zero waste Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/zero-waste/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Tue, 29 Mar 2022 08:28:11 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 zero waste Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/zero-waste/ 32 32 135956295 Karena Gunung Bukan Tempat Sampah https://telusuri.id/karena-gunung-bukan-tempat-sampah/ https://telusuri.id/karena-gunung-bukan-tempat-sampah/#respond Fri, 05 Feb 2021 05:35:44 +0000 https://telusuri.id/?p=26807 Sebuah cerita dari Arnas. Aku memunggungi Izal, kesal, sesekali ku lirik teman pendakianku ini tampak mulai merasa bersalah setelah kupergoki Ia membuang puntung rokoknya sembarangan. Aku tidak percaya Ia masih menjalani kebiasaan menghisap rokok sambil...

The post Karena Gunung Bukan Tempat Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
Sebuah cerita dari Arnas.


Aku memunggungi Izal, kesal, sesekali ku lirik teman pendakianku ini tampak mulai merasa bersalah setelah kupergoki Ia membuang puntung rokoknya sembarangan.

Aku tidak percaya Ia masih menjalani kebiasaan menghisap rokok sambil mendaki gunung. Padahal kami sudah sepakat, bahwa pendakian ini merupakan langkah awal agar ia mau mulai mengurangi kebiasaan merokoknya, yang menurutku, cukup meresahkan. Beberapa kali bahkan aku resah mendengar suara batuknya sepanjang perjalanan, atau disela-sela break di pos pendakian.

Izal dan Aku merupakan teman lama, sejak SMA kami sudah terbiasa berdebat tentang hal-hal kecil, dan merokok bukan salah satunya. Namun untuk kasus ini, aku memutuskan tegas, bahkan Ibunya sudah berulang kali meneleponku untuk membantu mengurangi kebiasaannya tersebut.

“Nas, gue minta maaf deh, lagian cuma sebatang doang yang tadi gue buang” sahut Izal dari tempatnya.

“Itu.. Yang itu tuh, cuma sebatang.” Ku pasang wajah seseram mungkin, semoga ia belajar, bahwa itu yang menjadi pikiran orang yang membuang sampah berupa puntung rokok di jalur pendakian, atau di pos campground.“ Cuma sebatang menurutmu, dan itu juga menurut mereka yang seenaknya buang sampah puntung rokok di sekitar sini” aku ketus.

Menyalakan rokok/Lulhas (Flickr)

Sebagai sebuah catatan besar, bagi kalian yang sering melakukan pendakian, pasti paham apa yang membuatku kesal, bahwa dengan mudahnya membuang benda kecil berupa filter rokok atau sobekan kemasan di tanah-tanah yang masih berpotensi untuk ditumbuhi rerumputan, apalagi mereka yang meninggalkan puntung rokok dalam keadaan masih menyala baranya.

Untuk puntung yang padam, proses penguraian filter rokok membutuhkan waktu hingga 10 Tahun lamanya. Dalam kurun waktu tersebut, tanah tempat terkuburnya puntung-puntung rokok tersebut tidak akan bisa melakukan tugasnya dalam ekosistem hutan. Apalagi jika puntung tersebut masih menyisakan bara, yang berpotensi membuat kebakaran hutan bila area rerumputan tempatnya terbuang sedang kering.

Kerugian besar akan dialami oleh semua makhluk hidup yang menjadi rantai ekosistem penting di hutan tersebut. Sebagai pribadi yang cukup sering mengunjungi gunung sebagai tempat menyepi, aku sangat menghargai alam dengan selalu berhati-hati dalam memilih logistik perjalanan, bahkan sebisa mungkin mengurangi produksi sampah sebelum, selama, atau setelah pendakian.

Selain sampah puntung, dalam beberapa pendakian, aku bisa menemukan sampah kecil seperti bekas tutup air mineral, yang terlewat atau terjatuh dari packingan sampah menuju perjalanan pulang ke basecamp. Hal sekecil ini kadang luput dari perhatian, namun ada beberapa kelompok pendaki yang tidak segan memungut sampah seperti ini dan memasukannya kedalam kemasan sampah mereka, dan dikumpulkan di basecamp area.

Di beberapa lokasi pendakian, bahkan ranger atau penjaga gunung ada yang sengaja memasukan agenda sapu jalur untuk menemukan sampah-sampah kecil setiap minggu atau setiap bulan, untuk tetap menjaga area campground dan lajur pendakian tetap bersih, dengan begitu pendaki akan tetap nyaman melakukan aktivitas luar ruangnya. Seperti yang dilakukan oleh Ranger Basecamp Mawar, di kaki Gunung Ungaran.

Mereka memberikan sebuah contoh pengolahan sampah dari para pendaki yang pernah berkunjung ke sana. Sampah-sampah botol kemasan plastik diolah sedemikian rupa menjadi berbagai macam hiasan yang bisa memberikan manfaat, atau setidaknya mempercantik area basecamp.

Sedikit tips bagi kalian yang tidak ingin merasakan apa yang dialami Izal, saat melakukan pendakian gunung agar mengurangi produksi sampah. 

Pertama, usahakan untuk mencatat kebutuhan logistik, sebisa mungkin kurangi pembelian logistik dalam kemasan plastik. Untuk air mineral, kita bisa menggunakan botol water bladder yang terbuat dari silikon. Selain kuat, botol minum ini bisa dilipat menjadi ukuran yang lebih kecil dan bisa menghemat ruang penyimpanan di tas kita saat tidak digunakan.

Kedua, sediakan plastik ziplock atau plastik yang bisa membuat udara kedap. Plastik ini cukup bisa diandalkan untuk menyimpan beberapa jenis makanan kering. Setelah dikonsumsi, kita bisa memanfaatkan plastik tersebut untuk tempat menyimpan makanan selama beristirahat di campground. Bahkan plastik ini bisa digunakan untuk mengemas pakaian ganti kalian yang sudah kotor, agar tidak menimbulkan bau tidak sedap ke seluruh isi tas carrier.

Ketiga, akan lebih baik saat selesai beraktivitas di gunung, mengumpulkan sampah secara seksama. Usahakan agar tidak meninggalkan sampah plastik atau sampah berupa puntung rokok dimanapun, kalian bisa mengemas puntung rokok dalam botol sisa minuman mineral atau botol plastik bekas. Dan membuangnya ke tempat yang sudah disediakan oleh pengelola secara terpisah, sampah organik untuk yang mudah di daur ulang, dan sampah anorganik untuk sampah yang tidak bisa didaur ulang. 

Menjaga lingkungan terutama di daerah aktivitas luar ruang seperti gunung adalah tanggung jawab kita bersama, Aku tidak bermasalah bagi mereka yang mau sadar untuk menyimpan sampahnya secara sadar demi kepentingan menjaga kelangsungan ekosistem yang alami, tidak seperti yang dilakukan oleh Izal.

Dengan begitu, kita sudah ikut serta merawat kehidupan untuk kemudian bisa kita wariskan kepada anak cucu kita kelak. Ingat selalu, gunung bukan tempat sampah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Karena Gunung Bukan Tempat Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/karena-gunung-bukan-tempat-sampah/feed/ 0 26807
Kembali ke Merbabu, Kali Ini Tanpa Sampah https://telusuri.id/kembali-ke-merbabu-kali-ini-tanpa-sampah/ https://telusuri.id/kembali-ke-merbabu-kali-ini-tanpa-sampah/#respond Thu, 28 Jan 2021 10:33:01 +0000 https://telusuri.id/?p=26653 Tahun lalu tepat 10 tahun lalu dari terakhir saya mendaki ke Gunung Merbabu. Kala itu sekitar 2010, saya masih bersekolah di salah satu SMK di Kota Semarang. Dulu saya tergabung dalam organisasi pecinta alam sekolah...

The post Kembali ke Merbabu, Kali Ini Tanpa Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
Tahun lalu tepat 10 tahun lalu dari terakhir saya mendaki ke Gunung Merbabu. Kala itu sekitar 2010, saya masih bersekolah di salah satu SMK di Kota Semarang. Dulu saya tergabung dalam organisasi pecinta alam sekolah dan menjadi salah satu anggota Gabungan Pelajar Pecinta Alam Semarang (Gappase), jadi banyak aktivitas yang nggak jauh-jauh dari mendaki gunung. Meski begitu, saya baru mendaki gunung-gunung di sekitaran Jawa Tengah dan Jawa Timur saja.

Karena kesibukan yang semakin padat, baru tahun 2020 lalu saya memberanikan diri untuk naik gunung lagi. Rencananya sih ingin mendaki kembali ke Gunung Merbabu, tapi kali ini lewat jalur lain yang lebih pendek yakni Cunthel.

Sejujurnya, sekarang ini saya agak setengah hati dengan kegiatan pendakian. Beberapa waktu belakangan, saya memantau pendakian di social media. Gunung tampak makin ramai, terkadang bising, dan kotor karena sampah-sampah pendaki yang tidak dibawa turun kembali. Ini juga yang menjadi alasan sebagian ‘pendaki veteran’ enggan muncak lagi. 

Foto: Dinda Prasetyo (Unsplash)

Namun begitu, tidak ada salahnya untuk mencoba lagi merasakan tanjakan dan indahnya pemandangan  dari puncak Gunung Merbabu.

Persiapan Sebelum Pendakian

Berbeda saat SMK dulu, persiapan mendaki gunung kali ini benar-benar matang. Saya kasih tahu, dulu waktu SMK saya hanya membawa satu tas gunung yang berisi air minum 2 botol besar, 3 mie instan, gula, kopi, teh, penyedap rasa, gula jawa, tenda, dan peralatan memasak. 

Ringkas dan serba instan karena tak ingin membebani tubuh kecil ini dengan bawaan yang berat. Sekarang, persiapan pendakian butuh berhari-hari. Mulai latihan fisik sampai ke peralatan gunung dan logistik yang memadai. 

Beberapa perlengkapan memang sengaja saya beli untuk mengurangi sampah plastik selama mendaki ke Gunung Merbabu. Seminimal mungkin saya menghasilkan sampah plastik atau bahkan kalau bisa tidak menghasilkan sampah plastik sama sekali walau rasanya sulit.

Persiapan pertama dari bahan makanan yang ingin saya bawa. Jika dulu hanya membawa mie instan, sarden, kornet, dan sebagainya; kali ini saya memilih bahan-bahan yang bisa dimasukkan ke dalam kotak makan.

Saya membeli peralatan yang berguna mengurangi sampah plastik dan bisa dipakai untuk jangka panjang. Sebagai contohnya water bladder untuk tempat air, kontainer telur agar tidak pecah selama dibawa, bumbu-bumbu dapur, rempah-rempah, dan penyedap yang sudah saya tempatkan dalam wadahnya masing-masing.  Jadi ketika bahan makanan atau bumbu tersebut habis, saya tinggal mengisinya kembali (refill).

Karena saya hanya menginap semalam saja, maka untuk bahan makanan utama yang saya bawa yakni daging ayam, daging sapi, telur, kentang, jamur, tomat cherry, bawang-bawangan, dan buah-buahan.

Terlihat mewah, bukan?

Naik gunung sudah susah, bawa makanan ya harus mewah. Prinsip ini yang saya dapatkan dari senior saya saat di organisasi pecinta alam dulu. 

Bahan makanan sudah beres, kemudian tinggal peralatan elektronik dan pakaian. Biasanya pendaki membungkus pakaian kering mereka menggunakan plastik agar tidak basah ketika diserang hujan dadakan. 

Saya pun menyiapkan dua tas pouch tahan air yang agak besar. Satu untuk pakaian kering dan bersih, satunya lagi untuk pakaian yang kalau-kalau bakal basah atau kotor. Sebetulnya, membawa pakaian basah turun ke bawah juga akan menambah beban, jadi kalau bisa sebaiknya membawa pakaian berbahan Dri-Fit.

Untuk barang elektronik seperti powerbank, charger, dan kamera ditempatkan pada pouch yang sama. Begitu juga dengan kotak PPGD, raincoat, flysheet, dan tenda. Tak lupa, kami juga membawa serbet sebagai pengganti tisu.

Foto: Dinda Prasetyo (Unsplash)

Setelah semua berada di kontainernya masing-masing, tinggal mengatur dan memasukkannya ke dalam keril. dan dimasukkan ke dalam tas gunung saja. Tak lupa saya selipkan dua buah trashbag ke dalamnya.

Pendakian Gunung Merbabu Via Cunthel

Tepat pukul 8 pagi saya berangkat berdua dari Semarang menggunakan motor menuju pos pendakian Cunthel, Kopeng, Salatiga. Setelah membayar retribusi dan beristirahat selama satu jam, kami melanjutkan perjalanan: mendaki Gunung Merbabu. Jalur awal masih berupa beton karena warga menggunakan jalan ini untuk beraktivitas dengan kendaraan bermotor.

Sesampainya di Pos Bayangan 1 yang berada di ketinggian 1887 mdpl terdapat satu bangunan permanen yang bisa digunakan untuk tempat beristirahat. Usai melepas lelah, kami melanjutkan perjalanan ke Pos Bayangan 2 Gumuk. Di sini, kita bisa mengisi air dari sumber yang ada.

Butuh waktu 1,5 jam untuk sampai di Pos 1 Watu Putut dari Basecamp Cunthel. Itu saja istirahatnya selama di perjalanan hanya sebentar, sekitar 5 menitan. Makanya sebelum pendakian, saya sarankan kalian untuk melatih fisik secara maksimal.

Selama perjalanan dari Pos 1 Watu Putut sampai ke Pos 2 Kedokan, jalur mulai terbuka dengan sedikit pepohonan dan semak liar yang tinggi. Trek yang dilalui memang dominan menanjak dan hanya sedikit saja yang landai.

Di Pos 2 Kedokan, ada banyak pepohonan rindang, biasanya lokasi ini digunakan untuk alternatif tempat mendirikan tenda. Namun lokasinya masih agak jauh dari puncak Merbabu. Sampai di pos ini, saya sudah berada di ketinggian 2430 mdpl (ada papannya). 

Lanjut menuju Pos 3 Kergo Pasar, hutan tidak tampak lagi. Suasana sekitar didominasi oleh pepohonan kering dan sudah mati, namun saat menoleh ke belakang terlihat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing dengan lautan awan. Di sini, kami tak berlama-lama karena harus melewati satu tanjakan lagi untuk sampai di Pos Pemancar. Pos ini yang akan menjadi tempat kami mendirikan tenda karena lokasinya tidak terlalu jauh dari puncak dan lebih aman ketika badai datang. 

Nggak terasa, kami melewatkan sekitar lima jam untuk perjalanan ini. Jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 4 sore, waktunya untuk mendirikan tenda dan memasak. Kami saling berbagi tugas, saya yang menyiapkan makanan, teman saya yang menyiapkan tenda. 

Slice beef yang dimasak dengan bumbu teriyaki menjadi menu andalan pada pendakian kali ini. Sedikit tips nih kalau membawa bahan makanan seperti daging, masukkanlah ke dalam kontainer kedap air yang berisi ice gel. Dijamin daging akan tetap segar dan tahan lebih lama. Atau kalau mau, kita bisa memarinasinya terlebih dahulu. 

Ada beberapa tenda yang berdiri di sekitar kami, tidak terlalu ramai. Malam itu cuaca juga cerah, tidak ada badai. Sesekali kami bersahut kata dengan rombongan tenda sebelah sebelum memutuskan untuk tidur lebih awal karena berniat summit pada jam 4 pagi untuk menyaksikan sunrise di puncak. Sebelum tidur, kami menyiapkan perlengkapan yang dibawa untuk menuju puncak besok, hanya daypack berisi logistik dan barang berharga. 

Tepat jam 4 pagi, alarm berbunyi dan kami bergegas untuk menuju puncak Gunung Merbabu. Suasana berkabut disertai hembusan angin yang dingin mememani perjalanan kami.  Setelah berjalan sekitar 2 jam, sampailah di pertigaan yang merupakan percabangan ke Puncak Syarif dan ke Puncak Kenteng Songo. Karena masih agak gelap, saya menyempatkan diri untuk mampir ke Puncak Syarif karena jaraknya hanya 5 menit saja dari pertigaan tadi.

Perlahan suasana mulai tampak lebih terang dari sebelumnya. Tak ingin ketinggalan, kami pun bergegas menuju puncak utama yaitu Kenteng Songo. Butuh waktu sekitar 1 jam untuk sampai di puncak ini.

Sesampainya di Puncak Kenteng Songo, suasana memang belum berubah. Kabut yang masih menutupi pemandangan sekitar, ditambah matahari yang mulai menyembul perlahan. 

Dibawa santai saja, saya mengambil kompor dan gas dari tas kecil kemudian mulai merebus air untuk membuat kopi. Setidaknya sampai jam 7 pagi, kabut mulai menghilang dan pemandangan sekitar mulai terlihat.

Tampak dari kejauhan terlihat gugusan gunung-gunung yang gagah berdiri di sekitar Gunung Merbabu. Saya seperti dibawa kembali ke sepuluh tahun lalu dengan pemandangan dan suasana yang sama. Tertegun menikmati setiap hembusan angin dingin dari ketinggian 3.142 mdpl.

Sekitar jam 8 pagi, kami memutuskan untuk kembali ke tenda dan bersiap kembali melanjutkan perjalanan pulang. Tak butuh waktu lama karena hanya perlu 1 jam saja untuk sampai di Pos Pemancar. 

Sampah di Merbabu/Mauren Fitri

Sebelum pulang, kami menyempatkan makan siang dahulu dan beristirahat sejenak dan mengisi tenaga. Lauk telur, daging ayam, dan kentang terasa sangat enak ketika masuk ke mulut. Saus pedas dengan sedikit mayo yang saya tambahkan pun juga menambah rasanya jadi lebih enak. Sampai sekarang pun, hanya sampah cangkang telur dan kulit bawang saja yang kami hasilkan.

Setelah semua barang tertata rapi dan perut kenyang, saya mengeluarkan barang pusaka yang wajib dibawa tiap kali naik gunung yaitu trash bag. Budaya kami dalam organisasi pecinta alam dulu memang masih melekat hingga sekarang ini. 

Membersihkan sampah sekitar dengan radius 5 meter dari tenda yang kami dirikan. Jadi bukan hanya sampah yang kami hasilkan saja, tapi sampah orang lain dalam radius tersebut akan kami bawa turun juga. 

Andai kebiasaan ini dilakukan oleh setiap pendaki pasti kita bisa melihat gunung tetap bersih. Beberapa orang mungkin akan menyarankan membakar sampah seperti bungkus mie, kopi atau kresek untuk menyalakan api. Namun hal ini tidak dibenarkan karena jika terlena sedikit saja bisa jadi kebakaran gunung yang besar. Sudah banyak kasus kebakaran hutan akibat satu puntung rokok saja, jadi sebaiknya dibawa turun lagi.

Selama ada niat dan usaha, pasti bisa untuk tidak nyampah di gunung.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Kembali ke Merbabu, Kali Ini Tanpa Sampah appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/kembali-ke-merbabu-kali-ini-tanpa-sampah/feed/ 0 26653
Bukan Sekadar “Bawa Turun Sampahmu,” tapi “Kurangi Sampahmu” https://telusuri.id/bukan-sekadar-bawa-turun-sampahmu-tapi-kurangi-sampahmu/ https://telusuri.id/bukan-sekadar-bawa-turun-sampahmu-tapi-kurangi-sampahmu/#respond Tue, 26 Jan 2021 04:07:39 +0000 https://telusuri.id/?p=26566 “Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat..” Saat bekerja di Jogja, saya kembali terhubung dengan kawan-kawan lama Aldakawanaseta, Mapala kampus saya dulu. Sejujurnya, saya bukan anggota Mapala. Tapi karena mengenal baik beberapa...

The post Bukan Sekadar “Bawa Turun Sampahmu,” tapi “Kurangi Sampahmu” appeared first on TelusuRI.

]]>

“Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat..”

Saat bekerja di Jogja, saya kembali terhubung dengan kawan-kawan lama Aldakawanaseta, Mapala kampus saya dulu. Sejujurnya, saya bukan anggota Mapala. Tapi karena mengenal baik beberapa rekan di sana, akhirnya saya ikut-ikutan gemar mendaki gunung.

Kalau diingat-ingat, kali pertama saya mendaki gunung itu ke Merapi. Bersama Mas Weldas dan Deta, saya dipertemukan dengan komunitas kecil Pikniker Solo. Dari perjalanan bersama mereka itulah, saya belajar bahwa mendaki gunung bukan sekadar “piknik” seperti nama komunitas kecil ini. Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan, tidak hanya soal peralatan dan logistik, tapi juga pengetahuan, dan etika pendakian.

Logistik pendakian organik dan minim sampah

Logistik pendakian Semeru/Mauren Fitri

Sejak pertama kali mendaki Merapi bersama teman-teman Pikniker Solo, saya disarankan untuk tidak membawa makanan cepat saji yang terbungkus plastik dan kaleng. Tidak ada mie instan, tidak ada sarden, tidak ada kopi sachet karena kami tidak suka ngopi sachet. Kecuali air mineral, (dulu) kami masih sering membawanya dengan alasan praktis.

Dalam perjalanan menuju basecamp Gunung Merapi, saya diajak mampir ke Pasar Selo di Cepogo. Di sana, kami berbelanja logistik seperti sayur, buah, tempe, bumbu masak sebagai pelengkap rasa seperti bawang merah, bawang putih, cabai, bahkan daun salam dan bumbu pawon lain. Kangkung dan terong kesukaan saya, tentu tak luput dari daftar belanja.

Setelah berkali-kali naik gunung bersama mereka, saya baru paham kenapa harus belanja logistik di dekat gunung tujuan. Ya, jelas supaya bekal makanan yang berupa bahan masakan mudah busuk ini bisa bertahan lama saat perjalanan mendaki.

Berdasar pengalaman pribadi, kami biasanya menyimpan sayur-sayuran ini dengan cara membungkusnya menggunakan koran bekas atau kain sebelum dimasukkan ke dalam keril. Tujuannya supaya saat kita berjalan mendaki dan suhu di dalam tas meningkat karena sinar matahari, uap air yang dihasilkan dari sayur mayur ini terserap di koran dan kain. Jika sayur-sayuran tetap kering, maka ia akan tetap segar.

Bekal makanan di Gunung Merapi. Ada terong ada ayam goreng, sambal, tempe kering, dan roti bakar/Mauren Fitri

Lalu saat tiba di camp site, kami segera membuka bungkus perbekalan ini untuk diangin-anginkan. Kalau malam tiba, seringkali kami taruh di dalam vestibule tenda supaya terkena hawa dingin dari luar. Anggap aja seperti kulkas alami.

Dengan cara-cara ini, bekal makanan yang terdiri dari sayur, buah, dan bumbu-bumbuan menjadi lebih tahan lama dan tetap segar. Oh ya, kalau membawa minyak goreng atau margarin, kami selalu menyediakan satu buah botol kosong untuk menaruh sisa minyak habis pakai. Jadi, minyak habis pakai tersebut tetap dibawa turun, tidak ditibuang ke tanah saat masih ada di gunung.

Mulai mengganti plastik dengan dry bag, mengganti tisu dengan lap kain

Nggak dipungkiri saat awal-awal mendaki gunung, kami masih sering menggunakan plastik sebagai pembungkus pakaian, makanan, hingga alat pendakian. Tapi lama-kelamaan, banyak edukasi yang didapatkan terutama tentang dampak penggunaan plastik untuk aktivitas pendakian.

Perlahan kami mulai mengganti plastik-plastik packing dan kemasan makanan/minuman menggunakan wadah yang bisa dipakai berkali-kali. Misalnya saja, jika dulu kami menggunakan plastik packing (biasanya trash bag) untuk membungkus semua barang yang ada di dalam keril, kini kami menggantinya dengan dry bag.

Dry bag punya beragam ukuran, kita bisa membelinya sesuai dengan kebutuhan. Dan tentunya, tetap tahan air serta bisa dipakai berulang kali. Saya punya dua buah dry bag yang usianya sekitar 8 tahun, masih berfungsi dengan baik hingga sekarang. Hemat sampah plastik pakaian selama 8 tahun.

Oh ya, dua tahun terakhir ini saya juga sudah mulai mengganti tisu dengan kain. Kalau orang Jawa menyebutnya “gombal”, kain yang biasa dipakai untuk mengelap segala macam benda.

Setidaknya saya selalu membawa 3 buah gombal setiap camping atau naik gunung. Gombal ini saya beli di pasar tradisional seharga Rp10.000,00 tiga (sepuluh ribu dapat tiga buah gombal). Jauh lebih hemat jika dibandingkan dengan membeli tisu setiap kali mau perjalanan.

Memungut sampah di jalur pendakian saat perjalanan pulang

Memungut sampah air mineral di jalur pendakian/Senna R

Hal paling menjengkelkan selama mendaki gunung adalah melihat tisu basah bekas dan botol air mineral kosong berserakan di camp site dan jalur pendakian. Nggak hanya itu sih, seringkali kami juga menemukan gundukan sampah di sudut-sudut camp site. Kadang kala, gundukan sampah ini dibakar oleh pendaki lain. Padahal, setahu saya membakar sampah di gunung berpotensi menjadi penyebab kebakaran.

Hal yang selalu rutin teman-teman Pikniker Solo lakukan saat mendaki gunung adalah membawa turun semua sampah yang dihasilkan, juga memungut sampah yang kami temui diperjalanan pulang.

“Ya macam itu pendaki jaman sekarang, ninggal sampah seenak jidat!” sering diumpatkan oleh kami sambil memungut botol-botol air mineral bekas selama perjalanan turun gunung.

Menurut saya, mendaki gunung bukan sekedar perkara membawa pulang sampah yang dibawa dari bawah, tapi juga kurangi menghasilkan sampah selama aktivitas pendakian. Kalau bingung kiat-kiat gimana sih bisa mendaki gunung tanpa menghasilkan sampah, coba baca buku Zero Waste Adventure yang ditulis oleh Siska Nirmala. Dalam buku tersebut, Siska membagikan kiat-kiat mendaki nol sampah.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI. Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Bukan Sekadar “Bawa Turun Sampahmu,” tapi “Kurangi Sampahmu” appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/bukan-sekadar-bawa-turun-sampahmu-tapi-kurangi-sampahmu/feed/ 0 26566