warisan budaya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/warisan-budaya/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 11 Jan 2024 14:32:40 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 warisan budaya Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/warisan-budaya/ 32 32 135956295 Mengenal Tari Gondorio, Seni Pertunjukan Khas Grobogan https://telusuri.id/mengenal-tari-gondorio-seni-pertunjukan-khas-grobogan/ https://telusuri.id/mengenal-tari-gondorio-seni-pertunjukan-khas-grobogan/#respond Mon, 15 Jan 2024 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40912 Tak banyak seni pertunjukan yang autentik dan khas dari Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Menurut sejumlah sumber, satu-satunya seni pertunjukan yang secara valid bisa disebut sebagai warisan budaya Grobogan adalah Tari Gondorio. Atau ada yang menyebutnya...

The post Mengenal Tari Gondorio, Seni Pertunjukan Khas Grobogan appeared first on TelusuRI.

]]>
Tak banyak seni pertunjukan yang autentik dan khas dari Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Menurut sejumlah sumber, satu-satunya seni pertunjukan yang secara valid bisa disebut sebagai warisan budaya Grobogan adalah Tari Gondorio. Atau ada yang menyebutnya dengan nama Reog Gondorio.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Republik Indonesia, melalui situs web warisanbudaya.kemdikbud.go.id, telah mencatat Kesenian Reog Gondorio sebagai ikon tarian tradisional Kabupaten Grobogan dengan nomor 2011002085 (tahun 2011). Disebutkan dalam situs tersebut, Kesenian Reog Gondorio merupakan ikon tarian tradisional yang cukup terkenal di Grobogan dan sudah berusia ratusan tahun.

Kesenian Reog Gondorio masih sangat asing di telinga masyarakat. Bahkan banyak warga Grobogan belum mengetahui bentuk kesenian tersebut. Berbeda dengan Reog Ponorogo yang mempunyai ikon Singo Barong raksasa, Reog Gondorio lebih menonjolkan gerakan akrobatik dari dua orang penari utama.

Mengenal Tari Gondorio, Seni Pertunjukan Khas Grobogan
Persembahan Tari Gondorio dari anak-anak Padepokan Adhem Ayom Ayem asuhan Mbah Raden, Desa Godan, Grobogan/Badiatul Muchlisin Asti

Meski narasi kesenian Reog Gondorio telah berusia ratusan tahun perlu dikoreksi, tetapi sejumlah sumber memang menyebut Reog Gondorio—secara genealogis—merupakan seni pertunjukkan asli Kabupaten Grobogan. Menurut Mbah Reban (76), generasi kedua yang memopulerkan Reog Gondorio, dalam sebuah kesempatan wawancara dengan saya, menyatakan Reog Gondorio dikreasi oleh seorang seniman bernama Mbah Porjo. 

Mbah Reban sendiri mengaku sebagai generasi kedua yang mewarisi Reog Gondorio dari Mbah Porjo, sekaligus dialah yang memopulerkannya pada era 1980 hingga 1990-an. Mbah Reban mengaku, saat masih aktif mementaskan Reog Gondorio, dirinya tidak hanya diundang pentas di wilayah Kabupaten Grobogan saja, tetapi juga sudah lintas kabupaten, seperti Demak, Magelang, dan Kudus.

Sejak jatuh sakit, Mbah Reban tak bisa lagi pentas sampai sekarang. Menurutnya, generasi pelaku Reog Gondorio yang autentik sudah tidak ada lagi. Walaupun saat ini masih ada yang mementaskannya dengan sedikit perubahan.

Sekilas Tari Gondorio

Cahyani (2019) dalam tugas akhir sarjananya menyebutkan, Kesenian Reog Gondorio merupakan tari berpasangan laki-laki dan perempuan yang biasa difungsikan sebagai hiburan dalam upacara-upacara adat Jawa, seperti bersih desa, pernikahan, sunatan, dan slametan.

Tari Gondorio memiliki ragam gerak yang unik dengan posisi penari perempuan yang lebih banyak digendong oleh penari laki-laki. Selain itu, terdapat pula bentuk saweran dengan cara penari perempuan menerima uang menggunakan mulut. Momen menyawer ini sering dimanfaatkan penonton untuk mencari kesempatan agar bisa berciuman dengan penari.

Mengenal Tari Gondorio, Seni Pertunjukan Khas Grobogan
Penari sintren menerima saweran dari penonton/Badiatul Muchlisin Asti

Terkait genealogi nama Gondorio, Saptinasari (2020) dalam tugas akhirnya berpendapat, nama Gondorio diambil dari gendhing yang mengiringi tarian tersebut, yaitu gendhing Gondorio. Gondorio merupakan sebuah gendhing yang menggambarkan seorang bapak yang sedang ngudang—menghibur atau menimang—anaknya. 

Dalam Tari Gondorio, sang penari biasanya merangkap sebagai pemain jaranan. Gerak Tari Gondorio menuntut peran pengghondo (penari laki-laki) untuk mampu menopang tubuh penari sintren (penari perempuan) dan melakukan atraksi gendongan-gendongan yang atraktif dan variatif. 

Menurut Saptinasari, Tari Gondorio merupakan kesenian yang paling populer dan menjadi primadona di Grobogan. Selain menghibur, Tari Gondorio juga disajikan cukup interaktif di tengah-tengah masyarakat. 

Dalam pertunjukannya, Tari Gondorio selalu melibatkan penonton. Misalnya, penonton yang memberikan saweran kepada penari. Tari Gondorio konon terinspirasi dari tarian khas Bali. Pola gerak yang dihadirkan tarian tersebut sedikit banyak terdapat dalam pola-pola Tari Bali.

Sejumlah sumber menyebutkan, Tari Gondorio memiliki problem di regenerasi yang kurang baik. Dari sekitar 57 grup reog di Kabupaten Grobogan, tidak semuanya memiliki penari gondorio—ada pun hanya bisa dihitung dengan jari. Penyebabnya tak lain karena tari ini membutuhkan teknik yang khusus, fisik kuat, dan kedisiplinan tinggi. Kalau seorang pemain sembrono, akibatnya bisa sangat fatal. Regenerasi yang buruk inilah tampaknya menjadi penyebab Tari Gondorio sulit dijumpai saat ini.

Mengenal Tari Gondorio, Seni Pertunjukan Khas Grobogan
Penari Gondorio membutuhkan kepiawaian dan keluwesan fisik saat beratraksi/Badiatul Muchlisin Asti

Gendhing Gondorio

Pertunjukan Tari Gondorio memiliki ciri kerakyatan yang memberikan kebebasan berekspresi dan spontanitas para pendukungnya. Pola-pola gerak tarinya sederhana dan akrab dengan masyarakat. Keleluasaan dalam berekspresi juga memungkinkan terjadinya interaksi komunikasi antarpelaku secara harmonis.  

Gendhing dalam Tari Gondorio dinyanyikan berulang-ulang sampai Tari Gondorio selesai. Alat musik yang digunakan adalah saron, drum, bonang, kenong, kempul, gong, dan gambang. Berikut adalah lirik dari gendhing yang digunakan dalam Tari Gondorio. 

Gandhuk gondorio
(Lagu gondorio)
Gandhuk manuke opo
(Lagunya burung apa)
Manuk manuk plenjak
(Burung-burung plenjak)
Menclokane witing jarak
(Hinggapnya di pohon jarak)
Ojo mlencok witing jarak
(Jangan hinggap di pohon jarak)
Mlenclok seng tukang pencak
(Hinggaplah pada pemain pencak)
Eeee… sawonggaling

Dighondo karo dililing
(Ditimang sambil dihibur)
Gandhuk gondorio
(Lagu gondorio)
Gandhuk manuke opo
(Lagunya burung apa)
Manuk manuk lori
(Burung-burung lori)
Menclokane witing pari
(Hinggapnya di batang padi)
Ojo menclok witing pari
(Jangan hinggap di batang padi)
Menclok o seng dadi siji
(Hinggaplah untuk bersatu)
Eee…. sawo glethak

Jenggelek bali meneh
(Berdiri kembali lagi)
Gandhuk gondorio
(Lagu gondorio)
Gandhuk manuke opo
(Lagunya burung apa)
Manuk-manuk podhang
(Burung-burung podang)
Penclokane witing gedhang
(Hinggapnya di pohon pisang)
Ojo menclok witing gendang
(Jangan hinggap di pohon pisang)
Menclok o nang tukang kendang
(Hinggaplah di pemain kendang)
Eeee… sawo glethak
Aja delek bali meneh
(Jangan sembunyi kembali lagi)

Referensi

Cahyani, C. N. (2019). Fenomena Erotis Tari Gondorio dalam Kesenian Reog Gondorio Grup Indah Priyagung Laras Kabupaten Grobogan. (Skripsi, Universitas Negeri Semarang, 2019). Diakses dari https://lib.unnes.ac.id/35168/1/2501414004_Optimized.pdf.
Saptinasari, N. (2020). Garap Tari Gondorio di Paguyuban Reog Wahyu Banteng Kembar Kabupaten Grobogan. (Skripsi, Institut Seni Indonesia Suarakarta, 2020). Diakses dari http://repository.isi-ska.ac.id/4715/1/Nurfarida%20Saptina%20Sari.pdf.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenal Tari Gondorio, Seni Pertunjukan Khas Grobogan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenal-tari-gondorio-seni-pertunjukan-khas-grobogan/feed/ 0 40912
Kisah di Balik Kerkhof Gombong (1) https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-1/ https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-1/#respond Tue, 03 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36791 Seorang rekan mengajak saya jalan, kali ini ke selatan Jawa Tengah, tepatnya Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Tujuan kami yakni menelusuri makam Belanda atau kerkhof di Gombong.  “Bro, minggu depan berangkat ke Gombong mau...

The post Kisah di Balik Kerkhof Gombong (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Seorang rekan mengajak saya jalan, kali ini ke selatan Jawa Tengah, tepatnya Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Tujuan kami yakni menelusuri makam Belanda atau kerkhof di Gombong. 

“Bro, minggu depan berangkat ke Gombong mau nggak?” begitu ajakannya.

Saya pun lantas menanyakan tujuan, “Mau ke mana, Rumah Martha Tilaar, apa benteng?”

“Jelajah Kerkhof Gombong, bagimana, setuju tidak?”

“Wah, pasti, berangkat kita!”

Ia mengajak saya berangkat sehabis Subuh, katanya sekalian ngabuburit di Gombong. Saya pun mengiyakan. Sehari sebelum keberangkatan, ia mengingatkan jadwal. Maklum, kami berbeda kota. 

Pagi-pagi sekali, kami berangkat menuju titik kumpul yakni Stasiun Balapan Solo. Kami membeli tiket kereta api pergi-pulang dari Solo menuju Gombong dan sebaliknya. Dari sini, butuh waktu sekitar empat jam untuk tiba di Gombong.

Setibanya di Stasiun Gombong, ada seorang rekan yang menunggu. Awalnya kami sama-sama bingung, benar orang yang saya maksud atau bukan. Sampai akhirnya ia menyapa terlebih dulu.

Berkumpul di Rumah Martha Tilaar

Jelajah Kerkhof Gombong saya awali dari Rumah Martha Tilaar di Jalan Sempor Lama. Melangkah masuk halaman Rumah Martha Tilaar, Alona Ong dan Mas Sigit, rekan saya di Gombong menyambut kedatangan kami.

Persiapan jelajah Kerkhof Gombong berlangsung sekitar satu jam. Mulanya, kami beranjak ke jalan menuju kerkhof  di Jalan Sempor Lama, Semanding Gombong Kebumen. Dari Rumah Martha Tilaar menuju lokasi tidak sampai 10 menit, lokasinya juga tidak jauh dari Benteng Van Der Wijck.

Gapura sederhana berpagar besi siap dibuka, menanti kedatangan siapapun untuk berziarah. Selepas dipersilakan masuk, yang pertama kali saya lakukan adalah mengirim doa untuk mereka yang beristirahat dengan damai di sini. Tidak ada rasa takut saat saya menginjakan kaki dan melihat-lihat nisan yang tersisa.

Mausoleum Familie Van Burm: Makam Keluarga yang Tersisa di Kerkhof Gombong

Tengah mengabadikan setiap sudut dan nisan makam, mata saya tertuju pada satu makam yang terlihat lebih besar dari sekitarnya. Ternyata, nisan ini adalah makam keluarga—mausoleum familie van Burm.

Menengok ke dalam, mausoleum ini sudah rusak dan penuh sampah. Lebih tepatnya terbengkalai, dengan meninggalkan satu nisan milik Loucia Burm dan Pieter Peelen. 

Tanpa pikir panjang, saya langsung menghubungi Hans Boers. Menurut keterangannya, keluarga Van Burm tertua di Gombong adalah Charles Louis Burm kelahiran 27 September 1805, wafat 25 November 1895. Tidak diketahui tinggal di mana semasa hidupnya, hanya keterangan lahir dan wafat yang ditemukan. 

“Charles Louis Burm, menikah dua kali, pernikahan pertama dengan keluarga Hammerich, dan pernikahan kedua dengan keluarga Boomhoff,” jelasnya. “Cuma, semuanya tidak ditemukan catatan hidupnya.” 

Istri pertama Charles Louis Burm bernama Carolina Frederik Hammerich kelahiran 7 Maret 1838, wafat 5 Desember 1854. Pernikahan mereka dikaruniai sekitar 5 anak, salah satunya Loucia Burm kelahiran 12 Mei 1851. Istri kedua bernama C.W. Burm-Bomhoff kelahiran 23 September 1923, wafat 10 Oktober 1893.

Loucia Burm istri dari Pieter Peelen, seorang prajurit militer KNIL Gombog. Pieter Peelen kelahiran Den Haag 12 Januari 1837, wafat 10 Maret 1910. Pernikahan keduanya digelar di Karanganyar, Kebumen pada 02 Februari 1877. 

Pasca menikah mereka tinggal di Gombong dan mendirikan usaha penginapan bernama Hotel  Gombong. Sebuah penginapan prestisius di zamannya, tentunya. Selain usahanya Hotel Gombong, mereka juga membuka usaha jasa perjalanan wisata.

Wisata di Gombong? Kemungkinan iya. Wisata ke Geopark Karst Karangsambung dan Goa Jatijajar penuh dengan ornamen nama-nama orang Belanda yang bermukim di Kebumen dan sekitarnya.

Sepeninggal Loucia, penginapan yang mereka rintis berakhir. Hotel Gombong terjual pada tahun 1901, atas nama Mevrouw Loucia. Hotel dan jasa wisata dijual lagi oleh Pieter Peelen, namun hingga sepeninggal Pieter Peelen, Hotel Gombong belum laku. 

Makam Maria Anna Elisabeth Cooke

Dari mausoleum familie van Burm, saya melanjutkan menuju nisan tersisa lain. Tujuan selanjutnya yakni makam perempuan muda bernama Maria Anna Elisabeth Cooke. 

Maria Anna Elisabeth lahir pada 26 Februari 1882 dan wafat 18 Mei 1884. Maria Anna Elisabeth anak dari Richard Henry Cooke III dan Carolina Frederika Prager.

“Keluarga Cooke ini rekan dari saudara saya, sama-sama meninggal di Pulau Bawean, di atas kapal HMS de Ruyter tanggal 27 Februari 1942,” lanjut Hans Boers. 

Maria Anna Eliza Cooke
Nisan milik perempuan muda, Maria Anna Eliza Cooke/Ibnu Rustamadji

Pada nisan Maria Anna Elisabeth, terdapat ukiran heraldic rumit dalam kondisi rusak dan tidak mudah untuk dibaca kembali. Padahal kalau ukiran tersebut masih utuh, akan terlacak dimana dan siapa keluarga Maria Anna Elisabeth berasal.

Floris Kraake, Perwira Militer dari Gombong

Saya berhadapan dengan makam Floris Kraake, kelahiran Utrecht 23 Juni 1824, wafat di Gombong 9 Oktober 1886. Floris Kraake, putra Jacob Kraake dan Wilhelmina Elisabeth de Nigtere. Floris Kraake menikah dua kali. Pertama dengan Georgia Alexander dan kedua dengan istri Jawa, bernama Samiem di Karanganyar Kebumen, tanggal 29 Agustus 1877.

Georgia Alexander wafat di Semarang 2 Agustus 1868, dan memiliki anak Floris Karel dan Wilhelmus Jacobus. Floris Kraake wafat sebagai pensiunan ajudan militer di Semarang. Kedua anaknya, juga berprofesi sebagai perwira militer. 

Nisan Floris Kraak,
Nisan Floris Kraak, masih ada keluarga yang menziarahinya/Ibnu Rustamadji

Wilhelmus Jacobus Kraake, anak kedua Floris Karel dan Georgia Alexander, diketahui memiliki hubungan dengan Willem Hendrik Poepaart yang sama-sama perwira militer di Gombong. Saya langsung  menuju makam milik W. H. Poepaart.

Willem Hendrik Poepaart, Saksi Perang Aceh Pertama dari Gombong

Makam Willem Hendrik Poepaart berada di sudut kiri gerbang masuk Kerkhof Gombong. Bagian nisan bertuliskan, “Hier Rust. Mijn Dierbare Man en Vader Liner Dankbare Kinderen W.H. Poepaart, geboren 16 Agustus 1857, overladen 9 April 1936”. 

Saya kira nisan asli utuh, ternyata sudah pernah dirusak dan baru selesai diperbaiki. Nisannya bertuliskan, Di sini beristirahat, suami sekaligus ayah dari anak-anak terkasih Willem Hendrik (W.H) Poepaart, lahir 16 Agustus 1857, wafat 9 April 1936”.

Bagian atas nisan sejatinya patung dewi bergaya Yunani berbahan marmer Italia. Untung saja, patung dewi tersebut tidak hilang tapi hanya digeser demi keamanan. Patung dewi Yunani berada di sudut bawah makam W.H. Poepaart. 

W.H. Poepaart lahir di Belgia 16 Agustus 1857, dan wafat di Gombong 9 April 1936. “W.H. Poepaart menikahi perempuan Jawa bernama Karsina pada 21 September 1891 di Bagelen Purworejo dan. pernikahan mereka dikaruniai 12 anak,” lanjut Hans Boer. 

Anak-anaknya, diantaranya adalah Ronsina lahir di Gombong 1891 wafat tahun 1958 di Enschede, Gedion Frederik Teo seorang perwira militer kelahiran Gombong 9 November 1906. Selain itu, Johanna Catharina kelahiran Gombong 21 April 1896 istri dari Hendrikus Hendrik, Charles Hendrik kelahiran Gombong 3 Februari 1883. 

W.H. Poepaart merupakan perwira militer Gombong, penerima medali kehormatan dari Keraton Yogyakarta. Atas dasar apa, beliau mendapatkan medali kehormatan? Ternyata, yang pertama, W.H. Poepaart lulusan terbaik sekolah perwira militer Gombong. Tidak lama kemudian. W.H. Poepaart tergabung dalam ekspedisi Perang Aceh pertama 1873-1874, dan terlibat peperangan dengan rakyat Aceh dipimpin Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah. Pihak kolonial dipimpin oleh Kohler. 

Atas kontribusinya, W.H. Poepaart pensiun sebagai veteran Perang Aceh pertama. Tak ayal, beliau mendapat penghargaan yang luar biasa dari Keraton Yogyakarta. Adapun penghargaan yang diraihnya, Kraton-Medaille, Atjeh-Kruis, dan Zilveren Medaille. W.H. Poepaart memilih Gombong sebagai tempat peristirahatan terakhir karena “welk plaatsje hij zeer life had” artinya tempat yang sangat dicintai”

“Wilhelmus Jacobus Kraake, hadir dalam pemakaman rekan militernya, beserta rekan lama dan kenalan almarhum (W.H. Poepaart),” ucap Hans Boer. Pemakaman dilakukan secara militer, hanya ucapan terima kasih dari istri dan rekan W.H. Poepaart yang bergema. 

Jadi. W.H. Poepaart adalah warga Belgia, yang berkontribusi besar terhadap Gombong dan Indonesia secara luas melalui jasanya di bidang militer. 

Selain makam Van Burm, Maria Anna Elisabeth, Floris Kraake dan W.H. Poepaart, masih ada yang menarik untuk dikulik lebih jauh. Perjalanan saya dalam jelajah Kerkhof Gombong belum berakhir, nantikan kelanjutannya!

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kisah di Balik Kerkhof Gombong (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kisah-di-balik-kerkhof-gombong-1/feed/ 0 36791