang sepadan, perubahan pola pikir seperti Wayan yang tidak ingin terlalu bergantung kepada pariwisata semoga menjadi salah satu dari banyak perubahan di Bali ke arah yang lebih positif.


Foto Header: Anggara Mahendra.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kerai dan Pagebluk yang Mengubah Wayan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kerai-dan-pagebluk-yang-mengubah-wayan/feed/ 0 30670