walking tour Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/walking-tour/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 12:26:32 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 walking tour Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/walking-tour/ 32 32 135956295 Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang https://telusuri.id/menyingkap-luka-lama-di-kawasan-jalan-ijen-kota-malang/ https://telusuri.id/menyingkap-luka-lama-di-kawasan-jalan-ijen-kota-malang/#comments Wed, 25 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47532 Hari Minggu pagi, saya putuskan untuk belajar sejarah tentang Kota Malang bersama History Fun Walk. Kami diajak lebih mengenali kota yang banyak menyimpan sejarah masa kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang.  Selama ini, setiap melewati kawasan...

The post Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari Minggu pagi, saya putuskan untuk belajar sejarah tentang Kota Malang bersama History Fun Walk. Kami diajak lebih mengenali kota yang banyak menyimpan sejarah masa kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang. 

Selama ini, setiap melewati kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya, saya selalu dibuat kagum dengan rumah-rumah megah bergaya arsitektur Belanda. Ternyata setiap bangunan dan wilayah memiliki sejarah yang mungkin saja tak banyak orang tahu.

Selama hampir tiga jam saya diajak berkeliling di sekitar Bouwplan VII Malang. Perjalanan kami diawali dari Simpang Balapan, Ijen Boulevard, Jalan Dempo, Jalan Tanggamus, berlanjut ke arah Jalan Cerme, dan berakhir di titik awal, yakni Jalan Pucuk. Sepanjang tiga kilometer perjalanan, banyak cerita yang saya dapatkan dari Mas Han dan Mas Yehezkiel, sang pemandu. Dari perjalanan tersebut, saya baru mengetahui bahwa ada kisah kelam yang dikenal dengan masa interniran.

  • Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang
  • Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang

Dari Arena Pacuan Kuda sampai Hamid Rusdi

Sebelum menceritakan interniran, saya akan membagikan cerita yang saya dapatkan. Pertama tentang Simpang Balapan, yang sempat saya kira namanya demikian karena sering dijadikan sebagai sirkuit balap liar. Rupanya anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar.

Pada tahun 1920, area yang kini menjadi Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kemenkes Malang, masih berupa lahan tebu. Kemudian sekitar bulan Mei 1920 dibangunlah sebuah arena pacuan kuda. Akses jalan dari pacuan kuda tersebut langsung menghadap ke timur sehingga dijuluki Simpang Balapan. Salah satu keunikan dari pacuan kuda tersebut ialah latar pemandangannya yang sangat indah, yakni Gunung Arjuno. Bahkan sekitar tahun 1938 area pacuan kuda itu dijadikan lokasi jambore internasional dari organisasi kepanduan sedunia.

Tepat di seberang Simpang Balapan, terdapat sebuah patung pria yang berdiri gagah bernama Hamid Rusdi. Ia merupakan pahlawan asli dari Pagak, Malang sekaligus pencetus bahasa walikan yang identik dengan Kera Ngalam (Arek Malang), digunakan untuk mengecoh musuh.

Pada masa pendudukan Jepang, Hamid Rusdi bergabung sebagai Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Setelah PETA dibubarkan, banyak anggota yang bergabung pada Badan Keamanan Rakyat (BKR) termasuk Hamid Rusdi. Pada peralihan masa bersiap itulah banyak terjadi spionase dari para sekutu. Guna menjaga kerahasiaan, informasi disampaikan menggunakan bahasa walikan sehingga hanya orang tertentu yang memahaminya. Bahkan beberapa anak buah pun tidak mengetahui artinya.

Singkat cerita, pada 8 Maret 1949, tepatnya saat Agresi Militer Belanda II, Hamid Rusdi gugur di daerah Cemorokandang. Ia dimakamkan di daerah Buring, lalu tahun 1970-an makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan. Untuk mengenang jasa Arek Malang itu, dibangunlah monumen Hamid Rusdi yang berada di Simpang Balapan, tepat di depan Poltekkes Malang.

Kiri: Pemandu menjelaskan tentang arena pacuan kuda yang dulu ada di depan Jalan Simpang Balapan/Lutfia Indah M. Kanan: Dokumentasi pacuan kuda yang populer semasa kolonialisme Belanda/SIKN Kota Malang.

Jalan Ijen dan Rumah-rumah Mewah Orang Belanda

Simpang Balapan bersandingan dengan Jalan Ijen yang dikenal teduh, memiliki tata ruang yang cantik dengan jajaran rumah khas Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Jalan Ijen menjadi kawasan yang populer dan masuk dalam ajang bergengsi tata kota terbaik di Paris, sekitar 1930-an.

Kawasan tersebut didesain oleh arsitek Belanda bernama Thomas Karsten yang juga mendesain daerah Bandung dan Semarang bagian atas. Pernak-pernik yang sampai sekarang masih eksis, seperti pohon palem, rumah beserta taman kecil, trotoar, jalan raya dengan diisi boulevard di tengahnya, merupakan konsep yang sudah dicanangkan sejak zaman Belanda. 

Jalan Ijen diambil dari nama gunung yang ada di Indonesia. Penamaan ini merupakan bagian dari konsep Bouwplan VII yang menggunakan nama-nama gunung sebagai salah satu temanya. Nama-nama jalan bertema gunung lainnya adalah Jalan Kawi dan Jalan Semeru. Tak terkecuali Jalan Salak, sebuah gunung di Jawa Barat yang jadi nama awal jalan di sekitar Taman Makam Pahlawan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Penamaan tersebut masih dalam satu kesatuan dengan Bouwplan VII. Namun, untuk mengenang jasa para pahlawan yang gugur mempertahankan Kota Malang, nama jalan tersebut diubah menjadi Jalan Pahlawan TRIP.

Selain bertemakan gunung, beberapa kawasan diberi nama dengan tema beragam, seperti silsilah kerajaan Belanda. Untuk tema ini digunakan pada Bouwplan I, yakni Wilhelminastraat (Jalan Dr. Cipto), Willemstraat (Jalan Diponegoro), Julianastraat (Jalan Kartini), dan Emmastraat (Jalan Dr. Sutomo).

Di Jalan Ijen juga terdapat Katedral Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel, gereja Katolik kedua di Kota Malang setelah gereja Kayutangan. Gereja ini didirikan pada 1934 setelah Malang menjadi kota praja dan mulai banyak penduduk.

Gereja ini dirancang oleh Rijksen en Estourgie dengan menggunakan konstruksi beton bertulang. Metode tersebut termasuk konstruksi baru dan pertama kali diterapkan di Hindia Belanda. Gereja Ijen pun akhirnya berdiri dengan sumbu lebih lebar dan panjang tanpa pilar di tengahnya. Gereja yang dibangun pada Februari–Oktober 1934 ini memiliki sebuah lonceng untuk doa kepada Santa Maria yang dibunyikan setiap pukul 06.00, 12.00, dan 18.00 WIB.

Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang
Gereja Ijen berada tepat menghadap Jalan Salak (Jalan Pahlawan TRIP) dan berada di kawasan Jalan Ijen/Lutfia Indah M

Kisah Gugurnya Pasukan TRIP Mempertahankan Tanah Air

Tak jauh dari gereja tersebut, terdapat Taman Makam Pahlawan TRIP yang mengandung cerita tragis. Peristiwa tersebut terjadi pada saat Agresi Militer Belanda I, 21 Juli 1947. Warga saat itu telah mundur ke Blitar. Namun, terdapat sekelompok pemuda TRIP dari Brigade VII Batalyon 5000 ingin mempertahankan Kota Malang. Ketika mendengar bahwa pasukan Belanda akan melintasi Kota Malang, mereka bersiap untuk mengadang. 

Untuk mengadang Belanda, mereka disebar di beberapa titik. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari menebang pohon di Singosari, hingga membumihanguskan Kota Malang. Setidaknya terdapat 1.000 bangunan berupa hotel, bioskop, kantor pemerintahan yang berhasil terbakar. 

Namun, ternyata perkiraan tentang arah kedatangan pasukan Belanda meleset. Pergerakan Belanda sempat terhenti di sekitar Gereja Ijen. Pasukan TRIP hanya bermodalkan senjata seadanya, tetap melawan Belanda dengan gagah berani. Pertarungan terjadi hingga di Jalan Salak. Belanda dengan masif melayangkan serangan, menyebabkan banyak pasukan TRIP tertembak. Bahkan terdapat salah satu pelajar datang membawa granat untuk dilemparkan ke arah tank, tetapi gagal. 

Agar tidak banyak memakan korban, pasukan yang masih selamat harus bersembunyi dan berpura-pura mati di parit sekitar Jalan Salak. Sore harinya, mereka kembali ke markas dan berlari ke perkampungan yang ada di daerah Gadingkasri.

Butuh waktu 3–4 hari untuk memastikan suasana sudah aman dari pergerakan Belanda. Pada saat itulah jenazah pemuda TRIP baru dapat dikuburkan. Terdapat 35 jasad yang ditemukan dan dikubur secara massal di lahan kosong Jalan Salak. Kini makam para Pahlawan TRIP telah direnovasi oleh Pemkot Malang. 

Di jalan tersebut juga dibangun sebuah monumen untuk mengenang pahlawan TRIP. Bahkan setiap bulan Juli, terdapat kelompok masyarakat yang tergabung dalam Komunitas Reenactor memperingati peristiwa tersebut dengan aksi teatrikal.

Kiri: Gambaran peta kawasan kamp interniran yang digunakan untuk menahan orang Belanda pada masa pendudukan Jepang/History Dun Walk Malang. Kanan: Peta kamp interniran di Kota Malang/japanseburgerkampen.

Jepang Datang, Orang Belanda Tertahan di Kamp Interniran

Setelah perjalanan yang panjang, kami dibawa ke depan bangunan SMPN 1 Kota Malang yang berada di Jalan Lawu. Ternyata bangunan sekolah tersebut dulunya dimiliki oleh Yayasan Freemason. Tak hanya itu, Jalan Lawu juga termasuk dalam kamp interniran atau kamp konsentrasi atau penjara bagi warga keturunan Belanda pada masa pendudukan Jepang di Kota Malang.

Kamp interniran berada di dua wilayah, yakni daerah Rampal dan kawasan Jalan Ijen serta Oro-oro Dowo. Kamp Ijen berada di seluruh area yang berbatasan dengan Jalan Ijen, Jalan Wilis, Jalan Anjasmoro, Jalan Buring, Jalan Bromo, hingga Jalan Semeru. Pada saat Jepang menguasai Kota Malang, orang Belanda khususnya perempuan dan anak-anak ditahan di rumah-rumah dan bangunan yang berada di kawasan Ijen. Kamp tersebut dikelilingi dengan gedek dan kawat berduri.

Terdapat tiga pintu gerbang yang dijaga ketat oleh Tentara Jepang di Jalan Ijen, Jalan Oro-oro Dowo, dan Jalan Bromo. Setiap rumah dapat dihuni lebih dari 50 orang dan berlangsung hingga tiga tahun, dimulai saat Jepang datang ke Kota Malang pada 1942. Terdapat satu dapur umum yang terpusat di daerah Welirang dan rumah sakit di Jalan Argopuro. Namun, suplai makanan dan minuman yang disediakan sangat terbatas, bahkan untuk mengakses pakaian layak pun mereka kesulitan.

Saat ditahan dan dipaksa meninggalkan rumah masing-masing, tidak banyak barang yang dapat mereka bawa. Jepang menyita barang-barang milik Belanda yang tersisa, termasuk pagar rumah untuk digunakan sebagai bahan pembuat alat-alat perang.

Diketahui bahwa penahanan tersebut salah satunya disebabkan oleh ketidaksukaan Jepang terhadap orang-orang kulit putih. Jepang ingin menunjukkan supremasi kekuasaan dan kedudukannya yang lebih tinggi dibandingkan Eropa. 

Beberapa sumber mengatakan bahwa rumah-rumah Belanda yang kosong akibat interniran, diserahkan kepada warga Tionghoa. Mereka dianggap lebih mampu merawat rumah-rumah tersebut, tetapi menimbulkan kecemburuan terhadap warga pribumi. Ada juga yang mengatakan bahwa setiap rumah yang kosong dapat dengan mudah ditempati oleh siapa pun. Hingga akhirnya, setelah Jepang menyerah kepada sekutu dan mundur dari Indonesia, para interniran mulai dibebaskan dan dipulangkan ke negara asalnya.  

Cerita-cerita itu merupakan sedikit dari rangkuman perjalanan mencari sejarah-sejarah yang masih terkandung di Kota Malang. Siapa sangka kota yang kini sering dilanda banjir saat hujan deras dan macet ketika akhir pekan panjang, memiliki sejarah kelam yang tak gagal membuat bulu kuduk merinding. Kendati demikian, kota yang menjadi tempat saya betah merantau hingga delapan tahun ini membuat saya semakin penasaran dan ingin menyelaminya lebih dalam lagi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyingkap Luka Lama di Kawasan Jalan Ijen Kota Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyingkap-luka-lama-di-kawasan-jalan-ijen-kota-malang/feed/ 1 47532
Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2) https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-2/ https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-2/#respond Tue, 29 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46793 Tak hanya patung Kapolri pertama Indonesia, Jenderal Besar Soekanto saja yang sempat menyita perhatian saya. Tak jauh dari museum, sebuah gedung putih menjulang tinggi. Serupa dengan bangunan sebelumnya, gedung ini juga memiliki banyak daun jendela...

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Tak hanya patung Kapolri pertama Indonesia, Jenderal Besar Soekanto saja yang sempat menyita perhatian saya. Tak jauh dari museum, sebuah gedung putih menjulang tinggi. Serupa dengan bangunan sebelumnya, gedung ini juga memiliki banyak daun jendela yang menjadi salah satu ciri khas bangunan peninggalan Belanda. Di bagian tengah ada menara  yang dihiasi jam pada bagian atasnya. Saat ini, gedung tersebut menjadi kantor Maybank dan terletak di pojok Jalan Cendrawasih.

Hanya beberapa langkah dari Maybank, Toufan mengajak kami berhenti sesaat di sebuah toko di Jalan Cendrawasih. Kesan jadul menjadi hal pertama yang saya lihat. Saya pun membatin, toko ini pasti berusia tua. Tak mungkin Toufan mengajak kami ke sini kalau bangunan ini bukan toko lawas.

Sebuah papan kayu dengan tulisan Kopi Sigan tergantung di bagian atas depan toko. Seiring langkah kami memasuki toko, aroma kopi menguar. Enak. Seorang perempuan dan laki-laki berjaga di depan. Dengan ramah keduanya menyambut kami. Beberapa merek kopi tersaji di etalase berkaca bening. Begitu pula barang-barang lain. Tak ketinggalan toples-toples kaca yang ada isinya juga tersaji. Suasana jadul benar-benar saya rasakan di toko ini. Dari keterangan penjaga, toko ini sudah ada sejak tahun 1930-an. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Toko Sigan/Dewi Sartika

Lawang Sewu-nya Surabaya

Usai membeli kopi serta jajanan di Kopi Sigan, kami berjalan kembali. Hanya butuh beberapa menit saja, kami tiba di gedung PTPN XI di Jalan Merak. Sebenarnya, kami tidak berniat masuk ke gedung ini. Namun, sepertinya Toufan menangkap peluang bisa memasukinya sewaktu mendapati ada dua bus yang terparkir di luar gedung. 

“Mumpung ada yang mengunjungi gedung ini, kita coba masuk saja.”

Toufan kemudian memandu kami masuk ke gedung. Di dalam, rombongan siswa sekolah sedang melakukan foto kelulusan. Sedikit tergesa-gesa, saya meniti anak tangga menuju lantai dua. Kondisi di bagian atas lebih ramai lagi. Bersama yang lain saya lalu menuju teras. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2)
Salah satu bagian gedung PTPN XI yang berada di belakang/Dewi Sartika

“Gedung ini disebut juga sebagai Lawang Sewu-nya Surabaya,” ujar Toufan kepada kami. Memang dari luar, penampakan bangunan ini memang menyerupai Lawang Sewu.

Awalnya, gedung ini merupakan kantor Handelsvereeniging Amsterdam (HVA) atau Asosiasi Perdagangan Amsterdam yang berdagang gula, kopi, dan singkong. Dibangun pada 1911–1921 dengan bahan-bahan material dari luar negeri, diresmikan 18 April 1925.

Tidak hanya bagian luarnya saja yang terlihat megah dan mewah, tetapi juga interior bagian dalamnya, sangat berkelas. Di lantai dua terdapat panel relief yang menggambarkan aktivitas di perkebunan. 

Kami tak bisa berlama-lama di dalam gedung, seorang satpam mendatangi kami. Karena tak berizin, kami pun harus lekas keluar. Toufan mengajak kami ke tepi anak tangga. Telunjuknya tertuju pada kaca patri yang terpasang di atas. Saya mendongak. Di tiap-tiap bagian tengah, ada panel stained glass dengan lambang berbeda.

“Ada delapan lambang, jadi tiap lambang yang ada berbeda-beda bentuknya. Lambang-lambang tersebut melambangkan kota-kota yang ada di Hindia Belanda. Salah satunya ada lambang Kota Surabaya.”

Kami bergegas keluar gedung, tetapi masih berada di bagian depan. Toufan memberitahu kami bahwa di samping pintu masuk ada bungker. Satpam mengizinkan kami untuk masuk. Kesan pertama, bungker ini lebih mirip galeri seni karena kondisinya bersih dan beberapa pajangan terpasang di tembok.

Fakta unik lain mengenai gedung yang diarsiteki Hulswit, Fermont, dan Cuypers, ternyata gedung ini tahan gempa. Hal ini tampak pada salah satu pilar bangunan di luar yang berada di tengah-tengah. Diamati lebih saksama, berbeda dengan pilar lainnya, bagian tengah pilar tersebut seolah terbelah yang ditandai dengan keberadaan garis vertikal. 

Meskipun waktu yang kami miliki hanya sedikit, setidaknya kami beruntung bisa masuk. Selanjutnya, Toufan mengajak kami untuk melihat sebuah bangunan yang diperkirakan sebagai rumah tertua di Surabaya. Letaknya berada di seberang jalan Gedung PTPN XI. Untuk mencapai rumah tersebut, kami harus melewati gang kecil.

“Dilihat dari bentuk atapnya, sudah kelihatan ini kalau rumahnya dari masa VOC,” celetuk Arief DKS dari Komunitas Indonesia Colonial Heritage (ICH) Malang sekaligus seorang arsitek yang turut membersamai perjalanan kami.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Bangunan yang disinyalir sebagai rumah tertua di Surabaya/Dewi Sartika

Cerita Korps Cacad Veteran

Perjalanan menjelajahi Kota Lama Surabaya masih berlanjut dengan melewati Jalan Krembangan Timur. Kepada kami, Toufan bercerita mengenai Makam Krembangan yang pernah menjadi kuburan pertama orang-orang Eropa di Surabaya sebelum pindah ke Peneleh. Kebetulan, letaknya tak jauh dari tempat kami berjalan. Dulunya, letak makam selalu berada di luar tembok kota.

Lalu, berdirilah kami tepat di depan sebuah pintu gerbang berwarna merah hati. Agak lama kami berdiri sembari mengamati pintu gerbang tersebut, terutama desain serta besinya.

“Diduga kuat, tembok lama dari Kota Lama yang masih tersisa yang itu.” Toufan menunjuk ke tembok berwarna hijau yang berada tak jauh dari pintu gerbang.

Ketika meneruskan perjalanan, kami melewati tembok yang dimaksud Toufan tadi. Berjalan agak pelan, saya memerhatikan tembok itu karena posisi lebih dekat. Temboknya tak begitu tinggi, sekitar 175 sentimeter. Padahal dalam bayangan saya, temboknya tinggi sekali. Menurut Toufan, tembok Kota Lama setinggi itu karena elevasi jalan semakin meninggi tiap waktu.

Kemudian, tibalah kami di kawasan utama Kota Lama Surabaya, Jalan Rajawali. Toufan mengajak kami ke kompleks bangunan Korps Cacad Veteran RI Kota Surabaya. Semula kami memang tak berencana masuk ke dalam area kompleks ini. Namun, setelah mendapat izin, kami lekas masuk.

Sebelum masuk, Toufan memberitahu kami, kompleks ini sekarang digunakan sebagai tempat tinggal. Begitu masuk, mata saya terbelalak, untuk menyakinkan diri tempat ini memang benar-benar ada yang mendiami. Deretan ruangan yang menyerupai rumah petak dengan kondisi kusam dan nyaris kumuh menjadi perhatian saya, sebelum belok ke kanan mengikuti Toufan dari belakang.

Seorang perempuan berusia lanjut tengah duduk di pojokan. Setelah Toufan meminta izin, perempuan bernama Bu Endang itu lalu memandu kami memasuki bungker dan membuka pintu. Sebelum masuk, ia memberitahu ruangan bungker masih tergenang air karena hujan yang turun semalam.

Bungker dipenuhi berbagai barang. Hampir tak menyisakan ruang kosong. Berbeda dengan bungker di Malang yang pernah saya masuki, kondisi di sini sangat pengap sehingga menimbulkan bau yang sulit digambarkan. Sebuah kipas angin kecil dinyalakan untuk memberikan udara baru. Namun, belum ada tiga menit di dalam bungker, saya memutuskan secepatnya keluar karena tak sanggup berlama-lama di bungker.

Di luar, saya mendapati seorang pria sedang duduk di kursi. Namanya Pak Agus. “Dulu tempat ini menjadi rumah bagi perwira militer Belanda. Cirinya kalau bangunan penting itu ada bungker. Sejak awal saya tinggal di sini,” ucapnya mengawali pembicaraan.

Pak Agus menjadi penghuni yang masih bertahan di tempat ini sementara lainnya telah direlokasi ke Kampung Pejuang, Benowo. Bukan tanpa alasan ia memutuskan bertahan. Ia ingin melihat kebijakan wali kota terkait pemanfaatan bangunan ini ke depannya. Masih dari penuturan Pak Agus, dulunya ada 17 keluarga yang tinggal di sini. Ia adalah generasi kedua.

Dari pembicaraan itu, saya jadi tahu mengapa kompleks ini dinamakan Korps Cacad Veteran serta memiliki semboyan: tumbal negara. “Jadi, kalau pahlawan itu ditembak, beliau meninggal, tetapi kalau veteran ditembak itu sakti alias masih hidup, tapi cacat,” jelas Pak Agus.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Bagian depan kompleks bangunan Korps Cacad/Dewi Sartika

‘Diculik’ Nona Cilik Belanda

Kami meneruskan perjalanan menyusuri Jalan Rajawali. Deretan bangunan lawas yang masih kukuh berdiri di tepi jalan. Plakat cagar budaya tertempel di tiap sisi bangunan.

Selanjutnya, kami berhenti di sebuah bangunan bergaya indische empire dari abad ke-19. Sebelumnya, Toufan menunjukkan kepada kami foto lawas bangunan tersebut. Ia memberitahu bahwa dulunya bangunan dengan sejumlah pilar putih tersebut adalah apotek pertama di Surabaya.

Kami bertemu Sri dan Subaidi yang sedang membersihkan bagian dalam bangunan. Ternyata, keduanya mengenal Toufan. “Rencananya mau dibuat warung kopi,” jawab Sri saat ditanya hendak dibuat apa ruangan tempat ia sedang menyapu.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (2)
Bekas bangunan apotek pertama di Surabaya/Dewi Sartika

Bangunannya sendiri tersekat menjadi dua yang dipisahkan tembok tepat di bagian tengah. Namun, menurut Arief DKS, tembok pemisah ini dulunya tak ada. Kondisi bagian dalamnya masih berantakan. Di bagian belakang malah nyaris hitam pekat. Sementara atapnya sendiri berupa kayu. 

Sri dan Subaidi berbaik hati mengizinkan kami semua untuk masuk ke ruangan sebelah yang terdapat anak tangga menuju lantai atas. Berbeda dengan ruangan sebelah yang kosong dan gelap, ruangan yang baru saja saya masuki ini diisi dengan banyak barang. Sepertinya dimanfaatkan untuk tempat tinggal.

Anak tangga bercat hijau berada di sebelah kanan. Satu per satu kami menaikinya lalu tibalah kami di lantai dua. Lantai atas kelihatan lengang, tak banyak barang. Ada beberapa ruangan di sini. Lantainya berupa kayu. Menurut Arief DKS, terbuat dari kayu jati tua yang diperkirakan umurnya puluhan tahun sehingga terlihat kuat. Jendela-jendela berukuran besar juga menghiasi bagian atas.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2)
Bagian dalam bangunan yang ditempati Bu Sri/Dewi Sartika

Usai melihat-lihat, kami kemudian turun. Sri dan Subaidi menghentikan aktivitas mereka membersihkan ruangan. Kami berbincang-bincang dengan keduanya di bagian depan bangunan.

“Saya pernah kehilangan anak saya selama satu jam. Dicari-cari di dalam enggak ketemu. Lalu, saya mau turun tangga, ternyata anak saya ada di belakang saya. Katanya, dia ada di sini. Terus saya tanya, dari mana? Dia jawab, kalau dia diajak noni-noni main, dikasih mainan. Noninya cantik. Noninya bilang, itu lo, kamu dipanggil mamamu, ayo pulang tak antar,” terang Sri sambil duduk di kursi plastik.

Sri dan Subaidi telah tinggal di bangunan tersebut sejak 1993, sedangkan orang tuanya pertama kali menempati gedung ini tahun 1970-an. Dari keterangannya, status kepemilikan gedung ini adalah milik mereka.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-2/feed/ 0 46793
Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1) https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-1/ https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-1/#respond Mon, 28 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46783 Keinginan untuk mengunjungi Kota Lama Surabaya sebenarnya sudah lama. Namun, apa daya, hal tersebut hanya bisa dipendam saja, setidaknya hingga menjelang akhir Januari lalu. Bersama sahabat-sahabat yang saya kenal di komunitas heritage, saya akhirnya bisa...

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Keinginan untuk mengunjungi Kota Lama Surabaya sebenarnya sudah lama. Namun, apa daya, hal tersebut hanya bisa dipendam saja, setidaknya hingga menjelang akhir Januari lalu. Bersama sahabat-sahabat yang saya kenal di komunitas heritage, saya akhirnya bisa menuntaskan keinginan tersebut.

Tidak seperti tahun lalu sewaktu mengikuti tur heritage di Kampung Peneleh, saya bersama seorang teman berangkat dari Malang sekitar pukul 04.30 WIB naik kereta api, membuat kami berdua lumayan mengantuk selama perjalanan. Untuk menghindari itu, saya dan lainnya memutuskan mengambil jadwal kereta pukul enam pagi.

Kami tiba di Stasiun Surabaya Kota sekitar pukul 08.30. Selama menjelajahi Kota Lama Surabaya, kami akan dipandu Toufan Hidayat. Ia seorang pegiat sejarah yang tergabung dalam komunitas pegiat sejarah. Beberapa kali ia mengikuti tur heritage di Kota Malang. Dari sinilah, saya mengenalnya. 

Berjarak sekitar 1,5 kilometer dari Stasiun Surabaya Kota, kami memilih berjalan kaki saja daripada naik taksi daring. Hitung-hitung olahraga sembari menikmati bangunan-bangunan tua. Begitu keluar dari stasiun, saya terperangah. Suasana hiruk-piruk menjadi pemandangan utama. Ada pasar baju bekas layak pakai, para pedagang menggelar lapak di tepi jalan raya. Baju-baju tergantung di hanger, ada pula yang menaruhnya begitu saja di bawah. Tak ketinggalan para pedagang kuliner ringan juga meramaikan suasana.

Saat berjalan, saya mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap menemukan penjual nasi. Sayangnya, hanya ada nasi pecel. Sementara yang lain rupanya lebih tertarik meneruskan perjalanan menuju titik pertemuan dengan Toufan. Untuk mengganjal perut, kami sempat berhenti di sebuah minimarket.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Toufan Hidayat, pemandu tur, sedang memberi penjelasan kepada peserta tur/Dewi Sartika

Berkunjung ke Museum Hidup Polisi

“Halo, Mbak, posisi di mana?”

Saya lalu bertanya kepada yang lain sesudah mengangkat telepon dari Toufan sewaktu mengantre di kasir. “Kita di Jalan Veteran,” ucap Vadia, salah satu sahabat yang turut serta dalam tur ini.

Usai mengetahui posisi kami, Toufan kemudian memberitahu titik pertemuan. Tak lagi di Kantin Kasuari sebagaimana rencana awal, tetapi bergeser ke depan Museum Polrestabes Surabaya. Kami pun tak berlama-lama di minimarket. Setelah beristirahat sebentar untuk mengisi perut, kami bergegas melanjutkan perjalanan. 

Pagi itu, Jalan Veteran cukup lengang. Hanya beberapa kendaraan yang lewat. Dari kejauhan sesosok laki-laki bertopi berdiri di depan museum. Kami menghampirinya. Tak berselang lama ia lalu menjelaskan mengenai kawasan kami berada saat itu.

“Jadi, Kota Lama dulu dikelilingi tembok. Temboknya, ya, jalan ini lalu sungainya ada di belakang bangunan-bangunan itu. Sementara di sini juga pintu pos utama keluar Kota Surabaya,” terang Toufan kepada kami. Telunjuknya mengarah kepada jalan di depan kami sewaktu menerangkan bahwa jalan raya tersebut dulunya adalah tembok kota.

Menurut Toufan juga, dahulu permukiman orang-orang Belanda (VOC) bentuknya mengikuti model bangunan di Eropa yang dikelilingi tembok. Saya pun teringat kastil-kastil di Eropa yang pernah muncul di film berlatar abad pertengahan. Sesudah tembok lalu ada sungai yang juga mengelilingi permukiman tersebut, sungai berisi buaya. Baik sungai dan tembok ini berfungsi sebagai benteng pertahanan. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Tampak depan bangunan Museum Hidup Polisi/Dewi Sartika

Sesudah mendengar keterangannya, pandangan saya langsung tertuju ke gedung Museum Polrestabes Surabaya yang tepat di berada di samping kami berdiri. Dari kejauhan, bangunan tersebut seolah-olah sudah menunjukkan keangkuhannya. Gedung museum dihiasi pilar-pilar raksasa putih serta deretan jendela berukuran besar.

Toufan melangkah memasuki kompleks museum. Ia hendak meminta izin agar bisa memasuki gedung, lebih tepatnya dalam istilah Bahasa Jawa, untung-untungan. Bisa masuk, ya, alhamdulillah, tidak bisa masuk juga tidak apa-apa.  Mengingat untuk bisa masuk ke tempat tersebut pengunjung harus meminta izin tiga hari sebelum kunjungan dilakukan.

Sebelum melangkah lebih lanjut, saya baru sadar bahwa tepat di bagian pintu masuk Museum Polrestabes Surabaya inilah pada warsa 2018 lalu terjadi peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan satu keluarga. Setidaknya, itulah yang dikatakan Toufan. Seketika ingatan saya melayang ke beberapa tahun lalu sewaktu kejadian ini menjadi headline pemberitaan di televisi maupun media daring.

Ia kemudian kembali dengan wajah semringah karena izin berhasil ia kantongi. Kami pun membuntutinya dari belakang. Seorang petugas polisi yang semula berjaga di pos mengiringi langkah kami memasuki gedung museum. Makin mendekati bangunan, rasa-rasanya hati saya makin berdecak kagum dengan kemegahannya.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (Bagian 1)
Berbagai jenis seragam polisi/Dewi Sartika

Koleksi Museum Beragam

Gedung ini sendiri dibangun sekitar tahun 1808 sebagai bagian dari rencana Daendels menjadikan Surabaya sebagai pangkalan militer. Mulanya, bangunan ini dipakai untuk barak militer. Selepas Daendels tak berkuasa, fungsinya masih sama, hingga pada 1925 gedung ini dialihfungsikan sebagai kantor kepala komisaris kepolisian Surabaya. Sampai sekarang, bangunan ini juga masih aktif sebagai kantor Polrestabes Surabaya.

Begitu memasuki gedung, berbagai benda pajangan, seperti senjata, seragam polisi, dan sepeda zaman dulu memenuhi bagian dalam bangunan. Semuanya tertata rapi di display. Tak ketinggalan pula terdapat patung M. Jasin yang dikenal sebagai Bapak Brimob Polri.  Tepat di tengah-tengah terdapat sebuah lonceng berwarna keemasan dengan tulisan terukir di bagian badan lonceng.

Dari keterangan yang saya baca, lonceng yang didesain Paul van Vlissingen dan Dudok van Heel ini digunakan sebagai tanda peringatan oleh pemerintah Belanda. Tahun pembuatannya sendiri sekitar 1843 dan terbuat dari bahan besi kuningan. Untuk membawa lonceng ini dari Belanda ke Hindia Belanda—sekarang Indonesia—dibutuhkan waktu sekitar tujuh tahun. Uniknya, lonceng dengan bentuk dan tulisan sama ini tak hanya terdapat di Surabaya saja, tetapi juga ditemukan di Benteng Willem, Ambarawa.

Sempat tebersit di pikiran saya, mengapa museum ini dinamakan museum hidup. Rasa penasaran saya akhirnya terjawab. Alasannya, tak seperti museum pada umumnya yang bisa dikunjungi kapan saja, untuk bisa ke sini harus izin terlebih dahulu mengingat gedung ini masih aktif digunakan untuk pertemuan polisi. Hal ini ditandai dengan sebuah ruang pertemuan yang berisi kursi-kursi.

Selanjutnya, kami juga menyempatkan untuk melihat-lihat bagian samping bangunan yang juga dikenal sebagai gedung Hoofdbureau ini. Di masa kolonial tempat ini memang menjadi kantor pusat polisi di Surabaya.

“Itu meriam asli, ya. Ditemukan tahun 2009 di Kota Lama, tepatnya di gedung Telkom. Dulunya, gedung itu pabrik senjata, awalnya Pindad. Jadi, sebelum pindah ke Bandung, dulu berada di daerah Jembatan Merah. Pabrik tersebut memproduksi meriam, [tetapi] karena panas akhirnya pindah ke Bandung dan Malang karena hawanya lebih dingin. Ada sembilan meriam yang ditemukan,” jelas Toufan sewaktu kami berdiri di dekat meriam yang berada di pojok gedung museum.

Sembari diselimuti kekhawatiran, kamu lalu masuk ke bagian lain kompleks gedung museum. Alasan mengapa kami nekat, tak lain dan tak bukan karena penasaran dengan bungker yang ada di samping gedung. Sayangnya, bungker tersebut terkunci. Kami hanya sebentar saja karena memang izin memasuki kompleks ini sebenarnya hanya untuk ke gedung museum saja, tidak ke bagian yang lain.

Sepertinya, ada banyak sebutan untuk bangunan yang baru saja kami kunjungi. Selain disebut Museum Polrestabes Surabaya dan Museum Hoofdbureau, bangunan ini juga menyandang nama lain, yaitu Museum Hidup Polri.

Beranjak keluar untuk meneruskan perjalanan, di bagian depan kompleks bangunan berdiri dengan gagah patung dengan seragam polisi. Sosok tersebut adalah Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang menjadi Kapolri pertama Republik Indonesia sekaligus Grand Master Freemason di Indonesia.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menjelajahi-sudut-sudut-kota-lama-surabaya-bagian-1/feed/ 0 46783
Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan https://telusuri.id/susur-kampung-jogja-dari-sudagaran-pakuncen-hingga-notoyudan/ https://telusuri.id/susur-kampung-jogja-dari-sudagaran-pakuncen-hingga-notoyudan/#respond Wed, 23 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46744 Sabtu (22/2/2025), saya melakukan sebuah perjalanan akhir pekan yang berbeda dari biasanya. Saya tidak mendatangi pantai, Gunung Merapi, museum, atau bahkan Malioboro. Ada sebuah tawaran kegiatan yang lebih menarik dari semua itu bagi saya: Susur...

The post Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sabtu (22/2/2025), saya melakukan sebuah perjalanan akhir pekan yang berbeda dari biasanya. Saya tidak mendatangi pantai, Gunung Merapi, museum, atau bahkan Malioboro. Ada sebuah tawaran kegiatan yang lebih menarik dari semua itu bagi saya: Susur Kampung

Informasi ini saya peroleh dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang saya ikuti pada suatu malam. Saya pikir, “Susur kampung? Apa yang menarik dari kampung sehingga harus ditelusuri?” Lalu saya mengambil kesimpulan, bahwa ada hal yang ingin disampaikan melalui kegiatan ini. Tentu saja, jika tidak, untuk apa mereka bersusah payah mengadakan kegiatan semacam itu, bukan?

Pada akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti kegiatan Susur Kampung yang diinisiasi oleh Paguyuban Kalijawi. Ada beberapa rute yang ditawarkan. Sebuah keberuntungan bagi saya dihadirkan dalam kelompok rute susur kampung Sudagaran–Pakuncen–Notoyudan. 

Seluruh peserta diberikan imbauan agar tiba tepat waktu pada pukul 08.30 WIB. Sebisa mungkin saya memenuhi perintah tersebut. Perjalanan dimulai dengan berkumpul di gang DPR. Saya, sebagai penduduk sementara Yogyakarta, dengan polosnya mengira gang DPR berarti gang di sekitar gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Siapa sangka itu bermakna lain, gang DPR yang dimaksud adalah gang Daerah Pinggiran Rel. Saya cukup tergelak dengan penjelasan Bu Atik, pemandu kami pada perjalanan Susur Kampung hari itu. 

Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan
Berjalan kaki menyusuri kampung ke kampung/Karisma Nur Fitria

Di Sudagaran Saya Mengubah Stigma tentang Kampung

Bu Atik, yang juga anggota Paguyuban Kalijawi, ditemani ibu-ibu lain mengajak kami menelusuri kampung. Bukan tanpa tujuan, kami diminta untuk memikirkan dua pertanyaan tentang “apa itu kampung” dan “apa potensi yang ditemukan dari kampung”. Dengan pikiran yang masih sempit, saya berpikir bahwa kampung, ya, kampung. Apalagi kampung di pinggir kali yang terkenal karena kumuhnya. Pendefinisian saya tentang kampung pinggir kali mungkin sama dengan apa yang dipikirkan orang lain. 

Semuanya berubah ketika susur kampung hari itu. Saya tidak lagi mendefinisikan kampung berdasarkan apa yang saya lihat. Saya menikmati dan memaknai lebih jauh kampung melalui keberadaan masyarakat dengan segala potensi di luar predikat yang melekat padanya.

Sudagaran adalah kampung pertama yang juga menjadi titik keberangkatan kami. Berbekal informasi dari Bu Nani selaku warga Sudagaran, kami mengetahui berbagai hal. Masyarakat setempat membuat sumur komunal, yang berarti satu sumur untuk dipakai bersama. Hal ini menjadi salah satu solusi persoalan air yang ada di sana. 

Dari situ saya melihat bahwa masyarakat berusaha memelihara kampung dan komunitas yang ada di dalamnya dengan memecahkan masalahnya sendiri. Tidak berlama-lama menyusuri kampung Sudagaran, kami diajak untuk berangkat menuju kampung selanjutnya, Pakuncen.  

Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan
Celah pemandangan langit yang terlihat dari atap rumah warga yang berimpitan/Karisma Nur Fitria

Pakuncen, Kampung yang Peduli Lingkungan

Keberadaan masyarakat yang memiliki kesadaran penuh terhadap tempat tinggalnya dapat menciptakan kehidupan kampung menjadi lebih baik. Pakuncen adalah buktinya. Penataan kampung yang mengedepankan prinsip M3K (mundur, munggah, madep kali). Saya tertarik dengan konsep yang baru saya dengar dari Bu Atik hari itu. 

Mundur artinya rumah-rumah diberikan jarak dari pinggir sungai dengan cara mundur ke belakang sekitar tiga meter. Hal ini bertujuan agar tetap ada jalan yang mudah diakses oleh mobil seperti ambulans atau pemadam kebakaran. Apabila dipikirkan ulang, memang benar beberapa kasus di daerah padat penduduk adalah kesulitan akses bagi kendaraan darurat semacam itu.

Munggah artinya naik ke atas. Sebab, rumah-rumah yang ada harus dibuat mundur sehingga solusinya adalah munggah. Penataan kampung yang cakap dan tersusun ini tentunya berkat kesadaran dan kepedulian masyarakat setempat. 

Terakhir, madep kali. Ini menjadi poin yang paling menarik bagi saya. Madep kali artinya menghadap ke sungai. Rumah-rumah yang ada ditata agar menghadap ke sungai, bukan membelakangi sungai. Penataan seperti ini bertujuan agar masyarakat tidak sembarangan membuang sampah ke sungai. Ini berarti sungai ada di halaman depan rumah, sehingga masyarakat tentu segan membuang sampah ke halaman rumahnya sendiri. Lain halnya jika sungai ada di belakang rumah, maka masyarakat akan membuang sampah ke belakang rumahnya. Dari konsep ini saya tahu tentang cara masyarakat terutama di sekitar Pakuncen dan Notoyudan dalam menghargai sungai.

Kesinambungan Elemen Air, Tanah, dan Hawa di Kampung

Festival Pamer Kampung memiliki fokus pada beberapa persoalan dan potensi yang ada di kampung. Mereka menyebutnya sebagai elemen air, tanah, dan hawa. Ketiga elemen ini dijelaskan secara teori oleh Bu Atik dan rekan lainnya. Akan tetapi, saya rasa dapat dimaknai lebih dalam lagi bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya di kampung. 

Sepanjang perjalanan susur kampung, hal yang paling dekat dengan masyarakat adalah sungai atau air. Namanya juga kampung pinggir kali, sungai atau air ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar. Tidak hanya memenuhi kebutuhan air, tetapi juga bagaimana air dapat menghidupi masyarakat. Bu Tatik, warga lainnya, menjelaskan bahwa pasir yang diperoleh nantinya dapat dijual dengan harga Rp10.000 per karung.

Masyarakat dapat memanfaatkan potensi apa saja yang ada di sungai selain airnya. Ada hal lain yang menarik perhatian saya terkait elemen air ini. Sepanjang susur kampung, ibu-ibu yang memandu kami sering menunjukkan bahwa di beberapa titik ada “mbelik”. Saya awalnya tidak mengetahui apa itu “mbelik”, sampai di satu titik saya melihat plang yang bertuliskan “Belik Kidul” dengan keterangan mata air. Saya menemukan jawabannya tanpa bertanya. Sepanjang pengetahuan saya di Susur Kampung, sayangnya hanya “mbelik” itu yang memiliki plang nama.

Elemen berikutnya adalah tanah. Tanah berkaitan erat dengan rumah atau tempat tinggal yang pada dasarnya ada di atas tanah. Persoalan tanah bukan hal yang baru lagi di telinga masyarakat Yogyakarta, tidak terkecuali yang tergabung dalam Paguyuban Kalijawi. Berkedudukan di atas tanah informal membuat masyarakat berusaha membentuk dan memperoleh tempat tinggal yang nyaman. 

Bu Tatik menjelaskan, ada sebuah program bernama One Day One Thousand yang berhasil dikumpulkan oleh ibu-ibu untuk membangun Balai Bambu. Hal ini didasari karena tidak adanya ruang publik yang mumpuni bagi masyarakat Pakuncen. Saya kagum dengan penjelasan ibu-ibu sejak awal perjalanan kami dimulai. 

Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan
Pemaparan materi di titik terakhir Susur Kampung di Notoyudan/Karisma Nur Fitria

Hal tersebut lalu menyinggung elemen hawa yang dapat berarti udara, ruang terbuka, atau bahkan perempuan. Dari sana saya mengerti mengapa tidak mengambil padanan kata suasana atau yang lainnya. Usaha pemberdayaan perempuan dalam memajukan kampung sangat menggambarkan peran perempuan tidak cukup di rumah saja. Pengelolaan ruang publik dalam Susur Kampung ini juga mengandalkan peran penting seorang perempuan.  

Kesinambungan antara elemen air, tanah, dan hawa di kampung menunjukkan arti sebenarnya dari kampung itu sendiri. Susur Kampung sangat berarti bagi saya. Masyarakat kampung tidak hanya berdampingan dengan kehidupan sosial budaya saja, tetapi juga makhluk hidup lainnya. 

Saya bertemu banyak orang dan ikut merasakan kehangatan dari setiap sudut kampung yang mereka jaga. Dari Susur Kampung, saya menjumpai pemaknaan lain dari sebuah “kampung”. Kampung tidak terbatas pada sebuah permukiman masyarakat yang tidak “kota”, tetapi kampung adalah masa depan ketika masyarakatnya terus berkembang.


Foto sampul: foto bersama peserta Susur Kampung/Dokumentasi Susur Kampung


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/susur-kampung-jogja-dari-sudagaran-pakuncen-hingga-notoyudan/feed/ 0 46744
Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-wujud-kerukunan-islam-tionghoa/ https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-wujud-kerukunan-islam-tionghoa/#respond Tue, 25 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45741 Awal Desember 2024, saya diajak oleh salah satu kawan untuk mengikuti walking tour bertema “Hidden History of Pasar Lama”. Ini menjadi kesempatan menambah pengetahuan tentang wilayah yang statusnya sebagai kota penyangga Jakarta. Apalagi Pasar Lama...

The post Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa appeared first on TelusuRI.

]]>
Awal Desember 2024, saya diajak oleh salah satu kawan untuk mengikuti walking tour bertema “Hidden History of Pasar Lama”. Ini menjadi kesempatan menambah pengetahuan tentang wilayah yang statusnya sebagai kota penyangga Jakarta. Apalagi Pasar Lama menjadi salah satu ikon wilayah Tangerang saat ini.

Setelah bergerak dari titik kumpul di Stasiun Tangerang, lalu melewati Jam Argo Pantes yang berada tepat di depan Pasar Lama, rombongan tur mulai memasuki Pasar Lama Tangerang. Tur kali ini dipandu oleh Ci Elsa, keturunan asli Cina Benteng yang ada di Tangerang.

Pagi itu aktivitas di Pasar Lama seperti pasar basah pada umumnya. Ramai penjual dan pembeli kebutuhan sehari-hari, seperti bahan makanan dan kebutuhan rumah tangga, serta kuliner pagi. Saat malam, sepanjang jalan Pasar Lama akan berubah menjadi pusat kuliner.

Mata saya sempat tertuju pada jajanan di bagian depan pasar. Seperti membaca pikiran saya, Ci Elsa bilang kalau onde-onde buatan warga Cina Benteng sangat enak dan punya ciri khas yang sedikit berbeda dengan yang lain. Namun, saya tidak mampir beli karena tidak ingin membuat peserta lain menunggu.

Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa
Cagar budaya makam dan Masjid Kalipasir/Nita Chaerunisa

Peradaban Islam dan Tionghoa di Sungai Cisadane

Tidak sampai terlalu dalam masuk area Pasar Lama, kami berbelok ke pemukiman warga. Bergerak ke depan rumah pembuatan salah satu kecap tertua di Tangerang dan produksi asli warga Cina Benteng. Kecap Istana, yang juga disebut kecap Benteng Tulen atau kecap Teng Giok Seng. Diperkirakan sudah diproduksi sejak 1882 dan sampai saat ini masih mempertahankan produksi dari satu rumah.

Selain Kecap Istana, ada pula kecap SH (Siong Hin) yang terkenal di Tangerang. Informasi baru bagi saya, ternyata kecap Bango produksi PT Unilever Indonesia, awalnya diproduksi oleh salah satu warga Cina Benteng di rumahnya.

Dari lokasi yang berada di sekitar perbatasan antara permukiman Islam dan peranakan Tionghoa, rombongan melanjutkan perjalanan menuju Masjid Jami Kalipasir, yang merupakan salah satu bentuk kerukunan umat Islam Tangerang dan warga Cina Benteng. Berada di kawasan Pecinan, Masjid Jami Kalipasir dipengaruhi budaya Tionghoa yang tampak dari menara mirip pagoda. Masjid yang berada di pinggir jalan dan menghadap langsung ke Sungai Cisadane ini termasuk salah satu masjid tertua di Kota Tangerang dan diperkirakan sudah berdiri sejak 1576.

Masjid Jami Kalipasir sudah ditetapkan sebagai cagar budaya karena menyimpan banyak cerita peradaban Tangerang dari masa Kesultanan Banten sampai sekarang. Di halaman depan masjid terdapat sejumlah makam para tokoh dan pemuka agama Islam dari masa Kesultanan Banten.

Kemudian pemandu tur mengajak kami berpindah, hanya berjarak 300 meter sampai di Toa Pekong Air atau Prasasti Tangga Jamban yang berada tepat di pinggir Sungai Cisadane. Awalnya banyak warga yang sedang memancing ikan di tepi Toa Pekong Air. “Nanti lanjut lagi, ada turis yang mau belajar dulu,” celetukan dari salah satu pemancing.

Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa
Plang Toa Pekong Air/Nita Chaerunisa

Toa Pekong Air yang didominasi warna merah ini merupakan dermaga kecil, dan ada sebuah tempat pembakaran dupa untuk warga Cina Benteng bersembahyang. Toa Pekong Air dulunya dibangun untuk menautkan tali perahu warga dari luar wilayah ini ataupun sebaliknya. Namun, dulu juga banyak warga yang menjadikan lokasi ini untuk buang air sehingga disebut juga Tangga Jamban—karena terdapat tangga yang menghubungkan jalanan dengan Toa Pekong Air.

Sungai Cisadane sendiri sering menjadi tempat digelarnya perayaan Peh Cun atau tradisi lomba perahu naga setiap tanggal lima bulan lima penanggalan Konghucu. Toa Pekong Air menjadi salah satu lokasi utama setiap kali acara Peh Cun

Saat pemandu tur sedang bercerita di pinggir Sungai Cisadane, beberapa rombongan perahu dayung melintas. Dari tulisan di perahunya, sepertinya mereka adalah para atlet perahu dayung yang sedang latihan.

Pemandu tur juga bercerita tentang asal usul sebutan Cina Benteng. Dulu, Tangerang, terutama wilayah ini terkenal dengan sebutan ‘Benteng’, merujuk pada bangunan benteng di pinggir Sungai Cisadane yang dibangun VOC untuk berlindung dari serangan pasukan Kesultanan Banten. Namun, pendatang dari Cina di Tangerang sendiri dapat ditelisik jauh sebelum VOC datang, dari cerita rombongan anak buah Laksamana Cheng Ho. 

Mereka bermukim dan menikah dengan penduduk lokal. Hasil dari pernikahan itu menghasilkan peranakan Tionghoa yang kemudian disebut Cina Benteng—karena banyak bermukim di sekitar benteng VOC. Orang Cina Benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap dibandingkan warga keturunan Tionghoa lainnya. “Hitaci atau hitam tapi Cina,” kata Ci Elsa.

Warga dan anak-anak setempat memancing di Toa Pekong Air (kiri) dan para atlet perahu dayung berlatih di Sungai Cisadane/Nita Chaerunisa

Rumah Bergaya Tionghoa Lama

Dari Sungai Cisadane kami bergerak menuju area Pasar Lama. Di perjalanan kami melewati permukiman penduduk, termasuk rumah-rumah peninggalan peranakan Tionghoa lama.  Misalnya Roemah Boeroeng, yang awalnya merupakan rumah keluarga warga biasa, lalu diubah menjadi rumah burung walet oleh pengusaha burung walet. Setelah mengalami restorasi, bangunan ini sempat digunakan untuk menyimpan barang-barang kuno dan menjadi sebuah restoran. 

Sayangnya, Roemah Boeroeng sudah ditutup untuk umum. Saat rombongan kami datang, tepat di depannya terparkir sebuah mobil sehingga kami tidak dapat melihat lebih dekat bangunan ini. Roemah Boeroeng memiliki gaya arsitektur yang unik, kontras dengan rumah-rumah di sekelilingnya. Di depan Roemah Boeroeng terdapat rumah penulis buku silat terkenal Oey Kim Tiang (OKT). Semasa hidupnya OKT telah menerjemahkan lebih dari 100 buku silat, dari bahasa Hokkien menjadi Melayu Pasar.

Selain itu, kami juga melewati rumah-rumah tua yang umurnya diperkirakan sudah hampir ratusan tahun. Salah satu atap rumah ada yang bergaya Tiongkok Selatan bernama Pelana Kuda. Pada jendela rumah bagian samping terdapat ukiran keramik, bahkan pada tiang penyangga bagian depan rumah juga terdapat lukisan di atasnya. Meskipun bangunan sudah semakin tergerus, tetapi ukiran pada bangunan masih dapat dianalisis dengan jelas. 

Tampak depan Roemah Boeroeng (kiri) dan Kelenteng Boen Tek Bio/Nita Chaerunisa

Kelenteng Boen Tek Bio dan Museum Benteng Heritage

Kelenteng Boen Tek Bio berada di dalam area Pasar Lama dan berbatasan dengan permukiman warga. Kelenteng ini diperkirakan berdiri tahun 1684 dan menjadi kelenteng tertua yang ada di Tangerang. Di bagian depan kelenteng ada lonceng yang diperkirakan sudah ada sejak 1835 dan sepasang ciok say atau singa batu yang diperkirakan dibuat tahun 1827.

Saat itu suasana Kelenteng Boen Tek Bio sangat ramai. Selain beribadah, umat Tridharma juga sedang mengadakan acara donor darah. Kegiatan donor darah berlangsung di salah satu ruangan yang masih termasuk dalam bagian kelenteng. Kami tidak berlama-lama di satu titik, supaya tidak menghambat lalu-lalang orang.

Pemandu tur mengajak rombongan mengelilingi altar-altar yang ada. Kami dapat melihat langsung umat Tridharma sedang beribadah. Dewi utama di Klenteng Boen Tek Bio adalah Dewi Kwan Im atau dewi welas asih, yang katanya patungnya sudah ada sejak kelenteng berdiri. Ini pengalaman pertama bagi saya masuk ke area kelenteng, melihat langsung umat Tridharma sembahyang dari satu altar ke altar lain. 

Kami juga diajak ke depan sebuah ruang tempat menyimpan tandu untuk perayaan arak-arakan Gotong Toapekong. Jadi, setiap 12 tahun sekali Kelenteng Boen Tek Bio melanggengkan tradisi yang sudah dimulai sejak 1856. Ritual Gotong Toapekong bermula saat adanya pemindahan dan pengembalian patung dewi utama saat terjadi revitalisasi Kelenteng Boen Tek Bio pada tahun 1844. 

Saat acara Gotong Toapekong pada 21 September 2024 lalu, ada tiga dewa yang diarak mengelilingi sekitar wilayah Kelenteng Boen Tek Bio dan Pasar Lama Tangerang, dewi utama Kwan Im Hud Couw, Kwan Seng Tee Kun, dan Kha Lam Ya. Selain itu juga terdapat parade lintas budaya dan lintas agama. Acara arak-arakan Gotong Toapekong bukan hanya menjadi acara tradisi yang dinantikan umat Tridharma Kelenteng Boen Tek Bio atau warga Cina Benteng, melainkan masyarakat umum di Tangerang dan bahkan sekitarnya juga selalu ikut meramaikan. Acara ini seakan menjadi wujud toleransi keberagaman yang ada di Tangerang.

Setelah dari Kelenteng Boen Tek Bio, berjalan kurang dari 100 meter kami sampai di Museum Benteng Heritage. Berbeda dari tempat lain, Museum Benteng Heritage berada tepat di tengah-tengah Pasar Lama. Di samping kiri dan kanan pintu masuk museum ramai pedagang. Bahkan pemandu tur sempat menyarankan, jika ingin mencoba kecap khas Tangerang dapat membeli di warung sembako samping museum.

Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa
Pernik hiasan di bagian depan Museum Benteng Heritage/Nita Chaerunisa

Museum Benteng Heritage merupakan hasil restorasi sebuah bangunan tua milik warga Cina Benteng yang diduga dibangun sekitar abad ke-17. Pemilik museum ini adalah orang Cina Benteng asli, Udaya Halim. Saat hendak masuk, kami disambut oleh dua patung ciok say di kiri dan kanan pintu. Serupa dengan yang ada di Kelenteng Boen Tek Bio.

Untuk menjelajahi gedung dua lantai tersebut, setiap orang akan dikenakan tiket masuk sebesar Rp30.000 dan akan dipandu berkeliling selama satu jam. Katanya, di dalam museum bisa menemukan banyak peninggalan orang-orang Cina Benteng yang bisa menandai eksistensi mereka dari masa ke masa.

Namun, rombongan kami hanya melihat-lihat ruang depan museum saja. Di bagian depan terdapat beberapa lukisan yang menggambarkan kondisi Pasar Lama Tangerang tempo dulu, poster kegiatan warga, dan beberapa piagam rekor MURI. Museum Benteng Heritage menjadi lokasi terakhir dalam perjalanan tur kali ini. Para peserta berpisah setelah Ci Elsa resmi menutup walking tour yang ia pimpin hari itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pasar Lama Tangerang: Wujud Kerukunan Peradaban Islam dan Tionghoa appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pasar-lama-tangerang-wujud-kerukunan-islam-tionghoa/feed/ 0 45741
Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard https://telusuri.id/menengok-mahakarya-thomas-karsten-di-kawasan-idjen-boulevard/ https://telusuri.id/menengok-mahakarya-thomas-karsten-di-kawasan-idjen-boulevard/#respond Fri, 13 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42647 Jika tak diburu waktu, begitu melewati Jalan Ijen saya akan melambatkan laju motor yang saya kendarai. Tujuannya, menikmati suasana salah satu jalan utama di Kota Malang tersebut. Tentu bukan tanpa alasan saya melakukannya. Kawasan ini...

The post Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard appeared first on TelusuRI.

]]>
Jika tak diburu waktu, begitu melewati Jalan Ijen saya akan melambatkan laju motor yang saya kendarai. Tujuannya, menikmati suasana salah satu jalan utama di Kota Malang tersebut. Tentu bukan tanpa alasan saya melakukannya. Kawasan ini memang dipenuhi rumah-rumah besar dengan halaman luas. Belum lagi deretan pohon palem raksasa di kanan-kiri jalan. Sementara bagian tengahnya ada taman yang berbentuk memanjang.

Intinya, Jalan Ijen atau sering disebut Idjen Boulevard ini tertata sangat baik. Bisa jadi karena kawasan ini adalah salah satu landmark Kota Malang sehingga harus selalu terlihat cantik. Rumah-rumah megah dengan berbagai gaya seolah menandakan bahwa tempat ini bukanlah kawasan sembarangan. Kenyataannya memang demikian, karena Idjen Boulevard merupakan permukiman elit dari masa kolonial Belanda hingga saat ini.

Saking cantiknya Idjen Boulevard ketika itu, tempat ini pernah dinobatkan sebagai kawasan terbaik pada masa kolonial. Idjen Boulevard sendiri membentang dari selatan ke utara. Mulai dari perempatan Jalan Kawi hingga perlimaan Gereja Katedral Ijen.

Kesempatan untuk menjelajahi tempat ini sambil mendengarkan kisah sejarah Idjen Boulevard, kembali saya dapatkan pada Februari lalu. Sewaktu saya mengikuti tur heritage bertema Nooit Klaar yang diadakan Komunitas Indonesia Colonial Heritage (ICH). Dalam bahasa Belanda, Nooit Klaar mempunyai arti perencanaan yang belum selesai.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Para peserta mendengarkan arahan sebelum tur dimulai/Dewi Sartika

Dari Rumah Bentoel ke Rumah Soesman

Dulunya, kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya di masa kolonial memang masuk dalam bouwplan (rencana penataan kota) VII Kota Malang. Pada waktu itu, pemerintah Belanda berencana membangun kota ini secara bertahap melalui sejumlah bouwplan. Sayangnya, ketika Belanda hendak melengkapi pembangunan kawasan Jalan Ijen dan sekitarnya, Jepang keburu masuk ke Indonesia pada tahun 1942.

Warsa 1917, bouwplan Kota Malang pertama kali dilaksanakan. Sementara bouwplan VII yang meliputi Idjen Boulevard dan sekitarnya baru dilakukan tahun 1935. Perencanaan tata kota kawasan ini sendiri diarsiteki Thomas Karsten, yang dikenal juga sebagai orang di balik pembangunan Pasar Johar Semarang dan Pasar Gede Hardjonagoro di Solo.

Bouwplan VII merupakan kelanjutan dari proyek bouwplan V yang dimulai dari Jalan Semeru dengan dua gedung kembar yang mengapit jalan tersebut hingga ke arah barat yang tembus ke Jalan Ijen (Idjen Boulevard).

Saya berjalan beriringan dengan salah satu peserta yang saya kenal di tur-tur heritage sebelumnya. Kami menyusuri Jalan Semeru mengikuti instruksi Irawan Paulus, pemimpin tur. Bersama peserta lainnya, kami berangkat dari titik kumpul yang berada di Jalan Sumbing kemudian menyeberangi jalan. Selanjutnya kami singgah dan berdiri di samping gedung perpustakaan Kota Malang.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Rumah Bentoel sebelum ditutupi seng/Dewi Sartika

“Bangunan bercat merah yang ada di hadapan kita ini sering disebut sebagai ‘Rumah Bentoel’. Kenapa demikian? Karena dulunya rumah tersebut memang dimiliki pengusaha rokok cap Bentoel sehingga dinamai Rumah Bentoel,” jelas lelaki yang lebih dikenal dengan sapaan Om Ir itu.

Sebagai permukiman elit, rumah-rumah di Jalan Ijen memang dibangun untuk kebutuhan tempat tinggal bagi orang-orang kulit putih maupun orang berada yang termasuk dari kalangan Tionghoa. Rumah Bentoel mulanya dimiliki The Bo Gwan. Rumah ini berdiri pada tahun 1935 dengan Liem Bwan Tjie sebagai arsiteknya. Ia dikenal sebagai arsitek Tionghoa pertama di Kota Malang.

Sebelum mendapat sebutan Rumah Bentoel, bangunan yang terletak di Jalan Semeru dan Jalan Ijen tersebut juga pernah menjadi kediaman Wali Kota Malang semasa pendudukan Jepang, Raden Adipati Ario Sam (1942–1954), kemudian dimiliki pengusaha rokok Bentoel. Menurut kabar terakhir yang diperoleh ICH, kepemilikan rumah tersebut sudah beralih tangan ke pihak lain.

Sayangnya, keasrian dan keindahan bangunan era kolonial tersebut terancam. Sudah beberapa minggu belakangan, rumah yang didominasi warna merah itu ditutupi seng. Bukan rahasia umum lagi, apabila sebuah rumah telah tertutup seng, dipastikan bangunan tersebut akan berubah. Hal ini pula yang pernah saya temui di kawasan Idjen Boulevard beberapa waktu lalu. Semoga saja apa yang saya perkirakan tersebut salah.

Tak berselang lama sesudah para peserta berjalan, kami kemudian berhenti beberapa meter dari bangunan Perpustakaan Kota Malang. Perhatian saya dan lainnya tertuju ke seberang jalan, saat Om Ir menunjuk sebuah rumah di samping Museum Brawijaya.

Diperkirakan rumah tersebut dibangun pada 1930-an. Pemiliknya bernama Soesman. “Dulu, ada dua orang bernama Soesman. Yang satu orang Belanda berdarah campuran, satunya lagi pribumi. Dugaan saya, pemilik rumah yang ada di belakang saya ini adalah Soesman, orang Belanda berdarah campuran,” ucap Om Ir ketika menerangkan singkat tentang pemilik awal rumah tersebut.

Berdasarkan kisah yang diperoleh, Soesman merupakan anggota volksraad (dewan rakyat) sekaligus aktif di Indo-Europeesch Verbond (IEV). Ia juga yang berupaya mempertahankan bouwplan VI (kawasan yang diberi nama pulau-pulau) sebagai tempat hunian bagi kaum menengah ke bawah, karena sebelumnya ada rencana akan dibuat sebagai area industri pada saat itu. Sayangnya, rumah milik Soesman sekarang sudah berubah bentuk. Hanya atapnya saja yang masih asli.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Gardu ANIEM di Idjen Boulevard/Dewi Sartika

Sejumlah Ciri Khas Kawasan Idjen Boulevard

Selesai mendengar penjelasan, kami kemudian meneruskan langkah menyusuri jalur pejalan kaki (pedestrian) di sepanjang Jalan Ijen. Sesekali saya menengok ke atas, lalu menyadari bahwa saya seolah seperti kurcaci yang berada di bawah barisan pohon palem yang sudah ada sejak kawasan ini mulai dibangun. Tak luput, sepasang mata saya juga mengedarkan pandangan ke rumah-rumah yang kami lewati saat itu.

Sementara itu, lalu-lalang kendaraan tak berhenti melewati jalan kembar yang berada di Idjen Boulevard. Ya, kawasan ini dibelah dua jalan yang dipisahkan taman yang membentang di sepanjang Jalan Ijen. Dikutip dari Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, boulevard sendiri berasal dari bahasa Prancis yang berarti dua ruas jalan dengan taman yang ada di tengah-tengahnya. 

Pada salah satu taman, terdapat gardu ANIEM (Algemeen Nederlands Indische Electriciteits Maatschappij), perusahaan listrik yang berdiri pada 1909. Fungsinya untuk menyalurkan listrik melalui kabel ke rumah-rumah di kawasan Idjen Boulevard.

“Rumah-rumah yang ada di kawasan ini dulunya tidak dibangun secara serentak, tetapi setahap demi setahap,” ucap lelaki kelahiran 1967 tersebut.

Bentuk rumah-rumah di sepanjang Idjen Boulevard sekarang sudah bercampur. Ada bangunan peninggalan kolonial, ada juga yang sudah beralih rupa menjadi bangunan bergaya modern. Om Ir menjelaskan bahwa dulunya tipe rumah-rumah di Idjen Boulevard berbentuk rumah vila dengan ukuran sekitar 1.000 meter persegi (paling kecil 600 meter persegi), dengan ukuran bangunan banding tanah adalah 50:50.

Rumah vila di Idjen Boulevard yang masih bisa dilihat adalah sebuah rumah bertingkat dengan tulisan De Vliering di salah satu bagian atasnya. Tidak seperti rumah dua lantai zaman sekarang yang terdiri dari beberapa ruangan, lantai dua di De Vliering hanya berisi satu kamar saja.

Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard
Irawan Paulus dengan sebuah foto rumah De Vliering/Dewi Sartika

Ciri khas Idjen Boulevard tak hanya rumah vila saja, tetapi juga menyangkut jalur pejalan kaki. Dulunya pedestrian tidak mulus seperti saat ini (dilapisi lantai), tetapi hanya berupa tanah yang dilapisi batu-batu kecil. Tujuannya agar air hujan yang jatuh di jalur pejalan kaki bisa meresap ke tanah dan tidak meluber ke jalan.

“Dulu, di sini masih terdapat burung-burung manyar yang hinggap di pohon-pohon palem yang ada di sepanjang Jalan Ijen. Sekarang sudah habis karena diburu manusia. Tupai juga masih ada saat itu,” kenang Om Ir kepada para peserta.

Kami melanjutkan perjalanan lalu berhenti kembali di depan sebuah jalan yang menyerupai gang yang diapit dua rumah. Dari penjelasan Om Ir, kami mengetahui kegunaan jalan ini di masa kolonial dulu.

Dulunya, jalan ini disebut brandgang yang berarti gang kebakaran. Brandgang ini bisa ditemui di setiap permukiman yang dibangun pemerintah Belanda saat itu. Keberadaan gang tersebut digunakan sebagai jalur evakuasi sekaligus jalan yang dilalui mobil pemadam kebakaran seandainya terjadi kebakaran. Sayangnya, kini gang yang menghubungkan Idjen Boulevard dan Jalan Rinjani tersebut menjadi jalan buntu.

Salah satu rumah bergaya kolonial yang mengapit brandgang pernah menjadi rumah kos anak laki-laki (jongen) sebagaimana iklan termuat di Soerabaijasch Handelsblad tahun 1935—yang ditunjukkan kepada peserta tur. Tentu saja, saat itu yang mampu ngekos adalah anak-anak Belanda yang bersekolah di Kota Malang. 

Jadi, rumah kos ternyata sudah ada sejak zaman kolonial. Berbeda dengan kos zaman sekarang yang cenderung bebas, menurut Om Ir, pada masa itu anak-anak yang kos tinggal satu atap dengan induk semang atau pemilik kos. Sejujurnya, cerita ini mengingatkan saya kepada kisah Presiden Sukarno ketika indekos di rumah HOS Cokroaminoto.

Waktu terus bergerak menuju siang hingga akhirnya tiba di perlimaan yang ditandai dengan keberadaan Gereja Katedral Ijen. Sembari berjalan, dalam hati saya membayangkan bagaimana kondisi kawasan bouwplan VII tempo dulu dan merasa beruntung masih bisa menikmati kawasan ini.

Rasa-rasanya tak berlebihan, sebagai warga Kota Malang, saya sangat berterima kasih kepada Thomas Karsten atas mahakaryanya yang satu ini. Meskipun nasib arsitek kelahiran Amsterdam tersebut harus berakhir pada 1945 di kamp interniran di Cimahi, sewaktu pendudukan Jepang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menengok Mahakarya Thomas Karsten di Kawasan Idjen Boulevard appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menengok-mahakarya-thomas-karsten-di-kawasan-idjen-boulevard/feed/ 0 42647
Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang https://telusuri.id/kelenteng-eng-an-kiong-jejak-komunitas-tionghoa-di-malang/ https://telusuri.id/kelenteng-eng-an-kiong-jejak-komunitas-tionghoa-di-malang/#respond Thu, 18 Jan 2024 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40936 Untuk ketiga kalinya saya kembali mengunjungi Kelenteng Eng An Kiong di Jalan Martadinata, Kota Malang. Kunjungan pertama 2022 lalu, sementara dua kunjungan terakhir, Februari dan Juni tahun 2023. Tentu saja, bukan tanpa sebab saya bisa...

The post Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
Untuk ketiga kalinya saya kembali mengunjungi Kelenteng Eng An Kiong di Jalan Martadinata, Kota Malang. Kunjungan pertama 2022 lalu, sementara dua kunjungan terakhir, Februari dan Juni tahun 2023. Tentu saja, bukan tanpa sebab saya bisa datang lagi ke tempat ini. Saya berkesempatan datang ke kelenteng sewaktu mengikuti walking tour bertema Eksplorasi Kuliner Legendaris Malang

Sebenarnya, saya sendiri tak menyangka Kelenteng Eng An Kiong menjadi salah satu rute yang akan dikunjungi. Yang jelas, hati saya bungah begitu mengetahui akan diajak masuk ke kelenteng. Dibanding dua kunjungan sebelumnya, saya merasa kunjungan yang ketiga ini lebih istimewa dibanding sebelumnya. Mengapa? Karena saya mendapat pengetahuan baru tentang kelenteng tersebut dan daerah sekitarnya yang tidak saya dapat dari dua kunjungan sebelumnya.

Meskipun hari Minggu, suasana sekitar kelenteng ramai akan lalu-lalang kendaraan. Ya, maklum saja, Jalan Martadinata adalah salah satu jalan utama di Malang. Belum lagi Kelenteng Eng An Kiong berada di perempatan jalan. Di area kelenteng sendiri relatif sepi. Hanya ada beberapa pengunjung.

Kelenteng Eng An Kiong terletak di kawasan Pecinan Lama, tepatnya di Kebalen. Dahulu Kebalen bersama daerah sekitarnya termasuk kawasan Pecinan Lama. Makanya, di Kebalen masih bisa dijumpai beberapa toko milik orang Tionghoa. Pada tahun 1924, kawasan Pecinan bergeser sedikit ke barat seiring kehadiran Pasar Besar. Inilah yang kemudian disebut dengan Pecinan Baru.

Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang
Para beserta walking tour berfoto bersama di depan Kelenteng Eng An Kiong/Panitia

Sejarah Keberadaan Kelenteng

Kami tak langsung masuk kelenteng. Terlebih dahulu kami mendengarkan penjelasan dari pemandu tur tentang kawasan tempat Eng An Kiong berdiri. Saya hanya mengangguk kecil ketika Irawan Paulus selaku pemandu tur berbicara.

“Orang-orang Tionghoa memilih mendirikan kelenteng di lokasi saat ini karena mereka menemukan arca Dewi Durga di tempat itu. Arca Dewi Durga yang bertangan banyak inilah dipercaya sebagai Dewi Kwan Im yang dikatakan bertangan,” jelas Irawan Paulus.

Letak Eng An Kiong yang berada di Kebalen berdekatan dengan bekas pusat Kerajaan Tumapel, Kutho Bedah. Tidak mengherankan di kemudian hari banyak ditemukan sisa-sisa peninggalan Kerajaan Tumapel, seperti arca. Cerita semacam ini yang tidak saya dapatkan di kedatangan sebelumnya. Mendengarnya tentu saja membuat saya terperangah sekaligus antusias.

Keberadaan Klenteng Eng An Kiong di Kota Malang menjadi penanda perkampungan orang-orang Tionghoa waktu itu. Kelenteng dibangun pada tahun 1825, yang dipelopori  Letnan Kwee Sam Hway. Pangkat letnan di sini tidak merujuk pada pangkat di kemiliteran, tetapi hanya gelar yang diberikan pemerintah kolonial kepada pemimpin-pemimpin komunitas saat itu.

Dahulu orang-orang Tionghoa yang datang ke Malang banyak yang berasal dari suku Hokkian. Umumnya, mereka bekerja sebagai petani. Untuk itulah dewa utama yang disembah di Kelenteng Eng An Kiong adalah Dewa Bumi. Selain memiliki keahlian bertani, mereka juga mempunyai pengetahuan dalam bidang perkayuan, sehingga hingga pemerintah kolonial Belanda di Kota Malang memanfaatkan mereka sewaktu membangun rel kereta api.

Mulanya, bangunan kelenteng hanya berupa ruang altar Dewa Bumi yang berada di tengah. Karena jumlah orang Tionghoa makin banyak, diputuskan untuk menambah bangunan di sayap kanan dan kiri. Eng An Kiong juga menjadi rumah bagi tiga agama, yaitu Buddha, Tao, dan Konghucu.

  • Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang
  • Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang

Altar-altar di dalam Kelenteng Eng An Kiong

Selesai mendengar kata pengantar dari pemandu tur, saya lalu berjalan menuju pintu masuk yang berada di sebelah kanan. Adapun pintu keluar terletak di bagian kiri. Bersama peserta lain, kami langsung diarahkan ke ruang sembahyang yang terletak di teras bangunan utama kelenteng. Sebuah meja altar dengan papan bertulis Tuhan Yang Mahaesa yang dilengkapi dengan dupa, tiga piring berisi buah-buahan, dan beberapa lembar kertas kuning. Beberapa waktu kemudian, baru saya ketahui kalau lembaran-lembaran kuning itu adalah uang kertas atau cii jien yang digunakan untuk mengirim uang kepada leluhur.

Irawan Paulus mempraktikkan kepada kami tata cara beribadah. Ia mengambil sebuah hio lalu memasukkannya ke dalam mangkok bening berisi api dan cairan. Tangannya kemudian mengibas-ngibas hio tersebut hingga mati kemudian mulutnya komat-kamit seperti sedang merapal doa. Selesai sembahyang, ia kemudian beranjak ke navicula (wadah dupa yang terbuat dari tembaga) untuk menaruh hio.

Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang
Irawan Paulus sedang menjelaskan ritual ciam si/Dewi Sartika

Saat kami hendak ke altar berikutnya, datang seorang lelaki berbaju batik. Pak Rudi, itulah namanya saat Irawan Paulus mengenalkannya kepada para peserta. Pak Rudi merupakan seorang pengurus Yayasan Kelenteng Eng An Kiong. Ini menjadi kesempatan kedua bagi saya bertemu dengannya. Pertemuan pertama terjadi pada 2022 tatkala saya mengikuti tur bertema Pecinan.

Ditemani Pak Rudi, kami menuju altar yang terdapat patung Dewa Bumi. Inilah ruang sembahyang utama. Dibanding altar di depan, tentu saja, ruangan altar utama ini dipenuhi dengan berbagai ornamen mewah yang didominasi warna merah. Sementara pada bagian dinding terdapat 46 gambar. Gambar-gambar tersebut bercerita tentang seorang anak yang berbakti kepada orang tua. 

“Itu ada gambar seorang anak masuk ke ruang tidur. Karena saat itu belum ada obat nyamuk, maka si anak masuk terlebih dahulu ke ruang tidur dengan maksud agar nyamuk-nyamuk menggigit si anak. Setelah nyamuknya tidak ada, orang tuanya baru masuk ke dalam,” kata Pak Rudi sembari telunjuknya mengarah ke salah satu gambar di tembok.

Kami lalu menuju bagian belakang ruang altar utama melalui pintu di sebelah kiri. Ada sejumlah altar di sini. Tiap altar yang berupa ruangan tersebut terdapat patung dewa yang berbeda-beda. Salah satu altar yang kami masuki adalah ruang ibadah kepada Dewi Kwan Im. Di ruangan ini Pak Rudi menjelaskan tentang ciam si. Sebuah ritual untuk meminta petunjuk. Dahulu, orang-orang Tionghoa melakukan ritual ciam si untuk meminta petunjuk terkait kehidupan. Salah satunya, meminta petunjuk sewaktu sakit.

Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang
Pak Rudi (tengah) bersama para peserta tur/Dewi Sartika

Kembali Irawan Paulus maju mempraktikkan ciam si kepada kami. Tangannya meraih dua bilah kayu di meja lalu dilempar. Agar proses ciam si masih berlanjut, syaratnya kedua bilah kayu tersebut harus dalam posisi tertelungkup dan terbuka. Ini menggambarkan posisi yin dan yang. Pemohon diberi kesempatan sebanyak tiga kali untuk melempar bilah kayu. Jika  kedua bilah kayu itu tidak menggambarkan posisi yin dan yang, maka pemohon tidak bisa meneruskan ciam si dan baru bisa melakukannya kembali setelah jeda beberapa hari.

Bilah kayu yang dilempar Irawan Paulus tidak berhasil mencapai posisi yin dan yang, tetapi ia tetap meneruskan proses ciam si sebagai contoh kepada kami. Sesudah meletakkan bilah kayu, ia lalu mengambil sebuah wadah menyerupai gelas berisi batang bambu dengan tulisan nomor pada salah satu sisi batang. Kemudian ia mengocoknya hingga salah satu bambu jatuh ke lantai.

Irawan Paulus lalu memungut batang bambu tersebut untuk melihat nomor yang tertera. Nomor itulah yang kemudian dicocokkan dengan lembar-lembar kertas di lemari kecil yang tertempel di dinding. Lembaran kertas diberi nomor. Masing-masing berisi tentang penyakit yang diderita dan resep obat. Sesudah mengetahui jenis penyakit dan obatnya, si pemohon lalu membawa resep obat tersebut ke toko obat.

Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang
Gambar pada ruang sembahyang Dewa Bumi/Dewi Sartika

Misi Utama Kelenteng Eng An Kiong

Sesudah menyaksikan proses ciam si hingga akhir, kami melanjutkan tur mengelilingi kelenteng ditemani Pak Rudi. Hanya berjarak sekitar 10 meter dari altar pemujaan Dewi Kwan Im, langkah saya terhenti di depan beberapa prasasti yang tertempel pada dinding. Prasasti-prasasti ini berisi nama-nama donatur kelenteng. Saya hampir tak memercayai bahwa nama-nama yang terukir di prasasti tersebut sudah dimulai sejak tahun 1901 sebagaimana yang tertulis di atasnya.

Selesai mendengar cerita Pak Rudi, saya beserta yang lain kemudian bergerak menuju bagian belakang kelenteng. Di sini terdapat semacam aula terbuka yang biasanya digunakan untuk latihan barongsai dan tari tradisional. Hebatnya lagi, menurut keterangan Pak Rudi, kegiatan ini bisa diikuti siapa saja tanpa dikenai biaya alias gratis. 

Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang
Prasasti berisi nama-nama donatur kelenteng/Dewi Sartika

“Ada tiga misi yang dibawa oleh kelenteng. Pertama, misi agama sebagai tempat ibadah Konghucu, Tao, dan Buddha. Misi kedua, budaya, di mana kelenteng juga melestarikan budaya Tionghoa, seperti barongsai dan budaya nusantara dengan mengadakan kursus tari tradisional. Sementara misi terakhir adalah sosial. Pihak kelenteng menyediakan balai pengobatan gratis yang berada di samping kelenteng,” jelas Pak Rudi.

Mendengar pernyataan Pak Rudi, saya makin dibuat terkesan sekaligus mengapresiasi misi yang diemban Kelenteng Eng An Kiong. Apalagi Pak Rudi juga memberitahu kepada kami bahwa siapa pun bebas melihat latihan barongsai dan tari. Dalam hati, saya berpikir suatu saat nanti akan mengajak dua anak saya ke sini. 

Puas melihat-lihat bagian belakang, selanjutnya kami diajak menuju ke ruangan bagian depan dekat pintu masuk. Kami mendatangi ruang ibadah Tao yang terlihat lengang karena orang-orang Tao sudah selesai menjalankan ibadah. Begitu pula saat kami mendatangi ruang ibadah Buddha yang berada dekat pintu keluar. Suasananya juga sepi.

Selesai berkunjung ke dua ruangan tersebut, kami lalu beranjak keluar. Sebenarnya kurang puas mengelilingi kelenteng dan mendengar cerita dari Pak Rudi. Namun, kami harus pergi. Sebelum berlalu, kami menyempatkan foto bersama di pelataran depan kelenteng. Tentu saja, meski sudah ketiga kalinya saya ke sini, saya berharap semoga suatu saat nanti saya bisa berkunjung ke Eng An Kiong kembali sembari mendengarkan lebih banyak lagi kisah dari Pak Rudi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kelenteng Eng An Kiong, Jejak Komunitas Tionghoa di Malang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kelenteng-eng-an-kiong-jejak-komunitas-tionghoa-di-malang/feed/ 0 40936
Menyusuri Sejarah Kotabaru bersama Jogja Walking Tour https://telusuri.id/menyusuri-sejarah-kotabaru-bersama-jogja-walking-tour/ https://telusuri.id/menyusuri-sejarah-kotabaru-bersama-jogja-walking-tour/#respond Mon, 14 Nov 2022 08:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36158 “Silahkan berkumpul di sebelah sini, teman-teman. Kita akan mulai kegiatannya karena sudah hampir pukul sembilan,” pengeras suara dari Erwin memecah keramaian para peserta walking tour yang sudah berkumpul sedari tadi. Para peserta mulai merapatkan barisan...

The post Menyusuri Sejarah Kotabaru bersama Jogja Walking Tour appeared first on TelusuRI.

]]>
“Silahkan berkumpul di sebelah sini, teman-teman. Kita akan mulai kegiatannya karena sudah hampir pukul sembilan,” pengeras suara dari Erwin memecah keramaian para peserta walking tour yang sudah berkumpul sedari tadi. Para peserta mulai merapatkan barisan dan memperhatikan arahan Erwin.

“Selamat datang dalam kegiatan kolaboratif antara Jogja Walking Tour dan teman-teman TelusuRI. Hari ini kita akan berkunjung ke Kotabaru sisi sebelah timur. Perkenalkan nama saya Erwin, saya yang akan menjadi story teller hari ini…”

Azlina, sebagai perwakilan dari TelusuRI kemudian menyambut dan berterima kasih kepada para peserta yang telah hadir untuk mengikuti kegiatan ini. Ia kemudian menjelaskan secara singkat latar belakang kolaborasi ini, yang salah satunya selain untuk belajar sejarah yang ada di Yogyakarta, juga menjadi ruang pengumpulan donasi penanaman karang bersama Carbon Ethics.

Sebelum memulai perjalanan, Erwin mengingatkan para peserta untuk tetap memakai masker selama kegiatan berlangsung karena pandemi yang masih berlangsung. Masing-masing kepala kemudian mengangguk paham dan menyetujui arahan Erwin demi menjaga kesehatan.

Sejarah Kotabaru, Yogyakarta

“Siapa yang baru pertama kali ke Kotabaru? Apakah sudah semua? Kalau sudah, mari kita pulang,” celoteh Erwin disertai tawa para peserta. Kotabaru memang sering menjadi persinggahan atau pun hanya sekedar perlawatan bagi masyarakat sekitar Jogja. Kawasan ini kalau secara kasat mata seperti jalanan pada umumnya yang berhias lampu jalan dan pepohonan, namun yang membuatnya lebih istimewa adalah sejarahnya.

Kotabaru adalah sebuah kelurahan yang terletak di kemantren Gondokusuman, Yogyakarta dengan kode pos 55224. Kelurahan ini berawal dari kota taman masa kolonial yang dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwono VII untuk pemukiman orang Belanda.

Semua bermula saat Kesultanan Yogyakarta berdiri. Awalnya Yogyakarta satu dengan Surakarta: Kerajaan Mataram Islam, kemudian pecah menjadi dua karena konflik di internal dalam istana. Dua saudara dari satu ayah, beda ibu yaitu Raja Mataram Islam terakhir yakni Sultan Pakubuwono II dan adiknya Pangeran Mangkubumi yang berseteru karena Pakubuwono II terlalu dekat dengan VOC waktu itu. Sebagaimana yang kita tahu, VOC memang ingin menjadikan Mataram sebagai wilayah kekuasaannya, dengan menciptakan berbagai intrik.

Jogja Walking Tour
Peserta berkumpul di depan Perpustakaan Kota Yogyakarta mendengarkan penjelasan dari Erwin mengenai sejarah Kotabaru/TelusuRI

Banyak kebijakan Mataram Islam yang disetir oleh VOC. Sehingga membuat Mangkubumi merasa campur tangan VOC terlalu jauh dan akhirnya memilih untuk meninggalkan istana, dan membuat pemberontakan terhadap VOC. Karena VOC sudah mencengkeram Mataram Islam, maka Mangkubumi juga harus menghadapi Pakubuwono II.

Pakubuwono II juga yang akhirnya memindahkan pusat keraton dari Kertasura menjadi Surakarta akibat adanya pemberontakan Sunan Kuning pada 1742. Mangkubumi kemudian bergabung dengan Pangeran Sambernyawa untuk menyerang Pakubuwono II. Hingga Pakubuwono II meninggal dan dilanjutkan oleh Pakubuwono III, peperangan ini terus berlanjut selama 1746 – 1755 menghasilkan Perjanjian Giyanti, yang membagi kekuasaan Mataram menjadi Yogyakarta dan Surakarta.

Meski Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Pakubuwono I telah mempunyai kekuasaan, VOC meminta imbalan kepada Kesultanan Yogyakarta dalam bentuk lahan sebagai pemukiman orang-orang Belanda, dan yang pertama didirikan adalah Benteng Vredeburg. Karena jumlah orang Belanda yang semakin penuh pasca Perang Diponegoro yang mana Yogyakarta harus diawasi secara ketat, maka dibukalah pemukiman kedua di sebelah timur Benteng Vredeburg yang dinamakan Loji Kecil.

Ketika Loji Kecil juga kelebihan beban untuk menampung orang-orang kulit putih yang mulai berdatangan karena penerapan tanam paksa pasca perang, maka dibukalah pemukiman lain di Bintaran. Pemerintah Hindia Belanda kemudian memutuskan untuk membuka perekonomian daerah kolonial kepada swasta. Perkembangan pabrik gula yang begitu pesat membuat Bintaran menjadi penuh, dan akhirnya dibukalah pemukiman selanjutnya yakni Kotabaru.

Penjelasan singkat Erwin didengarkan seksama oleh para peserta, meskipun matahari semakin membakar kulit dan di jalanan kendaraan sudah hilir-mudik. Erwin juga mempersilahkan para peserta untuk bertanya sebelum memulai perjalanan menyusuri Kotabaru.

Cerita di Seberang Museum TNI AD Dharma

Erwin kembali melanjutkan ceritanya mengenai arsitektur Kotabaru, saat kami tiba di Jalan Jendral Soedirman, tepatnya di seberang Museum TNI AD Dharma Wiratama. Ia pun menunjukkan peta lama kawasan Kotabaru yang dibuat sekitar 1920-an. Dari peta tersebut, kami melihat bagaimana Kotabaru tumbuh menjadi satu kawasan dengan sistem radial konsentris, ada satu titik pusat dan jalan menyebar seperti jaring  laba-laba. 

Jogja Walking Tour
Peserta mendengarkan penjelasan dari Erwin mengenai Museum TNI AD Dharma/TelusuRI

Kotabaru tidak seperti jalanan Jogja pada umumnya yang masih menganut tata kota tradisional yang berpatokan dengan mata angin (utara-selatan), yang mana terlihat dari pembuatan jalan yang masih beririsan dan tegak lurus. Hal ini juga yang membuat orang-orang di Jogja tidak pernah buta arah, karena sudah masuk sejak alam bawah sadar. Menurut keterangan Erwin, Kotabaru adalah pelopor desain tata kota radial konsentris, yang kemudian baru diikuti oleh kawasan lainnya seperti Jetis. 

Erwin kemudian menjelaskan sejarah gedung Museum TNI AD Dharma dan peruntukannya pada zaman dahulu. Dulunya, gedung ini difungsikan sebagai administrasi pabrik gula yang mengurusi wilayah Jogja dan Jawa Tengah. Menyusul kemudian pada zaman Jepang, gedung ini berfungsi sebagai markas tentara Jepang untuk area Yogyakarta. Pasca revolusi kemerdekaan, gedung ini beralih menjadi markas TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang dipimpin oleh Jenderal Besar Sudirman dan Jenderal Urip Sumoharjo.

Erwin meraih sesuatu dari dalam tasnya, kemudian tangannya menjulur ke langit dan memperlihatkan secarik foto kusam. Sebuah foto jalan dan sebuah bangunan yang berdiri di atasnya, di lokasi sekarang yang berdiri Gramedia Sudirman. Memang, yang abadi dari kita itu hanya kenangan, yang kemudian bisa diterangkan dengan jelas melalui fotografi. Saatnya melanjutkan ke titik pemberhentian berikutnya.

Secuil Kisah dari Rumah Sakit Bethesda

Berjalan ke arah timur menuju RS Bethesda, Erwin mengajak kami menyusuri Jalan Johar Nurhadi. Kami berhenti di bahu jalan, tepat di depan BAG KLAS & VIP gedung Rumah Sakit Bethesda. Ia pun menceritakan bahwa rumah sakit ini lebih dulu ada sebelum kawasan Kotabaru berkembang.

Pembangunan rumah sakit ini diinisiasi oleh seorang dokter bernama Jan Gerrit Scheurer atas bantuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Rumah sakit ini kemudian berdiri dengan nama Zendingsziekenhuis Petronella, sesuai dengan misi penyebaran agama Kristen dan nama Petronella sendiri diambil dari istri seorang pendeta bernama Coeverden Andirani yang menyumbang biaya untuk pembangunan rumah sakit.

Jogja Walking Tour
Erwin menjelaskan mengenai RS Bethesda/TelusuRI

Erwin menerangkan salah satu keberhasilan Zending dalam menerapkan syiar agama Kristen adalah pembangunan fasilitas umum yang mengayomi masyarakat kecil. Hal ini coba diadopsi oleh Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam modern yang bermarkas di Yogyakarta untuk mengedepankan pembangunan yang bersifat sosial seperti sekolah, klinik, atau rumah sakit.

“Rumah sakit ini, bagi orang Jogja yang lawas dinamakan sebagai Rumah Sakit Pitulungan atau Dokter Pitulungan,” terang Erwin sembari menerangkan asal muasal nama pitulungan—yang mau menolong siapa saja tanpa memandang ras, suku, atau agama. Dengan statusnya sebagai bangunan bersejarah yang telah menjadi cagar budaya, bangunan aslinya tak tersentuh perubahan, kecuali ada penambahan di belakang gedung untuk memperluas area bangunan. Dan yang paling berubah semenjak masa kemerdekaan, tentu saja nama rumah sakitnya yang sekarang bernama Rumah Sakit Bethesda.

“Ini salah satu fasilitas publik yang tersedia sehingga pemerintah kolonial Belanda memilih kawasan ini,” tutur Erwin seraya menutup sesi penjelasan rumah sakit ini, dan kami siap beralih ke bangunan selanjutnya.

Satu Lokasi Coffee & Store

Hari yang sudah semakin panas tidak mengendorkan semangat kami untuk mengikuti langkah Erwin di sepanjang trotoar di Jalan Sereh. Kami berhenti tepat di bawah rimbunan pepohonan, yang untungnya bisa sedikit menyejukkan dalam kepungan riuh kendaraan. Sembari meluruskan kaki untuk menghindari varises, kami semua kemudian menyimak penjelasan Erwin tentang garden city.

“Arsitektur kawasan Kotabaru menganut konsep yang namanya garden city. Garden city dicetuskan oleh arsitek kenamaan dari Inggris yang bernama Ebenezer Howard,” ucap Erwin.

Ebenezer Howard beranggapan bahwa arsitektur Eropa ketika berlangsungnya revolusi industri sangat tidak sehat karena pabrik dan rumah penduduk berdiri di tempat yang sama hingga berdempetan. Hal ini kemudian dituangkan Ebenezer Howard dalam idenya “garden city” sebagai reformasi sosial yang menggabungkan pedesaan yang hijau dengan perkotaan yang padat. Erwin kemudian menyebutkan ciri-ciri bangunan yang menganut konsep garden city: bangunan jauh dari jalan, gaya bangunan minimalis, dan pagar yang pendek.

Salah seorang peserta tur kemudian bertanya, apakah status bangunan di Kotabaru sudah masuk cagar budaya? 

Sayangnya, hanya kawasan Kotabaru saja yang sudah mengantongi gelar cagar budaya, selain bangunan-bangunan utama yang ada di kawasan ini, bangunan-bangunan hunian hanya sedikit yang didaftarkan sebagai cagar budaya. Perlawatan ini kemudian berlanjut ke Rumah Sakit Dokter Soetarto

  • Jogja Walking Tour
  • Jogja Walking Tour
  • Jogja Walking Tour

Rumah Sakit Dokter Soetarto

Sebelum melipir ke Memorabilia Akademi Militer Jogja, kami menyempatkan diri untuk mampir ke depan Rumah Sakit Dokter Soetarto. Kami duduk di trotoar sembari menunggu para peserta lain yang masih tertinggal di belakang. Dulunya, rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus militer Belanda yang berdiri semenjak 1913.

“Jadi di sini menunjukkan bahwa kawasan Kotabaru dibangun secara gradual atau bertahap. Nggak semua langsung dibangun,” terang Erwin.

Sekarang, rumah sakit difungsikan untuk melayani masyarakat umum, tidak hanya dari kalangan militer. Namun, orang-orang Jogja mengenalnya sebagai DKT (Djawatan Kesehatan Tentara).

Memorabilia Akademi Militer Jogja

Kembali berjalan dalam beberapa langkah, kami sudah sampai di depan ruangan Memorabilia Akademi Militer Jogja. Erwin memperkenalkan kami pada koordinator memorabilia yang bernama Pak Angelo. Setelah bertegur sapa dan memperkenalkan diri, kami bergegas memasuki ruangan. Memorabilia ini cukup mengantarkan siapapun yang masuk untuk melihat foto-foto kuno mengenai perjuangan militer Indonesia di Yogyakarta, dokumen-dokumen militer, senjata-senjata masa lampau yang dipajang, hingga diorama tentara Indonesia pada masa itu.

Pak Angelo mulai merangkai kata-kata untuk menjelaskan kepada kami semua yang masih memperhatikan setiap detail ruangan. Beliau menceritakan bagaimana proses penerimaan akademi militer dari angkatan pertama, sejarah penamaan akademi militer beserta logonya, hingga gedung-gedung militer yang dipakai untuk sarana dan prasarana akademi, yang sekarang sudah tergantikan dengan bangunan baru.

Ruangan ini adalah ruang nostalgia, sekaligus ruang belajar untuk melihat bagaimana tentara tumbuh dan hadir untuk negara, apalagi saat itu Indonesia masih harus banyak belajar membangun militer yang kuat dan tangguh untuk menjaga keutuhannya yang masih seumur jagung.

  • Jogja Walking Tour
  • Jogja Walking Tour
  • Jogja Walking Tour

Monumen Serbuan Kota Baru

Tetenger ini didirikan untuk memperingati puncak pengambil alihan kekuasaan dari pihak Jepang di Yogyakarta dengan serbuan senjata dan pertumpahan darah yang dikenal sebagai Pertempuran Kotabaru pada tanggal 7 Oktober 1945.”

Saya membaca tulisan tersebut lekat-lekat, bersama nama-nama pejuang yang telah gugur di medan perang.

“Serbuan Kotabaru terjadi pada saat peringatan ulang tahun kota Jogja, sehingga selalu yang kita kenal pada tanggal 7 Oktober adalah Hari Ulang Tahun Kota Jogja yang selalu diperingati di tugu, sehingga peristiwa Kotabaru jarang sekali orang yang tahu,” jelas Erwin. Waktu yang terbatas membuat kami tidak bisa berlama-lama di area monumen ini, kami langsung menuju ke titik selanjutnya, yakni SMPN 5 Yogyakarta.

SMPN 5 Yogyakarta

Kami menyeberangi jalan, melihat lalu-lalang kendaraan yang melaju seenak jidat, kemudian sampai di depan gedung SMPN 5 Yogyakarta. Dari depannya saja, gedung sekolah ini terlihat kekunoannya, dan masih terawat. Erwin kemudian mengambil pengeras suara dan menerangkan kepada kami sejarah mengenainya.

“Ini adalah salah satu sekolah yang dibangun di era kolonial. Dulu bernama Normaalschool voor Inlandsche Onderwijzeressen, dulunya adalah sekolah guru,” papar Erwin. Sekolah guru ini dikhususkan untuk mencetak kader guru, yang nantinya akan disebar di pelosok-pelosok untuk mengajar membaca, menghitung, dan menulis. Ini adalah salah satu upaya politik etis pemerintah Hindia Belanda kepada rakyat Jawa adalah dengan memajukan pendidikan yang ada—termasuk di Yogyakarta. Gedung ini juga pernah digunakan sebagai asrama militer pada kurun waktu 1945-1949. Seiring dengan pindahnya asrama militer dan dikembalikannya gedung ini pada pemerintah Kota Yogyakarta, akhirnya pada 1951, gedung ini diresmikan sebagai gedung sekolah SMPN 5 Yogyakarta.

“Bangunannya masih asli, cuman ada penambahan di bagian tengah dan belakang,” tambahnya sambil menerangkan bagian-bagian bangunan yang masuk dalam kawasan gedung SMPN 5 Negeri Yogyakarta. Erwin juga menjelaskan ironi Kotabaru dengan bangunan lamanya; ada yang terus dipertahankan dan ada juga yang sudah berganti dengan bangunan baru. Erwin menunjukkan apa saja yang masih tersisa dari keaslian bangunan di Kotabaru. Kami dan para peserta mengekor di belakangnya hingga beberapa saat. Tanaman-tanaman yang ditanam puluhan tahun lalu sekarang memayungi trotoar di tengah jalan, yang diterpa panas dan polusi Kota Yogyakarta, dan kami berjalan dengan cepat diikuti rentetan knalpot kendaraan.

Sebelum mengakhiri sesi walking tour kali ini, Erwin mengajak kami merefleksikan apa saja yang terjadi di Kotabaru.

10.000 for Coral
Peserta Walking Tour 10.000 for Coral/TelusuRI

“Berdasarkan hasil penelitian Balai Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, bangunan yang masih asli (yang tidak mengalami perubahan) dari keseluruhan bangunan di Kotabaru ini tinggal 38 persen, 32 persen bangunan baru, 18 persen mengalami perubahan minimal, 12 persen mengalami perubahan fasad,” ia kemudian melanjutkan kalimatnya dengan nada yang lebih serius “Salah satu penyebab banyak berubahnya bangunan di Kotabaru ini adalah tingginya harga pajak bumi dan bangunan di kawasan Kotabaru.”

Kotabaru adalah bagian dengan pajak tertinggi yang ada di Yogyakarta. Inilah yang akhirnya membuat banyak rumah hunian yang berubah menjadi toko-toko, sebab pemilik rumah juga membutuhkan uang untuk membayar PBB yang mahal. Oleh karena itu, Kotabaru berubah menjadi pusat perekonomian, yang awalnya hanya sebatas lahan perumahan. Erwin khawatir bahwa bangunan-bangunan kuno ini semakin lama akan semakin terkikis, karena pemilik bangunan enggan mendaftarkannya sebagai cagar budaya. Hal ini coba ditangani oleh pemerintah pusat dengan mengupayakan peniadaan PBB untuk bangunan bersejarah.Di akhir perjalanan, kami menyempatkan diri untuk mengambil foto dan saling bersalaman satu sama lain. Dari walking tour kali ini, setidaknya kami bisa melihat sisi Yogyakarta lainnya yang kaya sejarah kolonial dan permasalahan yang menderanya. Terima kasih kepada seluruh peserta yang telah mengikuti kegiatan walking tour kali ini, bersama Jogja Walking Tour, sampai jumpa di walking tour selanjutnya bersama TelusuRI!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Sejarah Kotabaru bersama Jogja Walking Tour appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-sejarah-kotabaru-bersama-jogja-walking-tour/feed/ 0 36158
Walking Tour 10.000 Steps for Coral, Menapaki Sudut Kota Eropa di Surabaya https://telusuri.id/walking-tour-kota-eropa-surabaya/ https://telusuri.id/walking-tour-kota-eropa-surabaya/#respond Mon, 24 Oct 2022 14:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35777 Teriknya matahari sore di Kota Pahlawan tidak menghalangi keinginan para peserta untuk turut serta dalam kegiatan Walking Tour “10.000 Steps for Coral” yang diadakan pada Hari Sabtu, 17 September 2022 oleh TelusuRI dan Bersukaria Surabaya....

The post Walking Tour 10.000 Steps for Coral, Menapaki Sudut Kota Eropa di Surabaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Teriknya matahari sore di Kota Pahlawan tidak menghalangi keinginan para peserta untuk turut serta dalam kegiatan Walking Tour “10.000 Steps for Coral” yang diadakan pada Hari Sabtu, 17 September 2022 oleh TelusuRI dan Bersukaria Surabaya. Kapan lagi rasanya bisa menikmati momen berjalan dan bercerita, sekaligus secara tidak langsung berkontribusi untuk bumi melalui donasi penanaman terumbu karang. Iya, secara keseluruhan kegiatan ini buy one get one, dapat pengalaman beserta mendengar sepintas kisah masa lalu dari area yang dikunjungi, juga upaya meminimalisir jejak karbon dari kebiasaan berjalan kaki.

Peserta walking tour mulai bertemu di Taman Sejarah Surabaya, yang juga menjadi titik pertama kami memulai perjalanan bertajuk “Kota Eropa”. Kak Laily, sebagai pemandu di kegiatan itu menjelaskan perkembangan taman yang berubah-ubah namun masih dikelilingi bangunan-bangunan lama bergaya Belanda yang sudah ada sejak jaman penjajahan. 

Dulu, taman tersebut dikenal dengan Willemsplein hingga kemudian berubah nama menjadi Taman Jayengrono, nama Bupati Pertama Karesidenan Surabaya. Keberadaannya tentu tidak lagi sama, Willemsplein memiliki area yang cukup luas namun kini tampak sangat terbatas. 

“Nah, kenapa bisa jadi sempit seperti ini. Sebenarnya dulu itu daerah sini merupakan bekas gedung Pemerintah Belanda. Setelah itu karena ada beberapa masalah terutama peperangan, daerah ini jadi berubah nama dan fungsi menjadi Taman Willemsplein,” jelas Kak Laily sembari menunjukkan gambar usang sebuah gedung dengan bangunan yang cukup besar dan megah.

  • Kota Tua Surabaya
  • Kota Tua Surabaya

Tampak bangunan tinggi nan besar, yang terlihat dari Taman Sejarah, bertuliskan “Jembatan Merah Plaza”. Tempat tersebut merupakan salah satu pusat pembelian tekstil yang digemari masyarakat dan sudah ada sejak tahun 1997. Apa yang bisa diakses saat ini tentu berbeda dengan fungsinya pada zaman dahulu. 

Sebelum menjadi salah satu pusat perbelanjaan, Jembatan Merah Plaza justru menjadi tempat pembayaran pajak perkapalan. Tentu saja hal ini tidak lepas dari peranan Sungai Kalimas yang ada di sisi kanannya. Sungai ini menjadikan area tersebut pada masanya sangat ramai dan berperan sebagai pelabuhan. Jadi para nelayan ikan maupun hasil laut lainnya akan membayar pajak kapal dan hasil tangkapan di gedung ini. Setelahnya, karena terkait masalah sengketa, gedung pajak tersebut dihancurkan dan dibangunlah Jembatan Merah Plaza.

Perjalanan berlanjut untuk menengok lebih dekat Jembatan Merah. Secara harfiah, orang dapat memahami penamaan tersebut karena sisi pinggiran jembatannya memang berwarna merah. Namun, siapa yang sangka di balik itu juga tersimpan cerita sejarah yang bermakna. Jembatan itu pernah membara dalam perang yang melibatkan banyak orang, menebas banyak nyawa hingga menyisakan darah. Uniknya, pondasi awal Jembatan Merah masih bisa dilihat dengan menggunakan mata telanjang, kayu jati lama yang masih kokoh sampai sekarang.

Meski demikian, jembatan ini memiliki peranan penting karena menghubungan dua daerah dengan kecenderungan identitas yang berbeda, yakni daerah Eropa yang banyak dihuni oleh warga Belanda karena merupakan pusat pemerintahan dan warga etnis Tionghoa. Jembatan juga menghubungkan daerah Rajawali ke Karesidenan Surabaya. Sayangnya bentuk asli karesidenan itu sudah tidak berbekas, kecuali benteng untuk memanah. Kami juga menandai sejarah petualangan kami hari ini, dengan mengambil foto bersama-sama.

  • Kota Tua Surabaya
  • Kota Tua Surabaya
  • Kota Tua Surabaya

Tak jauh di dekat lokasi tersebut, terdapat bangunan yang memiliki wujud berbeda di antara bangunan lainnya. Masyarakat menyebutnya dengan “gedung cerutu”, karena atapnya dianggap seperti berbentuk cerutu. Beberapa juga ikut menyebutnya sebagai “gedung lipstick”, karena ujungnya berbentuk seperti ujung lipstick. Dulu gedung ini cukup ramai karena berperan sebagai kantor pengurus bank-bank yang ada di sekitarnya. Mengingat di wilayah itu, kebanyakan gedungnya merupakan bekas bank, pemerintahan, dan kantor pabrik pada masa penjajahan.

Kami kembali menelusuri jalanan sampai langkah kaki kembali terhenti di hadapan sebuah gedung bernuansa merah-putih dilengkapi dengan berbagai atribut partai politik tertentu. Gedung Internatio namanya. Menurut catatan sejarah, gedung ini didesain oleh biro arsitektur AIA (Algemeen Ingineurs en Architecten, FJL Ghijsels, Hein von Essen, F. Stilitz). Di depannya, tampak sebuah plakat yang menjelaskan tentang meninggalnya Jenderal Mallaby, yang bertempat di sekitar Gedung Internatio ini. Sangat disayangkan karena gedung megah dengan arsitektur khas Eropa sekaligus saksi bisu sejarah, kini kepemilikannya masih menjadi milik negara dan justru beralih fungsi jadi salah satu basecamp partai politik yang ada di Indonesia.

“Garis trotoar ini juga diyakini sebagai bekas jalur trem,” jelas Kak Laily seraya menunjuk garis batas-batas trotoar yang ada tepat di depan Gedung Internatio.

Tak lama setelahnya, kami tiba di Gedung Telkom, tepatnya Plasa Telkom Grup dari Telkom Indonesia. Dulu, jalanan di depannya dikenal dengan Jalan Sekolah, mengingat di sekitarnya pernah terdapat sekolah pertama untuk warga Belanda. Seiring dengan pembangunan, sekolah tersebut akhirnya dirobohkan dan diganti menjadi Plasa Telkom ini.

Di sampingnya masih terdapat telepon umum yang akrab ditemui pada tahun 1990 sampai 2000-an. Peserta Walking Tour “10.000 Steps for Coral” diajak bernostalgia mengangkat gagang telepon yang cukup besar dan memencet tombol nomor secara acak. Telepon berwarna biru bisa digunakan dengan menggunakan koin, sementara yang berwarna merah harus menggunakan kartu yang menandakan anggota tertentu. Tempat ini menjadi favorit karena biayanya lebih murah dibanding tempat lainnya, karena sekali lagi berada di lokasi dekat pelabuhan; memori perjalanan ini kembali diabadikan dalam kegiatan foto bersama.

  • Kota Tua Surabaya
  • Kota Tua Surabaya

Masih banyak pula titik-titik lain yang kami kunjungi. Ada Penjara Kalisosok, yang sedari dulu diselimuti suasana mencekam mengingat tahanan dan terduga pelaku kejahatan kerap menjadi korban kekerasan. Di dalamnya berisi sel dan pintu jeruji yang sudah tidak terawat lagi dan sebagian besar justru telah ditumbuhi dengan lumut, semak belukar, serta pepohonan yang tinggi. 

Ada De Javasche Bank, atau Museum Bank Indonesia yang arsitekturnya memiliki unsur khas simetris. Ada pula bangunan bekas kantor pabrik kimia yang sudah tidak lagi digunakan dan tampak rumah hunian ala Belanda dengan dua pilar di sisi depan. Kami sempat terhenti sebentar di depan  Pabrik Limun & Sirup “Telasih”. Produksinya masih berlangsung sampai sekarang. Menariknya, proses pendinginan sirup selama produksi tidak menggunakan kulkas, melainkan dimasukkan dan disimpan dalam kendi besar berbahan tanah liat.

Pada puncak sekaligus penutup perjalanan, peserta walking tour disuguhkan bangunan bekas Netherlands Spaarbank (Bank Tabungan Manfaat Umum) yang kini tetap digunakan sebagai gedung MayBank. Lokasinya tepat berada di ujung jalan, dilengkapi dengan tower yang menjulang dengan jam di tengahnya. Cat yang putih tampak sangat kontras bila disandingkan dengan warna biru langit yang cerah. Hal ini juga sontak mengundang decak kagum dari para peserta. Berkali-kali terdengar gumaman, “Wah!”, “Wow”, dan “Ahh” dari kerumunan kecil ini. Walking Tour “10.000 Steps for Coral” berakhir menyenangkan dan meninggalkan beragam kesan. Tidak ada kalimat yang perlu disampaikan selain, kapan perjalanan selanjutnya akan diadakan?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Walking Tour 10.000 Steps for Coral, Menapaki Sudut Kota Eropa di Surabaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/walking-tour-kota-eropa-surabaya/feed/ 0 35777
Mau Coba “Walking Tour”? Mampir ke 4 Kota Ini Saja https://telusuri.id/5-kota-walking-tour/ https://telusuri.id/5-kota-walking-tour/#respond Thu, 14 Mar 2019 01:00:29 +0000 https://telusuri.id/?p=12368 Jalan kaki ampuh banget untuk mengenal sebuah kota. Kamu bisa bergerak lebih pelan dan mengamati segala sesuatu lebih lekat. Kalau ada yang menarik, kamu bisa langsung berhenti tanpa harus repot-repot mencari tempat parkir kendaraan. Buat...

The post Mau Coba “Walking Tour”? Mampir ke 4 Kota Ini Saja appeared first on TelusuRI.

]]>
Jalan kaki ampuh banget untuk mengenal sebuah kota. Kamu bisa bergerak lebih pelan dan mengamati segala sesuatu lebih lekat. Kalau ada yang menarik, kamu bisa langsung berhenti tanpa harus repot-repot mencari tempat parkir kendaraan.

Buat keliling kota jalan kaki, ada sebuah opsi yang bisa kamu pertimbangkan, yakni tamasya jalan kaki alias walking tour. Saat walking tour, kamu nggak bakal cuma foto-foto saja, tapi juga bisa dapat banyak informasi menarik tentang destinasi yang sedang kamu jelajahi. Kamu juga bakal diajak ke tempat-tempat seperti taman, museum, dan lokasi ikonik di kota itu.

Di Indonesia, walking tour sudah ada di beberapa kota. Umumnya pengelolanya adalah komunitas. Karena dikelola oleh komunitas, bayarannya biasanya hanya berupa tip tanpa nominal khusus. Ada juga sih yang mematok harga khusus. Tapi kamu nggak perlu khawatir sebab biayanya masih ramah di kantong.

Omong-omong, di kota mana saja kamu bisa coba walking tour?

walking tour tamasya jalan kaki
Jakarta Good Guide via instagram.com/jktgoodguide

1. Jakarta

Meskipun lalu lintas padat merayap adalah pemandangan lazim di Jakarta, beberapa bagian kota ini masih enak buat dijelajahi jalan kaki. Makanya di Jakarta lumayan banyak komunitas yang mengadakan walking tour, misalnya Jakarta Good Guide dan Jakarta Food Traveler.

Jakarta Good Guide

Mau kenal lebih dekat sama Jakarta? Jakarta Good Guide bakal dengan senang hati bantu kamu. Setiap akhir pekan—dan beberapa hari lain—Jakarta Good Guide punya jadwal walking tour. Ada beberapa pilihan rute yang kamu pilih, misalnya mulai dari Pecinan (China Town), Kota Tua, terus jalan sampai senja ke Senayan.

Kalau mau ikut, kamu mesti reservasi lebih dahulu. Nanti kamu bakal dapat surel yang memberitahukan soal kuota yang tersedia, sudah penuh apa belum. Jakarta Good Guide memang membatasi peserta supaya walking tour lebih berkualitas. Bayarannya adalah tip sukarela.

Jakarta Food Traveler

Penggila wisata kuliner kayaknya bakal lebih tertarik buat ikutan walking tour yang dibikin Jakarta Food Traveler. Soalnya kamu bisa jalan-jalan sambil sekalian kulineran … sambil dikasih asupan informasi bergizi.

Paket rutenya juga banyak banget—Food Tour Singapore Town Kelapa Gading, Food Tour Vege Town Jelambar, Food Tour Meester Town Jatinegara, dll. Beda dari walking tour yang pertama tadi, buat tamasya bareng Jakarta Food Traveler biayanya sudah ditentukan. Maklum saja, ‘kan makan-makan.

walking tour tamasya jalan kaki
Semarang Walking Tour via instagram.com/bersukariawalk

2. Semarang—Semarang Walking Tour

Semarang juga sudah punya walking tour. Di kota yang nggak kalah historis ini, salah satu pengelola tamasya jalan kaki adalah Bersukaria Tour yang paham banget Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah luar dalam.

Bersukaria Tour bakalan bawa kamu ke tempat-tempat bersejarah di Semarang, misalnya Kampung Kota, kantor Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) alias Lawang Sewu, Kota Lama, sampai jalur trem. Buat ikut Semarang Walking Tour, kamu hanya perlu memberi tip seikhlasnya.

walking tour tamasya jalan kaki
Jogja Good Guide via instagram.com/joggoodguide

3. Yogyakarta—Jogja Good Guide

Destinasi santai yang bikin mager seperti Jogja sudah sepantasnya dijelajahi dengan cara yang santai juga. Apalagi trotoar di Jogja juga lumayan banyak yang bagus. Jadi, parkir saja dulu motor sewaan kamu di penginapan dan telusuri Jogja dengan berjalan kaki.

Coba deh gabung sama tamasya jalan kaki Jogja Good Guide. Mereka bakal antusias banget bawa kamu menjelajahi tempat-tempat di Jogja yang kental dengan nuansa historis dan kultural, misalnya Malioboro, Kotagede, Kauman, Kotabaru, dll. Pembayarannya? Terserah kamu.

walking tour tamasya jalan kaki
Ngaleut bersama Komunitas Aleut via instagram.com/komunitasaleut

4. Bandung—Komunitas Aleut

Kota Kembang, Bandung, juga seru banget dijelajahi dengan walking tour. Nggak heran, sih, soalnya di Bandung banyak banget peninggalan sejarah yang menarik buat dilihat. Selain itu, udaranya juga sejuk; jalan kaki jadi enak.

Kalau mau jalan kaki di Bandung, ikutan aja walking tour bareng Komunitas Aleut, sebuah wadah buat mengapresiasi sejarah dan wisata Bandung. Kegiatan mereka disebut ngaleut, artinya “berjalan beriringan” dalam bahasa Sunda. Mereka ngaleut ke tempat-tempat bersejarah di penjuru Bandung—Ngaleut Inggit Ganarsih, Ngaleut Sincia, Ngaleut Angkatan Perang Ratu Adil, dll.

Coba deh mampir ke empat kota di atas dan ikutan tamasya jalan kaki. Walking tour bakal bikin perjalanan kamu terasa lebih bermakna. Pas pulang, kamu nggak cuma bawa oleh-oleh fisik seperti foto atau suvenir, tapi juga banyak cerita soal sejarah dan budaya dari tempat yang kamu datangi—dan tubuh yang lebih berotot sebab sering diajak jalan kaki.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mau Coba “Walking Tour”? Mampir ke 4 Kota Ini Saja appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/5-kota-walking-tour/feed/ 0 12445