wonosobo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wonosobo/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Fri, 05 Jan 2024 10:28:42 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 wonosobo Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/wonosobo/ 32 32 135956295 Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo? https://telusuri.id/sebersih-apa-gunung-kembang-di-wonosobo/ https://telusuri.id/sebersih-apa-gunung-kembang-di-wonosobo/#respond Sat, 06 Jan 2024 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40833 Gunung Kembang tidak setinggi Lawu, Merbabu, Sumbing, atau Sindoro, “ibu kandungnya”. Namun, gunung ini punya sesuatu yang istimewa. Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman Saya akhirnya kesampaian pergi ke Gunung Kembang pada Agustus lalu. Namanya...

The post Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo? appeared first on TelusuRI.

]]>
Gunung Kembang tidak setinggi Lawu, Merbabu, Sumbing, atau Sindoro, “ibu kandungnya”. Namun, gunung ini punya sesuatu yang istimewa.

Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman


Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?
Tutupan hutan yang rapat di jalur pendakian Gunung Kembang via Blembem/Rifqy Faiza Rahman

Saya akhirnya kesampaian pergi ke Gunung Kembang pada Agustus lalu. Namanya sudah berseliweran di pikiran ketika gunung ini viral diadopsi oleh Eiger tahun 2022. Basecamp Skydoors, pengelola pendakian Gunung Kembang via Blembem, dianggap berhasil menerapkan peraturan ketat soal lingkungan dan keselamatan.

Program adopsi gunung tersebut merupakan pilot project dari tim EIGER Adventure Service System (EAST). Eiger bekerja sama dengan pengelola basecamp untuk memastikan pendakian gunung bebas dari sampah (zero waste mountain). Dalam acara yang digelar 19—20 Maret 2022, dilakukan kegiatan sharing session, pendakian bersama, dan aksi konservasi penanaman anggrek hutan. Hadir para pendaki legendaris, seperti Djukardi “Bongkeng” Adriana, Galih Donikara, dan Iwan “Kwecheng” Irawan.

Selain komitmen kuat soal lingkungan, sosok-sosok besar di dunia pendakian Indonesia tersebut juga memicu saya untuk segera menelusuri Gunung Kembang. Bahkan nama gunung ini belakangan baru saya tahu kalau letaknya persis di sebelah barat daya Gunung Sindoro. Makanya banyak orang menyebutnya anak Sindoro.

Karena waktu terbatas, saya memilih mendaki tektok. Naik dan turun di hari yang sama. Melihat jalurnya terlebih dahulu sebelum suatu saat mencoba menginap dan berkemah. 

Saya berangkat dari Magelang bersama istri saya dan adiknya, yang berarti membawa dua sepeda motor. Perjalanan dari Magelang ke Basecamp Gunung Kembang via Blembem, Wonosobo, memerlukan waktu tempuh sekitar dua jam.

Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo
Bagian dalam Basecamp Gunung Kembang via Blembem/Rifqy Faiza Rahman

Syarat utama: administrasi dan aklimatisasi

Basecamp Gunung Kembang via Blembem menempati kompleks bangunan gudang yang dahulu berfungsi menyimpan hasil panen teh. Lokasi basecamp memang dikelilingi perkebunan teh Bedakah yang menjadi bagian dari PT Perkebunan Tambi. Menurut Alfan atau Yayang, pengurus basecamp, pihaknya membuka jalur pendakian resmi pada 1 April 2018. Namun, perintisannya sudah dimulai pada 1997.

Bangunan utama basecamp yang terletak di ketinggian 1.339 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu cukup luas, kira-kira seukuran lapangan futsal. Bisa menampung puluhan orang. Selain posko kesehatan dan loket pembayaran, pihak basecamp menyiapkan beberapa peralatan pendakian yang bisa disewa. Tersedia pula jasa pemandu dan porter bagi yang memerlukan.

Fasilitas umum yang bisa diakses pendaki adalah toilet, musala, dan kantin sederhana. Toilet lebih banyak tersedia di luar basecamp. Di seberang basecamp merupakan lahan parkir motor dan mobil. Satu area dengan tempat pengecekan dan pemilahan sampah yang dibawa pendaki. Secara umum, kondisi basecamp cukup bersih dan nyaman.

Sekitar pukul 07.00, seorang petugas basecamp berkacamata bernama Arif, dengan jaket jenis down warna hijau menghampiri kami. Ia menyodorkan dua lembar kertas seukuran A5. Isinya daftar perlengkapan, makanan, minuman, dan obat-obatan yang dibawa. Dan selembar surat pernyataan denda sebesar Rp1.025.000 per item barang yang berpotensi sampah, tetapi dibuang sembarangan atau tidak dibawa turun.

Meskipun hanya mendaki tektok, ransel kami tetap dibongkar. Istri dan adiknya membawa tas kecil berkapasitas 10 liter. Sementara saya membawa ransel 55 liter, karena berisi cukup banyak bahan makanan—kentang rebus, roti tawar, buah—sekaligus melatih fisik. Plus, satu tas selempang untuk kamera. 

  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?
  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?

Logistik tersebut terlindungi trash bag plastik hitam di bagian dalam tas. Tujuannya mencegah rembesan air jika terjadi hujan. Tentu trash bag itu sendiri terhitung satu jenis barang berpotensi sampah. Kelengkapan lain yang terhitung berpotensi sampah adalah jas hujan plastik dan kemasan obat-obatan. Petugas tersebut juga meminta kami tetap membawa turun sampah organik.

Kami membawa sejumlah kotak makan untuk menyimpan bekal sarapan dan camilan yang kami bawa. Kami juga menyiapkan masing-masing dua botol air nonplastik untuk bekal minum. Jika suatu saat ingin berkemah, sudah pasti harus membawa jeriken. Pihak basecamp menyediakan beberapa tumbler dan kotak makan untuk dipinjamkan jika ada pendaki yang membutuhkan. 

Usai memilah dan meninggalkan beberapa barang yang tidak perlu dibawa, selanjutnya kami diarahkan untuk cek tensi dan suhu tubuh. Poskonya terletak di dekat pintu masuk basecamp. Tepat di sebelah loket pembayaran. Hasil tensi kami tercatat normal. Artinya, kami diizinkan mendaki. Kuncinya terletak pada aklimatisasi, penyesuaian dengan kondisi iklim dan lingkungan sekitar sebelum pendakian.

Selain ketentuan administrasi, aklimatisasi memang menjadi syarat utama yang harus dilalui pendaki Gunung Kembang via Blembem. Kondisi siap dihasilkan dari tubuh yang bugar, serta telah mendapat asupan makanan dan minuman yang cukup. Menurut petugas basecamp, pendakian tidak akan berhasil jika dilakukan dengan tergesa. Pendakian yang berhasil tidak hanya minim sampah, tetapi juga mampu menekan risiko kecelakaan karena cedera atau minimnya perlengkapan standar.

Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?
Menumpang truk bak terbuka menyusuri perkebunan teh ke Istana Katak/Rifqy Faiza Rahman

Dari perkebunan teh hingga hutan lumut

Secarik izin pendakian ditebus seharga Rp80.000 per orang. Perinciannya, 55.000 rupiah untuk tiket masuk, fasilitas basecamp, dan cek kesehatan. Lalu 25.000 rupiah adalah ongkos layanan antar jemput dengan truk bak terbuka dari basecamp ke shelter Istana Katak (1.564 mdpl). Syaratnya minimal ada lima orang, yang berarti harus bergabung dengan pendaki lain.

Seperti direstui alam, di saat bersamaan tim berisi tiga pendaki dari Semarang juga memiliki pikiran yang sama dengan kami. Menghemat tenaga dan waktu adalah alasan terbesar untuk menempuh 1,5 kilometer dengan jalur makadam di tengah perkebunan teh bak labirin. Lima belas menit terasa signifikan daripada berjalan kaki satu jam.

Truk oranye bertuliskan “SKYDOORS” itu mengantar kami ke sebuah lahan datar dekat Istana Katak. Sebelumnya sang sopir, yang juga bertugas di loket basecamp, begitu lihai memutar posisi truk terlebih dahulu sebelum kami turun. Arif, petugas yang mengecek perlengkapan kami tadi, membuka pintu bak belakang. Dari area shelter Istana Katak, keduanya menunjuk ke arah tanjakan menuju Kandang Celeng, yang masih berjarak sekitar 700 meter. Katanya, ikuti saja jalan makadam sampai bertemu gapura dan umbul-umbul ke pintu hutan di ketinggian 1.682 mdpl tersebut.

Berjalan di tengah perkebunan teh mengingatkan saya pada jalur pendakian Gunung Arjuno via Lawang, Malang, Jawa Timur. Treknya panjang. Pemandangan cenderung monoton, tetapi akan berpeluang menyesatkan saat malam karena banyaknya percabangan. Pagi itu saja, perkebunan teh di sekitar basecamp sedang berkabut. Mendung menggelayut cukup rendah.

  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?
  • Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo
  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?

Batas perkebunan teh dengan hutan ditandai dengan gapura bertuliskan “Selamat Datang di Kandang Celeng”. Nama itu menggelitik sekaligus bikin merinding. Pihak basecamp tidak mengada-ada. Celeng atau babi hutan liar memang jadi mamalia paling dominan di Gunung Kembang. Hutan lumut yang membentang di hadapan kami hingga tumbuhan semak mendekati puncak adalah habitat satwa yang hidup berkelompok tersebut.

Itulah salah satu alasan basecamp melarang pendaki berkemah di sepanjang jalur di dalam hutan Gunung Kembang. Selain bisa mengganggu jalur jelajahnya, toh kondisi lahan di setiap pos juga tidak ideal untuk mendirikan tenda. Ditambah potensi yang dihasilkan dari aktivitas berkemah. Maka pengelola hanya menyediakan tempat camp di dua tempat, yaitu Bongkeng Sunrise Camp (2.310 mdpl) dan Puncak Gunung Kembang (2.340 mdpl).

Kami seperti memasuki dimensi berbeda ketika mulai melangkah hanya sejengkal dari gapura menuju puncak. Terutama sepanjang jalur di dalam hutan, melintasi Pos 1 Liliput (1.853 mdpl), Pos 2 Simpang Tiga (1.955 mdpl), dan Pos 3 Akar (2.002 mdpl). Vegetasi yang sebelumnya homogen—berupa perkebunan teh—berubah total menjadi kawasan hutan lumut yang lembap, tetapi menyegarkan. Kalaupun hari itu cerah, rasanya cahaya matahari tidak terlalu mampu menembus tutupan hutan yang rapat. Kabut makin menambah nuansa magis.

Bentukan pohon-pohon yang unik membawa saya mengimajinasikan negeri dongeng macam di film-film fiksi. Ada satu area pepohonan yang dinamai Ekor Naga, letaknya di antara Pos 1 Liliput dan Pos 2 Simpang tiga. Memang tampilannya sesuai namanya. Hanya saja tidak ada bagian kepala dengan mata merah seram dan mulut bertaring yang menyemburkan api membara.

  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?
  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?
  • Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo?

Bagian lain yang menarik adalah jembatan kayu alami yang menyambut di Pos 3 Akar, 300 meter dari Pos 2. Jembatan tersebut pendek saja, melintasi ceruk serupa aliran sungai kecil yang kering dan tidak terlalu dalam. Saya lantas teringat latar hutan Fangorn, tempat bertemunya Aragorn, Legolas, dan Gimli dengan Gandalf The White di The Lord of The Rings: Two Towers (2002).

Suasana hutan yang hijau dan teduh membuat kami berjalan nyaman. Kontur belum terlalu menanjak ekstrem. Tanah yang pekat dan basah enak buat dipijak. Jarak antarpos di dalam hutan pun tidak terlalu jauh, kisaran 200—500 meter. Kami menempuh 1 jam 45 menit dari gerbang Kandang Celeng ke Sabana 2 (2.183 mdpl), area semak terbuka yang berjarak 430 meter dari Pos 3 Akar. Hari itu tidak banyak pendaki. Kami hanya berpapasan paling banyak dua rombongan yang turun setelah camp semalam di puncak. 

Sejauh mata memandang, jalur trekking di dalam hutan memang sangat resik. Taraf kebersihannya berada pada tahap yang tidak sampai membuat saya mengumpat dan geregetan, seperti kerap saya alami di sejumlah gunung lain. Satu atau dua sampah kecil yang berserakan saja sungguh merusak keindahan dan kelestarian gunung, serta mengundang kawanan celeng—atau hewan lain—untuk menyantap sumber makanan yang tidak semestinya. Sampah berperan besar mengacaukan rantai makanan alami satwa.

Puncak yang berdinding kabut

Jalur di dalam hutan tampak kontras ketika kami keluar dari hutan selepas Pos 3 Akar. Trek yang semula basah mendadak berubah kering dan berdebu sampai ke puncak. Sejumlah titik berkerikil sehingga bisa membuat kami terpeleset kalau tidak berhati-hati.

Vegetasi mulai terbuka, berganti menjadi ilalang dan tanaman semak lainnya. Sisi selatan-barat lereng Gunung Sindoro yang puncaknya tertutup kabut terlihat berselimut hutan rapat. Pemandangan itu sedikit melegakan hati, sampai akhirnya kami harus melihat seutas tali tampar putih menjulur di atas tanah di sepanjang ceruk sempit yang terjal. Tanjakan Mesra—namanya—adalah tantangan sepanjang hampir 150 meter yang harus dilewati sebelum bisa menghela napas kembali di Bongkeng Sunrise Camp (2.310 mdpl).

Pembuatan lokasi kemah Bongkeng Sunrise Camp yang diluncurkan bersamaan dengan pendakian bersama pada Maret 2022 bukan tanpa alasan. Tempat datar dan agak ternaungi pepohonan itu diberi nama demikian sebagai bentuk penghormatan pada dedikasi Kang Bongkeng—sapaan akrab Djukardi Adriana—terhadap dunia pendakian gunung yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan.

  • Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo
  • Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo

Jika ingin mendapatkan sudut panorama alam lebih luas, Puncak Gunung Kembang memang jadi opsi terbaik untuk nge-camp. Tanggung, tinggal menanjak tipis-tipis sejauh 100 meter lagi. Kami pun yang semula ingin istirahat sejenak setelah dihajar Tanjakan Mesra, sepakat untuk lanjut berjalan dan melepas lelah di puncak. Kami tiba pukul 13.30 atau hampir 4,5 jam perjalanan santai dari basecamp. Rombongan asal Semarang sudah tiba terlebih dahulu, sekitar setengah jam lebih cepat di depan kami.

Puncak tertinggi Gunung Kembang merupakan bagian cincin punggungan yang mengepung kawah mati bak padang rumput seluas dua hektare. Penandanya sederhana saja, berupa tiang bendera merah putih dan plakat yang memvalidasi keberhasilan pendaki tiba di puncak.

Di area puncak tersedia banyak titik berkemah. Diperkirakan bisa menampung puluhan tenda dome berkapasitas empat orang. Namun, pendaki tetap harus mewaspadai keberadaan celeng yang sewaktu-waktu bisa datang “bertamu”. Pendaki diimbau tidak membawa bahan makanan yang berbau terlalu menyengat. Pendaki juga harus mampu mengelola sampah mereka agar tidak secuil pun bertebaran di area tenda. Konsekuensinya jelas. Denda jutaan rupiah tampaknya lebih menakutkan ketimbang logistik direbut celeng. 

Kami segera membongkar isi tas dan mengambil bekal makanan. Beberapa potong kentang rebus, buah jambu kristal, dan roti tawar selai jadi menu makan siang yang terlambat 1,5 jam. Seandainya kabut terselak, pemandangan tentu jadi menakjubkan. Kami akan melihat Gunung Prau, Dieng, hingga Gunung Sumbing. Hanya puncak Sindoro saja yang sempat terlihat sepintas. Itu pun malu-malu dan memilih bersembunyi di balik halimun.

Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo
Kawah Gunung Kembang berlatar kabut yang menyelimuti Gunung Sindoro/Rifqy Faiza Rahman

Namun, tak mengapa. Kami bertiga sepakat, mampu sampai puncak dalam keadaan sehat sudah jadi bonus tersendiri. Justru kawasan hutan lumutnya yang menancap kuat di ingatan. Kami bisa menghirup oksigen murni darinya. Kami bisa melihat anggrek-anggrek hutan yang sedang bertumbuh di batang-batang pohonnya. Lalu peraturan yang tertib pada asas lingkungan, yang kemudian berdampak pada kebersihan jalurnya, jelas menambah nilai lebih dari rute Gunung Kembang via Blembem.

Itu yang membuat pendakian Gunung Kembang via Blembem berada di level berbeda. Sekalipun di Jawa Tengah ia tidak setinggi Sindoro, Sumbing, Merbabu, Slamet, atau bahkan tidak sepopuler Gunung Prau. Istri saya sampai bilang sejujur-jujurnya, “Kalau ada gunung yang pengin banget diulang, aku lebih memilih mendaki Gunung Kembang lagi.”

Harapan saya hanya satu. Semoga komitmen kuat menjaga hutan, terutama dari Yayang dan rekan-rekan Skydoors, tidak menemui kata lelah dan goyah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Sebersih Apa Gunung Kembang di Wonosobo? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/sebersih-apa-gunung-kembang-di-wonosobo/feed/ 0 40833
Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo https://telusuri.id/panduan-pendakian-gunung-kembang-via-blembem-wonosobo/ https://telusuri.id/panduan-pendakian-gunung-kembang-via-blembem-wonosobo/#respond Fri, 05 Jan 2024 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40821 Gunung Kembang merupakan satu dari tujuh gunung—dengan ketinggian di atas 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl)—yang jadi favorit pendaki di wilayah Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Enam gunung lainnya adalah Puncak Sikunir (2.300 mdpl), Gunung...

The post Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo appeared first on TelusuRI.

]]>
Gunung Kembang merupakan satu dari tujuh gunung—dengan ketinggian di atas 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl)—yang jadi favorit pendaki di wilayah Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Enam gunung lainnya adalah Puncak Sikunir (2.300 mdpl), Gunung Bismo (2.365), Gunung Pakuwaja (2.421 mdpl), Gunung Prau (2.590 mdpl), Gunung Sindoro (3.153 mdpl), dan Gunung Sumbing (3.371 mdpl). Adapun puncak tertinggi Gunung Kembang mencapai 2.340 meter (mdpl).

Orang-orang menyebut Gunung Kembang sebagai anak dari Gunung Sindoro, karena terletak persis di sebelah barat daya gunung yang memiliki kawah belerang aktif tersebut. Meskipun juga memiliki kawah di bagian puncak, bisa dibilang Gunung Kembang saat ini berstatus tidak aktif. Kawah yang disebut masyarakat dengan nama Bimo Pengkok tersebut biasanya akan terisi air saat musim hujan.

Selain keasrian hutannya, Gunung Kembang juga dikenal memiliki jalur pendakian yang sangat bersih. Khususnya di jalur Blembem, Kabupaten Wonosobo. Kondisi ini karena berlakunya peraturan pendakian yang sangat ketat oleh pengelola Basecamp Gunung Kembang via Blembem. Tujuannya tidak lain agar pendaki bertanggung jawab pada segala potensi sampah yang dihasilkan selama pendakian.

Tidak sedikit pendaki yang mengeluhkan ribetnya prosedur administrasi di Basecamp Gunung Kembang yang dikelola resmi oleh komunitas Skydoors sejak 1 April 2018 tersebut. Hal ini kadang berdampak pada rendahnya tingkat kunjungan pendaki per harinya. Namun, di sisi lain dengan sendirinya akan tersaring mana pendaki yang mau bertanggung jawab pada lingkungan ataupun sebaliknya. 

Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo
Bagian dalam Basecamp Gunung Kembang via Blembem/Rifqy Faiza Rahman

Diadopsi oleh Eiger

Kegigihan dan komitmen rekan-rekan komunitas pengelola basecamp Skydoors dalam menjaga kelestarian alam Gunung Kembang mendapatkan apresiasi dari Eiger. Jenama dan perusahaan perlengkapan outdoor asal Bandung tersebut membuat program Corporate social responsibility berupa adopsi gunung. Berkolaborasi dengan Skydoors mewujudkan pendakian gunung nol sampah (zero waste mountain) di Gunung Kembang via Blembem. 

Melalui tim EIGER Adventure Service System (EAST), Gunung Kembang menjadi sebuah pilot project untuk kampanye kegiatan petualangan ramah lingkungan yang bertanggung jawab kepada alam dan masyarakat. Program ini diluncurkan pada Maret 2022 yang ditandai dengan kegiatan sharing session, pendakian bersama, dan penanaman anggrek hutan. Hadir dalam acara itu Djukardi “Bongkeng” Adriana (73), pendaki senior legendaris sekaligus anggota Board of Expert di tim EAST. Kemudian Galih Donikara, Iwan “Kwecheng” Iriawan, dan Siska Nirmala, pemengaruh media sosial dari Zero Waste Adventure.

Program adopsi gunung tersebut juga bertujuan memberikan keamanan dan kenyamanan saat mendaki gunung. Secara keseluruhan, aspek-aspek pengelolaan pendakian gunung yang diadopsi mencakup pelayanan pos pendakian, penataan jalur, pengelolaan sampah, sampai dengan penerapan sistem administrasi. Tujuan terbesar penerapan sistem yang ketat dan terstruktur selain menjaga kawasan hutan bebas sampah, menurut Alfan alias Yayang, pengurus Basecamp Gunung Kembang via Blembem, juga untuk meminimalisasi potensi kecelakaan pendakian.

Salah satu jejak program tersebut paling jelas terlihat pada keberadaan Bongkeng Sunrise Camp di ketinggian 2.310 mdpl. Sekitar 100 meter sebelum puncak. Tempat datar dan agak ternaungi pepohonan itu diberi nama demikian sebagai bentuk penghormatan pada dedikasi Kang Bongkeng—sapaan akrab Djukardi Adriana—terhadap pendakian gunung yang bertanggung jawab. Bongkeng Sunrise Camp menjadi pilihan tempat berkemah yang ideal dan diizinkan pengelola, selain di areal puncak.

Buat kamu yang ingin mendaki Gunung Blembem via Blembem, baik dengan cara tektok maupun bikin tenda di Bongkeng Sunrise Camp atau puncak, panduan singkat ini bisa kamu jadikan pegangan untuk mempersiapkan diri sebelum melakukan pendakian.

Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo
Bongkeng Sunrise Camp/Rifqy Faiza Rahman

Yang Wajib Dipatuhi Pendaki Gunung Kembang

Sebelum mendaki Gunung Kembang, ada beberapa aturan yang harus diperhatikan dan dipatuhi pendaki. Setiap barang bawaan dan bahan makanan-minuman yang dibawa akan dicatat detail oleh pengelola basecamp. Baik yang berpotensi sampah—organik dan anorganik—maupun bukan. Untuk itu pendaki dianjurkan membawa kotak makanan dan botol minum reusable sendiri dari rumah.

Jika pendaki meninggalkan sampah di jalur pendakian dan tidak dibawa turun sesuai daftar logistik, maka akan dikenakan denda Rp1.025.000 per item. Berlaku segala jenis barang, besar atau kecil. Berikut larangan keras yang ditetapkan pengelola Basecamp Gunung Kembang via Blembem:

  1. Masuk kawasan tanpa izin
  2. Membuat jalur sendiri di luar jalur resmi
  3. Melakukan aktivitas vandalisme, menebang pohon, memetik edelweiss, dan merusak segala keanekaragaman hayati di dalam hutan
  4. Membuat api unggun, membawa kembang api dan petasan
  5. Membawa senjata api
  6. Membawa senjata tajam lebih dari 20 cm
  7. Mendirikan tenda di jalur pendakian
  8. Membuang sampah sembarangan
  9. Membawa botol air mineral kemasan sekali pakai dan tisu basah
  10. Membawa kantung plastik, kecuali trash bag

Jika terjadi kondisi darurat, jangan ragu menghubungi nomor telepon tertera di peta jalur pendakian yang terlampir bersama tiket masuk kawasan. Secara umum sinyal seluler beberapa operator masih bisa dijangkau hingga ke puncak.

Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo
Menyusuri perkebunan teh sebelum memasuki hutan Gunung Kembang/Rifqy Faiza Rahman

Peta Jalur Pendakian via Blembem

Bentang alam di sepanjang jalur pendakian Gunung Kembang via Blembem cukup variatif. Mulai dari perkebunan teh, hutan lumut, hingga sabana. Terdapat tiga pos utama dan sejumlah pos bayangan sebagai tempat istirahat. Trek sangat jelas dengan papan informasi di setiap pos dan sejumlah petunjuk arah di beberapa titik percabangan.

Bagian paling menarik dari jalur pendakian Gunung Kembang adalah kerapatan vegetasi hutannya. Terutama selepas pintu rimba Kandang Celeng hingga Pos 3 Akar. Sensasi lembap, basah, dan menyegarkan akan terasa di ketinggian mulai 1.682 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga menyentuh 2.000-an mdpl. Sisanya menuju puncak lebih didominasi oleh tanaman semak dan agak terbuka.

TelusuRI telah merekam track log pendakian Gunung Kembang via Blembem dengan GPS. Adapun elevasi dan jarak merupakan estimasi sesuai tercatat dalam alat navigasi GPS maupun peta pendakian. Silakan klik di sini untuk mengunduh tracklog pendakian dalam format GPX.

Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo
Jalur Pendakian Gunung Kembang via Blembem (diolah dengan aplikasi Garmin Basecamp dan Wikiloc)

Basecamp Skydoors (1.339 mdpl) — Istana Katak (1.564 mdpl): +1,5 kilometer

  • Untuk menghemat tenaga dan waktu, manfaatkan fasilitas antar jemput berbayar dengan truk bak terbuka dari basecamp ke Istana Katak
  • Rutenya melewati jalan aspal lalu ikuti petunjuk arah ke Gunung Kembang dengan memasuki jalan makadam agak menanjak di tengah perkebunan teh
  • Istana Katak merupakan shelter sederhana beratap seng, terdapat toilet dan bisa digunakan sebagai tempat berteduh
  • Estimasi: 10—15 menit (naik truk) atau 1 jam (jalan kaki)

Istana Katak (1.564 mdpl) — Pintu Hutan Kandang Celeng (1.682 mdpl): +700 meter

  • Perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki melewati jalur makadam agak menanjak di belakang shelter Istana Katak
  • Jalur lebar dan petunjuk arah cukup jelas
  • Setelah kurang lebih 600 meter berjalan, terdapat percabangan yang ditandai gapura dan umbul-umbul di kiri jalur, trek tanah berundak di tengah kebun teh menuju pintu hutan Kandang Celeng
  • Pos Kandang Celeng adalah batas vegetasi antara perkebunan teh dengan hutan
  • Estimasi: 30—45 menit

Pintu Hutan Kandang Celeng (1.682 mdpl) — Pos 1 Liliput (1.853 mdpl): +500 meter

  • Kontur jalur langsung menanjak berupa trap atau anak tangga tanah yang agak berlumpur dan licin saat hujan, lalu terdapat bonus trek datar di beberapa titik
  • Vegetasi mulai rapat dan terasa lembap khas hutan lumut
  • Pos 1 Liliput hanya berupa sepetak lahan datar yang dikelilingi pepohonan di tengah jalur pendakian, tanpa shelter atau bangunan apa pun
  • Tidak diizinkan membuka camp di Pos 1 Liliput
  • Estimasi: 20—30 menit

Pos 1 Liliput (1.853 mdpl) — Pos 2 Simpang Tiga (1.955 mdpl): +220 meter

  • Kondisi jalur masih sama, kombinasi trek tanah basah dengan kontur datar dan menanjak di tengah hutan rapat
  • Ada dua spot menarik di tengah perjalanan menuju Pos 2: (a) ember penampung air hujan di sisi kiri jalur setelah 10—15 menit berjalan dari Pos 1; dan (b) Ekor Naga, area pohon-pohon yang tumbuh menyerupai tubuh naga, berjarak 5—10 menit sebelum Pos 2
  • Pos 2 Simpang Tiga hanya berupa tanah datar sempit di tengah jalur
  • Tidak diizinkan membuka camp di Pos 2 Simpang Tiga
  • EstimasI: 20—30 menit

Pos 2 Simpang Tiga (1.955 mdpl) — Pos 3 Akar (2.002 mdpl): +300 meter

  • Salah satu rute terpendek di jalur ini, karena perubahan elevasi hanya naik sekitar 50 mdpl
  • Sebelum Pos 3 Akar terdapat jembatan kayu yang unik karena diapit pohon besar dan pohon lumut
  • Pos 3 Akar juga hanya berupa lahan datar yang sempit dan tidak diperbolehkan mendirikan tenda di sini
  • Estimasi: 10—15 menit

Pos 3 Akar (2.002 mdpl) — Sabana 2 (2.183 mdpl): +430 meter

  • Selepas Pos 3 Akar, vegetasi mulai terbuka lalu berganti dengan tumbuhan semak dan perdu
  • Trek berubah kering dan berdebu saat musim kemarau, terkadang licin karena berkerikil
  • Sebelum Sabana 2 juga terdapat pos Sabana 1 yang hanya berjarak lima menit dari Pos 3 Akar
  • Meski terdapat beberapa areal datar, Sabana 1 maupun 2 bukan tempat ideal untuk berkemah karena potensi lintasan celeng sangat tinggi
  • Estimasi: 15—20 menit

Sabana 2 (2.183 mdpl) — Tanjakan Mesra (2.243 mdpl): +150 meter

  • Meski elevasi dan jarak terbilang pendek, tetapi trek cukup terjal sehingga diperlukan alat bantu berupa tali tampar putih yang terikat di akar pohon
  • Diharapkan lebih waspada saat turun karena lebih berbahaya ketimbang naik
  • Estimasi: 20-30 menit

Tanjakan Mesra (2.243 mdpl) — Bongkeng Sunrise Camp (2.310 mdpl): +130 meter

  • Trek masih menanjak dengan jalur zig–zag dan vegetasi makin terbuka nyaris tanpa tanaman peneduh
  • Bongkeng Sunrise Camp berada di sisi kanan jalur dan menjadi pilihan tempat berkemah selain di puncak, dari sini kawah Gunung Kembang yang terdapat tampungan air di dasarnya juga tampak jelas
  • Jika ingin turun ke dasar kawah, terdapat percabangan menurun dan curam tak jauh dari Bongkeng Sunrise Camp
  • Kelebihan berkemah di area ini adalah posisi yang lebih dekat dengan pemandangan ke arah matahari terbit
  • Waspada pada kedatangan kawanan celeng yang mungkin melintas saat sore atau malam, sehingga wajib menyimpan bahan makanan dan logistik di tempat yang aman
  • Estimasi: 10—15 menit

Bongkeng Sunrise Camp (2.310 mdpl) — Puncak Gunung Kembang (2.340 mdpl): +100 meter

  • Dari Bongkeng Sunrise Camp, dataran puncak sudah terlihat dengan tanda tiang bendera merah putih
  • Kontur agak menanjak dengan meniti punggungan barat kawah di antara ilalang
  • Dataran puncak sangat luas dan bisa menampung puluhan tenda dome berkapasitas empat orang
  • Waspada pada kedatangan kawanan celeng yang mungkin melintas saat sore atau malam, sehingga wajib menyimpan bahan makanan dan logistik di tempat yang aman
  • Saat cuaca cerah pemandangan akan terbuka leluasa nyaris 360 derajat, antara lain Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Prau, Dieng, hingga Gunung Slamet
  • Estimasi: 5—10 menit
Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo
Hutan lumut yang rapat dan meneduhkan di jalur pendakian Gunung Kembang via Blembem/Rifqy Faiza Rahman

Lokasi Basecamp, Akses Transportasi, dan Tarif Pendakian

Basecamp pendakian Gunung Kembang dikelola oleh komunitas Skydoors. Letaknya berada di kaki Gunung Sindoro di area Blembem, Dusun Kaliurip, Desa Damarkasiyan, Kecamatan Kertek, Wonosobo, Jawa Tengah. Basecamp ini menggunakan kompleks bangunan bekas gudang penyimpanan hasil panen dari perkebunan teh Bedakah. Berada di ketinggian sekitar 1.339 mdpl, suhu di sekitar basecamp sangat sejuk dan sering berkabut. 

Tidak terdapat angkutan umum langsung ke basecamp. Titik terakhir yang dilalui bus adalah Terminal Mendolo Wonosobo (7,2 km). Adapun kota-kota terdekat yang bisa dilalui kereta api adalah Semarang (109 km), Yogyakarta (95 km), dan Purwokerto (98,5 km). Pilihan terbaik selanjutnya adalah menyewa jasa transportasi lokal milik basecamp atau membawa kendaraan pribadi dari daerah asal.

Fasilitas basecamp cukup lengkap dan bersih. Tersedia kantin sederhana dengan menu makanan ala Jawa, pos pengecekan kesehatan, instalasi pemilahan sampah organik-anorganik, selasar beralas tikar untuk tempat istirahat, rental alat pendakian, musala, dan toilet. Pendaki juga bisa menyewa jasa pemandu maupun porter di sini.

Tarif pendakian sebesar Rp80.000 per orang, sudah termasuk tiket masuk, cek kesehatan (suhu tubuh dan tensi), dan jasa angkutan truk bak terbuka senilai Rp25.000 untuk antar jemput basecamp ke shelter Istana Katak—dengan catatan minimal lima orang.

Narahubung basecamp:
0822 2673 0490 (Telepon)
0813 9267 6522 (Whatsapp)
0822 4432 2438 (Whatsapp)

Pemutakhiran terakhir pukul 11.00 WIB, 05/01/2024.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Panduan Pendakian Gunung Kembang via Blembem Wonosobo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/panduan-pendakian-gunung-kembang-via-blembem-wonosobo/feed/ 0 40821
Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo https://telusuri.id/mendaki-gunung-bismo-via-sikunang-wonosobo/ https://telusuri.id/mendaki-gunung-bismo-via-sikunang-wonosobo/#respond Mon, 30 Oct 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39976 “Effort minimal, view maksimal” adalah slogan yang cocok untuk menggambarkan pendakian ke Gunung Bismo. Gunung yang masih berada dalam kawasan Dieng, Kabupaten Wonosobo ini menawarkan pesona alam yang ajaib. Apalagi bagi para pendaki pemula maupun...

The post Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo appeared first on TelusuRI.

]]>
Effort minimal, view maksimal” adalah slogan yang cocok untuk menggambarkan pendakian ke Gunung Bismo. Gunung yang masih berada dalam kawasan Dieng, Kabupaten Wonosobo ini menawarkan pesona alam yang ajaib. Apalagi bagi para pendaki pemula maupun pendaki yang tidak ingin menghabiskan waktu berhari-hari untuk mencapai puncak. Hanya sekitar dua jam perjalanan, pendaki sudah dapat merasakan keindahan tujuh gunung dalam sekali waktu dari ketinggian sekitar 2.365 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Gunung Bismo mungkin kurang populer daripada Gunung Prau yang lokasinya tidak terlalu berjauhan. Padahal Gunung Bismo juga menawarkan bentang alam yang menakjubkan.

Suatu siang, saya bersama dua teman mengawali perjalanan dari Yogyakarta menuju Dieng untuk melihat secara langsung keindahan Gunung Bismo. Kami memutuskan mendaki Gunung Bismo via Sikunang, Kecamatan Kejajar. Tidak ada pertimbangan khusus, hanya karena basecamp itulah yang pertama kali kami temukan.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Basecamp Gunung Bismo via Sikunang/Laillia Riani

Setibanya di basecamp, kami beristirahat sebentar dan menata kembali barang bawaan yang akan kami bawa naik ke puncak. Menata barang bawaan dengan baik akan mempermudah perjalanan sekaligus mengurangi beban pada tas carrier. Untuk berjaga-jaga, kami memutuskan untuk packing basah, yaitu mengemas semua barang dalam kantong tahan air. Sebuah cara terbaik mengingat cuaca yang tidak bisa kami prediksi. 

Saat itu kondisi basecamp cukup ramai. Terdapat beberapa rombongan yang juga hendak mendaki di hari itu. Rasanya masuk akal karena waktu akhir pekan di musim kemarau adalah waktu yang tepat untuk mendaki gunung dan melepas penat.

Memulai Langkah Pertama

Usai menata barang bawaan, kami memulai pendakian tepat pukul 17.30 WIB. Perjalanan dari basecamp menuju Pos 1 melewati perkampungan dan persawahan milik warga. Jalur cukup mudah dengan tanjakan yang masih minim. Kami hanya memerlukan waktu sekitar 15—20 menit untuk sampai di pos pertama.

Ketika kami tiba di Pos 1, langit Dieng perlahan meredup. Cahaya jingga mulai menguasai dan suara azan Magrib berkumandang. Silih berganti dari masjid satu ke masjid yang lain. Kami duduk sebentar menunggu azan selesai. Tak lama, perjalanan kami lanjutkan dan mulai dari sinilah Gunung Bismo menampakkan keistimewaannya.

Jalur pendakian dari Pos 1 menuju Pos 2 mulai bergelombang. Walaupun demikian masih tergolong aman karena penduduk setempat sering menggunakan jalur tersebut ketika hendak berladang. Terdapat dua jalur yang bisa pendaki pilih, yaitu jalur landai atau curam.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Papan informasi Pos 2 Gunung Bismo via Sikunang/Laillia Riani

Karena menganggap bahwa trek curam lebih cepat, kami memilih jalur tersebut. Namun, kami kemudian menyesali keputusan ini. Setelah bertemu penjaga warung di Pos 3, beliau bilang jika jalur landai justru lebih cepat dan medannya lebih mudah.

Langit benar-benar gelap seutuhnya ketika kami mencapai Pos 3. Saat itulah kerlip lampu-lampu di Dieng mulai terlihat dari ketinggian. Sepanjang perjalanan, alam menyuguhkan kami pemandangan yang mengagumkan. Rasanya seperti berjalan di tempat-tempat wisata, seperti paralayang atau Bukit Bintang. Pemandangan tersebut membuat perjalanan kami tidak begitu terasa melelahkan. Apalagi udara sejuk yang menyelimuti Dieng, membikin perjalanan kami kian menyenangkan. Panorama Dieng dari ketinggian itu kemudian menemani perjalanan kami hingga ke puncak.

Mencari Tempat Berkemah

Jika pendakian di gunung lain umumnya melewati hutan-hutan lebat, Gunung Bismo tidak demikian. Pohon-pohon rimbun seperti terpusat di beberapa titik saja. Sisanya hanya berupa lembahan dan ladang penduduk yang asri. Masyarakat Sikunang benar-benar mendesain jalur ini menjadi sangat ramah bagi pendaki.

Tidak lama berjalan, kami mencapai satu-satunya warung yang berdiri di sekitar Pos 3. Warung itu menjual air mineral, mi instan, dan aneka gorengan. Penjualnya adalah laki-laki yang sudah berumur. Kami beristirahat sebentar di warung tersebut sembari bertanya lokasi camp terbaik untuk kami berkemah malam ini.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Lampu-lampu permukiman Dieng di malam hari dari ketinggian Gunung Bismo/Laillia Riani

Bapak penjaga warung pun menjelaskan, “Ada banyak puncak, Mbak, di sini. Paling dekat dari sini ada Puncak Nemu-nemu, lalu Puncak Tugel, dan paling tinggi ada Puncak Indraprasta. Tapi pendaki enggak boleh camp di puncak, soalnya takut angin kencang. Bahaya. Nanti setelah puncak Tugel itu, ada camping area. Biasanya pendaki camp di situ. Tapi kalau mau jalan sedikit lagi nanti akan nemu lokasi yang bagus juga buat camping. Kalau jalan pasti nanti tahu sendiri lokasinya. Semoga belum dipakai orang.”

Setelah mendengar informasi tersebut, kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak Tugel yang katanya tidak jauh lagi. Langit begitu cerah malam itu. Cahaya bulan dan gemerlap bintang seolah menerangi perjalanan kami. Keindahan ini semakin nyata ketika akhirnya kami tiba di Puncak Tugel.

Kami mulai mencari camping area usai puas menikmati suasana malam di puncak Tugel, yang sudah berisi sekitar lima tenda besar. Teringat kata bapak penjaga warung tadi, kami mencari lokasi camp yang beliau maksud.

Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
Berpose di Puncak Tugel Gunung Bismo saat akan turun/Laillia Riani

Kami terus berjalan hingga akhirnya kami menemukan sebuah area datar yang hanya cukup untuk satu tenda. Di area ini terdapat pohon yang menghalangi angin yang mulai bertiup kencang bersamaan dengan suhu udara yang kian menusuk. Kami pun memutuskan segera membangun tenda. Lokasinya seperti private camp karena hanya  ada tenda kami saja. 

Selepas tenda berdiri, kami memutuskan lekas beristirahat agar besok pagi bisa mengejar matahari terbit. Rasanya dingin yang luar biasa menyelimuti dataran tertinggi di wilayah Wonosobo malam itu. Baju berlapis dan sleeping bag ternyata tidak cukup untuk menghalau suhu Gunung Bismo yang seperti membeku.

Pemandangan Tujuh Gunung dari Puncak Indraprasta

Keesokan harinya, lamat-lamat kami mendengar langkah kaki di sekitar tenda. Tandanya pagi sudah datang dan orang-orang sudah bersiap menyaksikan matahari terbit. Kami pun tak ingin ketinggalan. Kami segera mengemas barang-barang yang perlu kami bawa, mengunci tenda, lalu berangkat ke puncak tertinggi Gunung Bismo, Puncak Indraprasta.

Cahaya emas matahari pagi perlahan mulai meninggi. Suasana dingin berangsur hangat bersamaan dengan pemandangan yang makin terlihat jelas. Gunung-gunung api Jawa Tengah yang berjajar di sekitar Gunung Bismo.

  • Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo
  • Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo

Dari Puncak Indraprasta, kami bisa memandang Gunung Sumbing dan Sindoro yang begitu gagah. Di sebelah timur terdapat Gunung Prau yang memanjang. Di sudut antara ketiga gunung itu, tampak dari kejauhan Gunung Merapi, Merbabu, dan Lawu. Tak lupa Gunung Slamet juga terlihat di ujung barat. Tidak hanya itu, Bukit Sikunir dan Gunung Kembang pun tak absen dari sajian panorama pagi itu.

Kami melihat pemandangan berbeda tatkala mengedarkan mata ke arah Dataran Tinggi Dieng. Terdapat petak-petak ladang sayur milik penduduk setempat yang sekilas tampak menawan dan berwarna-warni.

Setelah puas menikmati puncak Gunung Bismo, kami kembali ke tenda untuk menyiapkan sarapan dan kemudian berkemas. Tepat pukul 10.00, kami turun gunung. Bagi kami, Gunung Bismo benar-benar meninggalkan kesan indah yang tak terlupakan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mendaki Gunung Bismo via Sikunang Wonosobo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/mendaki-gunung-bismo-via-sikunang-wonosobo/feed/ 0 39976
Tembakau Garangan: Pengetahuan Lokal Masyarakat Dieng (2) https://telusuri.id/tembakau-garangan-pengetahuan-lokal-masyarakat-dieng-2/ https://telusuri.id/tembakau-garangan-pengetahuan-lokal-masyarakat-dieng-2/#respond Wed, 16 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39608 Belum puas berkunjung di sekitar Pasar Induk Wonosobo, saya memutuskan untuk melaju ke daerah Dieng. Dataran tinggi yang menjadi pusat pariwisata Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Menurut tutur informasi yang saya terima, masyarakat Dieng memiliki tradisi...

The post Tembakau Garangan: Pengetahuan Lokal Masyarakat Dieng (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Belum puas berkunjung di sekitar Pasar Induk Wonosobo, saya memutuskan untuk melaju ke daerah Dieng. Dataran tinggi yang menjadi pusat pariwisata Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Menurut tutur informasi yang saya terima, masyarakat Dieng memiliki tradisi dan pengetahuannya sendiri terkait tembakau garangan. Selain memang Dieng terkenal sebagai lahan yang cocok untuk menanam tembakau.

Saya melaju dari arah kota selama satu jam untuk sampai ke Dieng. Jarak yang saya tempuh tidak terlalu jauh. Namun, arus lalu lintas yang begitu padat dan kontur jalan menanjak membuat saya cukup lama menghabiskan waktu di jalan.  

Ketika sampai di kawasan Dieng, saya cukup kewalahan dengan suhu rendah yang menusuk kulit. Saya sampai harus memakai dua jaket sekaligus. Maklum, saya terbiasa hidup di pesisir sehingga cukup kaget dengan kondisi tersebut.

Seorang pemuda gimbal bernama Fizi sudah menanti-nanti kehadiran saya. Sebelumnya saya sudah menjalin kontak untuk berkunjung ke tempatnya. Fizi adalah sosok yang ramah. Ia kerap memaksa saya menginap di rumahnya, lantaran kondisi tubuh saya yang tidak memungkinkan untuk pulang saat itu juga.

Tembakau Garangan: Pengetahuan Lokal Masyarakat Dieng (2)
Tembakau garangan khas Dieng, Wonosobo/Mohamad Ichsanudin Adnan

Beda Tembakau Garangan dari Pasar dan Dieng

Selama berada di rumahnya, saya sempat memerhatikan ayah Fizi khusyuk melinting tembakau garangan. Saat itu kami sedang seru-serunya membicarakan tentang bola, karena apalagi bertepatan dengan momen Piala Dunia FIFA Qatar 2022. Saya pun tidak mau kalah menunjukkan tembakau garangan yang saya beli di toko Pak Tanir sebelumnya.

Ketika saya mengeluarkan tembakau itu dari tas kecil saya, sontak mereka terkejut. Mereka tidak menyangka bila ada orang dari luar Wonosobo yang mengenal komoditas tersebut. Saya sendiri mengaku kalau mengenalnya baru-baru ini, bahkan melintingnya pun masih kaku.

Jika mengamati lebih lanjut, tembakau yang saya beli di pasar ternyata memiliki bentuk dan wujud berbeda dengan jenis tembakau yang masyarakat Dieng miliki. Tembakau yang ada di pasar cenderung berbentuk sampai gepeng agar tidak kemasukan angin. Waktu penyimpanannya pun bisa sangat lama sehingga bentuknya menjadi kotak dan sulit untuk melinting tembakau garangan tersebut. Adapun tembakau yang belum masuk ke pasar cenderung terurai dan mudah sekali melintingnya. 

Ayah Fizi mengaku mendapatkan tembakau dari petani yang berada di Kecamatan Kejajar. Daerah tersebut juga merupakan lokasi yang tepat untuk mencari garangan, karena banyak dari warganya yang masih menanam tembakau. Sementara di daerah tempat tinggal Fizi, lahan tembakau sudah beralih menjadi komoditas lainnya, seperti carica, kentang, dan tanaman sayur lainnya. 

Tembakau di Kejajar terbilang cukup murah daripada membelinya di pasar. Hal tersebut karena proses jual beli yang berhadapan langsung dengan petani. Tanpa perantara sama sekali. Meskipun demikian, tembakau tersebut cenderung masih terurai sehingga daya simpannya tidak selama yang ada di pasar..

Pengetahuan Lokal Tembakau Garangan Dieng

Saya yang terbilang belum lama mengenal garangan, sontak mengajukan beberapa keresahan lain mengenai tembakau yang saya pegang ini. Belakangan saya kerap menjadikan tembakau garangan sebagai rokok utama, menggantikan rokok bungkusan yang bisa saya beli di warung. Sejak mengonsumsi tembakau garangan, saya jadi tidak doyan dengan jenis rokok bungkusan yang beredar di pasaran.

Akan tetapi, saya malah bingung dengan jenis tembakau yang satu ini. Tak hanya proses melintingnya yang susah, tembakau ini juga cenderung tidak mudah untuk dibakar. Sampai-sampai sisa minyak di korek saya habis hanya untuk mengisapnya. Setiap kali berhasil saya isap, bara yang keluar malah cepat meredup. Tak ada pilihan selain terus-menerus mematikan api.

Menurut ayah Fizi, sumber masalah yang saya alami terdapat pada proses meraciknya. Tembakau garangan membutuhkan kemenyan agar bisa menciptakan rasa yang halus. Namun, kita mesti melakukan proses penaburan kemenyan dengan cermat. Jika kemenyan terlalu banyak, maka tembakau akan sulit untuk terbakar. Bila terlalu sedikit, tembakau jadi sangat menyiksa tenggorokan. Maka menabur kemenyan harus secara merata dan jumlahnya tidak terlalu berlebihan.

Selain dari proses peracikan, teknis memantik api ke tembakau juga harus diperhatikan. Berbeda dengan rokok atau jenis tembakau lain yang hanya butuh sekali pantik, tembakau garangan perlu beberapa kali memantik api dalam waktu yang cukup lama. Tujuannya agar kemenyan pada tembakau dapat terbakar secara sempurna. 

Namun, jangan kaget bila bara apinya malah menjadi makin besar. Dan tidak perlu repot-repot meniup api, cukup biarkan sampai berangsur padam. Nyala api yang besar muncul karena proses pembakaran kemenyan. Kemenyan yang terbakar secara sempurna akan mati dengan sendirinya. Jika mematikan api secara sengaja maka proses pembakaran tersebut belum benar-benar membakar kemenyan.

Selain itu, waktu dan suasana batin ternyata juga berpengaruh terhadap rasa yang tembakau itu hasilkan. Saya akui tidak begitu paham alasan yang masuk akal di balik faktor tersebut. Namun, selama saya mengisap tembakau garangan, fenomena ini kerap saya jumpai dalam keseharian. Maka dari itu, guna menciptakan rasa yang baik perlu juga memerhatikan suasana. Mungkin juga karena suasana batin yang buruk, sehingga membuat proses peracikannya jadi tidak sempurna.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tembakau Garangan: Pengetahuan Lokal Masyarakat Dieng (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tembakau-garangan-pengetahuan-lokal-masyarakat-dieng-2/feed/ 0 39608
Tembakau Garangan: Komoditas Isap dari Wonosobo (1) https://telusuri.id/tembakau-garangan-komoditas-isap-dari-wonosobo-1/ https://telusuri.id/tembakau-garangan-komoditas-isap-dari-wonosobo-1/#respond Mon, 14 Aug 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=39603 Bila membandingkan dengan jenis tembakau di daerah lainnya, tembakau garangan dari Wonosobo cenderung memiliki bentuk dan aroma yang unik. Bentuk kotak, hitam, padat, dan aroma yang lebih menyerupai tanah ketimbang daun membuat saya cukup heran...

The post Tembakau Garangan: Komoditas Isap dari Wonosobo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Bila membandingkan dengan jenis tembakau di daerah lainnya, tembakau garangan dari Wonosobo cenderung memiliki bentuk dan aroma yang unik. Bentuk kotak, hitam, padat, dan aroma yang lebih menyerupai tanah ketimbang daun membuat saya cukup heran dengan jenis tembakau satu ini.

Rasanya yang berat serta aromanya yang tajam, membuat saya mengira bahwa tembakau ini lebih berguna sebagai sisipan atau tambahan dari jenis tembakau lainnya. Toh tidak mungkin jika ada seseorang yang mampu mengisapnya secara utuh tanpa tambahan dari tembakau lainnya. Jika ada sudah pasti tenggorokannya akan rusak.

Namun, anggapan tersebut segera runtuh ketika saya mengunjungi langsung ke daerah asalnya. Saya malah menjumpai banyak dari masyarakat sekitar yang menggunakannya sebagai tembakau utama. Alih-alih tersedak, mereka justru tampak begitu khidmat menikmatinya. 

Tembakau Garangan: Komoditas Isap dari Wonosobo (1)
Penampilan lebih dekat lintingan tembakau garangan/Mohamad Ichsanudin Adnan

Toko Tembakau Pak Tanir

Tembakau ini merupakan komoditas pertanian yang berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah. Penduduk setempat kerap menyebutnya dengan nama garangan. Tembakau ini akan mudah dijumpai bila berkunjung ke pasar. Adapun proses penanaman kerap dilakukan oleh masyarakat di sekitar Dieng maupun lereng Gunung Sumbing.

Keunikan bentuk dan aroma yang unik tidak lepas dari proses penanaman dan pengolahannya yang juga tak kalah uniknya. Lanskap Wonosobo yang terkepung oleh gunung membuat petani mesti menanam tembakau ini di dataran tinggi. 

Bahkan setelah musim panen tiba, asupan matahari yang minim membuat tembakau garangan mesti dipanggang di atas tungku api besar, alih-alih menjemurnya di luar teras. Setelah beres memanggang, petani akan menata tembakau ini ke dalam kotak kayu lalu menginjaknya dengan kaki sampai benar-benar gepeng. 

Proses tersebut dilakukan guna menjaga kondisi tembakau bisa bertahan lama dan tidak kemasukan angin, meskipun berada di situasi yang lembap. Tak heran bila bentuknya jadi kotak dan aromanya seperti berbau tanah.

Melihat keunikan itu, saya memutuskan untuk mampir ke sebuah toko tembakau milik Pak Tanir. Letaknya berada di sebelah barat Pasar Induk Wonosobo. Pak Tanir merupakan sosok kondang jika berbicara mengenai tembakau garangan. Saya mendapatkan informasi ini dari seseorang yang saya temui di warung kopi, yang kebetulan sedang mengisap garangan.

Tanpa kesulitan, saya pun berhasil menjumpai toko Pak Tanir. Di depan tokonya terpampang puluhan jenis tembakau garangan. Berserakan di atas meja. Tak lupa rentengan kemenyan bergelantungan di atas toko.

Melalui guratan tangannya, secara perlahan Pak Tanir sedang mengiris helai demi helai sebongkah tembakau yang hendak dibeli seseorang. Menariknya, jenis pisau yang ia gunakan pun memiliki bentuk khusus dan unik.

Tembakau Garangan: Komoditas Isap dari Wonosobo (1)
Tembakau garangan di toko Pak Tanir Wonosobo/Mohamad Ichsanudin Adnan

Cara Melinting Tembakau Garangan

Pak Tanir merupakan sosok yang cukup ramah. Dia bersedia memberi arahan kepada saya, yang tidak mengetahui jenis tembakau yang akan saya pilih. Beliau mempersilakan saya untuk mencicipinya terlebih dahulu. Jika sudah cocok dengan selera, maka saya diperbolehkan untuk membawanya pulang. 

Saya cukup awam kalau berurusan dengan jenis tembakau yang satu ini. Bentuknya yang lumayan padat membuat saya kebingungan untuk melinting dengan menggunakan kertas.

Berdasarkan pengetahuan Pak Tanir, proses pelintingan tembakau garangan tidak bisa dilakukan sembarangan. Beliau mengarahkan saya untuk menghancurkannya terlebih dahulu sampai bentuknya lebih menyerupai bubuk. Tembakau yang saya pilih adalah garangan dari lereng Gunung Sumbing.

Ketika tembakau sudah hancur, selanjutnya mesti menaburi kemenyan di bagian atasnya agar rasa lebih halus di tenggorokan. Kemenyan merupakan bumbu rokok yang paling tepat untuk jenis tembakau garangan. Berbeda dengan cengkih atau bumbu rokok lain yang malah membuat rasanya aneh. Pak Tanir juga menambahkan, proses penaburan tembakau dan kemenyan harus merata di setiap ujung dan pangkalnya, serta berbentuk lancip ke bawah.

Setelah urusan meracik beres, selanjutnya melakukan proses pelintingan. Bagian inilah yang membuat saya cukup gusar. Ketika tembakau ini saya linting kemudian menggulung bagian pangkalnya, bentuknya malah rontok tak keruan. Alhasil tembakau dan kemenyan yang sudah saya tata rapi malah berhamburan ke mana-mana. 

Menurut Pak Tanir, tembakau garangan merupakan jenis tembakau yang sulit untuk dilinting orang awam. Butuh waktu dan kebiasaan agar dapat menikmatinya. Saya pun meminta Pak Tanir melintingkan satu saja untuk saya. Hasilnya begitu menakjubkan. Bentuk lintingan Pak Tanir sangat rapi dan tertata dari pangkal sampai ujung.

Tidak seperti prasangka yang saya bayangkan, rasa dan kepulan asapnya membuat saya takjub. Rasanya cenderung ramah di tenggorokan. Mungkin karena efek kemenyan di dalamnya, walaupun kepulan asapnya membuat saya sedikit pusing. Adapun tentang rasa, saya masih sulit mendeskripsikan. Yang jelas, membuat tembakau garangan tidak bisa tergantikan dengan jenis tembakau di daerah lainnya.

Saya pun meminta Pak Tanir membungkuskan lima helai untuk saya bawa pulang. Harga per helainya mulai Rp5.000 sampai dengan Rp50.000. Tergantung kualitas dan lamanya tahun panen. Makin lama menyimpan tembakau garangan, maka makin mahal pula harganya. 

Saya membeli yang seharga Rp35.000 per helai. Jenis tembakau keluaran tahun 1998-an, lebih tua dari usia saya sendiri. Meskipun saya belum benar-benar mahir melinting tembakau garangan, saya merasa telah membeli pengetahuan yang ada di balik sehelai tembakau tersebut.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tembakau Garangan: Komoditas Isap dari Wonosobo (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tembakau-garangan-komoditas-isap-dari-wonosobo-1/feed/ 0 39603
Ritme Kesenian Lengger Topeng Wonosobo https://telusuri.id/ritme-kesenian-lengger-topeng-wonosobo/ https://telusuri.id/ritme-kesenian-lengger-topeng-wonosobo/#respond Tue, 23 May 2023 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=38765 Satu bulan lalu, sekitar 25 April 2023, saya melakukan perjalanan ke Wonosobo, Jawa Tengah. Saya menjumpai langsung kesenian rakyat di kabupaten berhawa dingin itu, yaitu lengger topeng. Pergelaran seni tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi...

The post Ritme Kesenian Lengger Topeng Wonosobo appeared first on TelusuRI.

]]>
Satu bulan lalu, sekitar 25 April 2023, saya melakukan perjalanan ke Wonosobo, Jawa Tengah. Saya menjumpai langsung kesenian rakyat di kabupaten berhawa dingin itu, yaitu lengger topeng. Pergelaran seni tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi masyarakat pinggiran yang jauh dari imperium seni berada. Akan tetapi, denyut keberadaannya masih berlangsung hingga kini sebagai tradisi lisan penduduk sekitar yang masih terawat.

Perjalanan ini saya mulai dari Yogyakarta yang ternyata memakan waktu lebih dari tiga jam. Penyebabnya adalah macet arus mudik yang tak berkesudahan. Saya harus sering berhenti untuk beristirahat atau sekadar mencari kudapan di pinggir jalan. 

Saya menemui tujuan saya di salah satu sanggar seni di daerah Singkir, Jaraksari. Tak jauh dari alun-alun kota. Seorang pemuda setempat—yang enggan menyebutkan namanya—menjelaskan bahwa setelah sempat rehat selama bulan Ramadan, mereka memutuskan untuk menggelar lengger topeng. Tujuannya guna memeriahkan agenda halalbihalal setelah lebaran usai. 

Penonton lengger topeng Wonosobo di sisi terluar panggung/Momahad Ichsanudin
Penonton lengger topeng Wonosobo di sisi terluar panggung/Mohamad Ichsanudin

Guyub dalam Seni

Galih Heru, dalam hasil riset tugas akhir strata S-1 berjudul “Lengger Wonosobo: Sakral dan Profan”, menjelaskan bahwa lengger topeng merupakan salah satu bagian dari ekspresi keseharian masyarakat Wonosobo yang masih dikomunikasikan hingga hari ini. 

Awal kehadirannya sendiri menjadi sulit untuk ditelusuri secara pasti. Namun, menurut tradisi tutur yang beredar, Sunan Kalijaga pernah menggunakan lengger topeng sebagai sarana dakwah. Salah satu anggota walisongo itu mulanya mendapati kemasan kesenian tersebut dengan cara memancing syahwat penonton. 

Lokasi pertunjukan seni lengger topeng berada tepat di tengah lapangan yang dekat dengan serambi Masjid Baiturochman. Jadwal pagelaran tersebut adalah tepat ketika berakhirnya waktu Isya. Tandanya adalah meningkatnya volume suara sound speaker berkali-kali lipat.

Tabuhan bendhe dan riak gemuruh dari para niyaga membentuk langgam takbiran. Langgam tersebut mengaung di sepanjang jalan menuju pusat pagelaran. Mungkin juga berfungsi sebagai alat navigasi atau pemantik bagi masyarakat agar membaur untuk menyaksikan tontonan rakyat itu.

Jelang mulai, antusias para warga terhadap lengger menarik perhatian saya untuk hadir menjadi bagian dari pertunjukan. Berbagai lapis kelas berkumpul dalam satu ruang, menjalin ritme paguyuban mereka satu sama lain. Fenomena yang mungkin tak pernah saya jumpai di ruang pertunjukan urban.

Antusiasme warga di pagelaran lengger topeng Wonsono/Mohamad Ichsanudin
Antusiasme warga di pagelaran lengger topeng Wonsono/Mohamad Ichsanudin

Pertunjukan yang Menembus Dimensi

Langgam Sulasih memulai pagelaran, bersamaan dengan masuknya para lengger dan butho yang membawakan sesaji ritual kepada leluhur. Langgam Sulasih kerap menjadi pembuka pertunjukan, karena dianggap cukup mampu menghubungkan batas dimensi antara alam dengan manusia. Bisa juga sebagai permintaan berkat kepada para leluhur agar pergelaran dapat berjalan lancar sampai akhir.

Setelah bagian ritual selesai, para penari lengger bergiliran keluar-masuk sesuai dengan langgam yang akan niyaga bawakan. Di tepi panggung, terdapat sebuah meja yang berisikan deretan topeng di dalamnya. Seorang pawang menjaga dan meruwat meja tersebut. Adapun topeng tersebut berfungsi sebagai medium peralihan. Masing-masing lengger akan menggunakan topeng yang berbeda dan pawanglah yang menentukan, sesuai dengan langgam yang dibawakan.

Sebagaimana ketika para niyaga membawa langgam Gondang Keli, seorang lengger lanang (pemeran bisa pria maupun perempuan) dari belakang panggung akan masuk menghampiri ruang pertunjukan. Masuknya lengger lanang mendapat sambutan antusias oleh seorang lengger perempuan, yang sedari awal sampai akhir pertunjukan akan terus berada di atas panggung. Sedangkan sang pawang sendiri akan memilah dan mempersiapkan topeng yang sesuai, kemudian melapisinya dengan jubah hitam. 

Ketika lengger lanang berhasil melebur dengan dimensi pertunjukan, maka ia akan menepi sejenak ke sisi panggung sambil menenggak satu gelas air. Lantas sang pawang akan mengenakan topeng berlapis jubah hitam. Topeng tersebut dapat memberikan kejutan, baik kepada penonton maupun lengger lanang sebelumnya, yang tidak mengetahui topeng yang akan atau sedang dibawakan. 

Setelah lengger lanang menggunakan topeng, maka ia akan kembali memasuki ruang pertunjukan. Pada bagian inilah, topeng tersebut memancarkan impuls artistiknya. Topeng sebagai material artistik melebur dengan dimensi tubuh sang lengger. Seolah topeng dan tubuh sang penari telah menjadi satu kesatuan, yang membentuk ritme pertunjukan dan langgam yang sedang mereka bawakan.

Etalase topeng sanggar di Jangkir, Jaraksari, Wonosobo/Mohamad Ichsanudin
Etalase topeng sanggar di Jangkir, Jaraksari, Wonosobo/Mohamad Ichsanudin

Falsafah Lengger Topeng Wonosobo

Momen menarik adalah ketika pertunjukan telah memasuki berbagai lapis peralihan. Saat itu seorang lengger lanang enggan untuk menghentikan pertunjukannya. Meskipun pasangannya telah minggir ke tepi panggung, tetapi lengger lanang masih saja terus menari. Bahkan ketika sang pawang memaksa untuk melepaskan topeng dari tubuh sang lengger, sang lengger masih saja menari dan menolak untuk berhenti.

Uul, salah satu penggiat lengger di Sruni menjelaskan bahwa adegan tersebut terkenal dengan sebutan “topeng wegah ucul”. Fenomena ini muncul ketika sang penari tidak memiliki daya untuk melepaskan topeng yang ia kenakan. Kondisi saat sang penari tidak memiliki kendali atas tubuhnya sendiri, atau ketika sang penari sudah benar-benar memasuki dimensi sakral dari pertunjukan, sehingga ia mesti terus menari meskipun langgam sudah mencapai titik kulminasinya.

Maka fungsi dari pawang topeng adalah membebaskan tubuh sang penari dari dimensi sakral yang mengendalikan tubuhnya. Sang pawang akan bernegosiasi atau terlibat dalam aksi teatrikal dengan memecut sang penari, guna mengembalikan kesadarannya atas tubuhnya sendiri.

Sejauh pengalaman saya menjadi bagian dari pagelaran tersebut, apa pun yang menjadi material, musik, dan penari, yang hanya sebatas unsur dalam pertunjukan modern, tampaknya tidak berlaku bagi kesenian rakyat, seperti lengger topeng Wonosobo. 

Lengger topeng Wonosobo memungkinkan bagi setiap unsur dalam pertunjukan menjadi satu kesatuan yang tidak bisa terpisah. Bahkan upaya peleburan tidak berhenti pada unsur-unsur yang digunakan. Sebagaimana manusia dan alam yang hubungannya saling beririsan, maka kehadiran pagelaran tersebut adalah bentuk syukur dari para penggiatnya untuk terus senantiasa menjalin hubungan dengan alam di sekitarnya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Ritme Kesenian Lengger Topeng Wonosobo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/ritme-kesenian-lengger-topeng-wonosobo/feed/ 0 38765
Eksistensi PLTA sebagai Destinasi Wisata https://telusuri.id/eksistensi-plta-sebagai-destinasi-wisata/ https://telusuri.id/eksistensi-plta-sebagai-destinasi-wisata/#respond Tue, 05 Oct 2021 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=29539 Beberapa daerah di Indonesia telah dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), melalui pemanfaatkan energi potensial dari air yang diubah menjadi energi kinetik. Sebagai energi terbarukan, PLTA juga ada di beberapa kota untuk memenuhi kebutuhan listrik...

The post Eksistensi PLTA sebagai Destinasi Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
Beberapa daerah di Indonesia telah dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), melalui pemanfaatkan energi potensial dari air yang diubah menjadi energi kinetik. Sebagai energi terbarukan, PLTA juga ada di beberapa kota untuk memenuhi kebutuhan listrik di suatu daerah. Menariknya, kini eksistensinya tak hanya sebagai PLTA semata, seiring waktu juga dikembangkan sebagai destinasi wisata di berbagai daerah.

Salah satunya yakni PLTA Garung yang letaknya di Desa Maron, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. PLTA Garung menggunakan Telaga Menjer sebagai bendungan air, untuk kemudian dialirkan ke pipa berukuran besar yang ada di sepanjang jalan. Kini, luas areanya telah bertambah. Bendungan tersebut juga merupakan bangunan bersejarah, dibangun pada tahun 1982.  Sampai saat ini pun, masih beroperasi aktif sebagai PLTA dan juga objek wisata. 

Memancing di telaga- Annisa F
Memancing di Telaga Menjer/Annisa F

Menariknya, Telaga Menjer yang merupakan bendungan dari PLTA Garung, juga dijadikan destinasi wisata alam oleh pemerintah daerah Wonosobo. Dulu memang masih sepi, namun kini telah dikenal lebih banyak orang seiring dengan pengembangan dan pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah  bersama para penggiat wisata. Bahkan, tempat ini semakin berkembang sebagai destinasi unggulan Kota Wonosobo. 

Berada di ketinggian 1.300 mdpl, Telaga Menjer memiliki luas mencapai 70 hektare, dengan kedalaman kurang lebih 45 meter. Akses menuju ke sini pun mudah, banyak petunjuk jalan tersebar di sekitarnya.

Awalnya, Telaga Menjer terbentuk dari letusan vulkanik kaki Gunung Pakuwaja yang dulunya aktif. Sebelum letusan terjadi, air di telaga hanya berasal dari mata air kecil saja, yang dimanfaatkan oleh warga desa setempat untuk memenuhi berbagai kebutuhan air sehari-hari. Tentu ini menjadi hal menarik, bagaimana eksistensi PLTA kini bisa memberikan sumbangsih lebih bagi beberapa sektor yang berperan, dan masyarakat setempat.

Telaga Menjer memang dikenal memiliki pemandangan alam yang begitu menawan, dikelilingi perbukitan, dan pepohonan. Ditambah udara segar khas pegunungan, juga menambah daya tarik tersendiri bagi para wisatawan untuk berkunjung ke sini.

Persewaan perahu di telaga - Annisa F
Persewaan perahu di telaga/Annisa F

Fasilitas umum untuk para pengunjung juga sudah lengkap. Bahkan para pengunjung bisa berkeliling Telaga Menjer dengan menggunakan perahu, harga sewa perahu juga cukup terjangkau yakni Rp20.000 untuk satu orang. Menikmati hijaunya pemandangan yang asri, dipadu dengan udara segar sungguh bisa membuat hati senang. 

Telaga Menjer menjadi destinasi yang menarik untuk dikunjungi saat berada di Kota Wonosobo. Sebab, bisa dinikmati dari berbagai sisinya. Beragam spot menarik untuk menyaksikan pemandangan alam, sembari berfoto di area telaga, hingga ada warung apung yang di bangun oleh para pengelola wisata. Pengunjung bisa berfoto, dan melihat ikan-ikan yang dipelihara di keramba jaring apung (KJA) oleh para pengelola. 

Kerambah ikan di telaga - Annisa F
Kerambah ikan di telaga/Annisa F

Selain bermanfaat sebagai PLTA yang bisa memenuhi kebutuhan listrik, ternyata sektor perikanan juga mendapatkan dampak positifnya. Pariwisata daerah pun juga. Orang-orang yang tergabung sebagai pengelola wisata bisa mengembangkan budidaya ikan konsumsinya. Ada ikan nila, braskap, dan tawes. Airnya yang jernih dan selalu deras, membuat ikan-ikan-ikan yang ada di kerambah berkembang dengan sehat. Tentu hal tersebut bisa menjadi nilai ekonomi, dan nilai sosial lebih bagi para pengelola wisata dan warga setempat.

Di kawasan Telaga Menjer juga ada bukit-bukit yang letaknya tidak jauh dari telaga, di bukit tersebut para pengunjung bisa menikmati keindahan Telaga Menjer dari ketinggian. Melihat secara jelas bentang keindahan alam telaga, hijau airnya, dan bisa menikmati suasana sejuknya.

Sama halnya yang ada di PLTA Wadaslintang, lokasinya berada di wilayah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Kebumen. PLTA Wadaslintang memanfaatkan kali Gede sebagai sumber airnya. Waduk tersebut juga terkenal akan lokasinya yang menarik untuk tempat rekreasi. Para pengunjung menikmati pemandangan alam yang indah, dan melakukan kegiatan memancing. Hanya saja, PLTA Wadaslintang memang belum dikembangkan secara maksimal oleh pemerintah dan pengelolanya. 

Kedua PLTA tersebut tidak hanya berfungsi sebagai sumber listrik yang berkelanjutan, namun lebih dari itu. Eksistensi PLTA bisa memberikan sumbangsih terhadap pengembangan sektor pariwisata suatu daerah juga. Hal tersebut karena adanya kerjasama antar Dinas Pariwisata, kelompok pengelola wisata, dan warga setempat dalam merealisasikan destinasi menarik untuk para wisatawan.

Nilai ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat juga bisa meningkat berkat pemanfaatan air berkelanjutan, dan bisa menciptakan destinasi menawan jika dikembangkan. Hal ini juga bisa diaplikasikan untuk PLTA lain daerah di Indonesia kedepannya.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Eksistensi PLTA sebagai Destinasi Wisata appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/eksistensi-plta-sebagai-destinasi-wisata/feed/ 0 29539