wakatobi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wakatobi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 05 Oct 2021 08:31:55 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 wakatobi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wakatobi/ 32 32 135956295 Tenun Pajam dan Orang-Orang Baik Wakatobi https://telusuri.id/tenun-pajam-dan-orang-orang-baik-wakatobi/ https://telusuri.id/tenun-pajam-dan-orang-orang-baik-wakatobi/#comments Sun, 29 Aug 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=28999 Di luar langit masih gelap, bahkan suara toa masjid subuh hari masih menggema di udara. Lepas salat, saya diantar saudara menuju Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan. Perjalanan di bulan Juni kali ini akan...

The post Tenun Pajam dan Orang-Orang Baik Wakatobi appeared first on TelusuRI.

]]>
Di luar langit masih gelap, bahkan suara toa masjid subuh hari masih menggema di udara. Lepas salat, saya diantar saudara menuju Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan. Perjalanan di bulan Juni kali ini akan dibuka dengan mengunjungi salah satu kabupaten dengan kekayaan bahari di Sulawesi Tenggara, Wakatobi.

Keberuntungan membawa saya sejauh 581 km dari Makassar di Sulawesi Selatan, menuju Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Perjalanan dari rumah ke bandara ditempuh sekitar setengah jam. Begitu tiba, tampak calon penumpang maupun pekerja bandara memenuhi pelataran keberangkatan. Tumpukan antrian terlihat jelas di loket validasi dan antrian tes bebas COVID-19.

Saya langsung memasuki bandara. Suasananya tidak seramai sebelumnya. Setelah mengantri di salah satu konter check in maskapai penerbangan, saya pun menuju ruang tunggu keberangkatan. Selalu ada rasa menegangkan dan sedikit mulas ketika memulai petualangan baru, terlebih seorang diri. Perasaan campur-aduk memenuhi dada, termasuk rasa tidak percaya akan kemampuan sendiri. Pertama Kalinya saya berkesempatan mengunjungi Kabupaten Wakatobi berkat Anugerah Jurnalisme Warga  (AJW) Kelautan dari Balebengong, berupa bantuan liputan mendalam di beberapa daerah di Indonesia.

Perjalanan dari Makassar-Wakatobi/Nawa Jamil

Pesawat mendarat mulus di Bandar Udara Haluoleo di, Sulawesi Tenggara, transit sebelum ke Bandar Udara Matahora di Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi. Perjalanan selama lima jam berakhir begitu saya menginjakkan kaki di Wangi-Wangi, dijemput salah satu kerabat dari seorang kawan, Hasrim, warga lokal Pulau Wangi-Wangi. Pulau Wangi-Wangi dengan pusat kota Wanci menawarkan kawasan tundra dan laut biru bergradasi sejauh mata memandang. Saya dan Hasrim berbincang selama perjalanan. 

“Sayang sekali baru tiba di Wanci sekarang, padahal minggu lalu baru saja diadakan acara sunatan,” terangnya. Acara sunatan di Wanci berbeda jauh dengan sunatan-sunatan pada umumnya, khususnya di daerah Sulawesi Selatan. Di sini, acara sunatan merupakan acara budaya yang dibungkus dengan meriah, arak-arakan keliling kampung dengan berbagai identitas budaya dalam pelaksanaannya. 

Saya tinggal di rumah Kak Malil selama di Wanci. Rumahnya dekat dari Pantai Marina, sehingga selama dua hari di Wanci sebelum bertolak ke Kaledupa, saya selalu menghabiskan sore menikmati senja dan laut banda di sini. Aktivitas sore hari warga terlihat di sini. Antara pelabuhan Pelni, pasar malam, lapangan basket, juga titik-titik menikmati sore dan senja di bangku-bangku beton yang disiapkan sepanjang daratan.

Sekali saya menikmati senja di dermaga terapung tempat berlabuh beberapa kapal-kapal speedboat putih megah. Satu senja lainnya saya habiskan di ujung daratan hasil reklamasi dengan duduk-duduk santai di atas bangku beton, dan senja lainnya saya habiskan dengan berjalan-jalan sambil melihat aktivitas sore suku bajo yang berdiam di Mola, salah satu daerah di Pulau Wangi-Wangi. Tanpa tahu siapapun, saya dijaga dan didampingi dengan begitu ramah selama dua hari di Wanci.

Senja di Marina, Wangi-Wangi/Nawa Jamil

Pulau Kaledupa

Dermaga Kaledupa/Nawa Jamil

Tanggal 9 Juni di pagi hari, saya menunggu di atas KM Valentine Bahari di pelabuhan Numana Wangi-Wangi yang hendak menuju Pelabuhan Buranga di Pulau Kaledupa. Perjalanan melewati laut banda yang teduh pagi itu berlangsung sekitar satu setengah jam. Pulau Kaledupa yang hijau dengan perkampungan suku bajo tampak dari tak lama sebelum kapal berlabuh di pelabuhan. Di atas kapal speed ini, saya berkenalan dengan Ika, seorang mahasiswa di kampus keperawatan di Kendari yang hendak pulang kampung ke Kaledupa. 

Belum turun dari kapal, Sinta, kawan sewaktu di Makassar sudah menelepon.

“Sudah turun, Naw?” tanyanya.
“Ini masih antri.”
“Saya tunggu pas di depan kapal, nah!”

Saya mencari-cari sosok Sinta, Sinta yang berarti cinta dalam bahasa Kaledupa. Kami saling memberitahu posisi masing-masing. Tak lama, kulihat Sinta dengan pakaian mentereng dan kaca mata hitam melambai dari atas motor miliknya. Bersama Sinta, saya menuju kediamannya di Desa Ollo sebelum melakukan liputan mendalam tentang tenun dan perempuan di Desa Pajam, Kecamatan Kaledupa Selatan.

Matahari terik menyengat siang itu. Sebelum bertolak ke Pajam, saya memutuskan mencari info lebih jauh perihal Pulau Kaledupa di sekretariat Forkani yang letaknya tidak jauh dari rumah Sinta. Di sana, kami berbincang sedikit perihal sejarah, mayoritas mata pencarian penduduknya, sampai topografi pulau ini. dibandingkan pulau-pulau lain yang pernah saya datangi, Kaledupa sedikit unik ketika berbicara perihal topografinya yang berupa pegunungan. Di sini, medannya menanjak dan dengan tebing-tebing yang menghadap laut. 

Desa Mola Bajo/Nawa Jamil

Lepas ashar, saya ditemani Sinta menuju Desa Pajam yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari Desa Ollo. Matahari sore yang terik, bersamaan dengan jalan menanjak yang berlubang dimana-mana, menjadi tantangan sore itu. Setelah 20 menit melaju, gerbang Pajam akhirnya menyambut kami. Pajam, sebuah desa pusat wisata budaya di Kaledupa ini, terbentuk sekitar 30 an tahun yang lalu, tepatnya di tahun 1987. Merupakan pemekaran dari dua dusun, yakni Palea dan Jamaraka yang disingkat Pajam, desa ini aktif sebagai pusat kerajinan tenun yang terorganisir berkat pendampingan dari beberapa NGO maupun Forkani yang mulai mendirikan kelompok tenun di akhir tahun 2016.

Hari pertama di Pajam, saya bertemu dengan Bu Harlina, istri Pak Mul selaku inisiator yang membentuk kelompok tenun di desa ini. Berhubung Pak Mul sedang di Wanci, saya pun menghabiskan sore bercerita dengan Bu Harlina, salah satu penenun perempuan di desa ini. Di pajam, hampir semua perempuan pandai menenun. Keterampilan ini telah diajarkan kepada anak-anak perempuan sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. Sore itu, Bu Harlina memperlihatkan beberapa motif kain tenun yang disebut homoru dalam bahasa lokal. Selain kain tenun, ia juga memperlihatkan beberapa produk diversifikasi tenun seperti pouch, tas, ikat kepala, dan aneka produk tenun lainnya. saat langit mulai menampakkan lembayungnya, saya dan Sinta pun pamit dan mengatur jadwal untuk keesokan harinya. 


Pajam/Nawa Jamil

Udara pagi masih segar. Tampak pekerja-pekerja perbaikan jalan di sepanjang rute menuju Pajam. Sangat disayangkan saya tidak mengisi baterai kamera kemarin. Ternyata, listrik di pulau ini hanya hidup dari pukul 17.00 sampai 06.00 di pagi hari. Alhasil, perjalanan di hari kedua hanya berupa observasi lanjutan tanpa adanya pengambilan gambar maupun video. Di hari kedua, saya bertemu dengan Mulyadi, inisiator dari kelompok tenun desa ini. Ia begitu semangat menjelaskan perihal sejarah pembentukan kelompok, fokus kegiatan, sampai kontribusi kelompok ini terhadap ekonomi anggotanya. 

Selain berbincang dengan Mulyadi, kami juga melihat langsung proses penenunan oleh dua orang perempuan di desa ini. tidak sulit menemukannya, cukup memasang telinga baik-baik. Mendengar lingkungan desa yang didominasi suara alam, saya bisa menemukan para penenun dengan mendengar bunyi alat tenun tradisional mereka. 

‘Tak…tak…tak…’

Bunyi itu datang dari dua selasar rumah warga. Pertama, saya mendatangi rumah terdekat dari kediaman Pak Mul. Tampak seorang perempuan paruh baya tengah sibuk menenun. Saya mengamati aktivitas berulang yang begitu memikat yakni irama kayu yang saling berbenturan secara konstan, kelincahan tangan penenun dalam memindahkan benang sari satu sisi ke sisi lainnya, berpadu pas dengan suara alam yang masih asri di Pajam.

Saya mengunjungi Pajam selama tiga hari berturut-turut. Selain Pajam, saya juga menghabiskan banyak waktu mengunjungi pantai di dekat perkampungan suku Bajo, serta berjalan-jalan mengelilingi dataran tinggi pulau ini. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani, tidak heran sepanjang jalan saya melihat banyak sekali tanaman kelapa, pisang, serta aneka umbi-umbian. 

Manusia baik

Pulau Wangi-Wangi

Kekhawatiran berkunjung ke tempat baru tanpa mengenal seorangpun untuk kali pertama terpatahkan. Selama seminggu lebih di Kabupaten Wakatobi, saya dipertemukan dengan banyak sekali manusia-manusia baik. Selama di Wanci dan Kaledupa, saya kerap merepotkan banyak orang yang tidak saya kenal. Merekalah orang-orang baik yang membuat waktu selama peliputan di Wakatobi terasa sangat menyenangkan. Dari mereka, saya belajar bahwa kebaikan terus berputar. Saya berdoa semoga kebaikan-kebaikan mereka kembali dalam bentuk-bentuk terindah. 

Di akhir perjalanan, saya penasaran mencoba transportasi laut. Wanci ke Kendari saya tempuh dengan kapal selama delapan jam lebih. Gemerlap kota Kendari menyambut begitu saya tiba di pelabuhan. Dari Kendari, saya menaiki penerbangan terakhir keesokan harinya menuju Makassar. Saat kembali ke rumah, perasaan aneh sekali lagi memenuhi kepala. Perjalanan seorang diri selama seminggu di Wakatobi merupakan pengalaman yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Bahkan saat hendak tidur, ketidakpercayaan akan petualangan yang baru saya alami masih terus terngiang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tenun Pajam dan Orang-Orang Baik Wakatobi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tenun-pajam-dan-orang-orang-baik-wakatobi/feed/ 1 28999
“Discover Scuba Diving” di Yoro https://telusuri.id/discover-scuba-diving-di-yoro/ https://telusuri.id/discover-scuba-diving-di-yoro/#respond Mon, 08 Jun 2020 09:04:00 +0000 https://telusuri.id/?p=22213 Saya masih ingat pagi itu tanah Pulau Binongko lembap sehabis mendapatkan guyuran hujan semalam. Genangan air di jalanan cor semen berlubang jadi tanda bahwa semenjak dibuat tak ada pemeliharaan. Motor yang saya kendarai menjadi sedikit...

The post “Discover Scuba Diving” di Yoro appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya masih ingat pagi itu tanah Pulau Binongko lembap sehabis mendapatkan guyuran hujan semalam. Genangan air di jalanan cor semen berlubang jadi tanda bahwa semenjak dibuat tak ada pemeliharaan. Motor yang saya kendarai menjadi sedikit berlumpur.

Jalan-jalan di Pulau Binongko selalu bersambungan walau ibarat labirin. Kalau bingung, kita tinggal ambil arah pantai, susuri saja, nanti juga sampai. Maka tak butuh waktu lama bagi saya untuk menghafal lekuk-lekuk jalan di Binongko.

Itu hari kedua saya bersama teman-teman tinggal dan melihat aktivitas masyarakat di sana. Kami menikmati alunan tempa para pengrajin pandai besi yang sedang membuat parang dan pisau dapur, mengenal sejarah Binongko dari makam Wa Ode Goa, juga melepas tukik di Pantai Yoro. Pulau Binongko sedang bersolek. Akomodasi homestay sudah mulai dibenahi agar sesuai standar penginapan. Produk olahan seperti abon ikan di Desa Jaya Makmur juga tak luput dari perhatian dan dikemas jadi lebih menarik. Harapannya, itu akan menjadi buah tangan khas Pulau Binongko.

Sehabis hujan di Binongko/Widhibek
Sehabis hujan di Binongko/Widhibek

Binongko adalah pulau besar terjauh di Kepulauan Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko). Dari Wangi-wangi, ibu kota kepulauan itu, perlu waktu cukup lama untuk tiba di Binongko, yakni sekitar enam jam. Dalam hal wisata selam, namanya masih kalah tenar ketimbang Pulau Tomia.

Soal selam ini, ada dua hal yang menarik dari Binongko. Pertama, meskipun pulau itu bagian dari sebuah kepulauan yang namanya menggaung ke mana-mana sebagai tujuan wisata selam, tak banyak warga Binongko yang bisa menyelam dengan peralatan scuba diving. Kedua, di Binongko tidak ada dive center. Jika ingin menyelam, peralatan bisa disewa di Pulau Tomia. Tapi, perhitungan serta persiapan alat pun harus cermat. Jarak antara dua pulau tersebut lumayan jauh, terpaut dua jam perjalanan. Akan konyol sekali jika kita lupa membawa salah satu komponen. Namun, meskipun tidak seramai Tomia, titik-titik penyelaman di Binongko menarik. Di perairan pulau itu masih ramai penyu dan hiu.

Ketika pagi itu kami tiba di dermaga, Simba, nama kapal cepat yang akan kami tumpangi, sudah siap. Rencananya hari itu kami akan menyelam di tiga titik di sekitar Pulau Binongko.

Menuju titik penyelaman pulau Binongko/Widhibek
Menuju titik penyelaman/Widhibek

Kami mengajak salah seorang anak pulau untuk ikut ke bawah laut bersama kami. Astina namanya. Gadis berkerudung itu baru saja menyelesaikan sekolahnya di Akademi Komunitas Kelautan dan Perikanan di Wangi-wangi. Sebagai anak muda pulau, minatnya untuk mengembangkan wisata di Pulau Binongko cukup besar. Dia bahkan ingin melanjutkan sekolah lagi agar bisa membangun pulaunya. Dia sempat merasakan pelatihan selam, namun hanya sebatas praktik di sekolah. Belum pernah dia merasakan langsung menyelam di perairan Binongko.

Karena dia belum punya sertifikat selam, yang kami lakukan adalah mengajaknya ikut program Discover Scuba Diving (DSD), yakni pengenalan dasar tentang penyelaman. Jadi, walau belum memiliki sertifikat selam, peserta DSD bisa merasakan aktivitas penyelaman dipandu langsung oleh instruktur. Kedalamannya tidak boleh lebih dari 12 meter.

Lokasi DSD bersama Astina di depan Pantai Yoro. Sebelum turun, dia diberikan pengarahan—sebuah kewajiban sebelum penyelaman. Sebagai instruktur, membawa peserta DSD rasanya seperti membawa anak—sekaligus rasa keingintahuan dan takutnya—ke taman bermain untuk kali pertama. Tugas pelatih adalah meyakinkan penyelam itu untuk tetap tenang dan selalu bertindak sesuai petunjuk. Untungnya, perairan sekitar Binongko yang tenang kali itu cukup membantu Astina untuk tetap relaks. Dia kelihatan berusaha betul menikmati penyelaman pertamanya di perairan terbuka itu. Lama-kelamaan, irama ayunan kakinya sudah tak lagi terburu-buru. Dia sudah mulai tenang.

Discover Scuba Diving di depan Pantai Yoro, pulau Binongko
DSD bersama Astina/Widhibek

Saya juga berusaha untuk tetap tenang. Dalam penyelaman, kita harus saling percaya kepada buddy—apalagi untuk DSD. Astina tidak akan berani menyelam jika saya ragu-ragu, demikian pula saya. Jika saya panik dan tidak siap mengatasi rasa grogi Astina di bawah laut, berantakanlah kegiatan menyelam itu.

Sekitar setengah jam di bawah laut, saya memberikan sinyal kepada Astina untuk naik ke permukaan. Kami naik dan saya melihat wajahnya berseri-seri. Sepertinya dia sudah tidak sabar hendak menceritakan pengalaman DSD kepada teman-temannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Discover Scuba Diving” di Yoro appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/discover-scuba-diving-di-yoro/feed/ 0 22213
Bagaimana Rasanya Menggiling Jagung dengan Alat Berusia Puluhan Tahun? https://telusuri.id/batu-putar-wakatobi/ https://telusuri.id/batu-putar-wakatobi/#comments Tue, 14 May 2019 14:06:40 +0000 https://telusuri.id/?p=13903 Siang itu saya dan seorang kawan pergi menghampiri Mamak Tua di Dapur Kejujuran. Tempat itu berlantai papan dan luas tanpa sekat pemisah dapur dan ruang tengah. Karena itulah ia dinamakan Dapur Kejujuran; semua jadi serba...

The post Bagaimana Rasanya Menggiling Jagung dengan Alat Berusia Puluhan Tahun? appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang itu saya dan seorang kawan pergi menghampiri Mamak Tua di Dapur Kejujuran. Tempat itu berlantai papan dan luas tanpa sekat pemisah dapur dan ruang tengah. Karena itulah ia dinamakan Dapur Kejujuran; semua jadi serba ketahuan. Di sana, Mamak Tua dan anak-anaknya sedang membuat penganan tradisional bernama lapa-lapa.

Lapa-lapa sebenarnya tak hanya jamak di Wakatobi, namun juga mudah ditemukan di penjuru Sulawesi Tenggara. Penganan ini terbuat dari beras ketan yang dicampur beras biasa, santan, tepung jagung, serta daun pandan. Nantinya, setelah campuran bahan-bahan itu dimasak, adonan akan dibungkus dengan daun pisang dan janur kelapa lalu dikukus.

Mirip lepat.

batu putar
Mencoba menggiling jagung dengan batu putar/Dewi Rachmanita Syiam

Penasaran, saya pun mencoba membungkus adonan lapa-lapa. Mula-mula saya ambil daun pisang. Kemudian saya letakkan adonan secukupnya pada daun pisang itu. Lalu—ini bagian yang paling menarik—daun pisang itu saya lilit dengan daun kelapa. Ternyata membungkus lapa-lapa menuntut kecermatan. Tantangannya adalah bagaimana agar adonan tidak merembes ke luar pas diikat dengan tali, sementara talinya tetap rapat.

Saya takjub. Namun, ternyata ada hal lain yang mencuri perhatian saya selain proses pembuatan lapa-lapa. Ia berada dekat tiang dapur. Bentuknya berupa dua batu berbentuk lingkaran yang bertumpuk. Keduanya tampak sudah sangat tua, bopeng di sana-sini bak permukaan bulan. Warnanya krem dengan aksen putih bedak. Saya tanya ke Mamak Tua itu apa.

“Itu batu putar,” jawab Mamak Tua.

batu putar
Mekanisme batu penggiling ini hampir sama dengan blender manual/Dewi Rachmanita Syiam

Menggiling jagung dengan alat berusia puluhan tahun

Menurut Mamak Tua, batu itu ia beli dulu sekali. “Riwayat hidupnya” sudah puluhan tahun. Dibelinya pun di Jawa, bukan di Wakatobi. Dengan batu putar dari Jawa itulah Mamak Tua dan keluarganya turun-temurun menggiling jagung.

Mekanismenya tampaknya tak jauh beda dari blender manual. Penasaran, saya coba saja. Saya ambil segenggam butiran jagung lalu saya masukkan ke dalam lubang kecil di batu putar. Kemudian, dengan sebatang kayu yang dipasang vertikal di pinggir batu, saya putar batu itu berlawanan arah dengan jarum jam.

Ternyata berat.

Rasa-rasanya, kalau tiap hari saya menggiling jagung dengan batu putar, saya bakal maklum kalau otot lengan saya jadi besar seperti binaragawati.

batu putar
Mamak Tua mengajarkan cara menggiling jagung/Dewi Rachmanita Syiam

Setelah sekian lama memutar—sampai bulir-bulir keringat bermunculan di pelipis—akhirnya tepung jagung keluar dari celah antara dua batu dan mulai memenuhi tampah. Menggiling dengan batu putar PR juga ternyata. Barangkali ini sebabnya batu putar mulai ditinggalkan dan perannya digantikan alat yang lebih modern.

“Udah nggak ada lagi yang jual sekarang,” ungkap Mamak Tua. Ucapan Mamak Tua itu terngiang-ngiang terus dalam kepala saya, sampai lapa-lapa masak, sampai saya mengucapkan “sampai jumpa” pada Wakatobi.

Setiba di Jakarta, saya masih kepikiran soal nasib batu putar. Saya pun iseng berselancar di dunia maya mencari-cari alat itu. Ternyata di salah satu laman e-commerce ada yang jual batu serupa. Warna dan penadah tepungnya saja yang agak beda. Sang penjual menyebutnya “penggiling tepung.” Tapi, harganya tak main-main: sekitar Rp2.000.000.

Mungkin ini bisa jadi pilihan bagi Mamak Tua seandainya suatu saat batu putar di Dapur Kejujuran tak bisa lagi dioperasikan sehingga mesti dipensiunkan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bagaimana Rasanya Menggiling Jagung dengan Alat Berusia Puluhan Tahun? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/batu-putar-wakatobi/feed/ 1 13903
Menemui “Lummu” di Lepa Mola https://telusuri.id/lumba-lumba-lepa-mola/ https://telusuri.id/lumba-lumba-lepa-mola/#respond Thu, 09 May 2019 11:55:34 +0000 https://telusuri.id/?p=13793 Demi pengalaman baru, pagi-pagi jam 4 saya sudah bangun dan bersiap-siap menuju sebuah dermaga di Lepa Mola, Wakatobi. Tak ada hasrat untuk mandi. Untung semalam sudah; kesegaran masih tersisa di badan. Dalam perjalanan ke dermaga,...

The post Menemui “Lummu” di Lepa Mola appeared first on TelusuRI.

]]>
Demi pengalaman baru, pagi-pagi jam 4 saya sudah bangun dan bersiap-siap menuju sebuah dermaga di Lepa Mola, Wakatobi. Tak ada hasrat untuk mandi. Untung semalam sudah; kesegaran masih tersisa di badan.

Dalam perjalanan ke dermaga, saya berdebar-debar membayangkan petualangan baru yang akan segera saya rasakan. Pagi ini saya akan ke laut untuk melihat kawanan salah satu mamalia tercerdas di dunia, yakni lumba-lumba.

lumba-lumba
Pak Albar yang akan menemani kami menemui lumba-lumba/Widhi Bek

Setiba di dermaga, matahari sudah terbit dan perlahan-lahan meninggi. Namun, perahu yang akan saya tumpangi belum tampak juga. Setelah beberapa saat menunggu, sebuah perahu mendekat. Pak Albar, pemandu saya hari itu, berdiri di haluan. Sebentar kemudian perahu itu sandar di dermaga.

Dengan wetsuit terpasang rapi di badan, saya berjingkat-jingkat menuju perahu. Untuk sampai ke titik di mana mamalia laut itu biasanya mencari tuna, perlu waktu lebih dari setengah jam. Setiba di sana, kami nanti juga tak bisa segera melihat lumba-lumba. Kami mesti menunggu dan mengamati permukaan laut dengan cermat untuk menemukan makhluk yang abadi dalam lagu Bondan Prakoso itu.

lumba-lumba
Matahari terbit di Lepa Mola/Widhi Bek

Saya duduk di perahu sambil mendengar cerita Pak Albar tentang lumba-lumba. Saya mesti memasang telinga lekat-lekat sebab suaranya mesti bersaing dengan deru mesin kapal. Ternyata, masyarakat suku Bajo menyebut lumba-lumba sebagai lummu. Bagi mereka, lummu adalah sahabat.

“Oracle” suku Bajo

Lummu dianggap sahabat karena kemunculan-kemunculannya diyakini sebagai pertanda dari banyak hal, dari mulai rezeki yang melimpah sampai bencana atau mara bahaya. Lumba-lumba bagi suku Bajo layaknya “oracle” bagi orang-orang Yunani zaman baheula.

“Ada lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) yang biasa disebut lummu pakorek atau lummu dayah [yang] dipercaya membawa rezeki karena selalu berada di sekitar ikan,” jelas Pak Albar.

lumba-lumba
Perjalanan menuju lokasi sarapan kawanan “lummu”/Widhi Bek

Selain lummu pakorek, ada dua jenis lumba-lumba lagi yang dipercaya membawa keberuntungan, yakni lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) atau lummu pangkol dan lumba-lumba totol (Stenella attenuata) atau lummu panawang yang biasa berkeliaran di sekitar tuna dan cakalang.

Pak Albar kemudian bercerita tentang jenis lummu yang menjadi tanda malapetaka bagi nelayan, yakni lumba-lumba putih (Sousa chinensis) atau lummu mapota. Kalau melihat lumba-lumba jenis ini, orang Bajo yang sedang melaut mesti segera berbalik haluan menuju daratan: pulang.

Untungnya, sepagi ini tidak ada lummu mapota yang berkeliaran. Eh, tunggu. Jangan-jangan….

Kawanan lummu/Widhi Bek

Saat sedang melamun memikirkan lummu mapota, tiba-tiba saja sekawanan lumba-lumba berloncatan. Meskipun jumlah mereka tak terlalu banyak dan kebanyakan masih kecil, saya senang sekali melihatnya. Lincah sekali lummu-lummu itu sampai-sampai kami kesulitan menebak arah pergerakan mereka. Sejak dulu sebelum manusia membuat mesin penghitung waktu, memang hanya kedalaman lautan yang membatasi gerak mereka.

Menurut Pak Albar, kalau sudah kenyang mereka bakal bermain-main di sekitar perahu. Namun, pagi itu sepertinya mereka masih lapar; selang sebentar mereka berenang menjauh dari kami.

Matahari makin tinggi dan kawanan lummu itu berenang makin jauh. Pengalaman ini dan cerita-cerita soal kearifan lokal Lepa Mola yang saya dapat dari Pak Albar membuat saya tergugah untuk jadi lebih bersahabat dengan lumba-lumba.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menemui “Lummu” di Lepa Mola appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lumba-lumba-lepa-mola/feed/ 0 13793
Belajar Menumbuk Bedak Pupur, Tabir Surya Alami ala Bajo Mola https://telusuri.id/bedak-pupur-bajo-mola/ https://telusuri.id/bedak-pupur-bajo-mola/#respond Wed, 08 May 2019 13:05:29 +0000 https://telusuri.id/?p=13756 Dari jendela-jendela rumah, muka-muka berlapis warna kuning mengintip malu-malu. Di jalan-jalan yang bagaikan sebuah labirin raksasa, orang-orang dengan wajah putih seperti diberi masker tebal berjalan kasual ke sana kemari. Sepenggal paragraf di atas bukan diambil...

The post Belajar Menumbuk Bedak Pupur, Tabir Surya Alami ala Bajo Mola appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari jendela-jendela rumah, muka-muka berlapis warna kuning mengintip malu-malu. Di jalan-jalan yang bagaikan sebuah labirin raksasa, orang-orang dengan wajah putih seperti diberi masker tebal berjalan kasual ke sana kemari.

Sepenggal paragraf di atas bukan diambil dari adegan kartun Spirited Away dan orang-orang berwajah putih dan kuning itu bukan No-Face. Mereka adalah masyarakat Bajo yang sedang menggunakan tabir surya alami bernama bedak pupur.

bedak pupur
Seorang warga Bajo Mola memakai bedak pupur dalam rumah/Widhi Bek

Saya menyaksikan pemandangan itu akhir Maret lalu di Kampung Lepa Mola, permukiman suku Bajo di Pulau Wangi-wangi, Wakatobi. Kampung itu terpaut sekitar 17 km dari Wanci, 26 km dari Bandar Udara Matohara. Ini adalah permukiman suku Bajo terpadat di Indonesia. Hanya saja, sebagian masyarakat Bajo di kampung ini sudah tidak tinggal di laut.

Selama mengulik soal bedak pupur dan budaya suku Bajo di Lepa Mola, saya ditemani seorang pemandu dari community-based tourism (CBT) setempat, Lembaga Pariwisata (Lepa) Mola, yakni Mak Nurul. Ia bercerita bahwa kabilah gipsi laut ini sudah turun-temurun memakai bedak pupur sebagai solusi masalah kecantikan dan kesehatan akibat paparan sinar matahari.

bedak pupur
Para “mamak” yang sudah terbiasa menumbuk bedak pupur/Widhi Bek

Karena sudah menjadi kultur, para penduduk Bajo Mola sama sekali tak risih pergi ke luar rumah dengan bedak pupur di wajah. Namun, pupur tak hanya mereka oleskan di wajah. Bagian-bagian tubuh lain seperti tangan dan leher juga.

Umumnya, bedak pupur yang terbuat dari campuran beras putih dan kunyit atau daun mangkok ini memang dipakai perempuan suku Bajo. Namun, kaum pria juga tidak dibatasi untuk menggunakannya. Sejak bayi sampai tua, bedak pupur menjelma menjadi skin care bagi masyarakat yang memang dekat dengan lautan itu.

bedak-pupur
Bahan-bahan bedak pupur sedang ditumbuk sampai halus/Widhi Bek

Belajar meramu tabir surya ala suku Bajo

“Mula-mula beras putih dibersihkan lalu ditumbuk,” ujar salah seorang mamak yang mengajarkan saya bikin bedak pupur. “Bisa ditambah kunyit atau daun mangkok.”

Kemudian saya diberi tahu bedanya pupur putih dan kuning. Bedak pupur putih terbuat dari beras—bisa ditambah dengan daun mangkok bisa pula tidak—dikhususkan untuk aktivitas di luar rumah. Sementara pupur kuning yang dicampur kunyit diperuntukkan bagi penggunaan dalam rumah.

bedak pupur
Serumpun daun mangkok/Widhi Bek

Ternyata, menumbuk dan meramu bahan bedak pupur bukanlah hal mudah, setidaknya bagi saya. Saya jelas kalah dari para mamak yang sudah terbiasa bekerja dengan penumbuk panjang dan berat itu. Mereka mungkin bisa santai saja berjam-jam menumbuk. Pengalaman dan kebiasaan tentu tak bisa bohong. Saya, belum beberapa menit saja sudah capai dan merasa berada di ambang kegagalan.

bedak pupur
Dua orang mamak sedang menumbuk pupur/Widhi Bek

Setelah bahan-bahan halus saya tumbuk—tentu dengan bantuan para mamak—bedak pupur ternyata tak bisa langsung begitu saja saya gunakan. Ia mesti dibentuk menjadi bulatan-bulatan terus dijemur. Kering, baru bedak pupur itu bisa dipakai. Tentu saja setelah diberi air.

Namun, berhubung perjalanan ini singkat saja, saya tak bisa menunggu lama sampai tabir surya alami itu kering. Saya ambil saja beberapa cuil dari lumpang, campur air, lalu saya oleskan ke wajah. Rasanya? Ada sensasi dingin seperti pakai masker, tak jauh beda rasanya dari pengalaman memakai masker wajah kekinian. Warnanya juga tak jauh beda dari masker kemasan industrial produksi pabrik. Wajar saja; bahan-bahan dasarnya juga sebenarnya sama dengan yang “dijual” produsen masker modern.

Belakangan saya tahu bahwa ternyata bedak pupur dipercaya punya khasiat mengurangi jerawat dan biang keringat. Pantas saja wajah orang-orang Bajo mulus-mulus sekali, padahal terik matahari setiap hari mereka hadapi—apalagi kalau sedang mengarungi lautan dengan perahu.

bedak pupur
Mencoba pupur racikan sendiri/Agung Hari Wijaya

Sebelum pulang, saya beli beberapa butir bedak pupur sebagai oleh-oleh sekaligus cadangan tabir surya untuk di rumah. Harganya? Amboi! Cuma Rp5.000 per bungkus!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Belajar Menumbuk Bedak Pupur, Tabir Surya Alami ala Bajo Mola appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bedak-pupur-bajo-mola/feed/ 0 13756
“Try Scuba” di Wangi-wangi https://telusuri.id/try-scuba-di-wangi-wangi/ https://telusuri.id/try-scuba-di-wangi-wangi/#respond Mon, 06 May 2019 15:55:06 +0000 https://telusuri.id/?p=13718 Suasana pagi buta itu kian mencekam. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Wajahnya pun kian memucat. Tangan makin dingin. Ekspresinya penuh keraguan sesaat sebelum naik mobil menuju dermaga. Dalam pikirannya, ia selalu bertanya-tanya apakah ia...

The post “Try Scuba” di Wangi-wangi appeared first on TelusuRI.

]]>
Suasana pagi buta itu kian mencekam. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Wajahnya pun kian memucat. Tangan makin dingin. Ekspresinya penuh keraguan sesaat sebelum naik mobil menuju dermaga.

wangi-wangi
Dunia bawah laut Wangi-wangi/Widhi Bek

Dalam pikirannya, ia selalu bertanya-tanya apakah ia akan mampu mengatasi masalah kepanikan yang dipunya? Atau terpaksa gagal dan malah semakin bikin repot banyak orang? Pada saat bersamaan, perasaan tak sabar pun juga datang, berpacu dengan kepanikan; sebuah pengalaman langka yang sudah lama ia idam-idamkan akan menjadi nyata dalam hitungan jam saja.

Sekitar pukul 5 pagi, ia mulai meninggalkan penginapan. Dengan si Kijang Hijau ia berangsur-angsur mendekat ke dermaga, ke batas antara lautan dan daratan. Ia menanti kapal yang akan membawanya mencoret daftar bucket list hidup.

Namun, lebih dari enam puluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda kapal akan mendekat. Rasa panik makin menjadi-jadi. Lalu ia sadar, sepagi ini ia sudah melakukan hal konyol. Ia sudah rapi mengenakan wetsuit. Padahal, ini masih di dermaga. Seharusnya wetsuit baru dipakai saat di kapal. Jadilah ia bahan candaan sekaligus keheranan orang-orang. Tapi, mau bagaimana lagi? Namanya saja pertama kali.

Sebuah kapal akhirnya menepi ke dermaga. Seorang lelaki tak terlalu tua melambaikan tangan dari haluan. Namanya Pak Albar, seorang pemandu sekaligus dive master di Bajo Mola, Wangi-wangi, Wakatobi. Pak Albarlah yang akan menjadi buddy sekaligus pengendali nyawanya selama di bawah laut nanti.

Rasa cemas dan tegang semakin mengekang. Momen mendebarkan semakin dekat. Ada apa di bawah laut sana? Apakah menyenangkan? Atau ia terpaksa mesti cepat-cepat naik ke permukaan karena panik yang tak bisa dikendalikannya sendiri?

wangi-wangi
“Sea fan” di taman laut Wangi-wangi/Widhi Bek

Ia naik kapal, lalu berlayar ke tengah laut. Beberapa orang kawannya berbagi ilmu-ilmu baru soal menyelam, disertai candaan. Sebisa mungkin ia mengalihkan rasa panik menjadi antusias dan penasaran tak terhingga. Lumba-lumba yang berloncatan ke sana kemari itu setidaknya sedikit mengurai rasa tegangnya. Pak Albar bercerita kepadanya bahwa kawanan mamalia itu adalah sahabat suku Bajo. Orang-orang laut itu bahkan punya panggilan akrab untuk mereka: lummu. Mereka penanda banyak hal, termasuk musibah dan rezeki.

Sementara kawanan lumba-lumba itu meneruskan perjuangan mencari tuna untuk sarapan, kapal pun menjauh. Bersama kapal, ia meluncur di atas air menuju lokasi penyelaman di perairan Pulau Kapota. Pulau Kapota hanyalah salah satu dari banyak lokasi penyelaman di Wangi-wangi, selain Sombu, Secret Garden, Nua Shark Point, Waha Wall, Waha Cemara, Wandoka Pinnacle, dan Kapota Pinnacle.

Bukannya kapok malah ketagihan

Sebelum turun pertama kali di Wakatobi, ia diajari banyak hal. Ia berusaha mengakrabi teknik-teknik penyelaman dan peralatan yang akan ia gunakan, mulai dari masker, regulator, pemberat, fins, tank, dan lain-lain. Ia sekuat tenaga mencoba memahaminya, meskipun fokus mesti dibagi dengan kepanikan. Terus ia yakinkan diri, sebagaimana kawan-kawannya terus meyakinkannya agar relaks di bawah laut.

wangi-wangi
Menyelam bersama “buddy”/Widhi Bek

Enjoy aja,” kata seorang kawannya.

Ia sudah siap. Ia bergerak ke pinggir kapal untuk duduk; ia akan back roll menuju bawah laut. Agak ribet. Belum lagi tangki yang lumayan berat itu mesti digendong. Tapi ia takkan menyia-nyiakan momen menyelam pertamanya itu.

Byur!

Ia di laut. Pak Albar dan beberapa kawan sudah menunggu. Sempat sulit bernafas dengan mulut, ia minta waktu beberapa saat untuk beradaptasi. Tak berapa lama, ia merasa aman. Kini ia yakin untuk menyelam.

wangi-wangi
Visibilitas brilian/Widhi Bek

Ia pun turun. Pucuk kepalanya melewati ambang air dan udara. Visibilitas brilian. Beberapa meter di bawah permukaan, ia menyelam di antara kumpulan terumbu karang yang beberapa bagiannya sudah memutih.

Bersama Pak Albar ia menelusuri kedalaman lautan. Berenang ia bersama ikan-ikan dan terumbu karang warna-warni. Meskipun beberapa kali ia mesti mengalami sakit telinga akibat equalizing yang belum pas, tak ada panik berarti. Semuanya terkendali. Malah, muncul ketagihan untuk terus menyelam. Kali pertama itu, ia berkeliaran di bawah laut Wakatobi selama sekitar 45 menit.

Di lain kesempatan, ia kembali try scuba di lokasi berbeda, yakni Secret Garden. Kali ini speed boat yang membawanya mesti terombang-ambing di tengah lautan sebab mesin mendadak bermasalah. Namun ia coba tenang. Ia alihkan pikirannya pada keindahan bawah laut yang akan segera kembali ia saksikan.

wangi-wangi
Membiasakan diri untuk “equalizing”/Widhi Bek

Ia bersiap. Dengan wetsuit yang kali ini sudah dikenakan secara tepat dan peralatan yang sudah lebih ia pahami cara pemakaiannya, kembali ia back roll memasuki laut dengan buddy yang berbeda. Ia sempat bingung, kok buddy tak lekas membawanya ke dalam laut? Ia makin heran saat ia malah dipandu kawan lain. Ternyata, sang buddy panik dan terpaksa harus naik ke perahu lebih dulu. Alhasil, pergantian buddy terjadi. Ia menyelam bersama rekan yang lain.

Kondisi bawah laut Secret Garden menurutnya lebih menarik dan bersih dibanding Pulau Kapota. Terumbu karang lebih warna-warni. Berbagai biota laut terlihat jelas. Ada lobster, clownfish, anemone, dan lainnya. Arus terasa lebih kencang. Namun, ia lebih mampu mengontrol diri. Ia tidak melakukan banyak gerakan tak perlu seperti pada penyelaman sebelumnya.

Kala di bawah laut dan menelusuri keindahannya, beberapa kali ia sempat merasa agak pusing. Rasanya seperti ingin pingsan, walaupun sebenarnya ia belum punya pengalaman kehilangan kesadaran.

Pernah juga ia tanpa sadar bernapas lewat hidung—dan rasanya, entah kenapa, seperti menghirup air. Begitu kembali ke permukaan, saat membuka masker ia melihat darah segar. Ia diberi tahun kawannya kalau ia mimisan, yang lumrah terjadi saat seseorang belum menguasai teknik equalizing.

Tapi—wow!—semuanya mengesankan: pengalaman ke Wakatobi pertama kali, menyelam pertama kali, mimisan pertama kali seumur-umur! Ia—kau perlu tahu—adalah saya yang kini semakin menggebu-gebu ingin mengambil lisensi selam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Try Scuba” di Wangi-wangi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/try-scuba-di-wangi-wangi/feed/ 0 13718
Bertandang ke Darawa, Desa Penghasil Rumput Laut di Kaledupa https://telusuri.id/rumput-laut-desa-darawa/ https://telusuri.id/rumput-laut-desa-darawa/#respond Tue, 30 Apr 2019 16:00:56 +0000 https://telusuri.id/?p=13551 Speed boat yang saya tumpangi berjalan pelan mencari celah untuk menepi. Di antara rumah-rumah tancap dengan rumput laut yang menggantung, akhirnya perahu berlabel WWF itu bersandar. Saya segera turun, menapaki platform kayu Darawa, sebuah desa...

The post Bertandang ke Darawa, Desa Penghasil Rumput Laut di Kaledupa appeared first on TelusuRI.

]]>
Speed boat yang saya tumpangi berjalan pelan mencari celah untuk menepi. Di antara rumah-rumah tancap dengan rumput laut yang menggantung, akhirnya perahu berlabel WWF itu bersandar. Saya segera turun, menapaki platform kayu Darawa, sebuah desa di Pulau Kaledupa, Wakatobi, yang belakangan dijuluki “Mini Raja Ampat.”

Akhir Maret sampai awal April lalu saya melakukan perjalanan ke Wakatobi yang masuk dalam kawasan taman nasional. Selama 15 hari saya bertandang ke empat pulau besar, termasuk Kaledupa. Berbeda dari pulau-pulau lain yang saya inapi selama beberapa hari, Kaledupa, kali ini, hanya saya hampiri selama beberapa jam.

desa darawa
Membawa pulang hasil panen/Widhi Bek

Saya segera mendatangi kerumunan orang di bawah kolong rumah panggung. Di sana sudah ada beberapa orang dari Balai Taman Nasional Wakatobi, WWF, dan perangkat desa. Saya ikut nimbrung untuk mencari tahu soal Darawa. Yang jadi fokus saya tentu rumput laut.

Karmaudin, salah seorang anggota Darawa, sebuah kelompok petani rumput laut, jadi teman mengobrol saya hari itu.

rumput laut
Pemandangan lazim di Desa Darawa/Widhi Bek

Dari perawakannya, Karmaudin tampak belum terlalu tua dibanding orang-orang lain yang saya temui di Kaledupa. Ia cerita banyak tentang desanya. Ia tampak antusias saat saya berkata bahwa saya ingin tahu banyak soal Darawa. Dengan bersemangat ia mengajak saya tur singkat melihat budidaya rumput laut di desanya.

Rumput laut kekuningan bergantung di depan rumah warga sepanjang jalan. Beberapa berwarna hijau, namun ada pula yang keunguan. Salah satu hal yang bikin warna jadi berbeda adalah air hujan. Namun, ini takkan berpengaruh dalam penentuan harga akhir saat akan dipasarkan nanti.

rumput laut
Karmaudin/Widhi Bek

Tak hanya digantung di palang bambu, rumput laut juga dihamparkan begitu saja di jalan. Tentu saja diberi alas, yakni karung. Karena itu saya mesti hati-hati saat berjalan, takut tidak sengaja menginjak rumput laut yang sedang dijemur itu. Namun, Karmaudin dan beberapa warga lain yang berpapasan dengan saya kala itu tampak santai saja menginjak, seakan-akan tak ada kekhawatiran bahwa benda yang sedang dijemur itu akan kotor dan kualitasnya akan menurun. Belakangan saya tahu bahwa sebelum diolah lebih lanjut rumput laut akan dicuci bersih terlebih dahulu.

Lebih dalam menelusuri Darawa, saya bisa melihat bahwa di mana-mana ada rumput laut. Di sebuah kolong rumah panggung, beberapa ibu sedang mengurus rumput laut yang baru dipanen. Warnanya hijau, masih begitu basah, dan terkait pada tali biru panjang. Botol-botol plastik sebagai pelampung pun masih bertengger di medium. Saya mendekat lalu menyentuhnya. Kenyal dan basah.

rumput laut
Menjemur hasil panen di jalan desa/Widhi Bek

“Ini nanti dipisah. Ada yang dijemur, ada yang dipotong jadi bibit,” kata Karmaudin.

Tak semua hasil panen langsung dijemur dan dijual. Beberapa bagian dipotong untuk dijadikan bibit baru. Selain itu, rumput laut juga mesti diperiksa apakah terkena penyakit atau tidak. Kata Karmaudin, kalau terkena penyakit, warnanya akan berubah.

desa darawa
Beberapa perahu sedang sandar dekat tempat pengeringan rumput laut/Widhi Bek

Di samping rumah panggung seorang pria bertelanjang dada sedang menginjak-injak karung besar berisi rumput laut kering. Karung dikaitkan agar posisinya tetap stabil. Sambil memegang besi pengait, ia bergerak ke sana kemari menginjak rumput laut yang siap dijual ke daerah lain, seperti Baubau dan Makassar, lewat pengepul.

Usai mengintip aktivitas pemanenan dan pengemasan, saya kembali berjalan menelusuri Desa Darawa. Saya lalu tiba di di sekretariat Darawa. Dari kantor yang tiang-tiangnya menancap ke laut ini, rumput laut menggantung bak gorden. Samar-samar, dari sana saya bisa melihat botol-botol plastik yang mengapung di laut. Itulah lokasi budidaya. Jumlahnya banyak sehingga secara sekilas tampak seperti kumpulan sampah yang mengambang.

rumput laut
Proses pemisahan/Widhi Bek

Melihat begitu semaraknya usaha budidaya rumput laut di Desa Darawa, saya tak menyangka bahwa ini adalah budaya baru. “Awal budidaya rumput laut dari ayah saya. Dia beli bibit dari pulau seberang,” kata Karmaudin.

Dahulunya, masyarakat Desa Darawa menggantungkan hidup dengan cara mencari ikan, sebagaimana umumnya masyarakat Wakatobi. Namun, akhirnya mereka mencoba-coba untuk membudidayakan rumput laut. Di masa-masa awal itu hanya satu dua orang di Darawa mencoba dan hanya satu jenis bibit yang ditanam.

rumput laut
Suasana Desa Darawa/Widhi Bek

Singkat cerita, “percobaan” itu berhasil. Pelan-pelan, mereka berubah dari komunitas nelayan ke komunitas pembudidaya rumput laut, meskipun mereka masih menangkap ikan untuk konsumsi pribadi.

Sekarang, sekitar 90 persen penduduk Desa Darawa jadi pembudidaya. Dari yang tadinya satu, sekarang yang ditanam ada tiga macam. Uniknya, menurut Karmaudin, masyarakat Darawa cenderung mempelajari cara budidaya secara mandiri. Makanya, terkadang pelatihan-pelatihan yang diberikan oleh instansi-instansi terkait sebenarnya hanya menyajikan materi yang ternyata sudah dipraktikkan oleh orang-orang Darawa.

rumput laut
Dimasukkan ke karung sebelum dikirim ke Baubau dan Makassar/Widhi Bek

Kaum perempuan pun ikut ambil bagian dalam budaya baru ini. Mereka mencoba mengolah rumput laut menjadi makanan-makanan seperti dodol dan keripik. Sebenarnya saya penasaran sekali melihat produk-produk itu. Namun, sayang sekali, waktu itu sedang ada kenduri dan ibu-ibu yang mengolah sedang sibuk membantu empunya hajat. Kelompok Darawa pun tak punya stok.

Bagi Karmaudin, soal pengolahan memang masih jadi pekerjaan rumah. Keterbatasan wawasan dan akses informasi membuat usaha warga Darawa untuk mengolah rumput laut belum maksimal. Jika orang-orang Darawa sudah sukses mengolah rumput laut menjadi aneka panganan, tentu nama Desa Darawa akan lebih tenar. Dan, kehidupan masyarakat setempat tentu juga akan bergantung makin erat pada rumput laut-rumput laut yang menggantung pasrah di penjuru desa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bertandang ke Darawa, Desa Penghasil Rumput Laut di Kaledupa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rumput-laut-desa-darawa/feed/ 0 13551
Merekam Tari Hesurabi di Pantai Wambuliga Wakatobi https://telusuri.id/merekam-tari-hesurabi-di-pantai-wambuliga/ https://telusuri.id/merekam-tari-hesurabi-di-pantai-wambuliga/#comments Sat, 27 Apr 2019 12:20:30 +0000 https://telusuri.id/?p=13516 Matahari kian meninggi di Pantai Wambuliga. Para perempuan dan laki-laki muda itu tengah bersiap diri. Mereka sibuk bercermin memastikan diri tampil maksimal dengan riasan wajah menawan. Kostum-kostum bernuansa kuning keemasan dan hitam tampak menyala, kontras...

The post Merekam Tari Hesurabi di Pantai Wambuliga Wakatobi appeared first on TelusuRI.

]]>

Matahari kian meninggi di Pantai Wambuliga. Para perempuan dan laki-laki muda itu tengah bersiap diri. Mereka sibuk bercermin memastikan diri tampil maksimal dengan riasan wajah menawan. Kostum-kostum bernuansa kuning keemasan dan hitam tampak menyala, kontras sekali dengan latar langit biru di angkasa.

Penabuh gendang dan pemetik gambus serta pengetuk gamelan pun juga tak kalah sibuk. Tung! Tung! Tung! Bunyi gamelan sedang dicoba terdengar dan menjadi pengusik diri yang makin penasaran.

Mereka adalah anggota Sanggar Natural yang sedang bersiap untuk menampilkan tari Hesurabi, tari yang menggambarkan tradisi masyarakat Wakatobi dalam kegiatan menyuluh di pasir atau karang. Ini adalah pertunjukan yang tak biasa bagi mereka. Jika biasanya mereka tampil untuk menyambut tokoh masyarakat atau menyemarakkan acara-acara khusus lainnya, sekarang mereka akan tampil untuk kamera.

tari hesurabi
Tiga orang penari membawa keranjang untuk menyimpan tangkapan/Widhi Bek

Pentas mereka siang ini adalah semacam panggung berlantai blok-blok batuan di pinggir dermaga.

“Satu, dua, tiga….” La Arus, sang koreografer tari Hesurabi, bertepuk tangan memberi ketukan bagi para penari yang sedang geladi bersih. Menurut Filma, Ketua Sanggar Natural yang hari itu mendampingi para anggotanya menari, La Arus sudah senior dan jam terbangnya memang tinggi soal urusan menari.

Mendengar pejelasan selanjutnya dari Filma, soal bagaimana perspektif masyarakat dahulu soal laki-laki yang menari, sosok La Arus menjadi tampak luar biasa di mata saya. “Dulu orang pandang sebelah mata (penari laki-laki). Dibilang benconglah atau apa,” ujar Filma. Namun sekarang pandangan masyarakat sudah sudah berubah. Mereka sudah lebih bisa menerima penari laki-laki.

Satu, dua, sampai tiga kali para penari mengulangi Hesurabi di tengah udara yang kian panas. Matahari makin tinggi, sementara hanya sebagian saja dari panggung yang terlindungi bayang-bayang. Namun, meskipun mereka harus berbagi fokus antara menari dan menahan panas, mereka konsisten meliuk-liuk dengan presisi.

tari hesurabi
Para penari laki-laki memegang obor/Widhi Bek

Akhirnya, dengan wajah berkeringat, para penari memberi tahu bahwa mereka sudah siap. Camera. Roll. Action!

Mula-mula para penari berbaris di pinggir panggung. Para laki-laki masuk terlebih dahulu untuk memantau kondisi laut dan langit. Mereka lalu memanggil para perempuan, menggoda mereka, lalu mengabarkan bahwa air laut sudah surut dan bulan purnama telah tiba.

Para perempuan lalu melenggak-lenggok datang. Lantas, berpasang-pasangan mereka menari, menggambarkan kegembiraan menyuluh di pasir menggunakan alat sederhana seperti obor.

tari-hesurabi
Para penari tetap bersemangat meskipun panas menyengat/Widhi Bek

“Dalam cerita juga ada bagian soal ompo, wadah untuk budidaya sebagian hasil tangkapan,” jelas Filma saat kami mengobrol di pinggir pantai.

Hasil menyuluh, sebagaimana diceritakan dalam tarian, tidak habis sekadar untuk dikonsumsi sendiri atau dijual, namun juga dibudidayakan sebagai tabungan untuk masa depan. Bagi masyarakat setempat, ini memang sudah jadi kebiasaan yang turun-temurun.

Para penari makin meringis menahan panas. Telapak kaki mereka mulai terbakar. Beberapa di antara mereka bahkan sampai minta izin untuk menggunakan sandal. Saya dan kawan-kawan pun segera menciduk air dengan wadah seadanya—sampah-sampah pantai—lalu menyiramkannya ke “panggung” agar panas sedikit berkurang.

Namun para penari Sanggar Natural toh tetap bersemangat mengabadikan kekayaan budaya Wakatobi itu. Untuk mempersiapkan pertunjukan hari ini saja, agar bisa tampil ciamik depan kamera, mereka rela latihan serius selama beberapa hari. Mereka bagi saya bukan sekadar penampil, namun juga para penjaga budaya dan tradisi.

tari hesurabi
Laki-laki dan perempuan menari beriringan/Widhi Bek

Filma, yang sekarang sudah berusia 60 tahun, sejak beberapa tahun belakangan makin serius mengabdikan diri untuk menjaga kelestarian budaya Wakatobi lewat tari. Perempuan yang sedari remaja menekuni tari ini sudah menciptakan tak kurang dari sepuluh tari kreasi, yang gerakan-gerakannya tak jauh-jauh dari keseharian orang Wakatobi, sembari, tentu saja, tetap menurunkan berbagai tarian tradisional kepada para penerusnya.

“Kadang saya malam terpikir suatu kegiatan masyarakat lalu membayangkan gerakannya. Esoknya (saya) praktikkan dan gerakannya dibikin (menjadi) lebih cantik, lalu (saya) panggil anak-anak (anggota) untuk diskusi dan bikin tarian bersama,” ujar Filma sambil memeragakan beberapa kegiatan yang “dipercantik” tersebut.

Sayangnya, persoalan regenerasi masih jadi pekerjaan rumah bagi Filma. Umumnya para penari akan aktif berkegiatan sejak mereka remaja sampai kuliah. Namun, setelah tamat kuliah, bekerja, dan menikah, fokus mereka pun berubah. Tentu akan sangat melelahkan jika terus menerus harus mencari calon penari baru yang kelincahannya belum teruji untuk mementaskan tarian-tarian yang juga baru.

Melihat anak-anak didiknya yang siang itu berjuang menahan panas demi mengabadikan tari Hesurabi, ia memang merasa iba. Namun ia juga paham bahwa ini akan jadi pengalaman tersendiri buat pemuda-pemudi yang sedang belajar itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merekam Tari Hesurabi di Pantai Wambuliga Wakatobi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merekam-tari-hesurabi-di-pantai-wambuliga/feed/ 1 13516
Bintang, “Kompas” Kosmik, dan Mitos tentang Kawin Lari https://telusuri.id/bintang-dan-mitos-kawin-lari-orang-bajo/ https://telusuri.id/bintang-dan-mitos-kawin-lari-orang-bajo/#comments Wed, 24 Apr 2019 00:00:54 +0000 https://telusuri.id/?p=13466 Saya duduk di dermaga pada malam gelap. Permukaannya berupa kayu yang kini sudah dilapisi karpet biru dari satu ujung ke ujung lain. Hanya ada sedikit terang dari taburan bintang dan sinar bulan di angkasa. Kesunyian...

The post Bintang, “Kompas” Kosmik, dan Mitos tentang Kawin Lari appeared first on TelusuRI.

]]>
Saya duduk di dermaga pada malam gelap. Permukaannya berupa kayu yang kini sudah dilapisi karpet biru dari satu ujung ke ujung lain. Hanya ada sedikit terang dari taburan bintang dan sinar bulan di angkasa. Kesunyian sedikit terpecahkan oleh deburan ombak yang terus merangsek ke tepian.

Malam itu di Mola saya akan mendengar cerita bintang dari suku Bajo, pengembara laut Wakatobi yang hidupnya bergantung pada bintang dan benda-benda angkasa lain, entah untuk menentukan arah mata angin, tinggi atau rendahnya gelombang laut, memperkirakan cuaca, bahkan untuk menebak jumlah hasil tangkapan ikan.

Saya ditemani Ibu Ati, sang pemandu pengganti, yang malam itu tampak gugup. Sepenuturannya, ia tak terbiasa bercerita seorang diri. Suaminya, yang ia nilai lebih lihai bercerita, malam itu memilih melaut. Rekan-rekannya yang lain juga entah ke mana. Alhasil, Ibu Ati “solo karier” menjelaskan tentang benda-benda angkasa kepada saya dan kawan-kawan.

Gugup membuat bicaranya kadang berulang. Meski begitu, saya siap mendengar dengan saksama segala yang diceritakan Ibu Ati.

orang bajo
Gugusan bintang di langit Mola/Widhi Bek

Ia bergegas bercerita. Katanya: takut bintang yang bakal dijelaskan keburu hilang ditelan malam.

“Coba saya tanya barat di mana?” kata Ibu Ati membuka cerita malam itu, setelah ia memperkenalkan diri.

Saya yang buta arah mata angin hanya diam. Biar rekan-rekan saya yang menjawab. Setelah pertanyaan soal mata angin itu cerita pun bergulir. Laser lalu ia sorot ke langit, menunjuk gugusan bintang. Itu Pupuru, gugusan bintang yang dalam ilmu astronomi disebut Pleiades. Kemunculannya bulan November selepas matahari tenggelam jadi tanda arah timur laut. Mengikuti arah Pupuru, kita bakal menuju Pulau Buru, Ambon, dan Maluku.

Benda langit, “kompas” alam “plus-plus” bagi orang Bajo

Di kesempatan lain, Ibu Ati kembali menyorotkan laser ke sebuah gugusan bintang yang disebut Lalayah. Dalam ilmu astronomi, Lalayah dikenal sebagai Crux atau Southern Cross (Salib Selatan). Kehadirannya menjadi tanda arah selatan. Semula saya kesulitan mencari pola mana yang sebenarnya ditunjuk. Rasanya, semua sama saja, tak ada pola khusus. Setelah beberapa menit, barulah saya bisa “melihat” Lalayah. Sepertinya saya memang mesti banyak belajar soal astronomi.

Tapi malam itu tak ada waktu untuk matrikulasi. Semakin dalam Ibu Ati bercerita, semakin banyak pula nama (gugusan) bintang yang disebutkan. Semakin banyak nama bintang yang disebutkan, semakin saya sadar betapa “tangkasnya” saya dalam astronomi.

Kemudian, dari cerita Ibu Ati, saya jadi tahu bahwa ternyata, bagi orang Bajo, bintang bukan sekadar penanda arah. Bintang jatuh atau meteor dipercaya jadi tanda rezeki. Konon, di sekitar perkiraan lokasi jatuhnya “bintang” itu, banyak ikan bakal berkerumun. Maka, begitu melihat meteor menukik, orang Bajo akan segera mendekat ke lokasi.

orang bajo
Peta bintang jadi peraga dalam cerita bintang/Widhi Bek

Benda langit yang “dibaca” orang orang Bajo tak hanya bintang. Mereka juga mengamati bulan. Jika bagi kita bulan hanyalah sekadar penerang malam, bagi orang Bajo bulan adalah tanda. Pasang-surut air laut bisa dibaca dari posisi dan fase bulan, begitu juga (perkiraan) hasil tangkapan dan—konsekuensinya—harga ikan di pasaran.

Dalam komunitas Bajo, terlebih di kalangan nelayan, kemampuan membaca benda-benda langit memang diwariskan turun-temurun. Benda langit menjadi “kompas” alam plus-plus di tengah laut. Akurasinya pun sudah dibuktikan oleh kajian-kajian ilmu astronomi—setidaknya menurut penuturan Ibu Ati.

Lalu, Ibu Ati menyodorkan saya peta bintang. Sayang sekali; bahkan sehabis dikasih peta bintang saja saya masih kebingungan!

Mitos lokal soal kawin lari yang dipicu oleh posisi benda langit

Meski dingin makin merasuk ke tubuh dan saya makin kebingungan membaca bintang, saya tetap bertahan mendengar cerita Ibu Ati. Semakin malam ceritanya malah semakin seru. Puncaknya adalah saat ia menyinggung soal mitos lokal. Setidaknya ada dua mitos yang dipercaya suku Bajo soal benda langit.

orang bajo
Bu Ati yang malam itu bercerita tentang benda-benda langit/Widhi Bek

Pertama adalah mitos soal Mbok Garagase. Cerita soal Mbok Garagase sebenarnya sudah saya dapat dari para pemuda setempat yang memandu saya keliling Kampung Bajo Mola. Kata mereka, kisah itu secara turun-temurun diceritakan orangtua ke anak-anak supaya mereka lekas tidur. Singkatnya, Mbok (Nenek) Garagase atau Nini Anteh ini membuat jala di bulan dan digunakan buat menjaring anak-anak yang ribut pada malam hari.

Mitos kedua adalah soal hubungan antara posisi benda-benda langit dan kawin lari. Kemunculan bintang dan bulan—aslinya planet—yang letaknya berhimpitan menandakan keesokan harinya bakal terjadi kawin lari. Percaya atau tidak, menurut Ibu Ati mitos ini selalu tepat.

“Jadi kalau malam kita lihat bulan dan bintang berdekatan, wah kita sudah ramai dan bertanya-tanya [apakah] besok ada yang kawin lari,” cerita Ibu Atik sambil tertawa.

Tawanya malu-malu saat bercerita soal kawin lari. Saya lalu memancingnya untuk bertutur lebih banyak soal kawin lari.

“Memang banyak di sini yang kawin lari?” tanya saya penasaran.

Jawaban Ibu Ati cukup mencengangkan. Mayoritas anak muda Bajo Mola memang kawin lari. Mereka melakukannya untuk menyiasati mahar yang terlalu mahal dan menghindari seks di luar nikah. Malam saya di Mola itu pun ditutup dengan rasa penasaran soal kawin lari. Apakah di pulau-pulau lain di Wakatobi kawin lari juga bukan suatu hal yang aneh?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bintang, “Kompas” Kosmik, dan Mitos tentang Kawin Lari appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bintang-dan-mitos-kawin-lari-orang-bajo/feed/ 2 13466
Perjalananku dari Laut Binongko Menuju Tanah Jawa https://telusuri.id/perjalananku-dari-laut-binongko-menuju-tanah-jawa/ https://telusuri.id/perjalananku-dari-laut-binongko-menuju-tanah-jawa/#comments Thu, 18 Apr 2019 16:36:20 +0000 https://telusuri.id/?p=13331 Aku berenang di laut lepas yang biru gelap. Di antara luasnya lautan, aku tertarik pada sebuah benda yang mengapung dan terombang-ambing gelombang. Nelayan Binongko menyebutnya rumpon. Ia memang memikat, goyangannya juga aduhai ke sana kemari,...

The post Perjalananku dari Laut Binongko Menuju Tanah Jawa appeared first on TelusuRI.

]]>
Aku berenang di laut lepas yang biru gelap. Di antara luasnya lautan, aku tertarik pada sebuah benda yang mengapung dan terombang-ambing gelombang. Nelayan Binongko menyebutnya rumpon. Ia memang memikat, goyangannya juga aduhai ke sana kemari, terutama saat musim timur tiba. Aku jadi sering bermain dalam radius sekitar tiga puluh meter darinya.

Sekitar tengah hari, entah mengapa sebuah kapal nelayan datang mendekat. Oh, seseorang dari daratan Desa Jaya Makmur. Mesin kapalnya yang berisik sedikit mengganggu. Belum lagi ia terus berputar di tempat favoritku, sekitar rumpon. Padahal, biasanya kapal-kapal akan datang pagi atau sore hari. Ini kok siang bolong?

binongko
La Asanudin di tengah laut dengan jebakan senar kailnya/Agung Hari Wijaya

Aku tak peduli. Aku terus menjelajahi perairan sekitar rumpon, sampai untaian senar dengan banyak kail tenggelam dan hadir di sekitarku. Aku penasaran. Aku dekati. Lalu aku terkail dan tak bisa bebas lagi berenang menyusuri laut.

Nelayan yang akhirnya kuketahui namanya itu—La Asanudin—menarik senar dan diriku. Setelah melilitkan senar ke kakinya, ia mulai menarikku sekenanya dari kail terus melempar kembali senar ke lautan.

binongko
La Asanudin menyatukanku dan kawananku dengan seutas tali bambu/Agung Hari Wijaya

Ia lalu membawaku menjelajahi lautan di atas perahunya yang berisik. Selama perjalanan aku dibiarkan terpanggang di bawah teriknya matahari. Aku pun dipaksa berhimpitan dengan kawananku, disatukan oleh seutas tali bambu. Aku dan kawan-kawan pasrah. Sebenarnya kami ini mau dibawa ke mana?

binongko
Di daratan aku berpindah tangan/Widhi Bek
binongko
Aku dan teman-temanku dibawa entah ke mana/Widhi Bek

Tiba-tiba saja aku sudah sampai di daratan. Pasir putih—yang mungkin dibilang indah oleh orang-orang—jadi pemandangan baruku. Sebarisan ibu-ibu juga sudah menunggu. La Asanudin membawaku ke luar kapal lalu menyerahkanku begitu saja pada salah seorang di antara mereka. Aku dibawa pergi semakin jauh dari lautan menuju antah berantah yang tentu aku tak tahu. Belakangan, aku tahu ternyata aku dibawa ke rumah mereka.

binongko
Aku “diproses” ibu-ibu/Widhi Bek

Sesampai di rumah, aku lantas ditampung dalam sebuah baskom. Air mengucur ke sekujur tubuhku. Isi perutku dibersihkan. Aku mulai dimutilasi. Beberapa bagian tubuhku sudah tak saling menyatu. Kini aku semakin kecil, bahkan menjadi suwiran. Daging hitamku dibuang begitu saja. Hanya tersisa daging putihku yang lagi-lagi entah akan diapakan. Nasibku ini makin tidak jelas, dipindah dari satu baskom ke baskom lain. Santan dan berbagai bumbu pun secara mengejutkan menyatu denganku. Aku makin tak bisa mendefinisikan diri. Yang kutahu, aku semakin kering karena api kompor berjam-jam membakarku. Mereka menyangraiku!

binongko
Aku pun jadi semakin halus/Agung Hari Wijaya

Makin-makin saat aku malah sengaja dijemur di bawah paparan sinar matahari. Sehari semalam aku dibiarkan tergeletak di luar rumah, hingga akhirnya, keesokan hari, aku sudah berada dalam kemasan plastik berlabel “Abon Ikan SPKP Benteng Wacu Awa.” Cap halal tak lupa terpampang dalam kemasanku. Beratku menyusut menjadi 100 gram. Begitu pengap rasanya berada dalam kemasan plastik ini. Kedap angin. Aku makin terkungkung tak tahu harus melakukan perjalanan ke mana lagi.

Samar-samar aku jadi tahu sekarang aku sedang dikemas dalam kardus. Aku mesti ikut kembali berlayar—lagi-lagi aku tak tahu tujuannya ke mana. Lalu, secara tidak terduga, aku sudah berada di Tanah Jawa, di atas sebuah piring. Nasi panas yang mengepul pun kini jadi teman baruku.

binongko
Dua orang ibu sedang menyangraiku/Agung Hari Wijaya

Aku bingung kok aku bisa di Jawa?

Curi-curi dengar dari para manusia kelaparan di meja makan, mereka mengetahuiku—yang sudah menjadi abon—lewat situs jejaring sosial Facebook. Susi, salah seorang pemudi Binongko, adalah manusia yang mengabarkan tentang kelezatanku. Katanya aku gurih dan menjadi “teman” yang tepat saat bersantap. Ditambah cerita-cerita lain—soal bagaimana aku ditangkap secara tradisional dan upaya konservasi yang dilakukan oleh manusia di sana—orang-orang di Jawa jadi tak ragu-ragu mengontak Susi hanya untuk merasakanku.

binongko
Akhirnya aku dimasukkan dalam kemasan plastik/Widhi Bek

Tapi, yang mereka tak tahu adalah Susi sendiri sebenarnya kesulitan mengakses Facebook lantaran koneksi internet yang belum seberapa bagus di Binongko. Selama ini pun ia hanya memberitakan abon ikan lewat akun pribadi, bukan fan page. Katanya sih ia juga butuh pelatihan soal pemasaran lewat internet. Wah, kalau memang Susi dan masyarakat Binongko lain sudah dapat akses internet yang baik, bukan nggak mungkin teman-temanku di tanah Jawa makin banyak. Aku, si ikan—yang jadi abon—dari Binongko, bakal kian eksis dan jadi primadona.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.


The post Perjalananku dari Laut Binongko Menuju Tanah Jawa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/perjalananku-dari-laut-binongko-menuju-tanah-jawa/feed/ 1 13331