wisata Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wisata/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 04 Jan 2023 10:59:37 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 wisata Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wisata/ 32 32 135956295 Menelusuri Sejarah Bogor bersama Bogor Historical Walk https://telusuri.id/menelusuri-sejarah-bogor-bersama-bogor-historical-walk/ https://telusuri.id/menelusuri-sejarah-bogor-bersama-bogor-historical-walk/#respond Mon, 30 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36861 Dari keinginan untuk mengenal kota sendiri lebih dekat, Bogor Historical Walk telah berkembang menjadi sebuah komunitas sejarah kota yang tidak hanya belajar bersama, tapi juga sebagai ajang silaturahmi dan mendekatkan diri satu sama lain dengan...

The post Menelusuri Sejarah Bogor bersama Bogor Historical Walk appeared first on TelusuRI.

]]>
Dari keinginan untuk mengenal kota sendiri lebih dekat, Bogor Historical Walk telah berkembang menjadi sebuah komunitas sejarah kota yang tidak hanya belajar bersama, tapi juga sebagai ajang silaturahmi dan mendekatkan diri satu sama lain dengan kota tercinta.

Kota Bogor, sama seperti kota-kota lainnya di Indonesia; mempunyai kenangan dan juga sejarah bagi setiap insan yang pernah hidup di dalamnya. Kota ini memiliki banyak peninggalan sejarah, baik dari masa kerajaan kuno seperti Prasasti Batu Tulis atau peninggalan masa kolonial seperti Kebun Raya Bogor, Istana Bogor, Gereja Zebaoth, ataupun Gedung Balai Kota Bogor. Namun, kerap kali tinggalan sejarah tersebut banyak yang luput dari perhatian masyarakat sekitarnya; entah karena terlalu sibuk dengan urusan masing-masing atau karena memang kurang peduli akan sejarah kota. Untuk itulah, Bogor Historical Walk hadir merangkul segenap masyarakat Kota Bogor untuk lebih mengenal kota tempat tinggalnya.

TelusuRI berkesempatan mewawancarai Ramadhian Fadillah—salah satu pengurus Bogor Historical Walk—yang merintis dan memprakarsai jalan-jalan sejarah di Kota Bogor bersama teman-temannya. Bang Ian—sapaan akrabnya—yang juga seorang jurnalis ini mempunyai tekad bahwa orang Bogor harus mengenal Bogor itu sendiri.

Apa latar belakang pendirian Bogor Historical Walk?

Bogor Historical Walk sebenarnya dulu kegiatan iseng-iseng sambil ngasuh anak keliling Kota Bogor, ke tempat-tempat sejarah. Lama-lama, beberapa teman ikut kemudian teman ngajak temannya lagi dan lagi, dan kemudian mereka usul, “Kang, kok nggak dibuka untuk umum saja karena kan kegiatannya menyenangkan?”

Akhirnya dibuka untuk umum tanggal 19 November 2019. Karena kami seringkali kolaborasi dengan komunitas, pas pertama kali jalan ‘tuh sudah banyak yang ikut dan terus berkembang. Pas pandemi, terpaksa kita stop semua kegiatannya. Hampir dua tahun lebih tidak ada acara dan kegiatan baru mulai lagi pada Januari 2022. Eh, nggak lama kemudian ada Omicorn. Setelah lebaran baru mulai intens lagi dan bisa mulai berkolaborasi lagi dengan berbagai komunitas.

Kehidupan orang-orang sekarang serba cepat, kami justru mengajak mereka cooling down gitu lalu kita sama-sama jalan mengenali kota kita. Banyak orang kerja di Jadetabek, pagi-pagi sudah berangkat kerja, terus pulang malam, dan Sabtu–Minggu nggak tahu harus ngapain. Dengan kondisi seperti itu, sulit akan ada rasa memiliki untuk kota sendiri. Kami membangun awareness akan kecintaan pada suatu kota [Bogor]. Selain mengenalkan sejarah dan budaya, kita juga mengenalkan bahwa Bogor itu kota multikultural, yang sejak zaman dulu sudah banyak suku dan kepercayaan. Pengurus BHW sekitar 5-7 orang. Setiap kegiatan, kita buka untuk umum, dan siapapun yang sudah pernah ikut tur udah jadi keluarga besar Bogor Historical Walk.

Bagaimana kesan tur pertama saat dibuka untuk umum?

Responnya bagus dan menarik. “Bikin lagi dong yang lain,” itulah yang membuat kami semangat.

Tapi, karena baru pertama jalan pasti banyak kurangnya lah. BHW itu konsepnya selalu dekat, BHW itu ibarat anak kampung sini terus kayak ngajak temen kita main ke kampung kita. Terus ada masukkan dari teman-teman juga yang membuat BHW semakin berkembang, semisal pakai speaker ketika ngomong. 

Para peserta kebanyakan berasal dari mana dan usia berapa, serta apa yang mereka inginkan ketika mengikuti tur?

Rentang umur dari bayi sampai umur 81 tahun. Ada macam-macam motivasi mereka buat ikut tur ini, tapi saya tuh senang mereka tuh ingin mengenal kota. Ada juga yang karena iseng ikut teman terus akhirnya kecanduan.

Ada juga yang senang foto, ada juga yang ingin sekedar menambah ilmu, ada yang senang walking tour. Tapi yang dari saya simpulkan adalah ingin belajar sejarah dan ingin mengenal kotanya lebih baik lagi.

  • Dokumentasi perjalanan
  • vihara dhanagun
  • kebun raya bogor

Adakah peserta yang memiliki keunikan tersendiri? Misalnya, ternyata ada peserta BHW yang seorang ahli sejarah, atau punya koneksi dengan tempat yang dituju.

Sering. Misalnya kita cerita soal ini, tiba-tiba ada yang nambahin, ternyata dia adalah dosen. Kami senang bisa saling berbagi. Kami juga sering kalau ingin masuk ke bangunan-bangunan bersejarah, ternyata ada anggota BHW yang bekerja di situ sehingga mempermudah kita untuk izin masuk ke dalam gedung.

Yang menarik lagi, kita ada anggota yang punya rumah zaman kolonial gitu. Ia memperbolehkan kami masuk ke dalam rumahnya. Kalau ada warga senior yang ikut tur, itu pasti kami suruh buat cerita-cerita tentang Bogor tempo dulu. Cerita-cerita itu akhirnya yang memperkaya cerita kami. —dalam menjelaskan suatu tempat—jadi kami menyampaikan beberapa versi cerita dari suatu tempat.

Apa yang menjadi dasar pengambilan tema pada suatu tur? Apakah tur juga menyesuaikan minat yang sedang populer?

Saat ini BHW punya sembilan rute. Biasanya kita bikin polling di Instagram, biasanya kita pilih tiga teratas dari situ [polling]. Ada juga rute-rute yang tidak bisa kita buka tiap bulan karena izinnya susah karena kami tidak ingin hanya di luar pagar saja.

Alhamdulillah, orang-orang juga open karena kami bersurat dan berusaha tertib. Ada banyak pertimbangan sih.

Dalam penyampaian materi dari tempat-tempat yang dikunjungi, apakah setelah tur ada pembahasan lebih lanjut melalui media lainnya?

Nggak. Jadi, pada 2019 itu kita punya grup WA setiap habis kegiatan, jadi banyak yang nggak terawat. Kita komunikasi via DM saja jadinya.

Dari postingan instagram, sepertinya BHW seringkali mengadakan kerja sama menggelar kunjungan dengan berbagai komunitas, apa yang ingin dicapai oleh BHW dengan terjalinnya kerja sama antar komunitas?

Setiap komunitas itu menarik! Semisal dengan TelusuRI waktu itu: 10.000 steps for corals. TelusuRI ingin menciptakan perjalanan berkelanjutan yang nggak cuma datang dan pergi. Jadi, kami melihat komunitas itu sesuatu yang menarik Ada juga sama Bogor Runner, jadi kami nunggu para pelari di titik-titik yang bersejarah terus kami cerita, tapi kami nggak ikut lari, takut pingsan soalnya. Haha.

Kami berkolaborasi dengan setiap komunitas yang pertama, biar saling kenal. Yang kedua  banyak yang bisa dikerjasamakan. Semisal ada bencana, kita bisa galang bantuan dengan komunitas. Kami bisa belajar dengan komunitas tersebut, belajar manajemennya, belajar gerakannya, bisa menghadirkan ide-ide menarik yang secara tidak sengaja.

Saya percaya, kekuatan suatu kota itu terletak di komunitas. Makin solid komunitasnya, akan makin hidup kotanya.

Adakah hal-hal yang menjadi goals BHW, namun belum tercapai hingga saat ini? Apa saja kendala untuk mewujudkannya?

Bikin buku tentang sejarah Bogor. Itu salah satu keinginan kita yang belum tercapai. Mudah-mudahan tahun depan bisa tercapai. Kami berjejaring dengan komunitas literasi yang di Bandung, mereka tuh aktif menerbitkan buku tentang sejarah Bandung, budaya Bandung. Jadi ditulis independen, diterbitkan independen, dan dipasarkan juga sama mereka. Mereka menggelar diskusi kayak di warung kopi, dan cara pemasarannya seperti itu. Benar-benar gerakan yang dari bawah dan indie gitu.

Bagaimana kondisi pelestarian situs sejarah di Bogor secara umum dan apa harapan BHW kedepannya terhadap kelestarian bangunan bersejarah di Bogor? 

Alhamdulillah, cagar budaya dan bangunan-bangunan tua masih lumayan terjaga, dan kami bersyukur. Mudah-mudahan kedepannya semakin baik lagi. Katanya kawasan Empang mau ditata, dan alhamdulillah sudah ada perhatian dari pemerintah. Bogor ‘kan kota bersejarah dan bangunan bersejarahnya masih banyak, baik yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya ataupun belum. Harapan kami, semoga makin banyak bangunan bersejarah itu yang dilestarikan. Ada kawasan yang sudah ditata semisal di Surya Kencana, tapi banyak bau pesing di sana. Sayang kalau sudah ditata, tapi masyarakatnya belum sadar.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menelusuri Sejarah Bogor bersama Bogor Historical Walk appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menelusuri-sejarah-bogor-bersama-bogor-historical-walk/feed/ 0 36861
Lelah yang Terbayar Tuntas di Fatunausus https://telusuri.id/lelah-yang-terbayar-tuntas-di-fatunausus/ https://telusuri.id/lelah-yang-terbayar-tuntas-di-fatunausus/#respond Sat, 21 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36923 Setiap kali Devi, Ka Ditho, atau beberapa kawan dari Atambua pulang berlibur, saya tahu betul bahwa mereka akan tiba dalam tujuh hingga delapan jam. Biasanya mereka berangkat malam menggunakan bus yang terparkir di sekitaran Oesapa....

The post Lelah yang Terbayar Tuntas di Fatunausus appeared first on TelusuRI.

]]>
Setiap kali Devi, Ka Ditho, atau beberapa kawan dari Atambua pulang berlibur, saya tahu betul bahwa mereka akan tiba dalam tujuh hingga delapan jam. Biasanya mereka berangkat malam menggunakan bus yang terparkir di sekitaran Oesapa. Saya pun hafal betul lokasi parkir bus-bus tersebut, harga tiket bus, hingga jam keberangkatan mereka.

Dengan waktu keberangkatan pada malam hari, saya bisa memprediksi pada pukul berapa mereka akan tiba di Atambua. Namun, itu tidak menjadi soal ketika perjalanan yang demikian telah menjadi hal biasa bagi mereka. Lain cerita untuk beberapa kawan yang memang mabuk perjalanan, bisa jadi durasi perjalanan lebih lama.

Jarak Kupang ke Atambua memang sangat jauh. Atambua berada di ujung Pulau Timor. Untuk tiba di sana harus melintasi beberapa kabupaten sekaligus. Mungkin ini sedikit lebih mudah ketimbang perjalanan darat di Flores sana, mengingat topografi Pulau Timor dominan dengan jalan yang rata. Lain cerita dengan Pulau Flores yang memiliki kontur jalan naik turun, melalui jalur bukit dengan tanjakan dan turunan tajam yang berkelok.

Sebelum Berangkat ke Soe
Sebelum Berangkat ke Soe/Oswald Kosfraedi

Tetap saja, tak peduli serata apa pun jalur jalan, jarak tempuh 270-an kilometer pasti melelahkan. Saya menyadari itu, namun tidak cukup sigap mengantisipasi tatkala melakukan perjalanan ke Atambua. 

Berangkat pagi dengan waktu tidur yang benar-benar tidak efektif semula tak saya pikirkan. Saya menumpang bus kampus dengan semangat, mengambil posisi duduk dekat pintu tengah, lalu membuatnya seolah biasa-biasa saja, tanpa memedulikan seberapa jauh perjalanan yang akan kami tempuh. 

Bus kampus berukuran mini, hanya memiliki 19 kursi penumpang dan 1 kursi sopir. Sementara rombongan kami terdiri dari 24 orang. Memang ini tidak cukup baik bagi kami semua, tetapi karena pelaksanaan kegiatan, mau tidak mau saya dan beberapa lainnya duduk selonjoran di lorong kursi bus atau di tangga pintu tengah.

Dengan keadaan seperti itu, kami harus menempuh ratusan kilometer menuju Atambua dan berbalik kembali ke Soe. Jika saya kalkulasi, total jarak tempuh perjalanan mencapai 400 hingga 500-an kilometer. Awalnya, ini sama sekali bukan masalah, apalagi hawa di beberapa titik perjalanan begitu sejuk. 

Saya ketiduran sebelum memasuki Soe, mungkin karena waktu tidur saya sebelumnya kurang, jadilah saya lebih cepat terlelap. Toh, setelahnya saya kembali fit. Melewati Soe hingga tiba di Kefamenanu, tenaga saya masih kuat, apalagi seberes mengisi perut. Melewati Kefamenanu, saya memutuskan untuk berdiri dan menikmati perjalanan dengan cara yang demikian. Tiba di Atambua dan perbatasan, saya pun masih bersemangat, bahkan hingga kembali dari perbatasan dan melaksanakan kunjungan ke Sekolah Tenun Ikat Flamboyan.

Tiba siang di Atambua
Tiba di Atambua/Oswald Kosfraedi

Malam menjelang, saya turun memesan makan malam untuk rombongan kami. Dengan menenteng dua plastik besar berisi puluhan nasi bungkus, rasa pegal menjalari kaki, juga punggung yang mulai terasa sakit. Seberes mengurus makan malam, kami kembali melaju. Hanya beberapa menit setelah keluar dari Kota Atambua, saya tertidur di antara lorong kursi dengan kepala beralaskan tas rekan mahasiswa, entah milik siapa. 

Beberapa kali saya terbangun dengan suara rekan mahasiswa yang samar saya dengar. Dhava dan Diva masih duduk di dekat pintu tengah. Sementara, di kursi dekat saya berbaring Falupi, Annis, Rebeka; mereka pun terlelap. Sebelum memasuki Kefa, saya sempat berusaha bangun untuk kembali duduk di dekat Dhava, tetapi gagal. Saya menyadari tubuh ini benar-benar lelah, dengan pegal di kaki dan punggung yang semakin menjadi-jadi.

Di dekat bundaran Tugu Biinmafo, kami berhenti di pinggir jalan untuk sejenak makan malam. Saya lupa persisnya pukul berapa, tetapi jalanan sudah mulai lengang. Kami semua turun, dan saya segera melompati got kecil lalu mengambil posisi duduk dengan punggung yang bersandar di tembok pagar Kantor DPRD Kabupaten TTU. Semaput, demikian pesan yang saya kirim ke beberapa kawan dekat. 

Beres makan di tempat itu, kami kembali melaju melewati jalur Kabupaten Timor Tengah Selatan hingga tiba di Soe. Saya hanya mengetahui bahwa kami akan menginap di Soe, tetapi tidak tahu persisnya di mana. Rupanya kami akan menginap di Fatunausus yang berjarak kurang lebih 20-an kilometer lagi dari Kota Soe. 

Entahlah, di mana dan seperti apa tempat itu, saya tidak berniat bertanya atau sekadar googling. Saya kembali merebahkan badan, lantas menikmati bus yang bergoyang tatkala memasuki jalur yang lebih sempit dengan tanjakan yang begitu banyak. 

Saya melirik jam ponsel yang sudah menunjukkan pukul 01.00 WITA, sementara kami tak kunjung tiba di Fatunausus. Beberapa menit kemudian, lintasan aspal berganti jalur tanah, dan beberapa meter berikutnya bus berhenti. Sopir bus pun turun memeriksa kondisi jalan apakah bisa dilewati atau tidak. Dengan sedikit tenaga yang tersisa, saya ikut turun. Sorot lampu bus yang menembus gelap malam itu menyajikan kondisi jalan yang ekstrim. Turunan yang lumayan terjal dengan jalan batuan yang tak lagi baik. 

Setelah beberapa saat, sopir bus kembali naik dan memutuskan untuk melintasi jalur tersebut. Mobil melaju pelan melintasi turunan terjal itu. Rumitnya lagi, bus harus melintasi sungai kecil yang sedikit becek, lalu melintasi sedikit tanjakan kembali sebelum tiba di gerbang masuk tempat kami akan menginap. Dengan bantuan flash ponsel, saya melihat pepohonan ampupu, cemara, dan pinus yang tumbuh di kiri kanan jalan.

Tiba di tempat penginapan, kami lantas segera merebahkan badan yang sudah benar-benar lelah, hingga akhirnya terlelap di tengah hawa dingin Fatanausus. 

Saya bangun sedikit terlambat dan mendapati rekan-rekan yang lain sudah bangun lebih dulu. Beberapa dari antara mereka tampak sudah mandi, duduk santai di halaman depan sambil menyeduh kopi dan teh, juga beberapa lainnya yang tampak berkeliling menikmati alam Fatunausus. 

Tiba malam di sana membuat saya tidak mengetahui bagaimana pemandangan Fatunausus, dan pagi itu saya dibuat terpesona ketika saya melangkah keluar dari tempat penginapan. Hawa paginya yang sejuk berpadu pemandangan gunung batu marmer yang kokoh,  juga dengan rimbun pepohonannya yang hijau. Alamnya begitu indah dengan suasananya yang tenang nan asri. Setelah membersihkan diri, saya menyeduh kopi yang sudah disiapkan di halaman tempat penginapan. Ah, indah nian pagi hari itu.

  • kuda
  • Alam Fatunausus
  • Fatunausus

Fatunausus sendiri terletak di Desa Fatukoto, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan.  Daya tarik utamanya terletak pada gunung batu marmer yang menjulang dengan hamparan pepohonan hijau yang memanjakan mata. Tempat ini pun telah ditata dengan ketersediaan gazebo yang ada di sekitarnya. Selain itu, pada beberapa titik telah dibangun beberapa spot foto yang bisa digunakan pengunjung ketika berkunjung ke sana. 

Menjelang siang, saya bersama rombongan bergerak ke salah satu titik yang tak terlihat dari halaman tempat penginapan. Tiba di sana, saya sedikit terkejut mendapati gunung batu nan rapi yang selama ini biasa saya temukan di internet. Saya sontak kaget karena tak menyangka bahwa tempat ini terletak di Fatunausus. 

Keunikan gunung batu ini terletak pada bentuknya yang terpahat rapi dan licin sebagai bekas penambangan marmer pada puluhan tahun lalu. Berada di sana membuat saya dapat dengan leluasa menikmati panorama alamnya yang menakjubkan. 

Siang itu, lagi-lagi keindahan alam Pulau Timor membuat saya jatuh cinta untuk kesekian kalinya. 

Kembali dari sana, kami berkemas untuk kembali ke Kupang. Seperti saat datang semalam, saya dan beberapa rekan kembali berjalan mengikuti bus yang melaju pelan pada lintasan yang memang cukup ekstrim. Belum jauh berjalan, saya mendapati seorang bapak yang sedang menunggangi kuda. 

Dengan sedikit usil saya bertanya apakah saya bisa menumpang kuda miliknya. Gayung bersambut, beliau mengiyakan. Saya lantas naik dan menumpang di belakangnya. Bapak itu bernama Frans, ia adalah warga setempat yang kebetulan sering melintas di Fatunausus.

Setelah mengucapkan terima kasih pada Bapak Frans atas tumpangannya, saya lantas kembali ke bus dan kami melaju meninggalkan Fatunausus.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Lelah yang Terbayar Tuntas di Fatunausus appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/lelah-yang-terbayar-tuntas-di-fatunausus/feed/ 0 36923
Menyusuri Gua Air di Batu Katak https://telusuri.id/menyusuri-gua-air-di-batu-katak/ https://telusuri.id/menyusuri-gua-air-di-batu-katak/#respond Thu, 19 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36907 Hujan turun ketika saya dan rombongan tiba di Bandara Kualanamu, Medan sore itu. “Hujan nih, besok ‘kan kita akan memasuki gua basah, mungkin rencana itu kita urungkan saja!” ujar Hannif, salah satu rekan saya dalam...

The post Menyusuri Gua Air di Batu Katak appeared first on TelusuRI.

]]>
Hujan turun ketika saya dan rombongan tiba di Bandara Kualanamu, Medan sore itu. “Hujan nih, besok ‘kan kita akan memasuki gua basah, mungkin rencana itu kita urungkan saja!” ujar Hannif, salah satu rekan saya dalam perjalanan kali ini. Ucapan Hannif serentak menggetarkan rasa khawatir pada diri saya yang belum pernah menginjakkan kaki ke dalam gua. Namun, rasa penasaran begitu membumbung tinggi. Sembari menuju Batu Katak, saya terus memupuk harapan supaya cuaca esok hari cerah. Pun, jarak yang sudah saya tempuh dari Jawa hingga Sumatra membuat tekad ini semakin bulat. Jika kondisi memungkinkan, setidaknya saya harus ke di Gua Air. 

gua air
Kondisi Gua Air di Batu Katak/Firra Kholisha

Gua Air terletak di Batu Katak, sebuah dusun yang menjadi kawasan penyangga di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Untuk tiba di sana, kami menempuh sekitar tiga hingga empat jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat dari Bandara Kualanamu, Medan. Cukup lama, tp sepadan dengan perjalanan menyenangkan yang sudah menghadang di depan mata.

***

Pagi harinya, semesta mendukung. Cuaca begitu cerah! “Aman kok kita bisa masuk ke dalam gua dengan cuaca seperti ini. Itu juga ada rombongan mau jalan ke sana.” Pak Darma, pemandu lokal yang akan menemani perjalanan kami selama di Batu Katak menyampaikan informasi yang membuat jantung saya tiba-tiba berdegup kencang.

Melihat ada rombongan lain yang juga sedang menuju Gua Air, rasa khawatir saya berkurang. Malah tiba-tiba berganti menjadi semangat untuk menyaksikan secara langsung pesonanya. Rombongan tersebut jalan duluan ke sana, sembari saya dan yang lain mempersiapkan peralatan serta perbekalan yang akan kami bawa.

Kami, rombongan kedua, mulai memasuki hutan dan menyusuri jalur setapak, lalu melewati dua jembatan. Jembatan pertama, terdapat bebatuan di atasnya. Lalu jembatan kedua, terbuat dari bambu. Jembatan ini kami gunakan untuk menyeberangi sungai. Sejenak, kami tiba di Jungle River—sebuah rumah makan, penginapan, dan penyedia safety equipment seperti helm maupun pelampung.

“Untuk keamanan dan menghindari hal yang tidak diinginkan, mari kenakan helm dan pelampung,” ujar Pak Darma sembari menuju lokasi penyewaan alat keselamatan.

penjelajahan
Untuk sampai ke mulut gua, pengunjung harus melewati hutan dan jalan yang berliku/Firra Kholisha

Karena barang bawaan cukup banyak—ada helm, pelampung, dan peralatan pribadi masing-masing orang—membuat kami tak cukup nyaman saat trekking. Oleh karenanya, kami meneruskan perjalanan dengan menyewa jasa porter untuk membawa seluruh barang tadi.

Sedikit tips dari saya untuk kamu yang akan menelusuri Gua Air di Batu Katak, hal utama yang perlu dipersiapkan yaitu stamina fisik, karena perjalanan dari starting point sampai ke ekor gua membutuhkan waktu sekitar dua jam perjalanan, dengan jalur menanjak dan menurun. Selain itu, karena hutan yang kami lalui mempunyai topografi basah serta lembab, sebaiknya pejalan menggunakan pakaian tertutup seperti celana dan kaos panjang, kaos kaki, dan membawa semprotan anti nyamuk yang dapat digunakan untuk menghalau pacet jika tergigit olehnya.

Melanjutkan perjalanan menyusuri hutan, kami ditemani oleh Belo—si anjing pintar yang biasa menemani warga, para pemandu, dan wisatawan yang hendak melakukan trekking di Batu Katak. Kali ini ia menemani kami selama perjalanan menuju Gua Air. Menyusuri setiap tanjakan dan turunan, juga aliran sungai. Pun, kami melewati jalur yang tertutup pohon tumbang. Dengan sigap, Pak Darma mengeluarkan golok untuk memangkas bagian pohon tersebut supaya kami bisa melewatinya.

Butuh waktu hingga satu setengah jam menyusuri hutan untuk tiba di ekor Gua Air. Kami itirahat sejenak sembari mengisi perut yang mulai tergetar memasuki waktu makan siang. Pak Darma yang sangat sigap lalu mengeluarkan nasi goreng dari dalam tas yang ia bawa. Nasi goreng tersebut merupakan olahan warga sekitar.

Perut kenyang, saatnya bersiap mengenakan mengenakan helm dan pelampung. Sebelum jalan memasuki gua, kami melingkar untuk berdoa. Tentunya tak lupa memeriksa kelengkapan personil. Satu personil, Belo, ternyata harus kembali, ia tidak ikut serta memasuki Gua Air.

“Sudah biasa dia [Belo] ikut kami ke hutan gini. Nanti, dia bisa pulang sendiri,” Pak Darma berkisah sembari menuju ekor Gua Air.

Seperti jendela kecil, kami mengantri bergantian memasuki ekor gua. Hening, gelap, dan dingin, begitulah suasana yang saya rasakan. Kaki kami terus melangkah menyusuri gelapnya sungai bawah tanah dengan ketinggian air sedalam 30 cm hingga 70 cm. Gua Air ini memiliki panjang 997 m, dikelilingi dengan dinding batuan stalaktit dan stalagmit yang masih aktif meneteskan air.

gua air
Sesuai dengan namanya, gua ini memang berair, yang menetes dari stalaktit dan stalagmitnya/Firra Kholisha

“Ini kita berada di bawah puluhan kelelawar kecil,” Pak Darma mengarahkan jari ke atas langit-langit gua.

Semua serentak mengikuti arah jari Pak Darma. Pantas sejak tadi tercium bau sangit menyengat, ternyata kami berdiri tepat di bawah puluhan kelelawar kecil. Pun, kami bertemu dengan laba-laba dan jamur yang dapat menyala jika terkena cahaya.

“Di sana ada batuan yang bentuknya seperti mahkota, tapi patah kemarin terseret air waktu gua ini banjir.” lanjutnya.

Pak Darma juga menceritakan bahwa ada batang potong cukup besar yang tersangkut di antara dinding gua, berada sekitar 3 meter diatas kami berdiri. Cerita tersebut menggetarkan kembali rasa khawatir saya yang semula memudar. Terasa sunyi dan begitu mencekam. Lebih lagi, kami sudah menempuh waktu satu jam perjalanan menyusuri Gua Air, namun tak kunjung menemukan jalan keluar.

“Kita masukan semua peralatan ke kantung ikan, nanti di depan, kita akan berenang,” terang Pak Darma.

Sesuai arahan Pak Darma, kami kinggah sejenak dan memasukan barang-barang elektronik ke dalam plastik besar yang diikat dengan tali ban karet. Berjarak 200 meter di depan pemberhentian kami, mulut Gua Air yang juga menjadi pintu keluarnya mulai tampak.

Melanjutkan perjalanan menuju mulut Gua Air, kami harus berenang karena kedalaman air mencapai 3 meter. Inilah pentingnya ketika menyusuri gua, kita semua harus mengenakan helm untuk melindungi kepala berbenturan dengan bebatuan dan juga pelampung untuk berjaga bila pijakan kaki cukup dalam.

“Akhirnya, kita menemukan sinar matahari!” ujar Alif—salah seorang rekan yang turut menyusuri Gua Air bersama saya—dengan gembira. Setiba di luar gua, rintik hujan menyambut. Kami pun segera bergegas kembali trekking menuju lokasi river tubing.

Start point aktivitas river tubing berlokasi di Kuala Bandar Setia dan finish point berada di Sungai Bekail, dekat dengan perkampungan Batu Katak. Waktu tempuh tubing sekitar 20–25 menit, mengikuti deras dan tidaknya jeram sungai. Tubing di sini cukup menarik. Peralatan yang digunakan yakni ban berukuran besar dan kecil yang dirakit manual menggunakan tali, serta tongkat bambu kecil yang memiliki panjang sekitar 2,5–3 meter. Tongkat ini berfungsi sebagai pengendali arah “perahu” ban. Kami terbagi menjadi dua kelompok pada aktivitas ini.  “Pengemudi” pun duduk pada bagian depan dan belakang perahu ban.

Air sungai berwarna hijau kebiruan kami lewati. Di sisi kanan dan kiri, bebatuan yang meliuk memantapkan suasana jadi makin asri. Terdengar dari kelompok sebelah, mereka menyanyikan lagu menggunakan nada “Jingle Bell” dengan penyesuaian lirik. Membuat kami tambah semangat.

“See the monkey, see the bird, see the orangutan. Hey… Hey… Jungle trek… Jungle trek… in Batu Katak. See the flower… See the tiger… Everybody ruuuuuuuumnnnsss…”

Perahu lalu menepi, menandakan usai sudah kegiatan tubing. Kami menyempatkan untuk berfoto bersama sebagai kenangan perjalanan kali ini. Lalu menutupnya dengan bercengkrama sembari mengambil barang-barang elektronik yang semula dikumpulkan dalam plastik besar.

Rintik hujan masih menemani sore kami. Saatnya pulang kembali menuju penginapan untuk membersihkan diri.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Gua Air di Batu Katak appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-gua-air-di-batu-katak/feed/ 0 36907
Kayutangan Heritage Ramai (Lagi) https://telusuri.id/kayutangan-heritage-ramai-lagi/ https://telusuri.id/kayutangan-heritage-ramai-lagi/#respond Mon, 16 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36879 Kawasan Koridor Kayutangan Heritage kembali ramai setelah sebelumnya dilakukan perbaikan dan pembenahan. Memasang lampu-lampu yang sekilas tampak mirip dengan kawasan Malioboro di Koridor Kayutangan diharapkan dapat membuat kawasan ini “lebih hidup”. Pemerintah setempat juga kembali...

The post Kayutangan Heritage Ramai (Lagi) appeared first on TelusuRI.

]]>
Kawasan Koridor Kayutangan Heritage kembali ramai setelah sebelumnya dilakukan perbaikan dan pembenahan. Memasang lampu-lampu yang sekilas tampak mirip dengan kawasan Malioboro di Koridor Kayutangan diharapkan dapat membuat kawasan ini “lebih hidup”. Pemerintah setempat juga kembali menggagas Kayutangan Heritage sebagai pusat keramaian dengan menambahkan kursi-kursi dan banyak ornamen lain.

Ide tersebut ternyata berhasil. Sejak awal terpasangnya lampu-lampu tersebut, Koridor Kayutangan Heritage semakin ramai—menjadi jujukan anak muda hingga orang tua untuk nongkrong maupun sekadar berjalan-jalan santai. Keramaian ini selaras dengan pembukaan kafe-kafe bernuansa heritage tepat di sisi samping koridor. 

Meskipun pada akhirnya timbul persoalan baru seperti tidak adanya lahan parkir khusus bagi pengunjung Koridor Kayutangan, Pemerintah Kota Malang tetap kukuh dengan ambisinya untuk meramaikan Kayutangan Heritage dengan beragam acara hiburan yang dapat dinikmati secara gratis oleh masyarakat.

Salah satunya, pada Sabtu (26/11/2022) lalu, sebuah keramaian kembali terjadi di sini. Jauh hari sebelumnya, saya telah mendapatkan informasi bahwa akan ada acara besar di kawasan tersebut, yakni Malang Creativa Festival yang diselenggarakan oleh Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Kota Malang.

Malang Creativa Festival membawa gagasan sebagai wadah untuk menampung kreativitas warga Kota Malang untuk dapat dimanfaatkan sebagai sarana kebangkitan ekonomi masyarakat. Oleh sebab itu, ada sekitar 50 stan yang diisi oleh beragam hal seperti kuliner, kerajinan tangan, produk-produk UMKM, dan lainnya.

Ketika saya berkunjung ke acara tersebut, memang benar bahwa banyak stan yang menunjukkan kekhasan dan kreativitas masyarakat Kota Malang, akan tetapi saya merasa stan dari hotel-hotel di sekitar Malang mendominasi. Sedangkan warga sekitar Kayutangan sendiri, hanya ambil andil pada sebagian kecil stan ada.

Stan-stan dari hotel tersebut saling “berlomba” menunjukkan kuliner unggulan masing-masing. Bahkan, mereka menawarkannya dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang membelinya langsung di hotel terkait.

Meskipun acara Malang Creativa Festival dibuka gratis untuk umum, namun berbagai jenis kuliner hingga produk oleh-oleh diperjualbelikan di sini. Jelas saja, karena tujuan dari kegiatan ini memang untuk memajukan ekonomi “masyarakat”.

malang creativa
Keramaian di acara saat pagi hari/Lutfia Indah Mardhiyatin

Stan-stan miliki warga Kayutangan menarik perhatian saya. Mereka seakan membawa pernak-pernik dari kampung yang untuk dipamerkan. Alhasil, nuansanya cukup berbeda dengan stan lain. Lebih klasik, tempo dulu. Tak hanya dekorasi saja yang menarik, warga juga menjajakan produk olahan seperti kue khas Kayutangan. Dan yang paling menarik, mereka juga menghadirkan soto batok yang sesuai namanya disajikan menggunakan batok kelapa.

Selain hotel dan warga Kayutangan, kampung sebelah juga ikut unjuk gigi. Salah satunya, Kampung Keramik Dinoyo yang sesuai namanya, membawa kerajinan-kerajinan dari keramik. Saya sangat senang dengan warna-warna yang mereka gunakan dalam pembuatan keramik, tampak lembut namun menyegarkan mata. Menurut saya, hal ini menjadikan kerajinan keramik ini jauh dari kesan “tua” dan tentu saja sangat cocok untuk pajangan, membuat ruang-ruang menjadi lebih estetik. 

Para pengrajin keramik di kampung tersebut juga mencetuskan sebuah ide baru yakni membuat topeng Malang-an dari bahan keramik. Kita bisa mencoba membuatnya, ada meja putarnya. Namun sayang, tak bisa dipakai karena saat saya datang, tidak ada listrik yang terhubung ke sini.

Salah satu stan, menarik perhatian saya. Di stan tersebut memamerkan produk-produk garapan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), salah satunya yakni topeng malangan. Ketika saya mampir untuk sekedar melihat-lihat, beberapa ABK tengah sibuk mewarnai topeng-topeng yang akan mereka pajang dan diperjual-belikan nantinya. Rupanya, produk-produk tersebut sudah memiliki satu ruangan khusus di dalam Gedung DPRD Kota Malang untuk dipasarkan.

Di Malang Creativa Festival, ada gelaran musik jalanan yang biasa diselenggarakan di Koridor Kayutangan. Sebuah panggung besar pun tak ketinggalan. Selama acara berlangsung, panggung tersebut tak pernah berhenti menampilkan band-band dan hiburan lainnya, kecuali ketika hujan.

Namun siapa sangka, salah satu tujuan pemerintah daerah setempat untuk menjadikan pusat keramaian di Kawasan Kayutangan Heritage rupanya tidak sepenuhnya berjalan lancar. Ramainya kawasan koridor tidak memberikan banyak pengaruh bagi kunjungan masyarakat ke dalam Kampung Kayutangan Heritage. Ketika saya mengunjungi stan milik warga Kampung Kayutangan Heritage, saya tidak sengaja bertemu dengan Bu Mila, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Kayutangan Heritage. 

  • kayutangan heritage
  • Kampung Kayutangan Heritage
  • Karya teman-teman ABK
  • Kerajinan keramik

Bu Mila bercerita bahwa meskipun berkali-kali Pemerintah Kota Malang menggagas acara serupa di Kawasan Koridor Kayutangan, tidak akan membuat kampung tersebut sebanding keramaiannya dengan koridor. Menurutnya persoalan tersebut diakibatkan perbedaan segmen yang ada, seperti pengunjung yang datang ke Kampung Kayutangan merupakan mereka yang benar-benar ingin berkunjung menikmati nuansa heritage perkampungan. Sedangkan mereka yang datang ke kawasan koridor, tentu saja untuk mencari hiburan, memanfaatkan kursi-kursi yang ada untuk jagongan, juga pergi ke kafe-kafe untuk nongkrong.

Kendati demikian, hal tersebut tak langsung membuat para warga merasa ciut. Ramainya Koridor Kayutangan membuat mereka lebih memutar otak untuk memajukan wisata di perkampungan tersebut. Bu Mila juga berharap ketika terdapat acara di Koridor Kayutangan lagi, ia menginginkan pemerintah juga mengikutsertakan kawasan perkampungan sehingga kegiatan tidak hanya terpusat di kawasan koridor semata.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kayutangan Heritage Ramai (Lagi) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kayutangan-heritage-ramai-lagi/feed/ 0 36879
Wisata Regeneratif, untuk Apa? https://telusuri.id/wisata-regeneratif-untuk-apa/ https://telusuri.id/wisata-regeneratif-untuk-apa/#respond Fri, 06 Jan 2023 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36825 Sebagai sektor yang rentan terhadap aktivitas konsumsi berlebihan (overconsumption), industri pariwisata dan hospitality selama ini menghasilkan sampah dalam jumlah yang tidak kecil dan sangat berpotensi mencemari lingkungan, dan tentu saja mengancam keanekaragaman hayati. Diperkirakan, secara...

The post Wisata Regeneratif, untuk Apa? appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebagai sektor yang rentan terhadap aktivitas konsumsi berlebihan (overconsumption), industri pariwisata dan hospitality selama ini menghasilkan sampah dalam jumlah yang tidak kecil dan sangat berpotensi mencemari lingkungan, dan tentu saja mengancam keanekaragaman hayati. Diperkirakan, secara global, sektor pariwisata dan hospitality menghasilkan rata-rata sekitar 35 juta ton sampah per tahunnya. 

Menurut Sustainable Travel International—lembaga nirlaba yang mengusung misi antara lain mendorong aktivitas wisata berkelanjutan—para wisatawan, entah itu wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara, umumnya menghasilkan sampah hingga dua kali lipat dibandingkan penduduk lokal. 

Jika mengambil rata-rata dalam sehari, seorang wisatawan memproduksi sekitar 1,67 kilogram sampah (Obersteiner et al, 2021). Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), para wisatawan menghasilkan setidaknya 4,8 juta ton sampah padat per tahun.

Jika tidak ditangani dengan baik, problem sampah ini sudah barang tentu bakal merugikan sektor pariwisata sendiri. Salah satunya yakni akan membawa citra buruk bagi destinasi wisata, yang akan berimbas kemudian pada enggannya para wisatawan untuk datang berkunjung. 

Dari aspek medis, sampah dapat menjadi sumber penyebaran dan penularan sejumlah penyakit yang pada gilirannya dapat memicu wabah. Di sisi lain, sampah juga merusak ekosistem tertentu. Misalnya, sampah telah terbukti merusak terumbu karang.

Dengan demikian, sampah yang dihasilkan wisatawan dapat memberikan tekanan yang cukup berat pada aspek kesehatan lingkungan yang ujungnya akan berimbas pada masa depan bisnis pariwisata itu sendiri. Belum lagi sampah-sampah yang dihasilkan dari sektor industri hospitality seperti hotel, restoran, katering, dan gedung konvensi.

Lantas, bagaimana solusinya?

Jika kita telisik lebih jauh, industri pariwisata dan hospitality umumnya menghasilkan dua jenis sampah padat. Yang pertama yaitu sampah plastik. Dalam hal ini, plastik sekali pakai yang menimbulkan permasalahan sangat serius bagi lingkungan dan keanekaragaman hayati. Laporan UNEP tahun 2021 bertajuk From Pollution to Solution: A Global Assessment of Marine Litter and Plastic, menyebut bahwa sampah plastik telah meningkat dari tahun ke tahun.

Menurut laporan tersebut, sekarang ini terdapat antara 75–199 juta ton sampah plastik di lautan. Pada tahun 2016 lalu, terdapat 9–14 ton sampah plastik masuk ke ekosistem perairan dunia. Diperkirakan, pada tahun 2040, jumlah tersebut bakal meningkat hampir tiga kali lipat menjadi 23–37 juta ton. 

Plastik adalah sampah laut terbesar, paling berbahaya dan paling persisten. Sampah ini menyumbang setidaknya 85 persen dari semua sampah di lautan. Menurut The National Trust, lembaga swadaya yang berbasis di Swindon, Inggris, dan hirau akan masalah-masalah konservasi, per satu kali kita melangkah di pantai, setidaknya kita akan menemui dua kepingan sampah—yang boleh jadi salah satunya, atau bahkan keduanya, adalah sampah plastik.

Diperkirakan pada tahun 2025 mendatang akan ada sekurangnya 1 ton sampah plastik untuk setiap 3 ton ikan, dan pada tahun 2050, jumlah sampah plastik justru akan melampaui jumlah ikan yang ada di lautan. Dengan kata lain, lautan akan lebih banyak dipenuhi sampah plastik daripada ikan (Gatehouse, 2019). 

Secara umum, ada dua jenis sampah plastik yang mencemari lautan. Pertama, plastik makro. Ini adalah plastik dengan diameter lebih dari 20 milimeter. Kedua, plastik mikro, yang diameternya kurang dari 5 milimeter. Pengelolaan sampah yang tidak memadai dan pembuangan yang sembarangan merupakan jalur utama masuknya plastik ke lingkungan laut. 

Tatkala hewan-hewan laut—termasuk ikan dalam hal ini—mengkonsumsi potongan sampah plastik, zat-zat kimia yang terdapat dalam plastik masuk ke dalam tubuh hewan. Dan ketika manusia mengkonsumsi hewan-hewan laut itu, zat-zat tadi pun lantas masuk pula ke dalam tubuh manusia. Hasil penelitian yang dilakukan Helene et al dan kemudian dipublikasikan baru-baru ini di jurnal Environmental Science & Technology menyimpulkan dari sekitar 10.500 bahan kimia dalam plastik, hampir 2.500, atau 24%, mampu terakumulasi dalam organisme hidup, termasuk manusia dan hewan, dan berpotensi meracuni tubuh atau menyebabkan kanker.

Jenis sampah padat kedua yang dihasilkan oleh industri pariwisata dan hospitality adalah sampah makanan. Sampah ini menjadi salah satu problem besar bagi lingkungan yang dewasa ini sedang kita hadapi. Organisasi Pangan Dunia (FAO) menaksir sekitar 1,3 miliar ton sampah makanan dihasilkan per tahunnya dan ikut bertanggung jawab terhadap terus menumpuknya gas rumah kaca di atmosfer, yang menyebabkan pemanasan global.

Sejumlah sumber menyebut, pada tahun 2030 mendatang, jumlah sampah makanan diperkirakan bakal meningkat sebesar 60 persen dan akan menimbulkan kerugian finansial sekitar 1,5 miliar dollar AS.

Wisata Regeneratif

Mempertimbangkan dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh industri pariwisata dan hospitality bagi lingkungan, belakangan ini muncul konsep yang disebut sebagai wisata regeneratif (regenerative tourism).

Selandia Baru disebut-sebut sebagai salah satu negara yang sukses mengembangkan wisata regeneratif. Tourism New Zealand, badan pariwisata resmi negara itu, dinilai telah berhasil mengajak semua wisatawan di negara itu untuk menepati Tiaki Promise. Ini adalah janji untuk merawat Selandia Baru, baik orang-orangnya, budayanya, tanahnya, lautnya, dan alamnya. Bunyi Tiaki Promise antara lain: “Saat bepergian di Selandia Baru, saya akan merawat tanah, laut, dan alam, melangkah dengan ringan dan tidak meninggalkan jejak; bepergian dengan aman, menunjukkan perhatian dan pertimbangan untuk semua; menghormati budaya, bepergian dengan hati dan pikiran terbuka.”

braga
Mungkinkah nantinya wisata regeneratif akan menjadi hal yang umum?/Djoko Subinarto

Menurut Pollock (2019), wisata regeneratif bertujuan untuk memulihkan kerusakan yang telah dilakukan terhadap alam, dengan menggunakan prinsip-prinsip alam, untuk menciptakan kondisi kehidupan untuk berkembang. Pollock berpandangan bahwa pendekatan regeneratif untuk industri pariwisata dapat dimulai dari rumah dan dari dalam diri kita sendiri, kemudian tempat kerja kita dan komunitas kita.

Sementara itu, dalam pandangan Bellato (2022), wisata regeneratif lebih merujuk kepada cara berpikir holistik di mana semua pemangku kepentingan, termasuk para wisatawan, membangun hubungan timbal balik yang saling menguntungkan dengan cara berupaya untuk secara aktif meningkatkan sistem sosial dan lingkungan serta menyelaraskan segalanya untuk menopang planet Bumi ini sehingga semua makhluk dapat berkembang.

Intinya, lewat pengembangan konsep wisata regeneratif diharapkan dapat kian meningkatkan kesadaran lingkungan para wisatawan sehingga akhirnya turut secara aktif berperan dalam mengembangkan aktivitas wisata yang lebih pro-lingkungan. 

Misalnya, dalam kaitannya dengan sampah yang dihasilkan wisatawan, wisatawan diharapkan selalu membawa kantong yang dapat dipakai berkali-kali untuk menggantikan kantong plastik sekali pakai saat berwisata. Ketika membeli sesuatu pada saat wisata, mereka diharapkan pula mampu menghindari membeli produk-produk yang menggunakan kemasan plastik dan mengupayakan untuk membeli produk-produk yang menggunakan bahan-bahan daur ulang.

Contoh lainnya yaitu dalam hal penggunaan transportasi. Para wisatawan diharapkan memilih menggunakan transportasi publik, berjalan kaki atau bersepeda ketika menuju destinasi wisata. Begitu juga dalam hal menggunakan air dan listrik ketika berwisata, para wisatawan menggunakannya secara bijak sehingga tidak terjadi penghamburan atau pemborosan.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Wisata Regeneratif, untuk Apa? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/wisata-regeneratif-untuk-apa/feed/ 0 36825
Film Horor dan Wisata Lokasi Syuting https://telusuri.id/film-horor-dan-wisata-lokasi-syuting/ https://telusuri.id/film-horor-dan-wisata-lokasi-syuting/#respond Tue, 20 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36690 Setelah lebih dari 2 tahun pandemi COVID-19 melanda Indonesia, tahun ini, saat curva menurun, pemerintah mulai mengizinkan sektor-sektor publik kembali beroperasi seperti biasa, termasuk bioskop. Salah satu genre film yang paling banyak ditonton adalah film...

The post Film Horor dan Wisata Lokasi Syuting appeared first on TelusuRI.

]]>
Setelah lebih dari 2 tahun pandemi COVID-19 melanda Indonesia, tahun ini, saat curva menurun, pemerintah mulai mengizinkan sektor-sektor publik kembali beroperasi seperti biasa, termasuk bioskop. Salah satu genre film yang paling banyak ditonton adalah film horor.

Menurut data dari website Film Indonesia, posisi pertama dan kedua dalam perolehan jumlah penonton pada tahun 2022 ditempati oleh film bergenre horor yaitu “KKN Desa Penari” dan “Pengabdi Setan 2: Communion”. Bahkan film KKN Desa Penari berhasil mencatatkan rekor sebagai film horor dan film Indonesia terlaris sepanjang masa, menggeser posisi film sebelumnya, “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1(2016)”.

Bisa dibilang, selama beberapa tahun terakhir, genre film horor menjadi salah satu genre yang paling diminati masyarakat Indonesia. Hal ini dimanfaatkan oleh para pembuat film hingga menjamurnya film-film horor yang ditayangkan di bioskop selama beberapa tahun terakhir. Uniknya, setelah filmnya ramai, para penonton film horor ini juga berusaha menyambangi lokasi-lokasi syuting dari film horor yang mereka tonton.

Film Horor Indonesia dari Waktu ke Waktu

Jika dibandingkan film horor barat, film horor Indonesia didominasi entitas gaib seperti hantu atau setan dibandingkan serial killer. Sosok-sosok hantu ini diperoleh  dari kepercayaan masyarakat Indonesia, bisa itu sosok yang diamini keberadaannya benar ada atau sosok imajinasi namun dekat dengan apa yang dipercaya masyarakat. Sejak dulu, banyak masyarakat Indonesia yang mempercayai dan meyakini keberadaan makhluk halus, kekuatan gaib, atau dunia supranatural yang mengandung hal mistik.

Budaya masyarakat yang seperti ini menurut Danandjaja tergolong sebagai bentuk folklor lisan. Dalam bukunya yang berjudul Folklor Indonesia tertulis bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan alat pembantu pengingat (mnemonic device). Folklor di Indonesia masih terus melanggeng dari satu generasi ke generasi lain, makanya, tidak heran kalau film horor Indonesia dengan sosok hantu sebagai ciri khasnya masih terus eksis sampai saat ini. 

Dalam tulisan Film Horor Indonesia: Dinamika Genre, Suma Riella Rusdiarti memaparkan bahwa film horor hantu memenangkan dominasi atas horor psikologis. Film horor hantu pertama Indonesia yaitu “Tengkorak Hidoep” (1941) bercerita tentang monster yang bangkit dari kubur dan ingin balas dendam pada reinkarnasi orang yang telah membunuhnya. Sedangkan film horor psikologis pertama di Indonesia yaitu “Lisa” (1971) menampilkan seorang Ibu tiri yang meminta orang lain untuk membunuh anak tirinya. 

Pada perkembangannya, di era sebelum 2000-an, film horor Indonesia banyak bertemakan mitos dan legenda rakyat yang bersifat tradisional dengan sosok identik hantu perempuan. Pemeran hantu perempuan yang dikenal sebagai ratu horor Indonesia adalah Suzanna. Suzanna banyak membintangi film horor Indonesia selama tahun 70-80an, contohnya film “Beranak dalam Kubur” (1971). Sayangnya pada 90-an film horor Indonesia mengalami penurunan. Baru di tahun 2001 film Jelangkung berhasil membangkitkan kembali minat masyarakat terhadap film horor Indonesia. 

Ramainya film horor semakin terlihat di tahun 2006-2007. Perbedaan film horor setelah 2000-an terlihat pada tema cerita yang sudah bukan hanya tentang legenda tradisional, melainkan bergeser dengan dominasi hantu perkotaan atau urban legend. Meskipun fokus cerita bergeser menjadi kontemporer, sosok-sosok hantu yang menjadi bintang di film horor Indonesia tetap sama berasal dari cerita yang sudah tersebar dari mulut ke mulut seperti “Rumah Pondok Indah” (2006) atau “Hantu Jeruk Purut” (2006). Selain itu juga terdapat dua dominasi sosok hantu yang tetap sama  yaitu pocong dan kuntilanak. Sekitar tahun 2008-2009, unsur komedi mulai menjadi bumbu yang terlihat di film horor Indonesia, seperti pada “Tiren” (2008) dan “Hantu Jamu Gendong” (2009). 

Menurut hemat saya, era baru dari film horor Indonesia dimulai di tahun 2017. “Pengabdi Setan”, “Danur” dan “Sebelum Iblis Menjemput” merupakan beberapa film yang paling banyak ditonton masyarakat di tahun itu. Di era ini, film horor bukan hanya tentang cerita yang sebelumnya sudah tersebar di masyarakat secara lisan, muncul kreativitas baru, meskipun masih ada pula film yang diadopsi dari cerita rakyat namun dimodifikasi mengikuti minat pasar saat tahun pembuatan film. 

KKN desa penari
Poster film KKN di Desa Penari/ Instagram @kknmovie

Di era baru ini juga alur cerita film seakan menjadi nilai jual tersendiri, para produser mencoba membuat penonton semakin ketakutan dan penasaran dengan cerita film yang alurnya dibuat tidak mudah tertebak. Seakan merupakan sebuah peluang besar, rasa penasaran ini dimanfaatkan oleh para pembuat film untuk membuat alur menjadi teka teki untuk dilanjutkan pada sekuel berikutnya. Tidak jarang para penonton mencoba menganalisis teka-teki itu dan menerka-nerka alur cerita di sekuel selanjutnya.

Masyarakat Indonesia sepertinya memang tidak bisa dilepaskan dari kisah gaib atau spiritual. Pasalnya di tahun 2019, sebuah sebuah utas Twitter berjudul ‘KKN di Desa Penari’ yang ditulis oleh pengguna bernama ‘SimpleMan’ atau @SimpleM81378523l menjadi viral. Utas ini bercerita tentang sekelompok mahasiswa yang tengah melakukan program KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa yang ternyata masih memegang teguh budaya lokal, seperti mensakralkan beberapa tempat dan percaya dengan keberadaan leluhur desa.

Kisah ini disebut-sebut terinspirasi dari kisah nyata, namun ada beberapa hal yang dirahasiakan dan disamarkan untuk melindungi identitas tempat dan tokoh yang ada di dalamnya. Meskipun begitu, banyak masyarakat yang menerka-nerka lokasi kejadian. Kisah ini kemudian diproduksi kembali dalam bentuk buku dan film. Namun karena terhambat pandemi Covid-19, film KKN di Desa Penari baru dirilis di tahun ini.

Sebuah Destinasi Wisata

Ternyata rasa penasaran penonton tidak cukup terpuaskan dengan menonton film, mereka juga penasaran dengan lokasi syuting dari film yang mereka tonton. Tidak sedikit lokasi syuting film horor yang ikut menjadi populer dan banyak dikunjungi oleh masyarakat, terutama film horor beberapa tahun belakang. Entah alasan apa yang mendorong mereka untuk menyambanginya, apakah alasan mereka ingin membuktikan bahwa lokasi syuting tersebut memang benar horor atau ada alasan lain. Karena tidak jarang para pemain atau crew film menceritakan di media tentang pengalaman mereka mendapat gangguan horor selama syuting. Hal ini bisa saja mendorong para penonton untuk membuktikan langsung lokasi tersebut.

Lokasi syuting film horor yang ramai dikunjungi menjelma menjadi sebuah destinasi wisata. Misalnya rumah dinas di bawah kepemilikan PTPN VIII yang sudah lama tidak ditempati. Rumah ini kemudian dikenal sebagai ”Rumah Ibu” setelah menjadi lokasi syuting film Pengabdi Setan. Lokasi ini sekarang sudah berubah menjadi salah satu destinasi wisata di Pangalengan, Bandung. Masyarakat setempat juga memanfaatkan situasi ini untuk membuka peluang usaha, seperti membangun kios makanan dan menjadi tour guide.

Desain dan hiasan di dalam rumah yang bergaya khas kolonial Belanda ini masih dibuat sama seperti di film, termasuk foto seram sosok ‘Ibu’ yang menempel di dinding. Bahkan kadang pengelola menghadirkan orang yang berdandan seperti sosok hantu ”Ibu” di lokasi tersebut. Hal ini semakin menarik minat wisatawan yang penasaran untuk berkunjung, terlebih lokasi rumah juga dikelilingi oleh pemandangan alam yang indah. 

Rumah Susun di daerah Bintara Jaya, Bekasi Barat yang menjadi lokasi syuting film “Pengabdi Setan 2: Communion” yang baru rilis tahun ini juga berhasil menarik minat penonton untuk berkunjung. Rumah susun yang sebelumnya sudah 15 tahun terbengkalai kini ramai dikunjungi orang-orang yang penasaran. Berbeda dari ”Rumah Ibu” di Bandung, bangunan yang memiliki 15 tingkatan ini tidak menyajikan atraksi wisata yang dapat dijadikan objek bagi pengunjung yang datang. Bahkan dari info yang beredar pengunjung hanya diizinkan masuk sampai lantai 4, karena bangunan ini tidak 100% sempurna dan sudah banyak area yang rusak, sehingga takut terjadi hal yang tidak diinginkan.

Di lokasi ini, pengunjung hanya bisa berswafoto dengan latar rumah susun kosong sebagai objeknya. Meskipun begitu, hal ini tidak mengurangi rasa penasaran pengunjung terhadap lokasi ini, terlebih aksesnya yang mudah, tidak jauh dari jalan raya dan tepat berada di belakang pasar yang masih aktif. Sepertinya lokasi ini memang belum siap menjadi destinasi wisata namun sejauh ini ramainya pengunjung sudah sedikit banyak memberi dampak positif bagi para penjual di pasar.

Berbeda dengan lokasi syuting film KKN Desa Penari. Dari sekian lokasi syuting yang dipakai, Jembatan di kawasan wisata Plunyon Kalikuning, Cangkringan, Sleman merupakan lokasi yang paling banyak dikunjungi orang yang penasaran dengan jalan utama menuju Desa Penari di film tersebut. Lokasi ini sebelumnya sudah termasuk lokasi wisata, kemudian semakin terkenal dan semakin banyak wisatawan yang datang setelah filmnya ramai. Di media sosial, saya lihat banyak berseliweran video pemandangan lokasi ini. Dari jembatan ini, wisatawan bisa menikmati pemandangan hutan pinus, suara gemericik air sungai dan jika cuaca sedang bersahabat bisa melihat Gunung Merapi. 

Jembtan plunyon
Jembatan Plunyon lokasi syuting KKN di Desa Penari/Instagram @btn_gn_merapi

Dari fenomena wisata lokasi syuting film horor ini sebenarnya bisa dimanfaatkan menjadi sebuah tempat yang menguntungkan. Pengelola atau masyarakat sekitar bisa membuatnya menjadi destinasi wisata baru atau mengembangkan destinasi wisata yang sudah ada, atau bisa juga mengalihfungsikan tempat tersebut menjadi lebih bermanfaat terutama lokasi yang dulu terbengkalai atau yang sepertinya belum siap menjadi tempat wisata, seperti Rumah Susun di Bintara Jaya. Pasalnya, penonton sudah mengenal lokasi-lokasi tersebut, akan sayang jika tidak dapat dimaksimalkan menjadi tempat yang menguntungkan bagi pengelola atau masyarakat sekitar. Akan lebih baik jika pemerintah setempat juga ikut membantu pengembangan lokasi-lokasi ini, karena ini bisa saja menguntungkan bagi budaya dan ekonomi masyarakatnya.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.


The post Film Horor dan Wisata Lokasi Syuting appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/film-horor-dan-wisata-lokasi-syuting/feed/ 0 36690
Menyusuri Jejak Sepak Bola Surabaya https://telusuri.id/menyusuri-heroisme-sepak-bola-dengan-bersepeda-bersama-subcyclist/ https://telusuri.id/menyusuri-heroisme-sepak-bola-dengan-bersepeda-bersama-subcyclist/#respond Wed, 14 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35779 Juni adalah bulan saat klub kebanggaan arek-arek Suroboyo, Persebaya berdiri. Untuk itu, sebuah komunitas sepeda di Surabaya bernama SubCyclist berinisiatif membangkitkan memori kolektif  klub Persebaya melalui kegiatan lawatan sejarah dengan bersepeda. Supaya kegiatan semakin semarak,...

The post Menyusuri Jejak Sepak Bola Surabaya appeared first on TelusuRI.

]]>
Juni adalah bulan saat klub kebanggaan arek-arek Suroboyo, Persebaya berdiri. Untuk itu, sebuah komunitas sepeda di Surabaya bernama SubCyclist berinisiatif membangkitkan memori kolektif  klub Persebaya melalui kegiatan lawatan sejarah dengan bersepeda. Supaya kegiatan semakin semarak, pengurus SubCyclist merekomendasikan peserta untuk memakai jersey bertemakan Persebaya atau kaos berwarna hijau sebagai alternatif. 

Pukul 06.30 pagi, peserta mulai berdatangan dan berkumpul di area sekitar Pasar Atum, sebuah pusat perbelanjaan yang telah berdiri sejak tahun 1972. Merasa peserta sudah cukup, pengurus SubCyclist memberikan sedikit gambaran kepada mengenai kegiatan meliputi pengarahan rute, lokasi persinggahan, hingga narasumber. Rute lawatannya sendiri yakni Jalan Bunguran–Jalan Dukuh–Jalan KH Mas Mansyur–Jalan Sultan Iskandar Muda–Jalan Sidorame–Jalan Sidotopo Lor–Jalan. Kapasari–Jalan Ngaglik–Jalan Tambaksari–Gelora 10 November.

Peserta
Peserta berhenti lampu lalu lintas Jl. Bunguran/Syahrul Anwar

Tangan telah memegang kemudi, dan siap mengayuh pedal, menandakan bahwa kegiatan telahkami mulai. Kami menyusuri ruas-ruas jalan sesuai dengan rute yang telah disepakati, di antaranya kawasan Pecinan hingga kawasan Ampel yang merupakan kawasan cagar budaya. Kedua kawasan tersebut menyimpan ilmu pengetahuan dan cerita sejarah sehingga pada 2014 lalu mendapatkan ketetapan sebagai kawasan cagar budaya. Pasca melewati kawasan Ampel, rombongan menuju Jalan Sidorame, menyusuri perkampungan dan kemudian singgah di Makam Karang Tembok. 

Persis di pintu masuk, tepatnya di sisi kanan, terdapat makam salah seorang pendiri Soerabaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) Mas Pamoedji yang berdampingan dengan makam RA. Soedjirah Pamoedji. Terdapat sebuah prasasti di area makam Mas Pamoedji yang berpayungatap semi permanen dari asbes dan berpenyangga besi dengan warna hijau. Pemilihan cat warna hijau ini berkaitan erat dengan warna yang menjadi identitas SIVB—berganti menjadi Persebaya. Di sekitaran area makam Mas Pamoedji, narasumber seorang sejarawan yang juga menjadi dosen sejarah UNESA, Rojil Nugroho Bayu Aji membagikan pengetahuannya kepada peserta mengenai sejarah pendirian SIVB. Ia juga menceritakanbiografi dari sosok Mas Pamoedji.

Mas Pamoedji lahir pada 28 Februari 1905 di Blitar, Jawa Timur. Ia seorang aktivis pergerakan nasional yang juga menjadi anggota Indonesische Studieclub (ISC), perkumpulan bentukan dari Dr. Soetomo. Pada 18 Juni 1927, Mas Pamoedji menjadi salah satu seorang yang mendirikan SIVB. 

Makam Mas Pamoedji
Makam Mas Pamoedji (Pendiri SIVB)/Syahrul Anwar

SIVB berdiri sebagai wadah perkumpulan bagi bumiputera khususnya di Surabaya untuk bermain sepak bola, saat itu sepak bola berkaitan eratdengan diskriminasi yang dilakukan oleh Belanda kepada bumiputera. Sementara itu, Soeratin Sosrosoegondo seorang lulusan Sekolah Teknik Tinggi di Mecklenburg Jerman yang kembali ke tanah air pada 1928 menilai bahwa sepak bola mampu mendorong semangat nasionalisme. Oleh karenanya, ia kemudian rajin melakukan pertemuan dengan perwakilan klub-klub bumiputera untuk menginisiasi terbentuknya sebuah organisasi induk sepak bola yang mampu mengakomodir sekaligus mengorganisir kepentingan klub-klub bumiputera. Hasilnya pada 19 April 1930, perwakilan dari Soerabaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB), Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB), Persatuan Sepakbola Mataram (PSM), Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB), Madioensche Voetbal Bond (MVB), Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM) mengadakan pertemuan di Yogyakarta dan menyepakati terbentuknya Persatuan Sepak Raga Seloeroeh Indonesia (PSSI) yang kini bernama Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.

Dari pemakaman Karang Tembok, rombongan kembali melanjutkan perjalanan dengan menyusuri Jalan Sidotopo Lor, melewati Jalan Kapasari, menerobos viaduct di Jalan Ngaglik, melalui Jalan Tambaksari dan berakhir dengan singgah di area Stadion Gelora 10 November, tepatnya di halaman luar dari pagar Mess Karanggayam. 

makam Mas Pamoedji
Peserta menengok ke makam Mas Pamoedji/Syahrul Anwar

Gelora 10 November menjadi pemberhentian terakhir sekaligus menjadi pelengkap kisah dari sejarah Persebaya yang menjadi kebanggaan arek-arek Suroboyo. Selain menjadi saksi dari laga-laga yang diselenggarakan di dalam stadion, Gelora 10 November juga menyimpan memori tersendiri dari pemain hingga para penggemar sepak bola.

Pada mulanya, Stadion Gelora 10 November hanya sebuah lapangan terbuka. Dulu bernama Lapangan Tambaksari. Lapangan ini menjadi markas bagi klub Soerabaiasche Voetbal Bond (SVB), sebuah perkumpulan sepak bola yang sebagian besar beranggotakan orang-orang Belanda. Di lokasi yang sama, pada 1932 terdapat peristiwa aksi boikot yang dipicu oleh diskriminasi yang dilakukan oleh Belanda kepada bumiputera, sehingga menyebabkan kerugian dari pihak penyelenggara pertandingan. 

Saat revolusi nasional berlangsung, Lapangan Tambaksari sempat menjadi tempat berkumpulnya massa untuk melakukan rapat raksasa. Selang beberapa tahun setelahnya, Lapangan Tambaksari menjadi markas klub Persebaya dan mengalami beberapa renovasi dengan ditambahkannya tribun sehingga merubah nama dari Lapangan Tambaksari menjadi Stadion Tambaksari. Menjelang pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) 1969, Stadion Tambaksari kembali mengalami renovasi dan berganti nama lagi menjadi Stadion Gelora 10 November. Penggantian nama ini bertujuan untuk mengingat peristiwa heroik yang terjadi di Surabaya. 

Tercatat, di stadion ini pernah menjadi tempat diselenggarakannya laga persahabatan dengan klub-klub Eropa seperti Arsenal, AC Milan, hingga PSV. Menimbang dari pentingnya nilai sejarah yang ada, saat ini Stadion Gelora 10 November berstatus sebagai bangunan cagar budaya yang tertuang melalui SK Walikota tahun 1996.

Ada kisah yang menarik dari setiap tempat, ada cerita yang unik dari setiap pengalaman yang telah dilalui tiap orang, sehingga menurut seorang filsuf romawi, Cicero berkata bahwa sejarah adalah guru kehidupan. Dengan demikian selalu ada pelajaran yang dapat dipetik dari setiap perjalanan kehidupan manusia. Perjalanan itu berakhir di Mess Karanggayam dan kemudian penyelenggara kegiatan mempersilahkan peserta untuk membubarkan diri.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Jejak Sepak Bola Surabaya appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-heroisme-sepak-bola-dengan-bersepeda-bersama-subcyclist/feed/ 0 35779
Kembali ke Fatubraun https://telusuri.id/kembali-ke-fatubraun/ https://telusuri.id/kembali-ke-fatubraun/#comments Sat, 10 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36520 Mungkin kita bisa saja sepakat bahwa tidak ada kesempatan kedua untuk mengubah kesan pertama, termasuk pada destinasi wisata yang kita tuju. Namun, kesan dan cerita baru selalu akan tercipta seiring jejak langkah perjalanan dan ragam...

The post Kembali ke Fatubraun appeared first on TelusuRI.

]]>
Mungkin kita bisa saja sepakat bahwa tidak ada kesempatan kedua untuk mengubah kesan pertama, termasuk pada destinasi wisata yang kita tuju. Namun, kesan dan cerita baru selalu akan tercipta seiring jejak langkah perjalanan dan ragam cerita yang tersimpan di dalamnya. 

Mengenang Fatubraun sejatinya adalah mengenang perjalanan pertama ke sana tahun lalu, menginap semalam, menyaksikan atraksi budaya Amarasi, menyatu dalam kebersamaan dengan teman-teman PMM 1 Undana, dan segala kepingan cerita lain di dalamnya. Hari ini, kembali lewat Modul Nusantara saya kembali melawat ke sana, di tempat yang sama, tetapi dengan orang yang berbeda dan ceritanya yang berbeda pula.

Penghujung September yang panas menjadi momen keberangkatan ke sana. Bersama Pak Thom dan rombongan mahasiswa kelompok 5 Modul Nusantara Undana, kami berangkat saat matahari benar-benar di atas kepala. Bisa dibayangkan betapa menyiksanya panas Kota Kupang yang menuntun keberangkatan kami ke sana.

Rombongan berangkat menggunakan tiga unit mobil, dan tentu saja yang paling menyita perhatian adalah munculnya Kijang milik Bapak Minggus. Kebetulan saya menumpang mobil ini bersama Gufron, Prasetya, Yazid, dan Adam. 

Duduk di samping Pak Minggus, saya pun menggali banyak cerita tentang mobil Kijangnya yang melaju begitu kencang sepanjang jalan ke Fatubraun. Menurut cerita Pak Minggus, Kijang ini merupakan Kijang kelahiran 1996. Kendati usianya tak lagi muda, pengalaman ke Fatubraun membuat saya terkagum-kagum dengan tenaga Kijang yang sempat saya ragukan sewaktu berangkat dari Kupang. 

Berbicara tentang Pak Minggus, paling tidak, saya menemukan tiga hal unik yang menjadi ciri khas sosok kelahiran Sumba ini. Pertama, Pak Minggus punya ciri khas dengan topi koboi yang dikenakannya. Kedua, ia selalu menyapa orang sepanjang jalan, entah itu sesama pengendara maupun masyarakat yang sedang beraktivitas di pinggir jalan. Ia percaya bahwa orang lain adalah bagian dari dirinya, dan sekadar menyapa di jalan adalah bagian dari bentuk menghargai keberadaan orang lain di sekitarnya. 

Ketiga, Pak Minggus juga adalah sosok yang gemar memotret. Ia kerap menghentikan mobil untuk sekadar mengambil gambar, mulai dari pemandangan, perkebunan penduduk, dan lain-lain sepanjang jalan. Baginya, memotret adalah cara mengabadikan momen dan setiap kesempatan yang pernah dijalani.

Seiring laju mobil yang tanpa ragu melewati jalur menuju Fatubraun, saya terus bercerita dengan Pak Minggus. Hingga tanpa terasa, kami akhirnya tiba di Fatubraun. Sembari menunggu dua mobil rombongan lainnya, kami berhenti di pinggir jalan untuk sejenak menikmati keindahan Pantai Teres yang tersaji di depan mata. Kami berbincang dengan Bapak Minggus yang tentu saja tak melepas ponselnya untuk mengabadikan momen. 

Begitu rombongan lain datang, kami lantas melaju menuju Pantai Teres. Menariknya kali ini kami mengambil rute yang berbeda. Jika tahun lalu kami mengambil jalur kanan dan menikmati Pantai Teres dari gazebo-gazebo yang telah ditata rapi, kali ini kami mengambil jalur kiri. Kendati kondisi jalan yang hampir sama, tetapi mengambil jalur kiri ternyata harus melewati beberapa titik yang rusak. 

Pondok Singgah
Foto di Pondok Singgah/Oswald Kosfraedi

Kami melaju dengan hawa panas yang kian terasa. Tanpa mengetahui di mana kami akan berhenti, kami hanya menikmati laju Kijang Pak Minggus yang sesekali dipacunya dengan begitu kencang. 

Setelah beberapa saat, rombongan kami akhirnya berhenti di pinggir jalan tempat di mana sebuah pondok singgah berdiri. Setelah diarahkan oleh Pak Thom dan Pak Minggus, kami akhirnya duduk di bale-bale pondok singgah tersebut. 

Kami berbagi banyak hal, tentu saja dengan cerita Pak Minggus yang begitu banyak. Selain rombongan kami, seorang warga setempat juga duduk di tempat itu. Awalnya Pak Minggus memperkenalkan bapak tersebut sebagai penjaga pondok singgah itu. 

Tanpa banyak bicara, bapak itu hanya memandang ke arah lautan, tanpa melibatkan diri dalam obrolan kami. Saya lantas berpindah dan mengambil tempat duduk di sampingnya. Saya membuka obrolan kami hari itu dengan memperkenalkan diri dan daerah asal saya. Setelahnya kami larut dalam obrolan beberapa topik, yang sebenarnya sengaja saya tanyakan pada beliau. 

Beliau ternyata warga asli di wilayah tersebut, dan seperti kata Pak Minggus, ia juga menjaga pondok singgah yang kami tempati dan lahan di sekitarnya. Menurutnya, lahan-lahan di sana dulunya adalah milik mereka, tetapi kemudian diberikan kepada orang-orang lain yang ingin menggunakan lahan tersebut, termasuk pondok singgah tersebut. 

Saya cukup heran ketika mendengar kata “diberikan”, dan lantas memastikan kembali perihal hal tersebut. Bapak itu sekali lagi mengatakan bahwa memang mereka memberikan tanah pada orang yang ingin menggunakannya. 

Logika saya berkutat pada pertanyaan bagaimana mungkin tanah yang demikian potensialnya diberikan begitu saja. Di tengah kebingungan tersebut, secara tiba-tiba beliau mengatakan bahwa tanah ini kan bukan kita yang punya, kita manusia hanya mengelolanya. Detik itu juga saya terdiam. 

Setelahnya saya mencoba memancing beliau dengan pertanyaan baru tentang kelebihan Pantai Teres. Menurutnya kelebihan Pantai Teres terletak pada hasil lautnya yang melimpah. Sebuah jawaban yang sebenarnya tidak terlintas dalam benak saya. 

Pondok Singgah
Seberes kegiatan di Pondok Singgah/Oswald Kosfraedi

Ia juga bercerita bagaimana ia tumbuh di wilayah tersebut hingga saat ini ketika Pantai Teres sudah semakin banyak dikenal dengan pembangunan wisatanya yang semakin maju. Ia mengutarakan perubahan besar yang terjadi setelahnya adalah menurunnya hasil laut. Namun, ia juga tidak menampik kenyataan bahwa pengembangan wisata Pantai Teres juga berdampak baik sehingga pantai itu semakin banyak dikenal, semakin ramai dikunjungi, dan semakin ditata dengan baik. 

Di tengah perbincangan kami yang makin panjang, kami diinstruksikan untuk beranjak ke Fatubraun guna melaksanakan kegiatan kebhinekaan hari ini. Saya lantas berpamitan pada beliau dan mengikuti rombongan kami bergegas ke Fatubraun.

Mobil lalu melaju ke Fatubraun. Di tempat parkir Fatubraun, kami lalu berhenti dan lantas mulai menapaki satu per satu anak tangga menuju puncak. Ah, Fatubraun. Rasanya baru kemarin kami larut dalam kebersamaan dengan teman-teman PMM angkatan 1. Hujan menyambut kami dengan derasnya, lalu larut dalam sharing kebudayaan Amarasi, mendirikan tenda, bercerita hingga larut, menyambut sunrise di puncak, hingga kembali dengan cerita yang lekat di ingatan hingga hari ini. 

  • Puncak Fatubraun
  • Puncak Fatubraun

Saya masih ingat baik, bagaimana waktu itu saya sempat kepikiran untuk tidak mendatangi Fatubraun lagi musabab kesan luar biasa bersama teman-teman PMM angkatan 1. Namun, akhirnya hari ini saya menginjakkan kaki kembali: di tempat yang sama, dengan orang yang berbeda.

Saya mengamati sekitar dengan alamnya tak asing juga kenangannya yang masih terekam jelas. Fatubraun menjadi tempat dengan kisah dan kesan terbaik di angkatan 1 dan kini menjadi pembuka di angkatan 2.

Kami lantas menapaki anak tangga menuju puncak. Tak ingin melewatkan kesempatan, kami lantas mengabadikan momen begitu kami tiba di puncak Fatubraun. Tawa kami mengalun satu di puncak Fatubraun. Sembari bergantian mengambil foto, kami saling berbagi cerita. 

Setelah hampir satu jam lebih, dengan matahari yang kian turun, kami lantas bergegas untuk pulang kembali ke Kupang. Sebelum pulang, terbesit ide untuk menggagas tagline kelompok 5 selama pelaksanaan Modul Nusantara dalam beberapa bulan ke depan. Alhasil, lahirlah “Kelompok 5 beda na. Sond jalan sond asyik”, dan hari itu  tagline  itu pun berkumandang untuk pertama kalinya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kembali ke Fatubraun appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kembali-ke-fatubraun/feed/ 1 36520
Yogyakarta: dari Tebing Breksi, hingga Malioboro https://telusuri.id/yogyakarta-dari-tebing-breksi-hingga-malioboro/ https://telusuri.id/yogyakarta-dari-tebing-breksi-hingga-malioboro/#respond Sun, 04 Dec 2022 17:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36261 Suara alarm dari ponselku mendebarkan gendang telinga, membuatku meregangkan tangan ke udara.  “Ah, masih pukul lima pagi. Lima menit lagi,” gumamku dalam hati. Akhirnya, badan ini baru beranjak dari kasur tiga puluh menit setelahnya. Selama...

The post Yogyakarta: dari Tebing Breksi, hingga Malioboro appeared first on TelusuRI.

]]>
Suara alarm dari ponselku mendebarkan gendang telinga, membuatku meregangkan tangan ke udara.  “Ah, masih pukul lima pagi. Lima menit lagi,” gumamku dalam hati. Akhirnya, badan ini baru beranjak dari kasur tiga puluh menit setelahnya. Selama dua hari kedepan, aku akan mengikuti Familiarization Trip yang diselenggarakan oleh Java Promo dan Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Aku dan rekan-rekan lain akan menelusuri empat kabupaten di Yogyakarta.

Jujur saja, rasanya senang tapi takut. Senang, tentu karena aku akan mengunjungi banyak tempat baru dan belajar banyak hal. Tapi, sebagai orang yang punya jiwa introvert cukup tinggi, kegiatan ini akan membuatku bertemu banyak orang baru dan membuat mentalku cukup lelah. 

Setelah acara pembukaan dan sambutan dari penyelenggara, rombongan kami berangkat mengunjungi Tebing Breksi. Dari sini, kami berpindah ke armada lain karena akan mengunjungi beberapa destinasi dengan rute dan jalan yang sulit dilalui kendaraan 2WD. Mobil-mobil jip yang berjajar di depan lapangan parkir pun menyambut kami. Mereka siap mengantarkan petualangan hari itu. Beruntungnya, cuaca Jogja sangat cerah, padahal dua hari sebelumnya Jogja terus diguyur hujan dari pagi hingga malam.

Mobil Jip
Menumpang jip mengitari kawasan Tebing Breksi/Mauren Fitri

Pak Danu memandu mobil jip yang aku tumpangi bersama tiga rekan lain. Beliau dulunya bekerja sebagai pemandu wisata sebelum memutuskan berganti profesi menjadi pengemudi jip. Pak Danu memiliki pengetahuan yang luar biasa mengenai kondisi warga di sekitar Tebing Breksi dan juga sejarah dari destinasi yang akan kami kunjungi. Sepanjang jalan, beliau menceritakan banyak hal. Salah satunya, cerita tentang warga yang dulunya bekerja sebagai penambang batu kapur di Tebing Breksi, yang kini mendapatkan keistimewaan untuk memilih bidang usaha lain ketika aktivitas penambangan berganti dengan aktivitas wisata.

“Ada dua pilihan yang diberikan: membuka usaha [warung] atau memiliki jip yang akan disediakan oleh pihak pengelola—dengan catatan satu keluarga hanya boleh memilih satu jenis usaha saja,” terang Pak Danu.

Melihat Candi Barong dan Banyunibo

Di desa yang terhitung tidak terlalu luas ini, ada beberapa candi yang sedang dalam proses restorasi dan ada juga candi yang sudah mengalami restorasi.  Pak Danu, yang berjalan di depan kami, kemudian menerangkan perbedaan candi Hindu dan Buddha.

“Candi Hindu atapnya runcing, sedangkan candi Budha atapnya berbentuk kubah.” terangnya.

Ini merupakan sebuah pengetahuan baru bagiku. Awalnya, aku cukup sulit membedakan candi Hindu dan candi Buddha sampai aku melihat altar pemujaannya yang berisikan arca, semisal arca Ganesha, Siwa, dan Buddha.

Kami memasuki kawasan Candi Barong dari arah halaman belakang. Berkat penjelasan Pak Danu, aku sudah bisa menebak latar belakang candi ini hanya dari atapnya. Beberapa orang pekerja lalu-lalang sambil membawa batuan yang akan digunakan untuk merestorasi candi ini.

Menurutku, kondisi Candi Barong tidak cukup baik. Bangunan depan candi sudah tidak terlihat bentuk aslinya. Beberapa bongkah batuan andesit tersebar acak di permukaan tanah, mungkin dulunya batu-batu ini juga merupakan bagian dari Candi Barong. Setelah berjalan naik melewati tangga, aku bisa melihat bangunan candi yang lebih rapi dan sudah tertata.

Kami melanjutkan perjalanan ke Candi Banyunibo yang berada tidak jauh dari Candi Barong. Candi Banyunibo lebih rapi karena proses restorasi yang sudah usai. Tidak ada lagi batuan andesit yang berceceran, semuanya sudah bersatu dalam sebuah bangunan yang tampak liat. Penasaran akan nama Banyunibo yang bermakna “air jauh” dalam bahasa Jawa, saya kemudian bertanya kepada Pak Danu.

Candi Banyunibo
Candi Banyunibo/Azlina Fitri

“Namanya benar Banyunibo, Pak?”

Beliau lalu menjelaskan bahwa nama Banyunibo ini diambil karena daerah di sekitar candi ini memiliki pasokan air dan tanah yang cukup subur. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa daerah atas atau lokasi tempat Candi Barong tadi dulunya tidak memiliki sumber air yang cukup baik atau relatif kering, maka dinamakan Banyunibo (air jatuh). Candi Banyunibo merupakan candi yang digunakan untuk pemujaan Dewa Siwa, beberapa Nandini (patung sapi) juga terlihat di candi ini sebagai representasi wahana Dewa Siwa.

Perjalanan menyusuri candi ini memberikan banyak sekali pelajaran baru dan kesenangan tersendiri.  Kebetulan, aku memang cukup suka dengan cerita para dewa Hindu.  Mendengar nama-nama familiar seperti Siwa, Brahma, dan Wisnu membuat hormon dopamin meningkat. Selanjutnya, aku juga mengunjungi tempat-tempat pembuatan kerajinan tangan di daerah Gunung Kidul. 

Melipir ke Desa Wisata Putat di Gunung Kidul

Tempat pertama yang aku kunjungi yakni Kerajinan Kayu Jati Eko Bubut yang merupakan pengolahan kayu jati menjadi alat-alat dapur seperti gelas, sumpit, piring, sendok, dan masih banyak lagi. Sebagai orang yang cinta barang-barang berbentuk dan berwarna aesthetic, aku membeli beberapa sebagai oleh-oleh.

Sambil memilih barang yang akan aku beli, telingaku mendengar Pak Eko yang sedang menceritakan usahanya ini. Ternyata, ia sudah menekuni Eko Bubut selama 14 tahun dengan total produksi bisa mencapai 10.000 item per hari. Hasil kerajinannya juga sudah diekspor ke mancanegara walaupun memang beliau masih menggunakan bantuan jasa eksportir.

Siang hari itu hujan turun cukup deras. Kami pun mengunjungi beberapa tempat kerajinan lainnya secara singkat—selain memang jadwal hari itu cukup padat. Dari tempat Pak Eko, kami menuju tempat pembuat topeng kayu di Joglo Batoer, Dusun Bobung, Desa Wisata Putat. Di desa wisata ini, dengan mudah kita menjumpai galeri dan workshop kerajinan kayu.

Aku mendapatkan kesempatan untuk membatik topeng kayu di sini. Proses pembatikan kayu kami lakukan di pada sebuah joglo terbuka. Di dalam joglo, berjajar beberapa kompor tradisional dengan wajan berisi lilin berdiri di atasnya. Penyelenggara kemudian membagi kami menjadi beberapa kelompok, satu kompor minyak kecil akan diisi sekitar 5-6 orang.  Selain itu, kami juga disambut penampilan bermain lesung oleh para ibu-ibu paguyuban Desa Wisata Putat.

Membatik menjadi hal yang cukup sulit untukku. Selain pergerakan tangan harus cepat, aku harus bersabar dan cekatan agar lilin panas yang sudah mencair tidak melebar ke bagian luar motif batik yang sudah di gambar sebelumnya. Karena tidak terbiasa, aku meneteskan beberapa lilin ke bagian luar dan membuat corak batik di topeng ku cukup berantakan. Tak apa, mungkin hasilnya tidak akan bagus? Tapi mungkin juga hasilnya akan jauh lebih menarik karena tetesan lilin yang tidak aku sengaja ini. Aku menerka-nerka bagaimana rupa topeng yang kubuat. Setelah proses pembatikan selesai, topeng akan diberikan pewarna dan dijemur selama beberapa jam hingga kering. 

  • Proses pewarnaan batik topeng
  • Membatik Topeng
  • Toko jati Pak Eko
  • lilin untuk membatik

Sambil menunggu hasil batik topeng, kami beranjak ke The Manglung makan untuk makan sore. Selain menikmati sajian sore, di sini aku bisa melihat Kota Yogyakarta dari ketinggian sembari berbincang dengan rombongan trip mengenai kegiatan hari ini. Tak lama kemudian, kami pun beranjak menuju ke penginapan karena hari sudah sore.

Jalan Kaki Sepanjang Malioboro

Hari kedua kegiatan Familiarization Trip berlanjut dengan mengitari salah satu jantung Kota Yogyakarta, yakni kawasan Malioboro dan Benteng Vredeburg. Sebagai orang yang tinggal di Jogja, mengunjungi Malioboro tentu bukan suatu hal yang asing. Cukup sering aku ke sini, apalagi saat ada teman dari luar kota berkunjung. Mereka, kebanyakan, memintaku menemani berkunjung ke sini entah hanya untuk jalan-jalan ataupun belanja untuk oleh-oleh.

Wajah Malioboro yang baru tampak familiar. 

Setelah diajak melihat-lihat teras Malioboro—tempat dimana para pedagang kaki lima yang tadinya berada di wilayah trotoar jalan Malioboro dipindahkan dan ditertibkan—kami kemudian mengunjungi Benteng Vredeburg. 

Ini adalah pengalaman pertamaku mengunjungi Benteng Vredeburg, yang membawa banyak sekali pengetahuan baru mengenai sejarah Indonesia dan khususnya Yogyakarta. Ada banyak diorama yang menggambarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia, mulai dari kisah Yogyakarta yang dulunya sempat dijadikan ibu kota Indonesia karena Batavia pada masa itu dikuasai oleh sekutu.

  • benteng vredeburg
  • Diorama Benteng Vredeburg

Selama dua tahun terakhir, semenjak pandemi, aku jarang dan bahkan hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang-orang baru. Oleh karenanya, dari perjalanan dua hari tersebut cukup membuatku merasa lelah secara mental. Meski begitu, perjalanan kali ini memberikan aku banyak pengetahuan baru yang membuat aku merasa lebih dekat lagi dengan kota yang baru aku tinggali selama kurang lebih satu tahun kebelakang ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Yogyakarta: dari Tebing Breksi, hingga Malioboro appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/yogyakarta-dari-tebing-breksi-hingga-malioboro/feed/ 0 36261
Babah Kuya Legendaris dan De Zon yang Nyaris Rata dengan Tanah https://telusuri.id/babah-kuya-legendaris-dan-de-zon-yang-nyaris-rata-dengan-tanah/ https://telusuri.id/babah-kuya-legendaris-dan-de-zon-yang-nyaris-rata-dengan-tanah/#respond Wed, 26 Oct 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=35316 Hari masih sangat pagi. Lalu-lintas masih lengang. Cuaca masih adem. Aku berada di seberang Hotel Surabaya, Jalan Kebon Jati, Bandung. Seorang pencari barang rongsokan melintas bersama gerobaknya di depanku. Ia berjalan melawan arus ke arah...

The post Babah Kuya Legendaris dan De Zon yang Nyaris Rata dengan Tanah appeared first on TelusuRI.

]]>
Hari masih sangat pagi. Lalu-lintas masih lengang. Cuaca masih adem. Aku berada di seberang Hotel Surabaya, Jalan Kebon Jati, Bandung. Seorang pencari barang rongsokan melintas bersama gerobaknya di depanku. Ia berjalan melawan arus ke arah barat.

Jalan Kebonjati melintang dari barat ke timur. Arus lalu lintas di jalan ini berlaku satu arah. Selain sejumlah penginapan, di Jalan Kebon Jati terdapat pula rumah sakit, rumah ibadah, rumah duka, sekolah, beragam jenis kedai makan, bengkel maupun toko-toko.

Aku langkahkan kaki perlahan menyusuri Jalan Kebon Jati hingga akhirnya aku bersua Jalan Suniaraja, di mana terdapat Terminal Stasiun Hall. Kulihat seorang polisi yang berjaga sedang menggeser-geser beton pembatas jalan ke tepi jalan.

Jalan Kebon Jati, Kota Bandung
Jalan Kebon Jati, Kota Bandung/Djoko Subinarto

Di depan terminal, lima kendaraan Elf jurusan Bandung–Panjalu terparkir. Di depan Elf, sebuah angkot hijau muda jurusan Stasiun Hall–Gede Bage berhenti, mencari sejumlah muatan.

Aku menyeberang dan belok ke Jalan Pasar Barat. Di mulut jalan, sebelah kanan dari posisiku berjalan, seorang pria penjual buah-buahan, berkaus oblong putih dan bercelana gelap, tengah menata jongko-nya. Pagi itu ia telah bersiap-siap membuka jongkonya. Sementara itu, jongko-jongko lain masih terlihat tutup. 

Aku susuri Jalan Pasar Barat hingga aku berada di depan Babah Kuya, toko herbal nan legendaris yang sampai sekarang ini masih berdiri kokoh di Kota Bandung.

Toko herbal ini sudah beroperasi sejak tahun 1800-an. Pendirinya yaitu Tan Shio, yang oleh warga sekitar kala itu dijuluki Babah Kuya. Ada dua bangunan toko milik Babah Kuya. Satu menghadap ke timur, di Jalan Pasar Barat. Satunya lagi menghadap ke utara, di pojokan antara Jalan Pasar Barat dan Pasar Selatan. Saban hari, Toko Babah Kuya tak pernah sepi pembeli. Aneka ramuan herbal tersedia di sini. Aku sendiri pernah beberapa kali membeli daun sembung dan daun sirsak di Babah Kuya, guna membuat ramuan herbal untuk ibuku.

Toko Jamu Babah Kuya Bandung
Toko Babah Kuya yang menjual obat herbal tradisional/Djoko Subinarto

Pagi itu, kedua Toko Babah Kuya masih tutup. Sebuah mobil putih terparkir di depan toko. Di seberangnya, seorang pengemudi ojek daring tengah menunggu order.

Aku terus melangkah. Dari Jalan Pasar Barat masuk ke Jalan Pasar Selatan. Kemudian, menyeberang Jalan Otto Iskandardinata dan masuk ke Jalan Pecinan Lama hingga ujung, dan akhirnya bersua dengan Jalan Banceuy. 

Jalan Banceuy sekarang lebih terkenal sebagai sentra onderdil mobil. Deretan toko maupun jongko yang menjual onderdil mobil, baik yang seken maupun yang anyar, berdiri sepanjang Jalan Banceuy. Dulu, di Banceuy ini pernah berdiri sebuah lembaga pemasyarakatan (LP). Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah dijebloskan ke LP Banceuy oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejak tahun 1983, LP di Banceuy itu beralih tempat ke Jalan Soekarno–Hatta. 

Khusus bagi para pecinta dan penikmat kopi, Jalan Banceuy boleh jadi memiliki tempat tersendiri di hati mereka. Pasalnya, di salah satu sudut Jalan Banceuy dan Jalan Pecinan Lama, berdiri pabrik dan toko kopi yang masyhur. Namanya Aroma. Pabrik dan toko kopi ini telah ada sejak tahun 1930-an. Dua jenis kopi tersedia di sini, robusta dan arabika. Antrean pembeli selalu terlihat di Aroma pada hari-hari kerja, saat toko melayani konsumen dari pagi hingga petang.

Dari pertemuan Jalan Banceuy dan Pecinan Lama, aku bergerak ke selatan. Tak terlalu lama, aku sampai ke Kantor Pos Besar Bandung, yang menghadap ke Jalan Asia–Afrika. Gedung Kantor Pos Besar Bandung dibangun pada tahun 1928 oleh J Ven Gendt, arsitek yang juga membangun Stasiun KA Manggarai. Di masa kolonial Belanda, Kota Bandung merupakan pusat pelayanan pos pemerintahan Hindia Belanda. 

Dulu, di depan Kantor Pos Besar Bandung berjejer penjual yang menawarkan aneka keperluan surat-menyurat dan alat-tulis. Saban menjelang Hari Raya Lebaran, para penjual itu selalu menyediakan kartu Lebaran aneka jenis dan ukuran. Di masa lalu pula, saban menjelang Lebaran, aku belanja kartu Lebaran di depan Kantor Pos Besar Bandung ini.

Kini, di era serba digital, nyaris tak ada lagi orang yang berkirim kartu lebaran. Ucapan selamat lebaran lebih lazim dilakukan via pesan instan dengan memanfaatkan akses internet. Lebih cepat, lebih praktis. Beda sekali dengan kartu lebaran. Setelah membeli kartu, kita harus menulis dan menandatangani, memasukkan ke dalam amplop, menempelkan perangko dan menuliskan alamat si penerima, serta mengirimkannya—sebelum kemudian sampai ke alamat yang dituju.

Tak begitu jauh dari Kantor Pos Besar Bandung, ke sebelah barat, berdiri deretan toko. Di antara deretan toko itu, ada bangunan yang hanya tinggal struktur bagian depannya saja. Di bagian atasnya tertulis: De Zon NV. 

  • Gedung Dezon NV
  • Gedung Kantor Pos Besar Kota Bandung

Merujuk data cagar budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, Gedung Dezon NV berdiri sekitar tahun 1925 dan kini telah menjadi salah satu bangunan pusaka Kota Bandung. Gedung ini bergaya art deco. Dulu, gedung ini adalah pertokoan besar di Kota Bandung. Pemiliknya merupakan seorang warga negara Jepang.

Sayang, sekarang gedung ini sudah tidak utuh sama sekali. Bagian dalamnya sudah benar-benar rata dengan tanah. Di dinding atas bagian depan gedung ini, terpasang banner kecil. Tertulis di banner itu: Proyek Whiz Prime Hotel Asia–Afrika Bandung.

Dari depan gedung De Zon NV, aku berjalan menyusuri trotoar ke arah barat. Sepanjang pagi itu, aku belum sarapan. Aku ingat ada tukang bubur ayam yang biasa mangkal di Jalan Jenderal Sudirman, dan punya banyak pelanggan. Aku menuju ke sana. 
Sembari berjalan, aku membayangkan betapa sedapnya menikmati bubur ayam hangat-hangat berkuah kuning kental, dengan taburan kedelai, brambang goreng, serta irisan seledri, dan bawang daun segar, di pagi nan cerah itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Babah Kuya Legendaris dan De Zon yang Nyaris Rata dengan Tanah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/babah-kuya-legendaris-dan-de-zon-yang-nyaris-rata-dengan-tanah/feed/ 0 35316