wisata religi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wisata-religi/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 14 Aug 2024 14:23:09 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 wisata religi Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wisata-religi/ 32 32 135956295 “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2) https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-2/ https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-2/#respond Fri, 16 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42517 Selesai beristirahat, kami berdua lanjut berjalan. Saya juga berkesempatan melihat beberapa makam di sekitar pesarean Ki Ageng Gribig. Bentuk nisannya jauh lebih sederhana daripada nisan-nisan yang kami saksikan sebelumnya. Menjelang akhir penelusuran, saya dan Titu...

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Selesai beristirahat, kami berdua lanjut berjalan. Saya juga berkesempatan melihat beberapa makam di sekitar pesarean Ki Ageng Gribig. Bentuk nisannya jauh lebih sederhana daripada nisan-nisan yang kami saksikan sebelumnya.

Menjelang akhir penelusuran, saya dan Titu akhirnya berjumpa dengan juru kunci tempat ini. Namanya Nurrasul. Ia sedang berada di sebuah gazebo yang difungsikan sebagai tempat cangkruk (kongko). Setelah Titu memberitahunya kalau kami tidak bisa masuk karena terkunci, ia kemudian mengantarkan kami ke makam Ki Ageng Gribig.

Seperti sebelumnya, kami juga hanya sebentar di dalam makam Ki Ageng Gribig. Kami lalu kembali menemui Nurrasul yang masih berada di gazebo.

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
Nurrasul, juru kunci makam Ki Ageng Gribig/Dewi Sartika

Cerita dari Juru Kunci

Sungguh, saya dan Titu merasa beruntung bisa bertemu Nurrasul. Kami berdua mulai mengorek kisah tentang kawasan makam ini. Kepada kami, lelaki kelahiran 1961-an itu membuka cerita bahwa kompleks makam tersebut ada setelah bupati pertama Malang wafat.

“Kalau ditanya berapa luas pesarean ini, kurang lebih satu hektare, ya. Sementara penghuni makam di sini selain Ki Ageng Gribig dan bupati Malang, mereka harus kerabat dari keturunan bupati Malang,” ucap Nurrasul.

Mendengarnya penjelasan Nurrasul, akhirnya teka-teki keberadaan makam bupati Banyuwangi dan bupati Bondowoso di kompleks ini terjawab. Sekaligus menyudahi rasa penasaran saya.

Nurrasul menambahkan, di samping mereka yang masih keturunan keluarga bupati Malang, terdapat pula makam murid-murid Ki Ageng Gribig. Namun, untuk hal ini, ia tak mengetahui nama-nama murid tersebut mengingat umur makamnya sendiri sudah sangat tua. Ditambah tak ada keterangan nama pada nisan.

Lelaki yang mulai menjadi juru kunci lima tahun lalu itu menambahkan, biasanya makam-makam yang masih diziarahi para pengunjung atau keluarga memiliki ciri, yaitu makamnya dipagari. Sementara makam-makam tanpa pagar adalah kuburan tua yang tidak dikunjungi oleh keturunannya atau makam tak dikenal.

Saat saya bertanya tentang status cagar budaya makam ini, Nurrasul menjelaskan bahwa makam bupati Malang telah ditetapkan sebagai cagar budaya karena merupakan bangunan asli. Saya pun teringat dengan sebuah papan yang tertempel di dinding, isinya penetapan bangunan yang dilindungi tersebut. Ia juga memperkirakan, bangunan makam itu ada setelah Raden Adipati Ario Notodiningrat II dan Raden Tumenggung Notodiningrat I wafat.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)

Lebih lanjut, dari cerita yang beredar, dulunya bangunan makam tersebut akan dipakai sebagai masjid. Namun, karena suatu hal, rencana itu terlaksana. Sejauh ini, dua bangunan makam utama bupati Malang hampir tidak mengalami perubahan berarti sejak didirikan, mulai dari tembok hingga kayu. Dari keterangan Nurrasul, satu-satunya yang berubah hanyalah genteng bangunan yang pernah rusak kemudian diganti di masa kepemimpinan Bupati Abdul Hamid Mahmud (1985–1995).

“Yang jelas makam Ki Ageng Gribig ini sudah ada terlebih dahulu ketimbang dua makam bupati. Karena Ki Ageng Gribig ini sangat dihormati, maka bupati Malang pertama berpesan kepada penerusnya untuk dikubur berdekatan dengan Ki Ageng Gribig,” jelas pria yang tinggal tak jauh dari makam itu.

Nurrasul pun menyebut jumlah makam di kompleks ini di atas 100, dengan jumlah makam yang ada penandanya sebanyak 160 makam. Sementara itu, makam Ki Ageng Gribig ternyata bukanlah makam tertua. Ia mengatakan masih ada makam yang jauh lebih tua. Diperkirakan makam tersebut berasal dari abad ke-16 Masehi atau masa akhir Majapahit yang ditandai dengan gambar matahari pada nisan.

Tentang nisan sendiri, ada satu hal yang membuat saya penasaran sejak masuk ke makam Raden Adipati Ario Notodiningrat II. Mengapa nisan mantan penguasa Malang tersebut disarungi kain?

Saat bertanya ke Nurrasul, jawabannya sangat sederhana. Supaya nisan tidak kotor.

“Nisan-nisan yang ada di makam ini ada yang terbuat dari teraso, ada juga yang dari kayu. Kalau nisan bupati kedua Malang dari teraso, sementara nisan Ki Ageng Gribig dari marmer, tetapi sudah diganti,” ujarnya.

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
Makam Ki Ageng Gribig/Dewi Sartika

Tempat “Ngalap” Berkah yang Minim Perhatian

Kendati cukup sepi, bukan berarti tempat ini jarang dikunjungi. Dari keterangan Nurrasul, makam Ki Ageng Gribig banyak didatangi pengunjung saat Jumat Legi. Bahkan ada yang datang dari luar kota, seperti Pasuruan, Surabaya, Mojokerto, Temanggung, Cirebon, dan Jakarta. Kebanyakan pengunjung melakukan kegiatan yasinan dan tahlil. Sementara di hari biasa, makam ini dikunjungi orang-orang berlatar akademis yang hendak melakukan penelitian.

Omong-omong soal pengunjung, Nurrasul membagikan pengalaman menarik selama menjadi juru kunci makam. “Paling ramai itu sewaktu Pemilu kemarin. Banyak caleg (calon legislatif) yang datang ke sini untuk ngalap (mencari) berkah. Terus akhir-akhir ini juga beberapa calon wali kota Malang juga berkunjung. Ada yang datang antara jam 12 dan jam 1 pagi. Cerita ini saya dapat dari warga sekitar,” katanya.

Beberapa nama sempat ia sebut. Nama-nama yang sangat familiar di telinga saya, mengingat baliho dan poster mereka sering saya jumpai di jalan.

Lalu saat saya menanyakan biaya perawatan makam, ia memberitahu bahwa dana yang dipakai berasal dari kotak infak atau swadaya masyarakat sekitar. Hasilnya untuk kegiatan operasional, termasuk membayar tukang sapu makam. Tak ada bantuan dari Pemerintah Kota Malang atau Kabupaten Malang. Nurrasul mengungkap bantuan terakhir yang ia terima berasal dari Kabupaten Malang sekitar tiga tahun lalu. 

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2)
Beberapa makam di samping bangunan makam Ki Ageng Gribig/Dewi Sartika

Warga Lesanpuro tersebut sehari-hari berada di makam mulai pagi hingga sore. Ketika siang tiba, ia akan pulang untuk beristirahat sebelum kembali bertugas. Ia juga bercerita mengenai buyutnya yang sudah menjadi juru kunci sejak tahun 1800–an. Dari cerita yang ia dapatkan, bupati pertama Malang-lah yang menunjuk langsung keluarga Nurrasul sebagai kuncen.

“Karena turun-temurun jadi kuncen, keluarga saya dimakamkan di sini termasuk buyut saya. Kalau saya nanti masih belum tahu, dimakamkan di sini atau tidak,” ucapnya. Ia sendiri menggantikan sang ayah sejak tahun 2019.

Saya tergelitik mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya, bagaimana seandainya anak Nurrasul tak berminat meneruskan pekerjaan sebagai kuncen?

Ada alasan saya bertanya tentang hal ini. Bagi saya, minat generasi muda saat ini terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sejarah atau nilai-nilai lokalitas terus-menerus menurun. Atau bahkan tidak tertarik sama sekali. 

Mendengar pertanyaan saya, Nurrasul menghela napas panjang. “Ya, kalau anak saya enggak mau, nanti yang menggantikan saya adalah adik saya,” jawabnya. Sebuah senyuman yang sedikit dipaksakan menghiasi wajahnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-2/feed/ 0 42517
“Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1) https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-1/ https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-1/#respond Wed, 14 Aug 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42503 Ketika matahari mulai berada di sepenggalah, motor yang dikendarai Titu Sunggari Lampung—atau biasa disapa Titu, sahabat saya, berhenti di depan sebuah kompleks pemakaman yang berada di Madyopuro, Kedungkandang, sebelah timur Kota Malang. Saya pun turun...

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Ketika matahari mulai berada di sepenggalah, motor yang dikendarai Titu Sunggari Lampung—atau biasa disapa Titu, sahabat saya, berhenti di depan sebuah kompleks pemakaman yang berada di Madyopuro, Kedungkandang, sebelah timur Kota Malang. Saya pun turun dari boncengan. Kami beranjak memasuki gerbang pemakaman.

Sebenarnya, keinginan saya untuk berkunjung ke tempat ini cukup besar sejak dulu. Namun, karena beberapa hal, saya baru bisa mewujudkannya baru-baru ini. Sejujurnya, meski sudah lama tinggal di Malang, tetapi keberadaan pesarean (makam) Ki Ageng Gribig baru saya dengar beberapa waktu lalu. Bukan cuma saya saja yang tidak tahu, melainkan juga masyarakat Malang pun tak banyak yang menyadari. Setidaknya hal inilah yang diakui juru kunci makam Ki Ageng Gribig yang sempat saya temui.

Akses menuju makam di Jalan Ki Ageng Gribig Gang 3 tersebut sangat mudah. Meskipun berada di pinggiran kota, tetapi jarak dari pusat kota hanya sekitar 25 menit. Bagi pengunjung luar kota, makam Ki Ageng Gribig juga bisa dicapai melalui pintu keluar tol Malang (Madyopuro) yang hanya berjarak kurang lebih 1,5 kilometer.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)

Sosok Ki Ageng Gribig

Suasana pagi di makam Ki Ageng Gribig pada Minggu (19/4/2024) terpantau sepi. Suasana asri menjadi hal pertama yang saya tangkap. Kami berdua lalu menghampiri lelaki yang saat itu sedang menyapu. Kami berpikir dia adalah juru kunci (kuncen) makam. Ternyata kami salah. Kepada kami, ia mengaku hanya petugas kebersihan makam. Ia kemudian memberitahu kami nama penjaga makam.

Sebelum berlalu, saya beranjak memasukkan selembar uang ke dalam kotak infak yang ada di dekat gerbang makam.  Setelah itu, saya dan Titu lanjut jalan untuk melihat-lihat area kompleks makam.

Makam Ki Ageng Gribig sebenarnya menjadi salah satu destinasi wisata religi yang ada di Kota Malang, selain Kelenteng Eng An Kiong yang terletak di pusat kota. Sesuai namanya, di kompleks makam ini memang terdapat kuburan Ki Ageng Gribig, tokoh penyebar Islam di Malang.

Diduga, Ki Ageng Gribig merupakan keturunan seorang kesatria bernama Menak Koncar dan berasal dari Mataram. Ia diperkirakan hidup pada abad ke-17. Saat itu, Kesultanan Mataram sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain, termasuk daerah Malang dan sekitarnya

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
Lorong hening/Dewi Sartika

 Ki Ageng Gribig dikirim ke wilayah tersebut untuk menyebarkan agama Islam. Semula Ki Ageng Gribig ditugaskan di Pasuruan, lalu setelah itu pindah ke Malang—dulunya masuk wilayah Pasuruan. Adapun Kampung Gribig sendiri kemungkinan sudah eksis sejak zaman Majapahit di bawah pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi.

Menurut Devan Firmansyah, pemerhati sejarah sekaligus penulis sejumlah buku tentang sejarah Malang Raya, menyebut identitas Ki Ageng Gribig di Malang cukup beragam. Ki Ageng Gribig disebut paman Sunan Giri, cucu Sunan Giri, cucu Raja Blambangan, atau cucu Untung Surapati.

Dari empat kemungkinan tersebut, Devan meyakini Ki Ageng Gribig di Malang bisa jadi  merupakan cucu Raja Blambangan (Menak Koncar) atau cucu Untung Surapati. Namun, ia belum bersedia berkomentar lebih lanjut tentang hal ini. “Nanti tak jadikan buku dulu, Mbak, biar enak membacanya,” jawabnya melalui pesan Whatsapp kepada saya.

Ya, ia memang sedang menyusun buku tentang sejarah Ki Ageng Gribig untuk diterbitkan. Selain menjelaskan latar belakang Ki Ageng Gribig, Devan juga masih berusaha menghubungkan Ki Ageng Gribig Jatinom di Klaten dengan Ki Ageng Gribig di Malang. 

“Ini yang masih menjadi PR (pekerjaan rumah) saya. Kedua tokoh tersebut ada hubungan apa,” sambungnya.

"Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
Bagian dalam bangunan makam bupati kedua Malang/Dewi Sartika

Menelusuri Dua Bangunan Makam Utama

Karena baru pertama kali menginjakkan kaki di sini, saya dan Titu secara acak melihat-lihat berbagai makam yang ada di kompleks. Pandangan kami lalu tertuju pada sebuah bangunan yang mencolok mata dengan dominasi warna putih pada dinding dan sepasang daun pintu bercat hijau. Dilihat dari bentuk pintu dan dua jendela yang berukuran besar, sepertinya bangunan tersebut sudah berusia tua.

Sebuah foto Raden Adipati Ario Notodiningrat II terpajang di samping pintu. Ia adalah bupati kedua Malang yang memerintah mulai tahun 1839 hingga 1884. Saya pun akhirnya menyadari di dalam bangunan tersebut terdapat makam.

Berhubung pintunya tertutup, semula kami ragu-ragu untuk masuk. Saya bahkan mengintip dari jendela untuk melihat bagian dalam. Tak berselang lama, kami pun memutuskan masuk. Selain pusara sang bupati yang berhias gorden putih dengan kain kuning menutupi nisan, juga terdapat beberapa nisan kayu kerabat dekat sang bupati.

Kami tak lama berada di dalam. Selanjutnya kami kembali melihat sejumlah makam yang ada di bagian depan bangunan tersebut. Salah satunya adalah kuburan Raden Ario Soeroadikoesoemo yang wafat pada 28 Juni 1946. Sebagaimana tulisan yang terpasang di pagar makam, disebutkan bahwa ia merupakan seorang pensiunan patih di Malang.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)

Setelah mengamati dari dekat, kami langkahkan kaki menuju tempat lain. Tepat di belakang bangunan pertama, ada bangunan lain yang bentuknya serupa dengan sebelumnya. Kali ini, tempat yang hendak kami masuki adalah bangunan makam Raden Tumenggung Notodiningrat I alias Raden Pandji Wielasmorokusumo. Dialah bupati Malang pertama selama periode 1819–1839.

Dalam Malang Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo, dijelaskan bahwa kawasan Malang dahulu kala masuk dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta. Oleh karena itu, para bupati Malang yang memerintah masih terhitung keturunan Surakarta. Tidak mengherankan bila sejumlah bupati Malang pun mempunyai gelar khas bangsawan Jawa.

Untuk menuju makam Raden Tumenggung Notodiningrat, kami harus belok melewati jalan kecil yang berada di samping bangunan pertama. Sesuai yang tertera di papan penunjuk, jalan ini dinamakan Lorong Hening. Saya tak mengetahui alasan di balik penamaannya.

Sebelum memasuki bangunan tersebut, ada sejumlah makam yang terletak di sekitarnya, seperti pusara bupati Banyuwangi, KRT. Ario Notodiningrat yang wafat 6 November 1918, maupun makam Raden Toemenggoeng Ario Notodiningrat yang menjabat sebagai bupati Bondowoso.

Sama seperti kuburan Raden Adipati Ario Notodiningrat II, di bagian dalam bangunan juga terdapat sejumlah makam. Persisnya 25 makam kerabat terdekat bupati pertama Malang tersebut. Bentuk makam juga tak beda jauh dengan sebelumnya, dikelilingi gorden dan pada nisan ditutupi kain kuning.

  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)
  • "Ngalap" Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1)

Makam Utama yang Lebih Sederhana

Selanjutnya, kami menuju pesarean paling kesohor di kompleks makam ini, yaitu Ki Ageng Gribig. Ketika berjalan, mata saya tertuju pada bangunan terbuka berisi kuburan yang dikelilingi pagar putih. Papan nama terpasang di langit bangunan bertuliskan Pesarean Nyai Kanigoro (garwo Sayyid Sulaiman Mojoagung). Dalam bahasa Jawa, kata garwo kurang lebih bermakna istri.

Nyai Kanigoro sendiri merupakan putri dari Ki Ageng Gribig. Ia dipersunting Sayyid Sulaiman, salah satu tokoh penyebar Islam di Jawa Timur. Kuburan Nyai Kanigoro berada tepat di depan makam Ki Ageng Gribig.

Dibandingkan dengan dua bangunan awal yang kami masuki, bangunan makam Ki Ageng Gribig terlihat lebih sederhana. Menurut saya, bangunannya menyerupai langgar (musala) kecil dengan dua pintu. Ketika hendak masuk, saya dan Titu harus mengurungkan niat karena kedua pintunya terkunci. Berhubung tak bisa masuk, kami pun memutuskan untuk beristirahat sebentar sambil menikmati kompleks makam yang asri dan rimbun. Bagi saya, kondisinya lebih mirip kebun raya.


Referensi

Aminudin, M. (2023, 26 Maret). Menilik Makam Ki Ageng Gribig, Tokoh Penyebar Islam di Malang. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6638958/menilik-makam-ki-ageng-gribig-tokoh-penyebar-islam-di-malang.
Aminudin, M. (2023, 27 Maret). Asal-usul Ki Ageng Gribig Sosok Penyebar Islam di Malang. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://www.detik.com/jatim/budaya/d-6640618/asal-usul-ki-ageng-gribig-sosok-penyebar-islam-di-malang.
Anggraeni, P. (2018, 12 September). Masjid An-Nur Celaket; Dibangun Keturunan Sunan Gunung Jati, Saksi Penyebaran Islam di Malang. Diakses pada 24 Mei 2024 dari https://jatimtimes.com/baca/178841/20180912/081400/masjid-annur-celaket-dibangun-keturunan-sunan-gunung-jati-saksi-penyebaran-islam-di-malang.
Mahmudan. (2024, 1 April). Ternyata Begini Sejarah Ki Ageng Gribig, Babat Alas dan Jadi Penyebar Islam di Malang Timur. Diakses pada 22 Mei 2024 dari https://radarmalang.jawapos.com/sosok/814502434/ternyata-begini-sejarah-ki-ageng-gribig-babat-alas-dan-jadi-penyebar-islam-di-malang-timur?page=2.
Widodo, D. I. (2006). Malang Tempo Doeloe. Malang: Bayumedia Publishing.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post “Ngalap” Berkah di Kompleks Makam Ki Ageng Gribig Malang (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ngalap-berkah-di-kompleks-makam-ki-ageng-gribig-malang-1/feed/ 0 42503
Berziarah ke Makam Kyai Santri Jaka Sura https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-kyai-santri-jaka-sura/ https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-kyai-santri-jaka-sura/#respond Sat, 24 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36721 Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, pernah hidup sejumlah tokoh yang diyakini merupakan murid Sunan Kalijaga, di antaranya ada Ki Ageng Selo—yang lekat dengan mitos dapat menangkap petir dengan tangan kosong, dan Kyai Santri Jaka Sura. ...

The post Berziarah ke Makam Kyai Santri Jaka Sura appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, pernah hidup sejumlah tokoh yang diyakini merupakan murid Sunan Kalijaga, di antaranya ada Ki Ageng Selo—yang lekat dengan mitos dapat menangkap petir dengan tangan kosong, dan Kyai Santri Jaka Sura. 

Sosok yang disebut terakhir, Jaka Sura, makamnya terletak di Dusun Tlogotanjung, Desa Tlogorejo, Kecamatan Tegowanu, Kabupaten Grobogan. Sebagaimana makam aulia lainnya, makam Jaka Sura—atau populer dengan nama julukan Kyai Santri, ramai dikunjungi para peziarah yang datang dari berbagai daerah.

Makam Kyai Santri Jaka Sura
Tulisan di gerbang masuk menuju Makam Kyai Santri Jaka Sura/Badiatul Muchlisin Asti

Hanya saja, ramai para peziarah yang datang ke makam ini tidak setiap hari, melainkan hanya pada hari pasaran Jumat Wage. Pada hari itu, kompleks makam Kyai Santri tidak hanya ramai oleh para peziarah, namun juga oleh riuh para pedagang yang membuka lapak. Para pedagang yang berasal dari Desa Tlogorejo dan sekitarnya itu menjajal keberuntungan, mengais rezeki dengan banyaknya peziarah yang datang.

Siapa Sosok Kyai Santri?

Dari penuturan Kyai Afifudin, tokoh agama sekaligus sesepuh Desa Tlogorejo—yang kediamannya tak jauh dari makam Kyai Santri, Kyai Santri bernama asli Jaka Sura. Ia merupakan keponakan sekaligus murid kinasih Sunan Kalijaga. Jaka Sura merupakan putra dari pasangan Empu Supa dan Dewi Rasawulan—adik kandung Sunan Kalijaga. Dari pasangan ini, lahir dua putra, yakni Jaka Supa dan Jaka Sura.

Suatu hari, Sunan Kalijaga mengutus Jaka Sura untuk mencari Siti Fatimah—kakak Jaka Sura dari lain ibu. Singkat cerita, bertemulah Jaka Sura dengan kakaknya itu yang telah menikah dengan Empu Sura Niti dan menetap di pedukuhan Cogeh—saat ini menjadi bagian dari Desa Tlogorejo, Kecamatan Karangawen, Kabupaten Demak.

Tinggallah kemudian Jaka Sura di rumah kakaknya itu dan mengembangkan syiar Islam di sana. Namun seiring berjalannya waktu, kehadiran Jaka Sura rupanya mengusik kakak iparnya, Empu Sura Niti. Empu Sura Niti cemburu dengan kedekatan Jaka Sura dengan Siti Fatimah, istrinya. Padahal, kedekatan itu hanyalah kedekatan seorang adik dengan kakaknya atau sebaliknya. 

Karena itu, Empu Sura Niti merencanakan untuk membunuh Jaka Sura. Di sebuah hutan, Empu Sura membunuh Jaka Sura. Tak jauh dari tempat terbunuhnya Jaka Sura, terdapat telaga dan pohon tanjung. Sehingga kelak kemudian hari, tempat itu dinamakan pedukuhan Tlogotanjung—yang berasal dari dua kata, tlogo yang berarti telaga atau mata air, dan tanjung yang merujuk kepada pohon tanjung.  

Tempat itulah yang kini terdapat makam Kyai Santri Jaka Sura dan setiap Jumat Wage diziarahi oleh para peziarah dari berbagai daerah.

Versi Lain tentang Sosok Kyai Santri

Selain penuturan dari Kyai Afifudin di atas, ada versi lain terkait sosok Jaka Sura. Versi itu disampaikan oleh Heru Hardono—yang akrab disapa Mbah Bejo, seorang peminat kajian sejarah lokal Grobogan. 

Menurut Mbah Bejo, Kyai Santri—atau versi Mbah Bejo lebih pas disebut Mbah Santri, merupakan murid Sunan Kalijaga yang ikut dalam rombongan pencarian kayu untuk bahan pembangunan Masjid Agung Demak. Dalam perjalanan pulang ke Demak, ada seorang santri yang sakit dan meninggal dunia. Rencananya, santri yang meninggal itu mau dibawa pulang dan dimakamkan di Demak.

Namun karena para santri capek dan juga harus membawa kayu sirap yang berat, atas perintah Sunan Kalijaga, santri tersebut akhirnya dimakamkan di daerah di mana mereka beristirahat dari perjalanan. Sunan Kalijaga meminta agar santri yang meninggal itu dimakamkan di tempat yang dapat dilihat oleh orang yang lewat, sehingga makam itu bisa dirawat. 

Seorang penggembala kerbau yang mengetahui makam murid Sunan Kalijaga itu, lalu merawatnya secara sukarela. Sejak itu, diceritakan, keberkahan meliputi hidupnya. Kerbau gembalaannya menjadi bertambah banyak, sehingga ekonominya meningkat. 

Karena tidak tahu nama murid Sunan Kalijaga yang dimakamkan itu, maka oleh penggembala kerbau itu, makam itu diberi nama “Makam Santri”—yang kelak populer dengan nama “Makam Kyai Santri Jaka Sura”—dan pada perkembangannya ramai diziarahi oleh para peziarah yang datang dari berbagai daerah. 

Wisata Religi dan Kuliner

Seiring waktu, makin banyak peziarah yang datang ke makam Kyai Santri. Tahun 1990-an, seiring makin banyaknya peziarah, warga setempat mulai memanfaatkannya untuk mengais rezeki dengan menggelar lapak. Setiap Jumat Wage—yang menjadi hari berziarah di Makam Kyai Santri, warga menggelar dagangan, ada yang berbentuk makanan, mainan, ikan hias, dan lainnya. Saat ini, selain warga setempat, para pedagang juga banyak yang berasal dari luar desa. 

Kenapa waktu berziarah hanya pada Jumat Wage? Menurut Kyai Afifudin, konon Jumat Wage merupakan hari lahir (weton) Kyai Santri. Sehingga hari itu diyakini merupakan hari terbaik untuk berziarah ke makam Kyai Santri. Dengan demikian, jadilah setiap Jumat Wage, makam Kyai Santri sangat ramai, tidak hanya oleh banyaknya peziarah, namun juga para pedagang. 

Banyaknya pedagang, menjadikan tempat ini juga bisa menjadi destinasi wisata, tidak hanya wisata ziarah (religi) namun juga wisata kuliner. Menurut Choerozak Ibnu Marjan, tokoh muda Desa Tlogorejo, di sini ada sejumlah kuliner ikonik yang dikembangkan warga, antara lain dawet, brondong, dan tapak bélo. Sejumlah peziarah yang berziarah karena nazar, mereka sering memborong dawet lalu membagikannya kepada orang-orang yang berada di kompleks makam. 

  • Membeli jajanan tradisional
  • jajanan tradisional
  • es dawet

Sisi negatifnya, sebagaimana fenomena serupa yang terjadi di makam-makam aulia atau para wali di berbagai daerah, di kompleks makam Kyai Santri juga muncul banyak pengemis. Mereka duduk sambil meminta-minta belas kasih para peziarah sejak memasuki gerbang menuju makam. Beruntungnya, kehadiran mereka tak terlalu mengganggu, karena bila peziarah tidak memberi, mereka “tidak memaksa”, misalnya dengan membuntuti peziarah—yang sering terjadi di tempat lain.

Dalam lingkup Jawa Tengah, terkhusus di wilayah Grobogan, makam Kyai Santri memang tidak sepopuler makam-makam aulia lainnya seperti makam Ki Ageng Selo dan Ki Ageng Getas Pendowo, namun potensi kepariwisataan Makam Kyai Santri tak bisa dipandang remeh. Ramainya pengunjung dan pedagang, meski hanya setiap Jumat Wage, membuktikan makam ini sangat potensial untuk di-branding sebagai destinasi wisata religi yang cukup prospektif. 

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berziarah ke Makam Kyai Santri Jaka Sura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-kyai-santri-jaka-sura/feed/ 0 36721
Masjid Menara Kudus, Kemegahan Arsitektur Kuno Warisan Sunan Kudus https://telusuri.id/masjid-menara-kudus/ https://telusuri.id/masjid-menara-kudus/#comments Thu, 10 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36047 Selain identik dengan jenang dan kretek, Kudus juga lekat dengan Masjid Menara Kudus. Sebuah masjid dengan bangunan megah yang sukses mengakulturasi secara padu budaya Islam, Hindu, dan Buddha. Boleh dibilang, Kudus adalah simbol nyata toleransi...

The post Masjid Menara Kudus, Kemegahan Arsitektur Kuno Warisan Sunan Kudus appeared first on TelusuRI.

]]>
Selain identik dengan jenang dan kretek, Kudus juga lekat dengan Masjid Menara Kudus. Sebuah masjid dengan bangunan megah yang sukses mengakulturasi secara padu budaya Islam, Hindu, dan Buddha.

Boleh dibilang, Kudus adalah simbol nyata toleransi dan kearifan syiar da’wah Islamiyah. Sunan Kudus yang menjadi tokoh sentral di balik keberadaan Masjid Menara Kudus dan syiar Islam di Kudus telah secara cemerlang melakonkan keanggunan sebagai seorang pendakwah.

Saat ini, Masjid Menara Kudus dengan makam Sunan Kudus yang satu kompleks, menjadi salah satu destinasi wisata religi favorit di Jawa Tengah. Setiap hari, selalu ramai dikunjungi oleh peziarah dari berbagai daerah. 

Masjid Kudus
Masjid Al-Aqsha Manarat Qudus/Badiatul Muchlisin Asti

Namanya Masjid Al-Aqsha Manarat Qudus

Populer dengan nama Masjid Menara Kudus atau Masjid Al-Manar, namun sejatinya nama resmi masjid ini adalah Masjid Al-Aqsha Manarat Qudus. Syekh Ja’far Shadiq atau yang populer dengan julukan Sunan Kudus yang mendirikannya. Lokasinya berada di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Sejumlah sumber menyebutkan, Masjid Menara Kudus didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M. Hal ini didasarkan pada inskripsi berbahasa Arab yang tertulis pada prasasti batu berukuran lebar 30 cm dan panjang 46 cm yang terletak pada mihrab masjid. Peletakan batu pertama masjid ini konon menggunakan batu dari Masjid Al-Aqsa (Baitul Maqdis) di Palestina, sehingga masjid ini kemudian dinamakan Masjid Al-Aqsa.

Mengenai asal-usul nama Kudus, terdapat sebuah cerita. Syahdan, dahulu kala Sunan Kudus pergi haji lalu menuntut ilmu di tanah Arab. Selepas itu, mengajar pula di sana. Suatu saat, di tanah Arab terjadi wabah penyakit yang membahayakan. Berkat jasa Sunan Kudus, wabah itu mereda. Sebagai ungkapan rasa terima kasih, seorang Amir (pemimpin) di sana berkenan memberikan suatu hadiah kepada Sunan Kudus. Akan tetapi beliau menolak. Beliau hanya meminta kenang-kenangan berupa sebuah batu.

Batu tersebut konon berasal dari Baitul Maqdis, Palestina. Maka sebagai peringatan kepada kota di mana Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus pernah hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus. Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itu pun juga populer dengan sebutan Menara Kudus.

Mengenai nama Kudus atau Al-Quds, dalam buku Encyclopaedia Islam antara lain disebutkan, “AL KUDS, the usual Arabic name for Jerusalem in later times. The Older writers call it commonly Bait al Makdis (according to some: Mukaddas), with really meant the Temple (of Solomon), a translation of the Hebrew Bethamikdath, but it because applied to the whole town.”

Ciri Khas Menara Kudus 

Masjid Menara Kudus
Menara Kudus memiliki ketinggian 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 m/Badiatul Muchlisin Asti

Menara Kudus merupakan salah satu bagian dari bangunan Masjid Menara Kudus. Arsitektur bangunannya begitu unik, berupa bangunan batu bata ekspose yang menjulang di depan masjid.

Ketinggiannya 18 meter dengan bagian dasar berukuran 10 x 10 meter. Di sekeliling bangunan berhias piring-piring bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah. 20 buah di antaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta, dan pohon kurma. Sementara itu, 12 buah lainnya berwarna merah putih dengan lukisan kembang.

Di dalam menara terdapat tangga yang terbuat dari kayu juga yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Bangunan dan hiasannya jelas menunjukkan adanya hubungan dengan kesenian Hindu Jawa karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian: (1) kaki, (2) badan, dan (3) puncak bangunan. Menara ini dihiasi pula antefiks (hiasan yang menyerupai bukit/segitiga kecil).

Kaki dan badan menara memiliki ukuran dengan tradisi Jawa–Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajug.

Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada unsur arsitektur Jawa-Hindu.

Simbol Toleransi

Masjid Menara Kudus beserta ikon-ikon yang mengitarinya diakui merupakan simbol toleransi yang tercermin dalam strategi kultural yang “mengakomodasi” budaya dari luar Islam. Saat agama Islam masuk ke bumi Nusantara pada sekitar abad ke-7, masyarakat Nusantara memang kental oleh pengaruh kebudayaan Hindu dan Buddha.

Akulturasi budaya dipilih oleh para pendakwah seperti Walisongo sebagai strategi penyebaran dakwah Islam. Termasuk Sunan Kudus yang dalam memperkenalkan Islam menggunakan strategi akulturasi Hindu dan Islam sebagai upaya agar masyarakat bisa tertarik dan mudah menerima ajaran Islam yang baru ketika itu.

Maka tak heran bila Masjid Menara Kudus didesain dengan arsitektur yang kental dengan simbol-simbol dari agama Hindu dan Buddha. Menara masjid yang dibuat sangat mirip dengan bangunan candi Hindu merupakan cermin kuat dari akulturasi itu.

Selain menara, saat berziarah ke Masjid Menara Kudus, kita juga akan menjumpai simbol-simbol lainnya yang mencerminkan adanya akulturasi budaya itu. Salah satunya adalah tempat wudhu yang unik, yang berada di sisi sebelah selatan masjid.

  • Masjid Menara Kudus
  • Masjid Menara Kudus
  • Masjid Kudus

Tempat wudu dengan panjang 12 m, lebar 4 m, dan tinggi 3 m itu memiliki 8 pancuran dan juga masing-masing pancuran dilengkapi arca yang diletakkan di atasnya. Konsep arsitektur tempat wudu seperti itu diyakini merupakan adaptasi dari ajaran Buddha yakni Asta Sanghika Marga yang berarti “Delapan Jalan Kebenaran”. Selain itu, di serambi depan masjid terdapat gapura paduraksa, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai “lawang kembar”.

Strategi dakwah kultural ala Sunan Kudus seperti itu bahkan juga merambah ke ranah kuliner. Sunan Kudus yang tidak mau melukai hati umat Hindu yang meyakini sapi sebagai satwa yang sakral, menjadikan Sunan Kudus melarang umat Islam menyembelih sapi. Sebagai gantinya, mereka menyembelih kerbau. Dari sinilah rahasia kuliner khas Kudus yang selalu memakai daging kerbau.

Sehingga saat berkunjung ke Kudus, maka kita akan mendapati khazanah kuliner Kudus yang sebagian besar masih bertahan menggunakan daging kerbau, seperti soto, nasi pindang, dan sate.

Makam Sunan Kudus

Masjid Menara Kudus
Para peziarah sedang berdoa dan berzikir di Makam Sunan Kudus/Badiatul Muchlisin Asti

Keberadaan Masjid Menara Kudus tidak bisa dilepaskan dari sosok di balik berdirinya masjid itu. Lalu siapakah Sunan Kudus? Sekilas dapat disebutkan, Sunan Kudus bernama asli Ja’far Shadiq. Beliau adalah putra dari R. Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngudung di Jipang Panolan.

Solichin Salam dalam buku Sekitar Walisanga (1986) menyatakan, semasa hidupnya Sunan Kudus mengajarkan agama Islam di sekitar daerah Kudus khususnya, dan di Jawa Tengah pesisir pada umumnya. Beliau terhitung salah seorang ulama, guru besar agama, yang telah mengajar serta menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya.

Terkenal dengan keahliannya dalam ilmu agama, terutama adalah fak-fak ilmu tauhid, usul, hadits, sastra mantiq, dan lebih-lebih di dalam ilmu fiqih. Oleh sebab itu, beliau digelari dengan sebutan sebagai waliyyul ‘ilmi.

Menurut riwayat,  beliau juga termasuk salah seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita pendek  yang berisi filsafat serta berjiwa agama. Di antara buah ciptaannya yang terkenal ialah Gending Maskumambang dan Mijil.

Makam ulama besar anggota Walisongo ini dapat dijumpai di komplek Masjid Menara Kudus, yakni terletak di sebelah barat masjid. Di kompleks pemakaman Sunan Kudus pula terdapat makam garwo (istri) beliau, berikut para ahli waris. Juga terdapat kompleks makam para pangeran, panglima perang, dan lain sebagainya. 

Makam KH. R. Asnawi

Masjid Menara Kudus
Seorang peziarah sedang berdoa di Makam KH. R. Asnawi/Badiatul Muchlisin Asti

Bahkan, di kompleks makam Sunan Kudus juga terdapat makam KH. Raden Asnawi. Beliau adalah pendiri Madrasah Qudsiyyah, salah satu madrasah tertua di Kudus. Tercatat, Madrasah Qudsiyyah dirintis sejak tahun 1917 M, namun saat itu belum memiliki nama dan tempat belajar yang tetap. Baru dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1919 M, yang bertepatan dengan tahun 1337 H, Madrasah Qudsiyyah resmi didirikan oleh K. H. R. Asnawi.

Selain sebagai pejuang di bidang pendidikan agama, KH. R. Asnawi juga dikenal sebagai salah seorang pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU). Bersama Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari dan K.H. A. Wahab Hasbullah, KH. R. Asnawi bersama-sama dengan para ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Dalam susunan pengurus NU yang pertama, KH. R. Asnawi menduduki jabatan sebagai salah seorang penasehat.

KH.R. Asnawi sendiri adalah keturunan dari Sunan Kudus yang ke XIV dan keturunan ke V dari KH. A. Mutamakin—seorang wali asal Kajen, Margoyoso, Pati yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.  KH. R. Asnawi wafat pada 26 Desember 1959 M/25 Jumadil Akhir 1379 H sekitar pukul 03.00 dini hari.

Masjid Menara Kudus dengan segala keunikan arsitektur bangunannya dan romantika sejarahnya yang menawan telah menjadi daya pikat tersendiri bagi para peziarah. Jadi, bila berkunjung ke Kudus, jangan lupa berziarah ke masjid ini—menyaksikan kemegahan arsitektur bersejarah yang luar biasa, sekaligus menyusuri jejak sejarah pendakwah Islam Sunan Kudus dengan segenap kearifannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Masjid Menara Kudus, Kemegahan Arsitektur Kuno Warisan Sunan Kudus appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/masjid-menara-kudus/feed/ 1 36047
Berziarah ke Komplek Wisata Religi Sunan Ampel https://telusuri.id/berziarah-ke-komplek-wisata-religi-sunan-ampel/ https://telusuri.id/berziarah-ke-komplek-wisata-religi-sunan-ampel/#respond Sat, 16 Jul 2022 01:47:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34559 Wisata religi memang menjadi salah satu genre wisata minat khusus. Umumnya wisata ini cukup lekat dengan kegiatan menyejukkan batin maupun rohani dan tidak terlalu memfokuskan kepada urusan duniawi semata. Meski demikian, wisata religi tetap mendapatkan...

The post Berziarah ke Komplek Wisata Religi Sunan Ampel appeared first on TelusuRI.

]]>
Wisata religi memang menjadi salah satu genre wisata minat khusus. Umumnya wisata ini cukup lekat dengan kegiatan menyejukkan batin maupun rohani dan tidak terlalu memfokuskan kepada urusan duniawi semata. Meski demikian, wisata religi tetap mendapatkan tempat sebagai pilihan wisata. Di Surabaya, Komplek Wisata Religi Sunan Ampel menjadi salah satu destinasi wisata religi para peziarah.

Warga asli Surabaya mengenalnya sebagai Komplek Masjid Ampel karena memang terdapat masjid besar yang berusia cukup tua dan memiliki rekam sejarah panjang di dalamnya. Jika kamu pernah melakukan wisata religi khususnya untuk napak tilas perjalanan Wali Songo di tanah Jawa, pastinya tidak asing dengan tempat ini. Namun ternyata, tidak hanya keberadaan Sunan Ampel—salah satu anggota Wali Songo—saja yang menjadi daya tarik tempat ini.

Bangunan Masjid Ampel Dari Sisi Selatan (Zahir)
Bangunan Masjid Ampel dari sisi selatan/Zahir

Bangunan Masjid Megah Berusia Tua

Di area komplek Wisata Religi Sunan Ampel terdapat sebuah masjid tua yang dikenal dengan nama Masjid Ampel. Masjid yang tergolong cukup besar ini menjadi salah satu masjid tertua di Kota Surabaya, bahkan menjadi salah satu masjid tertua di Provinsi Jawa Timur. Menurut penuturan beberapa orang, konon Masjid Ampel dibangun sejak abad ke-13 oleh Raden Rachmat, nama asli Sunan Ampel.

Sunan Ampel membangun masjid bersama para sahabat dan murid-muridnya kala itu dengan mengambil corak  perpaduan arsitektur Jawa kuno dan meletakkan sentuhan gaya Timur Tengah di beberapa sudut bangunan masjid. Selain itu di beberapa bagian masjid terdapat tiang-tiang dari kayu jati, menambahkan kesan kuno pada bangunan masjid.

Setiap harinya masjid selalu ramai oleh para pengunjung baik mereka yang beribadah maupun para pengunjung yang sekedar ingin menikmati arsitektur klasik dari bangunan Masjid Ampel tersebut.

Gerbang Masuk Area Makam Sunan Ampel (Zahir)
Gerbang masuk area makam Sunan Ampel/Zahir

Makam Sunan dan Keluarga

Lazimnya tempat ziarah, area Komplek Wisata Religi Sunan Ampel memiliki beragam tempat ziarah yang tersebar di sekitar area Masjid Ampel. Lokasi ziarah utama yakni adalah tempat pemakaman Sunan Ampel beserta para keluarga dan muridnya. Lokasi makam ini berada tepat di belakang bangunan Masjid Ampel.

Sunan Ampel sendiri dikisahkan lahir di negeri Champa yang kini masuk wilayah antara negara Vietnam dan Laos. Beliau lahir pada tahun 1401 dan wafat pada tahun 1481, dimakamkan di area barat Masjid Ampel. Beliau dikenal sebagai salah satu Wali Songo yang turut andil dalam penyebaran islam di Nusantara khususnya di Pulau Jawa.

Area Komplek Makam KH Mas Mansyur (Zahir)
Area komplek makam KH Mas Mansyur/Zahir

Selain makam Sunan Ampel, di sini juga terdapat beberapa makam lain dan makam pahlawan nasional. Salah satu pahlawan nasional yang dimakamkan di area Masjid Ampel adalah KH. Mas Mansyur. Beliau merupakan salah satu tokoh pergerakan nasional yang cukup aktif dalam dunia politik khususnya perpolitikan umat muslim kala itu. Makam beliau menjadi satu dengan makam dari Keluarga Gipo yang juga merupakan tokoh masyarakat dalam pergerakan umat Islam di Kota Surabaya.

Tidak jauh dari lokasi makam ini terdapat sebuah makam yang terbilang cukup unik, yakni sebuah makam dari seorang murid sekaligus marbot Masjid Ampel, Mbah Soleh. Fakta menariknya, Mbah Soleh dikisahkan meninggal sembilan kali. Hal inilah yang membuat makam beliau terdapat sembilan pusara di lokasi yang sama.

Makam Mbah Sonhaji atau Mbah Bolong (Zahir)
Makam Mbah Sonhaji atau Mbah Bolong/Zahir

Sebuah makam dengan nama Mbah Sonhaji atau lebih dikenal dengan nama Mbah Bolong berdiri di samping kanan area makam Sunan Ampel. Semasa hidupnya, beliau dipercaya memiliki sebuah “karomah” atau kelebihan yang tidak bisa dinalar logika. Kelebihan beliau yakni mampu melihat Ka’bah di Kota Mekkah langsung dari Surabaya. Padahal pada masa itu hampir mustahil melihat langsung Ka’bah yang berjarak ribuan kilometer dari Kota Surabaya dengan mata telanjang.

Kisah ini diyakini juga menjadi salah satu penentu arah lokasi kiblat saat pembangunan Masjid Ampel. Sebenarnya, kemampuan Mbah Sonhaji dirasa cukup masuk akal karena beliau juga dikenal sebagai seorang nahkoda kapal yang sangat menguasai ilmu perbintangan.

Area Pasar Masjid Ampel (Zahir)
Area pasar/Zahir

Area Pasar yang Selalu Ramai

Di area komplek Wisata Religi Sunan Ampel juga terdapat dua pasar yang menjual beragam pernak-pernik ziarah dan kebutuhan umat islam. Mulai dari baju koko dan busana muslim, kitab-kitab dan Al-Qur’an. Ada juga beragam aksesoris khas Timur Tengah.

Tak hanya itu, beberapa pedagang menjual beragam makanan khas Surabaya seperti rujak cingur, lontong balap hingga kuliner khas dari Timur Tengah seperti nasi kebuli, kopi rempah, gule maryam, dan beragam kuliner lainnya.

Kapan-kapan, kamu tertarik berkunjung?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berziarah ke Komplek Wisata Religi Sunan Ampel appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berziarah-ke-komplek-wisata-religi-sunan-ampel/feed/ 0 34559