wastra Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wastra/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 14 May 2024 08:41:59 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 wastra Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wastra/ 32 32 135956295 Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan https://telusuri.id/jejak-kejayaan-pabrik-texin-tegal-yang-terlupakan/ https://telusuri.id/jejak-kejayaan-pabrik-texin-tegal-yang-terlupakan/#respond Tue, 14 May 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=41911 Orang mungkin akan lebih mengenal Pabrik Texin, ketimbang nama panjangnya: PT Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal. Selama 16 tahun saya bertetangga dengan kompleks bangunan tersebut, saya baru tahu bahwa ada sejarah menarik di baliknya....

The post Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
Orang mungkin akan lebih mengenal Pabrik Texin, ketimbang nama panjangnya: PT Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal. Selama 16 tahun saya bertetangga dengan kompleks bangunan tersebut, saya baru tahu bahwa ada sejarah menarik di baliknya. Konon pada masanya, Pabrik Texin pernah menjadi salah satu pabrik tekstil terbesar dan tersohor se-Asia Tenggara.

Menurut penuturan orang zaman dulu yang pernah bekerja di Pabrik Texin, hanya pribumi terpandang yang beruntung menjadi karyawan di pabrik peninggalan Belanda itu. Para karyawan pribumi digaji dengan bayaran yang cukup besar untuk ukuran pada masanya. Belum lagi pemberian tunjangan hari raya yang banyak dan lengkap, seperti sejumlah uang dan sembako. Bahkan karyawan pria, jika ingin memilih pasangannya hanya tinggal menunjuk perempuan mana saja yang ingin ia nikahi, karena jarang ada perempuan yang menolak.

Foto-foto lawas koleksi Tropenmuseum Amsterdam yang menggambarkan para pekerja di antara mesin-mesin tenun di pabrik Java Textiel Maatscappij Tegal atau Pabrik Texin Tegal (kiri) dan pemrosesan kapas yang dipres menjadi bal lalu dikemas oleh pekerja pabrik (kanan).

Sejarah Singkat Pabrik Texin

Pabrik Texin memiliki luas lahan sekitar 50 hektare dan terletak di Jalan Pala Raya, yang menghubungkan Kelurahan Dampyak dan Desa Mejasem Barat, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Persis di depan area pabrik, terdapat puluhan perumahan dinas khas arsitektur Belanda.

Pabrik ini didirikan pada tahun 1935 dan diresmikan tanggal 25 Mei 1936 dengan nama Java Textil Maatschappij atau JTM, yang berbentuk badan hukum “NV” dengan modal yang terbagi dalam beberapa saham. Hanya berselang setahun kemudian, pabrik mulai produksi dan berlanjut hingga pihak Jepang menguasai Indonesia. Jepang merebut pabrik tersebut dari pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1942.

Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1964 tentang pendaerahan perusahaan industri negara, serta Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 21 tahun 1965 tanggal 3 Juli 1965, terbentuklah perusahaan industri daerah “Sandang” Jawa Tengah dengan sebutan Pinda “Sandang” Jateng Pabrik Textil Indonesia (TEXIN) Tegal. Di kemudian hari dikenal dengan sebutan Perusda “Sandang” Jawa Tengah Pabrik Textil Indonesia (TEXIN) Tegal.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pabrik tersebut diambil alih oleh pemerintah Indonesia dan ditempatkan di bawah pengawasan Badan Pertekstilan Negara. Kemudian dalam perkembangannya, beralih ditempatkan di bawah Badan Pimpinan Perusahaan-perusahaan Industri dan Tambang atau disebut BAPPIT PUSAT TEXIN.

Pada tanggal 27 April 1983, ada pergantian nama pabrik dari Pabrik TEXIN Tegal menjadi Pabrik Tekstil (Pabriteks) Tegal. Lalu pada November 2015, untuk yang terakhir kalinya berubah nama menjadi PT Sandang Tegal Intijaya (tahun 2000 sempat bernama PT Industri Sandang Nusantara). PT Sandang Tegal Intijaya saat ini beroperasi dengan memproduksi benang dan kain, benang TR 20/2, benang katun 20/2, kain katun, dan kain TR (tetron rayon).

Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan
Tampak gerbang depan Pabrik Texin atau sekarang PT Sandang Tegal Intijaya/Google Street View

Rumah-rumah Belanda yang Tidak Terurus dan Mitosnya

Kalau Anda berkunjung ke Kota Tegal, kemudian berkendara atau berjalan melewati Jl. Pala Raya, Anda pasti akan menemukan jejeran puluhan rumah khas arsitektur negeri kincir angin yang sudah lapuk termakan waktu. Posisinya persis di sebelah selatan RS Mitra Siaga Tegal dan dekat rel kereta api. Konon, bangunan-bangunan tersebut tersebut adalah perumahan bagi para penggede Hindia Belanda yang dulu bekerja di Pabrik Texin. Seperti yang dituturkan oleh nenek saya, Maslicha (72), “Awal tahun 1960-an itu saat Mbah [sekolah] TK, masih sering terlihat anak-anak keturunan Londo  di sekitar lingkungan pabrik dan perumahan.”

Bangunan rumah yang mencolok dan tidak terawat menambah unsur angker dan mistis. Dari depan pagar, banyak terlihat rumah dinas yang telah terkelupas catnya dan ditumbuhi dengan tanaman liar yang merambat lebat hingga ke atap. Belum lagi kondisi rumah yang sudah jebol di sana-sini. Banyaknya semak belukar di sekitar halaman kompleks perumahan menjadi sarang binatang, seperti ular dan kalajengking. Dari puluhan bekas rumah dinas Belanda tersebut, terdapat satu sekolah (sepertinya sekolah dasar) yang masih terlihat catnya yang bergambar kartun Bobo.

Meski lingkungan sudah tak keruan, fisik rumah-rumah yang terlihat kokoh menjelaskan bahwa bahan bangunan yang digunakan adalah material dengan kualitas terbaik. Bingkai jendela dan pintu menggunakan kayu jati sebagai bahan bakunya. Keramik-keramik yang digunakan sejak masa kolonial masih terlihat utuh. Hanya ada satu-dua rumah saja yang roboh, itu pun akibat angin besar dan hujan lebat yang mengguyur akhir-akhir ini.

Selain perumahan dinas, di kompleks tersebut juga terdapat wisma tamu yang letaknya bersebelahan. Area wisma tamu kurang lebih seluas 70 meter persegi. Tidak banyak yang saya tahu dari wisma tamu. Namun, yang jelas di area wisma tamu terdapat kolam renang anak dan dewasa yang masih utuh bentuknya, serta ruangan karaoke, ruang dansa, dan bar yang luas. Kolam renang tersebut juga dibuka untuk umum pada saat itu. Tepat di belakang ruangan karaoke terdapat lapangan tenis, yang lantainya masih menggunakan keramik putih lama masa kolonial.

Perumahan dinas di sekitar Pabrik Texin juga pernah dan sering dijadikan sebagai tempat pengajian sebelum tahun 2000-an. Di depan jalan sepanjang perumahan dinas dan pabrik, setiap bulan puasa selalu ramai oleh hiasan lampu dan ornamen-ornamen khas Ramadan. “Biasanya setiap pengajian ibu-ibu Jumat sore, kita meminjam tempat di salah satu rumah. Nanti janjian di rumah nomor berapa,” ungkap nenek saya. 

Terdapat mitos yang berkembang di tengah sebagian masyarakat. Di belakang ruang karaoke, terdapat siluman buaya putih penghuni kolam renang. “Di kolam renang yang airnya warna hijau itu ada penunggunya (buaya putih),” kata Lita, salah satu warga setempat.

Ada satu misteri lagi, yakni sering terdengar bunyi sirine pada pukul 12 hingga 3 siang dari arah kompleks perumahan dan pabrik, serta penampakan sesosok pria Belanda di area pabrik. “Biasanya kalau siang itu ada bunyi ‘nguuung’ dari situ,” tambah Wawan, warga desa lainnya.

  • Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan
  • Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan
  • Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan

Kurang Perhatian Pemerintah dan Terpinggirkan

Sejak berakhirnya masa kolonial Belanda, perumahan dinas Pabrik Texin sudah tidak dipakai lagi. Akan tetapi, aktivitas di sekitar pabrik masih tetap berjalan. Memasuki akhir tahun 2000, kejayaan pabrik mulai memudar karena mengalami kebangkrutan. Bangunan perumahan dibiarkan terbengkalai. Entah karena biaya perawatannya yang besar atau bukan termasuk dalam bangunan cagar budaya yang dilindungi. Bagaimanapun, pabrik dan kompleks perumahan Belanda tersebut adalah bangunan bersejarah. Di baliknya banyak jejak sejarah yang bahkan oleh masyarakat sekitar sendiri tidak mengenali.

Lantas, mengapa bangunan tersebut tidak dihancurkan saja? Sesuai peraturan perundang-undangan, bangunan itu termasuk tipe A yang tidak boleh dibongkar baik luar maupun dalam. Tanggapan dan tindakan pemerintah daerah dalam mengelola Pabrik Texin adalah sebatas melakukan inventarisasi. Adapun pengurusan bangunan tersebut merupakan kewenangan dari Kementerian BUMN.  Saya jadi bertanya-tanya, apakah jejak sejarah di dekat rumah saya akan tergerus oleh zaman sehingga dilupakan oleh generasi muda?

Berdasarkan beberapa referensi yang saya baca dan observasi langsung, banyak aset pabrik yang dijual dan beberapa bangunan peninggalan Belanda dihancurkan untuk membayar karyawan yang terkena PHK (pemutusan hubungan kerja). Misalnya, ruangan pemintalan dan pengecoran yang dirobohkan pertama kali pada 2014, diganti dengan kompleks perumahan baru. Pelelangan dilakukan oleh pemerintah, seperti bangunan untuk pertenunan, persiapan, ketel uap, finishing, bahkan perumahan pejabat dengan arsitektur khas Belanda. Saat ini yang masih tersisa adalah bangunan masjid Baitul Amanah yang berada di bagian paling barat area pabrik.

Selain itu, bangunan pabrik sepertinya juga tidak direnovasi besar-besaran. Menurut informasi beberapa karyawan yang bekerja di pabrik tersebut, kondisi kumuh dan fasilitas pabrik di dalamnya juga masih kurang memadai untuk standar pabrik tekstil modern. Aktivitas pabrik saat ini pun sudah berkurang dibanding saat masih berjaya di bawah pengelolaan Belanda. Hanya beberapa kegiatan saja yang tetap berjalan, seperti pemintalan dan penenunan.

Foto sampul:
Foto hitam putih pabrik Java Textiel Maatschappij Tegal atau Pabrik Texin tahun 1938/koleksi Nationaal Museum van Wereldculturen


Daftar Pustaka

Mulyadi, A. (2015, 12 Maret). Pabrik Texin Tegal Riwayatmu Kini. Lensa Pantura. Diakses pada 31 Maret 2024, dari http://lensaseputarpantura.blogspot.com/2015/03/pabrik-texin-tegal-riwayatmu-kini.html.
Mulyadi, A. (2023, 23 Juli). Kilas Sejarah Pabrik Texin Tegal, Perusahaan Tekstil Tersohor Pada Masanya. Radar Tegal. Diakses pada 1 April 2024, dari https://radartegal.disway.id/read/659375/kilas-sejarah-pabrik-texin-tegal-perusahaan-tekstil-tersohor-pada-masanya.
Saprudin. (2001). Analisis Sebab Pemborosan Dalam Rangka Meningkatkan Efektivitas Peralatan Pada Pasar Yang Kompetitif (Kasus PT (Persero) Industri Sandang Nusantara Unit Pabriteks Tegal). Tesis S-2. Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/9396/.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Jejak Kejayaan Pabrik Texin Tegal yang Terlupakan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/jejak-kejayaan-pabrik-texin-tegal-yang-terlupakan/feed/ 0 41911
Cerita di Sekolah Tenun Ikat Flamboyan https://telusuri.id/sekolah-tenun-ikat-flamboyan/ https://telusuri.id/sekolah-tenun-ikat-flamboyan/#respond Fri, 16 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36658 Selalu ada pilihan tempat wisata di Nusa Tenggara Timur, yang tidak hanya mampu menciptakan efek kagum akan segala hal di dalamnya, tetapi juga dapat menjadi tempat belajar yang baik tentang ragam hal yang ada di...

The post Cerita di Sekolah Tenun Ikat Flamboyan appeared first on TelusuRI.

]]>
Selalu ada pilihan tempat wisata di Nusa Tenggara Timur, yang tidak hanya mampu menciptakan efek kagum akan segala hal di dalamnya, tetapi juga dapat menjadi tempat belajar yang baik tentang ragam hal yang ada di sini. Menariknya, semua itu tidak saja tersaji lewat alam yang Tuhan ciptakan dengan begitu sempurna, tetapi juga lewat warisan budaya dan hasil cipta masyarakat di dalamnya. Salah satunya, bisa saya temukan di Rumah Tenun Ikat Flamboyan—sebuah ruang bagi masyarakat yang tergabung dalam kelompok penenun.

Sekolah Tenun Ikat Flamboyan
Sekolah Tenun Ikat Flamboyan/Oswald Kosfraedi

Sebelumnya, di saya sudah mengunjungi Rumah Tenun Kampung Alor pada 2021 lalu untuk menyaksikan proses menenun serta ragam koleksi yang ada di dalamnya. Setelahnya, saya mengunjungi Rumah Tenun Kampung Sabu dan menyaksikan hal yang sama di sana.

Tenunan dengan segala keindahan motif dan nilai luhur yang terkandung di dalamnya lahir dari jari-jari terampil dan ketekunan para penenun. Dengan itu, apresiasi atas tenun pertama-tama harus dialamatkan kepada para penenun. Mereka hadir sebagai tokoh penting di balik lahirnya tenunan nan indah, sekaligus berdiri di garda depan dalam upaya pelestarian warisan budaya nan luhur.  

Melabuhkan kaki di Kabupaten Belu memberi saya berkesempatan untuk bertemu para penenun nan terampil.

Memang, selama kurang lebih empat tahun lebih saya berada di Pulau Timor, kekayaan tenunan Kabupaten Belu belum sepenuhnya melekat sebagai identitas daerah ini. Perbatasan, Fulan Fehan, dan beberapa destinasi wisata lainnya masih dominan disebut sebagai ikon Kabupaten Belu. Sementara tenunan masih jarang saya dengar—dalam konteks pergaulan sehari-hari—apalagi keberadaan kelompok penenun dan sekolah tenun yang ada di sana.  

Alhasil, lagi-lagi melalui kesempatan Modul Nusantara, saya tiba di salah satu sekolah tenun lokal yang terletak di Kuneru, Kelurahan Manunutin, Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu. Namanya, Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Sekolah tenun ini terbentuk secara resmi dua tahun lalu, berada di bawah binaan Kelompok Tenun Ikat Flamboyan yang berlokasi di tempat yang sama.

Jumlah siswanya berjumlah 15 orang, dan mereka acap disebut sebagai anak-anak Flamboyan. Anak-anak ini merupakan gabungan dari anak-anak sekolah pada jenjang yang berbeda, dengan rincian  empat orang siswa SD, lima orang siswa SMP, dan enam orang siswa SMA. Ketika tiba di sana, anak-anak ini pun sedang menenun beberapa kain tenun khas Kabupaten Belu.  

Sore hari itu, kami berkesempatan bertemu secara langsung dengan Mama Maria Goreti Bisoi, yang akrab disapa Mama Eti Bisoi. Beliau merupakan Ketua Kelompok Tenun Ikat Flamboyan sekaligus pengelola Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Dari beliaulah, kami mendapatkan informasi tentang keberadaan sekolah ini.

Beliau menjelaskan, di Kelurahan Manumutin sendiri ada dua sekolah tenun, termasuk salah satunya Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Dalam praktiknya, sekolah ini bersifat terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar menenun—dari berbagai jenjang pendidikan—untuk kemudian diajarkan dan dilatih perihal keterampilan menenun.  

Aktivitas menenun yang diajarkan kepada anak-anak Flamboyan mempunyai beberapa tahapan. Kelas pertama yakni pengenalan alat dan bahan, serta fungsi alat yang digunakan dalam menenun. Setelahnya, para siswa mendapatkan pelajaran mengenai jenis tenunan maupun nilai filosofis di dalamnya, dan tahapan spesifik lain sehingga para siswa dapat  memahami secara baik serangkaian tahapan menenun.  

Di Sekolah Tenun Ikat Flamboyan, para siswa juga intens dilatih untuk menenun tais futus (tenun ikat) dan tais fafoit (tenun sulam) dalam masyarakat Belu. Terkait alat dan bahan menenun, Mama Eti Bisoi menyebut beberapa alat dan bahan, yang mencakup ailulu, ru’i, knur, kai ana, ulo, kaka balun, beba, benang, dan beberapa lainnya. Sementara terkait motif, beberapa motif yang sempat diperkenalkan beliau, antara lain nugu (dikur-tanduk), bebak taran (dahan pohon tuak bergerigi), romiki (gadis kemak bersolek), aikleu (dahan pohon), dan bia ubu (binatang air).  

Beres pengenalan sekolah tenun kepada rombongan kami, saya menemui Mama Eti untuk sedikit menggali informasi tentang keberadaan Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Menariknya, menurut Mama Eti, anak-anak yang saat ini tergabung di sini rupanya bergabung atas niat dan kemauannya sendiri untuk belajar menenun. Hal ini pun disampaikan oleh salah seorang anak yang saya tanya hari itu. 

Mama Eti Bisoi
Mama Eti Bisoi/Oswald Kosfraedi

“Karena mau belajar tenun,”katanya sambil tersenyum malu.  

Model pembelajaran terkait jenis tenunan, motif, dan nilai filosofis tenunan pun boleh dibilang sangat unik. Anak-anak sekolah diberi ruang belajar secara mandiri untuk memahami hal-hal demikian. Mama Eti dan beberapa penenun Flamboyan hanya mengirimkan materi melalui grup WhatsApp dan kemudian anak-anak secara aktif mempelajarinya secara mandiri.

Hebatnya, anak-anak ini kemudian datang ke tempat tenun dengan pemahaman yang baik dan benar perihal materi yang dibagikan tersebut. Mama Eti dan pendamping lainnya hanya memberikan informasi tambahan sesuai kebutuhan anak-anak tersebut. Dalam perjalanannya, sekolah tenun ini tidak memungut biaya untuk belajar. Dalam seminggu, anak-anak hanya akan didampingi selama 4 jam oleh dua instruktur yakni Mama Eti dan Mama Marta.  

Obrolan saya dan Mama Eti diakhiri dengan pertanyaan saya perihal ide awal menggagas Sekolah Tenun Ikat Flamboyan, Kuneru. Dengan nada bicaranya yang tenang Mama Eti kemudian menjelaskan ide awal pendirian sekolah tenun tersebut. 

“Awalnya kita sering ikut kegiatan di luar, dan kita tahu bahwa tenun ini warisan budaya. Kita sadar bahwa ini perlu diwariskan kepada anak cucu, lalu bagaimana cara mewariskannya sedangkan guru-guru di sekolah hanya [fokus] pada bidangnya masing-masing, menenun tidak ada pada program atau kurikulum sekolah.”

“Jadi ya, muncul ide bagaimana kalau kita yang bisa dan mampu [yang mengajarkannya]. Apa salahnya meluangkan waktu untuk ajarkan kepada  anak-anak sendiri?” lanjutnya.

Keberadaan Sekolah Tenun Ikat Flamboyan juga mendapat dukungan positif dari masyarakat sekitar dan pemerintah. Beberapa waktu sebelumnya, Mama Eti Bisoi menerima penghargaan sebagai perempuan yang berjasa dan berprestasi di Kabupaten Belu yang diberikan pada 21 April lalu. Menurutnya, penghargaan ini tidak terlepas dari keberadaan kelompok tenun dan sekolah tenun yang mereka bentuk. 

Mama Eti Bisoi juga menambahkan bahwa secara umum pelestarian tenunan di Kabupaten Belu sudah dilakukan dengan baik. Menurutnya, masyarakat sudah punya kesadaran untuk menaruh perhatian besar pada pelestarian tenun, dan semua itu perlu didukung oleh semua pihak sebagai upaya pelestarian budaya daerah maupun nasional.  

  • Sekolah Tenun Ikat Flamboyan
  • Sekolah Tenun Ikat Flamboyan
  • Sekolah Tenun Ikat Flamboyan

Beberapa dari rombongan kami pun berkesempatan mencoba menenun dengan peralatan yang ada di sana. Annis, Prasetya, Intan, dan beberapa yang lainnya pun tampak serius mengikuti arahan Mama Eti dan Mama Marta. 

Annis, salah satu rekan mahasiswa Modul Nusantara dari Jawa Barat menyampaikan kesan pribadinya setelah berkesempatan mencoba menenun. 

“Senang bisa ngedengerin ilmu dari pihak pengelola tenun, sama bisa praktek juga secara langsung. Biasanya kan cuma bisa lihat lewat media aja cara menenun. Apalagi kalau ada kelas rutin buat menenun ikutan deh annis. Ya walaupun nggak ulet,” ungkap Annis.  

Seiring malam yang kian menjelang, kami akhirnya pamit pulang dari Sekolah Tenun Ikat Flamboyan. Mobil melaju, dan saya mulai membayangkan betapa jauh jarak yang harus kami tempuh dari sini menuju Soe.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!

The post Cerita di Sekolah Tenun Ikat Flamboyan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sekolah-tenun-ikat-flamboyan/feed/ 0 36658
Air Guci, Kain Banjar yang Semakin Terpinggirkan https://telusuri.id/air-guci-kain-banjar-yang-semakin-terpinggirkan/ https://telusuri.id/air-guci-kain-banjar-yang-semakin-terpinggirkan/#respond Sun, 10 Oct 2021 05:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=30958 “Silahkan masuk,” ucap Risna. Perempuan yang akrab disapa Iin ini mempersilahkan saya masuk ke rumahnya. Sesaat memasuki ruang tamunya, tersuguh hamparan berbagai kerajinan olahannya dari kain air guci; tempat tisu, baju pengantin, laung, hingga hiasan...

The post Air Guci, Kain Banjar yang Semakin Terpinggirkan appeared first on TelusuRI.

]]>
“Silahkan masuk,” ucap Risna. Perempuan yang akrab disapa Iin ini mempersilahkan saya masuk ke rumahnya. Sesaat memasuki ruang tamunya, tersuguh hamparan berbagai kerajinan olahannya dari kain air guci; tempat tisu, baju pengantin, laung, hingga hiasan dinding. Sehelai kain nampak belum selesai digambar untuk membuat pola kain air guci, dibiarkan tergeletak di lantai. Sore itu, Risna menerangkan kepada saya bagaimana usahanya berjalan beriringan; antara bisnis dan pelestarian kain asli daerah.

Argadia Melati, nama yang diberikan neneknya kepada usaha kain air guci buatannya. Iin belajar menyulam air guci dari neneknya serta orang tuanya yang juga pengrajin. Meskipun usahanya dimulai dari 2010, sebenarnya dia tidak membuka usaha baru, melainkan melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh neneknya.

“Beliau (nenek) termasuk salah satu perempuan yang bergerak di bidang keterampilan di Banjarmasin tahun 1960,” waktu itu beliau belajar sendiri, ikut kegiatan, juga ikut kursus, dari semenjak itu beliau mengembangkan ilmunya dengan membuka kursus-kursus menjahit, tata rias, dan sulam air guci,” kata Iin. 

Kursusnya berkembang dan mulai menghasilkan anak murid yang menyebar ke berbagai penjuru. Seiring waktu, nenek semakin tua dan semakin sulit untuk mengajar, akhirnya kegiatan kursus ditutup. Kegiatan mulai difokuskan pada tata rias dan sulam air guci, yang bertahan hingga sekarang.

Kain air guci bukan sembarang kain. Pada saat masa Kerajaan Banjar, kain ini hanya boleh dipakai oleh kalangan istana. Pakaian kebesaran raja menggunakan air guci sebagai hiasan lambang kebesaran. Kesannya kuat dan beraura. Saya pernah menyaksikan sendiri peninggalan pakaian raja di museum, memang terlihat kuat aura wibawanya.

Berbeda dengan masa silam yang menggunakan payet tembaga, sulaman air guci masa sekarang menggunakan payet bahan sintetis sebagai pengganti tembaga karena sudah sukar mencarinya. “Kombinasi masa sekarang juga menggunakan payet mutiara atau payet permata sebagai hiasan tambahan,” terang Iin. Plastik dan kaca menjadi alternatif dari tembaga, selain karena mudah didapat, juga bahan ini terasa lebih ringan saat dipakai. Kain yang dipakai sebagai bahan utama pun beragam, bisa menggunakan kain beludru atau satin.

“Misal untuk pakaian biasa pakai kain satin, untuk hiasan bisa pakai beludru yang juga ada beberapa tingkatan, ada yang biasa, ada yang lembut,” ungkap Iin. Untuk harga, bisa dibilang kain air guci ini memiliki keragaman dari 50.000 sampai jutaan rupiah. Produk kain air guci yang dihasilkan oleh Iin tidak menentu setiap bulannya. Banyak sedikitnya ditentukan oleh jumlah pesanan. 

Pagebluk yang menyerang hampir semua sektor, tetapi air guci nampak tak bergeming. Iin menyatakan bahwa orang-orang lebih mengenal air guci sebagai pakaian adat, maka tak jarang orang lebih memilih untuk menyewa daripada membeli. “Disamping kita memproduksi, kita juga menyewakan, sebab kalau cuman menunggu produksi saja, mungkin sebulan hanya satu pesanan,” ungkapnya. Dalam bekerja, Iin tidak sendiri, dia memberdayakan orang-orang sekitarnya untuk membantunya dalam membuat kain air guci. “Kami menyebutnya sebagai mitra kerja,”tambahnya.

Pengrajin air guci memang sudah sedikit sekali, boleh dibilang hampir punah. Jika dibandingkan dengan pengrajin sasirangan tentu bedanya sangat jauh. Air guci yang penggunaannya lebih ke pakaian adat kalah populer dibandingkan sasirangan yang bisa digunakan untuk pakaian sehari-hari. Seiring perkembangan jaman, air guci kini diaplikasikan ke berbagai benda seperti sarung bantal, kaligrafi, hiasan dinding, dan lainnya.

Motif hiasan cenderung lebih bebas daripada yang dikhususkan untuk pakaian adat yang memiliki pakem tersendiri. “Ada motif gigi haruan, halilipan, pucuk rabung, itu untuk pakaian adat,” ujar Iin menjelaskan sembari memperlihatkan beberapa corak motif.

Pemerintah daerah, sebagai salah satu pemangku kepentingan tinggalan budaya daerah turut serta mempromosikan air guci sebagai kekayaan daerah. Dalam baliho-baliho yang berjejer, seringkali menampakkan kepala daerah menggunakan pakaian adat Banjar. Apalagi setelah munculnya ‘kebanggan lokal bernilai budaya’ dari kepala daerah, pakaian adat tidak lagi sekedar untuk seremoni perayaan 17 Agustus, sekarang dimunculkan peraturan-peraturan yang mengakomodasi pakaian adat sebagai pakaian kerja, meski dibuat lebih sederhana sesuai kebutuhan kantor.

Budaya kita memang tidak lepas dari tradisi adikodrati, dalam adat istiadat biasanya disertakan syarat-syarat khusus untuk membuat atau melakukan suatu tradisi, begitu pula pada pembuatan sulaman air guci. “Kalau jaman dahulu untuk membuat tapih pengantin, kita harus pakai piduduk (sajian kepada leluhur) umumnya yang berisi beras, telur ayam kampung, bisa ditambah kelapa, beras ketan, dan gula merah, tergantung ada keturunan (keturunan kerajaan) atau tidak.”

Iin menegaskan bahwa hal ini bergantung kepada kepercayaan masing-masing. Persoalan warna pun diatur oleh adat yang pada jaman dahulu mengharuskan pakaian berwarna kuning atau hijau. “Sekarang warnanya sudah bermacam-macam, yang penting motifnya jangan berubah.”

Saya diperlihatkan sebuah kain yang mungkin berusia 50 tahun yang masih menggunakan tembaga sebagai payetnya. Kain sepanjang 3 meter tersebut menggunakan kain sutra sebagai dasar kainnya, yang kemudian berlapis dua untuk menahan beban dari payet tembaga. Iin bercerita kain tersebut merupakan warisan neneknya yang turun temurun diturunkan, salah satu kain yang masih menggunakan pakem asli dengan motif kanas dan pucuk rabung. Saya meminta izin untuk memegang kain. Seumur hidup menghadiri acara hajatan, saya baru tau kain yang sering saya lihat sebagai dekorasi merupakan kain khas daerah dan bernama kain air guci.

Kecenderungan kita untuk meninggalkan adat istiadat memang lebih terbuka di abad modern ini, terlebih gelombang modernisasi yang melanda seiring dengan tumbuh pesatnya internet. Harapan Iin cenderung sama seperti kita, berharap tradisi akan ada generasi penerus yang mau melakukan pekerjaannya. Sembari menggenggam kain tua tersebut, saya juga menatap kesungguhan dalam raut wajahnya. Oh air guci, apakah engkau akan dapat ku jumpa dalam 30 tahun lagi?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Air Guci, Kain Banjar yang Semakin Terpinggirkan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/air-guci-kain-banjar-yang-semakin-terpinggirkan/feed/ 0 30958