Persimpangan lampu merah itu salah satu titik paling ramai di wilayah barat Kabupaten Cirebon. Menghubungkan tujuan wisatawan ke pasar tradisional, pasar hewan, pusat batik Trusmi, dan kuliner khas empal gentong.
Pasar hewan yang dimaksud adalah sentra jual beli unggas terbesar di Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning). Populer dengan sebutan Pasar Ayam Plered, karena dekat perempatan Plered. Jaraknya sekitar 50 meter ke arah selatan.
Pasar Ayam Plered padat pengunjung pada momen pasaran setiap hari Minggu. Beberapa kali saya ke sana, kerap menemukan binatang langka dijual. Pasaran mengundang banyak pedagang dari seputaran Jawa Barat. Aneka satwa ditawarkan, terutama burung hias. Keindahan suara dan tampilan mereka begitu memesona.
Setelah memarkir kendaraan di halaman Masjid Al-Mustaqim, Minggu (18/5/2025), saya melangkah ke gang menuju Pasar Ayam. Pagi itu sudah ramai pengunjung. Ada yang cari sarapan, memilih pakan, melihat sangkar, hingga membeli anak ayam dan bebek demi menyenangkan buah hati.
Pitik warna-warni itu memang menggemaskan. Orang tua menyerahkan uang Rp10.000 untuk tiga ekor anakan ayam. Jika dipelihara dengan baik, pitik-pitik itu akan tumbuh menjadi ayam pedaging siap konsumsi.
Unggas mungil lainnya yang menarik perhatian bocah adalah anakan bebek dan ayam petelur berbulu alami. Masing-masing per ekor dijual Rp10.000. “Dua bulan sudah menghasilkan telur,” kata si pedagang. Keunikan ayam petelur adalah bisa bertelur tanpa harus dikawini pejantan.


Pedagang melayani pembeli yang sedang memilih anak ayam dan bebek/Mochamad Rona Anggie
Aneka Burung di Tengah Lapangan
Melewati Kantor Desa Weru Kidul, saya menembus kerumunan ke arah lapangan. Di situlah pusat pasaran. Para pedagang burung kicau berkumpul. Ada yang menjajakan langsung di atas rumput lapangan. Ada yang membangun tenda semipermanen, lengkap dengan tiang untuk menggantung sangkar.
Saya mendekati penjual burung kenari. Penasaran mau tahu harganya. Burung bertubuh kecil itu punya warna mencolok. Siapa saja yang melihatnya akan tertarik. Suaranya berisik kalau sudah rajin bunyi. Istilah kalangan kicau mania: gacor.
Buat anak-anak, burung kenari kuning pasti familiar. Serial kartun di televisi menjadikannya karakter Tweety yang imut. Di sana kenari kuning (jantan) dijual Rp250.000, sedangkan betinanya Rp100.000. Ada pilihan warna oranye dan cokelat.
Pedagang burung puter terlihat pula menanti pembeli. Dua ekor puter putih dalam kandang menarik perhatian, karena biasanya berwarna abu-abu. “Ini puter albino,” kata penjual lalu menyebut harga Rp120.000 sepasang. “Kalau yang ini puter pelung. Bunyinya kaya orang ketawa, bisa mirip suara kuntilanak,” tambahnya berusaha meyakinkan.
Saya mengangguk-angguk lantas perlahan menjauh, ketika penjual menirukan bunyi puter pelung versi kuntilanak. “Kur tekukur kur kur…” Ngeri juga kalau suaranya mirip makhluk gaib, batin saya. Persis backsound di film horor saat hantu perempuan berambut panjang itu mau nongol.
Lanjut keliling, saya menyaksikan burung hias lainnya menggoda dompet. Ada si cantik parkit, love bird nan lucu, ciblek yang aktif, anakan kutilang minta disuapi, murai yang anggun, si gacor titimplik, beo sang orator, wambi yang berwibawa, poksay, kolibri ninja nan lincah, si “pedangdut” cucak ijo sampai burung hantu celepuk dan Tyto alba.
Riuh kicau mereka. Sengatan mentari pukul 10.00, tak menghalangi pencinta manuk menilik satu per satu sangkar. Barangkali ada yang sesuai keinginan guna menambah koleksi di cantelan langit-langit rumah.
Kaget, Ada Anakan Nisaetus bartelsi
Setiap ke Pasar Ayam saya sempatkan mampir ke sebuah lapak, terpisah dari keramaian. Jalan setapaknya becek. Letaknya di belakang kios permanen. Tidak banyak pengunjung ke situ. Padahal koleksi hewan yang dijajakan membuat tercengang.
Pernah saya dapati ular sanca kuning dan reptil lainnya. Termasuk beberapa kadal hias, semisal leopard gecko. Burung predator seperti alap-alap, kestrel, dan aneka owl juga ada. Tidak ketinggalan tupai dan musang.
Nah, kemarin itu saya kaget ketika melihat anakan burung dengan bulu halus berwarna putih—menandakan belum lama menetas—tertelungkup di dalam sebuah kotak kecil. “Anakan elang?” tanya saya.
“Iya, elang gunung,” jawab si penjual bernama Yayat.
“Dapat dari mana?”
“Hutan di Kuningan,” sahutnya dengan logat Sunda.

Saya pastikan itu anakan elang jawa (Nisaetus bartelsi). Paruhnya khas burung pemburu dengan mata hitam. Kelahiran anak burung spesies endemik Pulau Jawa itu kerap disambut sukacita oleh taman nasional yang kawasan hutannya menjadi habitat hewan dilindungi tersebut. Misalnya, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC).
Kalau melihat bayi elang jawa difoto sedang berada dalam sarang di pucuk pohon, sungguh membahagiakan. Siapa pun pasti ikut gembira. Tapi ini, di depan saya, anakan elang jawa ada di pasar hewan dalam sebuah kardus. Menyedihkan!
“Susah dapatnya di pohon yang tinggi,” terang Yayat.
“Usia berapa ini, sebulan?”
“Belum. Paling sepuluh hari.”
“Dijual berapa?”
“Lima ratus ribu.”
Murah sekali untuk seekor burung yang populasinya terbatas. Saya kemudian iseng menawar, “250 ribu, ya?” Tentu saja dengan niatan untuk dilepasliarkan lagi.
Yayat tersenyum, “Tadi ada yang berani 350 (ribu), enggak saya kasih. Paling 450 ribu,” ucapnya.
Saya elus tubuh si bayi Nisaetus bartelsi. Dia merespons dengan coba (belajar) berdiri. Kakinya sebesar kaki ayam broiler. Bila dewasa nanti, kuku tajamnya berfungsi mencengkeram mangsa. Ya, kalau dia kembali ke alam bebas. Namun, jika dipelihara manusia, insting berburunya akan berkurang. Sekadar menjadi “garuda” rumahan. Sangat disayangkan.


Siapa mau pelihara anakan tupai (kiri) dan iguana?/Mochamad Rona Anggie
Ekonomi Lesu, Pedagang Terdampak
Di jalan beraspal pinggir lapangan, berderet kios menyediakan perlengkapan hewan kesayangan. Termasuk pakan khusus, semisal ulat hongkong dan telur semut (kroto).
Salah satu pemilik kios, Fajarudin (25), baru selesai melayani pembeli. Dia pindahkan seekor burung dari sangkar ke dalam kantung kertas berlubang, lantas menerima beberapa lembar uang. “Kalau Minggu saya bantu bapak, karena pasaran ramai,” ujarnya.
Kios Fajarudin menawarkan berbagai jenis ayam, burung puyuh, cendet, celepuk, anis, jalak, dan bondol. Sang ayah, Darsono (65), sibuk menyiapkan pesanan pakan. Tapi rupanya, pengunjung yang membeludak tak selaras dengan pemasukan. “Sekarang ekonomi lesu, terasa ke pedagang burung. Penghobi tidak seroyal dulu,” cerocos Fajarudin.
Keluarganya, kata dia, sudah berjualan di Pasar Ayam sejak 18 tahun lalu. Omzet berlipat terasa pada 10 tahun pertama, selanjutnya fluktuatif. “Daya beli masyarakat semakin menurun pasca-Covid,” keluhnya.

Terbantu Penjualan Daring
Perkembangan teknologi digital merangsek ke semua lini kehidupan, tak terkecuali pelaku bisnis burung hias di Pasar Ayam Plered. Bila Fajarudin merasakan pendapatan anjlok dari pembeli offline (luring), lain hal dengan Taufik Hidayat yang coba beradaptasi lewat pasar online (daring).
Taufik mengakui, saat ini raihan penjualan via online lebih menjanjikan. Konsumen tidak lagi terbatas pada mereka yang mengunjungi kiosnya, tetapi juga menjangkau pembeli dari luar kota yang tak perlu tatap muka. “Zaman berubah, kini pelanggan bisa pesan dari jauh. Tinggal kita kirim,” tuturnya semringah.
Pemuda 26 tahun itu pernah mengirim orderan burung ke Bali, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurutnya, kalau tidak aktif berjualan daring, sehari hanya mampu menjual lima ekor burung kepada pembeli yang datang langsung. “Pas pasaran bisa sampai 15 ekor, dengan harga variatif,” katanya.
Anak keempat dari delapan bersaudara itu merupakan generasi kedua pebisnis burung hias. Dia mengklaim momen pasaran merupakan temu muka pedagang dan pencinta burung terbesar se-Jawa Barat. “Kalau pasar burung di tiap daerah ada. Tapi pasaran yang paling meriah, ya, di Cirebon,” ucapnya.

Burung kicau di Pasar Ayam Plered, terang dia, didominasi pilihan burung “bahan”, sebutan bagi burung siap latih. Burung “bahan” biasa dibanderol di bawah satu juta. Sementara burung “masteran”, istilah untuk burung gacor yang siap kontes, ditawarkan mulai satu juta ke atas.
“Ini saya punya cucak cungkok pelapis, dijual dua juta,” kata Taufik sambil menunjuk seekor burung kecil dengan kombinasi warna hijau, biru dan kuning. “Burung pelapis itu gurunya, yang memberi contoh bunyi,” jelasnya.
Selain melayani pembelian eceran, sambung Taufik, kios burungnya yang sudah beroperasi selama dua dekade juga membuka partai besar (bakulan) untuk pedagang burung sekitar Cirebon.
Taufik sendiri mendapat kiriman burung dari Sumatra. Dia punya langganan terpercaya yang biasa memenuhi kebutuhan kiosnya. Burung premium seperti murai, cucak ijo, dan kolibri ninja, banyak dikirim dari pulau seberang.
Apakah pernah libur berjualan? Taufik menegaskan tak pernah. “Ini bisnis makhluk bernyawa. Tiap hari harus memberi makan-minum, jadi enggak bisa libur,” pungkasnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
sebaiknya pemerintah menghapus,meniadakan pasar burung dan hewan langka…
BKSD harus melakukan operasi pasar dan menyita hewan yg dilindungi dan memproses hukum penjualnya biar tdk seenaknya jual beli yg dilarang
Kirain d beli tuh anakan elangnya..ternyata cuma berteori min?😇
Kalo bikin berita yg jelas .. Itubukan elang jawa.. Itu elang ular bido… Lagianklo kasian peringti dengan baik.. Itupasar hewan bnyak aneka hewan dissna.. Janganbikin berita asal aja .. Hoax namanya
Anakan elang ular bido bulatan matanya kuning… Dari bayi ud jelas warnanya