Aku masih mengingat jelas di akhir Mei 2024, di hari ketiga perhelatan Makassar International Writer Festival, aku menaiki pesawat subuh menuju Jakarta. Tidak terasa telah setahun Bandung menjadi rumah baru. Bandung jauh berbeda dengan Makassar, terutama udara dinginnya, bahasa orang-orang yang jauh berbeda, kemacetan jalan yang berada di level berbeda dengan jalan-jalan Makassar, dan tentu saja perasaan sepi yang baru pertama kurasakan di tempat baru ini.
Bandung adalah babak baru yang datang dengan sendirinya. Prosesnya begitu cepat dan mudah, seolah semuanya memang harus seperti ini: perpindahan karier, mengurusi semua barang di Makassar, membawa semua yang bisa kubawa dalam sebuah tas carrier 45 liter, berpisah jarak dengan semua orang yang aku kenal dan mulai membuka pertemuan-pertemuan dengan orang baru.

Jatinangor dan Pertaruhan Baru
Perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng menuju Jatinangor kami tempuh dengan mobil travel. Pengemudinya cekatan meski cukup cerewet dan tidak sabaran. Selain aku, Mba Leli, dan Adeeva, mobil ini juga mengangkut dua penumpang wanita lainnya.
Perjalanan kami mulus tanpa hambatan. Kami hanya berhenti di satu rest area dan tiba di Jatinangor pada siang hari. Kami pun memasuki salah satu apartemen di daerah ini, menata barang-barang dari Makassar seadanya, lalu merebahkan diri.
Sama seperti petualangan-petualangan sebelumnya, petualangan kali ini juga membuat dada berdebar dan pikiran berkelana penuh rasa penasaran. Bedanya, perjalanan ini lebih banyak tanda tanya dan takutnya. Berbeda dari petualangan-petualangan sebelumnya, tampaknya petualangan ini akan panjang, bisa saja malahan aku menemukan rumah tetap di sini, dan kali ini tidak ada tiket pulang. Untuk pertama kalinya, aku memulai perjalanan dengan berbekal tiket sekali jalan.

Budaya, Selera, dan Bahasa
Hari-hari di Jatinangor berjalan sibuk dan cepat. Berbeda dengan kehidupan kerja dan bermain di Makassar, Jatinangor membawaku pada kesunyian yang syahdu. Setelah selesai dari pekerjaan 9 pagi sampai 5 sore, aku akan langsung pulang ke kos, merebahkan diri, dan tertidur begitu waktu isya datang. Terdengar membosankan, bukan? Tapi percayalah, ritme ini membawaku pada kenyamanannya sendiri.
Selain ritme kehidupannya, Jatinangor juga membuatku nyaman dengan makanan-makanannya: nasi pecel Singkiye, tahu (yang secara mengejutkan) terenak yang pernah kumakan selama hidup yang singkat ini, sate solonya, dan semua olahan mi yang enak-enak.
Ada perbedaan mencolok dari kuliner Sunda dan Makassar. Di saat kuliner Makassar menyukai segala sesuatu yang berbahan utama daging dan diolah dengan beraneka bumbu yang berani, seperti coto, sop konro, sop saudara, konro bakar, pallubasa, dan berbagai masakan olahan daging lainnya, masakan Sunda justru minim bumbu dan lebih sederhana. Orang-orang asli Sunda menyukai ikan goreng dadakan yang di luar garing tetapi menyisakan daging ikan yang lembut dan disantap saat masih hangat bersama aneka sayur lalapan. Sayur-sayurnya disajikan segar dan dapat dengan mudah ditemui hampir di seluruh warung Sunda.
Seolah keberuntunganku pindah ke sini tidak pernah habis, aku mendapati diriku mudah beradaptasi dengan bahasa Sunda. Sebagai seorang dari tanah Sulawesi dengan bahasa, intonasi, dan penekanan kata yang jauh berbeda dari Sunda, kuakui cukup sulit untuk menghindari banyak prasangka orang-orang asing terhadapku dari cara bicara orang Sulawesi ini. Banyak sekali orang yang berpikir aku marah, padahal aku hanya berbicara santai (dengan nada dan intonasi bawaan dari Makassar). Inilah seni dari sebuah pertaruhan di tanah rantau. Tantangan bahasa ini adalah sesuatu yang harus aku taklukkan, menikmati prosesnya, dan perlahan menyesuaikan diri dengan tata bahasa orang-orang sekitar. Menariknya, kini aku menikmati bahasa Sunda, lantunannya, dan tuturnya.


Orang-orang Baru
Hal yang paling sedih dari perantauan adalah jauh dari keluarga dan orang-orang yang sudah kuanggap seperti keluarga. Pertaruhan ini juga membawa ketakutan terbesar, “Seperti apa orang-orang yang akan aku temui di sini?”
Cara dan nadaku dalam berbicara sejujurnya membawa ketakutan tersendiri. Bagaimana jika orang-orang salah paham? Bagaimana jika Bandung dan orang-orangnya tidak seseru Makassar? Bagaimana jika orang-orang tidak membuka ruang-ruang pertemanan baru denganku? Dan banyak perandai-andaian lainnya.
Dua minggu di perantauan ini, semesta memberiku jawaban ‘tidak’ atas semua keraguan dan pertanyaan-pertanyaan. Momennya tepat pada perayaan Iduladha. Saat itu, aku diajak merayakan perayaan ini di daerah Cimenyan, di sebuah sekolah alternatif bernama Ummasa. Di sini aku bertemu orang-orang Bandung yang menyambutku dengan tangan hangat: Kak Vanbi, Kak Bolang, Kak Meylani, Kak Trisna, dan banyak lagi.
Keberuntunganku tidak berakhir di sana. Aku juga bertemu dengan lusinan orang baik di Komunitas Teman Manusia Bandung. Pertemuan demi pertemuan menjadikan Bandung tempat yang nyaman bagi perempuan Makassar sepertiku. Dari keramahan orang-orang yang kutemui di jalanan kota, kebaikan orang-orang yang menyambutku dengan hangat di rumah-rumah mereka, keluarga baru yang kutemui di sini, sampai orang-orang asing yang mendengarkan semua ceritaku dengan hati.
Petualangan Baru
Bandung adalah tempat jelajah yang menawarkan segala yang kucari: kekayaan musik, budaya, tempat-tempat nyaman di ketinggian, hingga daerah pantai eksotis di Garut yang dapat ditempuh sekitar tiga jam dari kosku. Aku bertemu seorang pencinta musik skinhead Bandung yang mengenalkanku tentang keragaman musik Kota Kembang. Tak hanya itu, Sunda yang terkenal dengan alunan seruling dan alat musik tradisional dari bambu juga menambah semangat eksplorasiku akan kota ini.
Kemacetan kota dan bagaimana orang-orang Bandung lebih senang berdiam diri di rumah saat akhir pekan karena jalanan kota penuh kendaraan berplat B, serta tata kota yang menurutku semrawut adalah perihal kecil Bandung yang baru bisa diketahui setelah mengamati kota ini dalam kurun waktu tertentu.
Kemacetan Jatinangor–Kota Bandung yang melewati Cileunyi, Cibiru, Ujung Berung, Cicaheum, hingga berbelok ke arah pusat kota di sekitaran Gedung Sate adalah pemakluman yang kuamini selama setahun di sini. Namun, semua itu tidak sebanding dengan yang ditawarkan: kesejukan kebun teh daerah Pangalengan, Ciwidey hingga Lembang, keunikan Tangkuban Perahu dan gunung-gunung vulkanis di sekitar Jawa Barat, hingga Bandung malam hari yang kuamati dari salah satu kafe di ketinggian daerah Bojong Koneng.
Ada begitu banyak hal indah tentang Bandung, ada begitu banyak petualangan yang mesti dimulai, peristiwa yang mesti dialami, teman untuk didengar, dan perjuangan-perjuangan yang menunggu untuk dimenangkan.


* * *
Merantau tanpa tahu kapan kembali adalah perjalanan penuh tanda tanya. Pertaruhan tanpa tiket pulang ini telah kulalui selama setahun. Hanyalah hal baik yang terpikirkan saat mengingat Bandung dan orang-orangnya. Tak berhenti di sini, perantauan ini masih akan berlanjut di Bandung sampai entah kapan, semoga untuk waktu yang lama, lama sekali.
Terima kasih orang-orang baru, keluarga yang menerimaku, dan kesejukan Bandung yang ingin kunikmati selamanya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.