TRAVELOG

Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem

Sawahlunto akan mematahkan ekspektasi orang-orang yang menganggap bahwa daerah dengan label ‘kota’ adalah wilayah besar yang penuh kesibukan. Nyatanya, kota berjuluk ‘Kota Arang’ ini justru menawarkan hidup yang tenang, santai, dan jauh dari hiruk-piruk—slow living kata orang zaman sekarang.

Sawahlunto hari ini ibarat orang dewasa yang sudah lelah dengan ambisi dan persaingan kehidupan, ia sudah selesai dengan semangat mudanya. Jauh sebelum mencapai ketenangan ini, ia telah melewati masa-masa penuh gejolak dengan gelimang kekayaan, kemakmuran, juga masa kelam yang pahit.

Dulu, Sawahlunto hanyalah daerah antah-berantah di pedalaman Pulau Sumatra, hingga W.H. de Greve, dalam petualangannya pada tahun 1868 menemukan tempat ini.1 Geolog muda Belanda itu menemukan lapisan batu bara di Ulu Aie, daerah aliran Batang Ombilin yang saat itu belum berpenghuni.2

Temuan ini diabadikan dalam publikasi berjudul Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Westkust tahun 1871.3 Diceritakanlah ihwal ratusan juta ton emas hitam yang bersemayam di rahim bumi Sawahlunto, titik balik sebuah wilayah yang sebelumnya nyaris tak dikenal menjadi salah satu kota penghasil batu bara berkualitas di dunia, mengubah nasib kota ini selamanya.4

Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
Potret Sawahlunto masa lampau yang terpajang di Museum Goedang Ransoem/Adzkia Arif

Masa itu, Sawahlunto benar-benar jaya—dari cerita orang tua di sini. Entah lebih masyhur mana kota ini daripada Batavia. Wilayah ini bahkan mendapat julukan Belanda Kecil.

Antropolog asal Amerika Serikat, Susan Rodgers menerangkan bahwa sebagai tanah jajahan, Sawahlunto menempati posisi elit bahkan di antara orang-orang Belanda itu sendiri. Kelas sosial orang-orang kulit putih yang ada di sini berada pada tingkatan yang berbeda.5 Begitulah suksesnya Sawahlunto kala itu, 600.000 ton batu bara yang dikeluarkan dari perutnya membuat 90% kebutuhan energi di Hindia Belanda dapat tercukupi.6

Pascakepergian Belanda, hingga pusat pertambangan di Sawahlunto dikelola oleh PT Bukit Asam UPO, kemakmuran itu mulai memudar. Sebab, cadangan batu bara mulai menipis. Tahun 2001 menjadi titik transformasi selanjutnya bagi Sawahlunto demi menyongsong kehidupan pascatambang. 

Persiapan terus dilakukan. Pada tahun 2019 Sawahlunto ditetapkan menjadi salah satu kota Warisan Dunia UNESCO dengan nama Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto. Banyak bangunan yang menjadi saksi sejarah kejayaan dan kesibukan kota ini pada masa lalunya, salah satunya adalah Museum Goedang Ransoem.

Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
Potret kesibukan di dapur umum pada masa lampau/Adzkia Arif

Hiruk-piruk dalam Catatan Sejarah

Lokasi Museum Goedang Ransoem agak tersembunyi di sudut kota. Pendatang baru tak akan menemukannya tanpa pemandu atau bertanya pada warga lokal. Begitu memasuki museum, kita seolah berada dalam mesin waktu. Melihat masa lalu sedang memamerkan keperkasaan dan kesuksesan luar biasa dari kota ini.

Gedung ini dibangun Belanda sebagai dapur umum untuk memenuhi kebutuhan makan para pekerja tambang. Bayangkan betapa sibuknya dapur ini karena harus memasak 3,9 ton beras setiap harinya untuk ribuan pekerja.7

Kita dapat menemukan papan menu terpajang di dinding. Isinya informasi makanan untuk disantap tiap harinya oleh para pekerja. Pada hari-hari tertentu mereka akan disajikan menu daging, jeroan, roti goreng, dan telur asin. Pada hari-hari biasa, mereka akan mendapat nasi, ikan asin, sayur, dan lepeh-lepeh (sejenis cemilan atau teman makan nasi seperti tumisan).

Ketel raksasa buatan firma Senking, perusahaan alat masak terkenal yang berasal dari Jerman, masih bisa kita lihat di sini. Sebelumnya, ketel-ketel ini berada di rumah warga dan digunakan sebagai penampungan air. Ini karena alih fungsi gedung pada tahun 1950 sebagai kantor administrasi tambang batu bara ombilin. Barulah pada saat akan dijadikan museum, ketel ini diambil dan ditata kembali di museum.8

Ketel yang ada terdiri atas dua jenis dengan fungsi yang berbeda. Satu untuk memasak air dan satu lagi untuk memasak nasi. Teknologi yang digunakan untuk memasak sangat canggih pada masanya. Uap panas yang berasal dari tungku pembakaran raksasa yang berada di luar gedung ini dialirkan dengan pipa besi ke bagian bawah tungku dapur utama.

  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem

Berjalan di dalam museum, udara terasa sejuk namun sunyi. Seakan memberikan kesempatan untuk kita merenung dan mereka ulang kejadian di masa lalu yang terjadi di sini. Adegan sejarah dalam kepala kita akan menjadi lebih nyata dengan adanya foto dan cerita kejadian masa lalu yang disediakan pengelola. Ada pula QR code yang bisa dipindai untuk melihat video dokumentasi kegiatan di dapur ini. Video-video ini juga dapat dilihat pada saluran Youtube Southeast Asia Museum Services, dan saluran “bidang warisan budaya” yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan Kota Sawahlunto.

Di kompleks Museum Goedang Ransoem juga terdapat pabrik es, pabrik kedua di Sumatra Barat setelah Padang. Pada masa kolonial, e dari pabrik digunakan untuk memenuhi kebutuhan kompeni Belanda, rumah sakit dan masyarakat, hingga didistribusikan ke Padang, Bukittinggi, dan Solok.9

Inilah yang saya suka dari museum sejarah. Mereka menampilkan kecanggihan di masa lalu yang bahkan membuat kita takjub meski hidup pada zaman yang jauh di depan. Saya selalu bertanya, kenapa hanya sejarahnya saja yang bertahan melintasi zaman, sementara kejayaannya tidak?

Ada yang berpendapat, daerah bekas jajahan Belanda memang begini. Berbeda dengan bekas jajahan Inggris yang lebih maju. Entah memang begitu adanya, atau sebenarnya hanya menjadi pembenaran atas kegagalan mengelola warisan kejayaan dari masa lalu?

Dari kiri ke kanan: Pakaian koki dan mandor yang bekerja di dapur umum. Menu makanan yang disajikan di dapur umum untuk para pekerja tambang ombilin, ada menu harian dan menu khusus yang lebih mewah. Tungku pembakaran yang ada di belakang gedung utama Museum Goedang Ransoem, yang berfungsi sebagai sumber uap panas untuk dialirkan menggunakan pipa ke dapur utama/Adzkia Arif

Noda Hitam dalam Catatan Sejarah Kejayaan

Dalam gemerlap kejayaan, ada noda hitam yang tak akan bisa terhapus dari catatan sejarah. Pada salah satu lemari kaca yang ada di ruangan ini, terdapat batu nisan tanpa nama milik ‘orang rantai’. Sejarah perbudakan kelam yang mengutuk pertambangan batu bara ombilin. Mereka adalah pekerja tambang yang dipaksa bekerja dengan cara tak manusiawi. Kondisi kaki dan badan yang dirantai satu sama lain agar tak ada yang kabur. Bagi Belanda kala itu, mereka adalah orang-orang pembuat onar.

Beberapa orang rantai di Sawahlunto adalah orang yang menentang Belanda dan dijadikan tawanan politik. Sementara yang lainnya adalah pelaku kriminal atau dianggap sebagai “penjahat”.10

Orang rantai juga tak diterima oleh masyarakat karena propaganda Belanda tentang keburukan mereka. Mereka mati dan dikuburkan tanpa identitas, tak diberi nama. Hanya angka, dan dipisahkan dari pemakaman masyarakat umum.

Bagaimana rasanya mati di tempat asing, tempat ketika hidup kita telah diasingkan? Hingga akhir hayat, nama kita pun tak pernah disebut lagi, digantikan hanya dengan angka.

  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem
  • Menapak Jejak Kejayaan dan Nestapa di Museum Goedang Ransoem

Kini jadi Destinasi Wisata Sejarah

Mengunjungi Goedang Ransoem menjadi salah satu pengalaman paling berkesan bagi saya setelah tiga tahun tinggal di Sawahlunto. Melihat sisi lain kota yang saat ini hanya meninggalkan kisah untuk diceritakan. Goedang Ransoem adalah saksi sebuah kota yang telah melewati masa kekosongan, memimpin kejayaan, hingga meninggalkan sunyi yang mengajarkan banyak hal.

Bagi yang ingin berkunjung, museum ini beralamat di Jl. Abdurrahman Hakim, Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumatra Barat. Jalan menuju lokasi bagus dan luas, tetapi padat penduduk. Untuk tempat parkir tak perlu khawatir, museum ini punya kantung parkir yang luas untuk mobil keluarga ataupun bus pariwisata. 

Tiket masuknya sangat terjangkau, hanya Rp10.000 untuk orang dewasa, dan Rp7.000 untuk anak-anak. Tak hanya itu, museum ini juga memiliki IPTEK Center yang menyediakan permainan edukatif yang menarik untuk anak-anak. Layak untuk dikunjungi!


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

  1. R. A. van Sandick, “Het laatsche hoofdstruk van de Ombilin-guestie”, (Amsterdam: De Indische Gids, 14 Jrg (1892). ↩︎
  2. Erwiza Erman, “Membaranya Batubara: Konflik Kelas dan Etnik Ombilin-Sawahlunto-Sumatra Barat (1892—1996)”, (Depok: Desantara, 2005), h. 29. ↩︎
  3. Widjaja Martokusumo, “The Ex-Coal Mining City of Sawahlunto Revisited: Notions on Revitalization, Conservation and Urban Development”, makalah dalam Seminar on Recent of Research Works at the School of Architecture, Planning and Policy Development ITB, Bandung, 17 April 2008. ↩︎
  4. Andi Asoka dkk., “Sawahlunto Dulu, Kini, dan Esok. Menyongsong Kota Wisata Tambang yang Berbudaya”, (Padang: Pusat Studi Humaniora Unand, 2005), h. 9-10. ↩︎
  5. Susan Rodgers, “A Nederlander woman’s recollections of colonial and wartime Sumatra: from Sawahlunto to Bankinang interment camp”, Indonesia, 79, April 2005. h. 99-100 ↩︎
  6. Carin van Empel, “Dark mine. Labour conditionsof coolies in the State coal mines of West Sumatra”, dalam Vincent J. H. Houben, J. Thomas Linblad, dkk. Coolie Labour in Colonial Indonesia. A Studi of Labour Relations in the Outer Islands, c. 1900-1940, (Wiesbaden: Harrassowitz, 1999), h. 179. ↩︎
  7. Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, (2020, 2 Oktober), “Cerita Dari Gudang Ransum Sawahlunto”, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/cerita-dari-gudang-ransum-sawahlunto/. ↩︎
  8. Dinas Kebudayaan Kota Sawahlunto, (2024, 3 November), “Pabrik Es Museum Goedang Ransoem”, Bidang Warisan Budaya, https://www.youtube.com/watch?v=vQ42u8vB61k. ↩︎
  9. Ibid. ↩︎
  10. Dahlia Braga Yova, Abdul Rahman, dan Maisatun Najmi, “Ekspositori Orang Rantai Sawahlunto”, Cinelook: Journal of Film, Television and New Media, 2024, Volume 2(2), DOI: http://dx.doi.org/10.26887/cl.v2i2.4653. ↩︎
Adzkia Arif

Seorang penulis honorer yang bercita-cita punya perusahaan media sendiri. Tukang jalan-jalan dan suka bercerita.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Mengunjungi Pasar Ayam Plered, Sedih Melihat Anakan Elang Jawa