zero waste traveling Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/zero-waste-traveling/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 29 Mar 2022 08:26:31 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 zero waste traveling Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/zero-waste-traveling/ 32 32 135956295 Karena Gunung Bukan Tempat Sampah https://telusuri.id/karena-gunung-bukan-tempat-sampah/ https://telusuri.id/karena-gunung-bukan-tempat-sampah/#respond Fri, 05 Feb 2021 05:35:44 +0000 https://telusuri.id/?p=26807 Sebuah cerita dari Arnas. Aku memunggungi Izal, kesal, sesekali ku lirik teman pendakianku ini tampak mulai merasa bersalah setelah kupergoki Ia membuang puntung rokoknya sembarangan. Aku tidak percaya Ia masih menjalani kebiasaan menghisap rokok sambil...

The post Karena Gunung Bukan Tempat Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebuah cerita dari Arnas.


Aku memunggungi Izal, kesal, sesekali ku lirik teman pendakianku ini tampak mulai merasa bersalah setelah kupergoki Ia membuang puntung rokoknya sembarangan.

Aku tidak percaya Ia masih menjalani kebiasaan menghisap rokok sambil mendaki gunung. Padahal kami sudah sepakat, bahwa pendakian ini merupakan langkah awal agar ia mau mulai mengurangi kebiasaan merokoknya, yang menurutku, cukup meresahkan. Beberapa kali bahkan aku resah mendengar suara batuknya sepanjang perjalanan, atau disela-sela break di pos pendakian.

Izal dan Aku merupakan teman lama, sejak SMA kami sudah terbiasa berdebat tentang hal-hal kecil, dan merokok bukan salah satunya. Namun untuk kasus ini, aku memutuskan tegas, bahkan Ibunya sudah berulang kali meneleponku untuk membantu mengurangi kebiasaannya tersebut.

“Nas, gue minta maaf deh, lagian cuma sebatang doang yang tadi gue buang” sahut Izal dari tempatnya.

“Itu.. Yang itu tuh, cuma sebatang.” Ku pasang wajah seseram mungkin, semoga ia belajar, bahwa itu yang menjadi pikiran orang yang membuang sampah berupa puntung rokok di jalur pendakian, atau di pos campground.“ Cuma sebatang menurutmu, dan itu juga menurut mereka yang seenaknya buang sampah puntung rokok di sekitar sini” aku ketus.

Menyalakan rokok/Lulhas (Flickr)

Sebagai sebuah catatan besar, bagi kalian yang sering melakukan pendakian, pasti paham apa yang membuatku kesal, bahwa dengan mudahnya membuang benda kecil berupa filter rokok atau sobekan kemasan di tanah-tanah yang masih berpotensi untuk ditumbuhi rerumputan, apalagi mereka yang meninggalkan puntung rokok dalam keadaan masih menyala baranya.

Untuk puntung yang padam, proses penguraian filter rokok membutuhkan waktu hingga 10 Tahun lamanya. Dalam kurun waktu tersebut, tanah tempat terkuburnya puntung-puntung rokok tersebut tidak akan bisa melakukan tugasnya dalam ekosistem hutan. Apalagi jika puntung tersebut masih menyisakan bara, yang berpotensi membuat kebakaran hutan bila area rerumputan tempatnya terbuang sedang kering.

Kerugian besar akan dialami oleh semua makhluk hidup yang menjadi rantai ekosistem penting di hutan tersebut. Sebagai pribadi yang cukup sering mengunjungi gunung sebagai tempat menyepi, aku sangat menghargai alam dengan selalu berhati-hati dalam memilih logistik perjalanan, bahkan sebisa mungkin mengurangi produksi sampah sebelum, selama, atau setelah pendakian.

Selain sampah puntung, dalam beberapa pendakian, aku bisa menemukan sampah kecil seperti bekas tutup air mineral, yang terlewat atau terjatuh dari packingan sampah menuju perjalanan pulang ke basecamp. Hal sekecil ini kadang luput dari perhatian, namun ada beberapa kelompok pendaki yang tidak segan memungut sampah seperti ini dan memasukannya kedalam kemasan sampah mereka, dan dikumpulkan di basecamp area.

Di beberapa lokasi pendakian, bahkan ranger atau penjaga gunung ada yang sengaja memasukan agenda sapu jalur untuk menemukan sampah-sampah kecil setiap minggu atau setiap bulan, untuk tetap menjaga area campground dan lajur pendakian tetap bersih, dengan begitu pendaki akan tetap nyaman melakukan aktivitas luar ruangnya. Seperti yang dilakukan oleh Ranger Basecamp Mawar, di kaki Gunung Ungaran.

Mereka memberikan sebuah contoh pengolahan sampah dari para pendaki yang pernah berkunjung ke sana. Sampah-sampah botol kemasan plastik diolah sedemikian rupa menjadi berbagai macam hiasan yang bisa memberikan manfaat, atau setidaknya mempercantik area basecamp.

Sedikit tips bagi kalian yang tidak ingin merasakan apa yang dialami Izal, saat melakukan pendakian gunung agar mengurangi produksi sampah. 

Pertama, usahakan untuk mencatat kebutuhan logistik, sebisa mungkin kurangi pembelian logistik dalam kemasan plastik. Untuk air mineral, kita bisa menggunakan botol water bladder yang terbuat dari silikon. Selain kuat, botol minum ini bisa dilipat menjadi ukuran yang lebih kecil dan bisa menghemat ruang penyimpanan di tas kita saat tidak digunakan.

Kedua, sediakan plastik ziplock atau plastik yang bisa membuat udara kedap. Plastik ini cukup bisa diandalkan untuk menyimpan beberapa jenis makanan kering. Setelah dikonsumsi, kita bisa memanfaatkan plastik tersebut untuk tempat menyimpan makanan selama beristirahat di campground. Bahkan plastik ini bisa digunakan untuk mengemas pakaian ganti kalian yang sudah kotor, agar tidak menimbulkan bau tidak sedap ke seluruh isi tas carrier.

Ketiga, akan lebih baik saat selesai beraktivitas di gunung, mengumpulkan sampah secara seksama. Usahakan agar tidak meninggalkan sampah plastik atau sampah berupa puntung rokok dimanapun, kalian bisa mengemas puntung rokok dalam botol sisa minuman mineral atau botol plastik bekas. Dan membuangnya ke tempat yang sudah disediakan oleh pengelola secara terpisah, sampah organik untuk yang mudah di daur ulang, dan sampah anorganik untuk sampah yang tidak bisa didaur ulang. 

Menjaga lingkungan terutama di daerah aktivitas luar ruang seperti gunung adalah tanggung jawab kita bersama, Aku tidak bermasalah bagi mereka yang mau sadar untuk menyimpan sampahnya secara sadar demi kepentingan menjaga kelangsungan ekosistem yang alami, tidak seperti yang dilakukan oleh Izal.

Dengan begitu, kita sudah ikut serta merawat kehidupan untuk kemudian bisa kita wariskan kepada anak cucu kita kelak. Ingat selalu, gunung bukan tempat sampah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Karena Gunung Bukan Tempat Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/karena-gunung-bukan-tempat-sampah/feed/ 0 26807
Kembali ke Merbabu, Kali Ini Tanpa Sampah https://telusuri.id/kembali-ke-merbabu-kali-ini-tanpa-sampah/ https://telusuri.id/kembali-ke-merbabu-kali-ini-tanpa-sampah/#respond Thu, 28 Jan 2021 10:33:01 +0000 https://telusuri.id/?p=26653 Tahun lalu tepat 10 tahun lalu dari terakhir saya mendaki ke Gunung Merbabu. Kala itu sekitar 2010, saya masih bersekolah di salah satu SMK di Kota Semarang. Dulu saya tergabung dalam organisasi pecinta alam sekolah...

The post Kembali ke Merbabu, Kali Ini Tanpa Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
Tahun lalu tepat 10 tahun lalu dari terakhir saya mendaki ke Gunung Merbabu. Kala itu sekitar 2010, saya masih bersekolah di salah satu SMK di Kota Semarang. Dulu saya tergabung dalam organisasi pecinta alam sekolah dan menjadi salah satu anggota Gabungan Pelajar Pecinta Alam Semarang (Gappase), jadi banyak aktivitas yang nggak jauh-jauh dari mendaki gunung. Meski begitu, saya baru mendaki gunung-gunung di sekitaran Jawa Tengah dan Jawa Timur saja.

Karena kesibukan yang semakin padat, baru tahun 2020 lalu saya memberanikan diri untuk naik gunung lagi. Rencananya sih ingin mendaki kembali ke Gunung Merbabu, tapi kali ini lewat jalur lain yang lebih pendek yakni Cunthel.

Sejujurnya, sekarang ini saya agak setengah hati dengan kegiatan pendakian. Beberapa waktu belakangan, saya memantau pendakian di social media. Gunung tampak makin ramai, terkadang bising, dan kotor karena sampah-sampah pendaki yang tidak dibawa turun kembali. Ini juga yang menjadi alasan sebagian ‘pendaki veteran’ enggan muncak lagi. 

Foto: Dinda Prasetyo (Unsplash)

Namun begitu, tidak ada salahnya untuk mencoba lagi merasakan tanjakan dan indahnya pemandangan  dari puncak Gunung Merbabu.

Persiapan Sebelum Pendakian

Berbeda saat SMK dulu, persiapan mendaki gunung kali ini benar-benar matang. Saya kasih tahu, dulu waktu SMK saya hanya membawa satu tas gunung yang berisi air minum 2 botol besar, 3 mie instan, gula, kopi, teh, penyedap rasa, gula jawa, tenda, dan peralatan memasak. 

Ringkas dan serba instan karena tak ingin membebani tubuh kecil ini dengan bawaan yang berat. Sekarang, persiapan pendakian butuh berhari-hari. Mulai latihan fisik sampai ke peralatan gunung dan logistik yang memadai. 

Beberapa perlengkapan memang sengaja saya beli untuk mengurangi sampah plastik selama mendaki ke Gunung Merbabu. Seminimal mungkin saya menghasilkan sampah plastik atau bahkan kalau bisa tidak menghasilkan sampah plastik sama sekali walau rasanya sulit.

Persiapan pertama dari bahan makanan yang ingin saya bawa. Jika dulu hanya membawa mie instan, sarden, kornet, dan sebagainya; kali ini saya memilih bahan-bahan yang bisa dimasukkan ke dalam kotak makan.

Saya membeli peralatan yang berguna mengurangi sampah plastik dan bisa dipakai untuk jangka panjang. Sebagai contohnya water bladder untuk tempat air, kontainer telur agar tidak pecah selama dibawa, bumbu-bumbu dapur, rempah-rempah, dan penyedap yang sudah saya tempatkan dalam wadahnya masing-masing.  Jadi ketika bahan makanan atau bumbu tersebut habis, saya tinggal mengisinya kembali (refill).

Karena saya hanya menginap semalam saja, maka untuk bahan makanan utama yang saya bawa yakni daging ayam, daging sapi, telur, kentang, jamur, tomat cherry, bawang-bawangan, dan buah-buahan.

Terlihat mewah, bukan?

Naik gunung sudah susah, bawa makanan ya harus mewah. Prinsip ini yang saya dapatkan dari senior saya saat di organisasi pecinta alam dulu. 

Bahan makanan sudah beres, kemudian tinggal peralatan elektronik dan pakaian. Biasanya pendaki membungkus pakaian kering mereka menggunakan plastik agar tidak basah ketika diserang hujan dadakan. 

Saya pun menyiapkan dua tas pouch tahan air yang agak besar. Satu untuk pakaian kering dan bersih, satunya lagi untuk pakaian yang kalau-kalau bakal basah atau kotor. Sebetulnya, membawa pakaian basah turun ke bawah juga akan menambah beban, jadi kalau bisa sebaiknya membawa pakaian berbahan Dri-Fit.

Untuk barang elektronik seperti powerbank, charger, dan kamera ditempatkan pada pouch yang sama. Begitu juga dengan kotak PPGD, raincoat, flysheet, dan tenda. Tak lupa, kami juga membawa serbet sebagai pengganti tisu.

Foto: Dinda Prasetyo (Unsplash)

Setelah semua berada di kontainernya masing-masing, tinggal mengatur dan memasukkannya ke dalam keril. dan dimasukkan ke dalam tas gunung saja. Tak lupa saya selipkan dua buah trashbag ke dalamnya.

Pendakian Gunung Merbabu Via Cunthel

Tepat pukul 8 pagi saya berangkat berdua dari Semarang menggunakan motor menuju pos pendakian Cunthel, Kopeng, Salatiga. Setelah membayar retribusi dan beristirahat selama satu jam, kami melanjutkan perjalanan: mendaki Gunung Merbabu. Jalur awal masih berupa beton karena warga menggunakan jalan ini untuk beraktivitas dengan kendaraan bermotor.

Sesampainya di Pos Bayangan 1 yang berada di ketinggian 1887 mdpl terdapat satu bangunan permanen yang bisa digunakan untuk tempat beristirahat. Usai melepas lelah, kami melanjutkan perjalanan ke Pos Bayangan 2 Gumuk. Di sini, kita bisa mengisi air dari sumber yang ada.

Butuh waktu 1,5 jam untuk sampai di Pos 1 Watu Putut dari Basecamp Cunthel. Itu saja istirahatnya selama di perjalanan hanya sebentar, sekitar 5 menitan. Makanya sebelum pendakian, saya sarankan kalian untuk melatih fisik secara maksimal.

Selama perjalanan dari Pos 1 Watu Putut sampai ke Pos 2 Kedokan, jalur mulai terbuka dengan sedikit pepohonan dan semak liar yang tinggi. Trek yang dilalui memang dominan menanjak dan hanya sedikit saja yang landai.

Di Pos 2 Kedokan, ada banyak pepohonan rindang, biasanya lokasi ini digunakan untuk alternatif tempat mendirikan tenda. Namun lokasinya masih agak jauh dari puncak Merbabu. Sampai di pos ini, saya sudah berada di ketinggian 2430 mdpl (ada papannya). 

Lanjut menuju Pos 3 Kergo Pasar, hutan tidak tampak lagi. Suasana sekitar didominasi oleh pepohonan kering dan sudah mati, namun saat menoleh ke belakang terlihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing dengan lautan awan. Di sini, kami tak berlama-lama karena harus melewati satu tanjakan lagi untuk sampai di Pos Pemancar. Pos ini yang akan menjadi tempat kami mendirikan tenda karena lokasinya tidak terlalu jauh dari puncak dan lebih aman ketika badai datang. 

Nggak terasa, kami melewatkan sekitar lima jam untuk perjalanan ini. Jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 4 sore, waktunya untuk mendirikan tenda dan memasak. Kami saling berbagi tugas, saya yang menyiapkan makanan, teman saya yang menyiapkan tenda. 

Slice beef yang dimasak dengan bumbu teriyaki menjadi menu andalan pada pendakian kali ini. Sedikit tips nih kalau membawa bahan makanan seperti daging, masukkanlah ke dalam kontainer kedap air yang berisi ice gel. Dijamin daging akan tetap segar dan tahan lebih lama. Atau kalau mau, kita bisa memarinasinya terlebih dahulu. 

Ada beberapa tenda yang berdiri di sekitar kami, tidak terlalu ramai. Malam itu cuaca juga cerah, tidak ada badai. Sesekali kami bersahut kata dengan rombongan tenda sebelah sebelum memutuskan untuk tidur lebih awal karena berniat summit pada jam 4 pagi untuk menyaksikan sunrise di puncak. Sebelum tidur, kami menyiapkan perlengkapan yang dibawa untuk menuju puncak besok, hanya daypack berisi logistik dan barang berharga. 

Tepat jam 4 pagi, alarm berbunyi dan kami bergegas untuk menuju puncak Gunung Merbabu. Suasana berkabut disertai hembusan angin yang dingin mememani perjalanan kami.  Setelah berjalan sekitar 2 jam, sampailah di pertigaan yang merupakan percabangan ke Puncak Syarif dan ke Puncak Kenteng Songo. Karena masih agak gelap, saya menyempatkan diri untuk mampir ke Puncak Syarif karena jaraknya hanya 5 menit saja dari pertigaan tadi.

Perlahan suasana mulai tampak lebih terang dari sebelumnya. Tak ingin ketinggalan, kami pun bergegas menuju puncak utama yaitu Kenteng Songo. Butuh waktu sekitar 1 jam untuk sampai di puncak ini.

Sesampainya di Puncak Kenteng Songo, suasana memang belum berubah. Kabut yang masih menutupi pemandangan sekitar, ditambah matahari yang mulai menyembul perlahan. 

Dibawa santai saja, saya mengambil kompor dan gas dari tas kecil kemudian mulai merebus air untuk membuat kopi. Setidaknya sampai jam 7 pagi, kabut mulai menghilang dan pemandangan sekitar mulai terlihat.

Tampak dari kejauhan terlihat gugusan gunung-gunung yang gagah berdiri di sekitar Gunung Merbabu. Saya seperti dibawa kembali ke sepuluh tahun lalu dengan pemandangan dan suasana yang sama. Tertegun menikmati setiap hembusan angin dingin dari ketinggian 3.142 mdpl.

Sekitar jam 8 pagi, kami memutuskan untuk kembali ke tenda dan bersiap kembali melanjutkan perjalanan pulang. Tak butuh waktu lama karena hanya perlu 1 jam saja untuk sampai di Pos Pemancar. 

Sampah di Merbabu/Mauren Fitri

Sebelum pulang, kami menyempatkan makan siang dahulu dan beristirahat sejenak dan mengisi tenaga. Lauk telur, daging ayam, dan kentang terasa sangat enak ketika masuk ke mulut. Saus pedas dengan sedikit mayo yang saya tambahkan pun juga menambah rasanya jadi lebih enak. Sampai sekarang pun, hanya sampah cangkang telur dan kulit bawang saja yang kami hasilkan.

Setelah semua barang tertata rapi dan perut kenyang, saya mengeluarkan barang pusaka yang wajib dibawa tiap kali naik gunung yaitu trash bag. Budaya kami dalam organisasi pecinta alam dulu memang masih melekat hingga sekarang ini. 

Membersihkan sampah sekitar dengan radius 5 meter dari tenda yang kami dirikan. Jadi bukan hanya sampah yang kami hasilkan saja, tapi sampah orang lain dalam radius tersebut akan kami bawa turun juga. 

Andai kebiasaan ini dilakukan oleh setiap pendaki pasti kita bisa melihat gunung tetap bersih. Beberapa orang mungkin akan menyarankan membakar sampah seperti bungkus mie, kopi atau kresek untuk menyalakan api. Namun hal ini tidak dibenarkan karena jika terlena sedikit saja bisa jadi kebakaran gunung yang besar. Sudah banyak kasus kebakaran hutan akibat satu puntung rokok saja, jadi sebaiknya dibawa turun lagi.

Selama ada niat dan usaha, pasti bisa untuk tidak nyampah di gunung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kembali ke Merbabu, Kali Ini Tanpa Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kembali-ke-merbabu-kali-ini-tanpa-sampah/feed/ 0 26653
6 Tips Traveling Minim Sampah https://telusuri.id/6-tips-traveling-minim-sampah/ https://telusuri.id/6-tips-traveling-minim-sampah/#respond Thu, 21 Jan 2021 08:57:20 +0000 https://telusuri.id/?p=26516 Membahas perkara sampah memang nggak ada habisnya. Dari hari ke hari bukannya semakin berkurang justru semakin bertambah. Apalagi kalau mau ditelisik ke hal-hal yang sering kita jumpai sehari-hari, dengan mudah kita bisa menemukan sampah di...

The post 6 Tips Traveling Minim Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
Membahas perkara sampah memang nggak ada habisnya. Dari hari ke hari bukannya semakin berkurang justru semakin bertambah. Apalagi kalau mau ditelisik ke hal-hal yang sering kita jumpai sehari-hari, dengan mudah kita bisa menemukan sampah di tempat umum. Tentunya sampah-sampah yang tidak terkontrol keberadaan dan jenisnya ini berdampak pada masalah lingkungan yang serius. Mulai dari pencemaran lingkungan, sumber kuman penyakit, hingga mengganggu kehidupan makhluk hidup lain.

Lalu, belum lagi kalau kita bicara tentang tren perjalanan yang kian meningkat dari waktu ke waktu, kecuali selama pandemi ini. Di Bali, timbunan sampah plastik mencapai 856,2 ton per hari pada 2019. Sedangkan jumlah sampah plastik yang dikumpulkan mulai dari perairan Labuan Bajo hingga kawasan Taman Nasional Komodo perharinya bisa mencapai lima sampai 10 ton. Di awal tahun ini, Pantai Kuta, Bali disambut hamparan sampah yang bikin ngelus dada. Sampah buangan yang entah dari mana datangnya.

Nggak munafik, seringkali ketika traveling masih melakukan hal-hal praktis tapi menghasilkan sampah yang lebih banyak untuk lingkungan. Misalnya aja nih, pas traveling pasti kita mampir ke minimarket untuk sekedar beli air minum kemasan atau snack. Kemasan produknya sendiri terbuat dari plastik, tas wadah snack tersebut juga dari plastik, semuanya berpotensi menjadi sampah baru.

Kadang mindset, “kan aku udah bayar, kan aku udah beli, ya gapapa dong! Toh buangnya ke tempat sampah juga, nggak buang sembarangan!” jadi senjata.

Tanpa kita sadari, dari dalih-dalih ini lah sampah kian hari kian menggunung.

Sebetulnya ada banyak langkah sederhana untuk mengurangi sampah baru yang dihasilkan selama traveling. Cara ini dikenal sebagai zero waste traveling yang memungkinkan kamu untuk menghindari segala upaya menghasilkan sampah baru.

Lalu apa saja yang bisa dilakukan dalam zero waste traveling ini? 

Bawa makanan sendiri saat berangkat

Foto: Unsplash/Markus Spiske

Bandara, stasiun, dan terminal bukanlah tempat untuk mencari makanan yang zero waste friendly. Cara ini terbukti menyelamatkan banyak traveler untuk tidak berakhir dengan plastik, wrapper, sendok garpu plastik, atau sedotan plastik. 

Kamu bisa membawa berbagai bahan makanan yang mudah dan enak untuk dibawa. Beberapa contohnya seperti cookies, sandwich, pisang, jeruk, atau bahkan energy bites sangat cocok jadi teman perjalanan kamu. Makanan tersebut ringan dan bisa dimasukkan ke dalam kotak makan. Kalau kotor tinggal dicuci, bisa dipakai lagi untuk makanan berikutnya. 

Bawa tumbler atau botol minum

Saat haus di perjalanan, memang  paling praktis adalah minum dari air mineral plastik yang dibeli di minimarket. Tapi, ini bisa menjadi sampah baru karena pasti botol yang sudah kosong akan langsung terbuang begitu saja. 

Oleh karenanya, kamu bisa membawa tumbler atau botol minum pribadi. Ada banyak tempat yang memiliki dispenser atau water fountain, jadi nggak perlu bingung saat akan isi ulang.

Jangan lupa mengosongkan botol tersebut saat boarding, ya! Kamu nanti bisa minta tolong kepada pramugari(a) untuk mengisi ulang botolmu saat di pesawat. Begitu juga saat di kereta, restoran, hotel, bahkan warteg, dan tempat lain yang memungkinkan untuk refill air minum.

Selain hemat, cara ini juga bisa mengurangi sampah dibandingkan harus membeli air mineral dalam kemasan yang “katanya” lebih praktis. 

Bawa reusable kit

Foto: Unsplash/Good Soul Shop

Prinsip zero waste traveling bukan hanya sebagai tindakan pengurangan sampah. Namun juga sebagai mental yang perlu dibangun agar terhindar dari situasi yang memaksa untuk membuang sampah. Reusable kit ini terdiri dari small container, reusable coffee cup, utensils (sendok dan garpu), sapu tangan, dan reusable bag multifunction yang bisa dilipat kecil. 

Barang-barang ini bakal sangat berguna saat dibawa perjalanan. Banyak pedagang kaki lima yang membungkuskan makanannya dengan plastik sekali pakai atau kertas. Kamu bisa meminta mereka untuk menyajikan makanan yang dibeli pada tempat makanan yang kamu bawa.

Nah, lebih lagi pas pandemi seperti sekarang ini ya. Para pejalan ‘dipaksa’ untuk membawa berbagai peralatan pribadi yang lebih bersih dan steril. Nggak kebayang ‘kan kalau misal piring dan alat makan dari tempat makan hanya dicuci pada sebuah ember?

Kotak makan yang kamu bawa juga bisa berguna untuk membungkus makanan tersisa dan layak untuk dimakan nantinya.

Bawa kantong atau tas belanja

Foto: Unsplash/Markus Spiske

Langkah selanjutnya yang bisa kamu lakukan untuk upaya zero waste traveling adalah membawa kantong atau tas belanja sendiri. Sebagian kota besar di Indonesia seperti Banjarmasin, Semarang, Bali, dan Balikpapan lewat peraturan walikota (Perwal atau Perwali), sudah tidak memperbolehkan menggunakan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan atau swalayan. Jadi, ya wajib membawa tas belanja sendiri atau bisa membeli tas belanja yang mereka sediakan untuk dipakai berulang kali kalau memang belum punya.

Cara ini juga bisa kamu lakukan ketika berbelanja kebutuhan dasar atau peralatan di minimarket yang masih menyediakan kantong plastik. Kebiasaan ini bisa kamu mulai tidak hanya saat traveling tapi setiap harinya, ya!

Gunakan pouch kedap air dan pilih pakaian berbahan Dri-Fit

Plastik kresek sering diandalkan untuk membungkus pakaian kering saat musim hujan tiba. Bisa juga dipakai sebagai wadah pakaian kotor selama traveling. Namun jelas, menggunakan plastik kresek akan cepat menimbulkan sampah baru karena plastik kresek  mudah rusak. Paling sekali pakai, lalu buang. 

Kamu bisa mengakalinya dengan pouch kedap air agar pakaian kotor tetap bisa terpisah dengan barang lain, apalagi dengan kondisi yang basah. Harganya di online shop sekitar Rp9 ribu sampai Rp15 ribu saja, lho. 

Selain itu, kamu juga bisa mengenakan jenis pakaian cepat kering atau berbahan Dri-Fit. Pakaian yang basah akibat hujan atau aktivitas lain yang kena air pastinya bisa bikin beban pulang makin berat. Belum lagi bau apek menyengatnya saat tiba di rumah. Kalau mengenakan pakaian berbahan Dri-Fit, bisa lebih kering dengan cepat dan tentu bobotnya lebih ringan.

Bawa toiletries sendiri

Foto: Unsplash/Ignacio F

Biasanya hotel atau tempat penginapan menyediakan travel toiletries untuk tamu. Perlengkapan ini kadang nggak jelas terbuat dari apa, dan dikemas dalam kemasan plastik kecil-kecil. Kalau hanya menginap semalam dua malam, kerap kali toiletries nggak habis dan secara otomatis menjadi sampah baru.

Makanya, sebaiknya kamu membawa toiletries sendiri dari rumah agar tidak tergoda membuka toiletries yang sudah disediakan. Hal ini, bukan berarti mubazir lho, tapi dengan melakukan cara ini kamu sudah berkontribusi untuk meminimalkan sampah toiletries selama traveling. 

Konsep zero waste traveling memang bisa kamu awali mulai dari diri sendiri. Baru kemudian mengajak orang terdekat untuk melakukan upaya yang sama dalam meminimalkan sampah saat traveling. 

Bukan buat gaya-gayaan atau lebay, tapi dengan upaya sederhana itu kamu sudah bisa selangkah menyelamatkan bumi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post 6 Tips Traveling Minim Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/6-tips-traveling-minim-sampah/feed/ 0 26516
Berkemah Tanpa Sampah, Apakah Jadi Susah? https://telusuri.id/berkemah-tanpa-sampah-apakah-jadi-susah/ https://telusuri.id/berkemah-tanpa-sampah-apakah-jadi-susah/#respond Wed, 20 Jan 2021 04:34:40 +0000 https://telusuri.id/?p=26454 Melakukan perjalanan berkemah tanpa menimbulkan tumpukan sampah ternyata bukan hal yang susah untuk dilakukan. Tapi, bukan berarti ini kemudian akan dilakukan semua orang. Karena, terus terang, masih banyak orang yang akan memilih cara gampang.  Pelajaran...

The post Berkemah Tanpa Sampah, Apakah Jadi Susah? appeared first on TelusuRI.

]]>
Melakukan perjalanan berkemah tanpa menimbulkan tumpukan sampah ternyata bukan hal yang susah untuk dilakukan. Tapi, bukan berarti ini kemudian akan dilakukan semua orang. Karena, terus terang, masih banyak orang yang akan memilih cara gampang. 

Pelajaran soal berkemah tanpa sampah alias ‘zero waste camping’ ini saya dapatkan beberapa tahun lalu. Jauh sebelum pandemi menguasai kecemasan kita semua. Tepatnya di 2018 dalam sebuah kegiatan berkemah untuk keluarga pelaku (ataupun peminat) homeschooling

Disclaimer dulu ya. Saya tidak bisa dibilang sebagai penggiat berkemah. Kalau boleh memilih, saya lebih suka pantai daripada gunung. Meskipun, di sisi lain, saya lebih suka cuaca atau udara dingin daripada panas. 

Sebelum ikut kegiatan berkemah bersama pelaku pembelajar mandiri lainnya, pengalaman berkemah saya sungguh sangat minim dan cupu. Bahkan bisa dihitung dengan jari di satu tangan. 

Pengalaman berkemah

Coba saya runut mundur. Terakhir kali tidur di tenda adalah saat outing kantor bersama kompas.com. Tapi kala itu, tendanya didirikan oleh penyelenggara kegiatan. 

Sebelumnya, pernah berkemah di Sukamantri, Bogor. Bersama beberapa rekan dari detikcom. Lumayan lah, kalau yang ini tendanya kami yang dirikan mandiri. Tapi jangan ditanya seberapa besar kontribusi saya dalam memastikan tenda itu berdiri ya. Jangan lah, pokoknya.  

Lalu, lompat jauh ke masa-masa sekolah. Tepatnya di masa SMP, ketika kemah bersama kegiatan Palang Merah Remaja maupun ketika berangkat bersama-sama sekelompok teman untuk berkemah di Curug Nangka, Bogor. 

Cukup ya. Sudah jelas bahwa pengalaman berkemah saya bahkan tak cukup layak untuk jadi bahan tertawaan teman-teman pendaki, pencinta alam atau pegiat berkemah lainnya. 

Nah, bayangkan bahwa, dengan pengalaman sedangkal itu, tiba-tiba saya harus membawa keluarga untuk berkemah dengan konsep ‘zero waste’ alias minim (bahkan tanpa) sampah. 

Aduhai memang hidup ini kalau sedang memberi pelajaran. Tidak tanggung-tanggung!

Apa sih ‘Zero Waste Camping’ itu?

Soal berkemah tanpa sampah, sungguh sebuah tantangan. Konsep ‘zero waste’-nya saja saya masih harus belajar banyak. Nah, menerapkan konsep itu dalam sebuah kegiatan yang di luar zona nyaman adalah hal yang terasa sangat membuat gentar. 

Tapi, semua dimulai dari langkah pertama. Dan sebagai seorang newbie berkemah dan newbie zero waste, solusinya sangatlah sederhana: belanja! 

Ya. Sebagaimana lazimnya semua orang yang baru mulai, antusiasme menggebu bukannya diarahkan pada riset, belajar atau persiapan mental, tapi malah diarahkan pada belanja barang-barang keperluan camping

Mulai dari kompor parafin tahan angin, ceret air outdoor, plastic case untuk membawa telur hingga jaket, kupluk dan sarung tangan. 

Ternyata, semua itu sungguh sangat jauh dari apa yang seharusnya disiapkan dalam sebuah kegiatan ‘zero waste camping’. 

Jadi, apa saja yang perlu disiapkan sebelum pergi berkemah tanpa sampah? 

  1. Mental. Ini yang paling penting. Semua diawali dari niat dan diperkuat oleh komitmen untuk konsisten. 
  2. Tempat sampah. Wajib banget, supaya lokasi berkemah tak banyak sampah berserakan. Tempat sampah ini bisa berupa tempat sampah pada umumnya atau wadah plastik besar yang bisa digunakan kembali. Bekal kita yang tak bisa diurai alam (misalnya kemasan makanan ringan) juga harus dibawa pulang, dan dipilah.
  3. Peralatan makan. Gunakan botol minum, gelas dan alat makan yang bisa dipakai berulang kali. (Dalam camping yang kami ikuti, panitia berkoordinasi dengan menyiapkan galon isi ulang untuk digunakan bersama.) 
  4. Sabun atau pembersih organik, untuk mencuci alat makan dan alat masak yang digunakan selama berkemah.  
  5. Hindari minuman sachet atau makanan dalam kemasan, kalau tidak bisa hidup tanpa kopi sachet, ya setidaknya tak perlu membawa terlalu banyak lah. 
  6. Sapu tangan atau lap kain. Daripada tisu, lap atau sapu tangan bisa dipakai berulang-ulang. 
  7. Minimalkan kantong plastik. Ada dry bag yang bisa digunakan berkali-kali untuk mengakomodir barang bawaan yang mengandung air.
  8. Sekop kecil. Pastikan dengan pengelola camping ground, apakah boleh mengubur sampah organik di lokasi. Jika boleh, jangan lupa bawa peralatannya. (Dalam hal perkemahan yang kami ikuti, lubang sampah ini sudah disiapkan penyelenggara.) 

Seru dan mudah, tapi bukan yang paling gampang 

Saya bersyukur pengalaman berkemah di acara itu sangat menyenangkan. Kami pun bisa taat pada skema ‘zero waste’ yang dicanangkan penyelenggara. Kebanyakan peserta juga demikian. 

Walaupun, harus diakui, ada juga area abu-abu. Misalnya, ada warung mie instan di dekat area perkemahan. Begitu ada satu yang memesan, tentu saja banyak yang tergoda aroma luar biasa itu. Padahal bungkusnya, entah dibuang ke mana.

Di waktu yang sama, kebetulan ada rombongan lain yang melakukan kegiatan perkemahan. Mereka hanya berjarak sekitar 10-15 meter dari batas ujung area yang kami gunakan.

Keberadaan rombongan sebelah ini sungguh membuka mata kami pada berkemah minim sampah. Bukan bermaksud sombong atau sok suci, tapi tumpukan sampah bekas nasi boks di perkemahan sebelah begitu ‘menusuk mata’ kami. 

Di hari terakhir, saat kami hendak pulang, sampah rombongan sebelah makin menggunung, membuat pilu rasanya. Dalam hati saya berdoa, semoga penyelenggara rombongan sebelah punya rencana baik dalam membuang sampah mereka. Sedangkan saat melihat bekas area kemah kami, rasanya lebih lega karena sampah organik dikubur dengan baik dan sampah lain dibawa pulang oleh masing-masing keluarga. 

Meskipun sebenarnya terlihat mudah untuk dilaksanakan, tapi berkemah tanpa sampah ternyata butuh persiapan ekstra. Saya yakin banyak orang yang akan berkata, persiapan tersebut akan sangat merepotkan dan lain sebagainya. 

Sedangkan cara gampang sudah ada di ujung jari, yakni menyiapkan konsumsi dengan nasi boks, menyiapkan ‘tempat sampah’ yang kemudian akan ditinggal untuk jadi masalah pengelola camping ground. Apalagi dengan dalih: kan, sudah bayar uang kebersihan. 

Selalu ada cara gampang dan penggampangan yang bisa dipilih. Padahal, ada cara lain yang juga mudah. 

Upaya-upaya kecil seperti membawa pulang sampah seharusnya jadi hal paling minim yang bisa dilakukan dalam sebuah perjalanan. Ya, mungkin tidak akan tercapai “total zero waste” tapi setidaknya ada usahanya. 

Kutipan bijak ini sungguh mengena: cukup kenangan yang disimpan dan jejak yang ditinggalkan. 

Yuk, lebih bijak dengan sampah kita.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berkemah Tanpa Sampah, Apakah Jadi Susah? appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berkemah-tanpa-sampah-apakah-jadi-susah/feed/ 0 26454