Waduk Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/waduk/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sat, 25 Dec 2021 06:54:56 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 Waduk Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/waduk/ 32 32 135956295 Waduk Cengklik dan Serba-serbi Pesonanya https://telusuri.id/waduk-cengklik-dan-serba-serbi-pesonanya/ https://telusuri.id/waduk-cengklik-dan-serba-serbi-pesonanya/#respond Fri, 10 Dec 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=31528 Waduk Cengklik merupakan danau buatan yang dibangun dari tahun 1926 hingga 1928 di Desa Ngargorejo, Kecamatan Ngemplak, Boyolali oleh Pura Mangkunegaran dan pemerintah Belanda. Pada awalnya, pembangunan waduk ini hanya  ditujukan sebagai penampungan air serta...

The post Waduk Cengklik dan Serba-serbi Pesonanya appeared first on TelusuRI.

]]>
Waduk Cengklik merupakan danau buatan yang dibangun dari tahun 1926 hingga 1928 di Desa Ngargorejo, Kecamatan Ngemplak, Boyolali oleh Pura Mangkunegaran dan pemerintah Belanda. Pada awalnya, pembangunan waduk ini hanya  ditujukan sebagai penampungan air serta saluran irigasi untuk mengairi lahan pertanian di kecamatan-kecamatan sekitar Boyolali. 

Diceritakan, pengairan lahan sawah dan perkebunan tebu di Kecamatan Colomadu (Karanganyar), Kecamatan Kartasura (Sukoharjo), hingga Kota Surakarta mengandalkan pasokan air dari waduk ini. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, fungsi Waduk Cengklik mengalami transformasi. 

Fungsi Waduk Cengklik kini jauh lebih kompleks tanpa meninggalkan fungsi aslinya sebagai pengairan lahan pertanian. Hal ini dikarenakan masih begitu luasnya area persawahan masyarakat sekitar yang didominasi tanaman padi dengan kebutuhan air yang melimpah. 

Selain untuk mengairi persawahan, Waduk Cengklik juga digunakan sebagai tempat untuk mencari ikan oleh masyarakat sekitar Desa Ngargorejo. Baik dengan membangun tambak ikan, menebar jala, hingga dengan cara memancing ikan. Di sisi timur waduk banyak keramba yang sengaja dipasang untuk budidaya ikan air tawar seperti nila, mujair, hingga patin sebagai bahan pangan dan sumber protein hewani. 

Selain itu banyak pula masyarakat yang sengaja mencari ikan dengan menebar jala menggunakan gethek (perahu kecil) maupun dengan perahu motor. Penggunaan gethek oleh sebagian masyarakat dirasa lebih menguntungkan karena tidak menimbulkan suara bising sehingga ikan tidak akan kabur saat hendak ditangkap. Sedangkan sebagian penangkap ikan lainnya lebih memilih mencari ikan dengan perahu motor lantaran dengan menggunakan perahu motor hasil tangkapan akan jauh lebih cepat diperoleh. 

Perahu yang dapat digunakan wisatawan untuk mengelilingi Waduk Cengklik
Perahu yang dapat digunakan wisatawan untuk mengelilingi Waduk Cengklik/Rosla Tinika Sari 

Melimpahnya ikan yang ada di Waduk Cengklik juga membuat banyaknya para pemancing yang selalu memadati area waduk. Para pemancing yang berasal dari berbagai latar belakang pun memiliki gaya memancing sendiri. Hingga tidak jarang para pemancing rela merendam badannya dari leher hingga ujung kaki saat menunggu umpannya dilahap ikan.

Di samping potensi ikannya, Waduk Cengklik kini menjadi objek wisata yang murah meriah dengan tarif masuknya hanya dipatok Rp1.500 per orang. Saat ini Waduk Cengklik menjadi kawasan wisata yang banyak diminati oleh pengunjung meski kehidupan masyarakat masih dalam situasi pandemi.

Banyak orang dari luar Kabupaten Boyolali yang rela menempuh jarak relatif jauh untuk menikmati indahnya waduk. Terlebih lagi dengan letaknya yang strategis membuat banyak pengunjung bertandang ke waduk paling populer di Kabupaten Boyolali ini. Keberadaannya tidak jauh dari Bandar Udara Internasional Adi Soemarmo atau yang lebih tepatnya hanya 1,5 km di sebelah barat bandara tersebut.

Warga yang mencari ikan di Waduk Cengklik
Warga yang mencari ikan di Waduk Cengklik/Rosla Tinika Sari 

Setiap akhir pekan atau hari libur tiba, pengunjung berdatangan. Hal ini tidak lain dikarenakan pesona Waduk Cengklik yang dapat dinikmati oleh berbagai kalangan usia dan dapat dikunjungi bersama  teman, sabahat, keluarga, hingga kekasih hati. Bahkan dengan suasananya yang sejuk di tengah sekitar area persawahan membuat tidak jarang para pengunjung mengajak kolega atau kerabat kerja untuk bersantai di pinggiran waduk.

Tidak hanya itu, Waduk Cengklik juga menjadi tujuan para pesepeda baik dari suatu klub, keluarga besar, sampai rekan kerja. Biasanya kelompok profesi tertentu akan menyambangi Waduk Cengklik dengan bersepeda untuk melepas penat dan menikmati suasana pedesaan sembari mengamati berbagai aktivitas masyarakat di waduk.

Waduk Cengklik juga memiliki arena bermain yang aman sekaligus nyaman untuk anak-anak. Di area bermain terdapat banyak permainan yang patut dicoba untuk sekadar menyenangkan hati. Selain itu juga terdapat pujasera (pusat jajanan serba ada) yang menyuguhkan aneka panganan khas Boyolali dan sekitarnya. Dari makanan berat hingga camilan banyak tersedia dengan harga murah meriah.

Meski keberadaannya sebagai objek wisata, para penjaja makanan menjual dagangannya dengan harga lokal sesuai standar kantong masyarakat Boyolali tanpa membanting harga bagi para wisatawan. Misalnya saja untuk menikmati sepincuk gendar pecel, pembeli hanya perlu merogoh kocek Rp5.000 dan untuk segelas teh hangat atau es teh hanya sekitar Rp2.500. Harga yang cukup murah untuk dinikmati bersama sanak saudara.

Aneka permainan dan jajanan di Waduk Cengklik
Aneka permainan dan jajanan di Waduk Cengklik/Rosla Tinika Sari 

Karena banyaknya hasil ikan dari waduk, banyak masyarakat sekitar yang menjajakan ikan bakar yang menjadi sajian andalan kegemaran pengunjung. Ikan bakar diolah dari ikan segar yang dibudidayakan masyarakat sekitar waduk sehingga terdapat kekhasan pada rasa masakannya. Apabila tidak cukup untuk menikmati ikan bakar di tempat, pengunjung bisa membeli ikan untuk dibawa pulang atau bisa juga membeli ikan segar untuk diolah sendiri.

Wisatawan juga dapat menyewa perahu di waduk Cengklik untuk mengelilingi area waduk dan cukup membayar sekitar Rp50 ribu untuk menyewa satu perahu. Wisatawan juga dapat mengamati bagaimana Waduk Cengklik sebagai tempat wisata yang dapat membantu masyarakat sekitar untuk kehidupan sehari-hari. Sektor wisata yang terus dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Boyolali bersama masyarakat menunjukkan kesejahteraan yang lebih baik dari sebelumnya.

Bahkan keindahan waduk dengan latar belakang gagahnya Gunung Merapi dan Gunung Merbabu membuat banyak para fotografer berdatangan silih berganti mengabadikan setiap momen yang hadir. Saat fajar menyingsing dan matahari  terbit dari ujung timur menjadi saat yang tepat untuk merekam keelokannya. Selain itu di siang hari para penikmat seni fotografi dapat memotret  pemancing, penebar jala, perahu, hingga tumbuhan eceng gondok yang banyak tumbuh dengan bunganya yang indah di permukaan air. Apalagi kala senja tiba, saat sinar matahari semakin redup di antara Gunung Merapi di sisi selatan dan Merbabu di sisi utara. Para pemburu foto berkumpul di sini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

The post Waduk Cengklik dan Serba-serbi Pesonanya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/waduk-cengklik-dan-serba-serbi-pesonanya/feed/ 0 31528
Mengenal Lebih Dekat Kehidupan di Tepian Waduk Jatigede https://telusuri.id/mengenal-lebih-dekat-kehidupan-di-tepian-waduk-jatigede/ https://telusuri.id/mengenal-lebih-dekat-kehidupan-di-tepian-waduk-jatigede/#respond Fri, 26 Nov 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30850 Sebagian jalan desa itu kembali terlihat. Musim kemarau yang berjalan beberapa bulan lamanya telah membuat air Waduk Jatigede surut. Bagian-bagian waduk yang biasanya terendam air, kini kembali menyembul ke permukaan. Bukan hanya jalan, sisa-sisa bangunan...

The post Mengenal Lebih Dekat Kehidupan di Tepian Waduk Jatigede appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagian jalan desa itu kembali terlihat. Musim kemarau yang berjalan beberapa bulan lamanya telah membuat air Waduk Jatigede surut. Bagian-bagian waduk yang biasanya terendam air, kini kembali menyembul ke permukaan. Bukan hanya jalan, sisa-sisa bangunan rumah milik warga yang kampungnya terpaksa ditenggelamkan demi pembangunan waduk juga kembali terlihat dengan jelas.

Persis Kamis, 9 September lalu, pagi itu, saya berdiri di salah satu sudut Desa Darmaraja, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa barat, yang sebagian wilayahnya kini berada di pinggiran Waduk Jatigede.

Perahu motor di Jatigede
Perahu motor di Jatigede/Djoko Subinarto

Angin bertiup kencang. Berjarak sekitar 300 meter dari tempat saya berdiri, sebuah kapal motor melaju perlahan mendekat. Di atas kapal motor itu dipasangi bendera merah putih. Kapal motor tersebut menjadi salah satu alat transportasi warga desa untuk menuju desa lainnya yang sejak 2015 lalu dipisahkan oleh Waduk Jatigede. Naik perahu motor jauh lebih cepat sampai di tujuan ketimbang menggunakan rute darat yang harus memutar.

Selain sebagai sarana transportasi penduduk, kapal motor itu juga dapat disewa oleh para wisatawan untuk berkeliling Waduk Jatigede.

Di sisi kanan, tak begitu jauh dari tempat saya berdiri, beberapa perempuan remaja belia terlihat berjalan-jalan di pinggir waduk sembari beberapa kali mengatur pose untuk melakukan swafoto. Pagi itu, mereka lebih dahulu datang ke Jatigede ketimbang saya.

Saya langkahkan kaki ke sisi utara. Angin pagi bertiup dengan kencang. Bagian-bagian waduk yang sepanjang musim hujan tergenangi air, kini terlihat kering kerontang. Saat berjalan itu, saya sempat menyaksikan beberapa reruntuhan bekas kamar mandi warga.

Bekas kamar mandi yang kembali terlihat
Bekas kamar mandi yang kembali terlihat/Djoko Subinarto

Bagi warga yang dulunya bermukim di daerah-daerah yang kini menjadi bagian Waduk Jatigede, tatkala melihat kembali reruntuhan bangunan-bangunan itu, boleh jadi bakal terlarut dalam romantisme atau bahkan rasa nelangsa yang mendalam.

Bayangkan, tempat yang dulu mereka diami, kampung yang dulu mereka huni, halaman tempat mereka bermain, kini harus lenyap, tenggelam, dan menjadi bagian dari sebuah waduk raksasa. 

Saya terus berjalan ke arah utara. Di ujung, terlihat beberapa pulau kecil. Ada tiga perahu berada di tepian. Yang satu masih kosong. Yang dua lagi berisi tumpukan-tumpukan pupuk. Pupuk-pupuk ini akan segera dibawa ke seberang, ke beberapa pulau kecil, di mana sejumlah warga melakukan aktivitas pertanian.

Saya melemparkan pandangan ke sudut lainnya. Terdapat sejumlah perempuan dan beberapa anak yang sedang nyemplung ke dalam waduk. Mereka terlihat kerap membungkukkan badannya, memungut sesuatu. Air waduk menutupi bagian bawah tubuh mereka.

Mencari tutut
Mencari tutut/Djoko Subinarto

Saya dekati mereka, karena penasaran ihwal apa yang sedang mereka lakukan.

“Sedang nyari tutut. Ayo, video! Biar nanti bisa masuk YouTube,” teriak salah seorang dari mereka, tatkala ditanya apa yang sedang mereka lakukan.

Tutut (Pila ampullacea) adalah siput kecil yang biasa hidup di air tawar. Selain di sawah, tutut juga hidup di sungai, danau atau waduk.

Mencari tutut menjadi aktivitas rutin yang dilakukan sebagian warga ketika air Jatigede surut. Tutut yang mereka dapatkan kemudian dijual kepada bandar. Harganya Rp4.000 per kilogram. Tapi, tak semua pencari tutut menjual tutut yang mereka dapatkan ke bandar. Sebagian mencari tutut untuk dikonsumsi sendiri, sebagai lauk-pauk pendamping nasi.

Tak jauh dari para pencari tutut, sebuah perahu motor terdampar di atas tanah yang kondisinya setengah mengering. Dua anak kecil bermain-main di dalam perahu motor itu.

Angin pagi yang sebelumnya bertiup kencang, kini tak terasa lagi. Hari mulai beranjak siang. Matahari terasa lebih menyengat. Air Waduk Jatigede terlihat semakin berkilauan disorot sinar matahari.

Ditanami jagung

Surutnya air Jatigede akibat kemarau menjadikan lahan-lahan yang tidak tergenangi air dapat dimanfaatkan untuk aktivitas lain. Misalnya, bercocok tanam. Maka, beberapa bagian waduk yang mengering akhirnya berubah menjadi lahan-lahan pertanian. Salah satu yang ditanam adalah jagung. Selain dipakai bercocok tanam, lahan-lahan yang mengering itu juga dimanfaatkan untuk membuka warung tenda sederhana oleh sejumlah warga. 

Lahan jagung di Jatigede
Lahan jagung di Jatigede/Djoko Subinarto

“Kalau lagi musim hujan, airnya sampai sini,” kata salah seorang pemilik warung tenda, yang lokasinya tidak jauh dari hamparan kebun jagung di Waduk Jatigede.

Warung tenda itu menyediakan makanan dan minuman ringan. Ada bangku panjang dari bambu untuk duduk-duduk para pengunjung. Menurut salah seorang warga, yang hari itu sedang mengantar barang dagangan menggunakan sepeda motor dan sempat diajak berbincang, Lebaran kemarin, permukaan air Jatigede masih tinggi.”Waktu Lebaran saya ke sini, yang sekarang jadi kebun jagung itu masih terendam air,” katanya.

Waduk Jatigede merupakan waduk terbesar kedua di Indonesia, setelah Waduk Jatiluhur di Purwakarta. Luas total Jatigede sekitar 4.983 hektare. Waduk ini menjadi sumber pengairan lahan-lahan pertanian di daerah Indramayu, Majalengka, dan Cirebon.

Dalam proses pembangunannya, sedikitnya 16.000 warga harus hengkang akibat kampungnya dijadikan lahan Waduk Jatigede. Meski telah direncanakan pembangunannya sejak era pemerintahan Hindia-Belanda, waduk ini baru terwujud pada akhir 2015. Area genangan Waduk Jatigede saat ini meliputi 28 desa di Kecamatan Darmaraja, Kecamatan Wado, Kecamatan Jatigede, dan Kecamatan Jatinunggal, Kabupaten Sumedang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenal Lebih Dekat Kehidupan di Tepian Waduk Jatigede appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenal-lebih-dekat-kehidupan-di-tepian-waduk-jatigede/feed/ 0 30850
Petilasan di Aliran Sungai Citarum Lama https://telusuri.id/petilasan-di-aliran-sungai-citarum-lama/ https://telusuri.id/petilasan-di-aliran-sungai-citarum-lama/#respond Wed, 29 Sep 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30672 Sungai Citarum, sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat. Aliran airnya dibendung tiga kali untuk mengairi Waduk Saguling di Kabupaten Bandung Barat, Waduk Cirata di tiga Kabupaten: Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta serta Waduk Jatiluhur...

The post Petilasan di Aliran Sungai Citarum Lama appeared first on TelusuRI.

]]>
Sungai Citarum, sungai terbesar dan terpanjang di Jawa Barat. Aliran airnya dibendung tiga kali untuk mengairi Waduk Saguling di Kabupaten Bandung Barat, Waduk Cirata di tiga Kabupaten: Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta serta Waduk Jatiluhur di Kabupaten Purwakarta.

Khusus di Waduk Saguling, aliran Sungai Citarum yang dibendung berada di Desa Baranangsiang, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat. Aliran sungai itu dibelokkan menuju surge tank untuk kemudian dikeluarkan lagi di Sang Hyang Tikoro. Namun aliran Sungai Citarum yang tidak dialiri air itu tidak benar-benar kering, masih terairi dari rembesan-rembesan dan mata air-mata air di tepi Sungai Citarum. Titik-titik aliran Sungai Citarum yang dikeringkan malah menjadi memiliki pesona tersendiri, antara lain Sang Hyang Heuleut dan Cikahuripan. 

Saat penulis bersama rekan mengunjungi lokasi Sang Hyang Heuleut dan Cikahuripan beberapa waktu lalu, lokasi Sang Hyang Heuleut rupanya berada di ujung hutan, sedangkan Cikahuripan beberapa kilometer lagi, namun berbeda lokasi.

Sang Hyang Heuleut
Sang Hyang Heuleut

Sang Hyang Heuleut

Bila titik pemberangkatan dari Bandung, setelah sekitar 35 km, akan menemukan pertigaan Saguling di sebelah kiri, kemudian berbelok kiri yang berupa pasar yang hanya buka hari Senin, Rabu, dan Jumat. Beberapa kilo meter kemudian, melewati jalan beraspal, di kiri dan kanan terdapat hamparan perkebunan karet milik PT Perkebunan VIII. Usai hamparan perkebunan karet, akan melewati hutan mahoni, hutan jati, hutan pinus, dan hutan lainnya. Kehijauan daun-daunnya memanjakan mata. Setelah itu, jalan mulai berliku-liku dan menanjak, hingga tiba pula di lokasi bernama Batu Aki sebagai jalan masuk menuju Sang Hyang Heuleut. Di Batu Aki, kendaraan roda dua dan empat bisa parkir. Untuk melepas penat, ada beberapa warung yang berdiri, bisa minum kopi atau kelapa muda.

Untuk menuju Sang Hyang Heuleut, kita harus mempersiapkan mental. Lokasinya lumayan jauh, tetapi tentunya tidak sejauh menuju puncak gunung. Untuk menuju ke sana, harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang membelah hutan. Meskipun cukup jauh, suasana bernuansa, terkadang panas, terkadang rindang, namun tegakan pepohonan dapat memanjakan dan menyegarkan mata. Mengingat untuk sampai di tujuan harus berkali-kali menuruni turunan curam, wisata ini lebih cocok untuk kalangan remaja dan dewasa.

Namun bila enggan berjalan kaki, tempat wisata yang dikelola Perhutani BKPH Rajamandala KPH Bandung Selatan bersama Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Qurotta A’yun yang diketuai Djedjen, pengunjung dapat menggunakan jasa ojek setempat dengan tarif variatif sampai menjelang satu turunan curam. Kemudian kembali berjalan kaki sampai di tepi Sang Hyang Heuleut. Secara administratif, Sang Hyang Heuleut termasuk Desa Rajamandala Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat.

Rasanya, keringat yang keluar dan rasa lelah dapat langsung terobati saat Sang Hyang Heuleut sudah tampak di depan mata. Batu-batu sungai yang besar di tengah dan pinggir sungai menyambut, juga tebing-tebing cadas yang tinggi di kiri-kanan sungai. Di sini, ada pula warung-warung yang berdiri.

Namun untuk menuju bagian sungai yang dalam, harus meniti beberapa batu besar lagi. Tiba di bagian sungai yang dalam itu, bila pengunjung ingin berenang, pihak pengelola sudah menyediakan perlengkapan sewa seperti pakaian renang, rompi pelampung, juga ban-ban dalam.

Di sela-sela menikmati pesona keindahan Sang Hyang Heuleut, Ketua LMDH Djedjen mengajak ke satu petilasan yang jarang diketahui orang. Menurutnya, petilasan ini pernah dikunjungi oleh orang-orang dari jauh seperti dari Banten, Jakarta, Bandung, Bogor bahkan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Menurut Djedjen pula, pada zaman dulu, orang tua biasa dipanggil dengan sebutan Sang Hyang atau Eyang. Ada pun Eyang-Eyang yang ada di Sang Hyang Heuleut adalah Eyang Anom (Eyang Muda) dan Eyang Tua (Eyang Sepuh). Bila sedang ‘kebetulan’, pengunjung pun bisa bertemu dengan salah satu atau kedua Eyang tersebut yang berpakaian khas zaman dahulu. 

Eyang-eyang yang ‘berada’ di petilasan itulah yang memberitahu Djedjen dan memberi dorongan agar Sang Hyang Heuleut lebih dikembangkan lagi menjadi tempat wisata. 

Djedjen juga menuturkan, wisata ini mulai dirintis 2015 akhir, kini lebih berkembang karena didukung Perum Perhutani dan Pemda Kabupaten Bandung Barat. Meskipun begitu, Djedjen mengatakan bahwa sehubungan masih COVID-19, Sang Hyang Heuleut belum dibuka untuk melayani pengunjung.

Cikahuripan
Cikahuripan

Cikahuripan

Cikahuripan tidak jauh dari Sang Hyang Heuleut, namun harus keluar lagi, naik menuju Batu Aki untuk kemudian melalui jalanan beraspal melewati hutan pinus dan mahoni serta perkampungan yang luas.

Setelah tiba di satu pertigaan, berbelok kanan karena berbelok kiri menuju Waduk Saguling. Bila di satu warung terpampang baligo Cikahuripan, berhenti, kemudian menuju jalan setapak di seberang warung. Di pinggir warung ini, ada lahan parkir yang cukup luas.

Usai melewati sepetak kebun, mulailah menyusuri aliran sungai Citarum yang kering. Untuk sampai di Cikahuripan memerlukan waktu berjalan kaki sekitar 10-20 menit. Di Cikahuripan ada green canyon yang berupa tebing cadas yang tinggi sebagai pinggir sungai. Para pengunjung bisa naik rakit. Untuk tempat swafoto pun, pemandangan yang ada sangat menunjang. Saat musim hujan, berair keruh namun saat musim kemarau berair jernih. Cikahuripan termasuk Desa Baranangsiang Kecamatan Cipongkor Kabupaten Bandung Barat dan berkali-kali dipakai syuting film.

Mata Air di Dasar Sungai
Mata Air di Dasar Sungai

Usai puas menikmati Green Canyon, Djedjen mengajak ke tiga mata air, yaitu Mata Air Ibu, Mata Air Bapak, dan satu mata air yang keluar dari batu cadas di dasar sungai. “Tiga mata air itu jarang diketahui orang berikut khasiat-khasiatnya. Bagi yang mempercayai dan meyakininya, bisa menemui kuncen setempat. Pada malam-malam dan bulan-bulan tertentu, orang-orang banyak yang berdatangan,” ujarnya.

Meskipun begitu, Djedjen kemudian menegaskan karena masih pandemic COVID-19, wisata ini pun belum dibuka oleh pemerintah. Jadi, para penggemar wisata alam harus bersabar dahulu. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Petilasan di Aliran Sungai Citarum Lama appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/petilasan-di-aliran-sungai-citarum-lama/feed/ 0 30672