wisata premium Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wisata-premium/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Sun, 20 Nov 2022 02:26:05 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 wisata premium Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wisata-premium/ 32 32 135956295 Pusaran Premium Labuan Bajo (3) https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-3/ https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-3/#respond Thu, 17 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36262 Sore lagi beranjak sendu-sendunya kala matahari jingga mengawali pergantian siang ke malam di Waterfront Labuan Bajo. Waterfront memang menjadi tempat berkumpulnya seluruh lapisan masyarakat; ada gerombolan anak kecil yang sedang bermain sepak bola, ada kumpulan...

The post Pusaran Premium Labuan Bajo (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
Sore lagi beranjak sendu-sendunya kala matahari jingga mengawali pergantian siang ke malam di Waterfront Labuan Bajo. Waterfront memang menjadi tempat berkumpulnya seluruh lapisan masyarakat; ada gerombolan anak kecil yang sedang bermain sepak bola, ada kumpulan ibu-ibu yang sedang senam, dan ada juga pemuda yang sedang memancing. Saya kembali bertemu Irna, kali ini kami bersua di sebuah kedai kopi yang menghadap Jalan Soekarno-Hatta  dari depan  juga Waterfront di belakangnya. Irna yang memang menggiati pariwisata banyak bercerita mengenai pengalamannya selama di Labuan Bajo. 

Saya menanyakan Irna bagaimana pendapatnya mengenai lompatan besar pembangunan Labuan Bajo. Pembangunan besar-besaran di Labuan Bajo tentu menimbulkan efek yang bermacam-macam bagi setiap penduduknya. Salah satu efek positif dari pembangunan ini, menurut Irna, adalah ketersediaan ruang publik. Anak-anak bisa bermain dengan bebas tanpa khawatir dengan jalan raya dan orang-orang tua bisa menikmati sore hari sembari berjalan dan berolahraga ringan. 

“Fasilitas dan penyedia pariwisata lengkap, cuma sumber daya manusianya untuk menggunakan semua fasilitas yang diberikan pemerintah yang kurang.”

Masih menurut Irna, konsep wisata premium tentu juga harus mengusung sumber daya manusia yang premium. Pemerintah harus bisa mengkonsepkan sebuah program yang dibutuhkan masyarakat untuk membangun sumber daya manusia dengan konsistensi yang tinggi, agar kedepannya masyarakat lokal bisa mengikuti dinamika pariwisata yang terus berjalan maju.

“Presentasi penggunaan orang lokal dengan orang luar tuh harus lebih ditekankan orang lokalnya, supaya tidak terjadi konflik sosial kedepannya.”

Pemberdayaan masyarakat lokal adalah hal yang mutlak. Jangan sampai suatu saat orang-orang lokal malah tersingkir karena pengaruh orang luar yang begitu kuat dan kentara. Hal ini bisa saja menyebabkan kecemburuan sosial, yang bakal merembet ke segala hal.

“Kita sendiri kan pembangunannya sudah baik, tapi sumber daya manusianya tidak memenuhi standar yang ditentukan, pasti orang akan mencari sumber daya manusia yang lain, di luar Labuan Bajo.”

Terkait soal pengembangan sumber daya manusia, di Labuan Bajo sendiri baru ada satu kampus, dan itu pun statusnya masih politeknik. Belum lagi fasilitas-fasilitas pendukung untuk pendidikan yang masih jauh dari kata lengkap, seperti perpustakaan daerah yang mumpuni dan bimbingan belajar di luar sekolah. Mirisnya, tidak ada toko buku di sini. Bagaimana membangun literasi yang dalam kalau masyarakat hanya mendapat literasi yang disuguhkan oleh media sosial yang begitu dangkal?

“Sektor pendidikan masih terasa kurang, jadi hanya difokuskan pada pariwisata. Padahal pariwisata itu harus didukung dengan pendidikan. Karena kalau pendidikannya sudah oke, pariwisatanya pasti maju,” Irna menjelaskan dengan semangat apa yang menjadi perhatiannya selama tinggal di Labuan Bajo. Saya setuju dengan pendapatnya. Bukankah Undang-Undang Dasar mengamanatkan bahwa pendidikan adalah hak seluruh masyarakat tanpa terkecuali? Kalau pemenuhan amanat ini hanya sekedar pemenuhan hak dasar tanpa adanya pertimbangan kualitas, buat apa?

Di luar hingar bingar pembangunan Labuan Bajo sebagai wisata premium, Irna juga mengeluhkan ketimpangan Labuan Bajo dengan daerah sekitarnya. Banyak daerah yang masih belum dapat listrik dan sinyal yang memadai, padahal daerah sekitar itu juga menyokong Labuan Bajo sebagai kota wisata dengan pasokan hasil pertanian, hasil laut, sumber daya manusia, atraksi wisata, dan lain sebagainya.

“Bagaimana kita mau mendukung Labuan Bajo kalau daerah-daerah lain juga tidak didukung!”

“Coba kamu keluar lintas Flores, keluar tiga puluh menit [dari Labuan Bajo] sinyalnya nggak ada. Beberapa desa dan dusun juga tidak ada listrik,” keluhnya.

Dalam perubahan yang singkat, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan secara serius: Kemampuan adaptif masyarakat dan kemampuan pendidikan masyarakat. Apakah masyarakat lokal akan mendapat panggung utama ketika Labuan Bajo sudah stabil menjadi wisata “premium”? Atau justru ini adalah awal dari ketersisihan orang-orang lokal dari pusaran pariwisata Labuan Bajo? Entahlah, saya tidak berani berspekulasi lebih jauh. 

Labuan Bajo
Labuan Bajo, labuan bangsa-bangsa yang mulai berubah seiring berlabel “premium”/M. Irsyad Saputra

Motor yang saya sewa menyusuri jalanan utama yang menghubungkan Labuan Bajo-Ruteng. Panas menyeruak dari celah-celah aspal yang terbakar, membawa saya untuk menarik gas lebih kencang meniti jalan. Di sela-sela perbukitan, papan plang Dapur Tara terlihat mencolok jika dibandingkan dengan sekelilingnya yang hijau. Sesuai yang ditunjukkan oleh peta Google, saya menggasak motor untuk terus jalan hingga sempat tersesat beberapa saat sebelum akhirnya menemukan apa yang dicari.

“Selamat datang Kakak, apa yang bisa saya bantu,” sapa seorang lelaki bernama Ricardo—staf Dapur Tara—bak layanan pelanggan daring yang menyambut apa saja keluhan pelanggan. Setelah memaparkan tujuan saya, Ricardo menyuguhkan kopi sebagai sambut obrolan. “Silahkan diminum Kakak, kopi rempah.”

Saya menegak kopi, di bawah pohon yang memayungkan daunnya menutupi lahan di sekitarnya. Kami mulai terlibat pembicaraan, diselingi Ricardo yang sedang menyiapkan sajian untuk tamu yang akan datang.

“Mungkin pemerintah lebih mengutamakan Labuan Bajo hanya karena Pulau Komodonya,” ujarnya.

“Tapi ada cemburu nggak sih [terkait pembangunan]?”

“Tidak ada cemburu sih. Saya bersyukur sekali karena di daerah Ruteng ke sana tidak ada perubahan sama sekali. Soal budaya, soal adat masih mempertahankan. Hanya Labuan Bajo yang [budayanya] sudah mulai punah.”

Pernyataan Ricardo seakan meminta pembangunan besar-besaran seperti di Labuan Bajo tidak menghampiri kawasan lainnya. Mungkin saja ia melihat perubahan ini sebagai salah satu penyebab yang menguras orang Flores dari budaya asalnya. Pembangunan mewah ala Labuan Bajo juga tidak dibutuhkan oleh kawasan lainnya. Kebanyakan hanya minta sarana dan prasarana yang memadai seperti listrik, air, jalan, sinyal, sekolah, transportasi.

Setelah puas mengobrol dan melihat bagaimana Dapur Tara masih menyajikan makanan dengan cara yang tradisional dari memasak hingga menyantap, saya beranjak menuju Rumah Baku Peduli, salah satu komunitas yang berkecimpung dalam bidang pelestarian kain tenun Flores.

Senada dengan Ricardo, Thomas Bosko, salah satu pendiri Rumah Baku Peduli, setuju bahwa pengaruh budaya global yang kuat di Labuan Bajo karena masyarakat melupakan budaya sebagai unsur pariwisata selain pulau-pulau dengan hewan purba.

“Kita mau jadi diri sendiri gitu, tanpa harus ikut kemauan turis. Kita harus tunjukkan bahwa inilah Flores! Tidak harus kayak di Bali lah.”

Premium dalam kamus Thomas, bukan karena pembangunan dan infrastruktur yang jor-joran, tetapi pelepasan jati diri yang lebih natural. Orang ingin ke Flores berarti mereka harus melihat bagaimana orang Flores, bukan malah menyuguhkan gambaran-gambaran yang umum ditemui di tempat wisata lainnya. Minimal, modern dan tradisional bisa beriringan, jangan malah modern yang mengambil alih seluruhnya. Lagi pula tema wisata yang cocok dengan Flores itu adalah adventure, bukan ala-ala wisata post-modern.

“Kalau berwisata, besok berkunjung [ke tempat-tempat wisata], ya sudah wisatanya kayak gini [saja]. Tapi kita kalau gali budaya nggak ada habis-habisnya.”

Melihat komodo sekali, mungkin orang akan bosan tetapi jika sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang budaya: bagaimana masyarakat Pulau Komodo malah bisa hidup berdampingan dengan komodo—yang notabenenya adalah hewan buas—akan lebih banyak yang bisa digali.

Kabar yang berseliweran selama ini, sebagian penduduk Pulau Komodo akan direlokasi ke pulau lainnya dengan alasan konyol: pertumbuhan penduduk yang cepat akan menggeser populasi komodo yang sudah sedikit. Apakah ini hanya alasan untuk mempermudah oligarki menggarap pulau itu sebagai ladang bisnis? Kenapa mereka tidak dilibatkan kalau ini semua atas nama konservasi?

  • Kopi Flores
  • Rumah Tenun Baku Peduli
  • Rumah Tenun Baku Peduli

Pendokumentasian Labuan Bajo juga dilakukan oleh Muhammad Burhanuddin dan teman-temannya. Boe—panggilan akrabnya—yang juga berprofesi sebagai pemandu wisata, menginginkan kearsipan tentang Labuan Bajo terbangun diantara warga, sebagai kesadaran dan kebanggaan. Dirinya menginisiasi pembentukan grup Facebook Labuan Bajo Historical Society dan Warisan Flores sebagai pusat nostalgia dan juga pusat informasi bagi warga Labuan Bajo. Labuan Bajo Historical Society terinspirasi dari Minnesota Historical Society, lembaga pengarsipan diaspora di Minnesota, setelah kunjungannya ke Amerika Serikat pada 2017. Menurutnya, pendokumentasian di sana terbilang bagus untuk negara yang masih berkutat pada rasisme.

Hal inilah yang kemudian ia coba untuk tiru, meski masih dokumentasi ala kadarnya melalui media sosial. Melalui foto kuno dan narasi, ia menelisik kembali ingatan-ingatan warga tentang tumbuh kembang Labuan Bajo.

Yang terpenting, orang-orang Labuan Bajo terhubung satu sama lain dalam sebuah wadah. Koneksi inilah yang nantinya akan membawa lebih jauh ke mana arsip-arsip ini berlabuh. Menarik menyaksikan warga saling bernostalgia di laman itu sembari mengomentari tiap postingan yang muncul. Ada yang serius, ada yang bercanda, ada yang mencari kenangan, ada yang menebarkan ingatan. Semua saling melengkapi.

“Labuan Bajo itu tempat perjumpaan banyak etnis, sehingga pantas disuarakan sebagai rumah bersama dengan narasi keharmonisan. Keberagaman adalah sebagai kekuatan!” serunya berapi-api. Boe sendiri melihat bagaimana perkembangan Labuan Bajo dari kampung nelayan yang dikunjungi wisatawan berubah menjadi kota tujuan wisata utama di Indonesia. Meskipun ia lebih banyak menghabiskan waktu di tanah rantau, ingatan tentang romantisme Labuan Bajo masih melekat kuat di benaknya, hingga ia memutuskan untuk kembali bercokol di Labuan Bajo pada 2015.

Saat saya sedang mencari santap siang di sebuah warung, segerombolan bapak-bapak yang lagi bersantai tampak asik membicarakan kasus nasional. “Bagaimana ini, polisi bunuh polisi,” seorang bapak yang agak jauh dari gerombolan mengomentari, sambil melahap nasi di piring. Seorang laki-laki muda yang menyeduh kopi di sampingnya tampak tak menghiraukan obrolan tersebut, dia lebih memilih menikmati aroma kopi yang sudah diaduk dengan rata. Isu nasional, bagi orang-orang yang terpisah ribuan kilometer dari ibukota negara ini adalah salah satu cara menghangatkan mulut selain minum kopi. Orang-orang Labuan Bajo memang gemar berkumpul dan bercerita. Meskipun smartphone juga mengambil peran dalam tongkrongan, berita dari mulut kemudian dikomentari jauh lebih menarik untuk disimak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pusaran Premium Labuan Bajo (3) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-3/feed/ 0 36262
Pusaran Premium Labuan Bajo (2) https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-2/ https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-2/#respond Wed, 16 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36263 “Bang, kenal Pak Zainuddin nggak? Rumahnya di sekitar sini,” tanya saya pada seorang pemuda paruh baya yang sedang berdiri di depan rumahnya. “Wah, saya kurang tahu,” jawabnya pelan sambil menggelengkan kepala. Saya memutar kepala, mencari...

The post Pusaran Premium Labuan Bajo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
“Bang, kenal Pak Zainuddin nggak? Rumahnya di sekitar sini,” tanya saya pada seorang pemuda paruh baya yang sedang berdiri di depan rumahnya.

“Wah, saya kurang tahu,” jawabnya pelan sambil menggelengkan kepala. Saya memutar kepala, mencari cara biar dia tahu orang yang saya maksudkan.

“Dulu saya pernah ke sini, tiga tahun lalu. Sekarang berubah banget Pak, jadinya saya bingung.” Saya kemudian menunjukkan satu foto dari blog saya, yang mungkin bisa menerangkan kata-kata saya lebih gamblang.

“O, kalau ini saya tau. Biasanya kami memanggilnya Bapak Ayu, rumahnya di sebelah sana. Dekat motor itu,” dia menunjuk sebuah motor yang terparkir di pinggir jalan, berjarak empat rumah dari tempatnya.

Deg, jantung saya berdegup tak karuan. Memori saya mengulang masa tiga tahun silam ketika saya ingin menumpang berkemah di halamannya, yang kemudian dia mempersilahkan untuk tidur di rumahnya. “Nanti kalau ada waktu, kamu balik ke sini ya!” ucapnya kala itu sebelum kami berpisah. Hari ini, janji itu ditepati. Saya kembali ke Labuan Bajo..

Saya mengucapkan salam dari luar rumah. Hening. Tidak ada jawaban. Sejurus kemudian, seorang gadis cilik datang dari samping rumah, menatap saya penuh kehati-hatian dan keraguan.

“Pak Zainuddin ada?”

“Bapaknya lagi sakit,” ucapnya ketus.

“Kalau Ibunya ada?”

Dia menggeleng bingung, kemudian berlari ke arah belakang rumah sambil memanggil nama seseorang. Saya bingung menjelaskannya. Seorang perempuan muda kemudian muncul dan menanyakan maksud saya datang kemari.

“Baiklah, silahkan masuk.” Dia memanggil nama Pak Zainuddin dan saya mengekor di belakangnya menaiki tangga kayu. Mata saya kemudian bertatapan dengan mata Bapak Zainuddin, yang kebetulan sedang menerima dua orang tamu lain.

“Assalamualaikum Pak, saya Irsyad. Bapak masih ingat saya?”

Matanya yang tadi kebingungan dalam sekejap berubah teduh. Senyum mulai merekah dari bibirnya yang tampak seperti daun jatuh. Tanpa aba-aba, saya langsung menyalami dan memeluk erat Pak Zainuddin.

“Janji tiga tahun lalu lunas, ya.” Bapaknya hanya tersenyum, tampaknya masih tidak percaya kesempatan ini bisa datang kembali.

Saya dipersilahkan duduk dan minum. Mata saya masih menahan haru, seakan tidak percaya bisa menginjakkan kaki kembali di rumah panggung yang terbuat dari kayu, khas orang Bajo.

“Saya baru saja keluar dari rumah sakit, kemarin sore,” terangnya. Pantas saja, ketika tiba di bandara, saya sempat menelpon nomor ponsel beliau, tapi kala itu tidak ada jawaban dari seberang sana. Dan rupanya kedatangan saya ke Labuan Bajo bersamaan dengan beliau yang baru keluar dari rumah sakit.

“Sakit apa, Bapak?”

“Kalau kata dokter, itu darah tinggi.”

Pak Zainuddin, istrinya, dan Pak Wamusil
Pak Zainuddin, istrinya, dan Pak Wamusil/M. Irsyad Saputra

Beliau bercerita kepada saya bagaimana darah mengucur deras dari hidungnya ketika sedang bersujud saat salat Subuh. Dengan kedatangan saya, semangat beliau nampak pulih. Pak Zainuddin menjelaskan kepada dua orang tamu yang tampak bingung melihat saya, bahwa saya adalah salah satu orang yang pernah datang dan menginap di rumah beliau. Dua tamu itu merasa senang dengan kehadiran saya dan kami bersalaman. Pak Sanusi dan Pak Wamusil, satu berasal dari Pulau Seraya Besar dan satunya berasal dari Sumbawa Besar. 

Tidak perlu waktu lama, kami terlibat percakapan yang intens mengenai Labuan Bajo, orang Bajo yang tersebar di banyak pesisir, kisah Pak Wamusil yang melanglang buana ke berbagai pulau, kisah Pak Sanusi yang menjadi guru di Seraya Besar, hingga masalah ketuhanan dan takdir. Awan hitam yang semenjak sore sudah menggantung di langit Labuan Bajo, akhirnya tidak kuat menahan beban air yang dikandungnya. Hujan kedua selama saya berada di NTT turun dengan derasnya, mengenai atap seng yang mengeluarkan bunyi bak genderang perang. Malam itu kenangan berbaur dengan pengalaman serta suara hujan.

“Di sini kan tiket mau naik dari 300 ribu jadi 3,7 juta,” kata Pak Zainuddin. Gonjang ganjing tiket masuk kawasan TN Komodo yang naik memang menjadi perhatian semua pihak, tak terkecuali Pak Zainuddin. “Gimana itu, mahal sekali,” keluhnya sambil membenarkan sarung yang membalut kakinya.

“Kan di sini sudah dibangun segala macam fasilitas, apakah air di sini masih sulit seperti dulu?” tanya saya penasaran.

“Untungnya tidak, sekarang air keran sudah ada. Tapi saya tidak mau membayar karena nyalanya sangat kecil sekali.” Debit air yang ia keluhkan ini membuat Pak Zainuddin pernah berurusan dengan petugas karena tidak mau membayar iuran, tapi oleh beliau, petugas langsung diarahkan untuk melihat langsung kondisi air. Petugas akhirnya paham alasan beliau tidak mau membayar.

“Saya tidak masalah dengan uangnya, tapi kalau nyala air sekecil itu, bagaimana saya mau membayar!”

Tak lama kemudian, istri Pak Zainuddin membawa nampan yang berisi nasi, ayam, dan sayur sop kepada kami. Nasi yang kami makan bercampur haru biru serta canda tawa, membuat santapan kali ini begitu lezat.

Suatu sore yang temaram di lain waktu, saya bercengkrama dengan Pak Zainuddin, menyoal keadaan sekarang dan membandingkan Labuan Bajo ketika ia muda.

“Bapak suka keadaan sekarang apa yang dulu?” celetuk saya di tepi laut yang sudah dibuat trotoar yang lebar. Pak Zainuddin mulai bergumam, dan beberapa patah kata mulai menyeruak dari mulutnya.

“Dulu di depan sini (menunjuk ke arah laut) padang lamun, sekarang sudah tidak ada. Saya heran kenapa padang lamun hilang, mungkin karena tetehe bulang [sejenis bulu babi yang tidak dimakan].”

Berdasarkan ingatan Pak Zainuddin, padang lamun mulai hilang dari Kampung Ujung pada tahun 2000 ke atas. Sewaktu padang lamun masih eksis, orang-orang bisa menombak ikan dan memancing hanya dari pinggir laut, mencari ikan-ikan yang bersembunyi di lamun. Seiring hilangnya lamun, habitat ikan mulai semakin menjauh dari pinggir laut. Lautnya pun sekarang tidak luput dari invasi sampah plastik. Di beberapa titik, air limbah rumah tangga langsung menjalar ke laut. Bau yang tidak sedap pun menyeruak, menusuk hidung.

Pak Zainuddin menyayangkan kesadaran akan kebersihan yang kurang. “Seandainya ikan cara itu ada buat [jadi] obat, sampai orang yang sakit itu pun mati ikan itu tidak dapat,” ia mengandaikan kelangkaan ikan masa sekarang, yang mengharuskan nelayan pergi lebih jauh. Dahulunya, menurut dia, tempat ini “ladang” ikan. Cari ikan apa saja ada. Tersedia dalam berbagai ukuran.

“Kalau nyari ikan juga dulu tidak perlu jauh-jauh. Semenjak tidak ada lagi [padang lamun] ikan-ikan makin jauh dicari.”

Setelah matahari turun dari peraduannya, kami kembali bercengkrama di dalam rumah. Sekarang lagi ramai soal BBM yang naik, Pak Zainuddin tak ketinggalan mengomentari demo-demo yang terjadi di Jawa. 

“Kenaikan BBM itu berdampak bagus, justru membantu masyarakat,” koar Pak Zainuddin kepada saya. Saya agak terkejut dengan pernyataannya, mengapa dia berpikiran bahwa dampak kenaikan BBM ini bagus? Bukannya justru akan menyeret harga kebutuhan pokok pada tingkat atas dan mencekik masyarakat bawah?

“Kamu tahu, kapal-kapal wisata itu memakai BBM sampai berapa? Sampai ton-tonan!” ujarnya dengan intonasi kemarahan yang tersirat di keningnya.

Menurut hematnya, harusnya BBM bersubsidi tidak boleh dipakai oleh mereka yang kaya, jatah-jatah masyarakat menengah ke bawah banyak dihabiskan oleh kapal wisata yang harusnya bisa menggunakan BBM non-subsidi.

“Bayangkan, bahan bakar satu kapal dalam satu hari itu bisa digunakan sampai dengan 50 kepala keluarga! Jadi apa-apa yang dilakukan pemerintah itu [menaikkan harga BBM] harus dikaji dulu, jangan langsung protes!”

Dia kemudian menyuruh saya berandai-andai: jika pemakaian BBM bersubsidi digunakan tepat sasaran, ada berapa banyak kebutuhan rakyat yang bisa terpenuhi? Tapi kita sering sekali terbentur fakta bahwa orang-orang kaya banyak bermental aji mumpung; mumpung tidak ada yang mengawasi, mumpung dapat bantuan, dan mumpung-mumpung lainnya. Memanfaatkan subsidi negara untuk menekan pengeluaran mereka.

Obrolan lainnya yang kami simpulkan kala itu adalah tentang duyung, yang dulu sering ditangkap nelayan untuk diperas air matanya dan dimakan dagingnya. “Air matanya konon mujarab buat pelet. Kalau dimakan itu, sisa tulangnya mirip manusia.” Keterangan ini sama persis dengan yang saya dapat saat di Mekko, yang membuat Pak Said enggan untuk memakan daging duyung lagi.  Dugong dugon memang status konservasinya termasuk rentan menurut IUCN Redlist, namun populasinya terus tergerus seiring ramainya penangkapan dan hilangnya sebagian padang lamun. Di tengah obrolan hangat tentang apapun itu, istri Pak Zainuddin datang dengan seperiuk nasi dan sebuah cocolan mirip cacapan dari banjar untuk menikmati hidangan ikan yang baru saja ditangkap oleh anaknya, Hakim—yang baru saja pulang dari memancing di laut, tempat matahari terbenam di beranda rumah mereka.

  • Pemandangan sore hari di depan rumah Pak Zainuddin,

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pusaran Premium Labuan Bajo (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-2/feed/ 0 36263
Pusaran Premium Labuan Bajo (1) https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-1/ https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-1/#respond Tue, 15 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36044 Setelah status Taman Nasional Komodo yang berubah menjadi destinasi wisata premium, Labuan Bajo, sebagai gerbang pertama untuk menuju taman nasional tersebut disulap bak Bandung Bondowoso yang membangun 1000 candi dalam sehari; perubahan drastis pada kota...

The post Pusaran Premium Labuan Bajo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah status Taman Nasional Komodo yang berubah menjadi destinasi wisata premium, Labuan Bajo, sebagai gerbang pertama untuk menuju taman nasional tersebut disulap bak Bandung Bondowoso yang membangun 1000 candi dalam sehari; perubahan drastis pada kota tersebut–meskipun hanya sebagian kecil yang letaknya di pesisir yang berubah. Apakah membawa banyak perubahan juga di dalamnya?

“Banyak yang berubah, kan?”

Saya terperangah melihat bagaimana kota ini menjelma. Pada kunjungan saya tiga tahun yang lalu, hanya beberapa gedung yang terlihat dicanangkan untuk dibangun. Sisanya, masih tidak ada. Hari ini, saya melihat bagaimana jika satu kawasan langsung diprioritaskan secara nasional. Semuanya berubah secara drastis.

Saya ingat persis bagaimana pelabuhan ini sebelumnya; gedung bercat putih untuk para penumpang membeli dan menunggu kapal datang sembari melakukan apa saja; rebahan, duduk manis di kursi, atau melemparkan asap rokok sembarangan.

Sekarang, gedung itu dan daerah sekitarnya itu telah musnah, berganti dengan mercusuar, siring dengan akses pejalan kaki yang luas, hotel-hotel, dan dermaga yang jadi lebih apik. Labuan Bajo disulap menjadi lebih cantik dalam tiga tahun terakhir. Selain karena alam di sekitarnya, ternyata Labuan Bajo bisa berbangga dengan salah satu bagian kotanya sekarang—terutama di kawasan Jalan Soekarno–Hatta. Welcome to Labuan Bajo, sapa spanduk yang menyisipkan logo G20 di dalamnya.

“Selama pandemi berlangsung, hingga sekarang pembangunan besar-besaran sudah dilakukan,” celoteh Irna, yang menemani saya sore itu, mengitari kawasan yang dinamakan Waterfront Labuan Bajo. Irna mengomentari pembangunan cepat ini sebagai sebuah lompatan besar untuk sebuah daerah di luar Jawa. “Tapi apakah masyarakat sekitar siap untuk menerima perubahan drastis ini?” ujarnya melanjutkan pembicaraan.

Sebagai bagian dari wilayah kerja wisata premium nasional, Labuan Bajo dibangun sedemikian cepat. Kota ini menjadi gerbang masuk Taman Nasional Komodo, yang statusnya sebagai the one and only rumah komodo. Saking premiumnya, wacana kenaikan tiket kunjungan sudah berhembus semenjak bertahun-tahun yang lalu—yang akhirnya “memaksa” saya untuk mengunjunginya beberapa tahun silam.

Ketika palu diketuk untuk kenaikan harga tiket masuk pada Agustus 2022, banyak elemen masyarakat yang memprotes keputusan yang dirasa memberatkan banyak orang, baik dari pelaku maupun wisatawan itu sendiri. Kisruh ini kemudian berakhir setelah pemerintah menunda rencana kenaikan tiket hingga 2023. Kegiatan wisata sendiri sudah mulai beriak pasca pagebluk COVID-19, walau belum sepenuhnya maksimal.

“Ini ada buku-buku, saya pinjamkan buat dibaca-baca,” Irna menyerahkan seabrek buku yang ia tulis bersama teman-temannya, bertemakan sejarah, budaya, kuliner, hingga dinamika sosial di Labuan Bajo dan sekitarnya.

Saya menerima dengan senang hati, setidaknya saya bisa melihat perubahan apa saja yang dialami oleh Labuan Bajo, dari kota yang hanya menjadi labuhan orang Bajo dan Manggarai menjadi kota wisata dengan label premium yang mengundang semua pihak untuk masuk dan berkecimpung serta memeriahkannya.

waterfront labuan bajo
Waterfront Labuan Bajo/M. Irsyad Saputra

Gejolak Dalam Perubahan Singkat

Suatu senja pada Agustus 2019, saya yang baru saja tiba di Labuan Bajo, pergi ke para penjual makanan di trotoar Kampung Ujung, untuk mencoba ikan-ikan segar hasil tangkapan nelayan.

Saya senang sekali mendapati ikan kakap, tuna, kerapu, udang, cumi, hingga lobster yang terhampar dalam tenda-tenda setiap warung. Setidaknya, bagi saya yang notabene lebih banyak menghabiskan hidup dengan memakan ikan air tawar, melihat kumpulan ikan laut dengan berbagai warna adalah sebuah pemandangan langka.

Saya memesan satu ikan kerapu sunuk, yang disajikan dengan dibakar bersama sepiring nasi dan lalapan. Itu adalah pertama kalinya saya menyantap ikan kerapu dan sampai sekarang menjadi salah satu ikan laut kegemaran saya.

Kenangan itu tiba-tiba saja pudar ketika saya sampai di tempat yang sama. Trotoar yang dulu berdiri seadanya, kini telah berganti menjadi trotoar selebar tiga meter dengan tiang-tiang besi yang memagari batas laut, diterangi lampu-lampu jalanan yang berbentuk lidah komodo. Lokasi berjualan makanan pun sekarang telah dipindahkan.

Ipul, seorang pedagang nasi bungkus, yang saya temui kala mencari santap pagi di Kampung Ujung, mengeluhkan tentang pembangunan trotoar yang memberatkan pedagang, yang sebelumnya sudah berjualan di trotoar Kampung Ujung. Warga yang berjualan di sana harus mendaftar kembali untuk mendapatkan verifikasi dan harus lolos seleksi, tapi yang paling memberatkan tentu saja soal biaya sewa yang naik.

“Terus, pedagang harus ngasih harga berapa untuk jualannya? Apa nggak kabur tuh pembeli?” gerutunya. Saya teringat momen membeli ikan bakar tadi, harga per ikannya sekitar 100 ribu rupiah, belum ditambah nasi dan sayur. Kalau sewanya segitu mahal, mungkin harga ikannya bisa mencapai 250-350 ribu rupiah.

Sambil menikmati santap pagi nasi putih dan ikan layang, Ipul kemudian bercerita tentang asalnya dan bagaimana pengalaman hidupnya, termasuk ketika dia berkecimpung dalam dunia pariwisata.

“Saya aslinya Dompu. Sudah banyak pengalaman merantau. Jakarta, Lombok, dan di sini,” telunjuknya menunjuk tanah tempat warungnya berdiri. Bagi dia Labuan Bajo sekarang adalah rumah untuk bersandar, tanah bagi dia untuk mencari sesuap nasi.

“Saya dulu pernah kerja di Gili, Mas. 9 tahun,” ucapnya sambil menerangkan hal lainnya dari pariwisata di Gili. Dirinya kemudian dengan bangganya bercerita tentang pengalamannya belajar bahasa Inggris. Dia senang mempelajari bahasa, karena bahasa, menurutnya, bisa banyak membuka kesempatan kerja. Banyak kenalan akan membuka banyak kesempatan, termasuk diantaranya kesempatan untuk mencari uang. Setelah ngalor ngidul soal pengalamannya di Gili, Ipul kembali mengungkit soal pembangunan di Kampung Ujung ini.

“Pembangunan kayak gini kan kita nggak minta, mereka yang inisiatif bangun. Setelah jadi, harga tiket malah mau naik,” keluh Ipul yang masih bersikeras bahwa pembangunan ini untuk memuaskan para oligarki yang ingin menguasai pariwisata Labuan Bajo. 

Ipul kemudian merapikan perkakas warungnya dan juga payung yang meneduhi bangku yang saya duduki, bersiap untuk pulang karena hari sudah menjelang siang. Jualannya hari ini sudah tandas dibabat orang-orang yang lalu.

Awan mengepung langit jingga Labuan Bajo, sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Entah kapan. Saya berkeliling Kampung Ujung, untuk mencari rumah seseorang yang menolong saya tiga tahun yang lalu. Kampung Ujung yang saya kenal juga sudah berubah 180 derajat. Pembangunan trotoar meluas hingga ke TPI Kampung Ujung. Rumah-rumah kayu tradisional khas Bajo juga banyak yang beralih bentuk menjadi rumah batako modern.

Waterfront Labuan Bajo dari atas Puncak Waringin/M. Irsyad Saputra

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Pusaran Premium Labuan Bajo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-premium-labuan-bajo-1/feed/ 0 36044