wisata sejarah Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wisata-sejarah/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 29 May 2025 04:06:40 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 wisata sejarah Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wisata-sejarah/ 32 32 135956295 Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem https://telusuri.id/menapak-jejak-kejayaan-dan-nestapa-di-museum-goedang-ransoem/ https://telusuri.id/menapak-jejak-kejayaan-dan-nestapa-di-museum-goedang-ransoem/#respond Tue, 27 May 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47232 Sawahlunto akan mematahkan ekspektasi orang-orang yang menganggap bahwa daerah dengan label ‘kota’ adalah wilayah besar yang penuh kesibukan. Nyatanya, kota berjuluk ‘Kota Arang’ ini justru menawarkan hidup yang tenang, santai, dan jauh dari hiruk-piruk—slow living...

The post Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem appeared first on TelusuRI.

]]>
Sawahlunto akan mematahkan ekspektasi orang-orang yang menganggap bahwa daerah dengan label ‘kota’ adalah wilayah besar yang penuh kesibukan. Nyatanya, kota berjuluk ‘Kota Arang’ ini justru menawarkan hidup yang tenang, santai, dan jauh dari hiruk-piruk—slow living kata orang zaman sekarang.

Sawahlunto hari ini ibarat orang dewasa yang sudah lelah dengan ambisi dan persaingan kehidupan, ia sudah selesai dengan semangat mudanya. Jauh sebelum mencapai ketenangan ini, ia telah melewati masa-masa penuh gejolak dengan gelimang kekayaan, kemakmuran, juga masa kelam yang pahit.

Dulu, Sawahlunto hanyalah daerah antah-berantah di pedalaman Pulau Sumatra, hingga W.H. de Greve, dalam petualangannya pada tahun 1868 menemukan tempat ini.1 Geolog muda Belanda itu menemukan lapisan batu bara di Ulu Aie, daerah aliran Batang Ombilin yang saat itu belum berpenghuni.2

Temuan ini diabadikan dalam publikasi berjudul Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Westkust tahun 1871.3 Diceritakanlah ihwal ratusan juta ton emas hitam yang bersemayam di rahim bumi Sawahlunto, titik balik sebuah wilayah yang sebelumnya nyaris tak dikenal menjadi salah satu kota penghasil batu bara berkualitas di dunia, mengubah nasib kota ini selamanya.4

Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
Potret Sawahlunto masa lampau yang terpajang di Museum Goedang Ransoem/Adzkia Arif

Masa itu, Sawahlunto benar-benar jaya—dari cerita orang tua di sini. Entah lebih masyhur mana kota ini daripada Batavia. Wilayah ini bahkan mendapat julukan Belanda Kecil.

Antropolog asal Amerika Serikat, Susan Rodgers menerangkan bahwa sebagai tanah jajahan, Sawahlunto menempati posisi elit bahkan di antara orang-orang Belanda itu sendiri. Kelas sosial orang-orang kulit putih yang ada di sini berada pada tingkatan yang berbeda.5 Begitulah suksesnya Sawahlunto kala itu, 600.000 ton batu bara yang dikeluarkan dari perutnya membuat 90% kebutuhan energi di Hindia Belanda dapat tercukupi.6

Pascakepergian Belanda, hingga pusat pertambangan di Sawahlunto dikelola oleh PT Bukit Asam UPO, kemakmuran itu mulai memudar. Sebab, cadangan batu bara mulai menipis. Tahun 2001 menjadi titik transformasi selanjutnya bagi Sawahlunto demi menyongsong kehidupan pascatambang. 

Persiapan terus dilakukan. Pada tahun 2019 Sawahlunto ditetapkan menjadi salah satu kota Warisan Dunia UNESCO dengan nama Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto. Banyak bangunan yang menjadi saksi sejarah kejayaan dan kesibukan kota ini pada masa lalunya, salah satunya adalah Museum Goedang Ransoem.

Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
Potret kesibukan di dapur umum pada masa lampau/Adzkia Arif

Hiruk-piruk dalam Catatan Sejarah

Lokasi Museum Goedang Ransoem agak tersembunyi di sudut kota. Pendatang baru tak akan menemukannya tanpa pemandu atau bertanya pada warga lokal. Begitu memasuki museum, kita seolah berada dalam mesin waktu. Melihat masa lalu sedang memamerkan keperkasaan dan kesuksesan luar biasa dari kota ini.

Gedung ini dibangun Belanda sebagai dapur umum untuk memenuhi kebutuhan makan para pekerja tambang. Bayangkan betapa sibuknya dapur ini karena harus memasak 3,9 ton beras setiap harinya untuk ribuan pekerja.7

Kita dapat menemukan papan menu terpajang di dinding. Isinya informasi makanan untuk disantap tiap harinya oleh para pekerja. Pada hari-hari tertentu mereka akan disajikan menu daging, jeroan, roti goreng, dan telur asin. Pada hari-hari biasa, mereka akan mendapat nasi, ikan asin, sayur, dan lepeh-lepeh (sejenis cemilan atau teman makan nasi seperti tumisan).

Ketel raksasa buatan firma Senking, perusahaan alat masak terkenal yang berasal dari Jerman, masih bisa kita lihat di sini. Sebelumnya, ketel-ketel ini berada di rumah warga dan digunakan sebagai penampungan air. Ini karena alih fungsi gedung pada tahun 1950 sebagai kantor administrasi tambang batu bara ombilin. Barulah pada saat akan dijadikan museum, ketel ini diambil dan ditata kembali di museum.8

Ketel yang ada terdiri atas dua jenis dengan fungsi yang berbeda. Satu untuk memasak air dan satu lagi untuk memasak nasi. Teknologi yang digunakan untuk memasak sangat canggih pada masanya. Uap panas yang berasal dari tungku pembakaran raksasa yang berada di luar gedung ini dialirkan dengan pipa besi ke bagian bawah tungku dapur utama.

  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem

Berjalan di dalam museum, udara terasa sejuk namun sunyi. Seakan memberikan kesempatan untuk kita merenung dan mereka ulang kejadian di masa lalu yang terjadi di sini. Adegan sejarah dalam kepala kita akan menjadi lebih nyata dengan adanya foto dan cerita kejadian masa lalu yang disediakan pengelola. Ada pula QR code yang bisa dipindai untuk melihat video dokumentasi kegiatan di dapur ini. Video-video ini juga dapat dilihat pada saluran Youtube Southeast Asia Museum Services, dan saluran “bidang warisan budaya” yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan Kota Sawahlunto.

Di kompleks Museum Goedang Ransoem juga terdapat pabrik es, pabrik kedua di Sumatra Barat setelah Padang. Pada masa kolonial, e dari pabrik digunakan untuk memenuhi kebutuhan kompeni Belanda, rumah sakit dan masyarakat, hingga didistribusikan ke Padang, Bukittinggi, dan Solok.9

Inilah yang saya suka dari museum sejarah. Mereka menampilkan kecanggihan di masa lalu yang bahkan membuat kita takjub meski hidup pada zaman yang jauh di depan. Saya selalu bertanya, kenapa hanya sejarahnya saja yang bertahan melintasi zaman, sementara kejayaannya tidak?

Ada yang berpendapat, daerah bekas jajahan Belanda memang begini. Berbeda dengan bekas jajahan Inggris yang lebih maju. Entah memang begitu adanya, atau sebenarnya hanya menjadi pembenaran atas kegagalan mengelola warisan kejayaan dari masa lalu?

Dari kiri ke kanan: Pakaian koki dan mandor yang bekerja di dapur umum. Menu makanan yang disajikan di dapur umum untuk para pekerja tambang ombilin, ada menu harian dan menu khusus yang lebih mewah. Tungku pembakaran yang ada di belakang gedung utama Museum Goedang Ransoem, yang berfungsi sebagai sumber uap panas untuk dialirkan menggunakan pipa ke dapur utama/Adzkia Arif

Noda Hitam dalam Catatan Sejarah Kejayaan

Dalam gemerlap kejayaan, ada noda hitam yang tak akan bisa terhapus dari catatan sejarah. Pada salah satu lemari kaca yang ada di ruangan ini, terdapat batu nisan tanpa nama milik ‘orang rantai’. Sejarah perbudakan kelam yang mengutuk pertambangan batu bara ombilin. Mereka adalah pekerja tambang yang dipaksa bekerja dengan cara tak manusiawi. Kondisi kaki dan badan yang dirantai satu sama lain agar tak ada yang kabur. Bagi Belanda kala itu, mereka adalah orang-orang pembuat onar.

Beberapa orang rantai di Sawahlunto adalah orang yang menentang Belanda dan dijadikan tawanan politik. Sementara yang lainnya adalah pelaku kriminal atau dianggap sebagai “penjahat”.10

Orang rantai juga tak diterima oleh masyarakat karena propaganda Belanda tentang keburukan mereka. Mereka mati dan dikuburkan tanpa identitas, tak diberi nama. Hanya angka, dan dipisahkan dari pemakaman masyarakat umum.

Bagaimana rasanya mati di tempat asing, tempat ketika hidup kita telah diasingkan? Hingga akhir hayat, nama kita pun tak pernah disebut lagi, digantikan hanya dengan angka.

  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem

Kini jadi Destinasi Wisata Sejarah

Mengunjungi Goedang Ransoem menjadi salah satu pengalaman paling berkesan bagi saya setelah tiga tahun tinggal di Sawahlunto. Melihat sisi lain kota yang saat ini hanya meninggalkan kisah untuk diceritakan. Goedang Ransoem adalah saksi sebuah kota yang telah melewati masa kekosongan, memimpin kejayaan, hingga meninggalkan sunyi yang mengajarkan banyak hal.

Bagi yang ingin berkunjung, museum ini beralamat di Jl. Abdurrahman Hakim, Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumatra Barat. Jalan menuju lokasi bagus dan luas, tetapi padat penduduk. Untuk tempat parkir tak perlu khawatir, museum ini punya kantung parkir yang luas untuk mobil keluarga ataupun bus pariwisata. 

Tiket masuknya sangat terjangkau, hanya Rp10.000 untuk orang dewasa, dan Rp7.000 untuk anak-anak. Tak hanya itu, museum ini juga memiliki IPTEK Center yang menyediakan permainan edukatif yang menarik untuk anak-anak. Layak untuk dikunjungi!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

  1. R. A. van Sandick, “Het laatsche hoofdstruk van de Ombilin-guestie”, (Amsterdam: De Indische Gids, 14 Jrg (1892). ↩︎
  2. Erwiza Erman, “Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatra Barat (1892—1996)”, (Depok: Desantara, 2005), h. 29. ↩︎
  3. Widjaja Martokusumo, “The Ex-Coal Mining City of Sawahlunto Revisited: Notions on Revitalization, Conservation and Urban Development”, makalah dalam Seminar on Recent of Research Works at the School of Architecture, Planning and Policy Development ITB, Bandung, 17 April 2008. ↩︎
  4. Andi Asoka dkk., “Sawahlunto Dulu, Kini, dan Esok. Menyongsong Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”, (Padang: Pusat Studi Humaniora Unand, 2005), h. 9-10. ↩︎
  5. Susan Rodgers, “A Nederlander woman’s recollections of colonial and wartime Sumatra: from Sawahlunto to Bankinang interment camp”, Indonesia, 79, April 2005. h. 99-100 ↩︎
  6. Carin van Empel, “Dark mine. Labour conditionsof coolies in the State coal mines of West Sumatra”, dalam Vincent J. H. Houben, J. Thomas Linblad, dkk. Coolie Labour in Colonial Indonesia. A Studi of Labour Relations in the Outer Islands, c. 1900-1940, (Wiesbaden: Harrassowitz, 1999), h. 179. ↩︎
  7. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, (2020, 2 Oktober), “Cerita Dari Gudang Ransum Sawahlunto”, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/cerita-dari-gudang-ransum-sawahlunto/. ↩︎
  8. Dinas Kebudayaan Kota Sawahlunto, (2024, 3 November), “Pabrik Es Museum Goedang Ransoem”, Bidang Warisan Budaya, https://www.youtube.com/watch?v=vQ42u8vB61k. ↩︎
  9. Ibid. ↩︎
  10. Dahlia Braga Yova, Abdul Rahman, dan Maisatun Najmi, “Ekspositori Orang Rantai Sawahlunto”, Cinelook: Journal of Film, Television and New Media, 2024, Volume 2(2), DOI: http://dx.doi.org/10.26887/cl.v2i2.4653. ↩︎

The post Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menapak-jejak-kejayaan-dan-nestapa-di-museum-goedang-ransoem/feed/ 0 47232
Berkunjung ke Pusat Informasi Megalitikum Bondowoso https://telusuri.id/berkunjung-ke-pusat-informasi-megalitikum-bondowoso/ https://telusuri.id/berkunjung-ke-pusat-informasi-megalitikum-bondowoso/#respond Wed, 04 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39887 Sejarah manusia memang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Bahkan masa praaksara atau masa sebelum ada tulisan juga tak kalah menarik untuk dipelajari. Indonesia terkenal sebagai salah satu negara yang kaya akan peninggalan sejarah dari...

The post Berkunjung ke Pusat Informasi Megalitikum Bondowoso appeared first on TelusuRI.

]]>
Sejarah manusia memang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Bahkan masa praaksara atau masa sebelum ada tulisan juga tak kalah menarik untuk dipelajari. Indonesia terkenal sebagai salah satu negara yang kaya akan peninggalan sejarah dari masa praaksara. Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki cukup banyak peninggalan sejarah dari masa megalitikum adalah Kabupaten Bondowoso. Daerah yang tidak memiliki garis pantai dan terkepung daratan di kawasan Tapal Kuda, Provinsi Jawa Timur.

Di Bondowoso, hampir seluruh kecamatan terdapat minimal satu situs bersejarah dari zaman megalitikum (batu besar). Benda-benda peninggalannya juga beragam. Ada menhir, dolmen, sarkofagus, batu kenong, arca, dan lain-lain. Saking banyaknya situs Megalitikum yang tersebar di Bondowoso, mungkin akan butuh banyak waktu untuk mengeksplorasinya satu per satu.

Berkunjung ke Pusat Informasi Megalitikum Bondowoso
Aneka temuan menhir dari desa-desa sekitar/Sigit Candra Lesmana

Tempat Penyimpanan Peninggalan Zaman Megalitikum

Bagi kalian yang ingin mengetahui sejarah masa megalitikum di Bondowoso, tetapi hanya punya sedikit waktu, tidak perlu khawatir. Sekarang sudah ada Pusat Informasi Megalitikum Bondowoso (PIMB). Sesuai namanya, tempat ini menyimpan banyak informasi mengenai keberadaan peninggalan zaman megalitikum di kabupaten yang terkenal dengan industri tape tersebut.

Tempat yang diresmikan oleh Bupati Bondowoso pada 2 Mei 2018 ini menyimpan banyak temuan peninggalan baru dari desa-desa yang berada di Kecamatan Grujugan. Di tempat ini, kalian bisa melahap ilmu sebanyak-banyaknya sekaligus melihat langsung benda-benda peninggalan zaman megalitikum.

Saat masuk, kita akan melihat langsung penampakan sebuah arca batu besar yang merupakan koleksi sekaligus ikon dari PIMB itu sendiri. Selain menjadi pajangan, arca batu ini juga menunjukkan bahwa peradaban Indonesia sejak zaman megalitikum sudah memiliki kebudayaan yang tinggi. Meskipun mungkin tidak terlalu terkenal daripada Patung Moai yang terletak di Pulau Paskah, tetapi patung di PIMB ini cukup ikonis. Bagi kamu yang suka memotret, arca ini sangat menarik untuk menjadi salah satu koleksi foto di galeri atau media sosial kamu.

Berkunjung ke Pusat Informasi Megalitikum Bondowoso
Salah satu koleksi sarkofagus/Sigit Candra Lesmana

Berisi Banyak Koleksi

Di belakang arca terdapat beberapa hasil temuan baru dari desa sekitar, antara lain batu kenong, dolmen, menhir, dan sarkofagus. Tempat ini memang sengaja dibangun untuk menghimpun semua informasi tentang peninggalan zaman megalitikum yang ada di Bondowoso. Jadi, bagi kalian yang tidak punya cukup waktu berkeliling dan menjelajahi setiap peninggalan megalitikum di Bondowoso, terutama para mahasiswa, peneliti, atau pencinta sejarah, PIMB cocok untuk jadi lokasi penelitian awal atau sekadar berwisata sejarah.

Susunan arca dan batu-batu peninggalan ini tidak tersusun secara acak. Semua dikelompokkan dan memiliki penjelasan sehingga pengunjung bisa mengerti nama dan fungsi masing-masing benda tersebut. Kalian yang bukan penyuka sejarah pun dapat mengerti tentang nama dan fungsi dari benda yang terpajang. Selain berbagai peninggalan besar yang terpampang di halaman, terdapat sebuah ruangan berupa museum mini yang memajang aneka peninggalan-peninggalan kecil, seperti peralatan batu, manik-manik, dan arca batu kecil.

Museum mini memiliki desain yang modern dan minimalis sehingga suasana ruangannya cukup nyaman. Sebagian besar koleksinya juga terletak di luar ruangan. Selain itu museum tersebut juga tidak terkesan mistis atau pengap macam yang biasa ditemukan pada museum lainnya. Hal ini juga bisa menjadi indikator bahwa museum ini terawat dengan baik. Selain memajang berbagai benda peninggalan tadi, di sini pun ada sejumlah foto dan lukisan bertema masa megalitikum.

Di museum mini juga tersedia selebaran atau brosur yang berisi informasi mengenai peninggalan megalitikum di Bondowoso. Lengkap dengan peta persebarannya. Brosur ini bisa kamu bawa pulang untuk dibaca sehingga bisa menambah pengetahuan tentang peninggalan pada masa batu besar lampau.

Jika kamu memiliki pertanyaan seputar peninggalan-peninggalan tersebut, ada beberapa petugas yang siap memandu kamu untuk berkeliling dan memberi penjelasan. Selain wisatawan, PIMB seringkali dikunjungi para pelajar dan mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas atau melakukan penelitian. Menurut penjaga yang bertugas, pengunjung PIMB dalam sebulan bisa mencapai 300 orang. Angka yang tidak terlalu besar sebenarnya, tetapi cukup menggembirakan ketika melihat warga yang cukup antusias dan peduli dengan peninggalan sejarah di daerahnya. Namun, tentu masih perlu promosi yang lebih masif lagi agar makin banyak masyarakat yang berkunjung.

  • Berkunjung ke Pusat Informasi Megalitikum Bondowoso
  • Berkunjung ke Pusat Informasi Megalitikum Bondowoso

Rute ke Lokasi dan Tiket Masuk

Bagi kamu yang penasaran ingin ke PIMB, langsung saja meluncur ke lokasi yang berada di Jl. Purbakala, Daringan Tengah, Pekauman, Grujugan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Dari pusat kota atau alun-alun Bondowoso, ambil ke arah selatan menuju Jember sekitar 10 kilometer. Selanjutnya akan menemui pertigaan lalu belok kiri dari jalan utama melewati Pabrik Bondowoso Indah Plywood. Dari pabrik tersebut, PIMB hanya berjarak sekitar 350 meter lagi.

Karena bertujuan untuk kepentingan edukasi, maka tidak ada biaya sama sekali saat berkunjung ke PIMB. Tiket masuk dan parkir pun gratis. Tentu bisa jadi salah satu pilihan wisata hemat saat dompet sedang kering bukan?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berkunjung ke Pusat Informasi Megalitikum Bondowoso appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berkunjung-ke-pusat-informasi-megalitikum-bondowoso/feed/ 0 39887
Mengenang Para Pahlawan di Monumen Gerbong Maut Bondowoso https://telusuri.id/mengenang-para-pahlawan-di-monumen-gerbong-maut-bondowoso/ https://telusuri.id/mengenang-para-pahlawan-di-monumen-gerbong-maut-bondowoso/#respond Fri, 28 Jul 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39467 Bagi para pecinta sejarah, berwisata ke tempat bersejarah bisa masuk ke daftar kunjungan wajib jika mendatangi suatu kota. Salah satu tempat yang bisa menjadi destinasi rujukan oleh para pencinta sejarah adalah monumen peringatan peristiwa tertentu...

The post Mengenang Para Pahlawan di Monumen Gerbong Maut Bondowoso appeared first on TelusuRI.

]]>
Bagi para pecinta sejarah, berwisata ke tempat bersejarah bisa masuk ke daftar kunjungan wajib jika mendatangi suatu kota. Salah satu tempat yang bisa menjadi destinasi rujukan oleh para pencinta sejarah adalah monumen peringatan peristiwa tertentu di masa lampau.

Mengunjungi monumen lebih dari sekadar berwisata. Datang ke monumen bersejarah bisa menapaktilasi peristiwa masa lalu yang melatarbelakangi pendirian bangunan tersebut. Selain itu juga bertujuan memupuk semangat patriotisme dan mengenang para pahlawan yang gugur mempertahankan kemerdekaan. Jasanya tak tergantikan dan hasilnya bisa kita nikmati bersama sampai saat ini.

Mengenang Para Pahlawan di Monumen Gerbong Maut Bondowoso
Pengendara melintas di jalanan sekitar Monumen Gerbong Maut di dekat alun-alun dan kantor bupati Bondowoso/Sigit Candra Lesmana

Mengenang Peristiwa Kelam

Kali ini saya akan mengajak pembaca untuk mengunjungi salah satu monumen sejarah yang ada di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Namanya adalah Monumen Gerbong Maut. Nama monumen ini memang terkesan seram karena menjadi tugu peringatan bagi kejadian memilukan yang terjadi di masa lalu. 

Peristiwa tersebut berkaitan erat dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan usai Proklamasi 17 Agustus 1945. Kala itu Republik Indonesia yang baru saja berdiri mendapat ancaman dari Belanda. Belanda melancarkan operasi Agresi Militer Belanda sebanyak dua kali dengan tujuan menguasai kembali wilayah Indonesia.

Sampai akhirnya pada 23 November 1947, terjadi sebuah peristiwa kelam yang menghentikan perjuangan heroik rakyat Bondowoso melawan penjajah. Dalam data arsip Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur (2011), setidaknya Belanda menangkap 100 orang karena bertindak subversif dan mengancam pemerintahan kolonial. Para pejuang tersebut diangkut dengan kereta api pukul 03.00 dini hari dari Stasiun Bondowoso menuju Stasiun Wonokromo, Surabaya untuk ditahan di Penjara Kalisosok.

Petugas keamanan menempatkan seratus orang itu ke tiga gerbong berbeda dalam keadaan tertutup rapat, yakni gerbong nomor GR 10152 berisi 30 orang, GR 446 berisi 32 orang, dan GR 5769 berisi 38 orang. Gerbong-gerbong itu berusia tua dan keropos. Suasana di dalam gerbong begitu menyiksa. Orang-orang berdesakan dan susah bernapas karena nyaris tanpa ventilasi udara. Suhu ruangan pun sangat panas akibat terik matahari sepanjang perjalanan. Ditambah kelaparan, kondisi tersebut akhinya menyebabkan korban berjatuhan. Sampai di Surabaya, sekitar 46 orang gugur. Sementara hampir separuhnya lagi mengalami sakit parah dan hanya sedikit yang tetap sehat.

Untuk mengenang perjuangan para pahlawan tersebut, pemerintah membangun Monumen Gerbong Maut di Jl. Amir Kusman, Potos, Kelurahan Badean. Tepat di sebelah selatan Alun-alun Bondowoso atau utara Kantor Bupati Bondowoso. Gerbong hitam tanpa ventilasi yang terpajang di monumen ini merupakan replika dari gerbong GR 10152, dengan ukuran panjang 3,5 meter, lebar 2,5 meter, dan tinggi 3 meter. Gerbong yang asli tersimpan di Museum Brawijaya, Kota Malang.

  • Mengenang Para Pahlawan di Monumen Gerbong Maut Bondowoso
  • Mengenang Para Pahlawan di Monumen Gerbong Maut Bondowoso

Monumen Gerbong Maut Saat Ini

Lebih lanjut dalam arsip Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur, arsitektur monumen ini berupa pondasi berbentuk trapesium dengan panjang 9,5 meter, lebar 5,25 meter, dan tinggi 2,5 meter. Di sisi dinding terdapat relief yang menggambarkan pertempuran pejuang republik melawan Belanda. Adapun di bagian atasnya terdapat patung-patung pahlawan kita yang berjumlah 13 orang dan menunjukkan sikap menyerang lawan. Beberapa senjata yang terlihat antara lain panah, senapan, hingga bambu runcing. Monumen tersebut dikelilingi pagar beton berbentuk menyerupai bambu runcing bercat hijau.

Monumen Gerbong Maut terletak di lokasi yang strategis. Jika sedang berkunjung ke Bondowoso dan mampir ke alun-alunnya pasti bisa langsung melihat monumen ini. Selain karena ukurannya yang lumayan besar sehingga gampang menarik perhatian pengendara yang melewati jalanan tersebut. 

Beberapa tahun lalu sempat terjadi insiden yang menggegerkan Bondowoso. Terdapat sekelompok anak muda yang menggunakan gundukan monumen untuk bermain skateboard. Tentu saja membuat masyarakat geram. Peristiwa tersebut yang mungkin menyebabkan pintu pagar monumen akhirnya selalu dikunci. Meskipun begitu pengunjung atau wisatawan tetap bisa melihat dari trotoar yang mengitari monumen.

Tidak ada biaya tiket masuk untuk ke monumen ini dan dapat dikunjungi sepanjang waktu. Namun sebagai saran, sebaiknya datang saat pagi atau sore karena matahari tidak terlalu menyengat. Selain itu tetap harus berhati-hati dan memerhatikan arus lalu lintas di sekitar.

Untuk menjangkau lokasi Monumen Gerbang Maut dapat datang dari mana saja. Dari arah pusat Kabupaten Situbondo, jaraknya sekitar 35 kilometer atau 50 menit dengan mobil maupun motor. Sementara dari arah Jember berjarak kurang lebih 33,5 kilometer dengan durasi perjalanan yang hampir sama. Bagi yang membawa kendaraan pribadi, tersedia kantung parkir di area alun-alun. Alun-alun Bondowoso juga bisa menjadi tempat pelepas lelah setelah melihat monumen. Banyak penjual makanan dan minuman untuk mencicipi kuliner khas setempat.

Referensi

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur. (2011). Monumen Gerbong Maut. Pustaka Jawatimuran, https://jawatimuran.disperpusip.jatimprov.go.id/


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengenang Para Pahlawan di Monumen Gerbong Maut Bondowoso appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mengenang-para-pahlawan-di-monumen-gerbong-maut-bondowoso/feed/ 0 39467
Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah https://telusuri.id/menggali-kisah-dari-manuskrip-peta-untuk-wisata-arkeologi-sejarah/ https://telusuri.id/menggali-kisah-dari-manuskrip-peta-untuk-wisata-arkeologi-sejarah/#respond Fri, 09 Jun 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38872 Syahdan, saya berdialog via WhatsApp bersama sejarawan asal Bandung, yaitu saudara Budimansyah. Kang Odon, sebutan akrabnya. Di tengah kesibukan disertasinya, ia berpendapat bahwa saat ini kajian-kajian kritis terhadap manuskrip peta—yang pembuatannya secara manual atau menggambar...

The post Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah appeared first on TelusuRI.

]]>
Syahdan, saya berdialog via WhatsApp bersama sejarawan asal Bandung, yaitu saudara Budimansyah. Kang Odon, sebutan akrabnya. Di tengah kesibukan disertasinya, ia berpendapat bahwa saat ini kajian-kajian kritis terhadap manuskrip peta—yang pembuatannya secara manual atau menggambar dengan tangan—sebagai sumber sejarah merupakan “barang langka”.

Padahal jika mengkaji dan menggali segala macam informasi di dalamnya, akan memperkaya sumber-sumber sejarah yang lain. Sebuah catatan sejarah akan benar-benar utuh dan sangat bermanfaat untuk kepentingan pariwisata. Khususnya wisata arkeologi sejarah, seperti sejumlah komunitas penggiat sejarah telah lakukan. Misalnya, Komunitas Aleut, Komunitas UPIlawas, Bogor Historical Walk, Roode Brug Soerabaia, Cimahi Heritage, dan banyak lagi.

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
Facsimile Peta Ciela/Wikimedia Commons

Saya sependapat dengan Kang Odon terkait kelangkaan kajian manuskrip peta. Berdasarkan hasil penelusuran, saya melihat kajian manuskrip peta wilayah Nusantara di masa lalu masih sangat minim. Baik buatan masyarakat Nusantara dahulu kala (misalnya peta Ciela, atau peta Nusantara beraksara Bugis) maupun buatan Barat, seperti manuskrip peta wilayah Nusantara era VOC—yang terkompilasi di dalam Atlas Induk VOC (Grote atlas van de Verenigde Oost-Indische Compagnie) Vol. II dan III.

Di Indonesia, baru tiga orang pakar yang telah berkolaborasi meneliti manuskrip peta Nusantara, khususnya mengkaji Peta Kuno Ciela, yaitu Undang Ahmad Darsa, Yuyu Yohana Risagarniwa, dan Anton Charliyan; yang hasil penelitiannya terdapat di dalam artikel Peta Ciela Garut: Sebuah Peta Kontinental di Sunda Abad XVI Masehi. Sementara itu pakar Indonesia yang mengkaji manuskrip peta VOC, sejauh yang saya tahu belum ada. Padahal dari sana kita dapat melihat bagaimana VOC secara sistematis membuat peta sebagai alat hegemoni politik, yakni dengan menentukan batas wilayah, mengubah toponimi, mengubah peletakannya, dan lain-lain.

Hal yang dapat kita gali dari sebuah manuskrip peta adalah daftar toponimi (nama tempat) yang akan bermanfaat untuk penelitian-penelitian lanjutan. Selain toponimi, pada sebuah manuskrip peta sering pula ditemukan catatan tambahan yang biasanya ditulis oleh si pembuat peta. Ilmu kartografi menyebutnya sebagai commentary.

Contoh Kajian Manuskrip Peta Secara Mandiri

Saya mencoba melakukan kajian mandiri terhadap sebuah manuskrip peta MS VEL 1168. Saya mengunduhnya di situs Nationaal Archief Belanda secara gratis dan telah menjadi domain publik. Manuskrip peta tersebut berangka tahun 1701, yang menggambarkan wilayah (saat ini) Bogor dan sekitarnya. Peta tersebut hasil buatan Cornelis Coops (kartografer VOC) dan Michiel Ram (perwira VOC).

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
MS VEL 1168 (identitas digital NL-HaNA_4.VEL_1168)/Nationaal Archief

Untuk dapat mengkaji demi mendapatkan informasi-informasi yang ada di dalamnya, saya menggunakan metode yang terbagi dalam tiga langkah utama. Pertama, menganalisis elemen-elemen pembentuk peta, yaitu simbol-simbol, skala, compass rose (arah mata angin), dan lain-lain. Kedua, menganalisis elemen-elemen tekstual yang ada pada peta, seperti teks toponimi dan commentary. Ketiga, tahapan interpretasi, yaitu membandingkan hasil analisis tersebut dengan sumber-sumber lainnya, baik sumber kartografis (manuskrip peta Portugis, Spanyol, Ottoman, dan lain-lain) maupun non-kartografis (prasasti, naskah kuno, catatan arsip VOC) yang bersifat diakronis (antarmasa) maupun sinkronis (semasa). Selain itu dibandingkan pula dengan hasil-hasil penelitian terdahulu terkait wilayah yang terdapat pada peta VOC tersebut.    

Bagian tersulit untuk mengkaji manuskrip peta VOC adalah menganalisis elemen tertulis, baik toponimi maupun commentary. Analisis tersebut terdiri dari dua tahapan, yaitu transliterasi ke aksara modern lalu menerjemahkannya. Penyebab kesulitan tersebut adalah aksara di dalamnya masih berupa tulisan tangan khas VOC abad ke-17—18.

Untuk dapat membacanya, saya terbantu dengan buku Schriftspiegel, Oud-Nederlandse handschriften van de 13e tot de 18e eeuw, karya P. J. Horsman dan J. P. Sigmond. Pada tahap penerjemahan, penulis juga berpedoman pada kamus A Large Dictionary English and Dutch Vol. I dan II terbitan 1708 karya W. Sewell, yang di dalamnya terdapat penjelasan aturan tata bahasa Belanda.

Tata bahasa Belanda saat itu masih menggunakan “kasus”, atau aturan penggunaan artikel pada kata benda yang dapat menunjukkan apakah kata benda tersebut merupakan subjek, objek, atau atribut. Ditambah pula dengan terdapatnya kesalahan tulis, kata-kata bahasa Belanda arkais yang sudah tidak digunakan lagi saat ini, serta afkortingen atau singkatan-singkatan—yang jika tidak teliti maka akan salah dalam membacanya.  

Data Toponimi dalam Manuskrip 

Dari hasil analisis, saya menemukan banyak hal yang luar biasa. Tentu saja tidak mungkin saya jabarkan semuanya, tetapi contohnya saja. Misalnya dari segi toponimi, terdapat tiga toponimi yang menarik, yaitu Padjajaran (teridentifikasi sebagai Pajajaran), Rands jamaja (teridentifikasi sebagai Rancamaya), dan Jamboelowok (teridentifikasi sebagai Jambuluwuk).

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
Potongan gambar toponimi Padjajaran dalam MS VEL 1168/Nationaal Archief

Ketiga toponimi tersebut sangat identik dengan Kerajaan Sunda abad ke-13—16. Menurut Saleh Danasasmita di dalam buku Mencari Gerbang Pakuan dan kajian lainnya mengenai Budaya Sunda, Pajajaran merupakan nama Kerajaan Sunda. Akan tetapi, Ayatrohaedi di dalam bukunya yang berjudul Sundakala berpendapat bahwa Pajajaran merupakan nama ibu kota.

Kemudian toponimi Rancamaya di dalam MS VEL 1168 ini terdapat di dalam naskah Carita Parahyangan, yang letaknya telah diteliti oleh Budimansyah dkk, dan tercurah dalam artikel jurnal Patanjala berjudul Sang Hyang Talaga Rena Mahawijaya: Telaga Buatan sebagai Solusi Bencana.

Rancamaya pada MS VEL 1168 memiliki dua toponimi, yaitu sebagai toponimi permukiman dan sungai. Rancamaya sebagai permukiman di dalam MS VEL 1168, kurang lebih sama dengan letak Rancamaya berdasarkan hasil penelitian dari Budimansyah dkk.

Selanjutnya, Jambuluwuk merupakan toponimi sebuah batur (tempat suci) yang terdapat di dalam naskah Sunda kuno, yang oleh Noorduyn di dalam buku Three Old Sundanese Poems, diberi judul The Sons of Rama and Ravana. Sementara pada MS VEL 1168, Jambuluwuk adalah toponimi sebuah sungai.

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
Potongan gambar toponimi Jamboelowok dalam MS VEL 1168/NationaalArchief)

Data Commentary dalam Manuskrip

Selain toponimi, terdapat pula informasi menarik pada commentary yang terdiri dari 89 baris. Catatan ini merupakan laporan perjalanan survei untuk pembuatan peta MS VEL 1168. Berdasarkan commentary, ternyata manuskrip peta tersebut sangat eksklusif dan hanya untuk kepentingan Gubernur Jenderal VOC saat itu, yaitu Willem van Outhoorn. Perjalanan survei berlangsung dari tanggal 23 Juli sampai dengan 1 Agustus 1701. Hal yang sangat menarik adalah catatan perjalanan tanggal 30 Juli 1701, yang memuat informasi berikut ini.

Pada tanggal 30 pagi hari pukul 6, kami meninggalkan Kampong Baroe dan mengambil jalan menuju Padjajaran, [kami] menyeberangi sungai besar di sekitar negorij tje Bantar Kambang, dan tiba di Padjajaran sekitar jam 7; dahulu [tempat itu] merupakan istana raja Pakkowangh, yang terletak di ketinggian yang ideal di antara sungai Tsiliwong dan Tangerang, dengan lebar sekitar 250 roed; di tempat reruntuhan ini ditemukan berbagai peninggalan kuno, seperti: batu pipih setinggi sekitar 6 atau 7 dan 8 kaki; lebar, bundar dan diapit dengan beberapa batu besar, dan dengan aksara usang dan tidak terbaca [yang berasal] dari zaman kuno [yang berjumlah] 6 baris sama [panjang]. Di dekatnya masih ada 6 batu bulat berdiri, seperti tunggul pohon, setinggi 2, 3, 4, dan 5 kaki, sementara yang terbesar, yang berdiri tiga kaki dari batu tulis pipih, jatuh karena gempa bumi yang hebat. Enam atau tujuh roed dari batu pipih tersebut di atas, berdiri lagi tiga patung, setinggi 2½ dan 1½ kaki, sekilas menyerupai manusia, tetapi sangat montok dan tidak dipahat dengan halus; tidak tampak hal lain lagi yang perlu diperhatikan, selain struktur yang tinggi dan juga rendah, serta dua pohon tua besar di pintu keluar, yang menurut orang-orang pribumi, adalah benteng dan parit, sementara sepasang pohon itu adalah gerbang benteng yang hancur ini.  

Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah
Potongan gambar “Commentary”, catatan 30 Juli 1701 dalam MS VEL 1168/Nationaal Archief

Sekilas catatan tersebut tampak menggambarkan situs Prasasti Batutulis dan situs Arca Purwakalih. Namun, setelah penelitian lebih lanjut ternyata menggambarkan sesuatu yang berbeda. Perbedaan pertama, Prasasti Batutulis berisi 8½ baris, bukan 6 baris. Kedua, batu tunggul yang ada di dekat Prasasti Batutulis hanya satu, sementara pada informasi commentary berjumlah 6 buah batu tunggul; yang mana batu tunggul terbesarnya telah tumbang akibat gempa. Ketiga, berdasarkan Google Maps jarak antara Prasasti Batutulis dan Arca Purwakalih adalah sekitar 150 meter, sedangkan menurut commentary jarak keduanya adalah 7 roed (1 roed=3,77 meter) atau sekitar 26,39 meter.

Berdasarkan perbedaan itu, maka yang tertera pada commentary bukan merupakan gambaran lokasi kedua situs, melainkan tempat yang berbeda. Mungkinkah ada prasasti peninggalan Pajajaran lainnya selain Prasasti Batutulis? Jika ada, maka di mana lokasi tempat prasasti tersebut berada? Apa saja isinya? 

Harapan Penelitian Manuskrip Lanjutan

Itulah kira-kira ringkasan hasil kajian yang telah saya lakukan secara mandiri pada MS VEL 1168. Makin dalam menelusuri, maka kian penuh misteri dan pertanyaan.

Mungkin, jika hasil kajian saya bisa terbit, saya berharap bisa membuka jalan ke penelitian manuskrip peta wilayah Nusantara lainnya. Sehingga gairah para arkeolog, sejarawan, komunitas penggiat sejarah, serta masyarakat umum akan kembali dinamis. Semangat dalam penggalian kisah dari sumber-sumber sejarah, apa pun dan di mana pun, makin meningkat. 

Selanjutnya, apabila penelitian-penelitian manuskrip peta lainnya telah dilakukan, maka hasil kajian yang didapatkan tentunya dapat menjadi bahan kajian bagi peneliti selanjutnya. Baik para sejarawan maupun arkeolog.

Tak hanya itu. Hasil kajian bisa juga menjadi bahan untuk memperkaya penyajian beberapa kisah tertentu, khususnya oleh para komunitas penggiat sejarah dan cagar budaya. Tentu saja dalam menyajikan dan menikmatinya perlu upaya mencerna secara kritis. 

Sumber peta:

Facsimile Peta Ciela (Public Domain), https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Facsimile_of_the_Ci%C3%A9la_Map.jpg

MS VEL 1168 (Public Domain), https://www.nationaalarchief.nl/en/research/map-collection/NL-HaNA_4.VEL_1168?searchKey=1895025c00fd240a482e3a48f3fe63b5

Peta Nusantara Beraksara Bugis (Public Domain), https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Buginese_chart_of_the_East_Indian_Archipelago_-_ca._1820_-_UB_Utrecht.jpg


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menggali Kisah dari Manuskrip Peta untuk Wisata Arkeologi Sejarah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menggali-kisah-dari-manuskrip-peta-untuk-wisata-arkeologi-sejarah/feed/ 0 38872
Dark Tourism: Apa, Mengapa, dan Bagaimana https://telusuri.id/dark-tourism-apa-mengapa-dan-bagaimana/ https://telusuri.id/dark-tourism-apa-mengapa-dan-bagaimana/#respond Fri, 25 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=34952 Dark Tourism: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Sebagai salah satu bentuk pariwisata, pariwisata kelam atau dark tourism menawarkan pengalaman yang berbeda dibanding wisata sejarah biasa. Ada tragedi, air mata, dan darah dari masa lalu untuk dipelajari,...

The post Dark Tourism: Apa, Mengapa, dan Bagaimana appeared first on TelusuRI.

]]>
Dark Tourism: Apa, Mengapa, dan Bagaimana

Sebagai salah satu bentuk pariwisata, pariwisata kelam atau dark tourism menawarkan pengalaman yang berbeda dibanding wisata sejarah biasa. Ada tragedi, air mata, dan darah dari masa lalu untuk dipelajari, direnungkan, dan dipahami.

Dari tragedi sejarah yang saya pelajari di bangku sekolah, akhirnya saya menjejakkan diri ke Lubang Buaya, sebuah tempat di Jakarta Timur yang sarat dengan sejarah G30S/PKI. Bagaimana kawasan Lubang Buaya menjadi peristirahatan terakhir para pahlawan revolusi yang kematiannya memilukan. Di museumnya, saya melihat rentetan diorama peristiwa pada malam kejadian, ditambah dengan koleksi bekas pakaian para pahlawan revolusi yang masih menyisakan noda darah, bekas peluru, juga sobekan akibat penyiksaan. Di depan patung tujuh pahlawan revolusi yang menghadap langsung ke sumur tempat kejadian, saya termenung.

Apa yang saya kunjungi ketika berada di Lubang Buaya merupakan sebuah pengalaman menelusuri sejarah kelam bangsa kita. Ada aroma kengerian dan ketakutan ketika menyaksikan peristiwa tersebut dari tempat kejadian aslinya. Pengalaman yang saya lihat dan saya rasakan ini dalam istilah pariwisata modern disebut juga sebagai wisata kelam atau dark tourism.

Upacara Rambu Solo
Sejumlah warga mengarak jenazah dalam upacara adat pemakaman Rambu Solo di Sa’dan To’Barana, Rantepao, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, 27 Juni 2017. Ritual Ma’pasonglo merupkan ritual arak-arakan jenazah dari Tongkonan (rumah adat Toraja) ke Lakkian (tempat persemayaman jenazah) yang masih dalam rangkain upacara adat pemakaman Rambu Solo(TEMPO/Frannoto)

Istilah dark tourism muncul untuk memberikan definisi berbeda pada kunjungan ke tempat-tempat yang memicu perasaan takut, sedih, tidak nyaman akibat dari suatu peristiwa yang menyeramkan (pembantaian, kematian masal, bencana alam, dan sebagainya). Dalam sebuah buku berjudul Thanatourism: Witnessing Difficult Pasts istilah dark tourism juga disebut thanatourism yang secara definisi kurang lebih menjelaskan perjalanan jangka panjang dengan berbagai motivasi untuk melihat kematian dan penderitaan. Istilah ini populer dalam dua dekade terakhir, dimulai dari Dark Tourism karya Lennon dan Foley, Dissonant Heritage oleh Tunbridge dan Ashworth, Horror and Human Tragedy Revisited, dan The Dark Side of Travel  karya Sharpley dan Stone. Dark tourism sendiri masih menurut Lennon dan Foley adalah buah dari masyarakat modern yang menginginkan semuanya bisa dijual dan dikonsumsi. 

Kita tidak bisa menaifkan diri bahwa dari pariwisata ada pundi-pundi uang yang dihasilkan sehingga negara mendorong jauh pemanfaatan suatu tempat untuk menjadi tempat wisata. Termasuk diantaranya adalah wisata kelam, yang mana wisata kelam dikategorikan oleh Lennon ke dalam 7 bentuk antara lain: dark fun factories, dark exhibitions, dark dungeons, dark shrines, dark conflict sites, dark resting places, dan dark camps of genocide.

Tidak bisa dipungkiri, setiap tempat pasti memiliki banyak kisah untuk diceritakan, termasuk perkara kejadian menyedihkan dan membuat bulu roma berdiri. Sejarah tidak mengenal apakah itu peristiwa memilukan atau menyenangkan, sejarah akan tetap mencatat setiap peristiwa untuk kemudian diwartakan pada masa mendatang. Bagaimana bisa kita menghilangkan peristiwa sejarah yang kelam di suatu tempat, padahal nilai pembelajarannya ada di situ? 

Selalu ada yang tertarik dari segmen kelam dari sebuah tempat. Dalam Dark Tourism: Practice and Interpretation menuliskan, bahwa ketika dark tourism ditambahkan sebagai salah satu bentuk pariwisata, ada perkembangan yang secara potensi dapat membawa turis jenis baru–yang memiliki perhatian besar pada kelemahan dan kegagalan umat manusia.

Berdasarkan penelitian yang berjudul Dark tourism in South East Asia: Are Young Asian Travelers up for It? Mereka  melakukan penelitian kepada para wisatawan asal Asia Tenggara tentang apa yang menarik minat mereka untuk mengunjungi spot wisata kelam. Perhatian besar tercipta karena beberapa faktor: ketertarikan akan sejarah, ingin merasakan atmosfer yang membuat bulu kuduk merinding, ada ketertarikan terhadap budaya, nilai pendidikan, sebagai pengingat akan kejadian lampau, sebagai arena uji nyali, ingin melihat situs secara langsung, melihat atau mendengar peristiwa kematian yang telah lalu.

Namun, apakah dark tourism cukup etis untuk dipertontonkan dan dijadikan komoditi wisata?

Keetisan Dark Tourism sebagai Sarana Wisata

Ada banyak pro dan kontra yang menyelimuti dark tourism sebagai ajang pariwisata. Di satu sisi dark tourism mendatangkan keuntungan dari penyelenggaraanya seperti ekonomi, pendidikan, budaya, dan sejarah. Di sisi lainnya, dark tourism mengindahkan tragedi yang terjadi dan mempertontonkan kengerian dan sisi kelam suatu tempat, yang tentu berkaitan pada perasaan seseorang yang memiliki keterikatan akan tempat tersebut.

Pendapat dari Lennon dan Hooper bahwa dark tourism perlu diidentifikasi lebih jauh oleh akademisi dan pelaku industri soal menanggapi masalah etika yang muncul dalam manajemen dan pemasaran, perlu diskusi lebih lanjut bagaimana dark tourism dapat dimanfaatkan secara ekonomi dengan tidak terlalu mengeksploitasi trauma pada situs tersebut. 

Sharpley dan Stone dalam The Darker Side of Travel, dark tourism memberikan banyak pertanyaan mengenai definisi, namun menurut mereka, ada semakin banyak bukti kenaikan supply dan demand dan akhirnya mendeskripsikan studi mengenai wisata kelam ini sebagai ‘penting dan dapat dibenarkan’. Namun, Stone juga mengingatkan perlu pertimbangan lebih lanjut dan kehati-hatian dalam pemanfaatan situs dark tourism, karena hal ini tidak hanya melibatkan orang-orang yang masih hidup, tetapi juga untuk orang-orang yang telah tiada.

Kuburan Tebing Batu
Wisatawan asing mengambil gambar Tau-tau, patung boneka dari orang yang dikuburkan di tebing batu di kompleks kuburan tebing batu bangsawan suku Toraja di Suaya, Kecamatan Sanggala, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, Selasa, 27 September 2016. Di kompleks kuburan tebing batu ini, Puang Sangalla yang merupakan raja pertama Tana Toraja dimakamkan.(TEMPO/Sakti Karuru)

Sedangkan Lovelock pada The Moralization of Flying: Cocktails in Seat 33G, Famine and Pestilence menyatakan bahwa dalam pariwisata ada agensi moral yang dikaburkan oleh konteks neoliberal yang menyajikan struktur di mana perilaku tak bermoral diharapkan muncul dan dihargai. Yang mana, berdasarkan pernyataan ini, Korstanje & George dalam Virtual Traumascapes and Exploring The Roots of Dark Tourism, sepakat bahwa dark tourism adalah hasil korespondensi antara dispositif neoliberal dalam sektor pariwisata.

Pemanfaatan situs wisata kelam tidak dapat dicegah karena pertumbuhan masyarakat modern yang semakin haus akan relaksasi dan pembelajaran. Standar moral bisa jadi berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Yang perlu diperhatikan dalam pro dan kontra mengenai adanya wisata kelam ini adalah kembali lagi pada niat kunjungan. Apabila ada penyelenggaraan wisata model ini, tentu sebelumnya ada kesepakatan oleh berbagai pihak. Terkait norma ketika berkunjung, gunakanlah sesuai standar yang berlaku universal (tidak merusak, tidak berbuat yang dilarang, patuhi semua aturan yang berlaku).

Dark Tourism di Indonesia

Dalam konteks besarnya, menemukan spot wisata kelam di Indonesia tidaklah susah. Penggolongan wisata kelam memang tidak umum dikenal, tapi barangkali sebagian besar dari kita sudah pernah mengunjunginya. Ide wisata kelam di Indonesia tidak sepenuhnya berangkat dari penyajian tempat-tempat menyeramkan sebagai atraksi utama, melainkan lebih menonjolkan sisi sejarah dan budaya yang ada di berbagai belahan Indonesia.

Coba kita tengok, beberapa atraksi wisata yang menampilkan kuburan/makam yang ada di Desa Trunyan, Batu Lemo, dan Passiliran. Kesemuanya menampilkan kuburan sebagai atraksi utama, namun yang lebih disorot adalah bagaimana Bali dan Tana Toraja mempunyai penghormatan yang unik pada orang yang telah meninggal. 

Atraksi wisata yang masuk dalam wisata kelam dengan konteks sejarah diantaranya ada Museum Lubang Buaya, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Makam Juang Mandor, dan masih banyak lagi. Meskipun nuansa pembantaian dan juga kesedihan terasa ketika mengunjungi tempat-tempat di atas, tapi tempat-tempat tersebut lebih memiliki nilai jual sejarah yang tinggi dibanding nilai seramnya yang hanya menjadi pemanis saja.

Ada lagi tempat wisata yang dibangun sebagai peringatan untuk mengenang kejadian bencana  yang terjadi di negara kita. Semisal Museum Tsunami Aceh sebagai bentuk memoar bencana tsunami Aceh yang sempat menghebohkan dunia pada 2004, Bunker Kaliadem yang dibuat pada awalnya sebagai tempat untuk menyelamatkan diri, Monumen Bom Bali untuk mengenang korban-korban yang berjatuhan dari peristiwa Bom Bali, dan lain sebagainya. Selain sebagai pengingat, spot-spot tersebut dibangun untuk menandai peristiwa getir yang kedepannya harus ada antisipasi supaya tidak terulang.

Di beberapa tempat wisata populer seperti Lawang Sewu dan Kota Tua Jakarta juga menyimpan sejarah kelam dengan cerita penjara dan tempat eksekusi para tahanan masa kolonial, tetapi seringkali wisata kelamnya tidak banyak terekspos dibanding dengan arsitektur kolonialnya.

Bagaimana Seharusnya Pemanfaatan Situs Kelam

Hal yang paling sakral dalam mengidentifikasi suatu situs adalah harus melihat keletakkan situs tersebut pada lingkup tempat berdirinya. Semisal, apakah dia masih memiliki arti atau terbengkalai bagi masyarakat sekitar. Wajib hukumnya bagi pemangku kebijakan untuk memperhatikan dampak jangka panjang pariwisata pada masyarakat setempat. Apakah dengan adanya pariwisata khususnya yang merujuk pada wisata kelam akan memperburuk stigma tempat tersebut dengan anggapan ‘angker’, ‘mistis’, ‘horor’ sehingga nanti akan memunculkan narasi baru yang mungkin berimbas buruk pada tempat tersebut (dihancurkan/dirusak).

Ritual adat Ma'nene
Keluarga menyaksikan jenazah leluhur yang telah selesai dibersihkan dalam ritual adat Ma’nene di Kecamatan Panggala, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, 26 Agustus 2017. Ritual Ma’nene merupakan tradisi mengganti pakaian jenazah para leluhur sebagai rasa cinta dari keluarga yang masih hidup. (TEMPO/Sakti Karuru)

Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah branding narasi yang digunakan untuk tidak lebih menonjolkan sisi mistis/horor dibandingkan konteks tempat tersebut (semisal budaya, sejarah, ritus agama, dan sebagainya) karena branding tempat tersebut akan mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap tempat wisata yang sebenarnya mengandung lebih banyak pembelajaran dibanding mitos. Semisal Gua Jepang di Bandung lebih terkenal dengan mitos “lada” daripada sebagai tempat barak tentara dan kerja romusha. Pendapat ini juga diutarakan oleh Muhammad Saddam dalam artikel sebelumnya sebagai bentuk kegelisahannya akan penurunan nilai suatu situs karena terdegradasi nilai horor.

Selebihnya, hal-hal lainnya yang perlu diperhatikan selayaknya sebuah tempat wisata adalah bagaimana memberdayakan masyarakat sekitar agar tidak menjadi penonton di rumah sendiri, pembangunan yang memperhatikan lingkungan agar tidak terjadi pemanfaatan yang berlebihan, dan tidak mengubah bentuk asli suatu benda cagar budaya agar tidak menghilangkan keotentikan dari benda tersebut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dark Tourism: Apa, Mengapa, dan Bagaimana appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dark-tourism-apa-mengapa-dan-bagaimana/feed/ 0 34952
Minggu Sore di Benteng Fort Rotterdam Makassar https://telusuri.id/minggu-sore-di-benteng-fort-rotterdam-makassar/ https://telusuri.id/minggu-sore-di-benteng-fort-rotterdam-makassar/#respond Mon, 07 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36034 Sore hari, di atas kendaraan roda dua kami, saya dan seorang teman menyusuri sepanjang Jalan Bawakaraeng menuju salah satu tempat penuh sejarah yang cukup nyaman untuk menghabiskan sisa hari sebelum gelap. Sekitar pukul setengah lima,...

The post Minggu Sore di Benteng Fort Rotterdam Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
Sore hari, di atas kendaraan roda dua kami, saya dan seorang teman menyusuri sepanjang Jalan Bawakaraeng menuju salah satu tempat penuh sejarah yang cukup nyaman untuk menghabiskan sisa hari sebelum gelap. Sekitar pukul setengah lima, kami tiba di pekarangan Benteng Fort Rotterdam yang terletak di Jalan Ujung Pandang, Kota Makassar. Seorang dengan peluit merah bergantung di lehernya, mengarahkan motor kami ke samping kiri, tempat beberapa motor lain berjejeran. 

“Parkirnya dibayar dimuka, di,” ucapnya. 

Kami membayar Rp5.000 dan pemuda itu segera menjauh setelahnya. 

Benteng Fort Rotterdam Makassar
Benteng Fort Rotterdam Makassar/Nawa Jamil

Benteng ini terlihat megah dengan pagar dari bebatuan kokoh berwarna gelap setinggi 5 meter dengan tebal sekitar 2 meter. Sebelum memasuki gerbang benteng dari kayu tebal dengan beberapa aksen besi hitam, terdapat sebuah pos penjagaan di sebelah kiri. Di sini kami menuliskan nama dan instansi maupun asal pengunjung, tanpa harus membayar biaya masuk. Itu merupakan kali pertama saya melewati sebuah gerbang yang begitu besar dan megah. Bahkan dari tampilan gerbangnya saja, bangunan megah pada zamannya ini telah menunjukkan betapa ia menjadi saksi banyak peristiwa sejarah kerajaan Gowa–Tallo. 

Tidak banyak yang berubah dari benteng ini sejak terakhir kali saya menginjakkan kaki di sini, mungkin sekitar dua tahun lalu, kecuali sebuah papan informasi elektronik berbentung persegi panjang yang ditanam tepat di sudut area lapangan yang luas, persis setelah memasuki gerbang benteng. Begitu memasuki area benteng, saya dan seorang teman memutuskan untuk berjalan ke arah belakang, hendak mencari lokasi foto yang instagenik. Sebenarnya kami hendak masuk ke Museum I La Galigo, tetapi sayang kami datang melewati jam operasionalnya. Akhirnya, sore itu kami memutuskan menghabiskan sisa jam untuk mengelilingi sekitaran benteng ini, mulai dari menaiki dinding benteng di bagian belakang.

  • Benteng Fort Rotterdam Makassar
  • Benteng Fort Rotterdam Makassar
  • Benteng Fort Rotterdam Makassar

Benteng Rotterdam yang Tampak Kokoh Menyaksikan Makassar yang Semakin Sesak

Benteng Fort Rotterdam didirikan pada abad ke-16, tepatnya pada 1545 oleh raja Gowa X, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung atau Karaeng Tunipalangga Ulaweng. Kemegahan benteng yang masih kokoh hingga hari ini, mencerminkan dominasi pihak di daerah Makassar di masa lalu, dari waktu ke waktu. Ketika awal dibangun, benteng ini berbentuk persegi empat khas arsitektur Portugis dengan bahan utama campuran batu dan tanah liat yang dibakar hingga kering. 

Seiring berlalunya waktu, arsitektur benteng ini juga mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang terlihat seperti penambahan dinding tembok batu padas hitam, batu karang, batu bata, dengan kapur dan pasir sebagai perekatnya oleh Sultan Gowa XIV, I Mangerangi Daeng Manrabbia atau Sultan Alauddin pada 1634 dan penambahan tembok kedua di dekat gerbang pada 1635. 

Benteng Ujung Pandang, nama terdahulu benteng ini, sempat hancur pada 1667 sebagai saksi perang antara kerajaan Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin dan Gubernur Jendral Speelman. Peristiwa penandatanganan Perjanjian Bongaya, dan perubahan dominasi di daerah ini ditandai dengan dibangun kembalinya benteng yang hancur ini oleh Belanda, kemudian dinamai Benteng Fort Rotterdam, merujuk pada kota tempat kelahiran Speelman di negara  Belanda.

Tak hanya arsitekturnya, benteng ini juga beralih fungsi dari waktu ke waktu. Pada pendudukan Belanda sampai 1942, berfungsi sebagai markas komando pertahanan, kantor pusat perdagangan, serta tempat tinggal pejabat Belanda. Berganti ke pendudukan Jepang dari 1942-1945, berfungsi sebagai pusat penelitian pertanian dan bahasa. Berpindah ke tahun 1950, benteng ini kemudian dijadikan tempat tinggal bagi aparat TNI dan warga sipil, lalu berganti ke tangan Belanda dan dialihfungsikan sebagai Pusat Pertahanan Tentara, hingga KNIL dibubarkan secara resmi dan benteng ini juga sempat dikosongkan, lalu beralih fungsi sebagai Balai Pelestarian Cagar Budaya di tahun 1977. 

Sejarah yang panjang dari pergantian nama, dominasi kekuasaan, hingga peralihan fungsinya yang terjadi berkali-kali, menjadikan benteng kokoh dengan pagar batu menjulang tinggi, kompleks bagunan beratap tinggi dengan dominasi warna krem dan merah ini menjadi salah satu saksi bisu sejarah yang terjadi di Kota Makassar dan sekitarnya. 

Benteng Fort Rotterdam Makassar
Benteng Fort Rotterdam Makassar/Nawa Jamil

Benteng Rotterdam sebagai Wadah Ekspresi Pemuda Makassar 

Kini, masyarakat dapat berkunjung ke Fort Rotterdam. Sebagai ruang terbuka, benteng ini kerap menjadi tujuan wisata keluarga, wisatawan, dan berbagai kalangan masyarakat. Saat mengunjungi benteng ini di sore hari, saya mendapati cukup banyak pengunjung keluarga dengan anak-anak mereka yang berlarian bebas. Benteng ini menjadi lokasi yang cukup ramah bagi anak-anak dengan lapangan luasnya yang hijau, tangga-tangga yang landai, juga besi-besi pengaman yang terpasang meskipun tidak di seluruh titik-titik benteng. 

Hari ini, Benteng Fort Rotterdam tidak hanya menjadi tujuan wisata sejarah, ataupun tempat liburan murah dalam kota bagi warganya yang kian padat. Benteng Fort Rotterdam beberapa kali digunakan sebagai lokasi festival maupun pameran pemuda Kota Makassar. Saya beberapa kali mengunjungi benteng ini dalam kondisinya yang padat pengunjung, seperti festival kreatif sekitar akhir bulan Juni tahun ini, festival komunitas beberapa tahun yang lalu, atau Makassar Jazz Festival di tahun-tahun sebelum pandemi.  Kemeriahan di tengah padatnya orang-orang, suara musik yang diputar keras-keras, juga lampu sorot aneka warna yang bergerak meriah begitu kontras dengan aura benteng yang dingin dan kokoh ini.   

Tapi hari ini, saya cukup senang menikmati panorama Benteng Fort Rotterdam saat sore, melihat bagaimana langit berubah perlahan, dari terang kuning, redup lembayung, hingga berubah gelap dari atas tembok batu benteng setinggi lima meter. Setelah puas mengelilingi benteng ini, kami pun beristirahat dengan duduk di pinggiran lapangan rumput tidak jauh dari pos pengamanan. Beberapa menit sebelum pukul enam sore tepat, beberapa petugas pengamanan menghampiri pengunjung satu per satu, menginformasikan bahwa benteng ini akan segera tutup. Kami juga diberitahu sore itu, sehingga kami pun segera bergerak meninggalkan kompleks benteng ini. 

Suara pengeras masjid mengumandangkan azan Magrib saat kami hendak mengeluarkan motor kami dari area parkir. Tukang parkir yang kami temui saat hendak memasuki benteng sudah tidak kami temui saat itu, pantas saja karcis parkir dibayar sebelum memasuki benteng tadi. Selain lampu-lampu jalan yang menyala, langit yang mulai gelap dan suasana kendaraan yang semakin padat, saya juga mendapati gerobak-gerobak dengan berbagai jajanan semakin ramai terparkir di pinggir-pinggir jalan di luar benteng ini. 

Dengan satu tarikan gas, motor kami mulai melaju santai di Jalan Ujung Pandang sebelum berbelok di Jalan Jend. M. Jusuf, dan berhenti sebentar di Masjid Raya Makassar sebelum melanjutkan perjalanan menyisiri jalan-jalan ramai Makassar menuju rumah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Minggu Sore di Benteng Fort Rotterdam Makassar appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/minggu-sore-di-benteng-fort-rotterdam-makassar/feed/ 0 36034
Rengasdengklok: dari Soekarno ke Serabi Kuntilanak https://telusuri.id/rengasdengklok-dari-soekarno-ke-serabi-kuntilanak/ https://telusuri.id/rengasdengklok-dari-soekarno-ke-serabi-kuntilanak/#respond Wed, 02 Nov 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35987 Bulan Agustus lalu, saya turut memeriahkan hari kemerdekaan dengan cara yang tak pernah saya lakukan sebelumnya, yakni mengunjungi Rengasdengklok—di mana pernah terjadi penculikan Soekarno dan Hatta—bersama rombongan Wisata Kreatif Jakarta. Rengasdengklok adalah sebuah kecamatan di...

The post Rengasdengklok: dari Soekarno ke Serabi Kuntilanak appeared first on TelusuRI.

]]>
Bulan Agustus lalu, saya turut memeriahkan hari kemerdekaan dengan cara yang tak pernah saya lakukan sebelumnya, yakni mengunjungi Rengasdengklok—di mana pernah terjadi penculikan Soekarno dan Hatta—bersama rombongan Wisata Kreatif Jakarta. Rengasdengklok adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Selain itu, kami mengunjungi Tugu Kebulatan Tekad dan mencicipi kuliner khas daerah setempat.

Bertolak dari Jakarta, saya menaiki KRL dari Tanah Abang, transit di Manggarai untuk mengambil jurusan Cikarang. Dari Cikarang, saya berjumpa dengan teman-teman seperjalanan untuk naik taksi bareng ke Rengasdengklok. Semakin kami mendekati Rengasdengklok, semakin kami merasa menjauh dari peradaban dengan berkurangnya jumlah bangunan dan warga lalu-lalang di sekitarnya seiring dengan teriknya matahari yang kian menusuk. 

Rumah Sejarah Rengasdengklok

Kira-kira tiga jam kemudian, akhirnya kami tiba di destinasi pertama, yakni rumah tempat penculikan Soekarno dan Hatta yang dikenal dengan Rumah Sejarah Rengasdengklok. Sebelum menelisik ke dalam rumah berusia 102 tahun ini, tentunya penting untuk mengetahui latar belakang sejarah di balik keberadaannya.

Penyerahan Jepang terhadap sekutu tanggal 15 Agustus setelah Hiroshima–Nagasaki dibom habis menandai berakhirnya Perang Dunia II, yang mendorong Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan. Namun, konflik terjadi antara golongan muda dan tua dalam hal cara penyampaiannya. Golongan muda pimpinan Chaerul Saleh menginginkan Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Sedangkan, golongan tua pimpinan Soekarno berpendapat bahwa proklamasi harus melalui sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Golongan muda tidak setuju karena PPKI berdiri dengan perizinan dari pihak Jepang, yang membuat kemerdekaan terkesan seperti pemberian Jepang, padahal hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri.

Kemudian, golongan muda menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945. Istilah “menculik” di sini bukanlah dibawa dengan paksa, namun menjauhkan diri dari pengaruh Jepang. Rumah seorang petani keturunan Tionghoa bernama Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok akhirnya dipilih menjadi lokasi penculikan karena tidak menarik perhatian dan terpencil sehingga pergerakan Jepang mudah terbaca bila ada. Disamping itu, markas PETA (Pembela Tanah Air) juga berada di dekatnya.

Berdasarkan hasil rapat, diputuskan bahwa proklamasi diumumkan di Jakarta tanggal 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 12 siang. Tak sampai 24 jam kemudian, Soekarno dan Hatta dijemput Achmad Soebardjo untuk kembali ke Jakarta.

Djiauw Kie Siong
Foto keluarga cucu Djiauw Kie Siong/Nydia Susanto

Saya sempat mengira rumah bersejarah ini antara tak terawat atau sudah rata dengan tanah. Maka saya cukup tercengang melihat kondisinya yang masih terawat dengan dinding kayu, jendela dan kusen pintu hijau muda khas Betawi-nya yang nampak mulus dan peliturnya mengkilap. Di atas pintu, tergrafir “Rumah Sejarah Djiauw Kie Siong” bercat emas. Pada hari kedatangan kami, situasi di lokasi ramai pengunjung dari komunitas pesepeda dan pasukan Paskibraka dari sebuah SMA di Karawang.

Dibangun pada tahun 1920, rumah ini awalnya terletak di pinggir sungai Citarum. Akibat banjir besar, maka rumah harus dipindahkan pada tahun 1957 dengan mencabut kayu-kayunya satu per satu ke lokasi sekarang. Hingga kini, rumah masih ditinggali Ibu Yanto, istri dari cucu Djiauw Kie Siong, dan keluarganya. 

Untuk memasuki ruangan, setiap pengunjung wajib melepas alas kaki. Altar lengkap dengan hio, lilin, aksara Tiongkok dengan foto Djiauw Kie Siong menyambut kami semua, sekaligus digunakan untuk sembahyang keluarga yang beragama Kong Hu Cu. Hampir seluruh bagian rumah masih asli, seperti genting, lantai bata merah, langit-langit, tiang bangku teras dan dinding kayu jati. Kamar tidur yang pernah dipakai Soekarno dan Hatta pun masih asli dengan ranjangnya. 

  • Rumah Rengasdengklok
  • Rumah Sejarah Rengasdengklok
  • Bung Karno Rengasdengklok
  • Kamar Bung Hatta
  • Bung Karno Rengasdengklok

Memorabilia Soekarno yang menghiasi dinding dan mengisi lemari-lemari antik di sekitarnya sudah pasti menjadi daya tarik utama destinasi sejarah ini. Tak ketinggalan, foto-foto keluarga cucu Djiauw Kie Siong juga terpajang di bekas kamar tidur Sang Proklamator. Mengingat Djiauw Kie Siong adalah seorang petani biasa, rumah yang nampak sederhana ini termasuk cukup besar dan kokoh di zamannya. Pikir saya, unik juga punya rumah yang materialnya bisa dicabut pasang, yang mungkin tak terpikir di zaman sekarang.

Pengunjung tidak dikenakan biaya untuk memasuki situs ini, namun tersedia kotak donasi untuk menyumbang seikhlasnya. Terlebih, seluruh biaya perawatan rumah ditanggung sendiri tanpa campur tangan pemerintah. 

Serabi Kuntilanak dan Sate Maranggi

Bila sudah jauh-jauh pergi ke suatu tempat, sudah wajib hukumnya untuk mencicipi kuliner lokalnya. Di Rengasdengklok, serabi dan sate maranggi adalah hidangan khasnya.

Dengan berjalan kaki dari Rumah Sejarah Rengasdengklok sekitar 20 menit, kami tiba di Kedai Raja Sorabi Hijau. Berdiri sejak tahun 1995 oleh HM Kasim, Raja Sorabi Hijau juga dijuluki “serabi kuntilanak” karena letaknya dekat TPU yang kami sempat lewati. Saya akui kondisi TPU agak menyeramkan dengan penuh rumput liar dan tegel makam yang retak-retak, namun tak pernah ditemukan kuntilanak atau makhluk halus lainnya.

Warna hijau pada serabi asli terbuat dari daun pandan dan daun suji, serta dimasak secara tradisional dengan kayu bakar dan tungku tanah liat. Varian serabi hanya tersedia 2 rasa, yakni kuah pandan dan kuah durian. Setelah saya mencoba yang kuah pandan, serabi ini segera menjadi favorit saya karena tekstur legitnya sangat pas. Belum lagi aroma wangi dan rasa manis gurih adonan yang meleleh di mulut benar-benar bikin ketagihan ketika dipadu kuah manis kentalnya. Jangan kuatir soal harga, karena hanya dibanderol Rp6500 untuk serabi kuah pandan dan Rp7.500 untuk kuah durian.

Kelezatan serabi buatan HM Kasim yang melegenda membuat kedai ramai pengunjung setiap harinya. Apalagi untuk pesan bungkus, disarankan untuk memesan 2 hari sebelumnya supaya kebagian. Pantas saja, ketika kami sampai di lokasi, masih terdapat antrian 300 pesanan bungkus lainnya! Sebagai catatan, Raja Sorabi Hijau tidak membuka cabang di tempat lain.

Sesudahnya, makan siang utama kami adalah sate maranggi yang menggunakan bumbu kecap, bukan kacang. Sate maranggi tersedia di beberapa warung yang letaknya di seberang Kedai Raja Sorabi Hijau. Daging dapat dipilih antara sapi dan bebek entok, yang dibanderol Rp20.000 saja berikut nasi. Yang jelas, daging entok lebih alot daripada sapi. Untungnya, Warung Sate Maranggi Neng Ayu yang kami singgahi hasil bakaran satenya baik dan merata, sehingga kadar alotnya daging entok berkurang dan tetap bisa dinikmati. Saya juga puas dengan daging sapinya yang lembut ketika dikunyah.

Monumen Kebulatan Tekad

Saksi bisu di Rengasdengklok yang tak kalah penting sehubungan dengan kemerdekaan adalah Monumen Kebulatan Tekad, yang dibangun pada tahun 1950 di lokasi bekas markas PETA (Pembela Tanah Air). Momen terpenting dibalik pembangunan situs adalah dikibarkannya bendera merah-putih pertama kalinya tanggal 16 Agustus 1945, sehari sebelum proklamasi kemerdekaan, di belakang tugu kepalan tangan dengan bola dibawahnya, yang bermakna kebulatan tekad dan memegang teguh proklamasi kemerdekaan yang sudah diwartakan. Kisah seputar detik-detik kemerdekaan ditorehkan dalam wujud lukisan timbul yang menjadi latar belakang monumen.

Bila memperhatikannya dengan seksama, jalan setapak menuju tugu utama yang berbentuk 2 bulatan adalah angka 8, yang diapit angka 17 dan 1945 di sisi kiri dan kanannya, yang tak lain menunjukkan tanggal kemerdekaan Republik Indonesia.

Monumen Kebulatan Tekad
Monumen Kebulatan Tekad/Nydia Susanto

Walaupun tak ada biaya masuk ke monumen ini, namun tiba-tiba kami “ditagih” biaya kebersihan oleh sang penjaga taman ketika kami hendak naik taksi untuk kembali ke stasiun. Biayanya sangat ringan, cukup Rp30.000 saja untuk kami berdelapan.

Selama perjalanan singkat berdurasi kira-kira 4 jam, cuaca panas tak berangin dengan sinar matahari yang menyengat membuat tenaga kami terkuras lebih dan mudah berpeluh. Dari situlah saya baru sadar bahwa udara di Karawang lebih panas dan kering.

Namun, hal tersebut bukanlah masalah besar dibandingkan dengan wawasan yang didapat. Melihat langsung lokasi kejadian sembari diberikan penjelasan singkat padat dari pemandu wisata membuat pengalaman lebih menyenangkan. Apa yang saya pernah pelajari di kelas sejarah menjadi lebih nyata sehingga mudah dipahami dan diingat. Bahkan saya mendapat ilmu tambahan berupa fakta-fakta menarik tentang rumah yang pernah diinapi Soekarno dan Hatta di sana.

Pastinya, saya dapat lebih menghargai jerih payah para pejuang yang tak kenal lelah dan pantang menyerah demi Indonesia yang bebas penjajahan dan lebih maju untuk generasi mendatang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Rengasdengklok: dari Soekarno ke Serabi Kuntilanak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/rengasdengklok-dari-soekarno-ke-serabi-kuntilanak/feed/ 0 35987
Menelusuri Wisata Sejarah di Nganjuk https://telusuri.id/menelusuri-wisata-sejarah-di-nganjuk/ https://telusuri.id/menelusuri-wisata-sejarah-di-nganjuk/#respond Thu, 27 Jan 2022 11:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=32476 Berada di Jawa Timur, Nganjuk dikelilingi oleh enam Kabupaten. Kabupaten tersebut antara lain yakni Kab. Jombang (sebelah timur), Kab. Kediri (sebelah selatan dan sebelah timur), Kab. Tulungagung (sebelah selatan), Kab. Madiun dan Kab. Ponorogo (sebelah...

The post Menelusuri Wisata Sejarah di Nganjuk appeared first on TelusuRI.

]]>
Berada di Jawa Timur, Nganjuk dikelilingi oleh enam Kabupaten. Kabupaten tersebut antara lain yakni Kab. Jombang (sebelah timur), Kab. Kediri (sebelah selatan dan sebelah timur), Kab. Tulungagung (sebelah selatan), Kab. Madiun dan Kab. Ponorogo (sebelah barat), dan Kab. Bojonegoro (sebelah utara). Wilayah Nganjuk terbilang strategis karena menjadi jalur lintas selatan dari arah Surabaya menuju Solo, Yogyakarta, dan Jabodetabek. Masyarakat Nganjuk masih lekat dengan tradisi, budaya, hingga sejarah. Oleh karenanya, menjadi hal yang lumrah jika Nganjuk memiliki potensi wisata terkait dengan nilai-nilai tersebut.

Kalau ke Nganjuk, sempatkan diri singgah ke tempat bersejarah ini, ya!

Candi Lor
Candi Lor/Imam Basthomi

1. Candi Lor

Candi Lor terletak di sebelah selatan dari pusat Kota Nganjuk. Tepatnya di Desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk. Berdasarkan catatan sejarah, candi ini didirikan oleh Mpu Sindok pada tahun 859 Caka atau 937 M sebagai tugu peringatan kemenangan Sindok dari Melayu  dan sebagai penghargaan kepada rakyat Anjung Ladang atas dalam peperangan.

Menurut ahli sejarah, Candi Lor awalnya bertingkat dan bersifat Siwais. Candi Lor menghadap ke barat namun sekarang ini sudah tidak berbentuk lagi—sudah sangat rusak, tepatnya. Hal itu terjadi karena memang bangunan candi yang terbuat dari bata merah ini sudah tua, bahkan pohon Kepuh tumbuh di sekitar badan candi. 

Di bagian barat, terdapat arca, lingga, dan juga yoni. Ketiga dalam keadaan sudah rusak. Di sebelah baratnya lagi ada dua makam yang diyakini sebagai makam abdi kinasih Mpu Sindok yaitu Eyang Kerto dan Eyang Kerti.

Di komplek Candi Lor juga ditemukan sebuah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Anjuk Ladang. Prasasti tersebut saat ini tersimpan di Museum Nasional. Secara garis besar, prasasti Anjuk Ladang berisi maklumat dari seorang pejabat tinggi kerajaan.

2. Candi Ngetos

Candi Ngetos terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, sekitar 17 km arah selatan dari Kota Nganjuk. Berdasarkan bentuk bangunannya, candi ini diperkirakan berdiri pada abad XV. Candi ini juga diperkirakan berfungsi sebagai tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit.

Bangunan utama Candi Ngetos terbuat dari batu merah. Secara fisik, keadaannya tak jauh beda dengan Candi Lor. Tampak rusak. Candi Ngetos memiliki 4 relief, namun sekarang ini hanya satu yang masih dapat dilihat, tiga lainnya sudah rusak. Berdasarkan arca-arca yang ditemukan di sana, Candi Ngetos dikatakan sebagai Candi yang bersifat Siwa-Wisnu.

3. Masjid Al Mubaarok

Masjid Mubaarok merupakan masjid salah satu yang tertua di Nganjuk. Lokasinya berada di Berbek, sekitar 8 km arah selatan dari pusat Kota Nganjuk. Masjid ini dibangun di atas tanah yang cukup luas. Di sampingnya ada beberapa bangunan lainnya seperti yoni yang sekarang difungsikan untuk melihat waktu Salat (bencet).

Di sebelah kiri bagian depan sekarang ini didirikan bangunan untuk Kantor Urusan Agama (KUA) Berbek. Di bagian sebelahnya juga ada Taman Pendidikan Quran (TPA) dan Madrasah Ibtidaiyah. Di belakang masjid digunakan sebagai pemakaman dan sampai saat ini oleh masyarakat sering dikunjungi untuk wisata religi. 

4. Monumen Pahlawan

Nganjuk juga merupakan wilayah yang memiliki rekam jejak sejarah perjuangan para pahlawan Indonesia. Untuk mengenang dan mengingat jasa-jasa para pahlawan, maka dibuatkan sebuah monumen. Yang pertama adalah Monumen Kapten Kasihin. Monumen tersebut terletak di alun-alun Kota Nganjuk.

Monumennya berupa patung yang berdiri megah dan gagah yang menggambarkan Kapten Kasihin sedang memakai baju militer lengkap dengan pedangnya. Monumen ini dibangun untuk menunjukkan bahwa di daerah Nganjuk pernah terjadi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Yang kedua adalah Monumen Jenderal Sudirman. Monumen tersebut dibangun di Desa Bajulan. Lokasinya sangat strategis, yaitu terletak di tikungan dekat jembatan yang agak panjang dan persis di sebelah barat SD bajulan 1.

Pada monumen ini Jenderal Sudirman digambarkan sebagai sosok yang utuh, berdiri tegak, dan memakai jas/mantel panjang dan memakai blangkon. Monumen ini dibangun di Desa Bajulan karena untuk mengenang perjuangan gerilya Jenderal Sudirman beserta pasukannya melawan pasukan penjajah.

Yang terakhir adalah Monumen Dokter Soetomo. Monumen ini terletak di Desa Ngepeh Kecamatan Loceret (7 km dari pusat Kota Nganjuk). Dibangun di sana karena merupakan tanah tempat kelahiran Dokter Soetomo. Secara keseluruhan monumennya berdiri di atas tanah seluas 3-4 ha.

Monumen Dokter Soetomo terdiri dari patung Dokter Soetomo, pendopo induk, dan bangunan pringgitan. Di monumen ini juga terdapat foto-foto kenangan dan kegiatan Dokter Soetomo baik pada masa kanak-kanak, masa muda, dan masa dewasa.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Wisata Sejarah di Nganjuk appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-wisata-sejarah-di-nganjuk/feed/ 0 32476
Destinasi Wisata Sejarah di Sekitar Tegallega https://telusuri.id/destinasi-wisata-sejarah-di-sekitar-tegallega/ https://telusuri.id/destinasi-wisata-sejarah-di-sekitar-tegallega/#respond Sun, 07 Nov 2021 12:47:15 +0000 https://telusuri.id/?p=31282 Kota Bandung punya banyak tempat wisata yang menarik. Mulai dari wisata alam, wisata kuliner, sampai wisata sejarah semua ada di Bandung. Berbicara wisata sejarah, hampir setiap sudut Kota Bandung memiliki cerita yang berbeda-beda. Kali ini,...

The post Destinasi Wisata Sejarah di Sekitar Tegallega appeared first on TelusuRI.

]]>
Kota Bandung punya banyak tempat wisata yang menarik. Mulai dari wisata alam, wisata kuliner, sampai wisata sejarah semua ada di Bandung. Berbicara wisata sejarah, hampir setiap sudut Kota Bandung memiliki cerita yang berbeda-beda. Kali ini, kita akan coba kunjungi daerah selatan Bandung, tepatnya di sekitar Tegallega.

Nama Tegallega berasal dari dua kata yaitu “tegal” yang berarti lapangan dan “lega” berarti luas. Sesuai namanya, dahulu daerah Tegallega merupakan lapangan yang luas. Saat ini, Tegallega masih memiliki taman yang luas. Banyak pengunjung yang datang ke sana untuk sekedar jalan-jalan, belanja, sampai olahraga.

Ternyata, selain taman yang luas, ada beberapa destinasi wisata sejarah menarik di sekitar Tegallega. Penasaran? Simak ulasannya!

Monumen Bandung Lautan Api

Pada tahun 1946, rakyat Bandung membumihanguskan tempat tinggalnya sendiri agar tidak diduduki oleh sekutu. Saat itu Bandung merah menyala menjadi lautan api. Beberapa tahun berlalu, lagu “Halo-halo Bandung” dibuat untuk memperingati aksi tersebut. Tidak hanya itu, dibuat pula sebuah monumen besar dan sepuluh buah Stilasi Bandung Lautan Api. Stilasi tersebut tersebar di depan tempat bersejarah yang masih berkaitan dengan peristiwa Bandung Lautan Api. Sementara monumen berada di tengah-tengah lapangan Tegallega.

Monumen Bandung Lautan Api dibuat tahun 1984 oleh mantan dosen seni rupa ITB, yaitu Pak Sunaryo. Bagian atasnya berbentuk api yang sedang berkobar. Di bagian bawahnya dipasang lirik lagu “Halo-halo Bandung”. Agar lebih menarik, sekarang ditambahkan pula lukisan para pahlawan yang masih berkaitan dengan peristiwa Bandung Lautan Api, seperti Mohammad Ramdan dan Otto Iskandar Dinata.

Di sini kalian bisa sambil bersantai di taman teduh, hunting foto atau lari di lintasan yang sudah disediakan. Tidak hanya itu, dibuat juga sebuah taman tematik bernama Taman Lampion. Di sini juga ada berbagai instalasi berbentuk macam-macam dinosaurus dan telurnya. Sesuai namanya, instalasi ini merupakan lampion yang akan menyala di malam hari. Tiket masuk ke wilayah lapangan Tegallega sangat murah, hanya Rp1.000,- per orang.

Rumah Bersejarah Inggit Ganarsih

Tidak jauh dari lapangan Tegallega, ada sebuah jalan bernama Jalan Inggit Ganarsih. Siapakah beliau sehingga namanya dibuat jadi nama jalan?

Beliau adalah mantan istri Presiden Soekarno.

Inggit Ganarsih menemani Soekarno ketika masa-masa yang berat. Seperti diceritakan dalam buku Ku Antar Kau ke Gerbang karya Ramadhan KH, jalan hidupnya bukanlah jalan yang bertabur bunga. Mereka menikah pada tahun 1923, kemudian bercerai pada tahun 1943. Dalam rentang waktu tersebut banyak hal yang terjadi. Tak jarang diselingi beberapa peristiwa yang tidak menyenangkan seperti penangkapan Ir. Soekarno sampai ditahan di penjara Banceuy, pengasingan ke Ende, dan pengungsian ke Padang

Inggit dan Soekarno beberapa kali pindah rumah di Bandung. Rumah yang lain sulit untuk ditemukan. Hanya rumah di Jalan Ciateul Nomor 8 atau sekarang Jalan Inggit Ganarsih yang masih bisa dikunjungi. Itu pun bangunannya bukan rumah awal yang ditempati ketika mereka masih menikah, melainkan bangunan kedua yang dibuat lagi pasca mereka bercerai. Di sinilah Inggit tinggal sampai akhir hayatnya.

Perjalanan hidupnya penuh haru. Cerita lengkapnya akan lebih terasa berkesan ketika kalian datang ke rumah tersebut. Datanglah ke sana sekitar pukul 08.00 sampai 17.00 tanpa harus bayar tiket masuk. Petugas di sana akan dengan senang hati menemani kalian berdiskusi, menggali lebih jauh sejarah Inggit Ganarsih.

Museum Sri Baduga

Di sebelah selatan lapangan Tegallega, yaitu di Jalan BKR No. 185, terdapat sebuah museum yang berisi sejarah kehidupan di Jawa Barat. Bukan berisi sejarah peperangan yang terjadi di Bandung, tapi lebih menonjolkan sisi budaya.

Museum Sri Baduga terdiri dari 2 lantai utama. Di lantai bawah kalian bisa melihat replika dan koleksi peninggalan dari masa pra aksara sampai masuknya agama ke Jawa Barat, sejarah cekungan Bandung, beragam fosil dan satwa khas Jawa Barat, sampai replika berbagai prasasti kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di Jawa Barat. Sementara di lantai dua berisi koleksi miniatur bangunan khas Jawa Barat, sejarah pendidikan, dan perkembangan kebudayaan meliputi alat musik, wayang, baju adat, batik, permainan tradisional, dan perkakas berbagai mata pencaharian.

Ada pula ruangan lain untuk pameran sementara dan ruangan kaca untuk kereta kencana, ditambah lagi ada beberapa replika prasasti, andong, dan delman yang dipajang di pekarangan museum.

Museum Sri Baduga buka setiap hari, kecuali hari senin dan hari libur nasional. Pada hari Selasa sampai Jumat buka dari pukul 08.00 sampai 16.00. Sementara pada hari Sabtu dan Minggu buka dari pukul 08.00 sampai 14.00. Harga tiket masuknya sangat murah, yaitu Rp2.000,- untuk TK, SD, SMP dan Rp3.000,- untuk SMA, mahasiswa, dan pengunjung umum.

Itulah tiga tempat yang kalian bisa kunjungi di sekitar Tegallega. Kunjungan akan sangat mengesankan karena bisa belajar banyak tentang sejarah khususnya sejarah Jawa Barat. Jangan lupa untuk selalu menjaga kebersihan dan tidak merusak barang koleksi selama di tempat-tempat tersebut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

The post Destinasi Wisata Sejarah di Sekitar Tegallega appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/destinasi-wisata-sejarah-di-sekitar-tegallega/feed/ 0 31282