EVENTS

Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung

Jumat, 28 Februari 2025. Langit belum sepenuhnya gelap saat halaman Bentara Budaya Yogyakarta mulai dipenuhi cahaya yang menari. Dari kejauhan, cahaya-cahaya lembut mulai memantul ke layar putih, menyusun satu demi satu bentuk yang abstrak, hidup, dan berubah-ubah. Udara dipenuhi suasana yang nyaris sakral: sebuah percampuran antara ekspektasi, eksperimentasi, dan keheningan yang penuh perhatian.

Di sinilah Skopos Vibes digelar, suatu ajang eksplorasi seni visual berbasis layar yang diinisiasi oleh Skopos Lab—sebuah kolektif seni yang fokus pada eksplorasi visual dan cahaya. Dalam pertunjukan ini, cahaya bukan sekadar efek atau elemen pendukung seperti pentas pada umumnya, melainkan sebagai bahasa. Di tangan para seniman, cahaya menjelma menjadi suara yang bisa “berbicara”, mengungkap, bahkan menggugat. Ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan sebuah pernyataan: bahwa para penata cahaya dan visual, yang selama ini tersembunyi di balik layar, pantas berdiri di garis depan sebagai seniman utuh.

Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung
Pertunjukan oleh Cholsverde yang mengeksplorasi bayangan/Inggar Dwi Panjalu

Wayahe Cah Mburi Tampil

Dalam dunia seni pertunjukan, posisi penata cahaya dan visual sering kali dianggap sebagai pelengkap. Mereka tidak berada di pusat perhatian, padahal merekalah yang menciptakan atmosfer, mengarahkan nuansa, bahkan menjadi visualisasi dan perpanjangan emosi dari sebuah pertunjukan agar bisa dirasakan penonton.

Skopos Vibes mencoba membalik cara pandang itu. Acara ini memberikan ruang yang penuh bagi kerja-kerja visual untuk tampil sebagai pengalaman utama, bukan sekadar penunjang. Wayahe cah mburi tampil—waktunya orang-orang di belakang panggung unjuk diri.

Acara ini menghadirkan nama-nama seniman muda, yakni Jansen Goldy, Shapek, Kanosena, Mailani Sumelang, Cholsverde, Kelompok Dibalik Tonil, Deva x Cici, dan Neat Project. Masing-masing menampilkan eksplorasi yang unik: dari visual coding yang mengubah baris-baris program menjadi pola-pola dinamis, menggerakkan benda, menumpahkan cairan, mengatur proyektor, menciptakan bayangan—semuanya dilakukan secara langsung, tanpa rekayasa pascaproduksi.

Beberapa seniman juga menjadikan tubuh mereka sebagai objek eksplorasi. Para seniman ini memadukan teknologi lama dan baru. Di satu sisi, mereka menggunakan proyektor OHP—alat visual klasik dari masa lalu—untuk menciptakan tekstur, distorsi, dan bayangan yang hidup. Di sisi lain, mereka memanfaatkan proyektor digital, visual coding, dan live mapping yang canggih. Pertemuan keduanya menciptakan estetika yang segar dan tak terduga—sebuah jembatan antara nostalgia dan inovasi.

Jansen dan Shapek, misalnya. Mereka menggunakan visual coding dua dimensi yang kemudian diproyeksikan menggunakan proyektor digital, sedangkan Mailani Sumelang menggunakan proyektor OHP  untuk mengeksplorasi bayangan yang lebih tajam dari berbagai objek: mika, plastik, tangan, bahkan cairan. Adapun di sisi yang lain, Deva Listianto dan Cici menggunakan tubuh mereka sebagai media.

Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung
Pertunjukan oleh Mailani Sumelang yang memadukan menggunakan proyektor OHP yang dipadukan dengan seni rupa (gambar)/Inggar Dwi Panjalu

Alih-alih menyuguhkan tontonan pasif dan satu arah, Skopos Vibes menciptakan pengalaman multisensori yang mengajak penonton untuk mengalami pertunjukan secara langsung. Penonton dan penampil berpadu dalam sebuah ruang yang tak lagi kaku. Ini bukan pertunjukan satu arah; ini adalah dialog antara medium, antara seniman dan penonton, antara teknologi lama dan baru.

Beberapa karya terasa meditatif, dengan alur cahaya yang mengalir lambat. Yang lain memanfaatkan intensitas suara dan kilatan cahaya untuk membangun ketegangan. Semua ini dilakukan secara langsung—tanpa filter, tanpa edit. Menunjukkan bahwa kerja penata visual dan cahaya bukan sekadar pascaproduksi, melainkan performa langsung yang dilakukan dengan penuh presisi dan intuisi.

Bagi sebagian orang, ini bisa jadi membingungkan dan asing. Tapi justru dalam kebingungan itu, kita diajak untuk melihat ulang bagaimana sebuah pertunjukan bisa bekerja. Bahwa tidak semua harus naratif, tidak semua harus memiliki plot. Bahwa bunyi, cahaya, dan gerak bisa berdiri sendiri sebagai bentuk ekspresi, dan punya keajaiban panggungnya tersendiri. 

Skopos Vibes: Eksplorasi Visual dan Cahaya Para Seniman Belakang Panggung
Pertunjukan oleh Deva dan Cici yang mengekplorasi tubuh dan visual mapping/Inggar Dwi Panjalu

Makna Baru dari Skopos Vibes

Apa yang dilakukan Skopos Lab lewat acara ini bukan hal remeh. Ia mendobrak struktur dan hierarki dalam seni pertunjukan yang selama ini menganggap kerja teknis sebagai “di belakang”. Dalam sebuah pementasan konvensional, penata cahaya dan visual adalah nama-nama yang biasanya disebut di bagian akhir. Kalaupun disebut, mereka dianggap pelayan artistik, bukan pencipta artistik.

Acara ini menjadi ajang pembuktian bahwa kerja-kerja visual bukan hanya soal teknis. Ia menuntut kepekaan, intuisi, bahkan visi estetika yang kuat. Menata cahaya bukan hanya soal “menerangi” aktor, melainkan tentang menyusun ruang emosional. Membuat visual bukan hanya soal “memperindah” latar, melainkan juga tentang menciptakan pengalaman yang membekas. Skopos Vibes #1 menyuarakan sesuatu yang lebih dalam: sebuah tuntutan akan eksistensi. Pengakuan bahwa para penata visual dan cahaya adalah seniman. Bahwa kerja mereka tidak kalah kompleks dan kreatif dibanding sutradara atau aktor. Dan bahwa mereka juga berhak atas ruang untuk berbicara, berkarya.

Lebih dari sekadar pertunjukan, Skopos Vibes menjadi sebuah bentuk intervensi budaya. Ia menghadirkan kemungkinan baru tentang bagaimana kita memahami dan menghargai sebuah karya pertunjukan dari segala aspek. Ia menunjukkan bahwa di balik kilatan cahaya dan gerak visual, ada seniman yang selama ini bekerja dalam diam—dan diamnya mereka bukan berarti tanpa suara.

Seperti cahaya yang menyusup lewat celah-celah gelap, para seniman di Skopos Vibes menunjukkan bahwa seni bisa lahir dari ruang-ruang yang tidak terlihat. Mereka membuat kita kembali bertanya: siapa yang sebenarnya menciptakan pengalaman teatrikal yang emosional? Siapa yang menggerakkan imajinasi penonton?


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Inggar Dwi Panjalu

Inggar Dwi lahir di Sragen dan sekarang tinggal di Yogyakarta. Jarang menulis, lebih sering jadi buruh panggung dan penata cahaya lepas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Majelis Al-Lobyu dan Jalan Lain Menyanyikan Puisi