ziarah Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/ziarah/ Media Perjalanan dan Pariwisata Indonesia Thu, 11 Jan 2024 03:29:05 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.8.1 https://i0.wp.com/telusuri.id/wp-content/uploads/2023/06/cropped-TelusuRI-TPPSquare-1.png?fit=32%2C32&ssl=1 ziarah Archives - TelusuRI https://telusuri.id/tag/ziarah/ 32 32 135956295 Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (2) https://telusuri.id/tapak-tilas-leluhur-gus-dur-di-desa-ngroto-2/ https://telusuri.id/tapak-tilas-leluhur-gus-dur-di-desa-ngroto-2/#respond Fri, 12 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40900 Selain yang disampaikan oleh Mbah Bejo, saya juga menemukan versi lain terkait silsilah leluhur Gus Dur. Dari buku Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19 (2019) karya Zainul Milal...

The post Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
Selain yang disampaikan oleh Mbah Bejo, saya juga menemukan versi lain terkait silsilah leluhur Gus Dur. Dari buku Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19 (2019) karya Zainul Milal Bizawie, diketahui nama ayah Kiai Asy’ari adalah Kiai Abdul Wahid. Bukan Kiai Khoiron.

Zainul Milal Bizawie menyebutkan bahwa Kiai Abdul Wahid atau Pangeran Gareng mendirikan pesantren di Ngroto, Grobogan yang saat itu masih wilayah Demak. Putranya, Kiai Asy’ari lahir di Demak, Jawa Tengah, sekitar tahun 1830. 

Zainul Milal Bizawie juga menyebutkan, Kiai Abdul Wahid menjadi komandan pasukan Pangeran Diponegoro di bawah panglima senior Alibasyah Prawirodirdjo. Nasab Kiai Asy’ari merujuk hingga ke Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir (Sultan Pajang).  

Versi lainnya lagi, sebagaimana diungkap oleh Ainul Yaqin dan Muhammad Malik dalam artikel berjudul Menyelisik Identitas Buyut Gus Dur (2020), menyebutkan antara Kiai Asy’ari dan Kiai Abdul Wahid terdapat nama Abu Sarwan. Dengan begitu, Asy’ari adalah putra Abu Sarwan, bukan Abdul Wahid. Jadi, jika dirunut, bisa disebutkan Kiai Asy’ari bin Abu Sarwan bin Kiai Abdul Wahid. Maka timbul kemungkinan Abu Sarwan adalah nama lain dari Mbah Gareng. 

Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (2)
Buku Zainul Milal Bizawie yang menyebutkan silsilah leluhur Gus Dur/Toko Buku Oase

Mengurai Silsilah yang masih Menyimpan Pertanyaan 

Di sisi lain, ada penemuan makam buyut K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lainnya lagi di Tingkir, Salatiga. Sekitar tahun 2000-an, makam tersebut ditemukan lalu disematkan oleh masyarakat sebagai makam Mbah Abdul Wahid. Akan tetapi, sejauh penelusuran, Abu Sarwan juga berasal dari Tingkir sebagaimana asal Mbah Gareng yang telah dijelaskan sebelumnya.

Hal ini semakin tepat kalau Mbah Gareng merupakan Pangeran Gareng seperti disebut Zainul Milal Bizawie. Ditambah lagi, masih di dalam bukunya, Zainul Milal Bizawie juga menyebutkan Pangeran Gareng atau Kiai Abdul Wahid pernah mendirikan pesantren di Ngroto. Dari ragam nama yang muncul dalam silsilah leluhur Gus Dur tersebut, saya menduga nama Khoiron, Abdul Wahid, Abu Sarwan, dan Mbah Gareng atau Pangeran Gareng, mengerucut pada satu sosok yang sama. 

Kesimpangsiuran semacam ini, sebagaimana disebutkan Ainul Yaqin dan Muhammad Malik, boleh jadi disebabkan Abdul Wahid—yang dikenal sebagai Pangeran Gareng—pernah ditangkap oleh Belanda dan diasingkan. Lalu beliau melarikan diri dari kejaran Belanda dan menyamar dengan berganti-ganti nama. Untuk itu sulit mengetahui nama asli dan asal-usulnya.

Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (2)
Gapura masuk ke makam Mbah Abdul Wahid di Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Salatiga/tangkapan layar channel YouTube GSM Berbudaya

Mempertanyakan Makam Leluhur Gus Dur di Salatiga

Lalu, siapa sebenarnya nama leluhur Gus Dur yang terdapat di makam Tingkir, Salatiga?

Juru kunci makam Mbah Abdul Wahid di Tingkir, Sadzali Marjan, dalam sebuah video wawancara dengan rombongan peziarah yang diunggah di YouTube oleh channel Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah pada 15 November 2021, menyebutkan Abdul Wahid adalah ayah dari Mbah Khoiron alias Mbah Gareng yang makamnya ada di Ngroto. Sadzali Marjan juga mengatakan Mbah Gareng juga dikenal dengan nama Abu Sarwan dan Khoiron.  

Di kesempatan lain, Sadzali Marjan, seperti dikutip dari Tribun Muria (05/01/2023), menyebut makam Mbah Abdul Wahid yang ada di Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, merupakan salah satu keluarga Gus Dur. Mbah Abdul Wahid merupakan salah satu pasukan telik sandi pada Perang Jawa sekitar tahun 1825 dan ditempatkan di Salatiga.

Masih menurut Sadzali Marjan, Mbah Abdul Wahid bergabung dengan laskar yang dipimpin oleh Kiai Modjo. Mbah Wahid ditugaskan memata-matai pergerakan Belanda di Salatiga dan cukup lama ikut dalam perang melawan penjajah. 

Mbah Wahid direkrut oleh Kiai Modjo, yang saat itu diberi tugas oleh Pangeran Diponegoro untuk merekrut kiai ngaji dan warga untuk laskar Pangeran Diponegoro. Adapun Mbah Abdul Wahid berasal dari Kabupaten Boyolali. Mengingat penugasannya sebagai mata-mata, keluarga Mbah Abdul Wahid tidak diajak ke Salatiga.

Namun, Sadzali Marjan mengaku warga sekitar mengenal Mbah Abdul Wahid sebagai Mbah Maksum. Nama Mbah Wahid sendiri, menurutnya, baru dikenal 20 tahun ke belakang berdasarkan catatan dari keluarga Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (2)
Kompleks makam Mbah Abdul Wahid/Muhamad Nuraeni

Namun, silsilah yang disampaikan oleh Sadzali Marjan bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh K. H. M. Ishom Hadziq, salah seorang cucu K. H. Hasyim Asy’ari. Menurut K. H. M. Ishom Hadziq, sebagaimana dikutip oleh Fathoni Ahmad dalam artikel berjudul Sosok Kiai Asy’ari, Ayahanda Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di NU Online (17/02/2020), ayah Kiai Asy’ari bernama Abdul Wahid bin Abdul Halim. Abdul Wahid merupakan salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang menggunakan nama Pangeran Gareng di bawah Panglima Sentot Alibasyah Prawirodirdjo. 

Dari situ, saya menduga makam yang ada di Tingkir adalah makam Abdul Halim—bila memang dinisbatkan dengan nasab Gus Dur. Bukan Abdul Wahid sebagaimana yang tersemat. Rujukan lain saya dapat dari ceramah K. H. Ahmad Muwafiq alias Gus Muwafiq, seorang ulama muda NU dari Yogyakarta yang juga dikenal sebagai seorang pengkaji sejarah Islam Nusantara.

Dalam sebuah kesempatan mengisi pengajian di sebuah desa di Boyolali, Gus Muwafiq sempat menyampaikan urutan silsilah keilmuan Mbah Gareng atau Mbah Khoiron. Menurut Gus Muwafiq, Mbah Asy’ari belajar ke Mbah Khoiron atau Mbah Gareng. Lalu Mbah Khoiron belajar ke Mbah Abdul Halim. Maka, dari sini tampak sangat berkesinambungan dan terdapat benang merah jika Asy’ari adalah putra Abdul Wahid, lalu Abdul Wahid merupakan putra Abdul Halim.

Dengan demikian, menjadi lebih jelas dan logis dengan urutan silsilah berikut: Abdul Halim menurunkan Khoiron alias Abdul Wahid alias Abu Sarwan alias Mbah Gareng alias Pangeran Gareng, lalu menurunkan Asy’ari, lalu menurunkan Hasyim, lalu menurunkan Wahid, lalu menurunkan Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur). Kendati demikian, silsilah ini hanyalah analisis ringan saya mengacu pada sejumlah sumber yang ada. Tentu butuh analisis dan penelusuran lebih mendalam dari para ahli, sehingga didapatkan silsilah yang lebih valid dan autentik. Wallahu a’lam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (2) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tapak-tilas-leluhur-gus-dur-di-desa-ngroto-2/feed/ 0 40900
Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (1) https://telusuri.id/tapak-tilas-leluhur-gus-dur-di-desa-ngroto-1/ https://telusuri.id/tapak-tilas-leluhur-gus-dur-di-desa-ngroto-1/#respond Thu, 11 Jan 2024 09:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=40899 Siang hendak berganti sore saat kami meluncur ke Desa Ngroto, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Start dari kediaman pemerhati sejarah lokal Grobogan, Heru Hardono alias Mbah Bejo di Kampung Bandarsari, Gubug. Kami berempat—saya, Mbah...

The post Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
Siang hendak berganti sore saat kami meluncur ke Desa Ngroto, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Start dari kediaman pemerhati sejarah lokal Grobogan, Heru Hardono alias Mbah Bejo di Kampung Bandarsari, Gubug. Kami berempat—saya, Mbah Bejo, serta dua orang tim saya (Wahyu dan Swiem) bertolak menuju ke pemakaman umum Desa Ngroto dengan mengendarai motor. Di pemakaman itu terdapat makam Kiai Khoiron, yang  disebut-sebut sebagai leluhur K. H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden ke-4 Republik Indonesia.

Ini adalah kali kedua saya mengunjungi makam Kiai Khoiron di Desa Ngroto. Ziarah pertama sekitar delapan tahun yang lalu, tepatnya 5 April 2015. Ketika itu kami dan rombongan berziarah sebagai bagian dari acara Susur Wisata ke-4 yang dihelat oleh Grobogan Corner (GC)—sebuah komunitas yang saya dirikan dan nahkodai saat itu.

Kini saya datang membawa misi khusus, yaitu lebih mendalami silsilah Kiai Khoiron sekaligus tapak tilas jejak leluhur Gus Dur tersebut. Kami ditemani Mbah Bejo sebagai narasumber karena, sejauh yang saya tahu, Mbah Bejo sejak awal peduli dan memiliki data terkait hal itu. Mbah Bejo bahkan pernah mengupas silsilah leluhur Gus Dur di Desa Ngroto dalam sebuah tulisan yang menjadi rujukan banyak penulis lainnya.

Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (1)
Berbincang dengan Mbah Bejo di langgar lawas peninggalan Kiai Baedlowi, lurah pertama Desa Ngroto/Badiatul Muchlisin Asti

Bermula sebagai Santri dari Tingkir, Salatiga

Saat memasuki Desa Ngroto, mendung menggelayut tipis di atas langit. Sebelum memasuki perkampungan Desa Ngroto, sejenak kami singgah di sebuah langgar (semacam surau atau musala kecil) jadul yang berada di pinggiran sawah. Saya sempat duduk di langgar tersebut dengan Mbah Bejo, sembari mendengarkan ceritanya tentang keberadaan langgar yang sepertinya sekarang sudah tidak berfungsi. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju ke pemakaman umum Desa Ngroto.

Sesampai di pemakaman, saya segera duduk—tepatnya jongkok—di depan makam Kiai Khoiron. Saya tidak bisa duduk karena selain tidak bawa alas atau tikar, tanah juga masih lembap karena sisa basah oleh hujan. Saya memanjatkan doa khusyuk untuk Kiai Khoiron. Semoga jasa dan perjuangan beliau semasa hidupnya dalam menyiarkan Islam di Desa Ngroto dan sekitarnya menjadi pemberat timbangan amal baiknya di sisi Allah Swt.

Setelah memanjatkan doa, saya terlibat perbincangan santai dengan Mbah Bejo terkait riwayat ringkas dan silsilah Kiai Khoiron. Menurut Mbah Bejo, kisah dimulai dari seorang anak muda bernama Khoiron yang berasal dari Tingkir, Salatiga. Ia datang ke pedukuhan Ngroto ketika itu dalam rangka menimba ilmu alias nyantri.

Ia diterima sebagai santri di pesantren yang ada di pedukuhan Ngroto, yang saat itu diasuh oleh Syekh Sirajudin. Khoiron diketahui sebagai seorang santri yang menonjol berkat ketekunannya mengaji. Ia juga dikenal sebagai santri paling pandai di antara santri yang lain.

Selepas menamatkan mengajinya, Khoiron dipercaya ikut membantu mengajar dan menyiarkan Islam di pedukuhan Ngroto. Khoiron pun mulai dikenal sebagai seorang kiai seiring banyak warga yang menimba ilmu kepadanya. Konon karena tubuhnya pendek dan kecil, yang dalam bahasa Jawa disebut gering, banyak warga yang kemudian memanggilnya dengan julukan “Kiai Gareng” atau “Mbah Gareng”. 

Sejak menjadi kiai dan ikut berdakwah di pedukuhan Ngroto, jadilah Kiai Khoiron alias Kiai Gareng menetap di Ngroto dan menikahi seorang gadis Ngroto. Dari pernikahannya itu lahirlah Asngari dan Asy’ari. Sejak kecil, kakak beradik itu dididik sendiri oleh Kiai Khoiron dalam hal pendalaman ilmu-ilmu agama. Kiai Khoiron berharap kelak kedua anaknya itu menjadi kiai atau ulama yang mumpuni.

Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (1)
Makam Kiai Khoiron di area pemakaman umum Desa Ngroto/Badiatul Muchlisin Asti

Asy’ari Menimba Ilmu ke Jawa Timur

Menurut Mbah Bejo, setelah belajar mengaji kepada ayahnya, salah seorang putra Kiai Khoiron yang bernama Asy’ari memilih meneruskan pendalaman ilmu agama ke luar daerah. Jawa Timur menjadi pilihan Asy’ari. Saat itu, Asy’ari merantau dan diketahui memperdalam ilmu agama di daerah Tuban dan kemudian menetap di Jombang. Dari Asy’ari inilah kemudian lahir seorang anak bernama Hasyim, yang kelak dikenal dengan nama Hadratussyaikh K. H. Hasyim Asy’ari dan merupakan tokoh pendiri organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).

Silsilahnya berlanjut. K. H. Hasyim Asy’ari menurunkan Abdul Wahid alias K. H. Abdul Wahid Hasyim yang di kemudian hari menjadi tokoh besar NU dan pernah menjabat sebagai Menteri Agama di era Presiden Sukarno. Selanjutnya K. H. Abdul Wahid Hasyim menurunkan Abdurrahman Ad-Dakhil, yang suatu saat orang mengenalnya dengan nama K. H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Sementara itu Asngari, putra Kiai Khoiron yang lain, memilih tetap tinggal di Ngroto. Asngari menurunkan anak bernama Baedlowi—yang nantinya menjadi lurah alias kepala desa pertama Ngroto. Baedlowi menurunkan Kiai Sukemi, yang kemudian menurunkan Kiai Zuhri alias Mbah Zuhri—terkenal sebagai seorang ulama kharismatik yang bermukim di Desa Kuwaron, Kecamatan Gubug.

Menurut Mbah Bejo, langgar yang sempat kami singgahi sesaat sebelum memasuki Desa Ngroto adalah karya dari Baedlowi. Saat menjabat sebagai kepala desa, Baedlowi tidak hanya memerhatikan nasib rakyat yang ia pimpin, tetapi juga sangat peduli dengan pengembangan syiar Islam. 

Kiai Baedlowi membangun sejumlah langgar di pinggir sawah untuk mempermudah warganya dalam beribadah. Mata pencaharian sebagian besar warganya adalah petani. Keberadaan langgar tersebut membuat para petani tidak harus pulang ke rumah untuk menunaikan salat di sela-sela bekerja. Sementara urusan makan bisa diantar oleh pihak keluarga.

Jumlah langgar yang dibangun Kiai Baedlowi waktu itu ada tujuh. Namun, sekarang masih tersisa tiga langgar dengan kondisi yang memprihatinkan. Menurut saya, meski tidak lagi fungsional, langgar itu sangat berarti karena mengandung nilai historis tinggi. Setidaknya sebagai monumen syiar islam Kiai Baidlowi sebagai lurah pertama Desa Ngroto.

Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (1)
Berfoto bersama Mbah Bejo di depan makam Kiai Khoiron/Badiatul Muchlisin Asti

Kiai Khoiron sendiri, menurut cerita Mbah Bejo, diriwayatkan mengabdikan hidupnya mengajar mengaji dan menyiarkan dakwah Islam di Ngroto hingga wafatnya. Semasa hidup, Gus Dur pernah berziarah ke makam leluhurnya itu. Dan pada akhir September 2019, putri Gus Dur, Yenni Wahid, juga sempat berziarah ke makam Kiai Khoiron. Ia berkunjung selepas menghadiri acara pengajian akbar di Alun-alun Kota Purwodadi yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Muslimat NU Kabupaten Grobogan.

Sekitar sepuluh menit lebih sedikit saya berbincang santai dengan Mbah Bejo terkait riwayat dan silsilah Kiai Khoiron. Masih banyak hal yang ingin kami perbincangkan, tetapi hujan deras keburu turun. Kami harus segera cari naungan alias tempat ngiyup agar tidak basah. Setelah hujan agak reda, perbincangan kami lanjutkan sembari menyeruput kopi di warung yang tak jauh dari makam Desa Ngroto.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (1) appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/tapak-tilas-leluhur-gus-dur-di-desa-ngroto-1/feed/ 0 40899
Berziarah ke Makam Kyai Santri Jaka Sura https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-kyai-santri-jaka-sura/ https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-kyai-santri-jaka-sura/#respond Sat, 24 Dec 2022 04:00:00 +0000 https://telusuri.id/?p=36721 Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, pernah hidup sejumlah tokoh yang diyakini merupakan murid Sunan Kalijaga, di antaranya ada Ki Ageng Selo—yang lekat dengan mitos dapat menangkap petir dengan tangan kosong, dan Kyai Santri Jaka Sura. ...

The post Berziarah ke Makam Kyai Santri Jaka Sura appeared first on TelusuRI.

]]>
Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, pernah hidup sejumlah tokoh yang diyakini merupakan murid Sunan Kalijaga, di antaranya ada Ki Ageng Selo—yang lekat dengan mitos dapat menangkap petir dengan tangan kosong, dan Kyai Santri Jaka Sura. 

Sosok yang disebut terakhir, Jaka Sura, makamnya terletak di Dusun Tlogotanjung, Desa Tlogorejo, Kecamatan Tegowanu, Kabupaten Grobogan. Sebagaimana makam aulia lainnya, makam Jaka Sura—atau populer dengan nama julukan Kyai Santri, ramai dikunjungi para peziarah yang datang dari berbagai daerah.

Makam Kyai Santri Jaka Sura
Tulisan di gerbang masuk menuju Makam Kyai Santri Jaka Sura/Badiatul Muchlisin Asti

Hanya saja, ramai para peziarah yang datang ke makam ini tidak setiap hari, melainkan hanya pada hari pasaran Jumat Wage. Pada hari itu, kompleks makam Kyai Santri tidak hanya ramai oleh para peziarah, namun juga oleh riuh para pedagang yang membuka lapak. Para pedagang yang berasal dari Desa Tlogorejo dan sekitarnya itu menjajal keberuntungan, mengais rezeki dengan banyaknya peziarah yang datang.

Siapa Sosok Kyai Santri?

Dari penuturan Kyai Afifudin, tokoh agama sekaligus sesepuh Desa Tlogorejo—yang kediamannya tak jauh dari makam Kyai Santri, Kyai Santri bernama asli Jaka Sura. Ia merupakan keponakan sekaligus murid kinasih Sunan Kalijaga. Jaka Sura merupakan putra dari pasangan Empu Supa dan Dewi Rasawulan—adik kandung Sunan Kalijaga. Dari pasangan ini, lahir dua putra, yakni Jaka Supa dan Jaka Sura.

Suatu hari, Sunan Kalijaga mengutus Jaka Sura untuk mencari Siti Fatimah—kakak Jaka Sura dari lain ibu. Singkat cerita, bertemulah Jaka Sura dengan kakaknya itu yang telah menikah dengan Empu Sura Niti dan menetap di pedukuhan Cogeh—saat ini menjadi bagian dari Desa Tlogorejo, Kecamatan Karangawen, Kabupaten Demak.

Tinggallah kemudian Jaka Sura di rumah kakaknya itu dan mengembangkan syiar Islam di sana. Namun seiring berjalannya waktu, kehadiran Jaka Sura rupanya mengusik kakak iparnya, Empu Sura Niti. Empu Sura Niti cemburu dengan kedekatan Jaka Sura dengan Siti Fatimah, istrinya. Padahal, kedekatan itu hanyalah kedekatan seorang adik dengan kakaknya atau sebaliknya. 

Karena itu, Empu Sura Niti merencanakan untuk membunuh Jaka Sura. Di sebuah hutan, Empu Sura membunuh Jaka Sura. Tak jauh dari tempat terbunuhnya Jaka Sura, terdapat telaga dan pohon tanjung. Sehingga kelak kemudian hari, tempat itu dinamakan pedukuhan Tlogotanjung—yang berasal dari dua kata, tlogo yang berarti telaga atau mata air, dan tanjung yang merujuk kepada pohon tanjung.  

Tempat itulah yang kini terdapat makam Kyai Santri Jaka Sura dan setiap Jumat Wage diziarahi oleh para peziarah dari berbagai daerah.

Versi Lain tentang Sosok Kyai Santri

Selain penuturan dari Kyai Afifudin di atas, ada versi lain terkait sosok Jaka Sura. Versi itu disampaikan oleh Heru Hardono—yang akrab disapa Mbah Bejo, seorang peminat kajian sejarah lokal Grobogan. 

Menurut Mbah Bejo, Kyai Santri—atau versi Mbah Bejo lebih pas disebut Mbah Santri, merupakan murid Sunan Kalijaga yang ikut dalam rombongan pencarian kayu untuk bahan pembangunan Masjid Agung Demak. Dalam perjalanan pulang ke Demak, ada seorang santri yang sakit dan meninggal dunia. Rencananya, santri yang meninggal itu mau dibawa pulang dan dimakamkan di Demak.

Namun karena para santri capek dan juga harus membawa kayu sirap yang berat, atas perintah Sunan Kalijaga, santri tersebut akhirnya dimakamkan di daerah di mana mereka beristirahat dari perjalanan. Sunan Kalijaga meminta agar santri yang meninggal itu dimakamkan di tempat yang dapat dilihat oleh orang yang lewat, sehingga makam itu bisa dirawat. 

Seorang penggembala kerbau yang mengetahui makam murid Sunan Kalijaga itu, lalu merawatnya secara sukarela. Sejak itu, diceritakan, keberkahan meliputi hidupnya. Kerbau gembalaannya menjadi bertambah banyak, sehingga ekonominya meningkat. 

Karena tidak tahu nama murid Sunan Kalijaga yang dimakamkan itu, maka oleh penggembala kerbau itu, makam itu diberi nama “Makam Santri”—yang kelak populer dengan nama “Makam Kyai Santri Jaka Sura”—dan pada perkembangannya ramai diziarahi oleh para peziarah yang datang dari berbagai daerah. 

Wisata Religi dan Kuliner

Seiring waktu, makin banyak peziarah yang datang ke makam Kyai Santri. Tahun 1990-an, seiring makin banyaknya peziarah, warga setempat mulai memanfaatkannya untuk mengais rezeki dengan menggelar lapak. Setiap Jumat Wage—yang menjadi hari berziarah di Makam Kyai Santri, warga menggelar dagangan, ada yang berbentuk makanan, mainan, ikan hias, dan lainnya. Saat ini, selain warga setempat, para pedagang juga banyak yang berasal dari luar desa. 

Kenapa waktu berziarah hanya pada Jumat Wage? Menurut Kyai Afifudin, konon Jumat Wage merupakan hari lahir (weton) Kyai Santri. Sehingga hari itu diyakini merupakan hari terbaik untuk berziarah ke makam Kyai Santri. Dengan demikian, jadilah setiap Jumat Wage, makam Kyai Santri sangat ramai, tidak hanya oleh banyaknya peziarah, namun juga para pedagang. 

Banyaknya pedagang, menjadikan tempat ini juga bisa menjadi destinasi wisata, tidak hanya wisata ziarah (religi) namun juga wisata kuliner. Menurut Choerozak Ibnu Marjan, tokoh muda Desa Tlogorejo, di sini ada sejumlah kuliner ikonik yang dikembangkan warga, antara lain dawet, brondong, dan tapak bélo. Sejumlah peziarah yang berziarah karena nazar, mereka sering memborong dawet lalu membagikannya kepada orang-orang yang berada di kompleks makam. 

  • Membeli jajanan tradisional
  • jajanan tradisional
  • es dawet

Sisi negatifnya, sebagaimana fenomena serupa yang terjadi di makam-makam aulia atau para wali di berbagai daerah, di kompleks makam Kyai Santri juga muncul banyak pengemis. Mereka duduk sambil meminta-minta belas kasih para peziarah sejak memasuki gerbang menuju makam. Beruntungnya, kehadiran mereka tak terlalu mengganggu, karena bila peziarah tidak memberi, mereka “tidak memaksa”, misalnya dengan membuntuti peziarah—yang sering terjadi di tempat lain.

Dalam lingkup Jawa Tengah, terkhusus di wilayah Grobogan, makam Kyai Santri memang tidak sepopuler makam-makam aulia lainnya seperti makam Ki Ageng Selo dan Ki Ageng Getas Pendowo, namun potensi kepariwisataan Makam Kyai Santri tak bisa dipandang remeh. Ramainya pengunjung dan pedagang, meski hanya setiap Jumat Wage, membuktikan makam ini sangat potensial untuk di-branding sebagai destinasi wisata religi yang cukup prospektif. 

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

The post Berziarah ke Makam Kyai Santri Jaka Sura appeared first on TelusuRI.

]]>
https://telusuri.id/berziarah-ke-makam-kyai-santri-jaka-sura/feed/ 0 36721