yogyakarta Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/yogyakarta/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Wed, 25 Jun 2025 15:07:29 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 yogyakarta Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/yogyakarta/ 32 32 135956295 Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/ https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/#respond Thu, 19 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47483 Ayam jantan berkokok kencang sahut-sahutan. Jam pun turut berdetak menunjukkan waktu pukul 05.45 WIB. Sabtu (12/04) pagi itu matahari menunjukkan sinarnya, tanda bahwa cuaca cerah. Tibalah kami di Tlogoadi, Sanggrahan, Mlati, Sleman, Yogyakarta, di rumah...

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Ayam jantan berkokok kencang sahut-sahutan. Jam pun turut berdetak menunjukkan waktu pukul 05.45 WIB. Sabtu (12/04) pagi itu matahari menunjukkan sinarnya, tanda bahwa cuaca cerah. Tibalah kami di Tlogoadi, Sanggrahan, Mlati, Sleman, Yogyakarta, di rumah salah satu anggota tim, Tarissa. Rumah Tarissa hanya berjarak 10 meteran dari rumah Pak Arif Kurniawan.

Teh hangat dihidangkan Tarissa. Zakia membawa beberapa jajanan pasar. Ama dan Dyah menyiapkan tripod, ponsel, dan clip on. Sementara saya tengah menyeduh teh dan melihat jam di dinding.

“Ayo, ke Pasar Cebongan, sudah hampir pukul 06.00 ini,” ajak saya.

“Ayo, gas!” jawab mereka penuh semangat.

Hanya lima menit perjalanan kami ke sana. Setelah melalui pintu masuk dan memarkirkan kendaraan, terlihat jelas kios di area depan Pasar Cebongan dengan plang tertulis “AN. Putra Juwana”. Di tengah hiruk-piruknya pasar, lelaki usia madya 40 tahun tengah menjaga lapaknya. Kami pun pergi menghampiri.

Tampak sebuah etalase dengan pajangan beberapa ikan bandeng yang ditaruh pada wadah-wadah kayu berbentuk kotak, ditutupi kertas makanan putih pada kepalanya. Sudah banyak yang terjual. Namun, masih pagi sekali, kios baru saja buka sehingga belum seluruhnya langsung terjual habis. Di samping itu, di dalam kios, disediakan juga stok ikan bandeng di dalam freezer untuk mengisi kembali kekosongan tempat di etalase.

“AN. Putra Juwana” merupakan jenama yang terdiri dari: ‘A’ yang berarti Arif, ‘N’ berarti Nur (istri Pak Arif), ‘Putra’ berarti anak laki-laki, dan ‘Juwana’ merupakan tempat asal ikan bandeng diambil. Tak lama berselang istrinya datang. Setelah menjelaskan beberapa hal tadi, Pak Arif mengajak kami ke rumahnya untuk mengikuti proses produksi.

“Pulang dulu, Sayang, kamu jaga toko, ya,” pamit Pak Arif kepada istrinya.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Produk bandeng presto yang siap jual tersedia di dalam etalase/Afrinza Amalusholehah

Proses Produksi Bandeng Presto AN. Putra Juwana

Tepat di sebelah kanan rumah Pak Arif, pintu itu dibuka. Bau amis menggelegar. Dua orang tengah bekerja sesuai dengan tugasnya, yaitu.Rahmat (Mamat) dan Purwanto (Lik To). Kedatangan kami menghadirkan senyuman pada wajah mereka. Keduanya masih muda, layaknya anak-anak setelah lulus SMA.

Mamat beranjak pergi mengambil air pada sebuah ember 120 literan, lalu dituangkan pada ember-ember kecil 10 literan, yang sebelumnya sudah diisi sejumlah ikan sesuai kapasitasnya. Kedua tangannya pun masuk ke ember kecil itu, lantas Mamat mulai mengaduknya untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih tersisa.

Di sela-sela pekerjaan Mamat, tampak Lik To sedang mengambil kotoran sisa pada perut ikan. Ditemani dingklik sebagai alas duduknya, Lik To senantiasa mencukil satu per satu kotoran itu hingga bersih. Itu adalah kotoran sisa-sisa saja. ”Ini dibersihkan ulang,” ujarnya.

“Itu sudah dibersihkan dahulu di Juwana,” lontar Pak Arif seketika. AN. Putra Juwana mengambil ikan dengan kualitas bagus. Pengambilan itu didasarkan dari proses pengambilan ikannya. Pak Arif memilih petani ikan yang ketika menangkap ikan, jaringnya tidak langsung diambil, tetapi ikan itu dibiarkan dulu menggantung pada jaring selama satu jam hingga keluar semua kotorannya.

Pengambilan dari Juwana sebanyak 1,5 ton, sedangkan 5 ton sisanya untuk es batu. Mengendarai pikap Grand Max hitam, ikan-ikan itu bisa sampai di Jogja. Tidak seperti kisahnya dulu yang mengantar ikan harus titip truk muatan garam. Setelah sampai pun tidak langsung dimasak. Akan tetapi, perlu upaya penyortiran size untuk mengklasifikasikan ukuran yang besar dan kecil.

Di tengah obrolan, Mamat berganti haluan. Kini ia menata bandeng pada kotak kayu. Berbekal tiga hal: satu kertas makanan, dua garam kasar, dan tiga plastik bening. Bukan kertas koran atau kertas bekas LKS anak sekolahan yang digunakan karena terdapat tinta di sana. Ini soal kualitas. Ikan-ikan itu ditata dua kiloan per kotaknya, dengan penutup kertas makanan pada kepala ikan, dan taburan-taburan garam kasar pada tubuhnya. Kemudian plastik digunakan untuk alas pemisah kotak satu dengan kotak lainnya.

Maksimal kapasitas dandang untuk memasak 52 kotak. Akan tetapi, hari ini mencapai 42 saja. Sebab, itu adalah stok terakhir, sebelum malamnya Pak Arif pergi ke Juwana untuk mengambil 1,5 ton ikan lagi.

Kiri-tengah: Tampak kelihaian Mamat dan Lik To membungkus kepala ikan dengan kertas/Sayyidati Zakia Afkaroh. Kanan: Bandeng presto yang sudah siap masak ditata dan disusun sedemikian rupa/Tarissa Noviyanti Az Zahra.

Tak lama kedua karyawan itu bahu-membahu memasukkan kotak-kotak bandeng presto ke dalam dandang. Tak lupa mereka menaburkan rempah-rempah untuk menjaga kualitas ikan. Penutup dipasang, mur mulai diputarkan pada baut-baut dandang, tandanya proses masak akan segera dimulai.

Dua gas LPG 3 kg dipasang, alirannya mulai diaktifkan. Mamat dengan membawa selembar kertas persegi panjang mulai meringkasnya seperti sumbu petasan. Korek dinyalakan, api pun membakar kertas itu. Melalui tangan kanannya, kertas itu disodorkan ke bawah dandang, tepat di mana aliran gas keluar. Api pun mulai hidup dan membakar bagian bawah dandang.

Sudah bekerja 10 tahunan, dua karyawan itu sudah paham seberapa api dikobarkan. Tidak memakai alat pendeteksi suhu semacam termometer, tetapi hanya melalui feeling dan itu sudah menjawabnya.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Mamat dengan keahlian dan jam terbangnya mampu mengatur api di bawah dandang tanpa alat bantu termometer/Afrinza Amalusholehah

Penantian Kematangan Bandeng Presto

Dua jam berlalu, Mamat mulai membuka tube-tube pada dandang. Uap dalam dandang mulai keluar, asap putih mendesis kencang dan mengepul di udara. Aroma khas bandeng presto mengisi ruangan.

Dua jam di awal pembukaan uap adalah sebuah penentuan: Apakah bandeng sudah lunak? Jika sudah, maka dijaga kobaran apinya. Namun, jika berlebihan atau kekurangan, kobaran itu diatur lagi sesuai porsinya.

Total tujuh jam untuk memasak. Dua jam telah digunakan di awal sebagai penentuan. Kini, dengan kopi, rokok, bluetooth speaker, dan ponsel, Mamat dan Lik To setia menunggu bandeng presto matang. Setiap 30 menitnya mereka harus membuka tube secara berulang hingga lima jam sisa waktu itu terpenuhi.

Kini matahari sudah condong ke barat. Tujuh jam telah berlalu, Mamat dan Lik To segera mematikan api dan membuka tube dandang. Desis uap pun keluar, dari yang berbunyi kencang dan keluar cepat, berangsur-angur mereda. Akhirnya kematangan bandeng presto telah mencapai klimaksnya.

Mur mulai diputar dan terlepas satu persatu dari pasangannya. Mamat dan Lik To mulai memosisikan diri untuk mengangkat penutup dandang. Dengan kedua tangannya yang lihai itu, pembukaan dandang pun terselesaikan.

Berbeda dengan dua jam di awal proses memasak, kini aroma khas bandeng semakin tajam menusuk paru-paru kami. Aroma itu mendatangkan keinginan untuk bergegas menyantap dengan nasi dan sambal.

  • Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
  • Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()

Kedua karyawan mulai melanjutkan tugasnya. Kotak-kotak kayu bandeng presto itu dikeluarkan dari dandang. Tanpa sarung tangan dan sebuah alas, mereka segera mengambil kotak-kotak itu dan dipindahkan keluar. Bandeng masih panas, begitu juga dengan kotak wadahnya. Tapi mereka sudah terbiasa. Kotak-kotak itu ditata menumpuk, perlu ditunggu dua jam lamanya agar suhu kembali normal.

Suhu pada ikan-ikan bandeng itu berangsur-angsur menjadi normal. Kini sudah dua jam berlalu. Ada dua pilihan di benak mereka.

Pertama, jika stok ikan rekan kerja seduluran kehabisan, mereka akan datang dan mengambilnya setelah proses masak selesai. Begitu juga dengan stok Pak Arif di Pasar Cebongan, jika di sana kehabisan maka ikan-ikan itu langsung dibawa ke sana.

Kedua, jika hari ini stok rekan-rekan dan Pak Arif masih banyak, bandeng-bandeng itu belum bisa disebar ke pasar-pasar. Namun, perlu menghuni dulu di freezer rumah produksi Pak Arif. 

Mamat dan Lik To memahaminya dan menemukan jawaban. Mereka lalu mulai memindahkannya ke freezer di rumah produksi.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto ()
Foto bersama Pak Arif (tengah) usai melihat proses produksi bandeng presto. Tampak anggota Melati Suci Project, yaitu Zakia (paling kiri), saya, Dyah, Tarissa, dan Ama/Rahmat

Setelah proses itu selesai, tiba-tiba Pak Arif berkata, “Saya itu berharap nantinya punya toko besar di pinggir jalan dengan nama Oleh-oleh Khas Juwana: AN. Putra Juwana. Bukan hanya menyediakan bandeng-bandeng saja, tapi makanan seafood lainnya juga yang siap saji.”

Tak hanya itu, jika mengulang masa lalunya, banyak sekali pelajaran yang ingin ia sampaikan ke khalayak, terutama yang ingin menjadi pengusaha. “Kalau ingin menjadi usahawan itu harus komitmen, profesional, dan tekun. Tapi yang utama harus suka dulu, kalau suka pasti akan nyaman dan enak untuk terus berjalan,” tambahnya dengan wajah penuh harap.


Tentang Tim Melati Suci Project
Melati Suci Project adalah sebuah tim yang terbentuk dari salah satu kelas menulis di bawah bimbingan guru kami, Eko Triono. Tim ini beranggotakan lima orang, yakni Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. Semoga, karya kami ini akan abadi dan bermanfaat bagi pembaca. Tabik.

Foto sampul: Arif Kurniawan, pemilik usaha AN. Putra Juwana berdiri di balik etalase produk bandeng-bandeng presto (Afrinza Amalusholehah)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-2/feed/ 0 47483
Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/ https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/#respond Wed, 18 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47474 “Keajaiban hanya terjadi untuk orang-orang yang tidak pernah menyerah.” Emporio Ivankov, anime One Piece (episode 439)   “Le, sisa ikane dijual keliling, ya, dibagi sama kakak-kakakmu,” suruh Simbok. “Nggih, Mbok,” jawab saya. Inilah keseharian saya, Arif...

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) appeared first on TelusuRI.

]]>


Keajaiban hanya terjadi untuk orang-orang yang tidak pernah menyerah.”

Emporio Ivankov, anime One Piece (episode 439)


  “Le, sisa ikane dijual keliling, ya, dibagi sama kakak-kakakmu,” suruh Simbok.

Nggih, Mbok,” jawab saya.

Inilah keseharian saya, Arif Kurniawan kecil selama kelas 1–3 SD. Begitu pun lima saudara saya. Jika dagangan ikan Simbok di siang hari belum habis, maka kami disuruh menjualnya keliling desa dengan daerah yang berbeda-beda. Maklum, kami hidup di Juwana, Pati. Sejak kecil sudah hidup di lingkungan petani ikan dan berkenalan dengan ikan, bahkan kami turut menjualnya.

Waktu kian berjalan, kelas 4 SD saya berhenti jualan keliling. Syukurlah, karena ekonomi Simbok sudah membaik.

Setahun berselang, saat kelas 5 SD, entah mengapa saya tiba-tiba terpikir suatu hal: “Bagaimana, ya, kalau saya keluar dari Juwana untuk cari pengalaman dan wawasan?” Dan benar, pikiran saya termanifestasi. Pergilah saya ke Surabaya, tepatnya terminal GM Sari, hanya dengan berbekal celana, baju lengan panjang, dan sarung.

Kepergian itu mempertemukan saya dengan seorang penjual asongan di terminal, Mas Andre, yang juga menawari berjualan. Di situlah sumber penghidupan saya. Melalui pekerjaan itu, saya juga dapat berkenalan dengan banyak teman. Ada pengamen, anak punk, dan anak jalanan lainnya. Sepuluh bulan berjalan, saya berpikir, “Kok begini, ya, kehidupan?”

Akhirnya saya memutuskan pulang ke Juwana. Sesampainya di rumah, saya yang merasa masih kecil dan sudah pergi berkelana, tidak dikhawatirkan sama sekali oleh keluarga. Paling hanya lontaran Simbok yang cukup singkat, “Seko ngendi wae, Le, Le… (Dari mana saja, Nak, Nak…).”

Tapi tidak apa, lontaran singkat itu sudah saya anggap sebagai tanda cinta, apalagi saya yang masih diterima untuk tidur di rumah. Karena masih kelas 5 SD, sempat saya ditawari untuk lanjut sekolah, bahkan kepala sekolah datang ke rumah. Namun, saya tolak. Mau bagaimana lagi? Uang hasil berdagang dari Surabaya sudah saya belikan becak dan kambing, yang bisa digunakan untuk mencari uang.

Kini keseharian saya bukan sekolah seperti anak pada umumnya lagi, juga bukan penjual ikan keliling di desa. Saya menjadi tukang becak keliling dari pagi sampai sore. Setelah itu menjadi penggembala kambing yang setiap harinya harus membabat rumput.

Liputan langsung ke Pasar Cebongan dan Rumah Produksi AN. Putra Juwana/Melati Suci Project1

Arif Kurniawan Kecil yang Masih Haus Pengalaman Hidup

Kalau becak sepi, sumber kehidupan saya dari kernet bus. Karena masih merasa kurang, pergilah saya ke Yogyakarta bersama teman. Sesampainya di Jogja, saya berjualan garam bata, yang ukurannya memang seperti balok bata sebenarnya.

Pernah sekali waktu kena marah sopir karena menjatuhkan garam bata. Mau bagaimana lagi? Masih kecil sudah nyunggi benda berat, terkena senggol sedikit pasti jatuh. Tapi tidak apa, karena tujuan saya memang pergi ‘mencari pengalaman dan wawasan’.

Mencari kedua tujuan itu tidak hanya di Jogja. Kalau perlu saya pergi ke daerah lain lagi. Akhirnya saya pergi ke Solo untuk bekerja. Di situ saya bersama teman mengolah dan berjualan bandeng presto di toko milik bos kami, mengubah duri-duri padat pada ikan menjadi lunak, dan memajangnya untuk dijual.

Namun, pengalaman di Solo tidak mudah. Pernah sekali dandang yang digunakan untuk membuat presto meledak. Hal itu disebabkan oleh uap angin pada dandang yang telat dikeluarkan.

Pengalaman pahit itu membuat saya kembali ke Jogja. Di Jogja, saya diajak oleh seorang bernama Tomo untuk mempresto dan jualan ikan bandeng juga. Namun, di lingkungan kerja, teman-teman sering merundung saya karena belum sunat. Itu memang benar, karena saya pergi keluar dari Juwana masih usia belia. Atas kejujuran mereka, wajah saya memerah malu, lalu saya pulang lagi ke tanah kelahiran.

Sesampainya di Juwana, becak dan kambing hasil dari Surabaya saya ubah menjadi uang. Bukan untuk foya-foya, jalan-jalan, ataupun merayakan kepulangan, melainkan modal sunat dan membuat kamar sendiri. Bagi saya itu sudah menjadi suatu kebanggaan karena merupakan hasil dari keringat saya sendiri.

Berjalannya waktu saya masih di Juwana. Kendati demikian, saya tetap pergi juga ke Batam. Sebab, saya jualan barang mentah logam kuningan yang dikirimkan ke sana. Suatu ketika saya sedang pergi ke rumah sakit. Di situ terjadi pertemuan saya dengan Maryono, yang merupakan salah satu anggota tempat pelelangan ikan (TPI). Ikutlah saya dengan Maryono meninggalkan pekerjaan barang mentah logam kuningan itu.

Di TPI harus memiliki kartu anggota. Itu adalah tempat gledek kapal pelelangan, dari pelelangan diantar ke bakul. Saya perlu bekerja keras, karena jika tidak sat-set, uang tidak akan mengalir. Begitulah pengalaman dunia kerja yang saya alami.

Tak lama, atas jerih payah usaha, saya mendapatkan enam bakul. Tentunya itu menjadi keuntungan tersendiri untuk menambah penghasilan saya. Namun, itu berangsur tidak lama. TPI semakin sepi. Terpikirlah keresahan untuk mencukupi kebutuhan. Teringat saya akan relasi di Jogja, bergegaslah saya ke sana untuk mengobati keresahan itu.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Ilustrasi nelayan sedang mengumpulkan ikan di atas kapal/setengah lima sore via Pexels

 * * *

“Sayang! Kopi, sayang!” lantang Pak Arif Kurniawan menyuruh istrinya.

“Hahahaha,” riuh tawa kami mendengarnya.

Di luar hujan memahat tanah halaman rumah. Bau petrikor menyerbak di udara. Selasa (8/4/2025) sore itu, di teras rumahnya, kisah masa kecil Pak Arif diceritakan. Ucapannya meminta kopi ke istrinya memecah imajinasi kami2 yang turut hanyut ke masa lalunya. Saat-saat sebelum sukses menjadi pengusaha bandeng presto Juwana di Jogja.

Kopi sudah datang, korek dihidupkan, asap kretek Dji Sam Soe mengepul di udara. Tandanya cerita berlanjut. 

“Lanjut lagi, ya? Jadi, pada waktu itu…”

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Sore itu Pak Arif (tengah) di sela-sela menunggu kopi dari istrinya, sedangkan saya (kiri) sedang bertanya suatu hal. Sementara Ama, Dyah, dan Tarissa (kanan) antusias menyimaknya/Sayyidati Zakia Afkaroh

* * *

Arif Kurniawan Kembali ke Jogja

Di Jogja saya bertemu dengan Pak Bambang, orang yang bekerja sama dengan saya untuk jualan ikan bandeng. Ikan diambil dari Jawa Timur. Namun, banyak komplain dari pelanggan, ada yang mengatakan ikannya kurang lunak, ada yang mengatakan baunya apak.

Atas pengalaman itu saya berpikir, “Saya, kan, asli Juwana dan di situ tempatnya bandeng. Nah, ini bisa jadi kesempatan untuk jual sendiri dengan ganti tempat pengambilan ikan.”

Kini saya sudah tumbuh dewasa, pengalaman dan wawasan sudah banyak saya lalui, proses belajar itu perlu saya gunakan untuk berdiri sendiri. Akhirnya, dengan rasa percaya diri, saya utang masing-masing 5 juta rupiah ke bank dan kakak kandung, yang saya gunakan untuk membeli bandeng 8 juta dan 2 juta diputar untuk kulakan.

Maklum, masih merintis. Ikan bandeng dari Juwana itu sampai Jogja bukan melalui mobil pribadi, melainkan menumpang truk yang kirim garam dari Juwana ke Jogja. Jualan bandeng masih sendiri, belum mempunyai bakul. Uang serasa berjalan di tempat saja. Terpikirlah saya untuk mencari bakul.

Akhirnya, saya dapat bakul dari beberapa daerah. Ada yang di Gamping, Bantul, Piyungan, Prambanan, hingga Magelang. Tapi sayang sekali, uang masih terasa berjalan di tempat. Bakul-bakul itu sering kali utang dan lama membayarnya.

Sebelum saya putuskan bakul-bakul itu, ada ide untuk menjual dengan konsep seduluran. Berbeda dengan franchise yang mengkapitalisasi pasar dan rekannya, konsep seduluran yang saya maksud ini lebih ke kekeluargaan.

Konsep yang saya bangun ini lebih transparan dan tidak merusak pasar. Jadi, misal ikan di pasaran seharga Rp8.000,, ikan dari seduluran ini juga harus menjual dengan harga yang sama. Tak hanya itu, setiap enam bulannya, juga ada kumpul diskusi untuk membahas perkembangan kerja sama.

Atas dasar itu, saya berhasil menggaet tiga orang, yang masing-masing memiliki kios di Pasar Kuthu, Pasar Pundung, dan Pasar Godean. Untuk usaha saya sendiri berada di Pasar Cebongan. Para bakul awal yang banyak notanya itu pun saya putuskan secara sepihak dan pindah ke konsep ini.Sebelum ada kios di Pasar Cebongan, saya berjualan secara liar, tempat kurang mumpuni, tidak ada orang lewat, dan kurang laku. Tapi satu hal, saya tidak boleh menyerah! Dengan uang seadanya, akhirnya saya beli kios di pasar bagian dalam. Berjalannya waktu, kios saya pindah di bagian luar dan laris hingga kini.

Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1)
Ilustrasi tumpukan ikan yang dijual di sebuah lapak tanpa kios tetap/Shukhrat Umarov via Pexels

 * * *

“Jadi, begitu, Mas dan Mbak-mbak sekalian,” ucap Arif Kurniawan memungkasi cerita hidupnya.

Hujan kian mereda. Kopi Pak Arif tinggal setengah. Dua rokok kretek sudah tertidur di pangkuan asbak. Langit semakin gelap, suasana itu dipenuhi rasa ingin tahu kami untuk pergi ke Pasar Cebongan dan mengikuti proses membuat bandeng presto secara langsung.

“Kami berencana meliput proses pembuatannya, Pak,” ucap saya sebagai anggota tim Melati Suci Project.

“Oke, silakan datang ke sini. Sabtu pagi jam 06.00-an kami produksi,” jawabnya.

(Bersambung)


  1. Tidak ada foto masa lalu Pak Arif Kurniawan. Namun, dongeng itu dibuktikan dengan video liputan kami yang sudah ada di YouTube. Untuk foto-foto produksi ada di tulisan kedua yang terbit di hari berikutnya. ↩︎
  2. “Kami” di sini adalah anggota Tim Melati Suci Project, yang beranggotakan: Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. ↩︎

Tentang Tim Melati Suci Project
Melati Suci Project adalah sebuah tim yang terbentuk dari salah satu kelas menulis di bawah bimbingan guru kami, Eko Triono. Tim ini beranggotakan lima orang, yakni Afrinza Amalusholehah, Danang Nugroho, Dyah Ayufitria Riskaputri Nandayanti, Sayyidati Zakia Afkaroh, dan Tarissa Noviyanti Az Zahra. Semoga, karya kami ini akan abadi dan bermanfaat bagi pembaca. Tabik.

Foto sampul: Tumpukan kotak bandeng presto setelah dimasak di rumah produksi Pak Arif Kurniawan (Tarissa Noviyanti Az Zahra)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Dari Juwana ke Jogja: Peluh untuk Menjual Bandeng Presto (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/dari-juwana-ke-jogja-peluh-untuk-menjual-bandeng-presto-1/feed/ 0 47474
Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung https://telusuri.id/skopos-vibes-eksplorasi-visual-dan-cahaya-para-seniman-belakang-panggung/ https://telusuri.id/skopos-vibes-eksplorasi-visual-dan-cahaya-para-seniman-belakang-panggung/#respond Mon, 16 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47455 Jumat, 28 Februari 2025. Langit belum sepenuhnya gelap saat halaman Bentara Budaya Yogyakarta mulai dipenuhi cahaya yang menari. Dari kejauhan, cahaya-cahaya lembut mulai memantul ke layar putih, menyusun satu demi satu bentuk yang abstrak, hidup,...

The post Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung appeared first on TelusuRI.

]]>
Jumat, 28 Februari 2025. Langit belum sepenuhnya gelap saat halaman Bentara Budaya Yogyakarta mulai dipenuhi cahaya yang menari. Dari kejauhan, cahaya-cahaya lembut mulai memantul ke layar putih, menyusun satu demi satu bentuk yang abstrak, hidup, dan berubah-ubah. Udara dipenuhi suasana yang nyaris sakral: sebuah percampuran antara ekspektasi, eksperimentasi, dan keheningan yang penuh perhatian.

Di sinilah Skopos Vibes digelar, suatu ajang eksplorasi seni visual berbasis layar yang diinisiasi oleh Skopos Lab—sebuah kolektif seni yang fokus pada eksplorasi visual dan cahaya. Dalam pertunjukan ini, cahaya bukan sekadar efek atau elemen pendukung seperti pentas pada umumnya, melainkan sebagai bahasa. Di tangan para seniman, cahaya menjelma menjadi suara yang bisa “berbicara”, mengungkap, bahkan menggugat. Ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan sebuah pernyataan: bahwa para penata cahaya dan visual, yang selama ini tersembunyi di balik layar, pantas berdiri di garis depan sebagai seniman utuh.

Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung
Pertunjukan oleh Cholsverde yang mengeksplorasi bayangan/Inggar Dwi Panjalu

Wayahe Cah Mburi Tampil

Dalam dunia seni pertunjukan, posisi penata cahaya dan visual sering kali dianggap sebagai pelengkap. Mereka tidak berada di pusat perhatian, padahal merekalah yang menciptakan atmosfer, mengarahkan nuansa, bahkan menjadi visualisasi dan perpanjangan emosi dari sebuah pertunjukan agar bisa dirasakan penonton.

Skopos Vibes mencoba membalik cara pandang itu. Acara ini memberikan ruang yang penuh bagi kerja-kerja visual untuk tampil sebagai pengalaman utama, bukan sekadar penunjang. Wayahe cah mburi tampil—waktunya orang-orang di belakang panggung unjuk diri.

Acara ini menghadirkan nama-nama seniman muda, yakni Jansen Goldy, Shapek, Kanosena, Mailani Sumelang, Cholsverde, Kelompok Dibalik Tonil, Deva x Cici, dan Neat Project. Masing-masing menampilkan eksplorasi yang unik: dari visual coding yang mengubah baris-baris program menjadi pola-pola dinamis, menggerakkan benda, menumpahkan cairan, mengatur proyektor, menciptakan bayangan—semuanya dilakukan secara langsung, tanpa rekayasa pascaproduksi.

Beberapa seniman juga menjadikan tubuh mereka sebagai objek eksplorasi. Para seniman ini memadukan teknologi lama dan baru. Di satu sisi, mereka menggunakan proyektor OHP—alat visual klasik dari masa lalu—untuk menciptakan tekstur, distorsi, dan bayangan yang hidup. Di sisi lain, mereka memanfaatkan proyektor digital, visual coding, dan live mapping yang canggih. Pertemuan keduanya menciptakan estetika yang segar dan tak terduga—sebuah jembatan antara nostalgia dan inovasi.

Jansen dan Shapek, misalnya. Mereka menggunakan visual coding dua dimensi yang kemudian diproyeksikan menggunakan proyektor digital, sedangkan Mailani Sumelang menggunakan proyektor OHP  untuk mengeksplorasi bayangan yang lebih tajam dari berbagai objek: mika, plastik, tangan, bahkan cairan. Adapun di sisi yang lain, Deva Listianto dan Cici menggunakan tubuh mereka sebagai media.

Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung
Pertunjukan oleh Mailani Sumelang yang memadukan menggunakan proyektor OHP yang dipadukan dengan seni rupa (gambar)/Inggar Dwi Panjalu

Alih-alih menyuguhkan tontonan pasif dan satu arah, Skopos Vibes menciptakan pengalaman multisensori yang mengajak penonton untuk mengalami pertunjukan secara langsung. Penonton dan penampil berpadu dalam sebuah ruang yang tak lagi kaku. Ini bukan pertunjukan satu arah; ini adalah dialog antara medium, antara seniman dan penonton, antara teknologi lama dan baru.

Beberapa karya terasa meditatif, dengan alur cahaya yang mengalir lambat. Yang lain memanfaatkan intensitas suara dan kilatan cahaya untuk membangun ketegangan. Semua ini dilakukan secara langsung—tanpa filter, tanpa edit. Menunjukkan bahwa kerja penata visual dan cahaya bukan sekadar pascaproduksi, melainkan performa langsung yang dilakukan dengan penuh presisi dan intuisi.

Bagi sebagian orang, ini bisa jadi membingungkan dan asing. Tapi justru dalam kebingungan itu, kita diajak untuk melihat ulang bagaimana sebuah pertunjukan bisa bekerja. Bahwa tidak semua harus naratif, tidak semua harus memiliki plot. Bahwa bunyi, cahaya, dan gerak bisa berdiri sendiri sebagai bentuk ekspresi, dan punya keajaiban panggungnya tersendiri. 

Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung
Pertunjukan oleh Deva dan Cici yang mengekplorasi tubuh dan visual mapping/Inggar Dwi Panjalu

Makna Baru dari Skopos Vibes

Apa yang dilakukan Skopos Lab lewat acara ini bukan hal remeh. Ia mendobrak struktur dan hierarki dalam seni pertunjukan yang selama ini menganggap kerja teknis sebagai “di belakang”. Dalam sebuah pementasan konvensional, penata cahaya dan visual adalah nama-nama yang biasanya disebut di bagian akhir. Kalaupun disebut, mereka dianggap pelayan artistik, bukan pencipta artistik.

Acara ini menjadi ajang pembuktian bahwa kerja-kerja visual bukan hanya soal teknis. Ia menuntut kepekaan, intuisi, bahkan visi estetika yang kuat. Menata cahaya bukan hanya soal “menerangi” aktor, melainkan tentang menyusun ruang emosional. Membuat visual bukan hanya soal “memperindah” latar, melainkan juga tentang menciptakan pengalaman yang membekas. Skopos Vibes #1 menyuarakan sesuatu yang lebih dalam: sebuah tuntutan akan eksistensi. Pengakuan bahwa para penata visual dan cahaya adalah seniman. Bahwa kerja mereka tidak kalah kompleks dan kreatif dibanding sutradara atau aktor. Dan bahwa mereka juga berhak atas ruang untuk berbicara, berkarya.

Lebih dari sekadar pertunjukan, Skopos Vibes menjadi sebuah bentuk intervensi budaya. Ia menghadirkan kemungkinan baru tentang bagaimana kita memahami dan menghargai sebuah karya pertunjukan dari segala aspek. Ia menunjukkan bahwa di balik kilatan cahaya dan gerak visual, ada seniman yang selama ini bekerja dalam diam—dan diamnya mereka bukan berarti tanpa suara.

Seperti cahaya yang menyusup lewat celah-celah gelap, para seniman di Skopos Vibes menunjukkan bahwa seni bisa lahir dari ruang-ruang yang tidak terlihat. Mereka membuat kita kembali bertanya: siapa yang sebenarnya menciptakan pengalaman teatrikal yang emosional? Siapa yang menggerakkan imajinasi penonton?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/skopos-vibes-eksplorasi-visual-dan-cahaya-para-seniman-belakang-panggung/feed/ 0 47455
Prawirotaman dan Runtuhnya Mitos Jogja yang Murah Meriah https://telusuri.id/prawirotaman-dan-runtuhnya-mitos-jogja-yang-murah-meriah/ https://telusuri.id/prawirotaman-dan-runtuhnya-mitos-jogja-yang-murah-meriah/#comments Tue, 10 Jun 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=47371 Di antara riuh rendahnya tempat yang berjuluk “Kota Pelajar”, sebuah kampung hangat bernama Prawirotaman perlahan berubah menjadi dunia kecil yang berbeda. Gang-gang sempit yang dulunya disesaki oleh lalu-lalang warga lokal, kini bersolek layaknya galeri seni...

The post Prawirotaman dan Runtuhnya Mitos Jogja yang Murah Meriah appeared first on TelusuRI.

]]>
Di antara riuh rendahnya tempat yang berjuluk “Kota Pelajar”, sebuah kampung hangat bernama Prawirotaman perlahan berubah menjadi dunia kecil yang berbeda. Gang-gang sempit yang dulunya disesaki oleh lalu-lalang warga lokal, kini bersolek layaknya galeri seni terbuka. Tembok-tembok gang menjadi kanvas lepas, diwarnai mural dan grafiti nyentrik yang tak hanya mencuri perhatian, tapi juga menggoda lensa kamera wisatawan. Aroma cat semprot berpadu dengan kopi artisan, lalu suara gamelan dan keroncongan berganti petikan gitar dan tabuhan drum dari bar-bar kecil yang terdengar hingga larut malam. 

Dulu, orang berdatangan ke Yogyakarta untuk mencari ketenangan dan keberagaman budaya. Murahnya angkringan, hotel melati yang tarifnya tak lebih dari harga tiket bioskop, dan suasana santai yang membuat siapa pun ingin berlama-lama. 

Namun, saya selalu percaya bahwa Yogyakarta tak akan berubah menjadi kota serupa Jakarta. Ia akan tetap istimewa dengan kesederhanaannya. Tak hanya populer karena keberagaman destinasi wisata dan melekatnya unsur budaya, tapi juga identik dengan “murah meriahnya”. Keyakinan itu bukanlah datang dari serbuan video yang selalu dibalut dengan narasi hiperbolis dari kreator konten, melainkan rentetan cerita autentik mereka yang telah lebih dulu menginjakan kaki di kota ini: teman sejawat, tetangga, hingga abang-abangan di kampus. 

Konon, dengan uang seratus ribu, mereka bisa bertahan hidup seminggu di Yogyakarta. Katanya, di sana masih banyak makanan di bawah harga Rp5.000 dan sudah bisa bikin perut kenyang. Tapi itu dulu. Hari ini, saya duduk di salah satu bar di jantung Prawirotaman. Menu ditulis dengan spidol putih di papan hitam, lampunya temaram, musik jazz yang mengalun pelan, dan harga softdrink serupa Coca-Cola dibandrol dengan harga Rp30.000-an. Meski awalnya cukup kaget, tapi saya mulai sadar bahwa saat ini saya tengah duduk di dalam bar, bukan di warung-warung pinggir jalan. Terlebih di antara para wisatawan mancanegara yang tengah bervakansi di tempat yang sama. 

Prawirotaman kini tak lagi sekadar kampung. Ia menjelma serupa kota dalam kota: tempat segala hal yang “instagramable” menyatu dalam satu zona eksklusif. Di tengah euforia malam di pusat Prawirotaman, gerobak bakso Malang dan siomay Bandung menepi diantara sederet gerai bakery dan restoran ala Western dan Asia. Beberapa orang menyebutnya sebagai pluralitas. Tapi buat saya, ini semacam distorsi. 

Plang utama Jalan Prawirotaman (kiri) dan aneka plang petunjuk arah menuju sejumlah penginapan/Yayang Nanda Budiman

Hidup di Yogyakarta Tak Lagi Murah

Saya tak ingin dicap sebagai lelaki tua yang selalu meromantisasi masa lalu dan menolak perubahan. Namun,  ada yang terasa ganjil tatkala mitos murahnya hidup di Yogyakarta terus dipamerkan, padahal realitasnya sudah jauh berbeda dari apa yang diceritakan. Seolah-olah kota ini dipoles eksklusif untuk turis, tetapi perlahan ia melupakan warganya sendiri.

Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Upah Minimum Provinsi (UMP) Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2025 adalah Rp2.264.080,95. Meski telah mengalami kenaikan sekitar 6,5% dari tahun sebelumnya, tetapi angka ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Jawa. 

Bahkan jika kita melihat biaya sewa kos di sekitar Prawirotaman dan pusat kota, kini bisa menyentuh Rp1.000.000–1.500.000 per bulan untuk kamar standar. Itu pun belum termasuk biaya listrik, uang makan, transportasi, dan kebutuhan harian lainnya. Biaya tersebut hampir serupa dengan kota Bandung yang mempunyai upah minimum dua kali lipat jauh lebih besar, yakni Rp4.482.914,09. 

Tak hanya soal biaya hidup dan sewa kamar kost yang melangit, harga makanan pun tampaknya kian mengikuti arus tren yang populer. Meski bukan bermaksud menyamaratakan, tetapi saya mengalami ketika makan seporsi bakmi godog Rp30.000, nasi goreng serupa daerah lain Rp15.000, bahkan sebungkus nasi ayam geprek di tempat yang dulu saya kenal, kini tak lagi bisa ditebus dengan uang Rp10.000. Tak cuma itu, angkringan yang selalu menjadi primadona kota ini pun kini banyak yang memasang harga lebih tinggi. Sebab, mereka tak hanya melayani pelanggan lokal, tapi juga wisatawan. 

Ketika saya bilang di Yogyakarta sudah tak lagi murah, sebagian orang menjawab “Kalau kamu pintar cari tempat, Yogyakarta masih banyak tempat makan yang murah.” Mungkin pendapat itu benar. Tapi yang murah sulit ditemukan di pusat kota, apalagi di daerah populer seperti Prawirotaman.

Yogyakarta memang masih mempunyai segudang sudut yang menawarkan kesederhanaan. Akan tetapi, kesederhanaan itu perlahan tersingkirkan oleh euforia. Prawirotaman adalah simbol pesta dan kesenangan. Kawasan ini tak lagi bicara soal budaya lokal yang otentik, tapi perihal estetika mancanegara. 

Akankah Yogyakarta Kembali Murah Meriah?

Jalan Prawirotaman kini menjadi nama kedua yang terlintas usai Malioboro, ketika orang berbicara tentang liburan di Yogyakarta. Popularitasnya kian melesat, terlebih setelah film Ada Apa dengan Cinta 2 mengambil beberapa adegan di tempat ini. Dikenal dengan sebutan “kampung turis” atau “Balinya Yogyakarta”, di antara mural-mural berwarna dan lampu-lampu jalan yang temaram, Prawirotaman mengajarkan satu hal: bahwa di kota ini, jarak antara rumah dan petualangan hanya selembar peta.

Dan Jogja, saya tak bisa menyalahkan atas kepudaran nilai murah meriahnya. Bagaimanapun, kota ini dipaksa untuk ikut bergerak oleh zaman yang berubah terlalu cepat. Ia tak sempat menolak, bahkan mungkin tak diberi pilihan. Mitos tentang hidup murah di Yogyakarta tetap dirawat rapat-rapat, dipoles dalam konten sosial media penuh nostalgia.

Seolah kota ini adalah jawaban bagi mereka yang lelah dengan kepadatan dan mahalnya hidup di Jakarta dan sekitarnya. Namun, kenyataan berbanding terbalik. Murahnya Jogja kini hanya romantisme masa lalu—kenangan yang ditawarkan dalam bentuk unggahan feed Instagram, bukan kenyataan yang bisa kita genggam.

Dan ketika saya duduk terdiam di sebuah kafe di Prawirotaman, menyeruput kopi sambil memotret mural di seberang jalan, ingatlah: di balik dinding dan lorong sempit gang itu, masih ada kehidupan lain yang jarang terekam di media sosial. Ada keriangan anak-anak yang bermain di pelataran rumah yang terbatas, ibu-ibu yang menjemur pakaian dan seorang bapak yang membetulkan rantai sepedanya. Ada banyak sudut Jogja yang orisinal, tak estetik—tapi nyata—menyaksikan euforia dari kejauhan dalam keheningan. 

Di tengah terbukanya ruang Prawirotaman untuk setiap orang yang menikmati Yogyakarta, ia adalah ruang yang harus tetap kita jaga. Bukan hanya untuk para tamu yang datang dan pergi, melainkan juga tuan rumah yang lahir dan menua bersama kenangan kota ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Prawirotaman dan Runtuhnya Mitos Jogja yang Murah Meriah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/prawirotaman-dan-runtuhnya-mitos-jogja-yang-murah-meriah/feed/ 1 47371
Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan https://telusuri.id/susur-kampung-jogja-dari-sudagaran-pakuncen-hingga-notoyudan/ https://telusuri.id/susur-kampung-jogja-dari-sudagaran-pakuncen-hingga-notoyudan/#respond Wed, 23 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46744 Sabtu (22/2/2025), saya melakukan sebuah perjalanan akhir pekan yang berbeda dari biasanya. Saya tidak mendatangi pantai, Gunung Merapi, museum, atau bahkan Malioboro. Ada sebuah tawaran kegiatan yang lebih menarik dari semua itu bagi saya: Susur...

The post Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan appeared first on TelusuRI.

]]>
Sabtu (22/2/2025), saya melakukan sebuah perjalanan akhir pekan yang berbeda dari biasanya. Saya tidak mendatangi pantai, Gunung Merapi, museum, atau bahkan Malioboro. Ada sebuah tawaran kegiatan yang lebih menarik dari semua itu bagi saya: Susur Kampung

Informasi ini saya peroleh dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang saya ikuti pada suatu malam. Saya pikir, “Susur kampung? Apa yang menarik dari kampung sehingga harus ditelusuri?” Lalu saya mengambil kesimpulan, bahwa ada hal yang ingin disampaikan melalui kegiatan ini. Tentu saja, jika tidak, untuk apa mereka bersusah payah mengadakan kegiatan semacam itu, bukan?

Pada akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti kegiatan Susur Kampung yang diinisiasi oleh Paguyuban Kalijawi. Ada beberapa rute yang ditawarkan. Sebuah keberuntungan bagi saya dihadirkan dalam kelompok rute susur kampung Sudagaran–Pakuncen–Notoyudan. 

Seluruh peserta diberikan imbauan agar tiba tepat waktu pada pukul 08.30 WIB. Sebisa mungkin saya memenuhi perintah tersebut. Perjalanan dimulai dengan berkumpul di gang DPR. Saya, sebagai penduduk sementara Yogyakarta, dengan polosnya mengira gang DPR berarti gang di sekitar gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Siapa sangka itu bermakna lain, gang DPR yang dimaksud adalah gang Daerah Pinggiran Rel. Saya cukup tergelak dengan penjelasan Bu Atik, pemandu kami pada perjalanan Susur Kampung hari itu. 

Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan
Berjalan kaki menyusuri kampung ke kampung/Karisma Nur Fitria

Di Sudagaran Saya Mengubah Stigma tentang Kampung

Bu Atik, yang juga anggota Paguyuban Kalijawi, ditemani ibu-ibu lain mengajak kami menelusuri kampung. Bukan tanpa tujuan, kami diminta untuk memikirkan dua pertanyaan tentang “apa itu kampung” dan “apa potensi yang ditemukan dari kampung”. Dengan pikiran yang masih sempit, saya berpikir bahwa kampung, ya, kampung. Apalagi kampung di pinggir kali yang terkenal karena kumuhnya. Pendefinisian saya tentang kampung pinggir kali mungkin sama dengan apa yang dipikirkan orang lain. 

Semuanya berubah ketika susur kampung hari itu. Saya tidak lagi mendefinisikan kampung berdasarkan apa yang saya lihat. Saya menikmati dan memaknai lebih jauh kampung melalui keberadaan masyarakat dengan segala potensi di luar predikat yang melekat padanya.

Sudagaran adalah kampung pertama yang juga menjadi titik keberangkatan kami. Berbekal informasi dari Bu Nani selaku warga Sudagaran, kami mengetahui berbagai hal. Masyarakat setempat membuat sumur komunal, yang berarti satu sumur untuk dipakai bersama. Hal ini menjadi salah satu solusi persoalan air yang ada di sana. 

Dari situ saya melihat bahwa masyarakat berusaha memelihara kampung dan komunitas yang ada di dalamnya dengan memecahkan masalahnya sendiri. Tidak berlama-lama menyusuri kampung Sudagaran, kami diajak untuk berangkat menuju kampung selanjutnya, Pakuncen.  

Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan
Celah pemandangan langit yang terlihat dari atap rumah warga yang berimpitan/Karisma Nur Fitria

Pakuncen, Kampung yang Peduli Lingkungan

Keberadaan masyarakat yang memiliki kesadaran penuh terhadap tempat tinggalnya dapat menciptakan kehidupan kampung menjadi lebih baik. Pakuncen adalah buktinya. Penataan kampung yang mengedepankan prinsip M3K (mundur, munggah, madep kali). Saya tertarik dengan konsep yang baru saya dengar dari Bu Atik hari itu. 

Mundur artinya rumah-rumah diberikan jarak dari pinggir sungai dengan cara mundur ke belakang sekitar tiga meter. Hal ini bertujuan agar tetap ada jalan yang mudah diakses oleh mobil seperti ambulans atau pemadam kebakaran. Apabila dipikirkan ulang, memang benar beberapa kasus di daerah padat penduduk adalah kesulitan akses bagi kendaraan darurat semacam itu.

Munggah artinya naik ke atas. Sebab, rumah-rumah yang ada harus dibuat mundur sehingga solusinya adalah munggah. Penataan kampung yang cakap dan tersusun ini tentunya berkat kesadaran dan kepedulian masyarakat setempat. 

Terakhir, madep kali. Ini menjadi poin yang paling menarik bagi saya. Madep kali artinya menghadap ke sungai. Rumah-rumah yang ada ditata agar menghadap ke sungai, bukan membelakangi sungai. Penataan seperti ini bertujuan agar masyarakat tidak sembarangan membuang sampah ke sungai. Ini berarti sungai ada di halaman depan rumah, sehingga masyarakat tentu segan membuang sampah ke halaman rumahnya sendiri. Lain halnya jika sungai ada di belakang rumah, maka masyarakat akan membuang sampah ke belakang rumahnya. Dari konsep ini saya tahu tentang cara masyarakat terutama di sekitar Pakuncen dan Notoyudan dalam menghargai sungai.

Kesinambungan Elemen Air, Tanah, dan Hawa di Kampung

Festival Pamer Kampung memiliki fokus pada beberapa persoalan dan potensi yang ada di kampung. Mereka menyebutnya sebagai elemen air, tanah, dan hawa. Ketiga elemen ini dijelaskan secara teori oleh Bu Atik dan rekan lainnya. Akan tetapi, saya rasa dapat dimaknai lebih dalam lagi bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya di kampung. 

Sepanjang perjalanan susur kampung, hal yang paling dekat dengan masyarakat adalah sungai atau air. Namanya juga kampung pinggir kali, sungai atau air ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar. Tidak hanya memenuhi kebutuhan air, tetapi juga bagaimana air dapat menghidupi masyarakat. Bu Tatik, warga lainnya, menjelaskan bahwa pasir yang diperoleh nantinya dapat dijual dengan harga Rp10.000 per karung.

Masyarakat dapat memanfaatkan potensi apa saja yang ada di sungai selain airnya. Ada hal lain yang menarik perhatian saya terkait elemen air ini. Sepanjang susur kampung, ibu-ibu yang memandu kami sering menunjukkan bahwa di beberapa titik ada “mbelik”. Saya awalnya tidak mengetahui apa itu “mbelik”, sampai di satu titik saya melihat plang yang bertuliskan “Belik Kidul” dengan keterangan mata air. Saya menemukan jawabannya tanpa bertanya. Sepanjang pengetahuan saya di Susur Kampung, sayangnya hanya “mbelik” itu yang memiliki plang nama.

Elemen berikutnya adalah tanah. Tanah berkaitan erat dengan rumah atau tempat tinggal yang pada dasarnya ada di atas tanah. Persoalan tanah bukan hal yang baru lagi di telinga masyarakat Yogyakarta, tidak terkecuali yang tergabung dalam Paguyuban Kalijawi. Berkedudukan di atas tanah informal membuat masyarakat berusaha membentuk dan memperoleh tempat tinggal yang nyaman. 

Bu Tatik menjelaskan, ada sebuah program bernama One Day One Thousand yang berhasil dikumpulkan oleh ibu-ibu untuk membangun Balai Bambu. Hal ini didasari karena tidak adanya ruang publik yang mumpuni bagi masyarakat Pakuncen. Saya kagum dengan penjelasan ibu-ibu sejak awal perjalanan kami dimulai. 

Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan
Pemaparan materi di titik terakhir Susur Kampung di Notoyudan/Karisma Nur Fitria

Hal tersebut lalu menyinggung elemen hawa yang dapat berarti udara, ruang terbuka, atau bahkan perempuan. Dari sana saya mengerti mengapa tidak mengambil padanan kata suasana atau yang lainnya. Usaha pemberdayaan perempuan dalam memajukan kampung sangat menggambarkan peran perempuan tidak cukup di rumah saja. Pengelolaan ruang publik dalam Susur Kampung ini juga mengandalkan peran penting seorang perempuan.  

Kesinambungan antara elemen air, tanah, dan hawa di kampung menunjukkan arti sebenarnya dari kampung itu sendiri. Susur Kampung sangat berarti bagi saya. Masyarakat kampung tidak hanya berdampingan dengan kehidupan sosial budaya saja, tetapi juga makhluk hidup lainnya. 

Saya bertemu banyak orang dan ikut merasakan kehangatan dari setiap sudut kampung yang mereka jaga. Dari Susur Kampung, saya menjumpai pemaknaan lain dari sebuah “kampung”. Kampung tidak terbatas pada sebuah permukiman masyarakat yang tidak “kota”, tetapi kampung adalah masa depan ketika masyarakatnya terus berkembang.


Foto sampul: foto bersama peserta Susur Kampung/Dokumentasi Susur Kampung


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Susur Kampung Jogja: Dari Sudagaran, Pakuncen hingga Notoyudan appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/susur-kampung-jogja-dari-sudagaran-pakuncen-hingga-notoyudan/feed/ 0 46744
Menyusuri Jejak Amuk Merapi https://telusuri.id/menyusuri-jejak-amuk-merapi/ https://telusuri.id/menyusuri-jejak-amuk-merapi/#respond Thu, 10 Apr 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46602 Amuk Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi pada 26 Oktober 2010. Letusan demi letusan terjadi hingga puncaknya pada 3 November 2010. Akibat letusan dahsyat itu, 353 orang meninggal dunia, termasuk juru...

The post Menyusuri Jejak Amuk Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
Amuk Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi pada 26 Oktober 2010. Letusan demi letusan terjadi hingga puncaknya pada 3 November 2010. Akibat letusan dahsyat itu, 353 orang meninggal dunia, termasuk juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan. Erupsi 2010 disebut-sebut adalah yang paling dahsyat dalam 100 tahun..

Setelah malapetaka tersebut, tahun 2014 ditawarkan wisata petualangan menggunakan mobil jip ke area terdekat Gunung Merapi yang terdampak erupsi. Namanya Lava Tour Merapi. Pada awal Juni 2024 lalu, saya dan istri mengunjunginya.

Menyusuri Jejak Amuk Merapi
Jip-jip parkir di halaman basecamp penyedia jasa Lava Tour Merapi, Sleman/Fandy Hutari

Telusur Bekas Erupsi

Banyak komunitas yang menawarkan jasa petualangan ini di sekitar Jalan Mbah Maridjan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kami memilih salah satunya. Ada tiga paket yang mereka tawarkan, yakni paket panjang dengan durasi tiga jam, berbiaya Rp600.000. Pengunjung yang memilih paket ini bakal diajak ke Bungker Kaliadem, The Lost World Park, Museum Erupsi Merapi, off-road air, dan foto-foto di jip.

Lalu paket menengah dengan durasi dua jam, berbiaya Rp500.000. Tempat-tempat yang ditawarkan antara lain Bungker Kaliadem, Petilasan Mbah Maridjan, Museum Erupsi Merapi, off-road air, dan foto-foto di jip. Terakhir paket pendek dengan durasi 1,5 jam, berbiaya Rp400.000. Tempat-tempat yang dikunjungi seperti paket menengah, tetapi tanpa off-road air.

Kami memilih paket pendek saja. Sebab, saya hanya penasaran dengan Petilasan Mbah Maridjan dan Museum Erupsi Merapi.

Jip-jip terbuka terparkir di halaman luas salah satu komunitas trip Merapi, sewaktu kami tiba dari penginapan di seberang Stasiun Yogyakarta. Gunung Merapi sudah terlihat saat kami dalam perjalanan menuju lokasi jip.

Perkampungan yang beberapa rumahnya sudah kosong, kebun-kebun warga, dan jalan penuh bebatuan mengawali petualangan kami dengan jip. Kami melewati jalanan penuh bebatuan dan pasir, mirip sungai yang sudah kering. Menurut pemandu, yang juga sopir jip, area yang kami lewati itu dahulu titik aliran lahar Gunung Merapi. Guncangan-guncangan kecil tentu saja terjadi, tetapi itulah yang membuat seru.

Dari titik ini, jika beruntung tak tertutup awan, pengunjung bisa melihat puncak Gunung Merapi sangat dekat. Sayang sekali, saat kami ke sana, awan sudah tebal menghalangi pandangan ke puncak itu.

Puas mengambil beberapa foto, kami melanjutkan perjalanan ke Petilasan Mbah Maridjan. Menurut pemandu, yang saya lupa namanya, jarak dari petilasan ke puncak Gunung Merapi sudah dekat, hanya sekitar lima kilometer.

Kemudian jip membawa kami ke Bungker Kaliadem yang punya cerita miris. Terakhir, ke Museum Erupsi Merapi dan kembali ke titik jip tadi berangkat, saat siang mulai datang.

  • Menyusuri Jejak Amuk Merapi
  • Menyusuri Jejak Amuk Merapi

Ada Kisah di Balik Tempat

Petilasan—atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan bekas peninggalan—Mbah Maridjan menyimpan banyak cerita amuk Gunung Merapi pada 2010 lalu. Mbah Maridjan adalah kuncen Merapi. Sosok ini cukup terkenal karena keberanian dan kebijaksanaannya. Ketenarannya bahkan sampai mengantarkannya ke industri hiburan, menjadi bintang iklan minuman berenergi.

Mbah Maridjan mulai menjadi juru kunci Gunung Merapi pada 1982, setelah ditunjuk Sri Sultan Hamengkubuwana IX. Tugasnya adalah merawat situs dan menjalankan upacara adat di lereng Merapi. Juru kunci Merapi dipercaya menjadi sosok sentral yang memainkan peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan keselamatan lewat pendekatan kultural dan supranatural. Dia memiliki nama lain Raden Ngabehi Surakso Hargo. Saat awan panas erupsi turun dari puncak Merapi tanggal 26 Oktober 2010, Mbah Maridjan menolak dievakuasi.

Dalam wawancaranya dengan Andy F. Noya dalam acara Kick Andy episode “Menonton dengan Hati”, Sultan Hamengkubuwana X pernah ditanya soal Mbah Maridjan yang menolak dievakuasi saat letusan Merapi tahun 2006. Sultan mengatakan, tak pernah memerintahkan Mbah Maridjan agar turun gunung dan mengungsi karena hal itu tidak mungkin dilakukan Mbah Maridjan.

“Sebab, kalau Mbah Maridjan sampai mengungsi, ibarat di dunia militer, itu berarti dia sudah desersi. Saya sangat memahami, buat dia keputusan untuk tetap tinggal di sana (lereng Gunung Merapi) hingga mati lebih berharga daripada mengungsi,” ujar Sri Sultan.

Wawancara tersebut ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta pada awal November 2007. Namun, dalam erupsi 2010, Mbah Maridjan meninggal dunia.

Menyusuri Jejak Amuk Merapi
Mobil evakuasi yang seyogianya akan membawa Mbah Maridjan turun dari lereng Gunung Merapi/Fandy Hutari

Menurut penuturan wartawan Regina Safitri yang meliput langsung kejadian itu, Mbah Maridjan meninggal pada 26 Oktober 2010 dalam posisi sujud. Kepastian wafatnya diperoleh dari RSUP Dr Sardjito, 27 Oktober 2010 pagi. Jika Merapi mengeluarkan awan panas, kata dia, Mbah Maridjan langsung mengambil posisi sujud.

“Saya tidak tahu alasan ia sujud jika Gunung Merapi mengeluarkan awan panas, mungkin karena kedekatan beliau dengan Merapi. Mbah Maridjan sangat erat hubungannya dengan Merapi, ia sangat menghormati Merapi, ia bahkan tidak suka awan panas disebut wedhus gembel,” kata Regina.

Ada 37 orang warga Dusun Kinahrejo, Sleman—kampung sekitar rumah Mbah Maridjan, yang kini jadi petilasan—yang meninggal dunia karena letusan Gunung Merapi tahun 2010. Ditambah seorang relawan dan seorang wartawan. Nama-nama mereka terpampang di batu marmer Petilasan Mbah Maridjan.

Sisa amuk Merapi masih bisa kita lihat dari hancurnya barang-barang, yang masih terdapat sisa abu vulkanik. Ada perabot rumah tangga, kursi dan meja, sepeda, sepeda motor, gamelan milik Mbah Maridjan, dan satu unit mobil relawan yang menjadi saksi bisu peristiwa itu. Foto-foto peristiwa letusan tertempel di dinding.

Tempat Mbah Maridjan meninggal dengan posisi sujud ditandai dengan petilasan berbentuk mirip makam dan ada foto besar di belakangnya. Petilasan itu dilindungi di bangunan mirip pendopo.

Menurut pemandu, Mbah Maridjan teguh memegang kewajibannya “menjaga” Merapi sehingga dia menolak untuk mengungsi. Sebelum meninggal, kata pemandu, Mbah Maridjan sempat berkata, “Kehormatan seseorang itu dinilai dari tanggung jawab terhadap kewajibannya.”

Dari Petilasan Mbah Maridjan, jip yang kami tumpangi bergerak menuju Bungker Kaliadem. Tak seperti namanya, “adem”, bungker ini pernah diguyur lava. Kami menuruni anak tangga menuju dalam bungker. Ada tiga ruangan di sini, yakni kamar mandi, gudang, dan ruang tengah yang besar. Di tengahnya ada batu besar, yang katanya sisa lava yang sudah menjadi batu. Jika jari kita ditempelkan ke dinding dalam bungker, bakal ada bekas abu vulkanik yang masih melekat.

Menyusuri Jejak Amuk Merapi
Para pengunjung keluar dari Bungker Kaliadem/Fandy Hutari

Menurut penuturan pemandu, saat erupsi Gunung Merapi 2006, ada dua orang yang berlindung di dalam bungker. Namun, mereka tewas di sana karena suhu yang sangat tinggi hingga 200 derajat Celsius. Bungker ini dibangun pada 2001. Fungsi awalnya memang sebagai tempat berlindung warga. Namun, karena peristiwa letusan tahun 2006, bungker ini tidak lagi digunakan.

Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah Museum Erupsi Merapi. Kami melewati tanah-tanah kosong yang sudah ditumbuhi ilalang dan pepohonan, rumah-rumah warga yang hancur karena dampak erupsi, dan sebuah sekolah yang sudah tak lagi berpenghuni.

Museum kecil yang awalnya sebuah rumah ini, punya nama asli Omahku Memoriku Merapi. Didirikan pada 2013, museum ini menjadi saksi bisu dahsyatnya amuk Merapi 2010. Di halaman depan, ada dua kerangka sapi yang masih utuh. Masuk ke dalam, ada gamelan dan lukisan wayang milik sebuah sanggar, serta dua unit sepeda motor.

Lebih ke dalam lagi, di ruang tengah, ada kursi dan meja tamu. Di atas meja, ada rangka kelinci yang dilindungi kaca. “Warga di sini, selain beternak sapi, ada juga yang beternak kelinci,” kata pemandu kami.

Dari kiri ke kanan: Bagian belakang Omahku Memoriku Merapi dipenuhi perabot rumah tangga dan galeri foto di dinding, dua unit sepeda motor yang menjadi saksi bisu ganasnya erupsi, dan jam yang menunjukkan waktu erupsi Merapi 5 November 2010/Fandy Hutari

Di bawahnya, ada toples-toples yang menyimpan abu erupsi. Di dinding, terpacak foto-foto letusan Gunung Merapi dari beragam tahun. Ada juga jam dinding besar yang sudah meleleh, bertuliskan “THE MOMENT TIME OF ERUPTION 5 NOV 2010.” Jam itu menunjukkan waktu saat erupsi terjadi pada tanggal tersebut.

Di bagian belakang, ada tabung-tabung gas 3 kilogram. “Dulu sebelum erupsi (Merapi 2010), seminggu sebelumnya itu, ada penyuluhan tabung gas. Jadi, warga dibagikan gas-gas,” tutur pemandu. Di bagian atasnya, ada foto-foto hewan ternak yang terkena awan panas, tetapi masih hidup dan diselamatkan relawan. Ada juga perabot rumah tangga, seperti panci, gentong, gelas, piring, dan ember yang semuanya sudah meleleh. Fosil batu-batu besar sisa erupsi juga dipajang.

Sebelum jip mengantar kami turun, ada warung oleh-oleh persis di depan museum. Kami memesan secangkir kopi khas Merapi sebagai penutup perjalanan kali ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Menyusuri Jejak Amuk Merapi appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/menyusuri-jejak-amuk-merapi/feed/ 0 46602
Mengambil Pelajaran dari “Tracking” di Kalitalang https://telusuri.id/pelajaran-tracking-kalitalang/ https://telusuri.id/pelajaran-tracking-kalitalang/#comments Thu, 20 Mar 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=46355 “Semua kegiatan adalah hal yang menarik selain skripsi.” Begitulah sekiranya gambaran kondisi mahasiswa tingkat akhir seperti saya saat ini. Pernyataan itu disetujui oleh rekan yang membawa saya berlibur beberapa waktu lalu. Mahasiswa tingkat akhir tidak...

The post Mengambil Pelajaran dari “Tracking” di Kalitalang appeared first on TelusuRI.

]]>
“Semua kegiatan adalah hal yang menarik selain skripsi.”

Begitulah sekiranya gambaran kondisi mahasiswa tingkat akhir seperti saya saat ini. Pernyataan itu disetujui oleh rekan yang membawa saya berlibur beberapa waktu lalu. Mahasiswa tingkat akhir tidak kenal lelah untuk ngalor-ngidul, ke sana kemari, tetapi dikejar skripsi rasanya ngos-ngosan. Segala ajakan saya terima untuk berusaha menyeimbangkan diri dengan skripsi itu, salah satunya tracking di Kalitalang.

Selasa (12/2/2025) seorang rekan membawa saya melakukan tracking. Hal ini tidak pernah terpikirkan akan terjadi oleh saya sebelumnya. Salah satu wishlist yang bolak-balik masuk dari tahun ke tahun dan tidak terealisasikan akhirnya tutup buku waktu lalu. Saya senang bukan main ketika diberi tawaran semacam itu. 

Rekan yang membawa saya memenuhi mimpi itu adalah seseorang yang berpengalaman di bidangnya. Sudah banyak gunung dan bukit yang dia sambangi. Saya sebagai seorang pemula menjadi percaya dan memiliki rasa aman dalam melakukan perjalanan ini.

Sekitar pukul 08.00 WIB perjalanan kami dimulai. Sejak awal berangkat dari tempat saya tinggal, Condongcatur, cuaca sangat cerah dan Gunung Merapi memamerkan kegagahannya. Saya sangat bersemangat dalam perjalanan menuju Kalitalang. Rasanya ketika roda sepeda motor ini berputar, semakin mendekat pula Merapi kepada saya. Perlahan hawa dingin mulai mulai menyambut perjalanan kami. 

Kurang lebih lewat satu jam, sekitar pukul 09.00 kami  tiba di kawasan ekowisata Kalitalang. Pembayaran pertama, tiket perawatan ekowisata Kalitalang dikenakan biaya masuk 5.000 rupiah per orang dan 3.000 rupiah untuk biaya parkir motor. Pembayaran kedua, tiket masuk wisatawan Taman Nasional Gunung Merapi sebesar 5.000 rupiah dan tiket asuransi pengunjung 2.000 rupiah. Sekiranya perlu menyiapkan 15.000 rupiah untuk berkunjung ke Kalitalang.

Selesai dengan urusan biaya masuk, saya dan rekan memulai langkah perjalanan baru. Saya tidak menduga bahwa kegiatan ini sangat menyenangkan dan jauh dari kata menakutkan. Jujur saja, sebagai pemula saya khawatir dengan beberapa kemungkinan yang bisa terjadi di alam. Namun, kekhawatiran itu tidak ada yang terjadi dan terlupa seketika ketika saya tenggelam di dalamnya. 

Mengambil Pelajaran dari Tracking di Kalitalang
Potret warga mengangkut rumput dengan sepeda motor di Kalitalang/Karisma Nur Fitria

Pelajaran dan Tracking Dimulai

“Apakah ada hal seru lainnya selain menikmati pemandangan?” Tentu saja ada. Tidak hanya bertemu dengan sesama pendaki atau wisatawan saja di sana. Seperti foto sebelum ini, yang saya pikir lebih dari sekadar potret warga yang sedang mengangkut rumput untuk ternaknya.

Saya memikirkan sesuatu yang lebih manis di sini. Manusia dan alam memang seromantis itu dalam menjalin hubungan. Sederhananya, mereka tidak saling menuntut untuk mendapatkan dan memberikan sesuatu. Keikhlasan yang ada pada mereka menyeimbangkan sesuatu yang disebut dengan “berdampingan”. Andai semua dapat melihat pemandangan semacam ini menggunakan rasa lebih dalam. 

Banyak hal baru yang dijelaskan secara sabar oleh rekan saya. Salah satunya ketika meminta izin padanya untuk mengambil gambar sejenak, lalu ia menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang tidak diperbolehkan. Pertama, dilarang mengambil apap un selain gambar. Kedua, dilarang meninggalkan apapun selain jejak. Ketiga, dilarang membunuh sesuatu selain waktu. Itu adalah pelajaran pertama yang saya peroleh hari itu. Sudah semestinya manusia tidak berlaku sembarangan kepada semua ciptaan Tuhan.

Mengambil Pelajaran dari Tracking di Kalitalang
Jalur tracking Kalitalang/Ibu S. Roestamadji

Selama tracking, saya tidak pernah berhenti untuk mencurahkan perasaan saya atas alam yang Tuhan ciptakan. Merapi tidak lagi memamerkan kegagahannya, ia ‘memanggil’ saya untuk semakin mendekat kepadanya. Akan tetapi, ada sesuatu yang cukup menarik perhatian saya. 

Penampilan Merapi mulai berbeda, terkesan seperti ada topi putih yang menutup malu puncaknya. Lagi-lagi rekan saya tanpa diminta menjelaskan sesuatu, yang berarti itu pelajaran kedua di hari itu. Rekan saya menjelaskan bahwa itu adalah awan lentikular. Sesuatu yang baru di telinga saya.

Setelah sibuk berjalan sambil menjelaskan awan itu, cukup terasa bagi saya sampai akhirnya tiba di Pos 1. Melelahkan, tentu saja. Berulang kali saya meminta jeda untuk mengambil napas. Rekan saya menjelaskan bahwa trek ini tidak terlalu sulit dan cukup landai. Mungkin jika saya bukan seorang pemula tentu akan menyetujuinya dengan mudah.

Angin yang kencang dan dingin rasanya ingin membawa saya terbang. Jika bisa atau diperbolehkan, tentu saja saya ingin ikut terbang terbawa angin saja. Saya tidak lagi berorientasi pada ujung perjalanan ini. Saya hanya ingin menyelami setiap sudut mata memandang bentang alam di Kalitalang.

Mengambil Pelajaran dari Tracking di Kalitalang
Pos 1 Pangukan Kalitalang dengan latar belakang hutan dan Gunung Merapi/Karisma Nur Fitria

Meresapi Keindahan Alam

Pengalaman pertama tracking ini membuat saya merasa tidak hanya lebih dekat dengan alam, tetapi juga dengan manusia. Entah sudah langkah ke berapa yang kami tempuh, tidak terhitung pula berapa manusia yang menyapa kami dengan ramah. Rekan saya menegaskan bahwa tidak perlu merasa heran dengan situasi seperti itu. Itu menjadi pelajaran baru ketiga bagi saya. 

Ketika meresapi keindahan alam di Kalitalang, saya terpikirkan sesuatu yang sedikit menggerus perasaan. “Pemandangan ini mungkin saja lahir dari hal yang menyakitkan bagi alam atau bahkan makhluk lain dan kita mengaguminya sebagai sebuah keindahan,” ucap saya. 

Mengambil Pelajaran dari Tracking di Kalitalang
Tebing yang terbelah di lereng Merapi/Karisma Nur Fitria

Begitulah kiranya ketika saya melihat pemandangan itu. Akan tetapi, setidaknya saya tahu bahwa alam tidak perlu merasa terlalu kecewa. Pada kenyataannya rasa sakit itu melahirkan keindahan yang bisa saja membuat ia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ini menjadi pelajaran terakhir yang saya peroleh di siang itu.

Kalitalang membawa saya lebih jauh dari sekadar mengunjunginya. Banyak hal yang saya pelajari tentu tak lepas dari andil ketepatan rekan yang membawa saja hingga sejauh itu. 

Saya memang tidak mencapai puncaknya dan merasa cukup sampai di Pos 3. Itu bukan pencapaian jika diukur dari ujung perjalanan di Kalitalang. Akan tetapi, itu adalah sebuah keberhasilan bagi saya dalam kemampuan meresapi dan memaknai perjalanan saya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Mengambil Pelajaran dari “Tracking” di Kalitalang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/pelajaran-tracking-kalitalang/feed/ 1 46355
Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo https://telusuri.id/amex-2024-museum-sonobudoyo-yogyakarta/ https://telusuri.id/amex-2024-museum-sonobudoyo-yogyakarta/#respond Tue, 11 Feb 2025 03:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=45604 Di Yogyakarta, selain Malioboro dan Keraton Jogja yang jadi destinasi wisata favorit turis, Museum Sonobudoyo juga sebenarnya tidak kalah menarik untuk dikunjungi. Apalagi setiap akhir tahun Museum Sonobudoyo mengadakan pameran yang bernama Annual Museum Exhibition...

The post Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Yogyakarta, selain Malioboro dan Keraton Jogja yang jadi destinasi wisata favorit turis, Museum Sonobudoyo juga sebenarnya tidak kalah menarik untuk dikunjungi. Apalagi setiap akhir tahun Museum Sonobudoyo mengadakan pameran yang bernama Annual Museum Exhibition (Amex).

Museum Sonobudoyo merupakan museum negeri di bawah naungan Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Museum ini mempunyai fungsi mengelola koleksi-koleksi sarat nilai budaya dan sejarah. Selain itu Sonobudoyo juga memiliki tugas untuk mengumpulkan, merawat, pengawetan, melaksanakan penelitian, pelayanan pustaka, bimbingan edukatif kultural serta penyajian benda koleksi. Lokasi museum berada di pusat kota Yogyakarta, tepatnya Jalan Trikora/Pangurakan No. 6, berdekatan dengan keraton dan Malioboro.

Museum Sonobudoyo menyimpan 10 jenis koleksi, yang meliputi: Koleksi Geologi, Koleksi Biologi, Koleksi Etnografi, Koleksi Arkeologi, Koleksi Numismatika, Koleksi Historika, Koleksi Filologika, Koleksi Seni Rupa, Koleksi Teknologika, dan Koleksi Keramologika. Museum buka setiap hari Selasa–Minggu pukul 08.00–21.00 WIB. Adapun harga tiket masih relatif terjangkau dan terbagi menjadi dua kategori. Tiket domestik dewasa Rp10.000 dan anak-anak Rp5.000, sedangkan wisatawan mancanegara Rp20.000.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika mengunjungi pameran AMEX 2024 lalu. Pertama, pameran menerapkan sistem “one way”, jadi para pengunjung tidak boleh keluar lewat pintu masuk. Kedua, para pengunjung harus menjaga kebersihan. Ketiga, dilarang untuk menyentuh setiap koleksi yang dipamerkan. Keempat, dilarang untuk mengambil gambar menggunakan kamera flash.

  • Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo
  • Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo

AMEX 2024

AMEX merupakan pameran tahunan yang diselenggarakan dalam rangka memperingati hari jadi Museum Sonobudoyo, yang jadi wujud aksi museum dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya. AMEX 2024 bertajuk “Meet The Myth: From Mythology to Art and Sustainability” dan berlangsung pada 6 November–31 Desember 2024 di Gedung Pamer Saraswati selama jam operasional museum. Untuk melihat pameran hanya perlu menunjukkan tiket masuk museum.

AMEX kali ini berupaya mengeksplorasi figur-figur mitologi berupa makhluk yang eksistensinya dikisahkan dalam folklor, legenda, dan fabel. Figur mitologi tersebut dihadirkan dalam imajinasi dan dalam berbagai wujud karya seni baik klasik, kontemporer, maupun modern. Di dalamnya memuat aspek-aspek simbolik karena sering ada suatu mitos di dalamnya. Melalui pameran ini Museum Sonobudoyo menghadirkan berbagai bentuk visualisasi figur mitologi berdasarkan koleksi yang ada di dalam museum. 

Selain visualisasi figur mitologi dalam karya seni, AMEX 2024 juga bertujuan untuk mengajak pengunjung belajar mengenai peran, fungsi, dan nilai budaya mitologi yang mempunyai nilai-nilai simbolik dalam tatanan kehidupan masyarakat. Selain itu perlu digarisbawahi juga bahwa pameran ini menyinggung aspek “sustainability” yang menyangkut isu-isu ekologi dan kelestarian alam. Tanpa disadari, keberadaan mitos yang ada pada kehidupan masyarakat sering kali bertautan dengan pentingnya menjaga alam, lingkungan, dan kesinambungan hubungan manusia dengan alam. Dalam konteks “cultural sustainability”, pameran ini hadir sebagai sebuah upaya berkelanjutan untuk pemeliharaan dan pelestarian warisan budaya.

Pameran ini dihadirkan dengan konsep kekinian sehingga tidak akan membuat para pengunjung merasa bosan. Tata letak pameran diatur secara khusus dan beberapa ruang dilengkapi dengan teknologi proyeksi video mapping. Di setiap ruangan juga ada pemandu yang siap memberikan penjelasan lebih lanjut kepada setiap pengunjung.

Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo
Video mapping AMEX 2024/Imam Basthomi

Garuda dan Lambang Negara

Di ruangan pertama, tersaji figur mitologi burung garuda. Garuda merupakan figur mitologi yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia karena menjadi lambang negara. Berdasarkan infografis di pameran ini, dijelaskan bahwa garuda merupakan lambang dunia dan kelahiran. 

Pada berbagai karya seni garuda digambarkan berwujud setengah manusia dan setengah burung raksasa. Figur garuda ini juga banyak jenisnya, di antaranya Garuda Wisnu Kencana, Jatayu, dan Wilmana. Dalam perkembangannya, figur garuda memberikan pengaruh dalam hal kesenian di Indonesia. Kita dapat menemukan figur-figur garuda dalam berbagai macam bentuk kesenian, baik versi yang klasik maupun modern. 

Istana Garuda di IKN merupakan contoh nyata bahwa figur garuda dimanfaatkan dalam seni arsitektur di era modern seperti sekarang. Melalui AMEX kali ini, para pengunjung juga dapat belajar sejarah tentang perjalanan dan latar belakang Indonesia menggunakan garuda sebagai lambang negara dalam bentuk infografis yang menarik dan mudah untuk dipahami.

Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo
Lambang negara, Garuda Pancasila/Imam Basthomi

Mitologi Naga

Di ruangan berikutnya dipaparkan mengenai figur mitologi naga. Naga merupakan figur mitologi yang sering kali muncul dalam berbagai tradisi dan kebudayaan di dunia. Dalam konteks Nusantara, kisah naga banyak dijumpai dalam tradisi lisan (folklor) yang ada di masyarakat.

Dijelaskan bahwa figur naga dalam konteks Nusantara biasanya dipakai sebagai analogi morfologi alam. Dalam pengertian lainnya, naga dijadikan simbolisasi penyebab terjadinya peristiwa alam dan asal usul terjadinya suatu tempat (wilayah). Mitologi naga juga dijadikan alasan pelaksanaan ritual atau upacara tradisional masyarakat.

Kisah-kisah mengenai naga terkadang juga berisi pesan moral yang berkaitan dengan pedoman hidup masyarakat, termasuk dalam menjaga keseimbangan alam. Visual naga sendiri sering dijumpai dalam berbagai bentuk seni dan ornamentasi. Beberapa contoh yang ditampilkan antara lain Naga Antaboga, Naga Basuki, dan Naga Taksaka.

Ragam koleksi figur mitologi di AMEX 2024, di antaranya Ganesha, makara, dan naga/Imam Basthomi

Figur Zoomorfik dan Antropomorfik

Di ruangan berikutnya disajikan figur-figur mitologi selain garuda dan naga yang tertuang dalam karya seni lainnya. Figur-figur ini banyak ditemukan dalam folklor dan beberapa divisualisasikan dalam wujud hibridisasi. Contohnya saja makara yang biasanya ada pada bangunan candi. Makara berarti naga laut yang visualnya berupa wujud hibrida dari gajah-buaya-rusa dan di belakangnya berupa hewan air, seperti ikan atau naga. Peran makara pada bangunan candi dianggap sebagai tolak bala (musibah atau marabahaya).

Selanjutnya ada Ganesha yang dikenal sebagai dewa pengetahuan dan kecerdasan. Ganesha sering divisualisasikan bertubuh manusia dan berkepala gajah. Visual Ganesha tidak hanya dijumpai dalam seni arca atau patung, tetapi juga dapat dijumpai dalam lambang suatu institusi formal maupun nonformal.

Selain Ganesha dan makara, pameran ini juga menampilkan mitologi hibrida lainnya, seperti Rusa Bersayap, Singa Ambara, Paksi Naga Liman, Phoenix, Flying Mermaid, Barong dan Rangda, Malekat Lindhu, dan Bedawang Nala.

  • Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo
  • Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo

Mitologi sebagai Personifikasi dan Alegori

Dari AMEX 2024, para pengunjung bisa mempelajari bahwa figur mitologi sering dipakai untuk personifikasi atau penggambaran kekuatan atau fenomena alam. Selain itu juga bisa digunakan sebagai alegori atau sebuah simbol untuk menyampaikan pesan. Misalnya saja, ada figur Bedawang Nala yang berupa kura-kura raksasa, yang sering diasosiasikan dengan peristiwa gempa bumi dan tsunami.

Melalui pameran ini pengunjung juga dapat mengetahui bahwa mitos selalu berkaitan dengan isu-isu pelestarian alam, menciptakan harmoni dan kesinambungan antara warisan budaya dan tantangan lingkungan. Mitos secara tidak langsung menjadi media konservasi alam yang harus diperhatikan.

AMEX 2024 sukses menghadirkan instalasi artistik kontemporer berupa figur-figur mitologi sebagai bentuk reimajinasi dan reinterpretasi. Adanya ruangan dengan beberapa instalasi artistik juga menjadi media interaktif bagi para pengunjung. Para pengunjung di akhir ruangan juga bisa memproduksi hasil imajinasi atau fantasi mengenai figur mitologi dalam bentuk karya seni. 

Sebagai pelengkap acara, pihak Museum Sonobudoyo juga menghadirkan berbagai kegiatan pendukung, seperti seminar, workshop, talkshow, tur kuratorial untuk umum dan difabel, serta kelas kuratorial. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Liburan Akhir Tahun ke AMEX 2024 Museum Sonobudoyo appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/amex-2024-museum-sonobudoyo-yogyakarta/feed/ 0 45604
Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini? https://telusuri.id/siapakah-yang-sebenarnya-merdeka-hari-ini/ https://telusuri.id/siapakah-yang-sebenarnya-merdeka-hari-ini/#respond Thu, 31 Oct 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=42930 Saya melaju dengan motor Astrea Star keluaran 1996 dengan kecepatan yang tidak seberapa di jalanan Jogja. Seorang bapak tua dengan gerobak rongsokannya di bibir jalan mencuri perhatian saya, dan saya memutuskan untuk menepi. Saat itu,...

The post Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini? appeared first on TelusuRI.

]]>
Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
Motor yang saya pakai berkeliling/Ramadhanur Putra

Saya melaju dengan motor Astrea Star keluaran 1996 dengan kecepatan yang tidak seberapa di jalanan Jogja. Seorang bapak tua dengan gerobak rongsokannya di bibir jalan mencuri perhatian saya, dan saya memutuskan untuk menepi. Saat itu, Jogja sedang berkencan dengan senja. Langit merah menyaksikan orang-orang bergegas menuju arahnya masing-masing dari sudut barat kota.

Jogja, dan seperti wilayah-wilayah lainnya di Indonesia, sedang merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang beranjak senja di usia 79 tahun. Di pinggir jalan, di spion bentor (becak motor), dan di bibir mobil orang-orang bendera merah putih berkibar.

Namun, bapak tua di pinggir jalan itu, yang semakin senja juga usianya, seolah sedang tidak merayakan apa pun. Biasa-biasa saja. Namanya Pak Sariman (55), asal Purwokerto. Kurang lebih tiga tahun yang lalu, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di Jogja dengan mengumpulkan rongsokan bersama gerobak kesayangannya.

Saya bercerita panjang lebar dengannya. Ia sehari-hari mengumpulkan rombengan untuk diganti dengan rupiah. Satu kilogram rongsokan yang dia peroleh bisa setara dengan uang dua ribu rupiah. Biasanya, dalam sehari ia bisa mengumpulkan sekitar 30–40 kilogram, sehingga penghasilannya per hari kurang lebih 60–80 ribu rupiah. Namun, dalam satu hari, pendapatan bersih Pak Sariman hanya berkisar di angka Rp20.000. Sebab, ia harus membagi pemasukan untuk kebutuhan pribadinya selama di Jogja, seperti makan dan lainnya.

Penghasilan bersih itulah yang dia bawa kembali ke kampung halamannya di Purwokerto. Biasanya, Pak Sariman pulang kampung satu kali dalam satu bulan. Oh, ya. Jangan tanyakan bagaimana Pak Sariman tinggal di Jogja. Uang segitu tidak mungkin dipakai untuk menyewa kos atau kontrakan.

“Saya tidur di seberang hotel depan sana, Mas,” kata Pak Sariman sembari menunjuk Hotel Cavinton. 

  • Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
  • Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?

Semakin Merdeka, Semakin Tua, Tetap Keras Bekerja

“Ya, orang seperti saya ini cuma menghormati saja masalah kemerdekaan. Kemerdekaan itu, kan, hanya peninggalan nenek moyang. Itu kemerdekaan, kemerdekaan apa? Kalau kemerdekaan kehidupan, ya, tentu belum. Itu cuma kemerdekaan tanah dan air negara. Ya, saya hanya menghormati saja. Kalau kemerdekaan masalah perekonomian bagi [kelas] ekonomi menengah, ya, belum. Merdeka apanya? Iya, kan? Lah, siapa yang merasakan kemerdekaan? Kan, hanya orang-orang tertentu, hanya orang-orang di atas.” Sariman mengungkapkan perasaannya di tengah perayaan hari merdeka bangsa ini.

Saya hanya bisa diam dan mendengarkan. Terlalu panjang penjelasan yang disampaikan untuk saya tuliskan dalam catatan ini. Dan saya, sekali lagi tidak kuat hati untuk memotong penjelasannya. Seperti mendengarkan curhatan seorang teman yang sedang diputuskan oleh pacarnya. Panjang dan penuh duka. 

Pak Sariman bukan satu-satunya orang yang bekerja di usia tuanya di kota ini. Saya juga menyaksikan seorang ibu yang menjajakan koran di lampu merah, bapak tua yang membuka bengkel, membawa becak motor (bentor), dan pedagang kaki lima yang bekerja hingga malam tiba.

“Merdeka-merdeka, ya, tetap kerja, Mas,” ungkap seorang ibu penjaja koran itu. Saya menanyakan perasaannya di hari kemerdekaan ini.

  • Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
  • Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?

Pak Sariman, ibu penjaja koran, dan pekerja lainnya adalah para pekerja serabutan di Jogja Istimewa. Mereka adalah para pejuang di tengah ketidakpastian kerja masyarakat urban. Apalagi, usia yang telanjur tua dan latar belakang pendidikan seadanya, menutup mereka dari kemungkinan mendapat upah dan keselamatan kerja yang layak. Dalam suasana kemerdekaan, mereka masih terjebak dalam situasi kehidupan yang gamang. Tetap bekerja dengan penghasilan yang tak seberapa dan usia yang semakin senja.

Sementara generasi X dan Baby Boomer paling banyak berada di Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Begitu laporan yang saya kutip dari “Analisis Profil Penduduk Indonesia; Mendeskripsikan Peran Penduduk dalam Pembangunan” berdasarkan hasil Sensus Penduduk oleh Badan Pusat Statistik tahun 2020. Generasi X adalah kelompok usia yang lahir pada rentang tahun 1965–1980, umur mereka 40–55 tahun; sedangkan generasi Baby Boomer adalah kelompok usia yang lahir pada tahun 1946–1964, umur mereka 56–74 tahun. Pengelompokan generasi ini merujuk pada teori generasi yang dikemukakan oleh William H. Frey yang membagi generasi menjadi enam generasi: Post Gen Z (2013–sekarang), Gen Z (1997–2012), Gen Y atau Millenial (1981–1996 ), Gen X (1965–1980), Gen Baby Boomer (1946–1964), dan Gen Pre–Boomer (sebelum 1945).

Menurut laporan itu juga, Gen X yang rata–rata berusia 40–55 tahun adalah penduduk usia produktif yang terlibat aktif dalam perekonomian Indonesia dengan total 36,53%. Angka itu memosisikan Gen X di urutan kedua penduduk usia produktif yang bekerja di Indonesia berdasarkan kategori generasi setelah Gen Y (39.89%). Diikuti oleh Gen Z di urutan ketiga dengan total 11,98% dan setelahnya Gen Baby Boomer (11,60%). Gen  X dan Gen Baby Boomer ini didominasi oleh tamatan SD/sederajat dengan persentase masing-masing 33,96% dan 41,56%. Artinya, secara kualitas sumber daya manusia siap kerjanya lebih rendah dari Gen Z dan Gen Y.

Gen X dan Gen Baby Boomer seolah menghadapi senja yang buram. Saat usia tua, mereka berada di tengah ketidakpastian ekonomi. Seperti anak sulung yang terbuang dari kasih ibunya. Ketika pemerintah sedang bergeliat menyambut bonus demografi di satu abad usianya nanti, yaitu pada 2045, Gen X dan Gen Baby Boomer seperti telantar dari pangkuan negara. Kala usia bangsa semakin bertambah, mereka semakin menua dan masih terus berupaya mencari kerja.

Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
Seorang pekerja bengkel di pinggiran Jogja/Ramadhanur Putra

Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?

Kondisi ini kian ironis dalam benak saya, ketika saya menyaksikan orang-orang tua yang lain sedang berbagi tanda jasa di Istana Negara, Jakarta. Rabu (14/8/2024), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan tanda kehormatan Republik Indonesia berupa Medali Kepeloporan, Tanda Kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama, Bintang Mahaputera, Bintang Jasa, dan Bintang Budaya Parama Dharma kepada 64 orang tua. Penganugerahan itu diberikan oleh Presiden Jokowi kepada anggota kabinetnya, ketua umum partai politik, dan orang-orang yang “berjasa” selama satu dekade pemerintahannya.

Saya tidak mengerti banyak tentang politik, tapi apakah pemberian tanda kehormatan itu berangkat dari keuletan kerja orang-orang yang selama ini membantunya mengatasi permasalahan bangsa? Jika iya, kenapa orang-orang seperti Pak Sariman, ibu penjaja koran, dan pekerja serabutan lainnya masih saya temukan hanya selang beberapa hari setelah penganugerahan itu? Sebuah kontradiksi  yang saya temui di hari raya kemerdekaan. Hari raya kemerdekaan bagi Presiden yang menjadikan “Kerja, Kerja, dan Kerja” sebagai semboyan politik yang populer.

Siapa yang bekerja dan siapa yang berjasa? Pertanyaan ini masih mengusik benak saya.

Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini?
Seorang ibu mampir toko untuk belanja dengan bersepeda/Ramadhanur Putra

Okky Madasari dalam kolom opini yang dimuat di Jawa Pos, menyebutkan bahwa kolonialisme tidak melulu hilang jika sebuah bangsa telah merdeka. Kolonialisme itu mungkin dan bisa tetap berlanjut selama rasisme dan keserakahan masih ada. Rasisme dan keserakahan yang berimplikasi pada kebijakan politik akan melahirkan situasi keterjajahan yang baru. “Kemerdekaan itu nasi dikunyah jadi tai,” begitu ia mengutip Wiji Thukul dalam tulisannya.

Dan agaknya, seperti itulah kondisinya hari ini. Hari raya kemerdekaan Indonesia tak sepenuhnya dirasakan oleh rakyatnya, sebab hari kemerdekaan masih menyisakan pertanyaan bagi mereka, besok mau makan apa? Sepertinya, kemerdekaan Indonesia tidak berjalan beriringan dengan kemerdekaan nyawa bangsanya, akibat kelompok tertentu yang serakah dan mabuk kuasa.

Saya kembali ke jalanan, meninggalkan Pak Sariman dengan seluruh keluh kesahnya di hari merdeka. Sembari membawa motor, saya putar lagu Kelompok Penerbang Roket dari album “Teriakan Bocah”.

“Banyak yang bilang berbeda, tapi tetap sama. Banyak yang ingin merdeka, tapi sementara. Di mana mereka? Mereka yang beda. Apa masih ada yang merdeka? Di mana mereka? Mereka yang beda. Apa masih ada yang merdeka?”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Siapakah yang Sebenarnya Merdeka Hari Ini? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/siapakah-yang-sebenarnya-merdeka-hari-ini/feed/ 0 42930
Merentangkan Tangan dalam Sekotak Makan Siang https://telusuri.id/merentangkan-tangan-dalam-sekotak-makan-siang/ https://telusuri.id/merentangkan-tangan-dalam-sekotak-makan-siang/#comments Fri, 11 Oct 2024 05:55:02 +0000 https://telusuri.id/?p=42833 “Melihat perjuangan para pasien dan pendampingnya, mengingatkanku pada mendiang orang tua dan sahabatku. Ini adalah salah satu upayaku, merawat kenangan untuk mereka.” — Diena Utomo. Senin, 27 Mei 2024, pukul 11.00. Panas siang itu. Kemarau...

The post Merentangkan Tangan dalam Sekotak Makan Siang appeared first on TelusuRI.

]]>

“Melihat perjuangan para pasien dan pendampingnya, mengingatkanku pada mendiang orang tua dan sahabatku. Ini adalah salah satu upayaku, merawat kenangan untuk mereka.”

— Diena Utomo.

Senin, 27 Mei 2024, pukul 11.00. Panas siang itu. Kemarau mulai masuk di Yogyakarta. Saya berdiri di samping meja satpam Gedung Instalasi Kanker Terpadu Tulip Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sardjito. Ramainya melebihi sebelumnya musabab libur panjang akhir pekan lalu. Seorang teman, Diena, sudah terlebih dahulu datang. Ia menunggu teman lainnya dan sebuah sedan hitam yang dikendarai Pak Jono datang. Mobil sedan itu membawa hasil pengumpulan donasi uang, yang kemudian diwujudkan berupa kotak nasi. Wujud donasi ini akan dibagikan gratis kepada para pendamping pasien untuk makan siang.

Diena menceritakan kepada saya ihwal awal kegiatan yang digagasnya. Ia berkeluh kesah betapa sulitnya mencari dan mendapatkan makan, ketika harus menunggu ayah dan ibunya yang kala itu dirawat di rumah sakit. Bahan kerap tak makan karena tak sedetik pun ia bisa meninggalkan ayah dan ibunya. Pun pengalamannya merawat seorang sahabat yang juga tergeletak di tempat tidur rumah sakit. Diena juga mendengarkan keluh kesah seorang teman lain, Eva, yang juga kesulitan mencari makan. Bayi yang baru saja dilahirkan mengalami gangguan kesehatan dan harus dirawat di ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU), sementara Eva harus rutin memberikan ASI.

Ceritanya berlanjut. Upayanya merawat kenangan mendampingi orangtua dan sahabatnya—yang telah tiada— dengan mengajak teman lainnya, Nindya dan Sari, untuk turut serta. Mereka memilih Sardjito karena merupakan rumah sakit pusat yang menjadi rujukan daerah lain. Di RSUP Sardjito, mereka kemudian mendatangi bangunan masjid yang dirasa sesuai sebagai lokasi pembagian makan siang gratis. Namun, yang terjadi di lapangan berbeda. Selain jumlah kotak makan siang tidak sebanding dengan jumlah orang yang berada di masjid, yang kemudian menjadikan keadaannya tidak kondusif, pemilihan masjid sebagai titik pembagian donasi juga kurang tepat sasaran. Mereka merasa, para pendamping yang berada di masjid masih bisa meninggalkan kerabatnya yang dirawat di rumah sakit tersebut. Bukan berarti salah, melainkan mereka merasa ada yang lebih membutuhkan.

Mereka memutar otak lagi. Kembali berkeliling, memilah dan memilih pendamping pasien dari gedung mana yang dirasa benar-benar kesulitan mendapatkan makan. Letaknya jauh, sementara pasien atau antrean obat tidak bisa ditinggal.

Dan di sinilah, Gedung Instalasi Kanker Terpadu Tulip, saya dan Diena berdiri. Beruntun datang Nindya, Ian, Nanto dan Venty, lalu diakhiri Sari dengan membawa tiga boks air kemasan. Tak lama tampak sedan hitam yang dikendarai Pak Jono datang. Dari 30 Oktober 2023 sampai sekarang, kegiatan pada tiap Senin di Sardjito itu disebut dengan Peduli Caregiver. Sementara saya baru bergabung pada 4 Maret 2024. 

Kekuatan yang Tumbuh dari Keberanian

“Hari ini 400 kotak nasi, Mbak,” ucap Pak Jono ramah. Jumlah yang tak kalah banyak dengan pasien yang, menurut penuturan Mbak Yuli, satpam Instalasi Tulip, mencapai seribu orang dan biasanya datang bersama dua sampai tiga pendamping.

Dari meja satpam, kami membawa sebagian kotak nasi menuju boks kaca yang sudah disediakan di area ruang tunggu lantai 1 Gedung Tulip. Lalu kami memasukkan kotak-kotak nasi ke dalamnya. Melihat kami menyusun kotak nasi, orang-orang menyambut dengan berduyun menghampiri. Menanggapi keramaian, Nanto sigap mengatur orang-orang untuk mengantre dua baris ke belakang agar kerumunan tidak mengganggu lalu lintas. Ada yang menurut, tapi ada pula yang berusaha menerobos antrean.

“Jangan dorong-dorongan, ya, Bapak-Ibu. Kasihan yang di depan,” seru Nanto lantang mengingatkan.

Lepas antrean terurai habis, kami beranjak membawa sebagian kotak nasi dari lantai 1 menuju lantai 7. Berbeda dari sebelumnya, di lantai 7 kami berjalan menghampiri para pendamping yang sedang duduk menunggu untuk memberikan secara langsung kotak nasi.

“Kebetulan sekali saya lapar,” ucap seorang bapak dengan wajah semringah. Ia sedang mendampingi anaknya menjalani kemoterapi.

Kegiatan ini memerlukan keberanian. Saya membutuhkan waktu berpikir yang lama untuk berani bergabung. Mengikuti kegiatan yang disebut dengan #SenindiSardjito ini melalui akun media sosial Diena dengan diam, saya berusaha menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang terlintas di kepala. Apakah saya punya waktu? Apakah saya bisa konsisten untuk hadir di tiap pekan? Dan apakah saya berani?

Saya kemudian menyadari, tidak ada waktu yang tepat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kecuali hari ini. Maka di suatu malam saya mengirim pesan singkat kepada Diena, memberi tahu bahwa saya ingin ikut ambil bagian. Syahdan, kalimat sederhana yang terlontar dari seorang bapak tadi, juga kalimat lain yang kerap saya dan teman lainnya dengar, menjadi kekuatan untuk terus berusaha agar kegiatan ini tetap berlangsung di tiap Senin.

Selesai di lantai yang khusus melayani kemoterapi anak, kami beranjak turun melalui tangga, menyisir tiap lantai, membagi-bagi secara langsung kotak nasi sampai habis. Tidak berhenti di situ. Di siang yang masih saja panas, dari ujung belakang kompleks RSUP Sardjito, kami melanjutkan kegiatan dengan berjalan kaki menuju Gedung NICU dan ICU yang berada di area depan.

Setiap makanan dan minuman yang hendak dibagikan harus melalui pengecekan dan perizinan dari Instalasi Gizi RSUP Sardjito/Peduli Caregiver

Donasi sesuai Kebutuhan agar Tepat Sasaran

Banyak pertanyaan yang kerap datang kepada kami perihal sumber dana. Melalui tulisan ini saya menjelaskan bahwa Peduli Caregiver adalah murni kegiatan kemanusiaan. Di tiap pekan, akun Instagram Peduli Caregiver membuka donasi berupa uang, buah, dan air mineral. Tim Peduli Caregiver juga menyambut teman-teman yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk ambil bagian dalam kegiatan ini di setiap Senin siang di RSUP Sardjito.

Target Peduli Caregiver memang hanya untuk para pendamping pasien sesuai dengan izin yang didapatkan dari Instalasi Gizi RSUP Sardjito. Sebab biasanya para pasien memiliki pantangan makanan khusus perihal penyakitnya. Namun, jika di lapangan ada pasien yang meminta kotak nasi, tim harus memastikan terlebih dahulu bahwa tidak ada pantangan makanan apa pun. Tim Peduli Caregiver juga selalu menyetorkan dua kotak makanan yang dibagikan tiap minggu ke Instalasi Gizi sebagai pertanggungjawaban atas izin yang telah diperoleh.

Bagi saya, kegiatan ini menghadirkan kekuatan tersendiri. Saya bisa berdiri kuat di antara kesedihan yang melanda bapak yang mendampingi kemoterapi anaknya. Dan orang lainnya yang bernasib sama, yang duduk di tangga karena tidak kebagian tempat duduk di ruang tunggu hingga tertidur. Pun ibu yang menunggu dengan harap cemas anaknya yang baru saja dilahirkan untuk bisa ia bawa pulang.

Saya dan teman-teman melihat harapan. Kebahagiaan hadir dari kotak-kotak makan siang yang dibagikan. 

Semoga kegiatan baik ini berumur panjang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Merentangkan Tangan dalam Sekotak Makan Siang appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/merentangkan-tangan-dalam-sekotak-makan-siang/feed/ 2 42833