wisata jogja Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wisata-jogja/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 10 Jun 2025 14:36:07 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 wisata jogja Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wisata-jogja/ 32 32 135956295 Prawirotaman dan Runtuhnya Mitos Jogja yang Murah Meriah https://telusuri.id/prawirotaman-dan-runtuhnya-mitos-jogja-yang-murah-meriah/ https://telusuri.id/prawirotaman-dan-runtuhnya-mitos-jogja-yang-murah-meriah/#comments Tue, 10 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47371 Di antara riuh rendahnya tempat yang berjuluk “Kota Pelajar”, sebuah kampung hangat bernama Prawirotaman perlahan berubah menjadi dunia kecil yang berbeda. Gang-gang sempit yang dulunya disesaki oleh lalu-lalang warga lokal, kini bersolek layaknya galeri seni...

The post Prawirotaman dan Runtuhnya Mitos Jogja yang Murah Meriah appeared first on TelusuRI.

]]>
Di antara riuh rendahnya tempat yang berjuluk “Kota Pelajar”, sebuah kampung hangat bernama Prawirotaman perlahan berubah menjadi dunia kecil yang berbeda. Gang-gang sempit yang dulunya disesaki oleh lalu-lalang warga lokal, kini bersolek layaknya galeri seni terbuka. Tembok-tembok gang menjadi kanvas lepas, diwarnai mural dan grafiti nyentrik yang tak hanya mencuri perhatian, tapi juga menggoda lensa kamera wisatawan. Aroma cat semprot berpadu dengan kopi artisan, lalu suara gamelan dan keroncongan berganti petikan gitar dan tabuhan drum dari bar-bar kecil yang terdengar hingga larut malam. 

Dulu, orang berdatangan ke Yogyakarta untuk mencari ketenangan dan keberagaman budaya. Murahnya angkringan, hotel melati yang tarifnya tak lebih dari harga tiket bioskop, dan suasana santai yang membuat siapa pun ingin berlama-lama. 

Namun, saya selalu percaya bahwa Yogyakarta tak akan berubah menjadi kota serupa Jakarta. Ia akan tetap istimewa dengan kesederhanaannya. Tak hanya populer karena keberagaman destinasi wisata dan melekatnya unsur budaya, tapi juga identik dengan “murah meriahnya”. Keyakinan itu bukanlah datang dari serbuan video yang selalu dibalut dengan narasi hiperbolis dari kreator konten, melainkan rentetan cerita autentik mereka yang telah lebih dulu menginjakan kaki di kota ini: teman sejawat, tetangga, hingga abang-abangan di kampus. 

Konon, dengan uang seratus ribu, mereka bisa bertahan hidup seminggu di Yogyakarta. Katanya, di sana masih banyak makanan di bawah harga Rp5.000 dan sudah bisa bikin perut kenyang. Tapi itu dulu. Hari ini, saya duduk di salah satu bar di jantung Prawirotaman. Menu ditulis dengan spidol putih di papan hitam, lampunya temaram, musik jazz yang mengalun pelan, dan harga softdrink serupa Coca-Cola dibandrol dengan harga Rp30.000-an. Meski awalnya cukup kaget, tapi saya mulai sadar bahwa saat ini saya tengah duduk di dalam bar, bukan di warung-warung pinggir jalan. Terlebih di antara para wisatawan mancanegara yang tengah bervakansi di tempat yang sama. 

Prawirotaman kini tak lagi sekadar kampung. Ia menjelma serupa kota dalam kota: tempat segala hal yang “instagramable” menyatu dalam satu zona eksklusif. Di tengah euforia malam di pusat Prawirotaman, gerobak bakso Malang dan siomay Bandung menepi diantara sederet gerai bakery dan restoran ala Western dan Asia. Beberapa orang menyebutnya sebagai pluralitas. Tapi buat saya, ini semacam distorsi. 

Plang utama Jalan Prawirotaman (kiri) dan aneka plang petunjuk arah menuju sejumlah penginapan/Yayang Nanda Budiman

Hidup di Yogyakarta Tak Lagi Murah

Saya tak ingin dicap sebagai lelaki tua yang selalu meromantisasi masa lalu dan menolak perubahan. Namun,  ada yang terasa ganjil tatkala mitos murahnya hidup di Yogyakarta terus dipamerkan, padahal realitasnya sudah jauh berbeda dari apa yang diceritakan. Seolah-olah kota ini dipoles eksklusif untuk turis, tetapi perlahan ia melupakan warganya sendiri.

Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Upah Minimum Provinsi (UMP) Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2025 adalah Rp2.264.080,95. Meski telah mengalami kenaikan sekitar 6,5% dari tahun sebelumnya, tetapi angka ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Jawa. 

Bahkan jika kita melihat biaya sewa kos di sekitar Prawirotaman dan pusat kota, kini bisa menyentuh Rp1.000.000–1.500.000 per bulan untuk kamar standar. Itu pun belum termasuk biaya listrik, uang makan, transportasi, dan kebutuhan harian lainnya. Biaya tersebut hampir serupa dengan kota Bandung yang mempunyai upah minimum dua kali lipat jauh lebih besar, yakni Rp4.482.914,09. 

Tak hanya soal biaya hidup dan sewa kamar kost yang melangit, harga makanan pun tampaknya kian mengikuti arus tren yang populer. Meski bukan bermaksud menyamaratakan, tetapi saya mengalami ketika makan seporsi bakmi godog Rp30.000, nasi goreng serupa daerah lain Rp15.000, bahkan sebungkus nasi ayam geprek di tempat yang dulu saya kenal, kini tak lagi bisa ditebus dengan uang Rp10.000. Tak cuma itu, angkringan yang selalu menjadi primadona kota ini pun kini banyak yang memasang harga lebih tinggi. Sebab, mereka tak hanya melayani pelanggan lokal, tapi juga wisatawan. 

Ketika saya bilang di Yogyakarta sudah tak lagi murah, sebagian orang menjawab “Kalau kamu pintar cari tempat, Yogyakarta masih banyak tempat makan yang murah.” Mungkin pendapat itu benar. Tapi yang murah sulit ditemukan di pusat kota, apalagi di daerah populer seperti Prawirotaman.

Yogyakarta memang masih mempunyai segudang sudut yang menawarkan kesederhanaan. Akan tetapi, kesederhanaan itu perlahan tersingkirkan oleh euforia. Prawirotaman adalah simbol pesta dan kesenangan. Kawasan ini tak lagi bicara soal budaya lokal yang otentik, tapi perihal estetika mancanegara. 

Akankah Yogyakarta Kembali Murah Meriah?

Jalan Prawirotaman kini menjadi nama kedua yang terlintas usai Malioboro, ketika orang berbicara tentang liburan di Yogyakarta. Popularitasnya kian melesat, terlebih setelah film Ada Apa dengan Cinta 2 mengambil beberapa adegan di tempat ini. Dikenal dengan sebutan “kampung turis” atau “Balinya Yogyakarta”, di antara mural-mural berwarna dan lampu-lampu jalan yang temaram, Prawirotaman mengajarkan satu hal: bahwa di kota ini, jarak antara rumah dan petualangan hanya selembar peta.

Dan Jogja, saya tak bisa menyalahkan atas kepudaran nilai murah meriahnya. Bagaimanapun, kota ini dipaksa untuk ikut bergerak oleh zaman yang berubah terlalu cepat. Ia tak sempat menolak, bahkan mungkin tak diberi pilihan. Mitos tentang hidup murah di Yogyakarta tetap dirawat rapat-rapat, dipoles dalam konten sosial media penuh nostalgia.

Seolah kota ini adalah jawaban bagi mereka yang lelah dengan kepadatan dan mahalnya hidup di Jakarta dan sekitarnya. Namun, kenyataan berbanding terbalik. Murahnya Jogja kini hanya romantisme masa lalu—kenangan yang ditawarkan dalam bentuk unggahan feed Instagram, bukan kenyataan yang bisa kita genggam.

Dan ketika saya duduk terdiam di sebuah kafe di Prawirotaman, menyeruput kopi sambil memotret mural di seberang jalan, ingatlah: di balik dinding dan lorong sempit gang itu, masih ada kehidupan lain yang jarang terekam di media sosial. Ada keriangan anak-anak yang bermain di pelataran rumah yang terbatas, ibu-ibu yang menjemur pakaian dan seorang bapak yang membetulkan rantai sepedanya. Ada banyak sudut Jogja yang orisinal, tak estetik—tapi nyata—menyaksikan euforia dari kejauhan dalam keheningan. 

Di tengah terbukanya ruang Prawirotaman untuk setiap orang yang menikmati Yogyakarta, ia adalah ruang yang harus tetap kita jaga. Bukan hanya untuk para tamu yang datang dan pergi, melainkan juga tuan rumah yang lahir dan menua bersama kenangan kota ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Prawirotaman dan Runtuhnya Mitos Jogja yang Murah Meriah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/prawirotaman-dan-runtuhnya-mitos-jogja-yang-murah-meriah/feed/ 1 47371
Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo https://telusuri.id/mengulik-kehidupan-warga-di-sekitar-waduk-sermo-kulon-progo/ https://telusuri.id/mengulik-kehidupan-warga-di-sekitar-waduk-sermo-kulon-progo/#respond Sun, 29 Sep 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42756 Perlu jarak tempuh 35 km dengan sepeda motor dari Kota Yogyakarta untuk mencapai Waduk Sermo di Kulon Progo. Meski cuaca panas terik, perjalanan panjang melalui Jalan Wates tidak membuatku jenuh karena aku ditemani oleh Afrinola,...

The post Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo appeared first on TelusuRI.

]]>
Perlu jarak tempuh 35 km dengan sepeda motor dari Kota Yogyakarta untuk mencapai Waduk Sermo di Kulon Progo. Meski cuaca panas terik, perjalanan panjang melalui Jalan Wates tidak membuatku jenuh karena aku ditemani oleh Afrinola, teman kuliahku yang selalu asyik diajak ngobrol dan bercanda.

Sekitar 11 km sebelum tiba, kami sempatkan istirahat dulu untuk makan di warung Mie Ayam Pakde Wonogiri dan ibadah di masjid terdekat. Setelah itu, perjalanan kami lanjutkan ke Waduk Sermo.

Setelah hampir sampai, kami mencoba masuk melalui jalur utama. Namun, sayang sekali ternyata jalur itu tutup dan sudah dipindah. Akhirnya kami berputar arah dan mengikuti petunjuk untuk mencapainya. Kami dikenakan Tarif Pemungutan Retribusi (TPR) Rp10.000 per orang. Jalur baru yang kami lewati lumayan berkelok disertai tebing dan pepohonan di kiri dan kanan. Jalan yang membelah bukit sangat mengesankan bagiku, mengingatkanku kala study tour SMP dulu ke Pantai Pandawa, Bali.

Begitu waduk terlihat, aku memutuskan untuk berhenti dahulu di tempat yang cocok untuk istirahat dan memandangi waduk. Kami memilih tempat bernama Gumuk Sriti, ada gardu pandangnya di sana. Akan tetapi, gardu pandang yang terbuat dari kayu itu sudah rapuh dan tidak layak digunakan, sehingga kami memilih duduk di rerumputan dan berteduh di bawah pohon. Aku melihat waduk yang begitu luas, perahu lalu-lalang, area camping, beberapa wisatawan, dan nelayan di sekitarnya.

  • Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo
  • Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo

Waduk sebagai Sumber Pencaharian Warga

Kami mencoba mendekati dan mewawancarai salah satu nelayan untuk menggali lebih dalam kehidupan mereka. Nelayan itu bernama Mas Lovenda.

Mas Lovenda menjelaskan bahwa mencari ikan di Waduk Sermo sudah menjadi mata pencaharian bagi warga sekitar. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak sehabis pulang sekolah atau pada saat liburan kadang juga ikut mencari ikan di waduk. Jenis-jenis ikan yang didapat sendiri banyak, seperti betutu, nila, gurame, bawal, dan gabus.

Cara nelayan menangkap ikan menggunakan dua opsi, yaitu menebar jala atau membentangkan jaring. Tidak ada opsi untuk menggunakan pancing, karena opsi itu menyulitkan nelayan mendapatkan ikan.

“Kalau pake pancing susah kalo kayak kami nelayan. Sulit dapet ikan. Kalau yang mancing ‘kan paling cuma buat hiburan. Bukan buat mata pencaharian,” kata Mas Lovenda.

Saya juga sempat menanyakan perihal waktu yang tepat untuk mendapatkan ikan. Mas Lovenda menjelaskan bahwa waktu untuk mendapatkan ikan tidak pasti. Tidak ada patokan waktu untuk mencari ikan. Akan tetapi, jika kondisi sehabis hujan, ikan sulit didapatkan.

Mas Lovenda juga menentukan waktu untuk membentangkan jaring. “Cuma ‘kan kalo jaring dibatasi dari jam 4 sore, baru bisa pasang jaring.”

“Oh, kenapa alasannya, Mas?” tanyaku.

“Kan ada perahu, dari pariwisata itu.”

Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo
Potret Mas Lovenda sedang menebar jala di salah satu sisi Waduk Sermo/Danang Nugroho

Kalau malam Mas Lovenda pasang jaring, maka jaring diambil pada pagi hari sebelum wisata Waduk Sermo buka karena takut terkena perahu wisata yang berlalu-lalang. Mas Lovenda dan para nelayan lainnya menebar jaring menggunakan rakit. Nantinya jaring dibentangkan sesuai dengan posisi yang sudah mereka tentukan. Setelah itu mereka mencari ikan lagi dengan cara menebar jala.

Ikan yang mereka dapatkan terkadang dikonsumsi pribadi atau dijual. Biasanya ikan itu dijual ke pengepul. Kalau dijual ke pengepul bisa dapat Rp20.000 per kg, sedangkan jika ke luar pengepul mencapai Rp30.000 per kg.

Mas Lovenda sendiri biasanya menjual ikan ke pengepul karena lebih efektif dan hemat tenaga. Rata-rata per hari bisa mendapat 5 kilogram ikan atau jika dirupiahkan bisa Rp100.000 per harinya. Pikirku, “Jika itu konsisten selama sebulan, maka sudah melebihi UMR Jogja.”

Bagi Mas Lovenda, nelayan itu bebas. Tidak terikat waktu untuk berangkat. Siang dan malam bisa untuk mencari ikan. Karena Mas Lovanda hendak menebar jala, aku dan Afrinola mengucapkan terima kasih dan pamit untuk melanjutkan berkeliling Waduk Sermo. 

Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo
Sejumlah tenda pengunjung di salah satu area perkemahan Waduk Sermo/Danang Nugroho

Mengitari Waduk Sermo dalam Sekali Tarikan Gas

Kami memutuskan untuk mengitari waduk menggunakan motor sampai kembali lagi ke tempat awal. Aku menarik gas secara perlahan-lahan. Untuk menikmati perjalanan, kecepatan motor hanya berkisar 15–20 km/jam. 

Di perjalanan awal, aku melihat ada prasasti bertuliskan daftar pengikut transmigrasi terdampak pembangunan Waduk Sermo. Ada beberapa nama warga yang dipindahkan. Ini hal menarik yang perlu digali.

“Kita nanti tanyakan waduk dan prasasti itu ke warung itu ya, Nol,” ajakku.

“Iya, Nang. Nanti coba tanya-tanya seputar waduk dan prasasti itu,” jawab Afrinola.

Setelah melewati prasasti, banyak warung yang berjualan di pinggir jalan. Tidak hanya warung, ada juga bengkel dan beberapa rumah jamur untuk singgah dan istirahat para pengunjung sembari melihat keindahan waduk. Di samping itu, terdapat pula wisma atau vila apabila para pengunjung ingin menginap di sekitar waduk.

Cara lain untuk para pengunjung bisa menginap di dalam area waduk adalah camping atau berkemah. Banyak area camping yang bisa disinggahi. Selain Gumuk Sriti tadi, ada juga Taman Munggur, Mengger Kemuning, Menara Pelangi, Sermo Glamp Camp, Bukit Kelengkeng, dan Panorama Setro. Sepertinya asyik melihat pengunjung yang berkemah, karena bisa berwisata perahu dan memancing ikan untuk konsumsi mereka.

Perjalanan belum usai. Di beberapa sudut waduk airnya surut dan sepi pengunjung. Kami malah melihat beberapa orang sedang mencari rumput. Pikirku, berarti bagian wisata hanya di dekat jalur masuk utama saja, karena kalau sudah jauh dari pintu masuk, tempat ini sepi dan air pun tidak menggenangi sudut-sudut waduk.

Kemudian sampailah kami di tempat TPR kedua. Ternyata ada dua tempat untuk jalur masuk dan keluar. Kami diarahkan penjaga TPR ke pintu utama. Penjaga TPR juga menjelaskan kalau kami sudah berjalan 18 km selama mengitari waduk. Kami langsung bergegas kembali menuju jalur utama dan mampir ke warung dekat prasasti transmigrasi tadi.

Prasasti Transmigrasi dan Dongeng dari Pedagang 

Sampailah kami ke TPR awal dan berjalan sedikit untuk singgah di warung dekat prasasti transmigrasi. Kami memesan minum dan berbincang hangat dengan salah satu pedagang bernama Ibu Mursinah. Nama warungnya Warkop Yu Mur.

Aku menanyakan perihal sejarah dari prasasti transmigrasi yang berjarak sekitar 10 meter dari warkopnya. Bu Mursinah menjelaskan, dulu di daerah waduk adalah permukiman penduduk. Kemudian mereka dipindahkan atau ditransmigrasikan ke Desa Taktoi, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, dan Riau. Transmigrasi massal tersebut melibatkan 102 warga yang disebut dengan istilah bedol desa.

Waduk Sermo dibuat saat zaman Presiden Soeharto. Pembangunan mulai tahun 1994 dan diresmikan pada 1996. “Dulu itu sini masih pegunungan. Kemudian bisa seperti ini lantaran diledakkan,” ungkap Bu Mursinah.

Dengan adanya waduk ini, masyarakat di daerah Wates dan sekitarnya bisa mendapatkan manfaatnya. Waduk dikelola Kementerian PUPR untuk pengairan atau irigasi ke sawah daerah sekitar, serta sebagai sumber air bersih untuk minum yang dikelola PDAM setempat.

Lalu seiring berjalannya waktu, Waduk Sermo juga dikelola oleh dinas pariwisata yang bekerja sama dengan warga sekitar untuk dijadikan tempat wisata. Karena bekerja sama, warkop dan pedagang kaki lima yang ada di sekitar waduk tidak dikenakan tarif sewa tempat.

Bu Mursinah sendiri mengungkapkan kalau puncak keramaian sekarang hanya di hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional. Selain hari itu sepi pengunjung. “Kalau tahun 2019 ke bawah itu masih ramai, Mas. Waktu itu, kami para pedagang juga menyediakan sewa skuter dan ATV. Tapi karena makin sepi, semua itu rusak dan dijual,” ungkapnya.

Sepinya waduk sendiri, menurut Bu Mursinah, bisa disebabkan oleh beberapa hal. Mulai dari jalan masuk yang dialihkan, wahana wisata yang hanya viral sesaat, dan tarif masuk naik empat ribu rupiah dari yang dulunya Rp6.000.

“Kalau untuk pedagang-pedagang kayak gini, ya, kalau ramai ya ramai, kalau enggak ya tetap sepi pol. Satu hari itu nggak tentu dapet duit,” pungkas Bu Mursinah.

Setelah mendengar pernyataan itu, aku berharap dinas pariwisata dan warga sekitar mampu membuat Waduk Sermo kembali ramai lagi seperti dulu. Menawarkan spot wisata yang lebih menarik. Dengan pemberdayaan seperti itu, warga sekitar juga akan merasakan dampak baiknya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengulik Kehidupan Warga di Sekitar Waduk Sermo Kulon Progo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengulik-kehidupan-warga-di-sekitar-waduk-sermo-kulon-progo/feed/ 0 42756