wangsa syailendra Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wangsa-syailendra/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 27 May 2025 15:57:18 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 wangsa syailendra Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wangsa-syailendra/ 32 32 135956295 Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab https://telusuri.id/candi-plaosan-lor-monumen-cinta-hingga-pertanyaan-pertanyaan-yang-belum-terjawab/ https://telusuri.id/candi-plaosan-lor-monumen-cinta-hingga-pertanyaan-pertanyaan-yang-belum-terjawab/#respond Fri, 09 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46880 Roda kendaraan akhirnya kembali berpacu. Kali ini, waktu yang saya pilih sengaja lebih pagi daripada biasanya agar lebih leluasa dan santai menikmati kehidupan sepanjang perjalanan. Selain itu juga sengaja menghindari jam sibuk masuk kerja dan...

The post Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab appeared first on TelusuRI.

]]>
Roda kendaraan akhirnya kembali berpacu. Kali ini, waktu yang saya pilih sengaja lebih pagi daripada biasanya agar lebih leluasa dan santai menikmati kehidupan sepanjang perjalanan. Selain itu juga sengaja menghindari jam sibuk masuk kerja dan berangkat sekolah.

Tidak seperti biasanya, saya mengambil rute melalui pinggiran kota. Sebab, jika saya melalui rute pinggiran kota akan lebih lama dan melelahkan. Saya putuskan melalui jalan utama antarprovinsi Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah agar mempersingkat jarak dan waktu.

Membutuhkan waktu kurang lebih satu jam perjalanan dari kampung lawas Laweyan, Kota Surakarta hingga pertigaan Candi Prambanan, Klaten. Tepat di pertigaan Prambanan, roda kendaraan berbelok ke arah barat memasuki Jalan Bugisan Raya. Sepanjang jalan tampak kehidupan desa wisata di sekitar Candi Prambanan. 

Sesampainya di simpang Jalan Bugisan dan Jalan Candi Plaosan, saya pilih mengikuti Jalan Candi Plaosan. Sebelum sampai di tujuan, biasanya saya mampir minum es dawet langganan di pertigaan KM 1 Manisrenggo. Namun, jarum jam menunjukan pukul 06.20, penjual dawet belum terlihat karena masih pagi. Saya langsung menuju tujuan utama, yaitu Candi Plaosan Lor di Desa Bugisan, Klaten, sekaligus mencari angkringan sebagai pelepas dahaga sebelum memulai penjelajahan.

Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab
Reruntuhan candi perwara berlatar belakang pohon bodi dan candi induk Plaosan Lor/Ibnu Rustamadji

Tiba Terlalu Pagi

Pagi itu, aktivitas masyarakat sekitar Candi Plaosan Lor tampak ramai dengan  hilir mudik kendaraan antardesa, dan orang tua mengantar anaknya bersekolah maupun bekerja. Pemandangan lumrah, karena candi ini berada di tengah desa, dengan mobilitas warga cukup tinggi.

Beberapa warung angkringan pagi tampak sudah buka, tujuannya tidak lain untuk mengisi perut warga yang lalu-lalang sejak pagi buta. Untung saja, angkringan yang saya datangi baru saja buka, sehingga makanan yang disajikan masih hangat semua.

Selagi menunggu segelas teh panas disajikan, tiba-tiba datang seorang bapak paruh baya berkaus oblong dan bercelana kargo layaknya petualang, duduk satu meja dengan saya. Kami lantas bercengkerama ringan sambil menikmati sarapan nasi bandeng panas. 

Tidak saya sadari sebelumnya, beliau adalah satpam Candi Plaosan sekaligus suami dari empunya angkringan. Tanpa basa-basi, saya menanyakan harga tiket dan pemandu jika main ke Candi Plaosan. 

“Tunggu sampai 07.30 mas, nanti langsung masuk, isi buku tamu di pos depan, langsung silahkan hunting foto. Kamu terlalu pagi, Mas, datangnya, jadi masih gratis, bebas, tetapi setelah jam 08.00 dikenai tiket 5.000 rupiah,” jelasnya. 

Alam merestui. Saya tidak sabar ingin segera menikmati romantisisme dan  keabadian cinta di Candi Plaosan lor. Waktunya tiba, saya pun segera masuk halaman candi. Tentu setelah membayar sarapan. Keramaian warga desa, seketika sirna saat saya berhadapan dengan dua candi lintas agama ini, seakan Rakai Pikatan dan Pramodhawardhani mempersilakan masuk dengan merangkul mesra dalam keheningan pagi.

Lingkungan sekitar didominasi persawahan berlatar belakang Gunung Merapi dan perdesaan, semakin menampakkan aura romantis kedua pendiri candi tersebut. Raja dan ratu sedang duduk di singgasananya, dengan baju kenegaraan warna hijau selalu menemani dalam suka maupun duka. Sungguh perpaduan yang elegan, antara keseimbagan energi manusia dan energi alam yang luar biasa. 

Wujud Cinta Pasangan Beda Agama

Pertama kali menyaksikan candi induk Plaosan Lor ini beberapa tahun lalu, yang tergambar dalam pikiran adalah rumah berlantai dua dibangun berdampingan tanpa pembatas dalam satu halaman luas, dengan ruang keluarga terbuka di sisi barat. Fakta jika Candi Plaosan Lor adalah wujud rancangan kekaguman dua insan beda agama.

Hal ini senada dengan isi prasasti Cri Kahulunan berangka tahun 842 Masehi, menyatakan bahwa Candi Plaosan dibangun pada abad ke-9 oleh Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, sebagai tempat pendarmaan sang istri, Pramodhawardani, putri Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra yang beragama Buddha.

Candi Plaosan didirikan sebagai bukti kekaguman dan cinta Rakai Pikatan yang luar biasa untuk sang istri. Terlebih latar belakang keduanya yang berbeda agama, dapat bersatu mengemudikan bahtera. Sungguh luar biasa. Relief candi induk utara menggambarkan sosok laki-laki, sedangkan di selatan menggambarkan sosok perempuan. Masing-masing memiliki relief setinggi seperti orang saat ini. 

Motif relief seorang lelaki di candi induk sebelah barat (kiri) dan relief sosok perempuan di candi induk sebelah timur/Ibnu Rustamadji

Tatkala sedang asyik melihat relief, tiba-tiba imajinasi saya dibawa hidup di zaman itu. Terbayang kehidupan masa lalu keduanya yang penuh canda tawa bahagia, meski juga memikul tanggung jawab berat terhadap kemakmuran rakyat dan masalah pelik lainnya.

Candi induk ini, selain sebagai bukti cinta, juga sebagai pendarmaan atau pembelajaran spiritual raja dan ratu, sehingga tak ayal dibangun berlantai dua sebagai tempat menyepinya raja dan ratu. Kedua candi induk memiliki dua lantai. Hanya saja papan kayu lantai dua dan tangga menuju ke atas kini hilang seiring berjalannya waktu, menyisakan relung sebagai bukti kemewahan Candi Plaosan kala itu. 

Sekitar dua jam menelusuri dua candi induk, kini saatnya melihat ruang keluarga di sisi barat candi induk. Para arkeolog menyebut tempat ini pelataran, bukan ruang keluarga. Saya istilahkan ruang keluarga karena jejeran arca Buddha duduk berderet saling berhadapan seolah sedang membicarakan sesuatu bersama keluarga.

Mungkin saja, arca ini adalah penggambaran dewa dalam agama Hindu-Buddha, dan pelataran inilah tempat Rakai Pikatan dan Pramodhawardani berhubungan dengan para dewa. Hubungan yang saya maksud adalah cara bersembahyang, bukan mengajak ngobrol.

Pelataran ini seharusnya tertutup, meski tidak sesolid candi induk. Rangka utama terbuat dari kayu jati yang dibuat ruang persegi panjang terbuka. Arca dewa tutur ternaungi, karena masuk bagian area bersembahyang raja dan ratu. Namun, kini kondisinya sudah tanpa konstruksi atap, hanya menyisakan umpak batu di beberapa sudut pelataran. Ketika pertama kali ditemukan oleh Casparis tahun 1800-an, pelataran sudah tidak ditemukan atapnya. Kondisinya kala itu pun lebih rusak parah daripada sekarang.

Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab
Tampak umpak batu pondasi rangka atap yang kini hilang di salah satu sudut pelataran dengan latar belakang persawahan Desa Bugisan/Ibnu Rustamadji

Segudang Tanya yang Menanti Jawaban

Sebelum beranjak keluar kawasan, saya menyempatkan memandang kedua candi induk untuk “berpamitan” kepada sang raja dan ratu. Hanya saja, saya masih memiliki pertanyaan yang mungkin tidak bisa terjawab dalam waktu singkat.  

Pertama, bagaimana proses pembangunan dua candi induk berlantai dua seperti itu, sementara candi-candi sekitarnya (termasuk Candi Prambanan) hanya satu lantai?

Kedua, adakah jejak peradaban masyarakat pendukung situs percandian sekitar kawasan Prambanan? Sebab, ditemukan saluran air yang cukup besar di timur candi induk Plaosan Lor. Artinya, ada peradaban yang kini hilang, di manakah jejaknya? 

Ketiga, apakah ada penemuan sisa manusia yang pernah hidup di era Rakai Pikatan?

Saya yakin, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab dalam waktu semalam, seperti mitos kisah asmara Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso dengan seribu candinya. Masih banyak yang harus diteliti guna menyelamatkan monumen cinta Rakai Pikatan dan Pramodhawardani ini. 

Hari mulai beranjak siang. Saya putuskan membawa segudang pertanyaan itu keluar kawasan Candi Plaosan Lor seiring mencari tempat santap siang, lalu berkeliling di sekitar kompleks candi. Pukul 14.00, saya menyudahi perjalanan di Bugisan dan pulang ke Boyolali.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Candi Plaosan Lor: Monumen Cinta hingga Pertanyaan-Pertanyaan yang Belum Terjawab appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/candi-plaosan-lor-monumen-cinta-hingga-pertanyaan-pertanyaan-yang-belum-terjawab/feed/ 0 46880
Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali https://telusuri.id/petirtaan-cabean-kunti-warisan-mataram-kuno-di-boyolali/ https://telusuri.id/petirtaan-cabean-kunti-warisan-mataram-kuno-di-boyolali/#respond Mon, 29 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41045 Setelah menelusuri dua candi di Desa Gedangan, Cepogo, Boyolali, perjalanan saya berlanjut ke Dukuh Kunti, Desa Cabean Kunti. Masih satu kecamatan. Jaraknya sekitar 5,3 kilometer ke arah tenggara dari Gedangan. Jika dicari melalui peta digital,...

The post Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah menelusuri dua candi di Desa Gedangan, Cepogo, Boyolali, perjalanan saya berlanjut ke Dukuh Kunti, Desa Cabean Kunti. Masih satu kecamatan. Jaraknya sekitar 5,3 kilometer ke arah tenggara dari Gedangan.

Jika dicari melalui peta digital, Cabean Kunti berada di utara Desa Paras. Warga Paras sangat mengenal desa tersebut. Apabila ingin bertanya lokasi Petirtaan Cabean Kunti—tujuan saya kali ini—pasti diarahkan. Seperti yang saya lakukan tempo hari.

“Oh, itu, Mas! Ada papan petunjuk menuju MTs Negeri 7 Boyolali. Ikuti jalan itu saja terus. Nanti lewat tiga jembatan, nah jembatan yang ketiga [sudah masuk] kawasan Petirtaan Cabean Kunti,” salah satu warga memberi arahan.

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Tampak Petirtaan Cabean Kunti sisi barat jembatan/Ibnu Rustamadji

Dari jalan utama Boyolali—Magelang, saya menyusuri jalan desa 10 menit saja. Setibanya di Dukuh Kunti, hilir mudik warga setempat setia mewarnai sepanjang perjalanan. Sisi kiri dan kanan jalan menuju dukuh tersebut terhampar perkebunan dengan beragam varietas. Hanya saja, tidak ada warga beraktivitas di pinggiran perkebunan yang bisa saya tanya. Mereka biasa berkebun di dalam.

“Ah, ya sudah. Pokoknya lurus ikut jalan ini dulu. Ketemu sesepuh baru bertanya,” batin saya.

Selama perjalanan, saya tidak menjumpai gapura tanda masuk pedukuhan. Padahal dukuh lainnya ada. Tidak butuh waktu lama, akhirnya saya tiba di Petirtaan Cabean Kunti. Tidak ada warga atau juru kunci di situs bersejarah ini.

Saya putuskan untuk segera menelusuri seluruh kawasan petirtaan. Tidak adanya warga dan minimnya informasi bukan suatu masalah bagi saya, asalkan bisa mengabadikan setiap jengkal perjalanan.

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Akses menuju Petirtaan Cabean Kunti/Ibnu Rustamadji

Peninggalan Wangsa Syailendra Sejak Abad ke-9

Cabean Kunti merupakan penamaan sumur mata air. Petirtaan Cabean Kunti memiliki sekitar tujuh sumber mata air sebagai sarana ibadah masyarakat Hindu dan Buddha di wilayah Cepogo. Ketujuh sumber tersebut bernama Sendang Jangkang, Sendang Sidotopo, Sendang Lerep, Sendang Kaprawiran, Sendang Panguripan, Sendang Kaputren, dan Sendang Samboja.

Ada dugaan tujuh sumur tersebut dibangun dan digunakan sezaman dengan Candi Lawang dan Candi Sari. Tujuannya terutama untuk mempermudah umat Hindu dan Buddha mensucikan diri sebagai salah satu sarana ibadah kedua candi tersebut. Ibadah biasa berlangsung tidak lama setelah upacara penyucian diri.

Hal ini dikuatkan dengan gaya arsitektur situs Petirtaan Cabean Kunti layaknya bangunan candi Hindu-Buddha di Jawa Tengah. Namun, sayang hanya satu situs sumur yang memiliki relief beraliran agama Buddha. Ada dugaan petirtaan ini merupakan hasil penyatuan dua agama, yakni Hindu dan Buddha.

Relief yang terpahat pada salah satu sumur mata air, Sendang Lerep, bermotif sosok manusia menyunggi perbekalan di atas kepala dan juga motif burung merak. Maknanya adalah sumber mata air tersebut memiliki keterikatan antara manusia dan alam. Tidak dapat dipisahkan. 

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Detail relief sumur Sendang Lerep di Petirtaan Cabean Kunti/Ibnu Rustamadji

Faktanya, sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas pemberian alam, setiap tahunnya masyarakat Dukuh Kunti menggelar upacara sedekah bumi di kawasan petirtaan. Begitu kira-kira dugaan saya mengenai arti yang tersembunyi di balik relief Sendang Lerep.

Merujuk pada papan informasi yang ada, Petirtaan Cabean Kunti diperkirakan dibangun pada masa Ratu Dyah Wara dari Wangsa Syailendra, Mataram Kuno guna mendukung tempat pendarmaan atau pertapaan untuk belajar ilmu agama di kawasan Candi Lawang dan Candi Sari. Petirtaan ini dibangun pada masa klasik, yaitu sekitar abad VIII hingga IX Masehi.

Petirtaan Cabean Kunti memang berada tidak jauh dari kedua candi tersebut. Terletak di pinggiran Sungai Kunti. Hanya saja untuk mencapai petirtaan harus melalui jembatan Dukuh Kunti. Hal ini terjadi karena ketujuh sumur mata air berada tersebar di sisi Barat dan Timur jembatan. 

Tiga sumur di barat dan dua di timur. Sisanya berada di selatan jembatan. Selama penelusuran saya menemukan beberapa sumur memiliki batuan halus, tetapi tidak merata. Usut punya usut, batuan halus tersebut saya duga terjadi karena aktivitas mandi dan mencuci yang dilakukan warga sekitar saat sore. Sangat disayangkan jika harus terjadi seperti itu.

Tidak lama kemudian dugaan saya terjawab. Tampak seorang ibu paruh baya berjalan seorang diri menuju Sendang Keputren. Pasti si ibu akan mencuci di dekat sumur mata air, pikir saya.

Benar saja. Ia mencuci pakaian dan mandi di sendang tersebut tidak lama kemudian. Sendang Keputren artinya mata air untuk perempuan. Tentu khusus dan terpisah dengan sumur mata air untuk pria. Si ibu memang boleh memanfaatkan air di Sendang Keputren. Namun, karena ketidaktahuannya mengubah karakteristik gaya bangunan sumur mata air.

Beranjak 20 meter darinya, tampak sumur mata air berbentuk persegi tidak beraturan berada di bawah naungan pohon beringin. Tidak banyak tambahan informasi yang bisa saya dapat mengenai petirtaan ini, selain hanya sepotong informasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Kondisi salah satu sumur di bawah pohon beringin/Ibnu Rustamadji

Warisan Bersejarah yang Harus Dilestarikan

Latar belakang keagamaan dapat dilihat dari relief manusia dan binatang pada Sendang Lerep, yang diperkirakan merupakan tantri atau cerita binatang berisi ajaran moral pada agama Buddha. Fungsi Petirtaan Cabean Kunti adalah sebagai bangunan suci mengingat muatan moral tersebut. 

Berdasar pendapat para ahli, ada dua kemungkinan tokoh pendiri Petirtaan Cabean Kunti. Pertama, dibangun oleh bangsawan yang mengasingkan diri. Kedua, dibangun oleh pertapa yang ingin mencapai moksa.

Hingga saat ini tidak ada penjelasan yang rinci mengenai pendiri dan tujuan pembangunan situs tersebut. Yang jelas, petirtaan tersebut merupakan hasil karya manusia yang hidup pada zaman sekitar abad ke-9 Masehi di kawasan timur Gunung Merapi tersebut.

Keberadaan sumur tujuh mata air Cabean Kunti terlindungi oleh naungan pepohonan. Menambah kesan estetik bagi siapa pun yang berkunjung. Tidak ada rasa takut menggelayuti selama penelusuran, justru rasa nyaman dan tenang yang saya rasakan.

Hal ini mungkin terjadi karena saya memegang prinsip untuk selalu menjunjung tata krama dan sopan santun di mana pun berada. Seperti halnya bertamu di rumah orang lain. Harus mengikuti aturan dan adat yang berlaku serta tidak memaksakan ego pribadi. Terlebih jika aturan tersebut tercipta dan tidak tertulis, maka harus sangat dihormati dan berupaya bijak dalam perkataan maupun tindakan.

Walaupun kondisi Petirtaan Cabean Kunti jauh dari kata mewah, sudah sepatutnya kita ikut menjaga kelestarian warisan budaya, lingkungan, dan mata air yang ada. Musim kemarau berkepanjangan, seperti saat ini, debit mata air pun ikut surut. Aliran sungai di depannya turut terdampak. 

Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali
Satu dari enam sumur mata air tanpa relief di Petirtaan Cabean Kunti/Ibnu Rustamadji

Meski sumber mata air tersebut tidak sepenuhnya dialirkan menuju permukiman, alangkah baiknya jika Petirtaan Cabean Kunti dapat dimanfaatkan dengan baik. Dilestarikan menjadi ruang terbuka hijau layaknya Candi Lawang dan Candi Sari. 

Jika tidak mampu dikelola, ke depannya dapat digunakan sebagai pusat konservasi dan penelitian, bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Balai Besar Bengawan Solo, maupun Badan Riset dan Inovasi Nasional. Daripada dibiarkan begitu saja dengan perawatan yang sederhana.

Hingga menjelang petang tidak ada warga yang beraktivitas di sekitar petirtaan Cabean Kunti selain ibu tadi. Akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penelusuran. Tidak lupa saya membersihkan diri di Sendang Lerep, sebagai tanda memungkasi kegiatan saya di situs cagar budaya tersebut. Rasa segar dan dinginnya suhu pegunungan bercampur menjadi satu.. 

Hening dan tenang seketika menyeruak, ketika sinar matahari senja mulai berwarna oranye dan suara tonggeret bersahutan. Suasana khas pedesaan yang sudah sangat jarang dirasakan langsung datang menghampiri. Harapan besar saya, semoga ketujuh sumur mata air Cabean Kunti senantiasa memberikan kehidupan yang berkesinambungan antara alam dan masyarakat setempat. Dan juga ekosistem alam yang ada tidak berubah, sebagai bagian dari kehidupan sebuah desa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Petirtaan Cabean Kunti, Warisan Mataram Kuno di Boyolali appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/petirtaan-cabean-kunti-warisan-mataram-kuno-di-boyolali/feed/ 0 41045